BAB I ANATOMI DAN FISIOLOGI PARU – PARU A. ANATOMI PARU - PARU Paru-paru terletak didalam rongga dada. Fungsi utama paru sebagai
organ adalah pertukaran gas oksigen dan karbondioksida yang ada didalam darah dengan udara pernapasan sehingga kadar PO2 dan PCO2 dalam darah arteri tetap normal. Paru- paru terdiri dari : 1. Trachea atau batang tenggorokan berupa pipa tempat lalunya udara. Udara yang dihirup dari hidung dan mulut akan ditarik ke trachea menuju paru-paru. 2. Bronchus merupakan batang yang menghubungkan paru-paru kanan dan kiri dengan trachea. Udara dari trachea akan di bawa keparu-paru lewat batang ini. 3. Bronchioles merupakan cabang-cabang dari bronchi berupa tabungtabung kecil yang jumlahnya sekitar 30.000 buah untuk satu paru-paru. Bronchioles ini akan membawa oksigen lebih jauh ke dalam paru-paru. paru -paru. 4. Alveoli merupakan ujung dari bronchioles yang jumlahnya sekitar 600 juta pada paru-paru manusia dewasa. Pada aveoli ini oksigen akan didifusi menjadi karbondioksida yang diambil dari dalam darah. Gambar Gam bar 1 1.1 .1 Anat Anatomi omi P Paruaru- aru
Sumber : Breathmatters.org, Breathmatters.org, 2011
Paru-paru kanan terdiri dari tiga belah lobus. Tiga lobus tersebut adalah lobus pulmo dekstra superior, lobus media, dan lobus inferior. Paru-paru kiri terdiri dari pulmo sinester lobus superior dan lobus inferior. Tiap lobus terdiri dari belahan-belahan yang lebih kecil bearnama segment. Paru-paru kiri mempunyai sepuluh segmen yaitu terdiri dari lima segmen lobus superior dan lima segmen lobus inferior. Paru-paru kanan mempunyai sepuluh segmen yaitu lima segmen pada lobus superior, dua segmen pada lobus medialis, dan liga segmen pada lobus inferior. Tiap segmen ini masih dibagi menjadi belahan-belahan yang yang disebut disebut lobulus Diantara lobulus satu dengan yang lain dibatasi oleh jaringan ikat yang berisi pembuluh-pembuluh darah getah being dan saraf-saraf, dalam setiap lobulus terdapat
sebuah bronkiolus. bronkiolus. Di dalam lobulus, lobulus, bronkiolus ini ini
bercabang-cabang banyak sekali, cabang-cabang ini disebut duktus alveolus, yang berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2-0,3 mm. Gambar 1.2 Segmen Paru-paru
Sumber : Diktat Anatomi Unnisula, 2011
Paru-paru terdiri atas dua buah bagian yaitu kanan dan kiri yang dibungkus oleh dua lapisan pluera yaitu pleura visceralis yang melekat dan menutupi paru-paru dan pleura parietalis yang melekat pada dinding chest. Diantara kedua pleura tekanan negatif yang memudahkan paru-paru mengembang dan terdapat cairan sebagai pelicin agar tidak terjadi irirtasi saat respirasi dan paru-paru mengembang. Gambar 1.3 Anatomi Pleura
Sumber : Wikipedia, 2014 Secara normal, ruang pleural mengandung sejumlah kecil cairan (5 sampai 15ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi (Smeltzer C Suzanne, 2002). B. Fisiologi Paru-paru 1. Mekanisme Pernapasan
Proses pernapasan pada saat inhalation (inspirasi) dimana kerja otot-otot pernapasan harus mampu membuat tekanan intraalveolar lebih rendah dari tekanan atmosfer, maka maka udara akan masuk masuk ke paru-paru disertai dengan berkontraksinya otot-otot intercostalis dan diagrfagma kontaksi (ke arah bawah) akibat tekanan dari paru-paru. Sedangkan proses pernapasan saat exhalation ( ekspirasi ) udara akan keluar jika teknan intraalveolar lebih besar
dari pada tekanan atmosfir. Hal ini terjadi bila otot-otot pernapasan kembali ke posisi rileks, dimana diagfragma akan bergerak ke atas, sehngga akan menekan paru-paru yang menyebabkan peningkatan tekanan intraalveolar. Demikan pula dengan otot-otot intercostalis pada saat bergerak ke posisi rileks, maka sangkar toraks akan turun ke posisi preinspirasi. Gambar 1.5 Mekanisme Pernapasan
2. Mekanisme Pertukaran Gas
Alveoli paru-paru/kantong udara merupakan kantong kecil dan tipis yang melekat erat dengan lapisan pembuluh darah halus (kapiler) yang membawa darah bebas oksigen( deoksigenasi) dari jantung. Dapat
dilihat
dimana
darah
yang
kaya
akan
oksigen
akan
meninggalkan alveoli dan masuk ke Vena Pulmunar dan darah yang deoksigenesi akan masuk melalui jaringan kapiler arteri pulmunar. Di jaringan pipa kapiler inilah berlangsung pertukaran gas dan udara.
Gambar 1.6 Mekanisme Pertukaran Gas
BAB II PATOLOGI EFUSI PLEURA A. Definisi Efusi pleural adalah penumpukan cairan di dalam ruang pleural, proses penyakit primer jarang terjadi namun biasanya terjadi sekunder akibat penyakit lain. Efusi dapat berupa cairan jernih, yang mungkin merupakan transudat, eksudat, atau dapat berupa darah atau pus (Baughman C Diane, 2000). Efusi Pleura
adalah terkumpulnya cairan abnormal dalam kavum
pleura ( Arif Mansjoer, dkk. 2001). Efusi pleural adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal, ruang pleural mengandung sejumlah kecil cairan (5 sampai 15ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi (Smeltzer C Suzanne, 2002).
B. Epidemiologi Efusi pleura sering terjadi di negara-negara yang sedang berkembang, salah satunya di Indonesia. Hal ini lebih banyak diakibatkan oleh infeksi tuberkolosis. Bila di negara-negara barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal jantung kongestif, keganasan, dan pneumonia bakteri. Di Amerika efusi pleura menyerang 1,3 juta org/th. Di Indonesia TB Paru adalah peyebab utama efusi pleura, disusul oleh keganasan. 2/3 efusi pleura maligna mengenai wanita. Efusi pleura yang disebabkan karena TB lebih banyak mengenai pria. Mortalitas dan morbiditas efusi pleura ditentukan berdasarkan penyebab, tingkat keparahan dan jenis biochemical dalam cairan pleura.
