������� ��������� �����������
�������� ������ �����������
(����� ���������� �����������)
����
� � �.� �� �� �� �� �� �� �.� � �� � �� �� .� � �
Definisi Cerebellar Astrocytoma Astrositoma adalah kelompok tumor SSP primer yang tersering. Astrositoma adalah sekelompok neoplasma heterogen yang berkisar dari lesi berbatas tegas tumbuh lambat seperti astrositoma pilositik hingga neoplasma infiltratif, yang sangat ganas seperti glioblastoma multiform. Astrositoma fibriler (difus) mempunyai pertumbuhan yang infiltratif. Meskipun paling sering ditemukan pada orang dewasa, tumor ini dapat timbul pada semua usia. Tumor tipe ini paling sering ditemukan pada hemisferium serebri meskipun dapat ditemukan dimana saja pada SSP. Astrositoma pilositik lebih sering terjadi pada anak meskipun dapat timbul pada semua usia. Tempat yang paling sering terkena adalah serebelum, ventrikel ketiga, dan saraf optikus, tetapi seperti pada kasus astrositoma fibrilar (difus), semua bagian SSP dapat terkena. (Japardi, 2003). Astrositoma menginfiltrasi otak dan sering berkaitan dengan kista dalam berbagai ukuran. Walaupun menginfiltrasi jaringan otak, efeknya pada fungsi otak hanya sedikit sekali pada permulaan penyakit. Pada umumnya, astrositoma tidak bersifat ganas walaupun dapat mengalami perubahan keganasan menjadi glioblastoma, suatu astrositoma yang sangat ganas. Tumor-tumor ini pada umumnya tumbuh lambat. Oleh karena itu, penderita sering tidak datang berobat walaupun tumor sudah berjalan bertahun-tahun sampai timbul gejala. (Robins dkk, 2002) Astrositoma merupakan tumor yang berpotensi tumbuh menjadi invasif, progresif, dan menimbulkan berbagai gejala klinik. Tumor ini akan menyebabkan penekanan pada jaringan otak sekitarnya, invasi dan destruksi pada parenkim otak. Fungsi parenkim akan terganggu karena hipoksia arterial dan vena, terjadi kompetisi pengambilan nutrisi, pelepasan produk metabolisme, serta adanya pengaruh pelepasan mediator radang sebagai akibat lanjut dari hal diatas. Efek massa yang ditimbulkan, dapat menimbulkan gejala defisit neurologis fokal berupa kelemahan suatu sisi tubuh, gangguan sensorik, parese/kelemahan nervus kranialis atau bahkan kejang. (Price dkk, 2005) Astrositoma derajat rendah yang merupakan grade II klasifikasi WHO, akan tumbuh lebih lambat dibandingkan dengan bentuk yang maligna. Tumor doubling time untuk astrositoma tingkat rendah kira-kira lebih lambat dari astrositoma anaplastik (grade III astrocytoma). Sering dibutuhkan beberapa tahun sejak munculnya gejala hingga diagnosa astrositoma derajat rendah ditegakkan kira-kira sekitar 3,5 tahun. ( Price dkk, 2005) Insidensi Kebanyakan kasus astrositoma pilositik timbul pada 2 dekade awal kehidupan. Tetapi pada astrositoma derajat rendah, 25% kasus berlaku pada
���.��� ������ �����. ���������. ���
���� 2
orang dewasa pada usia 30-40 tahun, 10% astrositoma derajat rendah terjadi pada orang berumur kurang dari 20 tahun, 60% astrositoma derajat rendah terjadi pada usia 20-45 tahun dan 30% pada astrositoma derajat rendah terjadi pada usia > 45 tahun. Lokasi yang paling sering pada frontotemporo-parietal terletak pada cerebrum, dengan predominan pada lobus rontalis (64%) yang diikuti lobus temporalis (29%). (Japardi, 2003) Etiologi Sejumlah penelitian epidemiologi belum berhasil menentukan faktor penyebab terjadinya tumor otak, terkecuali pemaparan terhadap sinar-X. Anak-anak dengan leukemia limfositik akut yang menerima radioterapi profilaksis pada susunan saraf