II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Klasifikasi dan Morfologi Udang vaname (Litopenaeus vannamei)
1. Klasifikasi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)
Menurut Haliman dan Adijaya (2005) dalam Zakaria (2010) klasifikasi
udang vaname sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Anthropoda
Kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Famili : Penaidae
Genus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus vannamei
2.1.2 Morfologi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)
Tubuh udang vaname dibentuk oleh dua cabang (Biramous), yaitu
exopodite dan endopodite. Seluruh tubuhnya tertutup oleh eksoskeleton yang
terbuat dari bahan kitin. Tubuhnya beruas – ruas dan mempunya aktivitas
berganti kulit (moulting). Menurut Suyanto dan Mudjiman (2001) dalam
Zakaria (2010) tubuh udang yang dilihat dari luar terdiri dari tiga bagian,
yaitu begian depan yang disebut cephalothorax, serta menyatunya begian
kepala dan serta bagian belakang (perut) yang disebut abdomen dan terdapat
ekor atau uropod di ujungnya (Gambar 1).
Gambar 1. Morfologi udang vaname (Haliman dan Adijaya, 2005 dalam Zakaria,
2010)
Keterangan :
1. Kelopak Mata 7. Pleopod 13. Hepatic (Hati)
2. Antennulae 8. Rostrum 14. Cardia Cregion
3. Antenna 9. Antennal spine 15. Telson
4. Rahang Atas II 10. Supraorbital Spine 16. Uropod
5. Rahang Atas III 11. Orbital Spine
6. Periopod 12. Hepatic Spirse
Ciri khususnya yang dimiliki udang vaname adalah adanya pigmen
karotenoid yang terdapat pada bagian kulit. Kadar pigmen ini akan semakin
berkurang seiring pertumbuhan udang, karena pada saat molting sebagian
pigmen yang terdapat pada kulit akan terbuang. Keberadaan pigmen ini
memberikan warna putih kemerahan pada tubuh udang (Haliman dan Adijaya,
2005 dalam Zakaria, 2010).
2. Habitat dan Tingkah Laku
Di alam udang ini menyukai dasar berlumpur pada kedalam dari garis
pantai sekitar 72 meter. Udang ini juga ditemukan menempati daerah mangrove
yang masih belum terganggu. Udang vaname dapat beradaptasi dengan baik di
level salinitas yang rendah atau euryhaline (Manoppo, 2011).
Udang vaname bersifat nocturnal, yaitu lebih beraktifitas di daerah
yang gelap. Sering ditemukan memendamkan diri dalam lumpur/pasir dasar
kolam bila siang hari, dan tidak mencari makan. Akan tetapi jika siang hari
tetap diberi pakan maka udang vaname akan bergerak untuk mencari makanan,
itu bearti sifat nocturnal pada udang vaname ini tidak mutlak (Anonim,
2011).
1. Fisiologi
Manoppo (2011) dalam Susylowati (2012) mengatakan, pertumbuhan udang
vaname sama seperti halnya anthropoda lainnya, tergantung dua factor yaitu
frekuensi molting (waktu antara molting) dan pertumbuhan yaitu berapa besar
pertumbuhan pada setiap molting baru. Karena tubuh udang vaname ditutupi
karapas yang keras, maka untuk tumbuh, karapaks yang lama harus dilepas dan
diganti dengan yang baru dan lebih besar. Karapaks yang baru pada awalnya
lunak, akan tetapi akan mengeras pada laju yang proporsional terhadap
ukuran udang.
Haliman dan Adijaya (2004) dalam Susylowati (2012) mengatakan, molting
pada udang ditandai dengan seringnya udang muncul ke perumukaan air sambil
meloncat – loncat. Gerakan meloncat-loncat ini bertujuan untuk membantu
melonggarkan kulit luar udang dari tubuhnya. Gerakan tersebut merupakan
salah satu upaya mempertahankan diri karena cairan molting yang dihasilkan
dapat merangsang udang lain untuk mendekat dan memangsa (kanibalisme). Pada
saat molting berlangsung, otot perut melentur, kepala membengkak, dan kulit
luar bagian perut melunak. Dengan sekali hentakan, maka kulit luar udang
atau karapaks dapat terlepas.
2. Siklus Hidup
Anonim (2011) mengatakan, udang vaname adalah binatang catadroma,
artinya ketika dewasa ia bertelur dilaut berkadar garam tinggi, sedangkan
ketika stadia larva ia migrasi ke daerah estuaria berkadar garam rendah.