C. Etiologi Adapun penyebab terjadinya efusi pleura dapat terjadi dari beberapa factor, yaitu: 1.
Neoplasma, seperti neoplasma bronkogenik dan metastastik
2. Kardiovaskuler, seperti gagal jantung kongestif, perikarditis 3. Penyakit pada abdomen, seperti pankreatitis, asites, abses 4. Infeksi yang disebabkan bakteri, virus, jamur, mikrobakterial dan parasit 5. Trauma 6. Lain-lain, seperti ( ES, Rheumatoid Artritis, sindrom nefrotik) Ada berbagai keganasan yang dapat menimbulkan efusi pleura, namun pada umumnya disebabkan oleh metastasis tumor ganas dari bagian tubuh yang lain; karena keganasan primer pleura sendiri, yaitu mesotelioma pleura
sangat
jarang
ditemukan.
Keganasan
yang
paling
sering
mengakibatkan efusi pleura adalah karsinoma paru, baik berupa karsinoma epidermoid, karsinoma sel kecil, adenokarsinoma, maupun karsinoma sel besar. Jenis kanker paru yang paling banyak menimbulkan efusi pleura adalah adenokarsinoma, karena keganasan ini biasanya terletak di daerah perifer paru. Limfoma dan keganasan lain pada kelenjar limfe di daerah hilus pare dan mediastinum juga dapat menyebabkan efusi pleura. Berdasarkan sumber lain, penyebab efusi pleural yaitu: 1. Hambatan resorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya bendungan seperti pada dekompensasi kordis, penyakit ginjal, tumor mediatinum, sindroma meig (tumor ovarium) dan sindroma vena kava superior. 2. Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberculosis, pneumonia, virus), bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang menembus ke rongga pleura, karena tumor dimana masuk cairan berdarah dan karena trauma. Di Indonesia 80% karena tuberculosis. Kelebihan cairan rongga pleura dapat terkumpul pada proses penyakit neoplastik, tromboembolik, kardiovaskuler, dan infeksi. Ini disebabkan oleh sedikitnya satu dari empat mekanisme dasar : Ø Peningkatan tekanan kapiler subpleural atau limfatik Ø Penurunan tekanan osmotic koloid darah
Ø Peningkatan tekanan negative intrapleural Ø Adanya inflamasi atau neoplastik pleura
D. Patofisiologi Cairan di rongga pleura jumlahnya tetap karena adanya keseimbangan antara produksi oleh pleura parietalis dan absorbsi oleh pleura viseralis. Keadaan ini dapat dipertahankan karena adanya keseimbangan antara tekanan hidrostatis pleura parietalis sebesar 9 cm H ₂O dan tekanan koloid osmotik pleura viseralis 10 cm H ₂O. Cairan pleura terakumulasi ketika pembentukan cairan pleura lebih besar dari absorbsi cairan pleura. Didalam rongga pleura terdapat + 5ml cairan yang cukup untuk membasahi seluruh permukaan pleura parietalis dan pleura viseralis. Cairan ini dihasilkan oleh kapiler pleura parietalis karena adanya tekanan hidrostatik, tekanan koloid dan daya tarik elastis. Sebagian cairan ini diserap kembali oleh kapiler paru dan pleura viseralis, sebagian kecil lainnya (10-20%) mengalir ke dalam pembuluh limfe sehingga pasase cairan disini mencapai 1 liter seharinya. Terkumpulnya cairan di rongga pleura disebut efusi pleura, hal ini terjadi bila keseimbangan antara produksi dan absorbsi terganggu misalnya pada
hyperemia
akibat
inflamasi,
perubahan
tekanan
osmotic
(hipoalbuminemia), peningkatan tekanan vena (gagal jantung).
Akumulasi cairan pleura dapat terjadi apabila: 1.
Tekanan
osmotik
koloid
menurun
dalam
darah
pada
penderita
hipoalbuminemia dan bertambahnya permeabilitas kapiler akibat ada proses keradangan atau neoplasma 2.
Terjadi peningkatan:
Permeabilitas kapiler (keradangan, neoplasma)
Tekanan hidrostatis di pembuluh darah ke jantung/ vena pulmonalis (kegagalan jantung kiri)
Tekanan negatif intra pleura (atelektasis) (Alsagaf H, Mukti A, 1995, 145).
Efusi pleura berarti terjadi pengumpulan sejumlah besar cairan bebas dalam kavum pleura. Kemungkinan penyebab efusi antara lain (1) penghambatan drainase limfatik dari rongga pleura, (2) gagal jantung yang menyebabkan tekanan kapiler paru dan tekanan perifer menjadi sangat tinggi sehingga menimbulkan transudasi cairan yang berlebihan ke dalam rongga pleura (3) menurunnya tekanan osmotik koloid plasma yang menyebabkan transudasi cairan yang berlebihan (4) infeksi atau setiap penyebab peradangan apapun pada permukaan pleura dari rongga pleura, yang memecahkan membran kapiler dan memungkinkan pengaliran protein plasma dan cairan ke dalam rongga secara cepat (Guyton dan Hall , Egc, 1997, 623624). Efusi pleura dapat berupa eksudat dan transudat. Transudat terjadi pada peningkatan penekanan vena pulmonalis, misalnya pada payah jantung kongestif.
Pada
kasus
ini,
keseimbangan
kekuatan
menyebabkan
pengeluaran cairan dari pembuluh. Penimbunan transudat dalam rongga pleura dikenal dengan nama hidrotoraks. Cairan pleura cenderung tertimbun pada dasar paru akibat daya gravitasi. Penimbunan eksudat timbul sebagai akibat sekunder dari peradangan atau keganasan pleura, dan akibat peningkatan permeabelitas kapiler/ gangguan absorbsi getah bening. Eksudat dibedakan dengan transudat. Dari kadar protein yang dikandung dan dari berat jenisnya. Transudat memiliki berat jenis kurang dari 1.015 dan kadar proteinnya kurang dari 3% , sedangkan eksudat mempunyai berat jenis dan kadar protein lebih tinggi karena banyak mengandung sel.
E. Klasifikasi Berdasarkan lokasi cairan yang terbentuk, effusi dibagi menjadi unilateral dan bilateral. Efusi yang unilateral tidak mempunyai kaitan yang spesifik dengan penyakit penyebabnya. Akan tetapi efusi yang bilateral ditemukan pada penyakit-penyakit berikut: Kegagalan jantung kongestif, sindroma nefrotik, asites, infark paru, lupus eritematosus systemic, tumor dan tuberkolosis.
