BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang memiliki kelembaban tinggi sehingga memungkinkan untuk tumbuhnya berbagai tanaman dan mikroorganisme dengan baik. Salah satu mikroorganisme yang dapat tumbuh dengan baik di Indonesia adalah jamur (Arifin, 2006). Namun sayangnya, tidak semua jamur bermanfaat bagi manusia. Terdapat beberapa jenis jamur yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Menurut Hezmela (2006), penyakit kulit yang disebabkan oleh beberapa jenis jamur merupakan salah satu masalah negara-negara di d aerah tropis seperti Indonesia. Kondisi kulit yang mudah berkeringat dan lembab, kebersihan diri yang tidak terjaga dan kurangnya pengetahuan tentang kesehatan merupakan faktor yang memungkinkan pertumbuhan jamur penyebab penyakit kulit. Rambut yang berketombe hingga kini masih menjadi salah satu penyebab berkurangnya kepercayaan diri yang dapat menghambat kenyamanan beraktivitas. Ketombe adalah suatu gangguan berupa pengelupasan kulit mati secara berlebihan di kulit kepala, kadang disertai pula dengan pruritus (gatal-gatal) dan peradangan (Toruan, I989). Penyebab ketombe dapat berupa sekresi kelenjar keringat yang berlebihan atau adanya peranan mikroorganisme di kulit kepala yang menghasilkan
1
suatu metabolit yang dapat menginduksi terbentuknya ketombe di kulit kepala (Harahap, 1990). Mikroorganisme yang diduga sebagai penyebab utama ketombe adalah Pityrosporum ovale. ovale. Jamur ini sebenarnya merupakan flora normal di kulit kepala, namun pada kondisi rambut dengan kelenjar minyak berlebih, jamur ini dapat tumbuh dengan subur (Figueras et al, 2000). Seiring berkembangnya pengobatan di Indonesia, perkembangannya kini mengarah ke sistem pengobatan p engobatan herbal, karena terbukti lebih aman dan tidak menimbulkan efek samping seperti obat-obat kimia. Salah satu produk perawatan rambut yang dapat digunakan sebagai pengobatan sekaligus pencegahan ketombe adalah shampo anti ketombe. Shampo cair memiliki beberapa kekurangan antara lain tidak praktis dan mudah tumpah jika dibawa bepergian, penggunaanya tidak dapat ditakar dengan baik sehingga pada saat digunakan tidak dapat terkontrol mengakibatkan shampo cair cepat habis. Selain itu penggunaan shampo biasa dapat membuat kulit kepala menjadi kering kering sehingga timbul iritasi (Diana dkk, 2010). Modifikasi shampo gel diharapkan akan menghasilkan suatu sediaan yang lebih praktis penggunaanya, tekstur gel yang padat dapat mengontrol pada saat pemakaian, dan secara estetika tampilan tampilan dari gel lebih menarik, serta dengan pemakaian sering akan lebih aman. Sirih merah ( Piper Piper crocatum crocatum Ruiz Ruiz & Pav) merupakan salah satu tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai obat. Manfaat sirih merah telah banyak dibicarakan, namun penelitian mengenai daun sirih merah masih sangat sedikit (Juliantina et al., 2009). Daun sirih merah mengandung flavonoid, senyawa polevenolad, tanin, dan 2
minyak atsiri. Daun sirih merah memiliki efek pencegah ejakulasi dini, antikejang, antiseptik,
analgetik,
antiketombe,
antidiabetes,
pelindung
hati,
antidiare,
mempertahankan kekebalan tubuh, dan penghilang bengkak (Sudewo, 2010). Pada penelitian yang dilakukan oleh Arishandy (2010) menunjukkan bahwa jenis flavonoid yang terdapat pada daun sirih merah adalah senyawa flavonol, flavanon, isoflavon, dan auron. Dari uraian diatas, maka dilakukan pembuatan sediaan gel shampo sebagai antiketombe dari ekstrak etanol daun sirih merah ( Piper Piper crocatum Ruiz crocatum Ruiz & Pav).
1.2
Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana hasil dari evaluasi gel shampo ekstrak etanol daun sirih merah Piper (Piper crocatum Ruiz crocatum Ruiz & Pav) selama penyimpanan dua bulan baik secara fisik, kimia? 2. Berapa komposisi optimum gelling agent carbomer untuk mendapatkan gel shampo ekstrak etanol daun sirih merah ( Piper Piper crocatum crocatum Ruiz & Pav) dengan sifat fisik dan stabilitas yang baik?
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Untuk mengetahui evaluasi formula sediaan gel sampo dari ekstrak etanol daun sirih merah selama penyimpanan dua bulan baik secara fisik, kimia
3
2. Untuk mengetahui Berapa komposisi optimum gelling agent carbomer untuk mendapatkan gel shampo ekstrak etanol daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) dengan sifat fisik dan stabilitas yang baik
1.4
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan formula gel shampo yang baik, yang mampu menjadi pengobatan untuk ketombe dan dapat dikembangkan menjadi produk kosmetik yang aman dan berkhasiat.
