Resiko cedera intraoperatif berhubungan dengan prosedur anastesi umum
Tujuan: Risiko cedera intraoperatif sekunder dari intervensi anastesi umum tidak terjadi
Kriteria evaluasi:
Pasien kooperatif terhadap intervensi.
Pasien dapat menjadi tidak sadar sesuai tahapan anastesi
Intervensi
Rasional
Kaji ulang identitas pasien.
Perawat ruang operasi memeriksa kembali identifikasi dan kaedeks pasien; melihat kembali lembar persetujuan tindakan, riwayat kesehatan, hasil pemeriksaan fisik, dan berbagai hasil pemeriksaan; memastikan bahwa alat protase dan barang berharga telah dilepas; dan memeriksa kembali rencana perawatan praoperatif yang berkaitandengan rencana perawatan intraoperatif
Siapkan obat-obatan pemberian anastesi umum.
Obat-obatan anastesi yang dipersiapkan meliputi obat pelemas otot dan obat anastesi umum. Intubasi endotrakeal dilakukan setelah pemberian pelemas otot kerja singkat seperti suksinilkolin (Anectine, Burroughs Wellcome) dan Mivikurium (Mivikron, Burroughs Wellcome), atau obat yang bekerja lebih lama misalnya vekuronium (Nurcuron, Organon) atau atrakurium (Tracrium, Burroughs Wellcome). Anastesi umum dapat di induksi dengan obat intravena misalnya metoheksital (Brevital Sodium, Lilly), tiopental (Sodium Pentothal, Abbott) atau propofol
(Gruendemann, 2006)
Siapkan alat-alat intubasi endotrakeal.
Intubasi endotrakeal digunakan untuk menjaga kepatenan jalan napas intraoperasi. Penata anastesi memeriksa kondisi lampu pada laringoskop dan apakah kondisi selang endotrakeal berfungsi optimal sebelum pemasangan dilakukan. Penata anastesi harus mempertimbangkan faktor umum dan kondisi penyulit dalam melakukan intubasi pada pemlihan persiapan sarana intubasi. Misalnya, pada anak kecil akan digunakan laringoskop dan selang endotrakeal yang ukurannya sesuai.
Siapkan sarana pemantauan dasar.
Pemilihan dan pemeliharaan peralatan anastesi dan perlengkapannya biasanya menjadi tanggung jawab penata anastesi.
Alat dan sarana yang disiapkanmerupakan sarana atau perangkat pemantauan (monitoring) dasar, meliputi:
Stetoskop
Pengukuran tekanan darah
Oksimetri pulsasi
Siapkan obat dan peralatan emergency.
Selain pemantau, peralatan darurat dasar, obat-obatan, dan protokol pengobatan juga harus tersedia. Defibrilator juga harus dipastikan berfungsi baik. Peralatan jalan napas meliputi laringoskop, selang endotrakeal, jalan napas oral, dan nasal faringeal. Selain itu, masker dan kantong resusitasi self-inflating (ambu type) adalat alat yang penting dan harus mudah diakses.
Lakukan pemasangan stetoskop prekordial, manset tekanan darah, monitor dasar, oksimetri pada jari, dan pertahankan kelancaran kateter IV.
Stetoskop prekordial dibiarkan menempel di dada pasien, menyalurkan inforasi mengenai operasi mekanis jantung dan adanyabbunyi napas secara kontinu. Perubahan yang dapat dideteksi mencakup bising jantung, aksentuasi bunyi jantung kedua, dan denyut jantung yang abnormal.
Perawat juga memasang manset tekanan dara. Manset tetap terpasang pada lengan pasien selama pembedahan berlangsung sehingga ahli anestesi dapat mengkaji tekanan darah pasien.
Pemasangan obsimetri dalam penilaian saturasi oksigen pada jari memudahkan perawat anestesi dalam mengobservasi status respirasi pasien.
Kelancaran kateter IV dapat menjadi prosedur dasar sebelum memberikan anestesi secara intravena.
Kaji faktor yang merugikan selama pemberian anestesi intraoperatif.
Tindakan penting yang dilakukan dengan mengkaji faktor-faktor penyulit selama anestesi, seperti adanya riwayat reaksi alergi pada aden anestesi atau alergi terhadap banyak komponen, riwayat penyakit kardiovaskuler dan paru, masalah jalan napas, dan faktor usia lanjut.
Riwayat Alergi
Riwayat reaksi alergi pada agen anestesi atau alergi terhadap banyak komponen harus diteliti dan diperjelas oleh pasien. Untuk menentukan kemungkinan timbulnya masalah besar, misalnya demam yang membahayakan dan asidosis akibat hipertermia maligna atau paralisis otot berkepanjangan yang dijumpai pada orang dengan pseudokolineterase atipikal (Kee, 1996).