Berdasarkan jenis cairannya dibedakan menjadi: Hemotoraks (darah
a.
di dalam rongga pleura) biasanya terjadi karena
cedera di dada. Penyebab lainnya adalah:
Pecahnya sebuah pembuluh darah yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga pleura.
Kebocoran aneurisma aorta (daerah yang menonjol di dalam aorta) yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga pleura.
Gangguan
pembekuan
darah.
Darah di dalam rongga pleura tidak membeku secara sempurna, sehingga biasanya mudah dikeluarkan melelui sebuah jarum atau selang. b. Empiema (nanah di dalam rongga pleura) bisa terjadi jika pneumonia atau abses paru menyebar ke dalam rongga pleura.
Empiema bisa merupakan komplikasi dari:
c.
Pneumonia
Infeksi pada cedera di dada
Pembedahan dada
Pecahnya kerongkongan
Abses di perut.
Kilotoraks (cairan seperti susu di dalam rongga dada) disebabkan oleh
suatu cedera pada saluran getah bening utama di dada ( duktus torakikus) atau oleh penyumbatan saluran karena adanya tumor.
F. Komplikasi
Infeksi dan fibrosis paru ( Arif amansjoer, dkk. 2001 )
Pneumotoraks (karena udara masuk melalui jarum)
Hemotoraks ( karena trauma pada pembuluh darah interkostalis)
Emboli udara (karena adanya laserasi yang cukup dalam, menyebabkan udara dari alveoli masuk ke vena pulmonalis)
Laserasi pleura viseralis
G. Gambaran Klinis
Menurut Brunner dan Suddarth pada tahun 2011, gejala klinis yang dapat didapati dari penderita sebagai problem fisioterapi, yakni: 1. Demam 2. Nyeri dada 3. Dyspneu 4. Batuk 5. Menggigil 6. Nafas pendek Dari anamnesis didapatkan : 1. Sesak nafas 2. Rasa berat pada dada 3. Berat badan menurun pada neoplasma 4. Batuk berdarah pada karsinoma bronchus atau metastasis 5. Demam subfebris pada TBC, dernarn menggigil pada empilema 6. Ascites pada sirosis hepatis Dari pemeriksaan fisik atau inspeksi didapatkan (pada sisi yang sakit) 1. Dinding dada lebih cembung dan gerakan tertinggal 2. Vokal fremitus menurun 3. Perkusi dull sampal flat 4. Bunyi pernafasan menrun sampai menghilang 5.
Pendorongan mediastinum ke sisi yang sehat dapat dilihat atau diraba
pada treakhea Nyeri dada pada pleuritis : Simptom yang dominan adalah sakit yang tiba-tiba seperti ditikam dan diperberat oleh bernafas dalam atau batuk. Pleura visceralis tidak sensitif, nyeri dihasilkan dari pleura parietalis yang inflamasi dan mendapat persarafan dari nervus intercostal. Nyeri biasanya dirasakan pada tempat-tempat terjadinya pleuritis, tapi bisa menjalar ke daerah lain : 1. Iritasi dari diafragma pleura posterior dan perifer yang dipersarafi oleh G. Nervus intercostal terbawah bisa menyebabkan nyeri pada dada dan abdomen.
2. Iritasi bagian central diafragma pleura yang dipersarafi nervus phrenicus menyebabkan nyeri menjalar ke daerah leher dan bahu.
H. Prognosis
Prognosis tergantung pada penyakit dasarnya. Umumnya baik pada efusi pleura kecuali seperti yang sudah dikatakan tergantung dari awalnya terjadi penyakit ini karena suatu keganasan.
Prognosis buruk pada efusi pleura berat terutama pH atau kadar gula cairan yang rendah.
BAB III PATOLOGI ATELEKTASIS A. Definisi
Atelektasis adalah penyakit gangguan fungsi restriktif paru yang kollaps pada beberapa lobus atau segmen dari lobus paru-paru. (H.M. Rusli, St. Muthiah, Hasbiah) Atelektasis sebenarnya bukan merupakan penyakit., tetapi ada kaitannya dengan penyakit parenkim paru. Atelektasis adalah istilah yang berarti pengembangan paru yang tidak sempurna dan menyiratkan arti bahwa alveolus pada bagian paru yang terserang tidak mengandung udara dan kolaps. (Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson, 2003) Atelektasis adalah sejumlah alveoli paru tidak mengandung udara akibat kegagalan ekspansi (atelektasis kongenital) atau kegagalan resorpsi udara dari alveoli (collapse). (Kamus Keperawatan Edisi 17) Gambar 3.1 Atelektasis
Sumber : http://www.cardiachealth.org/pleural-effusion-atelecatsis, 2014 B. Epidemiologi
Pada tahun 1980, penderita atelektasis diketahui telah menyebar keseluruh provinsi di Indonesia. Insiden terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) = 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR = 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); 21,66 (tahun 2001); 19,24 (tahun 2002); dan 23,87 (tahun 2003). Untuk itu penyakit ini
sangatlah penting di pelajari dan di pahami agar jumlah penderita atelektasis dapat di minimumkan.