1.5
Kerangka Pemikiran
Daun sirih merupakan obat herbal yang masih sangat sedikit penelitiaanya. Daun sirih merah mengandung flavonoid, senyawa polevenolad, tanin, dan minyak atsiri. Daun sirih merah memiliki efek pencegah ejakulasi dini, antikejang, antiseptik, analgetik, antiketombe, antidiabetes, pelindung hati, antidiare, mempertahankan kekebalan tubuh, dan penghilang bengkak (Sudewo, 2010). Salah satu produk perawatan rambut yang dapat digunakan sebagai pengobatan sekaligus pencegahan ketombe adalah shampo anti ketombe. Shampo cair memiliki beberapa kekurangan antara lain tidak praktis dan mudah tumpah jika dibawa bepergian, penggunaanya tidak dapat ditakar dengan baik sehingga pada saat digunakan tidak dapat terkontrol mengakibatkan shampo cair cepat habis. Selain itu penggunaan shampo biasa dapat membuat kulit kepala menjadi kering sehingga timbul iritasi (Diana dkk, 2010). Modifikasi shampo gel diharapkan akan menghasilkan suatu 4
sediaan yang lebih praktis penggunaanya, tekstur gel yang padat dapat mengontrol pada saat pemakaian, dan secara estetika tampilan dari gel lebih menarik, serta dengan pemakaian sering akan lebih aman. Pada penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan gel shampo yang baik, aman dan berkhasiat sebagai antiketombe.
1.6
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan kurang lebih selama 3 bulan di Laboratorium Formulasi Prodi Farmasi Sekolah Tinggi Ilmu kesehatan Bakti Tunas Husada. Tahapan penelitian
Maret 1
2
3
April 4
1
2
3
Mei 4
1
2
Pengumpulan bahan Pengolahan simplisia Identifikasi makroskopik dan mikroskopik Skrining fitokimia Ekstraksi Formulasi dan pembuatan sediaan gel shampoo Evaluasi sediaan gel shampoo
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tanaman Sirih Merah
Gambar 1. Sirih Merah ( Piper crocatum Ruiz & Pav) 2.1.1
Sistematika dan klasifikasi tanaman
Kingdom
: Plantae
Divisio
: Magnoliophyta
Class
: Magnoliopsida
Order
: Piperales
Family
: Piperaceae
Genus
: Piper
6
Species 2.1.2
: Piper crocatum Ruiz & Pav (Cronquist, 1981)
Deskripsi tanaman
Tanaman sirih merah tumbuh dengan menjalar seperti sirih hijau. Batangnya bulat bertangkai berwarna hujau keunguan dan tidak berbunga. Daunnya bertangkai membentuk jantung dengan bagian atas meruncing, bertepi rata dan permukaannya mengkilap atau tidak berbulu. Panjang daunnya bisa mencapai 15-20 cm. warna daun bagian atas hijau bercorak putih keabu-abuan, bagian bawah daun berwarna merah hati cerah. Daunnya berlendir, berasa sangat pahit, dan beraroma wangi khas sirih. Batagnya bersulur dan beruas dengan jarak buku 5-10 cm, disetiap buku tumbuh bakal akar (Sudewo, 2005). 2.1.3
Khasiat dan Kandungan Tanaman
Daun sirih merah mengandung flavonoid, senyawa polevenolad, tanin, dan minyak atsiri. Efek zat aktif yang terkandung daun sirih merah dapat merangsang saraf pusat dan daya pikir. Di samping itu, juga memiliki efek pencegah ejakulasi dini, antikejang, antiseptik, analgetik, antiketombe, antidiabetes, pelindung hati, antidiare, mempertahankan kekebalan tubuh, dan penghilang bengkak. Daun sirih merah juga mampu mengatasi radang pada paru, radang pada tenggorokan, radang pada gusi, radang pada payudara, hidung berdarah, dan batuk berdarah (Sudewo, 2010). Pada penelitian yang dilakukan oleh Arishandy (2010) menunjukkan bahwa jenis flavonoid
7
yang terdapat pada daun sirih merah adalah senyawa flavonol, flavanon, isoflavon, d an auron. 2.2
Ketombe
2.2.1
Defenisi ketombe