Evaluasi fungsi berbagai sistem utama tubuh, terutama sistem kardiovaskular dan pernapasan, merupakan parameter penting pada evaluasi pra-anestesi. Pasien yang mengaku alergi terhadap banyak obat mungkin sangat peka terhadap obat-obat yang melepaskan histamin, misalnya sebagian pelemas otot, narkotik, dan barbiturat.
Informasi mengenai riwayat alergi terhadap antibiotik, zat warna kontras, preparat indium, plester, dan lateks sangat penting. Riwayat reaksi hebat dan mendadak dari seseorang setelah terpajan produk atau peralatan medis yang mengandung lateks harus dilaporkan. Etiologi pasti alergi lateks tidak diketahui, tetapi protein larut air dari lateks tampaknya adalah alergen utamanya (Gruendemann, 2006)
Riwayat penyakit kardiovaskular
Riwayat penyakit kardiovaskular dan paru harus mendapat persetujuan medis dari dokter jantung dan paru sebelum dijadwalkan menjalani prosedur bedah efektif. Riwayat infark miokardium, angina, gagal jantung, penyakit vaskular perifer,merokok, penyakit paru obstruktif ,enahun, atau tandur pintas arteri koroner mungkin merupakan prediktor untuk morbiditas jantung pascaoperatif.
Masalah jalan napas
Masalah jalan napas yag kondisinya kurang optimal tanpa patologi jalan napas yang jelas, visualisasi glotis kadang-kadang sulit atau bahkan tidak mungkin dilakukan. Faktor predisposisi yang dapat menyulitkan intubasi adalah leher yang pendek dan berotot dengan gigi lengkap, rahang bawah yang mundur disertai sudut mandibula yang tumpul, menonjolnya gigi seri atas, penyempitan ruang antara sudut-sudut mandibula disertai palatum yang melengkung tinggi, serta peningkatan jarak dari gigi seri atas ke batas posterior rumus mandibula disertai gigi seri atas ke batas posterior rumus mandibula (Rob, 1968). Pengamatan klinis tambahan adalah apabila jarak anatra dagu ke tulang rawan tiroid kurang dari 3 atau 4 cm, maka visualisasi glotis diperkirakan akan sulit dilakukan (Rosenberg dan Rosenberg (1983) dikutip Gruendemann 2006))
Selama pemeriksaan praoperatif, pasien dengan riwayat apnea tidur obstruktif, sindrom kongenital, bedah leher atau wajah, stridor atau serak, nyeri, atau paristesia sewaktu menggerakkan leher, gigi tanggal atau goyang, atau perangkat gigi, misalnya kawat gigi mungkin menyulitkan kita saat membebaskan jalan napas. Catatan anastesi sebelumnya harus dikaji untuk mencari keterangan mengenai kualitas jalan napas, upaya laringoskopi dan keberhasilan intubasi. Saat pemeriksaan fisik, ahli anestesi ataupenata anestesi harus secara teliti memeriksa leher, mandibula, dan struktur serta mobilitas mulut. Kesejajaran tiga sumbu (oral, faring, dan trakea) mempermudah visualisasi laring. Kesejajaran sumbu-sumbu tersebut dilakukan dengan fleksi anterior spina servikalis bawah ditambah ekstensi sendi atlantooksipitalis (Rosenberg dan Rosenberg (1983) dalam Gruendemann (2006)
Faktor usia lanjut
Faktor usia lanjut dimana pasien sebelumnya menggunakan agen obat antihipertensi, antiparkinson, dan psikotropik merupakan obat-obat yang paling sering menimbulkan reaksi simpang pada orang tua (Kee, 1996).
Pasien berusia lanjut cenderung rentan terhadap obat-obat peneka susunan saraf pusat. Ha ini mungkin disebabkan oleh berkurangnya bahan-bahan sel dan penurunan fungsi sinaps secara progresif. Kecepatan hantara diketahui menurunseiring dengan penuaan. Penurunan konsentrasi alveolus minimal yang memerlukan anestesi inhalasi pada orang tua mungkin disebabkan oleh penurunan kepadatan sel di otak, penurunan konsumsi oksigen otak, dan penurunan darah otak (Rob (1968) dalam Gruendemann (2006)).