C. Etiologi
Atelektasi timbul karena alveoli yang kurang berkembang atau tidak berkembang. Terdapat dua penyebab utama kolaps yiatu atelektasis absorbsi sekunder dari obstruksi bronkus atau bronkiolus, dan atelektasis yang disebabkan oleh penekanan. (Sylvia A. Price, Lorraine M. W ilson, 2003) Pada atelektasis absorbsi, obstruksi saluran napas menghambat masuknya udara ke dalam alveolus yang terletak distal terhadap sumbatan. Udara yang sudah terdapat dalam alveolus tersebut diabsorbsi sedikit demi sedikit ke dalam aliran darah dan alveolus kolaps. Atelektasis absorbsi dapat disebabkan oleh obstruksi bronkus intrinsik atau ekstrinsik. Obstruksi bronkus intrinsik paling sering disebabkan oleh sekret atau eksudat yag tertahan. Tekanan ekstrinsik pada bronkus biasanya disebabkan oleh neoplasma (tumor), pembesaran getah bening, aneurismia (pelebaran pembuluh darah) atau jaringan parut. (Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson, 2003) Atelektasis tekanan diakibatkan oleh tekanan ekstrinsik pada semua bagian paru atau bagian dari paru, sehingga mendorong udara ke luar dan mengakibatkan kolaps. Sebab-sebab yang paling sering adalah efusi pleura, pneumothoraks, atau peregangan abdominal yang mendorong diafragma ke atas. Atelektasis tekanan lebih jarang terjadi dibandingkan dengan atelektasis absorbsi. (Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson, 2003)
D. Patofisiologi
Adanya penyumbatan maupun tekanan pada paru-paru menyebabkan hambatan aliran udara masuk bronkhus dan cabangnya. Hambatan tersebut membuat distal dari bagian yang tersumbat tidak di aliri udara, kemudian alveoli distal menjadi kollaps atau kempes. Sisa udara yang terperangkap pada alveoli akan di serap oleh pembuluh darah di sekitar alveoli tersebut. Dan menyebabkan komplikasi. (Arimbi Sp. P, 2012) Setelah penyumbatan bronchial yang terjadi secara mendadak sirkulasi darah perifer akan diserap oleh udara dari alveoli, yang akan menyebabkan terjadinya kegagalan pernapasan dan penarikan kembali paru-paru dalam
beberapa menit, hal ini tanpa desebabkan adanya infeksi. Paru-paru akan menyusut secara komplek. Dalam tingkat awal, perfusi darah paru-paru akan kekurangan udara yang menyebabkan hipoksemi arterial. Jika kapiler dan jaringan hipoksia akan mengakibatkan timbulnya transudat berupa gas dan cairan serta oedem paru. Pengeluaran transudat dari alveoli dan sel merupakan pencegahan komplit kolaps dari atelektasis paru. Daerah sekitar paru-paru yang mengalami oedem kompensata sebagian akan kehilangan volume. Bagaimanapun juga pada kasus kolaps yang luas diafragma mengalami paninggian, dinding dada nyeri dan hal ini akan mempengaruhi perubahan letak hati dan mediastinum. Sesak akan terjadi sebagai manifestasi variasi perubahan stimulus pusat respirasi dan kortek serebral. Stimulus berasal dari kemoreseptor di mana terdapat daerah atelektasis yang luas yang menyebabkan tekanan O 2 kurang atau berasal dari paru-paru dan otot pernapasan, dimana paru-paru kekurangan oksigen tidak terpenuhi dan penambahan kerja pernapasan. Kiranya aliran darah pada daerah yang mengalami atelektasis berkurang. Tekanan CO2 biasanya normal atau seharusnya turun sedikit dari sisa hiperventilasi parenkim paru-paru yang normal. Mekanisme pertahanan fisiologik yang bekerja mempertahankan sterilitas saluran nafas bagian bawah bertindak mencegah atelektasis dengan menghalangi terjadinya obstruksi. Mekanisme-mekanisme yang beperan yaitu silia yang dibantu oleh batuk untuk memindahkan sekret yang berbahaya ke dalam faring posterior. Mekanisme lain yang bertujuan mencegah atelektasis adalah ventilasi kolateral. Hanya inspirasi dalam saja yang efektif untuk membuka pori-pori Kohn dan menimbulkan ventilasi kolateral ke dalam alveolus disebelahnya yang mengalami penyumbatan (dalam keadaan normal absorpsi gas ke dalam darah lebih mudah karena tekanan parsial total gasgas darah sedikit lebih rendah daripada tekanan atmosfer akibat lebih banyaknya O 2 yang diabsorpsi ke dalam jaringan daripada CO 2 yang diekskresikan).
E. Klasifikasi
Klasifikasi atelektasis menurut Arimbi Sp. P, Dosen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya tahun 2012 terbagi menjadi dua, yaitu 1. Berdasarkan Penyebab a. Atelektasis Obstruksi. Keadaan dimana paru-paru kolaps karena ada penyumbatan. Penyumbatan secara bertahap membuat udara dalam lumen bronkhus akan di absorbsi oleh pembuluh darah paru. Oleh karena itu alveoli paru menjadi kempes atau kolaps, kemudian volume paru pada sisi yang tersubat akan berkurang b. Atelektasis Kontraktil. Terjadi akibat fibrosis pada dinding alveoli paru yang menyebabkan alveoli mengempis dan kolaps. c. Atelektasis Adhesif. Terjadi akibat hilangnya surfaktan pada dinding alveoli yang menyebabkan tegangan permukaan alveoli hilang dan alveoli kolaps. Contohnya ARDS dan emboli paru. d. Atelektasis Relaksi. Terjadi akibat tekanan negatif pada cavum pleura yang menyebabkan penekanan percabangan bronkus dan alveoli menjadi kolaps. Contohnya akibat pneumothoraks maupun efusi pleura. e. Atelektasis Bulat atau Round Atelectasis. Penyakit ini akibat penyakit primer pada pleura (asbestosis). f.
Atelektasis
Lobus
Medialis
atau
Syndroma
Lobus
Medius.
Atelektasis ini merupakan penyempitan pada lobus medius paru kanan akibat penekanan bronkus lobus medius oleh suatu tumor atau pembesaran getah bening. Paru-paru menjadi tersumbat dan mengkerut
sehingga
dapat
mengalami
infeksi
(pneumonia.
bronkhiektasis) atau terbentuk jaringan parut. g. Atelektasis Percepatan. Biasanya terjadi pada pilot pesawat tempur. Penerbangan dengan kecepatan tinggi akan menutup saluran pernafasan kecil, sehingga alveoli mengempis. h. Mikroatelektasis tersebar atau terlokalisir. Akibat tergantung atau hilangnya surfaktan pada jaringan paru. Pada bayi prematur disebut sindroma gawat pernafasan dan pada orang dewasa terjadi akibat
terapi oksigen yang berlebihan, infeksi berat dan luas (sepsis), dan faktor lainnya yang merusak lapisan alveoli. 2. Berdasarkan Asalnya. a. Neonatarum. Merupakan ekspansi yang tidak sempurna paru pada saat lahir atau kolaps sebelum alveoli berkembang sempurna. Bentuk ini terbagi menjadi primer dan sekunder. Penyakit ini terjadi pada bayi prematur, dimana pusat pernafasan dalam otak tidak matur dan gerakan pernafasan masih terbatas. Faktor pencetusnya termasuk komplikasi persalinan yang menyebabkan hipoksia intrauterus. Gambar 3.2 Atelektasis Neonatorum
Sumber : PPT Atelektasis Arimbi Sp. P , 2012 b. Acquired. Atelektasis ini terdapat pada orang dewasa dan termasuk gangguan intratoraks yang menyebabkan kolaps dari ruangan udara, yang sebelumnya telah berkembang. Jadi terbagi atas atelektasis absorpsi, kompresi, kontraksi dan bercak.