Ketombe berasal dari bahasa latin yaitu Pitriasis simpleks capillitii. Pengelupasan kulit kepala yang berlebihan dengan bentuk besar -besar seperti sisiksisik, disertai dengan adanya kotoran-kotoran yang berlemak, rasa gatal dan kerontokan rambut dikenal sebagai ketombe (dandruff). Ketombe termasuk penyakit kulit yang disebut dengan dermatitis seboroik (seborrohiec dermatitis) dengan tandatanda inflamasi atau peradangan kulit kepala (Harahap, 1990). Berdasarkan jenisnya secara umum dikenal dua macam ketombe, yaitu : 1. Seborrhea sicca adalah ketombe jenis ini ditandai dengan kulit kepala yang kering dan bersisik. Pada keadaan normal, lapisan kulit terluar selalu menghasilkan sel keratin mati yang terus menerus dalam bentuk keping-keping kecil (sisik). Biasanya pengelupasan ini seimbang dengan produksi jaringan sel baru oleh lapisan dibawahnya, jika keseimbangan ini terganggu akan terjadi pengelupasan sel keratin yang berlebihan. Sel-sel yang terlepas dengan adanya air atau keringat akan melekat satu sama lain menjadi sisik -sisik yang besar (Harahap, 1990). 2. Seborrhea oleosa adalah jenis ketombe yang disebabkan karena adanya produksi lemak yang berlebihan sehingga kulit kepala menjadi sangat berlemak
8
dan sisik-sisik akan menggumpal dalam massa lemak. Kulit kepala yang berlemak juga merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme penyebab ketombe (Harahap, 1990). 2.2.2
Faktor-Faktor yang mempengaruhi terjadinya ketombe
Faktor-faktor penyebab timbulnya ketombe adalah sebagai berikut: 1. Hiperproliferasi sel epidermis Dalam keadaan normal lapisan kulit teratas (stratum korneum) akan diganti oleh sel-sel dari lapisan di bawahnya. Hal ini terjadi pula pada kulit kepala yaitu sel keratin (sel yang telah mati) akan terlepas dan di ganti oleh sel-sel dari lapisan yang lebih bawah. Sel-sel basal pada lapisan basalis akan bergerak ke lapisan yang lebih atas dan akhirnya sampai pada permukaan kulit (lapisan kulit yang paling atas). Umumnya, proses ini berlangsung cukup pelan sehingga tetap tidak terlihat. Pada kebanyakan orang, seluruh kulit kepala berganti setiap bulan, tetapi pada penderita ketombe proses ini berlangsung lebih cepat menjadi 10−15 hari (Wijaya, 2001). 2. Genetik Faktor genetik mempunyai peran penting dalam patogenesis ketombe karena didapati bahwa P. ovale tanpa faktor predisposisi genetik tidak
9
mungkin menginduksi ketombe pada orang-orang yang tidak b erketombe (Wijaya, 2001). 3. Kelenjar Sebacea Produksi sebum akan mulai menurun meskipun ukuran kelenjar sebasea bertambah. Sekresi sebum ini dipengaruhi oleh hormon androgen. Distribusi usia penderita, dimana ketombe relatif jarang dan ringan pada masa anak-anak, mencapai puncak keparahan pada usia sekitar 20 tahun, kemudian menjadi lebih jarang setelah usia 50 tahun, memberi kesan bahwa hormon androgen mempunyai pengaruh dan tingkat aktivitas kelenjar sebasea merupakan salah satu faktor terjadinya ketombe (Wijaya, 2001). 4. Diet Lemak yang dimakan dalam proporsi normal diperlukan oleh tubuh tetapi jika berlebihan, lemak tersebut dapat mencapai kelenjar sebasea dan akhirnya menjadi bahan pembentuk sebum. Kelenjar sebasea akan memproduksi minyak sehingga kulit kepala menjadi sangat berminyak dan dengan pengaruh P. ovale akan menimbulkan ketombe (Wijaya, 2001).
10
5. Variasi musim Ketombe mencapai keadaan terendah pada musim panas dan pada musim dingin ketombe akan memburuk (Wijaya, 2001). 6. Stress Stress psikis menyebabkan peningkatan aktivitas kelenjar sebasea diduga dapat mempengaruhi timbulnya ketombe (Wijaya, 2001). 7. Iritasi Garukan dan penyisiran yang terlalu keras pada kulit kepala dapat menimbulkan iritasi. Pemakaian kosmetika rambut yang mengandung zat kimia tertentu dapat menimbulkan iritasi kulit kepala. Penggunaan beberapa minyak rambut yang mengandung mustard atau minyak kelapa dicampur ramuan tradisional dapat menimbulkan ketombe. Minyak kelapa merupakan media yang baik bagi P. ovale karena fungi ini bersifat lipofilik (Wijaya, 2001).
2.3
Rambut
Rambut merupakan adneksa kulit (kelenjar kulit atau lapisan dermis) yang tumbuh pada hampir seluruh permukaan kulit mamalia kecuali telapak tangan dan telapak kaki (Wasitaatmadja, 1997). Rambut tumbuh pada bagian epidermis kulit,
11
terdistribusi merata pada tubuh. Komponen rambut terdiri dari keratin, asam nukleat, karbohidrat, sistin, sistein, lemak, arginin, sistrulin, dan enzim (Rook dan Dawber, 1991).