Telur udang vaname bersifat menyebar dalam air dan menetas menjadi nauplius
diperairan laut lepas bersifat zooplankton. Selanjutnya dalam perjalanan
migrasi kearah estuaria, larva udang vaname mengalami beberapa kali
metamorfosa. Siklus udang vaname yaitu naupli, zoea, mysis, postlarva
(megalopa), juvenille hingga dewasa (Gambar 2).
Gambar 2. Siklus hidup udang vaname (Manoppo, 2011)
Larva udang vaname mengalami tiga tahap perkembangan (gambar 2), yaitu
nauplii, zoea, dan mysis kemudian bermetamorfosis menjadi post larva (PL).
Saat telur menetas menjadi nauplii, larva hanya menghabiskan sisa cadangan
makanan dari telur (egg yolk). Pada tahap zoea memakan fitoplankton yang
dilanjutkan dengan zooplankton. Tahap mysis dan selanjutnya udang memakan
organisme kecil lain seperti artemia. Beberapa tahapan yang dilalui larva
Udang vaname berdasarkan waktu serta ukurannya meliputi nauplii hingga post
larva (Tabel 1).
Tabel 1. Tahapan perkembangan udang vaname
"Tahapan "Waktu dalam Tahapan "Ukuran di Akhir "
" "(280) "Tahapan "
"Telur "± 14 jam "Diameter ± 220 µm "
"Nauplii I, II, III, "36-51 jam "Panjang: 0,43-0,58 "
"IV, V " "mm "
" " "Lebar: 0,18 – 0,22 "
" " "mm "
"Zoea I "36-48 jam "Panjang total: 1,0 "
" " "mm "
" " "Panjang ekor: 0,3 mm"
"Zoea II "36-48 jam "Panjang total: "
" " "1,28-2,01 mm "
" " "Panjang ekor: "
" " "0,72-0,87 mm "
"Zoea III "36-48 jam "Panjang total: "
" " "2,4-2,59 mm "
" " "Panjang ekor: "
" " "0,93-1,40 mm "
"Mysis I "24 jam "Panjang total: 3,5 "
" " "mm "
" " "Panjang ekor: 1,2 mm"
"Mysis II "24 jam "Panjang total: "
" " "3,3-4,2 mm "
" " "Panjang ekor: "
" " "1,2-1,4 mm "
"Mysis III "24 jam "Panjang total: "
" " "3,9-4,7 mm "
" " "Panjang ekor: "
" " "1,3-1,5 mm "
"Post Larva I " 24 jam "Panjang total: "
" " "4,2-5,0 mm "
" " "Panjang ekor: "
" " "1,4-1,6 mm "
Sumber : Susylowati (2012)
3. Persiapan Tambak
Persiapan tambak merupakan kegiatan yang dilakukan sebelum kegiatan
budidaya pada siklus berikutnya. Kegiatan yang dilakukan pada persiapan
tambak yaitu pengeringan tambak, pembersihan tambak, perbaikan plastik dan
biosecurity.
2.3.1 Pengeringan tambak
Proses pengeringan tambak yaitu dengan cara memasang pompa pada caren
yang berada di tengah tambak kemudian secara otomatis air akan dikeringkan
(Rahayu, 2010 dalam Saputra 2016). Pengeringan tambak adalah proses awal
dalam persiapan tambak. Lama pengeringan tergantung pada kondisi cuaca
serta tanah. Umumnya waktu pengeringan berkisar antara 1 – 3 minggu. Tujuan
dari pengeringan adalah untuk mempercepat penguapan gas – gas beracunn,
mempercepat proses penguraian (Decomposition) bahan – bahan organik dan
memberantas hama serta penyakit (Farchan, 2006 dalam Saputra, 2016).
2.3.2 Pembersihan tambak
Pembersihan tambak bertujuan untuk melepaskan organisme yang menempel
pada bagian permukaan dinding tambak serta dasar tambak (pada tambak
plastik) setelah proses pengeringan selesai, sedangkan pada tambak tanah
pembersihan tambak dapat dengan cara membersihka rumput yang tumbuh di
sekitar area tambak. Pembersihan dapat dilakukan dengan menggunakan sikat
plastik untuk membersihkan lumut serta bilah bambu untuk membersihkan
teritip pada tambak plastik. (Rahayu, 2013 dalam Saputra 2016).
2.3.3 Perbaikan Plastik
Kebocoran pada wadah sering terjadi akibat plastik yang robek atau
berlubang. Sebelum budidaya terlebih dahulu dilakukan perbaikan dengan
penambalan plastik pada bagian yang bocor.