F. Komplikasi
Alveoli yang kolaps mengempis dan memadat (atelektasis) dan menyebabkan mudahnya terjadi infeksi, hipoksemia dan edema paru apaila ada trasudasi cairan dan gas. (Arimbi Sp. P, 2012). 1. Pnemonia Bisa diakibatkan oleh berkurangnya oksigen dan kemampuan paru untuk mengembang sehingga secret mudah tertinggal dalam alveolus dan mempermudah menempelnya kuman dan mengakibatkan terjadinya peradangan pada paru. 2. Hypoxemia dan gagal napas Bila keadaan atelektasis dimana paru tidak mengembang dalam waktu yang cukup lama dan tidak terjadi perfusi ke jaringan sekitar yang cukup maka dapat terjadi hypoxemia hingga gagal napas. Bila paru yang masih sehat tidak dapat melakukan kompensasi dan keadaan hipoksia mudah terjadi pada obstruksi bronkus. 3. Sepsis Hal ini dapat terjadi bila penyebab atelektasis itu sendiri adalah suatu proses infeksi, dan bila keadaan terus berlanjut tanoa diobati maka mudah terjadi sepsis karena banyak pembuluh darah di paru, namun bila keadaa segera ditangani keadaan sepsis jarang terjadi. 4. Bronkiektasis Ketika paru paru kehilangan udara, bentuknya akan menjadi kaku dan mengakibatkan dyspnea, jika obstruksi berlanjut dapat mengakibatkan fibrosis dan bronkiektasis. G. Gambaran Klinis
Menurut H.M Rusli, St. Muthiah dan Hasbiah dalam Buku Fisioterapi Respirasi gambaran klinik atelektasis yang merupakan problem Fisioterapi sebagai berikut 1. Bunyi nafas hilang di atas area paru-paru yang kolaps. Hal ini disebabkan tidak mengembangnya alveolus, sehingga tidak terjadi pertukaran udara pada alveolus yang kolaps. 2. Tachipnue. Kebutuhan oksigen dan tidak maksimalnya pengembangan alveolus membuat tubuh penderita harus lebih sering bernafas.
3. Sianosis. Kekurangan oksigen akibat tidak maksimalnya pengembangan alveolus mengakibatkan keadaan ini. 4. Ekspansi thoraks menurun pada sisi yang kolaps, akibat alveolus tidak dapat mengembang. 5. Batuk tidak produktif. Hal ini terjadi karena adanya reaksi fisiologis tubuh untuk mengeluarkan udara yang masih terperangkap didalam alveolus, maupun akibat penyakit primer penyebab atelektasis.
H. Prognosis
Menurut Elizabeth J. Corwin dalam bukunya Patofisiologi, atelektasis akibat tumor (karsinoma sel skuamosa) kemungkinan hidup lima tahun jika didiagnosis sebelum metastasis. Pada intinya sebagai berikut 1. Prognosis tergantung pada penyebab, umur, komplikasi yang terjadi, dan managemen terhadap penyakit. Umumnya baik pada atelektasis post operasi dan buruk pada kanker tingkat lanjut. 2. Pada orang dewasa, bila atelektasis terjadi pada sebagian kecil lapangan paru biasanya akan mengancam jiwa. Sebagai kompensasi bagian paru yang masih dapat berfungsi dengan baik akan menyediakan oksigen yang cukup untuk seluruh tubuh. 3. Atelektasis yang besar akan berbahaya, terutama pada bayi,anak kecil, atau pada mereka yang mempunyai penyakit paru. 4. Biasanya
terjadi
perbaikan
secara
bertahap
bila
obstruksi
telah
dihilangkan. Bagaimana pun juga, pemulihan akan meninggalkan bekaas parut (fibrosis).
BAB III ASSESMENT FISIOTERAPI
Assesment atau pemeriksaan fisioterapi dilakukan untuk menentukan diagnosis dan problematik fisioterapi sebagai dasar untuk menyusun dan menentukan jenis intervensi yang akan dilakukan. Jenis pemeriksaan fisioterapi yang dapat dilakukan berkaitan dengan kondisi hemilpegi menggunakan metode CHARTS sebagai berikut. A. Chief of Complain
Pada kasus ini pasien mengeluh adanya kelumpuhan setengah badan sisi kiri.
B. History Taking
Pengambilan data pasien berkaitan dengan kondisi yang dialami melalui anamnesis.
Anamnesis
(autoanamnesis)
dan
dapat
dilakukan
anamnesis
yang
langsung dilakukan
kepada kepada
pasiennya keluarganya
(alloanamnesis). Dalam kasus ini pasien datang dengan diantarkan oleh keluarganya dan pasien masih dapat berkomunikasi dengan baik. 1. Anamnesis Umum Nama
:
Andi
Umur
:
65
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Agama
:
Islam
Alamat
:
Jln. Sahabat
Pekerjaan
:
Polisi
Hobby
:
Membaca
Status
:
Kawin
Adapun data vital sign yang diperoleh adalah sebagai berikut : Tekanan Darah
: 160/100 mmHg
Denyut Nadi
: 96 kali/menit
Pernafasan
: 26 kali/menit
Temperatur
: 37 °C
2. Anamnesis Khusus Fisioterapis mengumpulkan informasi terkait keluhan pasien dan riwayat perjalanan penyakit yang pernah atau sedang dialami oleh pasien dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada tabel di bawah ini. Tabel 3.1 Daftar Informasi Anamnesis Khusus
No.
1.
2.
Pertanyaan
Kapan
mulai
Informasi
sulit Sejak mengalami stroke 6 bulan
bergerak?
yang lalu.
Bagaimana
Saat 6 bulan yang lalu saya tiba-tiba
kronologinya?
mengalami stroke, mulai saat itu badan
sebelah
kiri
saya
sulit
digerakkan 3.
Bagaimana
dengan Tubuh sebelah kanan saya masih
tubuh sebelah kanan?
normal. Saya selalu menggunakan tubuh sebelah kanan saya untuk beraktivitas.
4.
Apakah
ada
rasa Ada
nyeri? 5.
Dimana nyerinya?
rasa Pada seluruh tubuh saya bagian kiri. Apakah
menjalar? 6.
Apakah
Bapak Tidak.
mengalami gangguan pernafasan? 7.
Apakah Bapak sudah Iya.
Sejak
pertama
mengalami
ke dokter? Jika iya serangan stroke. kapan? 8.
Apa
yang
katakan
dokter Kata dokter saya mengalami stroke tentang karena
kondisi Bapak?
faktor
karena tersumbat
kegemukan,
pembuluh saya
darah
menjadi
lalu saya
lumpuh
setengah badan. 9.
