BAB II TINJAUAN TEORI
A. LANSIA 1. Pengertian Lansia Menurut World Health Organisation (WHO), lansia adalah seseorang yang telah memasuki usia 60 tahun keatas. Lansia merupakan kelompok umur pada manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya. Kelompok yang dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu proses yang disebut Aging Process atau proses penuaan. Proses penuaan adalah siklus kehidupan yang ditandai dengan tahapantahapan menurunnya berbagai fungsi organ tubuh, yang ditandai dengan semakin rentannya tubuh terhadap berbagai serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian misalnya pada sistem kardiovaskuler dan pembuluh darah, pernafasan, pencernaan, endokrin dan lain sebagainya. Hal tersebut disebabkan seiring meningkatnya usia sehingga terjadi perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Perubahan tersebut pada umumnya mengaruh pada kemunduran kesehatan fisik dan psikis yang pada akhirnya akan berpengaruh pada ekonomi dan sosial lansia. Sehingga secara umum akan berpengaruh pada activity of daily living (Fatmah, 2010). 2010). Lanjut usia adalah seseorang yang berusia lebih dari 65 atau 70 tahun yang dibagi lagi dengan 70-75 tahun ( young ( young old ), ), lebih dari 80 tahun (very (very old ) (Setyonegoro, dalam Azizah, 2011). Sedangkan menurut Reimer et al, Stanley and Beare (2007), mendefinisikan lanjut usia berdasarkan karakteristik sosial masyarakat yang menganggap bahwa orang yang telah tua menunjukan ciri fisik seperti rambut beruban, kerutan kulit dan hilangnya gigi. Dalam peran masyarakat tidak bisa melaksanakan lagi fungsi peran orang dewasa, seperti pria yang tidak lagi
berkaitan dengan kegiatan ekonomi produktif, dan wanita tidak dapat memenuhi tugas rumah tangga. Kriteria simbolik seseorang dianggap tua ketika cucu pertamanya lahir. Berdasarkan definisi Ma’rifatul (2011), Setyonegoro (dalam Azizah, 2011) dan Reimer et al, Stanley and Beare (2007). Dapat disimpulkan bahwa Lanjut usia adalah bagian dari proses tumbuh kembang yang terjadi didalam suatu kehidupan. Proses per kembangan itu dimulai dari bayi, anak-anak, dewasa dan akhirnya menjadi tua. Lanjut usia menunjukan ciri fisik seperti rambut beruban, kulit mengendur, dan kehilangan gigi, dan dialam peran masyarakat nya lanjut usia tidak bisa lagi melaksanakan fungsi peran orang dewasa, seperti pria yang tidak lagi berkaitan dengan kegiatan ekonomi produktif, dan wanita tidak dapat memenuhi tugas rumah tangga. Dan seseorang lanjut usia adalah seseorang yang berusia lebih dari 65 atau 70 tahun. Corak perkembangan proses penuaan bersifat lambat namun dinamis dan bersifat individual baik secara fisiologis maupun patologis, karena banyak dipengaruhi oleh riwayat maupun pengalaman hidup di masa lalu yang terkait dengan faktor biologis, psikologis, spiritual, fungsional, lingkungan fisik dan sosial. Perubahan struktur dan penurunan fungsi sistem tubuh tersebut diyakini memberikan dampak yang signifikan terhadap gangguan homeostasis sehingga lanjut usia mudah menderita penyakit yang terkait dengan usia misalnya: stroke, Parkinson, dan osteoporosis dan berakhir pada kematian. Penuaan patologis dapat menyebabkan disabilitas pada lanjut usia sebagai akibat dari trauma, penyakit kronis, atau perubahan degeneratif yang timbul karena
stres
yang
dialami
oleh
individu.
Stres
tersebut
dapat
mempercepat penuaan dalam waktu tertentu, selanjutnya dapat terjadi akselerasi proses degenerasi pada lanjut usia apabila menimbulkan penyakit fisik. Oleh karena itu diperlukannya pelaksanaan program terapi yang diperlukan suatu instrument atau parameter yang bisa digunakan untuk
mengevaluasi kondisi lansia, sehingga mudah untuk menentukan program terapi selanjutnya. Tetapi tentunya parameter tersebut harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan dimana lansia itu berada, karena hal ini sangat individual sekali, dan apabila dipaksakan justru tidak akan memperoleh hasil yang diharapkan. Dalam keadaan ini maka upaya pencegahan berupa latihan-latihan atau terapi yang sesuai harus dilakukan secara rutin dan berkesinambungan. Terapi yang dilakukan yaitu Terapi Aktivitas Kelompok dengan judul Terapi Okupasi (kemoceng rafia).
B. TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK 1. Konsep Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) a. Definisi terapi aktivitas kelompok Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu dengan yang lain, saling bergantung dan memiliki norma yang sama (Stuart & Laraia, 2001).anggota kelompok mungkin datang dari berbagai latar belakang yang harus ditangani sesuai dengan keadaannya, seperti agresif, takut, kebencian, kompetitif, kesamaan, ketidaksamaan, kesukaan, dan menarik (Yalom, 1995 dalam Stuart & Laria, 2001).semua kondisi ini akan mempengaruhi dinamika kelompok, ketika anggota kelompok memberi dan menerima umpan balik yang berarti dalam berbagai interaksi yang terjadi dalam kelompok (Kelliat dan Akemat, 2005). b. Tujuan dan Fungsi Kelompok Tujuan kelompok adalah membantu anggotanya berhubungan dengan orang lain serta mengubah perilaku yang destruktif dan maladaptifkekuatan kelompok ada 9 menemukan hubungan interpersonal yang baik, serta mengembangkan perilaku yang adaptif. Anggota kelompok merasa dimiliki, diakui, dan dihargai eksistensinya oleh anggota kelompok yang lain. c. Komponen Dalam Aktivitas Kelompok Menurut Keliat dan Akemat (2005) dalam pelaksanaan tarapi aktivitas kelompok ada delapan komponen yang perlu diperhatikan antara lain : 1) Struktur kelompok
Sruktur
kelompok
menjelaskan
batasan,
komunikasi,
proses
pengambilan keputusan, dan otoritas dalam kelompok. Stuktur kelompok menjaga stabilitas dan membantu pengaturan pada perilaku dan interaksi. Stuktur dalam kelompok diatur dengan adanya pemimpin dan anggota, arah komunikasi dipadu oleh pemimpin, sedangkan keputusan diambil secara bersama. 2) Besar kelompok Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang anggotanya berkisar antara 5-12 orang. Jumlah anggota kelompok kecil menurut Struart dan Laria (2001) adalah 7-10 orang, menurut Lancester (1980) adalah 10-12 orang, sedangkan menurut Rawlins, Williams, dan Beck (1993) adalah 5-10 orang. Jika anggota kelompok terlalu besar akibatnya tidak semua anggota mendapat kesempatan mengungkapkan perasan, pendapat, dan 10 pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi yang terjadi dikutip dari Kelliat dan Akemat, 2005. d. Lamanya sesi Waktu optimal untuk satu sesi adalah 15-25 menit bagi fungsi kelompok yang rendah dan 60-120 menit bagi fungsi kelompok yang tinggi Stuart & Laraia, 2001. Biasanya dimulai dengan pemanasan berupa orientasi, kemudian tahap kerja, dan finishing berupa terminasi. Banyaknya sesi tergantung pada tujuan kelompok, dapat satu kali / dua kali per minggu; atau dapat direncanakan sesui dengan kebutuhan. e. Komunikasi Salah satu ugas pemimpin kelompok yang penting adalah mengoservasi dan menganaliss pola komunikasi dalam kelompok. Pemimpin menggunakan umpan balik untuk memberi kesadaran pada anggota kelompok terhadap dinamika yang terjadi. Pemimpin kelompok dapat memgkaji hambatan dalam kelompok, konflik interpersonal, tingkat kompetisi, dan seberapa jauh anggota kelompok mngerti serta melaksanakan kegiatan yamg di laksanakan. f. Peran Kelompok Pemimpin perlu megobservasi peran yang terjadi dalam kelompok. Ada tiga peran dan fungsi kelompok yang
ditampilkan anggota kelompok dala kerja, yaitu (Beme & Sheat,1948 dala Stuart & Laraia, 2001), maintenance roles, task roes, dan ndividual role. 11 Maintenance roles, yaitu peran serta aktif dalam proses kelompok dan fungsi kelompok. Task roles, yaitu fokus pada penyelesaian tugas. Individual roles adalah selft – centered dan distraksi pada kelompok. g. Kekuatan Kelompok Kekuatan (power) adalah kemampuan anggota kelompok dalam memengaruhi berjalannya kegiatan kelompok. Untuk menetapkan kekuatan anggota kelompok yang bervariasi diperlukan kajian siapa yang paling banyak mendengar, dan siapa yang membuat keputusan dalam kelompok. h. Norma kelompok Norma adalah standar perilaku yang ada dalam kelompok. Pengharapan terhadap prilaku kelompok pada masa yang akan datang berdasarkan pengalaman masa lalu dan saat ini. Kesesuaian perilaku anggota kelompok dengan norma kelompok, penting dalam menerima anggota kelompok Anggota kelompok yang tidak mengikuti norma dianggap pemberontakan dan ditolak anggota kelompok lain. i.