pusat akan meningkatkan risiko untuk menderita astrositoma, bahkan glioblastoma. (Rosai dkk, 2004) Tumor ini juga dihubungkan dengan makanan yang banyak mengandung senyawa nitroso (seperti nitosurea, nitrosamine, dan lain-lain). Saat ini penelitian yang menghubungkan tumor jenis ini dengan kerentanan genetik tertentu terus dikembangkan. Tumor ini sering dihubungkan dengan berbagai sindroma seperti Li-Fraumeni Syndrome, mutasi Germline p53, Turcot Syndrome, dan neurofibromatosis tipe 1 (NF-1). (de Grood, 1991) Klasifikasi
Astrositoma, secara umum dan yang paling banyak dipakai, menurut World Health Organizationdibagi didalam beberapa tipe dan grade: (Taufik, 2010) 1. Astrositoma Pilositik (Grade I) Tumbuh lambat dan jarang menyebar ke jaringan disekitarnya. Tumor ini biasa terjadi pada anak-anak dan dewasa muda. Mereka dapat disembuhkan secara tuntas dan memuaskan. Namun demikian, apabila mereka menyerang pada tempat yang sukar dijangkau, masih dapat mengancam hidup. (Taufik, 2010) 2. Astrositoma Difusa (Grade II) Tumbuh lambat, namun menyebar ke jaringan sekitarnya. Beberapa dapat berlanjut ke tahap berikutnya. Kebanyakan terjadi pada dewasa muda. (Taufik, 2010) 3. Astrositoma Anaplastik (Grade III) Sering disebut sebagai astrositoma maligna. Tumbuh dengan cepat dan menyebar ke jaringan sekitarnya. Sel-sel tumornya terlihat berbeda dibanding dengan sel-sel yang normal. Rata-rata pasien yang menderita tumor jenis ini berumur 41 tahun. (Taufik, 2010) 4. Gliobastoma multiforme (Grade IV)
���.��� ������ �����. ���������. ���
���� 3
Tumbuh dan menyebar secara agresif. Sel-selnya sangat berbeda dari yang normal. Menyerang pada orang dewasa berumur antara 45 sampai 70 tahun. (Taufik, 2010). Tumor ini merupakan salah satu tumor otak primer dengan prognosis yang sangat buruk. Grade I dan II juga dikenal sebagai Astrositoma berdifrensiasi baik (Well differentiated astrocytomas). Patofisiologi Astrositoma adalah kelompok tumor SSP primer yang tersering. Astrositoma adalah sekelompok neoplasma heterogen yang berkisar dari lesi berbatas tegas tumbuh lambat seperti astrositoma pilositik hingga neoplasma infiltratif, yang sangat ganas seperti glioblastoma multiform. Astrositoma fibriler (difus) mempunyai pertumbuhan yang infiltratif. Meskipun paling sering ditemukan pada orang dewasa, tumor ini dapat timbul pada semua usia. Tumor tipe ini paling sering ditemukan pada hemisferium serebri meskipun dapat ditemukan dimana saja pada SSP. Astrositoma pilositik lebih sering terjadi pada anak meskipun dapat timbul pada semua usia. Tempat yang paling sering terkena adalah serebelum, ventrikel ketiga, dan saraf optikus, tetapi seperti pada kasus astrositoma fibrilar (difus), semua bagian SSP dapat terkena. (Japardi, 2003). Astrositoma menginfiltrasi otak dan sering berkaitan dengan kista dalam berbagai ukuran. Walaupun menginfiltrasi jaringan otak, efeknya pada fungsi otak hanya sedikit sekali pada permulaan penyakit. Pada umumnya, astrositoma tidak bersifat ganas walaupun dapat mengalami perubahan keganasan menjadi glioblastoma, suatu astrositoma yang sangat ganas. Tumor-tumor ini pada umumnya tumbuh lambat. Oleh karena itu, penderita sering tidak datang berobat walaupun tumor sudah berjalan bertahun-tahun sampai timbul gejala. (Robins dkk, 2002) Astrositoma merupakan tumor yang berpotensi tumbuh menjadi invasif, progresif, dan menimbulkan berbagai gejala klinik. Tumor ini akan menyebabkan penekanan pada jaringan otak sekitarnya, invasi