Apakah ibu sudah di Iya. foto
roentgen
dan
diperiksa laboratorium? 10.
Bagaimana
menurut Hasil
dokter mengenai hasil roetgen
roetgennya
normal,
tetapi
kadar kolestrol saya tinggi.
dan
laboratorium Bapak? 11.
Apakah Bapak diberi Iya. Saya diberi obat Librium untuk obat oleh dokter?
relaksan dan obat yang mengandung Omega 3.
12.
Apakah
ada Iya, saya rasa saya mulai membaik.
perubahan
yang
Bapak
rasakan
setelah
meminum
obat? 13.
Apakah
ibu
punya Hipertensi dan kolesterol tinggi.
riwayat penyakit lain? 14.
Bagaimana tidur,
keadaan
makan,
Semuanya
BAB, kesulitan
terganggu. dan
malas
Saya
melakukan
dan kegiatan hari-hari semua hal sendiri, sehingga saya ibu? 15.
butuh bantuan dari istri saya.
Bagaimana perasaan Saya sangat terganggu, cemas dan ibu
setelah
terkena depresi
penyakit ini? 16.
Bagaimana
karena
saya
tidak
bisa
beraktivitas seperti biasa. peran Keluarga dan teman-teman saya
keluarga dan teman- sangat mendukung saya agar cepat teman Bapak saat ini?
16.
Masih
ada
sembuh.
keluhan Sudah tidak ada.
lain Pak? Sumber : Data Primer, 2014
C. Asimetrik
1. Inspeksi a. Inspeksi Statis Inspeksi statis atau inspeksi saat pasien dalam posisi diam. Posisi penderita duduk di atas kursi roda, posisi kepala sedikit flexi miring ke sisi kiri tubuh bagian kiri, retraksi scapula, depresi shoulder girdle, adduksi shoulder kiri, internal rotasi shoulder kiri, fleksi elbow kiri, pronasi elbow kiri, wrist kiri fleksi, jari-jari kiri fleksi, hip kiri internal rotasi, adduksi dan fleksi. b. Inspeksi Dinamis Inspeksi dinamis yaitu inspeksi saat pasien bergerak. Pasien bergerak di kursi roda dibantu oleh istrinya. Sisi tubuh kiri semuanya nampak kaku sedangkan yang kanan normal.
2. Tes Orientasi Tes orientasi ini bertujuan untuk mengungkap letak kelainan yang dikeluhkan oleh pasien.Tes orientasi ini dilakukan dengan meminta pasien melakukan gerakan-gerakan aktivitas sehari hari seperti menyisir, makan, mengambil dompet. Pada kasus ini pasien secara umum masih bisa melakukannya karena pasien tidak kidal dan sisi tubuh kanannya masih normal, namun pada saat meminta pasien membilas diri seperti setelah BAB dan BAK pasien mengalami kesulitan.
3. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar a) Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar Aktif Pemeriksaan
ini
dilakukan
dengan
meminta
pasien
untuk
melakukan gerakan dengan keinginan dan kekuatannya sendiri tanpa bantuan pemeriksa atau mekanis. Hasilnya pada kasus ini gerakan aktif sisi kanan tubuh pasien normal, sedangkan sisi kiri tubuh pasien mengalami kekakuan.
b) Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar Pasif
Pemeriksaan
ini
dilakukan
dengan
meminta
pasien
untuk
melakukan gerakan denga bantuan pemeriksa atau mekanis. Pada kasus ini pasien masih bisa digerakkan semua sendi-sendinya, tetapi pasien mengeluh nyeri ketika sisi kiri tubuhnya digerakkan.
c) Pemeriksaan Isometrik Melawan Tahanan Pemeriksaan ini dilakukan dengan memberikan tahanan pada regio yang akan digerakkan oleh pasien. Pada kasus ini sisi kanan tubuh pasien dapat melawan tahanan, namun sisi kiri tubuh pasien tidak bisa melawan tahanan sama sekali.
4. Palpasi Tabel 3.2 Data Informasi Tindakan Palpasi
No.
1.
Palpasi
Suhu
Hasil
Suhu pada bagian kanan dan kiri pasien sama
2.
Kontur kulit
Normal
3.
Jaringan parut
Tidak ada
Sumber : Data Primer, 2014
D. Restrictive
Restrictive atau keterbatasan pada kasus ini yaitu 1. Keterbatasan ROM : Keterbatasan pada semua sisi kiri tubuh pasien 2. Keterbatasan ADL : Keterbatasan pasien untuk dressing, sex dan toiletting. 3. Keterbatasan Pekerjaan : Pasien kesulitan dalam bekerja. 4. Keterbatasan Rekreasi : Pasien mengalami keterbatasan dalam melakukan hobby nya dikarenakan kondisinya yang tidak mendukung.
E. Tissue Impairment Tabel 3.3 Data Informasi Tissue Impairment
No.
Tissue Impairment
Hasil
1.
Musculotendinogen
Kekakuan otot
2.
Osteoarthrogen
Limitasi ROM
3.
Neurogen
Nyeri
4.
Psikogenik
Gangguan kepercayaan diri dan kecemasan Sumber : Data Primer, 2014
F. Spesific Test
1. Pain Grading Scale Pengukuran nyeri ini perlu dilakukan untuk meninjau tingkat nyeri yang dirasakan pasien dan sebagai bahan evaluasi setelah treatment diberikan nantinya. Nyeri yang di ukur yaitu nyeri diam, nyeri gerak, dan nyeri tekan. Pengukuran nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan VAS (Visual Analog Scale). Tabel 3.4 Data Informasi Nilai VAS
No.
Jenis Nyeri
Hasil
1.
Nyeri Diam
1
2.
Nyeri Tekan
7
3.
Nyeri Gerak
6 Sumber : Data Primer, 2014
2. MMT (Manual Muscle Testing) Tabel 3.5 Grade of MMT
Grade 5 = Normal
Definition 100%
Pasien mampu mempertahankan posisi melawan gravitasi dan melawan maximal tahan yang diberikan oleh pemeriksa dengan
4 = Good
75%
Pasien mampu mempertahankan posisi melawan gravitasy dan melawan minimal tahan yang diberikan oleh pemeriksa.