2.4
Ekstraksi
2.4.1
Definisi
Menurut Departemen Kesehatan RI (2006), ekstraksi adalah proses penarikan kandungan kimia yang dapat larut dari suatu serbuk simplisia, sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut. Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang paling cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung (Anonim, 1979). 2.4.2
Metode
a. Ekstraksi Secara Dingin 1. Maserasi Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengadukan pada suhu ruangan. Prosedurnya dilakukan dengan merendam simplisia dalam pelarut yang sesuai dalam wadah tertutup. Pengadukan dilakukan dapat meningkatkan kec epatan ekstraksi. Kelemahan dari maserasi adalah prosesnya membutuhkan waktu yang cukup lama. Ekstraksi secara menyeluruh juga dapat menghabiskan sejumlah besar volume pelarut yang dapat berpotensi hilangnya metabolit. Beberapa senyawa juga tidak terekstraksi secara efisien jika kurang terlarut pada suhu kamar (27°C). Ekstraksi secara 12
maserasi dilakukan pada suhu kamar (27°C), sehingga tidak menyebabkan degradasi metabolit yang tidak tahan panas (Departemen Kesehatan RI, 2006). 2. Perkolasi Perkolasi merupakan proses mengekstraksi senyawa terlarut dari jaringan selular simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada suhu ruangan. Perkolasi cukup sesuai, baik untuk ekstraksi pendahuluan maupun dalam jumlah besar (Departemen Kesehatan RI, 2006). b. Ekstraksi Secara Panas 1. Soxhlet Metode ekstraksi soxhlet adalah metode ekstraksi dengan prinsip pemanasan dan perendaman sampel. Hal itu menyebabkan terjadinya pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel. Dengan demikian, metabolit sekunder yang ada di dalam sitoplasma akan terlarut ke dalam pelarut organik. Larutan itu kemudian menguap ke atas dan melewati pendingin udara yang akan mengembunkan uap tersebut menjadi tetesan yang akan terkumpul kembali. Bila larutan melewati batas lubang pipa samping soxhlet maka akan terjadi sirkulasi. Sirkulasi yang berulang itulah yang menghasilkan ekstrak yang baik (Departemen Kesehatan RI, 2006). 2. Refluks Ekstraksi
dengan
cara
ini
pada
dasarnya
adalah
ekstraksi
berkesinambungan. Bahan yang akan diekstraksi direndam dengan cairan 13
penyari dalam labu alas bulat yang dilengkapi dengan alat pendingin tegak, lalu dipanaskan sampai mendidih. Cairan penyari akan menguap, uap tersebut akan diembunkan dengan pendingin tegak dan akan kembali menyari zat aktif dalam simplisia tersebut. Ekstraksi ini biasanya dilakukan 3 kali dan setiap kali diekstraksi selama 4 jam (Departemen Kesehatan RI, 2006). 3. Digesti Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada suhu yang lebih tinggi dari suhu ruangan, yaitu secara umum d ilakukan pada suhu 4050°C (Departemen Kesehatan RI, 2006). 4. Infusa Infusa adalah ekstraksi dengan pelarut air pada suhu penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih), suhu terukur (96-98°C) selama waktu tertentu (15-20 menit) (Departemen Kesehatan RI, 2006). 5. Dekok Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan suhu sampai titik didih air, yaitu pada suhu 90-100°C selama 30 menit (Departemen Kesehatan RI, 2006).
2.5
Shampo
Sampo merupakan sediaan kosmetik yang digunakan sebagai pembersih rambut dan kulit kepala dari segala kotoran diantaranya minyak, debu, sel-sel yang sudah mati dan sebagainya. Sampo berdasarkan macamnya dibagi menjadi empat yaitu 14
sampo untuk rambut yang diwarnai dan keriting, sampo untuk membersihkan secara menyeluruh, sampo untuk penambah volume rambut dan sampo anti ketombe (Tranggono dan Latifah, 2007). Sampo merupakan kategori produk perawatan rambut yang memiliki mekanisme kerja secara fisika, dan tidak mempengaruhi kandungan kimia dalam rambut (Mottram and Lees, 2000). Mekanisme kerja sampo pada dasarnya menggunakan The Chain’ float-away’ mechanism yaitu membersihkan rambut dengan mengangkat kotoran dan sebum yang dihasilkan dari sekresi kelenjar sebaceous dan membuatnya larut air (Mottram and Lees, 2000). Dalam mekanisme ini, surfaktan dalam sampo atau free-detergen micelle dalam sampo menyebar di rambut dan kemudian berikatan dengan kotoran dan minyak membentuk co-micelle (detergen dan kotoran) sehingga kotoran terangkat melalui proses pembilasan (Mottram and Lees, 2000). Bahan yang digunakan dalam formulasi sampo dapat di peroleh dari alam maupun sintetik. Dalam formulasi sediaan sampo, komposisi terbesar bahan yang digunakan adalah surfaktan. Surfaktan inilah yang berperan besar dalam mekanisme kerja sampo sehingga dilakukan kombinasi berbagai jenis surfaktan untuk mendapatkan sebuah sampo dengan daya bersih dan mutu fisik yang baik. Kombinasi antara surfaktan sintetik dan surfaktan alami dapat dilakukan dalam formulasi pembuatan sampo (Rigano, Lionetti and Otero, 2009).