dan destruksi pada parenkim otak. Fungsi parenkim akan terganggu karena hipoksia arterial dan vena, terjadi kompetisi pengambilan nutrisi, pelepasan produk metabolisme, serta adanya pengaruh pelepasan mediator radang sebagai akibat lanjut dari hal diatas. Efek massa yang ditimbulkan, dapat menimbulkan gejala defisit neurologis fokal berupa kelemahan suatu sisi tubuh, gangguan sensorik, parese/kelemahan nervus kranialis atau bahkan kejang. (Price dkk, 2005) Astrositoma derajat rendah yang merupakan grade II klasifikasi WHO, akan tumbuh lebih lambat dibandingkan dengan bentuk yang maligna. Tumor doubling time untuk astrositoma tingkat rendah kira-kira lebih lambat dari astrositoma anaplastik (grade III astrocytoma). Sering
���.��� ������ �����. ���������. ���
���� �
dibutuhkan beberapa tahun sejak munculnya gejala hingga diagnosa astrositoma derajat rendah ditegakkan kira-kira sekitar 3,5 tahun. ( Price dkk, 2005) WOC
Genetik
Makanan karsinogenik
Radiasi
Mutasi sel
CEREBELLAR ASTROCYTOMA
Pre operatif
Penekanan jaringan otak Terbentuknya edema sekitar
PTIK
Perubahan sirkilasi CSF
Post operatif
Tindakan operasi
MK : Nyeri
Luka insisi dan jahitan
Port de entri masuknya kuman
Bertambahnya masa otak
Mekanisme kompensasi
Menekan reseptor nyeri
Herniasi serebelum
Kompresi medula
Menekan saraf otak
Kerusakan sirkulasi
MK : Ansietas
MK : resiko infeksi
Nyeri kepala
Mual, muntah proyektil Nilai natrium daan klorida ↓
MK : perubahan perfusi jaringan
MK : resiko kekurangan cairan
���.��� ������ �����. ���������. ���
���� �
Manifestasi Klinis Kejang-kejang umum merupakan manifestasi utama yang seringkali dijumpai, walaupun secara retrospektif dapat djumpai gangguan-gangguan lain terlebih dahulu seperti kesulitan berbicara, perubahan sensibilitas, gangguan penglihatan atau motorik Pada tumor low grade astrositoma kejang-kejang dijumpai pada 80% kasus dibandingkan highgrade sebesar 30%. (Kleihuism, 2003) Jika dibandingkan dengan astrocytoma anaplastic, gejala awal berupa kejang lebih jarang dijumpai. Gejala lainnya adalah meningginya tekanan intrakranial sebagai akibat pertumbuhan tumor yang dapat menyebabkan edema vasogenik. Penderita mengalami keluhankeluhan sakit kepala yang progresif, nausea, muntah-muntah, mengantuk, dan gangguan penglihatan (edema papil pada pemeriksaan funduskopi, atau diplopia akibat kelumpuhan nervus abdusens). Gejala meningginya tekanan intrakranial lainnya adalah terjadinya hidrosefalus. Semakin bertumbuhnya tumor gejala-gejala yang ditemukan sangat tergantung dari lokasi tumor tersebut. Tumor supratentorial dapat menyebabkan gangguan motorik atau sensitifitas, hemianopsia, afasia atau kombinasi gejala-gejala. Sedangkan tumor di fosa posterior dapat menimbulkan kombinasi dari gejala-gejala kelumpuhan saraf kranial, disfungsi serebeler dan gangguan kognitif. Prosedur Diagnostik a. Computed Tomography (CT)- scan 1. Astrositoma Gradasi Rendah : Dapat memperlihatkan gambaran hipodens dengan bentuk yang ireguler dan tepinya bergerigi. Astrositoma yang lain ber bentuk bulat atau oval dengan tepi yang tegas yang dapat disertai dengan kista. Adanya tumor kistik akan lebih nyata bila ditemukan fluid level di dalam lesi atau adanya kebocoran kontras media ke dalam tumornya. Kalsifikasi tampak pada 81% dan efek masa tampak pada 50%. Enhancement terlihat pada 50%, biasanya merata dan tidak tajam. (Taufik, 2010)