3 = Fair
50%
Pasien
mampu
melakukan
gerakan
melawan gravitasi tapi tidak mampu melawan tahanan. 2 = Poor
25%
Mampu melakukan gerakan, tapi tidak melawan gravitasi
1 = Trace
5%
Ada sedikit kontraksi, ada sedikit atau
tidak ada pergerakan sendi. 0 = Zero
0%
Tidak ada kontraksi
Sumber : Buku Proses dan Pengukuran Fisioterapi, 2013
Berdasarkan MMT yang telah dilakukan, diperoleh bahwa group otot bagian kanan bernilai 4 sedangkan kiri bernilai 1.
3. Tes Keseimbangan Pada tes ini menunjukkan sisi tubuh bagian kiri pasien tidak memiliki keseimbangan yang baik. 4. Tes Asosiasi Pada tes ini menunjukkan sisi tubuh bagian kiri pasien tidak berasosiasi menghasilkan gerakan dengan baik. 5. Tes Tonus Pada tes ini sisi tubuh bagian kiri pasien hipertonus. 6. Tes Sensorik a. Tes rasa posisi b. Tes rasa gerak c. Tes arah gerak d. Tes beda dua titik e. Tes vibrasi Pada semua tes diatas sisi tubuh bagian kiri pasien tidak dapat melakukan dengan baik.
7. Tes Refleks Tes refleks meliputi tes fisiologis yaitu tes glabela, rahang bawah, biseps, triseps, brakhioradialis, ulna, fleksor jari-jari, pattela menandakan refleks pasien hiporefleks. Sedangkan untuk refleks patologis yaitu refleks babinski, oppenheim, gordon, chaddock menunjukkan hasil positif.
8. HRS-A (Hamilton Rating Scale for Anxiety)
Alat ukur ini terdiri 14 kelompok gejala yang masing- masing kelompok dirinci lagi dengan gejala-gejala yang lebih spesifik. Keempatbelas kelompok tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 3.6 Hamilton Rating Scale for Anxiety
No.
1.
Kelompok
Perasaan cemas
Gejala a. Cemas b. Takut
c. Mudah tersinggung d. Firasat buruk
2.
Ketegangan
a. Lesu b. Tidur tidak tenang
c. Gemetar d. Gelisah
e. Mudah terkejut f. Mudah menangis 3.
Ketakutan pada
a. Gelap b. Ditinggal sendiri
c. Orang asing d. Binatang besar e. Keramaian lalulintas f. Kerumunan
orang
banyak
4.
Gangguan tidur
a. Sukar tidur b. Terbangun malam hari c. Tidak puas, bangun lesu d. Sering mimpi buruk e. Mimpi menakutkan
5.
Gangguan kecerdasan
a. Daya ingat
6.
Perasaan depresi
a. Kehilangan minat b. Sedih c. Bangun dini hari
d. Berkurangnya kesenangan pada hobi
e. Perasaan
berubah-ubah
sepanjang hari
7.
Gejala somatic
a. Nyeri otot kaki b. Kedutan otot c. Gigi gemertak d. Suara tidak stabil
8.
Gejala sensorik
a. Tinitus b. Penglihatan kabur c. Muka merah dan pucat d. Merasa lemas
e. Perasaan di tusuk-tusuk 9.
Gejala kardiovaskuler
a. Tachicardi b. Berdebar-debar
c. Nyeri dada d. Denyut nadi mengeras e. Rasa lemas seperti mau pingsan f. Detak
jantung
hilang
sekejap 10.
Gejala pernapasan
a. Rasa tertekan di dada b. Perasaan tercekik c. Merasa napas pendek atau sesak d. Sering
menarik
napas
panjang 11.
Gejala saluran pencernaan
a. Sulit menelan
makanan
b. Mual, muntah c. Enek d. Konstipasi e. Perut melilit f. Defekasi lembek g. Gangguan pencernaan h. Nyeri
lambung
sebelum
dan sesudah i.
Rasa panas di perut
j.
Berat badan menurun
k. Perut terasa panas atau kembung 12.
Gejala urogenital
a. Sering kencing b. Tidak
dapat
menahan
kencing 13.
Gejala vegetative/Otonom
a. Mulut kering b. Muka kering c. Mudah berkeringat d. Sering pusing atau sakit kepala
e. Bulu roma berdiri 14.
Perilaku sewaktu wawancara
a. Gelisah b. Tidak tenang
c. Jari gemetar d. Mengerutkan
dahi
atau
kening e. Muka tegang f. Tonus otot meningkat
g. Napas pendek dan cepat h. Muka merah Sumber : http://komprehensif-nursing.blogspot.com/2013/05/scoringkecemasan-menurut-hars-hamilton.html (Diakses tanggal 22 Februari 2014)
Masing- masing kelompok gejala diberi penilaian angka (skore) antara 0-4, yang artinya adalah: a. Nilai 0 = tidak ada gejala / keluhan b. Nilai 1 = gejala ringan / satu dari gejala yang ada c. Nilai 2 = gejala sedang / separuh dari gejala yang ada d. Nilai 3 = gejala berat / lebih dari separuh dari gejala yang ada e. Nilai 4 = gejala berat sekali / semua dari gejala yang ada
Masing- masing nilai angka (skore) dari 14 kelompok gejala tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat kecemasan seseorang, yaitu: Total nilai (skore): a. < 14
= tidak ada kecemasan
b. 14 – 20
= kecemasan ringan
c.
= kecemasan sedang
21 – 27
d. 28 – 41
= kecemasan berat
e. 42 – 56
= kecemasan berat sekali / panik
Berdasarkan hasil pengukuran yang telah dilakukan pada pasien, nilai yang diperoleh adalah 18 yang menginterpretasikan bahwa pasien mengalami kecemasan tingkat ringan.
9. Tes ADL (Indeks Barthel)
Indeks Barthel menggunakan 10 indikator dalam mengkaji kemampuan ADL, yaitu sebagai berikut: Tabel 3.7 Indikator Indeks Barthel
No.
1.
Indikator
Makan (Feeding)
Grade
a. 0 = Tidak mampu b. 1 = Butuh bantuan memotong, mengoles mentega dll
c. 2 = Mandiri 2.
Mandi (Bathing)
a. 0 = Tergantung orang lain
b. 1 = Mandiri 3.
Perawatan diri (Grooming)
a. 0 = Membutuhkan bantuan orang lain b. 1 = Mandiri dalam perawatan muka, rambut, gigi dan bercukur
4.
Berpakaian (Dressing)
a. 0 = Tergantung orang lain
b. 1 = Sebagian dibantu (misal mengancing baju) c. 2 = Mandiri 5.
Buang air kecil (Bowel)
a. 0 = Inkontinensia atau pakai kateter dan tidak terkontrol
b. 1 = Kadang inkontinensia (maksimal, 1x24 jam) c. 2 = Mandiri 6.