15
2.6
Gel
2.6.1
Pengertian Gel
Gel umumnya merupakan suatu sediaan semipadat yang jernih, tembus cahaya dan mengandung zat aktif, merupakan dispersi koloid mempunyai kekuatan yang disebabkan oleh jaringan yang saling berikatan pada fase terdispersi (Ansel, 1989). Zat-zat pembentuk gel digunakan sebagai pengikat dalam granulasi, koloid pelindung dalam suspensi, pengental untuk sediaan oral dan sebagai basis supositoria. Secara luas sediaan gel banyak digunakan pada produk obat-obatan, kosmetik dan makanan juga pada beberapa proses industri. Pada kosmetik yaitu sebagai sediaan untuk perawatan kulit, sampo, sediaan pewangi dan pasta gigi (Herdiana, 2007). Makromolekul pada sediaan gel disebarkan keseluruh cairan sampai tidak terlihat ada batas diantaranya, disebut dengan gel satu fase. Jika masa gel terdiri dari kelompok-kelompok partikel kecil yang berbeda, maka gel ini dikelompokkan dalam sistem dua fase (Ansel, 1989). Polimer-polimer yang biasa digunakan untuk membuat gel-gel farmasetik meliputi gom alam tragakan, pektin, karagen, agar, asam alginat, serta bahan-bahan sintetis dan semisintetis seperti metil selulosa, hidroksietilselulosa, karboksimetilselulosa, dan karbopol yang merupakan polimer vinil sintetis dengan gugus karboksil yang terionisasi. Gel dibuat dengan proses peleburan, atau diperlukan suatu prosedur khusus berkenaan dengan sifat mengembang dari gel (Lachman., dkk, 1994).
16
2.6.2
Basis gel
Berdasarkan komposisinya, basis gel dapat dibedakan menjadi basis gel hidrofobik dan basis gel hidrofilik (Ansel, 2008). 1. Basis gel hidrofobik. Basis gel hidrofobik terdiri dari partikel-partikel anorganik. Apabila ditambahkan ke dalam fase pendispersi, bilamana ada, hanya sedikit sekali interaksi antara kedua fase. Berbeda dengan bahan hidrofilik, bahan hidrofobik tidak secara spontan menyebar, tetapi harus dirangsang dengan prosedur yang khusus. Basis gel hidrofobik antara lain petrolatum, mineral oil/gel polyethilen, plastibase, alumunium stearat, dan carbowax (Ansel, 1989). 2. Basis gel hidrofilik Basis gel hidrofilik umumnya adalah molekul-molekul organik yang besar dan dapat dilarutkan atau disatukan dengan molekul da ri fase pendispersi. Istilah hidrofilik berarti suka pada pelarut. Pada umumnya karena daya tarik menarik pada pelarut dari bahan-bahan hidrofilik kebalikan dari tidak adanya daya tarik menarik dari bahan hidrofobik, sistem koloid hidrofilik biasanya lebih mudah untuk dibuat dan memiliki stabilitas yang lebih besar (Ansel, 2008). Basis gel hidrofilik antara lain bentonit, tragakan, derivate selulosa, karbomer/karbopol, polivinil alkohol, alginat (Voight, 1995). Karbopol adalah polimer carboxyvinyl yang memiliki berat molekul yang besar. Karbopol relatif dapat dapat membentuk gel pada konsentrasi yang rendah. Karbopol digunakan sebagian dalam formulasi sediaan cair atau semisolid sebagai pensuspensi atau peningkat viskositas. 17
Karbopol biasanya digunakan dalam krim, gel, salep untuk preparat mata, rektal, dan sediaan topikal (Kibbe, 2000 & Lund, 1994). Keuntungan gel hidrofilik antara lain: daya sebarnya pada kulit baik, efek dingin yang ditimbulkan akibat lambatnya pengua pan air pada kulit, tidak menghambat fungsi fisiologis kulit khususnya respiratio sensibilis oleh karena tidak melapisi permukaan kulit secara kedap dan tidak menyumbat pori-pori kulit, mudah dicuci dengan air dan memungkinkan pemakaian pada bagian tubuh yang berambut dan pelepasan obatnya baik (Voigt, 1995).
2.7
Monografi Bahan
a. Carbopol Memiliki pemerian berwarna putih, halus, asam, higroskopis, memiliki bau yang khas. Carbopol merupakan resin akrilat yang apabila dinetralkan dengan alkali akan menghasilkan larutan kental jernih, gel transparan, yang dapat digunakan untuk sediaan semi solid (Rowe et al, 2009). Carbopol merupakan material koloid hidrofilik yang mengental lebih baik dari pada natural gums. Carbomer di dispersikan kedalam air membentuk larutan asam yang keruh, kekeruhan ini disebabkan karena asam karboksilat yang terlepas dari polimer asam akrilat akan membentuk koloid yang tidak larut yang menyebabkan gel menjadi keruh, maka dari itu kemudian dinetralkan dengan basa kuat seperti sodium hidroksida, atau amina (contohnya, ammonium hidroksida), sehingga dengan demikian akan meningkatkan konsistensi dan mengurangi kekeruhannya (Barry, 1983). 18
b. TEA (Trietanolamin) Trietanolamin memiliki pH 10,5 dan larut dalam air, methanol, karbon tetraklorida dan aseton. Khasiat sebagai penetral pH carbopol agar terbentuk larutan jernih, sehingga gel transparan (Rowe, et al, 2009). Trietanolamin ditambahkan untuk mengentalkan gel setelah basis karbomer didispersikan. Trietanolamin akan menetralisisr resin basis karbomer yang mengandung etanol hingga 50% (Allen, 2 002). Netralisasi yang berlebihan (pH optimal 5-10) akan menghasilkan penurunan viskositas, yang tidak dapat balik dengan penambahan asam. pH sangat penting dalam menentukan viskositas basis gel karbomer (Allen, 2002). c. Gliserin Gliserin atau gliserol (BM 92,09) mengandung tidak kurang dari 95,0% dan tidak lebih dari 101,0% C3H8O3. Deskripsi senyawa berupa cairan kental, jernih, tidak berwarna, hanya boleh berbau khas lemah bukan bau yang keras atau tidak enak, rasanya manis, dan higroskopis. Gliserin dapat bercampur dengan air, etanol (95%) P, tidak larut dalam kloroform P, eter P, minyak lemak, dan minyak atsiri. Gliserin sebagai bahan tambahan yang digunakan untuk sediaan oral dapat berfungsi sebagai pelarut, pemanis, pengawet dan agent untuk menaikkan kekentalan (Price, 2003). d. Air Air atau aquadest merupakan bahan yang hampir selalu digunakan sebagai eksipien formulasi di bidang farmasi berupa cairan bening, tidak berwarna, tidak berbau dan tidak berasa. Aquadest memiliki titik didih 100°C (Galichet, 2005).