2. Astrositoma Anaplastik : CT polos, tampak sebagai gambaran hipodens atau densitas campuran yang heterogen. Enhancement media kontras tampak pada 78%, dapat berupa gambaran lesi yang homogen, noduler atau pola cincin yang kompleks. (Taufik, 2010) 3. Glioblastoma Multiforme: Gambaran CT bervariasi, hal ini merefleksikan gambaran patologinya yang heterogen. Pola yang khas, lesi berdensitas campuran yang heterogen atau hipodens, yang pada pemeriksaan paseakontras menunjukkan bentuk yang ireguler dengan pola enhancement cincin yang
���.��� ������ �����. ���������. ���
���� �
ketebalannya bervariasi, dan biasanya ada efek masa. Adanya penebalan dan pelebaran dari septum pelusidum yang tampak path enhanced sean sangat spesifik untuk neoplasma intraaksial. Hal ini tampak pada glioma dan metastasis tetapi tidak tampak pada meningioma atau adenoma hipofisis (Price dkk, 2005). b. Magnetic Resonance Imaging (MRI) MRI Scan dengan penampakan tumor pada potongan axial dan sagital ialah metode pilihan pada kasus-kasus curiga astrositoma. MRI memberikan garis batas tumor lebih akurat dibandingkan dengan CT Scan, dan MRI Scan yang teratur dapat dilakukan sebagai follow up pasca penatalaksanaan. Dengan CT Scan, Astrositoma biasanya terlihat sebagai daerah dengan peningkatan densitas dan menunjukkan peningkatan setelah penginfusan dari bahan kontras. Pergeseran struktur-struktur garis tengah dan penipisan daripada dinding ventrikel lateralis di sisi tumor dapat terlihat. (Taufik, 2010) Diagnosis Diferensial Tanda khas glioma berupa lesi yang bentuknya ireguler, berdensitas heterogen dengan enhancement cincin yang tebalnya bervariasi biasanya dapat dibedakan dari suatu meningioma yang bentuknya lebih reguler dan densitasnya lebih homogen (pada pemeriksaan dengan media kontras). Bila lesinya tunggal, tidak selalu dapat dibedakan antara glioma dari metastasis, limfoma atau sarkoma.Pada beberapa kasus, pola CT dari infark serebri dapat menyerupai suatu glioma. Bila di ferensiasinya tidak dapat dibuat pada CT polos, ulangan CT dapat dilakukan 7- 10 hari kemudian. Hal-hal penting dalam diagnosis diferensial suatu infark adalah : bentuknya reguler dibatasi vaskuler, efek masa kurang dibanding dengan glioma. Pada umumnya menyebabkan gyral enhancement dan jarang menunjukkan enhancement noduler atau cincin tipis di bagian perifernya. (Taufik, 2010). Penatalaksanaan 1. Terapi suportif Mengatasi edema serebri (kortikosteroid) dan mengatasi kejang (antikonvulsan)Terapi edema serebri untuk pasien yang belum mendapat steroid sebelumnya. Dewasa : 10 mg/iv loading dose kemudian 6 mg p.o/iv setiap 6 jam .Pada edema vasogenik yang berat berikan 10 mg setiap 4 jam. Pediatrik : 0,5 1 mg/kg/i.v loading dose, kemudian 0,25 - 0,5 g/kgbb/hari po/i.v dengan dosis terbagi setiap 6 jam. Untuk pasien yang telah mendapat steroid : Pada perburukan klinis yang akut dapat diberikan 2 kali lipat dosis biasa. (Greenberg, 2001)
���.��� ������ �����. ���������. ���
���� �
2. Terapi operatif Reseksi total pada serangkaian operasi telah memperlihatkan durasi hidup yang lebih lama. Dilakukan biopsy jika meningkat < 10% massa tumor. Reseksi subtotal jika mengangkat 10-90% massatumor, reseksi total jika >90%. Pemeriksaan histologi harus dilakukan untuk menegakkan diagnosa. Untuk penanganan tekanan tinggi intrakranial dapat dipakai shunt yang dipasang selama beberapa hari atau minggu sebelum dil akukan operasi (Greenberg, 2001) 3. Terapi radiasi Radiasi diberikan jika tidak semua tumor dapat diangkat saat operasi (reseksi subtotal). Radiasiminimal 6000 rad pada sisa tumor