Kekohesifan Kekohesifan adalah kekuatan anggota kelompok bekerja sama dalam mencapai tujuan. Hal ini mempengaruhi anggota kelompok untuk tetap betah dalam kelompok. Apa yang membuat anggota kelompok tertarik dan puas terhadap kelompok, perlu diidentifikasi agar kehidupan kelompok dapat dipertahankan. 12
j.
Tahap-tahap Dalam Terapi Kelompok Menurut (Yosep, 2007) ada tiga tahap yaitu: Tahap 1 : Tahap ini dimana therapist membentuk hubungan kerja dengan para anggota kelompok. Tujuannya ialah agar para anggota saling mengenal, mengetahui tujuan serta membiasakan diri untuk melakukan diskusi kelompok. Tahap 2 : Terutama tercapainya tranference dan perkembangan identitas kelompok. Tranferece ialah suatu perilaku atau keinginan seorang pasien (misalnya si A) yang seharusnya ditujukan kepada seseorang lain
(misalnya si B) tetapi dialihkan kepada orang lain lagi (si C, misalnya therapist) contoh: perilaku seorang lansia seharusnya ditujukan kepada orang tuanya tetapi didalam kenyataanya dialihkan kepada therapist. Perkembangan identitas kelompok ialah tercapainya suatu “sense of belonging” atau rasa menyatu dan berdasarkan kesatuan itu mereka merasa mempunyai kesamaan dalam problem atau kesamaan dalam konflik ini makin memberikan ikatan di antara kelompok. Tahap 3 : Disebut tahap mutualisis (saling menganalisa), yaitu setiap orang akan mendapatkan informasi atau reaksi atas apa yang sudah dikemukakan. Dengan mendapat reaksi yang macam-macam, maka kelompok juga dapat 13 mengambil kesimpulan reaksi mana yang benar. Dengan demikian setiap orang akan mendapat koreksi atau kesan kelompok secara umum atau tingkah lakunya. k. Idikasi dan Kontra Indikasi Menurut (Yosep, 2007) semua lansia rehabilitasi perlu mendapatkan terapi kelompok kecuali mereka yang mengalami : 1) Psikopat dan sosiopat. 2) Selalu diam dan / atau austitik. 3) Delusi yang tidak terkontrol. 4) Lansia yang mudah bosan. 5) Lansia rehabilitasi ambulatory yang tidak termasuk psikosis, tidak menunjukkan gejala regresi dan halusinasi dan ilusi yang berat dan orang-orang dengan kepribadian sciozoid serta neurotik. 6) Pasien dengan ego psiko patologi berat yang menyebabkan psikotik
kronik
sehingga
menyebabkan
toleransi
terhadap
kecemasan rendah dan adaptasi yang kurang i. Program terapi aktivitas pada lansia Terapi Modalitas
Pengertian Terapi modalitas adalah Kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu luang bagi lansia.
Tujuan a.
Mengisi waktu luang bagi lansia
b.
Meningkatkan kesehatan lansia
c.
Meningkatkan produktifitas lansia
d.
Meningkatkan interaksi sosial antar lansia
J enis K egiatan : a.
Psikodrama Bertujuan untuk mengekspresikan perasaan lansia. Tema dapat dipilih sesuai dengan masalah lansia.
b. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Terdiri
atas
7-10
orang.
Bertujuan
untuk
meningkatkan
kebersamaan, bersosialisasi, bertukar pengalaman, dan mengubah perilaku. Untuk terlaksananya terapi ini dibutuhkan Leader, Co Leader, dan fasilitator . Misalnya : cerdas cermat, tebak gambar, dan lain-lain. c.