2.3.4 Biosecurity
Rahayu (2013 dalam Saputra 2016) mengatakan, biosecurity merupakan
pengamanan lingkungan budidaya terhadap masuknya biota lain seperti hama
atau yang dapat menyebabkan penyakit. Penerapan Biosecurity pada tambak
dapat dengan berupa pagar yang dipasang di sekeliling tambak dengan
menggunakan plastik HDPE (High Density Poly Ethelene) setinggi 60 cm.
Sedangkan dapat pula menggunakan benang yang yang dipasang di atas tambak
menyerupai jaring untuk mencegah burung untuk masuk ke wilayah tambak
(Widigdo, 2013 dalam Saputra 2016).
4. Persiapan Media
1. Pengisian Air
Pengisian air terlebih dahulu dipasang filter air pada pintu pemasukan
air yang bertujuan untuk menyaring ikan serta telurnya dan organisme lain
yang dapat mengannggu bahkan dapat memangsa udang yang dipelihara.
Pengisian air dilakukan setelah persiapan tambak selesai dilakukan secara
bertahap dan air diisi dengan ketinggian kurang lebih satu meter
(Rusmiyati, 2012 dalam Saputra, 2016). Pengisian dilakukan saat kondisi
pasang air laut tinggi. Kemudian air dibiarkan 2 – 5 hari untuk mengetahui
tingkat porositas tanah dan tingkat evaporasi (penguapan) air pada tambak
yang akan dioperasionalkan (Saputra, 2016).
2. Sterilisasi Air
Rahayu (2013) dalam Saputra (2016) mengatakan proses sterilisasi air
atau media pemeliharan dimaksudkan untuk membunuh segala macam organisme
yang dapat menganggu dalam kegiatan budidaya. Sterilisasi pada air media
pemeliharaan dilakukan dengan memberikan kaporit (Chlorin) dengan
konsentrasi 60% dengan dosis 50 – 60 ppm yang ditebar secara merata ke
dalam air media pemeliharaan. Proses sterilisasi berlangsung selama 3 – 4
hari dengan kincir harus tetap beroperasi. Pada hari ketiga dilakukan
pengujian kandungan chlorin dari kaporit dengan menggunakan chlorin test.
Tahapan selanjutnya setelah air pemeliharaan steril dan netral adalah
pemberian probiotik awal. Pemberian probiotik ini dilakukan 3 – 7 hari
sebelum penebaran benur dilakukan.
3. Penumbuhan Pakan Alami
Pakan alami pada budidaya udang sangat penting keberadaannya untuk
ditumbuhkan terutama pada saat persiapan tambak. Salah satu jenis pakan
alami yang dibutuhkan adalah plankton (Edhy dan Kitono, 2002).
Plankton merupakan jasad renik yang melayang-layang di dalam air dan
selalu mengikuti arus air. Plankton sangat berperan penting selain sebagai
pakan alami terutama phytoplankton yang berfungsi juga sebagai pengasil
oksigen dari fotosintesis pada siang hari.
Untuk menumbuhkan plankton cukup dengan memberikan nutrien tertentu
yang dibutuhkan. Sumber nutrien yang dibutuhkan dalan tambak yaitu unsur
Nitrogen (N) dan Posfor (P). Kedua unsur ini disebut juga sebagai unsur
utama atau major nutrien. Selain unsur utama diperlukan juga unsur mikro
atau micro nutrient yang terdiri dari mineral dan vitamin (Edhy, 2005).
Jenis pupuk yang biasa digunakan terdiri dari 2 jenis pupuk, yaitu
pupuk ornanik serta an-organik. Pupuk organik misalnya pupuk yang berasal
dari fermentasi (dedak, bungkil kedelai serta mollase), probiotik.
Sedangkan untuk pupuk an-organik misalnya urea dan TSP (Edhy, 2005).
4. Persiapan Sarana Pemeliharaan
Rahayu (2013) dalam Saputra (2016) mengatakan, Budidaya udang terutama
pada sistem instensif membutuhkan sarana-sarana penunjang untuk kelancaran
kegiatan pembesaran udang seperti :
a. Pemasangan kincir (paddle wheel), yang berfungsi sebagai penyuplai
oksigen kedalam media pemeliharaan agar lebih optimal, pemasangan kincir
dilakukan setelah pengisian air dan sebelum proses sterilisasi media.
b. Sumber tenaga listrik, untuk mengoperasionalkan pompa air, kincir,
penerangan dan peralatan lainnya yang menggunakan sumber listrik.
c. Sarana penunjang lainnya, seperti rumah jaga, gudang penyimpanan pakan
dan obat-obatan, ruang genset, serta ruang panen
5. Pembesaran
1. Penebaran
Benih udang vaname ditebar setelah 3 hari pemberian saponin. Penebaran
benih dilakukan pada pagi hari yang diawali dengan aklimatisasi benih
terhadap suhu dan salinitas air tambak (Budiardi, 2005). Menurut Banun,
dkk. (2007) padat penebaran budidaya pembesaran udang vaname pada super
intensif yaitu > 500 ekor/m2, intensif 80-125 ekor/m2, semi intensif 30-
80 ekor/m2 serta tradisional <10 ekor/m2.