dan sekitar (25cm). Respon terhadap radiasi dikatakan baik jika terjadi pengurangan massa tumor >50% (CT Scan / MRI) atau terjadi perbaikan gejala klinis. Jadi radiasi ini berguna untuk tumor yang mengalami pembedahan subtotal, tumor yang mengalami rekurens, atau tumor tidak dapat dioperasi. (Greenberg, 2001) 4. Kemoterapi Kemoterapi paliatif dilakukan jika terjadi rekurensi atau tumor tetap persisten setelah pembedahan atau raditerapi. Pada 10% pasien memberikan keuntungan yang signifikan, biasanyadiberikan BC NU atau Procarbasin. (Greenberg, 2001) Prognosis Prognosa tergantung dari usia, lokasi, kecepatan tumbuh, rekurensi, reseksi, performan postoperasi, gambaran grade histologi. Prognosis tergantung dari progesifitas menjadi tumor yang malignan.Pada pasien dengan low grade astrositoma usia lebih tua prognosis lebih buruk dibendingkan dengan pasien yang lebih muda walaupun dengan lokasi yang sama. Prognosis pada pilocystik astrositomatergantung pada lokasi, pasien dengan bedah reseksi tumor pada hemisfer serebral biasanya memiliki prognosa yang baik. Rata-rata harapan hidup pada pasien lowgrade astrocytoma antara 6-8 tahun denganvariasi individu yang berbeda. (Kleihus dkk, 1997) Harapan hidup pasien berdasarkan grade, tergantung pada parameter klinik meliputi usia, lokasitumor dan pengobatan (Radiasi atau kemoterapi), yaitu : lebih dari 5 tahun (8-10th) untuk low-gradediffuse astrocytoma (WHO Grade II, St Anne / Mayo grade 1 dan 2), 2-5 tahun untuk anaplastik astrocitoma (WHO Grade III, St Anne/Mayo grade 3) dan kurang dari 1 tahun untuk pasien denganglioblastoma (WHO Grade IV, St Anne / Mayo grade 4). (Kleihus dkk, 1997)
���.��� ������ �����. ���������. ���
���� �
ASUHAN KEPERAWATAN Kasus
Anak D usia 8 tahun, masuk RS dengan keluhan kejang dan penurunan kesadaran. Dari pemeriksaan fisik didapatkan TD = 100/60 5 mmHg, N = 90 x/menit, S = 37 C, RR = 24 x/menit terpasang oksigen masker 8 lpm, GCS = 2 1 5. Dari hasil laboratorium didapatkan : K = 3.4 , Na = 124 Cl = 87, BUN = 13. Hasil CT-scan didapatkan cerebellar astrocytoma. Pengkajian Identitas 1. Nama 2. Umur 3. Suku/bangsa 4. Agama 5. Pendidikan 6. Pekerjaan 7. Alamat
: Nn. D : 8 tahun : Indonesia :: SD :: Surabaya
Riwayat Penyakit Sekarang 1. Keluhan utama : kejang 2. Riwayat penyakit sekarang : sebelum dibawa ke rumah sakit pasien tibatiba kejang dan kemudian mengalami penurunan kesadaran Riwayat Penyakit Dahulu Sebelumnya pasien sering mengalami kejang tapi tidak sampai kehilangan kesadaran. Riwayat Penyakit Keluarga Kakek pasien sempat mengalami tumor di kepala sebelum meninggal 2 tahun yang lalu. Observasi dan Pemeriksaan Fisik (ROS) 1. Tanda-tanda Vital 5 TD = 100/60 mmHg, N = 90 x/menit, S = 37 C, RR = 24 x/menit 2. B1 Keluhan : sesak Irama nafas : tidak teratur Suara nafas : vesikuler Batuk : (-) Alat bantu : ya, oksigen masker 8 lpm
���.��� ������ �����. ���������. ���
���� �
3. B2 Nyeri dada : (-) Suara jantung : normal Irama jantung : irregular Akral : hangat CRT : >2 detik 4. B3 GCS :215 Gangguan tidur: sulit tidur Pusing : ya (nyeri kepala) Pupil : isokor Konjungtiva : anemis 5. B4 6. B5 Muntah : (+) 7. B6 Turgor menurun Pemeriksaan Penunjang Laboratorium : K = 3.4 (normal 3.5 – 5.1 mmol/l), Na = 124 (normal 136-145 mmol/l), Cl = 87 (normal 98-102 mmol/l), BUN = 13 (normal 7-18 mg/dl). Hasil CT-scan didapatkan cerebellar astrocytoma. Analisa Data
DATA Obyektif : - Na = 124 mmol/l - Cl = 87 mmol/l - Konjungtiva anemis - RR meningkat (24x/menit).