Buang air besar (Bladder)
a. 0 = Inkontinensia (tidak teratur atau perlu pencahar) b. 1 = Kadang inkontensia (sekali seminggu) c. 2 = Terkendali teratur
7.
Penggunaan toilet
a. 0 = Tergantung bantuan orang lain
b. 1 = Membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan beberapa hal sndiri c. 2 = Mandiri 8.
Transfer
a. 0 = Tidak mampu
b. 1 = Butuh bantuan untuk bias duduk (2 orang) c. 2 = Bantuan kecil (1 orang) d. 3 = Mandiri 9.
Mobilitas
a. 0 = Immobile (tidak mampu)
b. 1 = Menggunakan kursi roda
c. 2 = Berjalan dengan bantuan satu orang d. 3 = Mandiri (meskipun menggunakan alat bantu seperti tongkat) 10.
Naik turun tangga
a. 0 = Tidak mampu
b. 1 = Membutuhkan bantuan c. 2 = Mandiri Sumber : http://hilal-setyawan.blogspot.com/2012/11/instrumentspengkajian-adl-dengan_5109.html (Diakses tanggal 22 Februari 2014)
Interpretasi hasil: 20
:
Mandiri
12-19
:
Ketergantungan ringan
9-11
:
Ketergantungan sedang
5-8
:
Ketergantungan berat
0-4
:
Ketergantungan total
Berdasarkan hasil pengukuran yang telah dilakukan pada pasien, nilai yang diperoleh adalah 5 yang menginterpretasikan bahwa pasien mengalami ketergantungan berat.
10. Pemeriksaan MRI dan CT-scan
BAB IV INTERVENSI FISIOTERAPI
A. Diagnosis Fisioterapi
Berdasarkan
assessment
yang
telah
dilakukan,
dapat
ditentukan
diagnosisnya, yaitu “Lumpuh sebelah badan/Hemiplegi”.
B. Problem Fisioterapi
1. Problem primer : Nyeri 2.
Problem
sekunder
keterbatasan
:
Gangguan
kepercayaan
diri
dan
kecemasan,
ROM, stiffness, spastic dan flaccid ankle, knee, hip, elbow,
shoulder joint sisi kiri tubuh pasien. 3. Problem kompleks : Gangguan ADL yang melibatkan fungsi sisi kiri tubuh pasien seperti dressing, toileting, dan sex.
C. Program Fisioterapi
Setelah diketahui problem fisioterapi maka fisioterapis perlu menentukan rencana intervensi yang akan diberikan nantinya. 1. Program jangka pendek : a.
Membangun rasa percaya diri dan mengurangi kecemasan pasien
b.
Mengurangi nyeri
c.
Memperlancar aliran pernafasan
d.
Menjaga kondisi/kemampuan sisi kanan tubuh pasien agar tidak menurun
2. Program jangka panjang : a.
Mengatasi stiffness, spastic dan flaccid
b.
Meningkatkan ROM sisi kiri tubuh pasien
c.
Meningkatkan kemampuan pergerakan pasien dalam ADL
D. Intervensi Fisioterapi Tabel 4.1 Intervensi Fisioterapi
No.
Problem/Tujuan
Modalitas
Fisioterapi
Terpilih
Dosis
1.
Gangguan
Komunikasi
F : 1 x sehari
kepercayaan diri dan Terapeutik
I : pasien
kecemasan
fokus T : wawancara, motivasi T : 5 menit
2.
Gangguan pernapasan
Breathing
F : 1x sehari
Exercise
I : 6-8 kali repetisi T : deep breathing T : 60 detik
3.
Tonus otot & kekuatan Elektrical
F = 1 x / hari
otot menurun
I = rangsang
stimulans
tipe saraf IIIa T = Miuscle grup T = 8 sekon
4.
Gangguan Muscles & Fasilitasi exercise
F = 1 x / hari
Joint Sense
I = posisi fokus T = Bonnex Position T = 8 sekon 8 sesi
5.
Gangguan
Bridging Exercise
F = 3 x / hari
keseimbangan
I = posisi
merubah posisi tidur ke
fokus
duduk - berdiri
T =Bridging T = 30 menit
6.
Gangguan
ADL
/ PNF
Koordinasi:
F = 3 x / hari I = posisi
-
Makan minum
fokus
-
Berpakaian
T = pola
-
Kamar mandi
makan minum,
-
Memelihara diri
ber-pakaian, kamar mandi berhias. T = 30 menit
7.
Kesulitan Berjalan
Latihan ADL
F: 2 kali sehari I: 3 kali repetisi T:Latihan berjalan T: 6 menit
Sumber : Data Primer, 2014
E. Evaluasi
Evaluasi adalah proses untuk membandingkan kondisi awal pasien sebelum diintervensi dan kondisi setelah pasien diintervensi. Evaluasi yang dilakukan mengacu pada interval tertentu.
F. Dokumentasi
Data-data tentang riwayat medis klien, hasil-hasil pemeriksaan klinis, program intervensi fisioterapi yang telah dilaksanakan pada klien dan catatan penting tentang hasil perkembangan terapi, dapat dilihat dan tercantum pada kartu kontrol pemeriksaan kesehatan klien.
G. Modifikasi
Dalam
modifikasi,
fisioterapis
melakukan
modifikasi
pada
program
intervensinya apabila tidak terdapat peningkatan kondisi yang baik pada pasien dengan melihat hasil evaluasi.
H. Kemitraan
Pengembangan kemitraan dapat dilakukan dengan profesi kesehatan lainnya dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan sepenuhnya terhadap kondisi klien.Hal ini dilakukan sesuai dengan kebutuhan klien dan perkembangan patofisiologinya.Dalam memberikan intervensi klien tersebut, fisioterapis dapat bermitra dengan dokter spesialis saraf, dokter dokter spesialis patologi klinik, ahli okupasional, perawat, psikolog, ahli gizi, dan pekerja sosial medis lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Corwin, Elizabeth J. 2007. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC. Price, Sylvia, Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses – proses Penyakit. Jakarta : EGC. Smeltzer, Suzanne C. dan Brenda G. Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 vol.1. Jakarta : EGC.
Somantri, Irman. 2008. Keperawatan Medikal Bedah : Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Pernapasan . Jakarta: Salemba Medika.
Triayu, Indah. ___. Atelektasis. Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makassar : Tidak diterbitkan.
HALAMAN KONSULTASI Catatan dosen fasilitator 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Makassar, 12 September 2014
_______________________