2. Manajemen Pemberian Pakan
Pakan merupakan faktor yang sangat penting didalam budidaya. Pada
budidaya udang vaname, pakan menyerap biaya 60 – 70 persen dari total biaya
operasional. Pemberian pakan yang sesuai yang sesuai dengan kebutuhan akan
memacu pertumbuhan dan perkembangan udang vaname secara optimal, sehingga
produktifitas bisa di tingkatkan. Prinsipnya adalah semakin tinggi padat
penebaran maka ketersedediaan pakan alami semakin sedikit dan kebutuhan
pada pakan buatan semakin meningkat (Topan, 2007 dalam Zakaria, 2010).
Udang vaname membutuhkan pakan dengan kadar protein berkisar antara 18 – 35
% (Zakaria, 2010).
Frekuensi pemberian pakan pada udang yang masih kecil sebanyak 2 – 3
kali sehari. Karena masih mengandalkan pakan alami. Setelah terbiasa dengan
pakan buatan berbentuk pelet, frekuensi pemberian pakan dapat ditambahkan
menjadi 4 – 6 kali sehari (Topan, 2007 dalam Zakaria, 2010).
Dalam proses budidaya ada dua tahap pemberian pakan, yaitu "Blind
Feeding" serta "Demand Feeding". Blind feeding yaitu pemberian pakan dengan
menggunakan estimasi SR, estimasi MBW serta FR. Sedangkan demand feeding
yaitu metode pemberian pakan sesuai dengan kebutuhan populasi (SR) serta
kondisi yang terjadi di tambak. Pada periode ini dilakukan penambahan dan
pengurangan pakan, dengan bantuan kontrol anco. Menurut Winarno, dkk.
(2014) Anco dipakai sebagai salah satu alat untuk mengetahu estimasi SR
mendekati aktual, mengetahui sisa pakan, kemampuan makan serta kondisi
kesehatan udang. Kontrol pemberian pakan dengan anco pada budidaya udang
vaname menggunakan score anco (Tabel 2).
Tabel 2. Score kontrol anco pada budidaya udang vaname
"Sisa Pakan"Score "Penyesuaia"Catatan "
" "Anco "n Pakan " "
"Habis "000 "Ditambah 5"Jika score anco 000 selama 2 hari "
" " "% "berturut- turut, baru dilakukan "
" " " "penambahan pakan 5% "
"< 10 % "001 "Tetap "Jika score anco 001 selama 2 kali "
" " " "pemberian pakan berturut- turut, baru "
" " " "dilakukan pengurangan pakan 5% "
"10 – 25 % "011 "Dikurangi "Jika score anco 001 selama 1 kali "
" " "25 % "pemberian pakan, baru dilakukan "
" " " "pengurangan pakan 25% "
"> 25 % "111 "Dikurangi "Jika score anco 111 selama 1 kali "
" " "50% "pemberian pakan, langsung dilakukan "
" " " "pengurangan pakan 50% "
Sumber : Winarno, dkk (2014).
6. Kualitas Air
Kualitas air pada media budidaya yang baik akan mendukung pertumbuhan
dan perkembangan udang vaname secara optimal. Kualitas air budidaya perlu
diperiksa dan dikontrol secara seksama. Beberapa parameter kualitas air
yang harus diamati selama proses budidaya yaitu parameter fisika dan kimia
(Tabel 3).