Terapi Musik Bertujuan untuk mengibur para lansia seningga meningkatkan gairah hidup dan dapat mengenang masa lalu. Misalnya : lagulagu kroncong, musik dengan gamelan
d.
Terapi Berkebun Bertujuan
untuk
melatih
kesabaran,
kebersamaan,
dan
memanfaatkan waktu luang. Misalnya : penanaman kangkung, bayam, lombok, dll e.
Terapi dengan Binatang Bertujuan untuk meningkatkan rasa kasih sayang dan mengisi hari-hari sepinya dengan bermain bersama binatang. Misalnya : mempunyai peliharaan kucing, ayam, dll
f.
Terapi Okupasi Bertujuan untuk memanfaatkan waktu luang dan meningkatkan produktivitas dengan membuat atau menghasilkan karya dari bahan yang telah disediakan. Misalnya : membuat kipas, membuat
keset, membuat sulak dari tali rafia, membuat bunga dari bahan yang mudah di dapat (pelepah pisang, sedotan, botol bekas, biji bijian, dll), menjahit dari kain, merajut dari benang, kerja bakti (merapikan kamar, lemari, membersihkan lingkungan sekitar, menjemur kasur, dll) g.
Terapi Kognitif Bertujuan agar daya ingat tidak menurun. Seperti menggadakan cerdas cermat, mengisi TTS, tebak-tebakan, puzzle, dll
h. Life Review Terapi Bertujuan untuk meningkatkan gairah hidup dan harga diri dengan menceritakan pengalaman hidupnya. Misalnya : bercerita di masa mudanya i.
Rekreasi Bertujuan
untuk
meningkatkan
sosialisasi,
gairah
hidup,
menurunkan rasa bosan, dan melihat pemandangan. Misalnya : mengikuti senam lansia, posyandu lansia, bersepeda, rekreasi ke kebun raya bersama keluarga, mengunjungi saudara, dll. j.
Terapi Keagamaan Bertujuan untuk kebersamaan, persiapan menjelang kematian, dan meningkatkan rasa nyaman. Seperti menggadakan pengajian, kebaktian, sholat berjama’ah, dan lain-lain.
k. Terapi Keluarga Terapi keluarga adalah terapi yang diberikan kepada seluruh anggota keluarga sebagai unit penanganan (treatment unit). Tujuan
terapi
keluarga
adalah
agar
keluarga
mampu
melaksanakan fungsinya. Untuk itu sasaran utama terapi jenis ini adalah
keluarga
yang
mengalami
disfungsi;
tidak
bisa
melaksanakan fungsi-fungsi yang dituntut oleh anggotanya. Dalam terapi keluarga semua masalah keluarga yang dirasakan diidentifikasi dan kontribusi dari masing-masing anggota keluarga terhadap munculnya masalah tersebut digali. Dengan demikian
terlebih dahulu masing-masing anggota keluarga mawas diri; apa masalah yang terjadi di keluarga, apa kontribusi masing-masing terhadap timbulnya masalah, untuk kemudian mencari solusi untuk mempertahankan keutuhan keluarga dan meningkatkan atau mengembalikan fungsi keluarga seperti yang seharusnya. Proses terapi keluarga meliputi tiga tahapan yaitu fase 1 (perjanjian), fase 2 (kerja), dan fase 3 (terminasi). Di fase pertama perawat dan klien mengembangkan hubungan saling percaya,
isu-isu
keluarga
diidentifikasi,
dan tujuan terapi
ditetapkan bersama. Kegiatan di fase kedua atau fase kerja adalah keluarga dengan dibantu oleh perawat sebagai terapis berusaha mengubah
pola
interaksi
di
antara
anggota
keluarga,
meningkatkan kompetensi masing-masing individual anggota keluarga, eksplorasi batasan-batasan dalam keluarga, peraturan peraturan yang selama ini ada. Terapi keluarga diakhiri di fase terminasi di mana keluarga akan melihat lagi proses yang selama ini dijalani untuk mencapai tujuan terapi, dan cara-cara mengatasi isu yang timbul. Keluarga juga diharapkan dapat mempertahankan perawatan yang berkesinambungan.