19
e. Natrium Lauril Sulfat Natrium Lauril sulfat (C12H25SO4 Na) memiliki sinonim sodium dodecil sulfat, sodium laurilsulfate; sodium monododecyl sulfate; sodium monolauryl sulfate merupakan surfaktan anionik. SLS dapat menurunkan tegangan permukaan larutan sehingga dapat melarutkan minyak serta membentuk mikro emulsi menyebabkan busa terbentuk. Memiliki massa molar 288.38 g/mol-1 densitas 1.01 g/mol-1 dengan titik lebur 206ᵒC. Memiliki pH 7,0 - 9,5, pemerian SLS berupa serbuk putih atau kuning kristal, memiliki rasa getir, tidak berbau (Price, 2003). f. Metilparaben Dalam formulasi farmasetika, produk makanan, dan terutama dalam kosmetik. Basanya digunakan methyl paraben sebagai bahan pengawet, dengan aktivitas paling efektif untuk jamur dan kapang. Methyl paraben larut dlam air, etanol (95%), eter (1:10), dan metanol. Bahan ini dapat digunakan tunggal maupun kombinasi dengan jenis paraben lain. Efektifitas pengawet ini memiliki pH 4-8. Dalam sediaan tropikal konsentrasi yang umum digunakan adalah 0,02-0,3% (Wade & Weller, 1994). g. Propilparaben Bahan pengawet propilparaben secara luas digunakan dala m kosmetik, makanan, dan produk farmasetika. Aktivitas antimikroba ditunjukan pad pH antara 4-8. Propilparaben sangat efektif terhadap jamur dan kapang. Disamping itu, propilparaben lebih aktif terhadap bakteri gram positif daripada gram negatif. Penggunaan kombinasi paraben dapat meingkatkan aktifitas antimikroba. Bahan ini sangat larut dalam aseton, ester dan minyak, mudah larut dalam etanol dan metanol, sangat sedikit larut dalam air. 20
Konsentrasi yang biasa digunakan untuk sediaan tropikal adalah 0,001-0,6 (Wade & Weller, 1994). h. Propilenglikol Selain sebagai humektan propilenglikol bisa digunakan sebagai pelarut untuk ekstrak dan juga pengawet dalam berbagai formulasi kosmetik. Bahan ini nontoksik dan sedikit mebgiritasi. Propilen glikol merupakan larutan jernih, tidak berwarna dan praktis tidak berbau. Propilenglikol pada sediaan tropikal bisa digunakan sebagai humektan dengan konsntrasi 15% (Wade & Weller, 1994).
21
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Waktu dan Tempat Penelitian
3.1.1
Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan selama 3 bulan dimulai dari bulan Maret sampai Mei. 3.1.2
Tempat penelitian
Untuk proses ekstraksi dan formulasi daun sirih merah ( Piper crocatum Ruiz & Pav) dilakukan di laboratorium formulasi STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya. 3.2
Alat dan Bahan
3.2.1
Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan neraca analitik, maserator, evaporator, gelas ukur 100 mL, corong, beaker glass 100 dan 200 mL, tabung reaksi, kapas, batang pengaduk, kasa dan kaki 3, tabung reaksi, spatula, indikator universal, pH meter, pipet tetes, kertas saring, viskometer Brookfield . 3.2.2
Bahan Penelitian
Etanol 70%, pereaksi Mayer, pereaksi Lieberman Burchard, FeCl3 1%, gelatin, kloroform, eter, HCl 1N dan 2N, CHCl3, ammonia 10%, pereaksi Mayer, pereaksi Dragendorf, pereaksi Bouchardat, logam Mg, amil alkohol, vanillin asam
22
sulfat, NaOH, metil paraben, propil paraben, gliserin, Na Lauryl Sulfat, TEA (Trietanolamin), carbomer, dan aquadest. 3.3
Sampel Penelitian
Sampel penelitian daun sirih merah ( Piper crocatum Ruiz & Pav) yang masih segar kemudian yang diambil dari daerah Cibeureum Tasikmalaya. 3.4
Prosedur Penelitian
3.4.1
Pembuatan Serbuk Daun Sirih Merah ( Piper crocatum Ruiz & Pav)
Daun sirih merah ( Piper crocatum Ruiz & Pav) yang masih segar ditimbang sebanyak 1000 g, kemudian dimasukkan ke dalam oven, selanjutnya diblender dan diayak dengan menggunakan pengayak no 40, sehingga didapat serbuk daun sirih merah. 3.4.2
Karakteristik Simplisia
1. Organoleptik