Tabel 3. Parameter kualitas air tambak
"Parameter "Metode atau "Waktu uji "Angka "
"(satuan) "alat uji " "referensi"
"Fisik " " " "
"Suhu (oC) "Termometer "Pagi dan Sore "26 – 32 "
"Kecerahan "Penggaris, "Pagi dan Sore "25-45 "
"(cm) "sechi disk " " "
"Kimia " " " "
"Nitrit (ppm) "Test kit "Siang atau sore, 2-3" 0,1 "
" " "hari sekali " "
"Fosfat (ppm) "Test kit "Siang atau sore, "1-3 "
" " "seminggu sekali " "
"Alkalinitas "Titrasi asam "Siang atau sore " 150 "
"(ppm) "basa " " "
"Besi (ppm) "Test kit "2 – 3 hari sekali " 1 "
"H2s "Spektrofotome"Seminggu sekali "- "
" "ter " " "
"pH "pH meter, "Pagi dan sore "7,5-8,5 "
" "kertas pH " " "
"Salinitas "Refraktometer"Pagi dan sore "15-30 "
"(ppt) " " " "
"DO (ppm) "DO meter "02.00 – 05.00 pm " 3 "
Sumber : Haliman dan Adijaya (2005) dalam Zakaria (2010)
1. Suhu
Farchan (2006) dalam Saputra (2016) mengatakan, Suhu sangat
berpengaruh terhadap proses metabolisme di dalam tubuh udang. Semakin
tinggi suhu maka proses metabolisme semakin cepat. Kisaran suhu yang baik
untuk pertumbuhan udang adalah 26 – 30o C.
2. Kecerahan
Kecerahan air tambak dipengaruhi oleh adanya lumpur, bahan organik
serta plankton. Kecerahan yang baik adalah ± 40 cm. Jika kecerahan kurang
dari 25 cm menandakan bahwa plankton pada kolam tersebut padat , sehingga
harus dilakukan pengenceran plankton dengan cara membuang sebagian air
tambak dan mengisinya dengan yang baru (Farchan, 2006 dalam Saputra 2016).
3. Salinitas dan pH
Salinitas merupakan salah satu aspek kualitas air yang memegang
peranan penting karena mempengaruhi pertumbuhan udang. Udang yang ber umur
1-2 bulan memerlukan kadar garam 15-25 ppt agar pertumbuhan dapat optimal.
Setelah umur lebih dari 2 bulan pertumbuhan relatif baik dan kisaran
salinitas yang dibutuhkan 5-30 ppt. Pada musim kemarau kadar garam bisa
mencapai 40 ppt (Zakaria, 2012).
Nilai pH merupakan merupan parameter air untuk mengetahui derajat
keasaman. Air tambak memiliki pH ideal antara 7,5-8,5. Air tambak memiliki
pH ideal berkisar antara 7,5-8,5. Umumnya perubahan pH air dipengaruhi oleh
sifat tanahnya (Haliman dan Adijaya, 2005 dalam Zakaria, 2012). pH air
tambak dapat berubah menjadi asam karena meningkatnya benda-benda membusuk
dari sisa pakan atau yang lain. pH air yang asam dapat diubah menjadi
alkalis dengan penambahan kapur (Suyanto dan Mudjiman, 2001 dalam Zakaria,
2012).
4. DO
Kandungan oksigen terlarut (Dissolved Oxigen / DO) sangat mempengaruhi
proses metabolisme dalam tubuh udang. Kadar oksigen terlarut yang baik
berkisar antara 4-6 ppm. Pada siang hari kondisi perairan tambak akan
memiliki angka DO yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dpada saat
malam hari, karena pada siang hari terdapat proses fotosintesis oleh
phytoplankton yang menghasilkan oksigen. Namun sebaliknya pada malam hari,
dimana baik udang maupun phytoplankton sama-sama mengkonsumsi oksigen,
sehingga perlu adanya kincir untuk menunjang kebutuhan oksigen di perairan.
DO pada malam hari dianjurkan tidak kurang dari 3 ppm.
5. Nitrit dan Amonia
Ammonia berasal dari hasil ekskresi atau pengeluaran kotoran udang.
Oleh karena ammonia dan nitrit adalah senyawa beracun, maka harus diubah
menjadi nitrat. Salah satu cara untuk meningkatkan nitrifikasi dan
denitrifikasi adalah dengan meningkatkan jumlah bakteri, yaitu dengan
aplikasi probiotik yang mengandung bakteri yang dibutuhkan (Roffi, 2006
dalam Zakaria, 2012).
6. Alkalinitas
Alkalinitas adalah gambaran kapasitas air untuk menetralkan asam atau
dikenal dengan sebutan acid neutralizing capacity (ANC) atau kuantitas
anion di dalam air yang dapat menetralkan kation hydrogen (Trinando, 2015).
Alkalinitas juga sebagai penyangga (buffer capacity) terhadap perubahan pH
perairan. Penyusun alkalinitas adalah anion bikarbonat (HCO3-), karbonat
(CO32-) dan hidroksida (OH-) (Kordi, 2010 dalam Trinando, 2015).