C. TERAPI OKUPASI 1. Pengertian Terapi okupasi merupakan terapi yang terarah dan bertujuan dimana tidak ada waktu luang yang percuma tetapi semua waktu yang ada kita manfaatkan untuk suatu kegiatan yang berguna bagi diri kita. Terapi okupasi adalah usaha penyembuhan melalui kesibukan atau pekerjaan tertentu. Terapi okupasi adalah salah satu jenis terapi kesehatan yang merupakan bagian dari rehabilitas medis dan keperawatan. Terapi okupasi adalah ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipasi seseorang dalam melaksanakan suatu tugas terpilih yang telah ditentukan dengan maksud mempermudah belajar fungsi dan keahlian yang dibutuhkan
dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Prinsip : Pasien tidak merasa dipaksa, tetapi memahami kegiatan ini sebagai suatu kebutuhan dan akhir suatu keahlian yang dapat dijadikan bekal hidup. Sehingga lansia dapat memakai waktu luangnya / pensiunannya untuk berkreasi dan beraktivitas. 2. Sasaran Terapi Okupasi Terapi okupasi dilakukan secara terarah bagi pasien fisik maupun mental dengan menggunakan aktivitas sebagai media terapi dalam rangka memulihkan kembali fungsi seseorang sehingga dia dapat mandiri semaksimal mungkin. Fungsi dan tujuannya diantaranya : a.
Terapi khusus untuk pasien mental/jiwa 1)
Menciptakan suatu kondisi tertentu sehingga pasien dapat mengembangkan kemampuannya untuk dapat berhubungan dengan orang lain dan masyarakat sekitarnya.
2)
Membantu dalam melampiaskan gerakan-gerakan emosi secara wajar dan produktif.
3)
Membantu menemukan kemampuan kerja yang sesuai dengan bakat dan keadaannya.
4)
Membantu dalam pengumpulan data guna penegakan diagnose dan penetapan terapi lainnya.
b. Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi fisik, meningkatkan ruang gerak sendi, kekuatan otot dan koordinasi gerakan pada lansia. c. Mengajarkan aktivitas kehidupan sehari-hari, seperti makan, berpakaian, belajar menggunakan fasilitas umum (telepon, tv, dan lain-lain), baik dengan maupun tanpa alat bantu, mandi yang bersih, dan lain-lain. d. Membantu pasien untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan rutin di rumah/panti, dan memberi saran penyederhanaan (siplifikasi) ruangan maupun letak alat-alat kebutuhan sehari-hari.
e. Meningkatkan toleransi kerja, memelihara dan meningkatkan kemampuan yang masih ada. f.
Menyediakan berbagai macam kegiatan untuk dijajaki oleh pasien sebagai langkah dalam pre-cocational training. Dari aktivitas ini akan dapat diketahui kemampuan mental dan fisik, kebiasaan kerja, sosialisasi, minat, potensi dan lain-lainnya dari si pasien dalam mengarahkannya kepekerjaan yang tepat dalam latihan kerja.
g. Membantu penderita untuk menerima kenyatan dan menggunakan waktu selama masa rawat dengan berguna. h. Mengarahkan minat dan hoby agar dapat digunakan setelah kembali ke keluarga.
Program terapi okupasi adalah bagian dari pelayanan kesehatan untuk tujuan rehabilitasi total seseorang pasien melalui kerja sama dengan petugas lain di dalam layanan kesehatan. Dalam pelaksanaan okupasiterapi kelihatannya akan banyak overlapping dengan terapi lainnya, sehingga dibutuhkan adanya kerjasama yang terkoordinir dan terpadu. 3. Indikasi dan kontraindikasi untuk terapi okupasi a.
Indikasi untuk terapi okupasi Seseorang yang kurang berfungsi dalam kehidupannya karena kesulitan
kesulitan
yang
dihadapi
dalam
pengintegrasian
perkembangan psikososialnya b.
Kelainan
tingkah
laku
yang
terlihat
dalam
kesulitannya
berkomunikasi dengan orang lain. c.
Tingkah laku tidak wajar dalam mengekpresikan perasaan atau kebutuhan yang primitif
d.
Ketidak
mampuan
menginterprestasikan
rangsangan
reaksinya terhadap rangsangan tersebut tidak wajar pula
sehingga
e.