Pemeriksaaan secara visual yang dilakukan terhadap bentuk, warna, bau, dan rasa. 2. Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia dilakukan dengan prosedur umum dari Farnsworth (1966), yaitu: a. Alkaloid Bahan dibasakan dengan menggunakan larutan ammonia 10%. Larutan yang telah dibasakan tersebut kemudian diekstraksi menggunakan CHCl3. Ekstrak CHCl3 dikumpulkan kemudian diasamkan dengan larutan HCl 1N. Campuran dikocok, dibiarkan hingga terjadi pemisahan fase. Fase air diambil dan diuji
23
dengan pereaksi Mayer, Dragendorf, dan Bouchardat. Adanya endapan putih (Mayer), kuning jingga (Dragendorf), dan coklat (Bouchardat) menyatakan adanya alkaloid. Untuk menghindari adanya kesalahan karena adanya reaksi positif palsu alkaloid, maka ke dalam endapan diteteskan etanol. Endapanendapan yang diberikan oleh senyawa non alkaloid akan larut, sedangkan endapan yang diberikan oleh alkaloid tidak larut. b. Flavonoid Bahan digerus dalam mortir, kemudian masukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi logam Mg dan larutan HCl 2N. Seluruh campuran dipanaskan dalam air selama 5-10 menit, kemudian disaring panas-panas dan filtrat dibiarkan dingin. Kedalam filtrat ditambahkan amil alkohol dan dikocok kuat-kuat. Adanya flavonoid akan menyebabkan filtrat berwarna merah yang dapat ditarik oleh amil alkohol. c. Saponin Bahan dimasukkan kedalam tabung reaksi lalu dikocok kuat selama beberapa menit. Pembentukan busa sekurang-kurangnya setinggi 1 cm dan persisten selama beberapa menit dan tidak hilang dengan penambahan asam menun jukkan adanya saponin. d. Tanin dan Polifenol Sampel ditambah air panas, didihkan selama 15 menit, dinginkan lalu saring. Filtrat dibagi 2 bagian, dimasukkan dalam masing-masing tabung reaksi dan diuji
24
dengan FeCl 1% dan gelatin. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna hijau violet pada FeCl 1% dan terbentuk endapan putih pada gelatin. e. Steroid dan Triterpenoid Bahan disari dengan eter, kemudian sari eter diuapkan hingga kering. Pada residu ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuk warna merah, hijau biru, violet. f. Monoterpen dan Seskuiterpen Bahan disari dengan eter, kemudian sari eter diuapkan hingga kering. Pada residu diteteskan pereaksi anisaldehid atau vanillin. Terbentuknya warna-warna menunjukkan adanya senyawa monoterpen dan seskuiterpen. g. Kuinon Bahan diteteskan dengan NaOH. Terbentuknya warna kuning hingga merah menunjukkan adanya senyawa kelompok kuinon. 3.4.3
Ekstraksi
Metode Maserasi
Timbang simplisia yang sudah di serbukan sebanyak 500 gram. Masukan simplisia yang sudah ditimbang dalam maserator tambahkan etanol 70 % sebanyak 500 mL atau sampai simplisia terendam. Aduk campuran tersebut setiap 6 jam sekali dan di saring setiap 24 jam. Setiap 24 jam setelah disaring pelarut diganti dengan etanol 70% yang baru. Dilakukan selama 3×24 jam. Kemudian dimasukkan kedalam evaporator pada suhu 70°C, uapkan filtrat sampai membentuk ekstrak kental.
25
3.5
Penyusunan Formula Gel Sampo Ekstrak Etanol Daun Sirih Merah
Tabel 3.1 Formula Sediaan Gel Sampo Ekstrak Etanol Daun Sirih Merah Komposisi
Formulasi
Formulasi
Formulasi
1
2
3
2,5 %
2,5 %
2,5 %
Carbomer
1,5 %
2%
2,5 %
Gliserin
10 %
10 %
10 %
Metil Paraben
0,01 %
0,01 %
0,01 %
Propil Paraben
0,1 %
0,1 %
0,1 %
Na Lauryl Sulfat
9%
9%
9%
Pewangi (mint)
q.s
q.s
q.s
TEA
q.s
q.s
q.s
Ad 100 gram
Ad 100 gram
Ad 100 gram
Ekstrak Daun Sirih Merah
Aquadest
3.6
Pembuatan Sediaan Gel Sampo
Kembangkan basis gel menggunakan air hangat, aduk homogen dan sampai terbentuk masa yang semi solid, kemudian tambahkan gliserin sedikit demi sedkit dan tambahkan metil,propil paraben yang telah dilarutkan menggunakan gliserin, aduk lalu tambahkan TEA sampai terbentuk gel yang bening. Tambahkan Natrium Lauril sulfat yang sebelumnya telah dilarutkan terlebih dahulu dengan air sedikit demi sedikit aduk sampai homogen, tambahkan ekstrak etanol daun sirih merah dan pewangi mint.