Korteks dan regio subkorteks yang bertanggung jawab menurunkan neurotransmiter, mengalami penurunan kapasitas fungsional terbesar akibat penuaan. Walaupun mekanisme peningkatan kepekaan orang tua terhadap obat anestesi dan sedatif masih belum jelas, tetapi epekaan juga ikut berkontribusi terhadap tingginya risiko perburukan mental pascaoperatif yang dialami oleh lanjut usia (McLeskey (1992) dalam Gruendemann (2006))
Pada pasien usia lanjut, penurunan aliran darah hati yang diamati sebanding dengan penurunan keseluruhan curah jantung total. Penurunan aliran darah ini adalah penentu utama penurunan bersihan (cleearance) obat plasma. Pada penuaan, konsentrasi dan fungsi enzim mikrosom hati diperkirakan tetap berada dalam rentang normal. Penurunan aliran darah dan berkurangnya kapasitas fungsional yang terjadi cenderung mempercepat penuaan hati sehinggga berisiko tinggi mengalami kerusakan akibat hipoksemia, obat, atau transfusi darah. Penurunan aliran darah hati, kemungkian defisit enzim, dan penurunan kemampuan ekskretorik ginjal dapat memperpanjanh waktu paruh eliminasi beta dan memperlama efek obat-obat yang diberikan (Kee, 1996).
Obat-obat pada sistem kardiovaskular, hati, dan ginjal aka memberikan dampak besar pada pmberian anestesi. Sebagai contoh, propranolol tampaknya tidak mengubah kebutuhan anestesi pasien dengan infusiensi ginjal, tetapi obat ini dapat menimbulkan agitasi, kebingungan, tremor, mioklonus, atau kejang. Efek hipotensi dan brakiardi dari propanolol dan anestesi umum yang muncul mungkun bersifat adiktif. Verapamil, suatu penghambat saluran kalsium, diketahui dapat menurunkan kebutuhan anestesi sebesar 25% dan memperkuat pelemas otot depolarisasi dan nondepolarisasi. Terapi jangka panjang dengan bretilium dapat menyebabkan hipersensitifitas terhadap golongan vasopresor (McLeskey (1992) dalam Gruendemann (2006)). Verapamil maupun nifedipine diketahui memperlihatkan kadar digoksin serum yang tinggi (sampai 30%), sehingga tidak saja menurunkan kebutuhan digoksin, tetapi juga membuat pasien semakin berisiko mengalami toksisitas (Chelly et al., (1987) dalam Gruendemaan (2006)). Aliran darah yang lamban dan kongesti kronis hati yang berkaitan dengan gagal jantung kronik memperlambat metabolisme obat-obat misalnya teofilin. Pada pasiendengan keadaan tersebut, waktu-paruh teofilin dalam serum adalah sekitar 23 jam, dibandingkan dengan nilai normal sebesar 7 jam (Gruendemann, 2006)
Kaji adanya kelainan pada prosedur diagnostik
Prosedur untuk menilai adanya gangguan pada organ-organ vital yang dapat mempersulit jalannya anestesi.
Prosedur penialaian laboratorium dan diagnostik harus dilakukan seiring dengan adanya riwayat proses penyakit dan medikasi yang dikonsumsi. Beberapa institusi menetapkan pemeriksaan prosedur standar pada pasien usia diatas 40 tahun, meliputi pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, urinalisis, dan EKG.
EKG
Pada populasi pasien rawat inap, EKG praoperatif yang dijalani oleh kelompok tertentu dapat memberikan informasi yang menyempurnakan perencanaan dan hasil akhir keseluruhan pada pasien pria berusia diatas 40 tahun; wanita diatas 50 tahun; pasien yang menderita penyakit arteri koroner, misalnya hipertensi, diabetes, atau penyakit yang mungkin berefek pada jantung misalnya keganasan, penyakit kolagen vaskular, dan proses infeksi serius. Kelompok lain yang beresiko adalah pasien yang mendapat obat seperti fenoziatin dan atidepresan, mereka yang mengalami ketidakseimbangan elektrolit, atau menjalani bedah intotoraks, intraperitonium, aorta, saraf elektif, atau bedah darurat serius (Schwartz, 2000)
Hemoglobin
Kadar hemoglobin pada pasien direkomendasikan lebih dari 10 g/dl. Tetapi nilai hemoglobin yang lebih rendah dari 10 g/dl atau anemia biasanya masih bisa diteloransi pada orang yang sehat karena berbagai mekanisme kompensasi masih aktif bekerja.
Mekanisme tersebut antara lain peningkatan curah jantung, penurunan resistensi sistemik, dan peningkatan rasio ekstraksi oksigen.
Namun, keadekuatan mekanisme tersebut dalam mengatasi stres yang berlebihan saat pembedahan atau pendarahan mendadak yang banyak, masih dipertanyakan.