Terhentinya seseorang dalam fase pertumbuhan tertentu atau seseorang yang mengalami kemunduran
f.
Mereka yang lebih mudah mengekspresikan perasaannya melalui suatu aktivitas dari pada dengan percakapan
g.
Mereka yang merasa lebih mudah mempelajari sesuatu dengan cara mempraktikannya dari pada dengan membayangkan
h.
Pasien cacat tubuh yang mengalami gangguan dalam kepribadiannya
4. Kontra Indikasi untuk terapi okupasi Kontra indikasi dari terapi ini pada klien yg tidak memiliki mobilitas fisik yang baik seperti klien yg tidak memiliki ekstremitas. 5. SPO (Sasaran Prosedur Oprasional) a.
Persiapan 1) Penetuan materi latihan 2) Materi latihan dipilih dan ditentukan dengan memperhatikan karakteristik atau cara khas masing – masing klien. 3) Penetuan cara atau pendekatan dengan system kelompok / individu. 4) Penentuan waktu 5) Kapan latihan diberikan pagi, siang atau sore hari dan berapa lamanya. 6) Penetuan tempat disesuaikan dengan keadaan klien, materi latihan dan alat yang digunakan.
b.
Metode Okupasiterapi dapat dilakukan baik secara individual, maupun berkelompok, tergantung dari keadaan pasien, tujuan terapi dan lain-lain: 1)
Metode individual dilakukan untuk:
2)
Pasien baru yang bertujuan untuk mendapatkan lebih banyak informasi dan sekaligus untuk evaluasi pasien
3)
Pasien yang belum dapat atau mampu untuk berinteraksi dengan cukup baik didalam suatu kelompok sehingga dianggap akan mengganggu kelancaran suatu kelomppok bila dia dimasukan dalam kelompok tersebut
4)
Pasien yang sedang menjalani latihan kerja dengan tujuan agar terapis dapat mengevaluasi pasien lebih efektif
c.
Metode kelompok dilakukan untuk: 1)
Pasien lama atas dasar seleksi dengan masalah atau hamper bersamaan, atau dalam melakukan suatu aktivitas untuk tujuan tertentu bagi bebrapa pasien sekaligus.
2)
Sebelum memulai suatu kegiatan baik secara individual maupun kelompok maka terapis harus mempersiapkan terlebih dahulu segala sesuatunya yang menyangkut pelaksanaan kegiatan tersebut.
3)
Pasien juga perlu dipersiapkan dengan cara memperkenalkan kegiatan dan menjelaskan tujuan pelaksanaan kegiatan tersebut sehingga dia atau mereka lebih mengerti dan berusaha untuk ikut aktif. Jumlah anggota dalam suatu kelompok disesuaikan dengan jenis aktivitas yang akan dilakaukan, dan kemampuan terapis mengawasi.
4)
Waktu Terapi okupasi dilakukan antara 1 – 2 jam setiap session baik yang individu maupun kelompok setiap hari, dua kali atau tiga kali seminggu tergantung tujuan terapi, tersedianya tenaga dan fasilitas, dan sebagainya. Ini dibagi menjadi dua bagian yaitu ½ - 1 jam untuk menyelesaikan kegiatankegiatan dan 1 – 1 ½ jam untuk diskusi. Dalam diskusi ini dibicarakan mengenai pelaksanaan kegiatan tersebut, antara lain kesulitan yang dihadapi, kesan mengarahkan diskusi tersebut kearah yang sesuai dengan tujuan terapi.
d. Terminasi Keikutsertaan seseorang pasien dalam kegiatan terapi okupasi dapat diakhiri dengan dasar bahwa pasien : 1)
Dianggap telah mampu mengatsi persolannya
2)
Dianggap tidak akan berkembang lagi
3)
Dianggap
perlu
mengikuti
program
lainnya
sebelum
okupasiterapi e. Evaluasi Hasil Klien
mempertahankan
kemampuannya
melakukan
aktivitas sehari – hari dalam lingkungan yang berstruktur Klien menunjukkan perawatan diri yang baik pada segi nutrisi maupun dirinya Klien menunjukkan hubungan sosialisasi yang baik pada keluarga dan lingkungan sekitar.