26
3.7
Evaluasi Sediaan Gel Sampo
1. Pengamatan Organoleptik Pengamatan organoleptik dilakukan dengan mengamati perubahan-perubahan bentuk, bau, dan warna serta pengujian sineresis untuk melihat keluarnya air dalam sediaan gel shampo. Pengamatan dilakukan pada hari ke 1, 3, 5, 7, 14, 21, 28. 2. Pengukuran pH Pengukuran pH sediaan gel shampoo anti ketombe dilakukan dengan menggunakan pH meter digital. Pengamatan dilakukan pada hari ke 1, 3, 5, 7, 14, 21, 28. 3. Pengukuran Viskositas Pengukuran viskositas dilakukan dengan megunakan viskometer Brookfield. 4. Uji Hedonik Uji hedonik pada sediaan gel shampo dilakukan terhadap 3 formula sediaan. Pengujian ini dilakukan terhadap 15 orang panelis penilaian dilakukan terhadap kelembutan, banyaknya busa, bau, warna, dan kemudian dibersihkan.
27
DAFTAR PUSTAKA
Allen, L. V. 2002. The Art, Science and Technology of Pharmaceutical Compounding . Second Edition. Washington D.C. American Pharmaceutical Association. Anonim. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi ketiga. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Ansel, H.C,. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Diterjemahkan oleh Ibrahim, F,. Edisi IV. Jakarta. Universitas Indonesia Press. Ansel, Howard, C., 2008. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi 4. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Arifin, Z. 2006. Kajian Mikoriza Vesikula Arbuskula (MVA) dalam Menekan Perkembangan Penyakit Bercak Ungu (Alternaria Porri) pada Bawang Putih. Disertasi. Yogyakarta. Fakultas Ilmu Pertanian Universitas Gadjah Mada. Arishandy, D.N.A.T.A,. 2010. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Flavonoid dari Daun Sirih Merah (Piper betle L. var rebrum). Skripsi. Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Barry, W. 1983. Dermatological Formulations, Percutaneous Absorbtion. New York. Marcel Dekker Inc. De Hoog, G.S., Guarro, J., Gene, J., Figueras, M.J. 2000. Atlas of clinical fungi Vol. 1. 2nd edition. Utrecht (Netherlands): Centralbureau voor Schimmelcultures (CBS).
28
Departemen Kesehatan. 2006. Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia. Vol.2. Jakarta. Depkes RI. Farnsworth, N. R,. 1966. Biological and Phytochemical Screening of Plants. J.Pharm. Sci. Galichet, L.Y,. 2005. Cellulose, Microcrystalline in Rowe, C.R., Sheskey, P.J., and Owen, S.C., Handbook of Pharmaceutical Excipients, 5th Ed ,. London. The Pharmaceutical Press. Harahap, M. 1990. Penyakit Kulit . Jakarta : PT. Gramedia. Herdiana, Y,. 2007. Formulasi Gel Undesilenil Fenilalanin dalam Aktifitas sebagai Pencerah Kulit . Karya ilmiah. Universitas Padjadjaran. Jatinangor. Hezmela, R. 2006. Daya Antijamur Ekstrak Lengkuas Merah (Alpinia purpurata K. Schum) dalam Sediaan Salep. Skripsi. Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Juliantina, F., Citra, D.A., Nirwani, B., Nurmasitoh, T., Bowo, E.T. 2009. Manfaat Sirih Merah (Piper crocatum) sebagai Agen Antibakterial terhadap Bakteri Gram Positif dan Gram Negatif . Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Indonesia 1. Kibbe, A.H. 2000. Handbook of Pharmaceutical Excipients, 3rd ed ,. London. The Pharmaceutical Press. Lachman, L, Lieberman, H, A, dkk. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri. Edisi III. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia, U I – Press.
29
Lund, Walter. (1994). The Pharmaceutical Codex, 12th edition. London. The Pharmaceutical Press. Mottram, F.J., and Lees, C.E. 2000. Hair Treatments, Poucher’s Perfume Cosmetics and Soap. Kluwer Academic Publisher, London. Rigano, L.,Lionetti, N., Otero, R,. 2009. Quillaja Triterpenic Saponins – The Natural Foamers. International Journal for Applied Science. Rook, A. and R. Dawber. 1991. Disease of The Hair and Scalp, 2nd ed ,. Blackwell Scientific Pub. London. Rowe, R.C. et Al. (2009). Handbook Of Pharmaceutical Excipients. 6th Ed. London. The Pharmaceutical Press. Sudewo, B. 2005. Basmi penyakit dengan sirih merah. Jakarta: Agromedia Pustaka. Sudewo, B. 2010. Basmi Penyakit dengan Sirih Merah: Sirih Merah Pembasmi Aneka Penyakit . Jakarta: Agromedia Pustaka. Sylvia A Price, Lorraine M Wilson. 2003. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit edisi 6 volume 1. Jakarta : Penerbit Buku kedokteran EGC. Toruan, T. 1989. Ketombe dan Penanggulangannya. Jakarta : Pustaka. Tranggono, R.I. dan Latifah F. 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik . Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. Voigt, R. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Diterjemahkan oleh Soendani N. S. Yogyakarta. UGM Press.
30