Pembahasan akan kurang kontroversial jika pemberian darah dan produk darah selama pembedahan aman 100%. Penting diingat bahwa anemia menyebabkan penurunan cadangan darah dan deplesi mekanisme kompensasi. Dengan demikian, nilai hemoglobin praoperatif yang optimal adalah nilai yang memiliki cadangan cukup untuk menghadapi stres selama prosedur pembedahan.
Urine Rutin
Pemeriksaan urine rutin seperti berat jenis urine berguna untuk mengetahui status hidrasi pasien. Adanya glukosa dalam urine jelas mengindikasikan kemungkinan adanya diabetes dan hpovolemia akibat diuresis osmotik. Proteinuria atau hematuria mengindikasikan adanya penyakit ginjal yang serius.
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi praoperatif diperlukan untuk mengidentifikasi pasien yang beresiko tinggi atau mendasari penilaian tingkat keparahan perubahan paru intraoperatif dan pascaoperatif.
Beri dukungan praanestesi
Hubungan emosional yang baik anatarpenata anestesi dan pasien akan memengaruhi penerimaan anestesi.
Lakukan pemberian anestesi secara ntravena
Pemberian anestesi intravena biasanya dilakukan penata anestesi dengan sepengetahuan ahli anestesi. Pemberian suksinilkolin (succinylcholine) secara intravena sebagai obat intravena pertama bertujuan untuk mengahambat saraf dan menyebabkan paralitis pita suara sementara dan otot pernapasan selam selang endotrakeal terpasang.
Lakukan pemasangan selang endotrakeal, pemasangan oral airway, dan kaji efektivitas jalan napas.
Pemasangan selang endotrakeal biasanya dilakukan ahli anestesi atau penata anestesi dengan diketahui oleh ahli anestesi. Selang endotrakeal bertujuan untuk tetap menjaga kepatenan jalan napas, serta mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi dan komplikasi pernapasan lainnya akibat depresi pada brokus efek dari anestesi
Penata anestesi akan membantu akan membantu melakukan penekanan tulang rawan krikoid (perasat Sellick) untuk menyumbat esofagus pada saat perasat endotrakeal dilakukan.
Pemasangan oral airway akan menjaga kepatenan jalan napas dan memudahkan penata anestesi untuk memonitor kepatenan jalan napas.
Lakukan pemberian napas bantuan, pemberian oksigen, pengisapan, dan pemberian anestesi inhalasi
Ahli anestesi atau penata anestesi akan memberikan ventilasi bantuan sampai efek suksinilkolin hilang dan pasien kembali bernapas secara spontan. Mulai saat itu, gas atau uap anestesi biasanya diberikan secara inhalasi melalui melalui selang endotrakeal. Beberapa obat-obatan yang sering digunakan adalah halotan, supran, dan foran.
Lakukan pemantauan status kardiovaskular dan respirasi selama pembedahan
Risiko terbesar dari anestesi umum adalah efek samping obat-obatan anestesi, termasuk di antaranya depresi, iritabilitas kardiovaskular dan respirasi dapat mendeteksi risiko kegawatan sedini mungkin.
Lakukan pemberian cairan dan transfusi sesuai kondisi dan lamanya pembedahan serta kontrol keluaran urine.
Dilakukan pada prosedur pembedahan yang berlangsung lama atau apabila dilakukan antisipasi terhadap perubahan volume cairan dan darah secara cermat serta perkiraan darah yang terdapat di dalam spons menjadi tugas bersama ahli anestesi dan perawat sirkulasi. Apabila pasien adalah anak-anak, penata anestesi sirkulasi harus menimbang sponsoperasi (1 g setara dengan 1 ml darah) untuk menentukan pengeluaran darah secara lebih akurat. Karena volume darah anak lebih sedikit, maka perawat harus mengingatkan ahli anestesi mengenai darah yang keluar dalam interval tertentuselama pembedahan.
Lakukan pemberian obat-obat pemulih anestesi setelah pembedahan selesai.
Pemberian obat-obat pemulih anestesi biasanya dilakukan ahli atau penata anestesi dengan diketahui oleh ahli anestesi.
Lakukan pembersihan jalan napas setelah pembedehan selesai dilaksanakan
Jalan napas dibersihkan dengan pengisapan, dan setelah refleks laring dan faring pulih maka dilakukan ekstubasi. Penata anestesi tetap berada di kamar operasi dengan ahli anestesi, sampai pasien siap dipindahkan ke ruang pemulihan. Secara umum, peralatan dan instrumen jangan dipindahkan dari ruangan sampai pasien stabil dan siap dipindahkan.
Evaluasi Keperawatan Intraoperatif
Evaluasi yang diharapkan pada pasien Intraoperatif, meliputi :
Pasien kooperatif terhadap intervensi.
Pasien dapat menjadi tidak sadar sesuai tahapan anastesi