6. Evaluasi Terapi okupasi Evaluasi harus dilaksanakan secara teratur dan terencana sesuai dengan tujuan terapi. Hal ini perlu agar dapat menyesuaikan program terapi selanjutnya sesuai dengan perkembangan pasien yang ada. Dari hasil evaluasi dapat direncanakan kemudian mengenai peneyesuain jenis aktivitas yang kan diberikan. Namun dalam hal tertentu penyesuain aktivitas dapat dilakukan setelah bebrapa waktu setelah melihat bahwa tidak ada kemajuan atau kurang efektif terhadap pasien. Hal-hal yang perlu di evalausi antara lain adalah sebagi berikut: a.
Kemampuan membuat keputusan
b. Tingkah laku selama bekerja c.
Kesadaran adanya orang lain yang bekerja bersama dia dan yang mempunyai kebutuhan sendiri
d.
Kerjasama
e.
Cara memperlihatkan emosi (spontan, wajar, jelas, dan lai n-lain).
f.
Inisiatif dan tanggung jawab
g.
Kemampuan untuk diajak atau mengajak berunding
h.
Menyatakan perasaan tanpa agresi
i.
Kompetisi tanpa permusuhan
j.
Menerima kritik dari atasan atau teman sekerja
k.
Kemampuan menyatakan pendapat sendiri dan apakah bertanggung jawab atas pendapatnya tersebut
l.
Menyadari keadaan dirinya dan menerimanya
m. Wajar dalam penampilan n.
Orientasi, tempat, waktu, situasi, orang lain
o.
Kemampuan menrima instruksi dan mengingatnya
p.
Kemampuan bekerja tanpa terus menerus diawasi
q.
Kerapian bekerja
r.
Kemampuan merencanakan suatu pekerjaan
s.
Toleransi terhadap frustasi
t.
Lambat atau cepat
Salah satu dari Terapi Okupasi yaitu membuat kemoceng menggunakan rafia. Sebagai penyembuhan untuk lansia melalui kesibukan atau pekerjaan tertentu.
D. KEMOCENG RAFIA 1. Pengertian Sulak atau Kemoceng merupakan alat manual yang berfungsi untuk membersihkan debu pada benda dengan cara dikibas-kibaskan. Alat ini biasanya berbahan dasar tali ataupun bulu yang bersifat halus. Jika berbahan dasar tali, maka bentuk alatnya terdiri dari tangkai dan helai rambut untuk menghapus debu. Namun, jika berbahan dasar bulu, maka bentuk alatnya terdiri dari tangkai dan daun pembersih. Tali Rafia adalah lebih mudah mendapatkan dan merangkainya dibanding bahan dasar dari bulu. 2. Pembuatan kemoceng Beberapa hal yang berkaitan dengan proses pembuatan Sulak atau Kemoceng dari Tali Rafia bisa disimak di bawah ini: a.
Bahan-Bahan yang Diperlukan: 1)
Tali Rafia secukupnya
2)
Batang kayu sepanjang 30-40 Cm
b. Alat-Alat yang Digunakan: 1) Gunting; 2) Cutter/Pemotong; 3) Sisir paku (terbuat dari kayu dan ditancapi paku runcing) 4) Jarum/Peniti
c. Cara Membuatnya: 1) Potong tali Rafia dengan ukuran 20-30 Cm untuk membuat helai rambut (tali pendek); 2) Rentangkan tali Rafia sepanjang 2-3 m (tali panjang) sebagai tali pengikat utama;
3) Ikatan sebanyak mungkin tali Rafia yang sudah dipotong (pendek) dengan bentuk terbagi dua sama panjang pada rentangan tali pengikat utama; 4) Jika ikatan pada tali pengikat utamanya sudah banyak dan memanjang hingga 2-3 m, sisir menggunakan sisir paku hingga berbentuk serabut atau helai rambut tipas, kecil, dan halus. Jika belum mempunyai sisir paku, bisa menggunakan jarum atau peniti untuk menyayat dan membentuk rafia menjadi serabut halus; 5) Jika sudah halus, potong bagian rambut yang belum rapi menggunakan gunting agar sama panjang; 6) Setelah rapi, ikatkan dengan kencang melingkar (spiral) pada batang kayu dimulai dari atas hingga ke bawah (sekitar 3/4 ukuran batang kayu); 7) Sisihkan tempat (1/4 ukuran batang kayu) sebagai pegangan dan hias serta buat tempat gantungan menggunakan sisa tali Rafia.