ETIOLOGI Tumor pada otak
MASALAH Resiko kekurangan volume cairan
Menekan reflek mual muntah Mual muntah Resiko kekurangan volume cairan
Subyektif : penurunan kesadaran.
Penekan massa oleh tumor di otak
Obyektif : - GCS 2 1 5 - CRT >2 detik - Alat bantu nafas O2 8
Kerusakan sirkulasi darah
Perubahan perfusi jaringan otak
Supplay O2 ↓
���.��� ������ �����. ���������. ���
���� 10
-
lpm. RR meningkat (24x/menit).
Perubahan perfusi jaringan cereberal
Diagnosa Keperawatan Pre operatif a. Resiko kekurangan volume cairan b.d mual muntah. b. Perubahan perfusi jaringan otak b.d kerusakan sirkulasi akibat penekanan pada otak. c. Ansietas b.d kurangnya pengetahuan tentang tindak operasi. Post operatif a. Nyeri b.d pasca tindakan operasi pengangkatan tumor. b. Resiko infeksi b.d port de entri masuknya kuman sekunder pembedahan. Intervensi Keperawatan Pre operatif
N o.
1.
2.
DIAGNOSA KEPERAWATAN (Tujuan dan Kriteria Hasil) Resiko kekurangan volume cairan b.d mual muntah. Tujuan : mencegah terjadinya deficit volume cairan. Setelah dilakukan intervensi 1x24 jam pasien akan melaporkan kriteria hasil : - Nilai natrium dan klorida kembali normal. - RR kembali normal. - Konjungtiva tidak anemis. Perubahan perfusi jaringan otak b.d kerusakan sirkulasi akibat penekanan pada otak. Tujuan : Tingkat
INTERVENSI
RASIONAL
1. Kolaborasi : Konsultasikan dengan dokter untuk pemberian cairan parenteral.
1. Cairan parenteral NaCl dapat membantu mengembalikan dengan cepat nilai natrium dan klorida pasien kembali normal. 2. Pantau ketat pemasukan 2. Dengan memantau dan pengeluaran cairan, jumlah pemasukan dan turgor kulit dan keadaan pengeluaran cairan membran mukosa. sehingga kita dapat mengontrol dan mencegah terjadinya deficit volume cairan (dehidrasi).
1. Pantau status neurologis dan pantau tanda vital tiap 4 jam bandingkan dengan nilai standar.
1. Bermanfaat untuk mengkaji adanya perubahan pada tingkat kesadran dan potensial peningkatan TIK dan menentukan lokasi,
���.��� ������ �����. ���������. ���
���� 11
3.
kesadaran stabil atau ada perbaikan, tidak adanya tanda – tanda peningkatan Tekanan Intra Kranial. Setelah dilakukan intervensi 1x24 jam pasien akan melaporkan kriteria hasil : - GCS 4 5 6 - CRT <2 detik - RR normal (1620x/menit).
perluasan dan perkembangan kerusakan SSP. Kehilangan autoregulasi dapat mengikuti kerusakan vaskularisasi serebral lokal dan menyeluruh. 2. Pertahankan posisi 2. Kepala yang miring pada kepala semifowler. salah satu sisi atau telentang lurus menekan vena jugularis dan menghambat aliran darah vena yang selanjutnya akan meningkatkan TIK. 3. Bantu pasien untuk 3. Aktivitas ini akan menghindari/membatasi meningkatkan tekanan batuk, muntah, intra toraks dan intra pengeluaran feses yang abdomen yang dapat dipaksakan/mengejan. meningkatkan TIK. 4. Perhatikan adanya . Petunjuk non verbal ini gelisah yang meningkat, mengindikasikan adanya peningkatan keluhan dan penekanan TIK atau tingkah laku yang tidak menandakan adanya sesuai lainnya. nyeri ketika pasien tidak dapat mengungkapkan keluhannya secara verbal.
Ansietas b.d kurangnya pengetahuan tentang tindak operasi. Tujuan : ansietas berkurang. Setelah dilakukan intervensi 1x24 jam pasien akan melaporkan kriteria hasil : - Denyut nadi stabil. - Mengerti gambaran tentang tindakan operasi yang akan dijalani.
1. Berikan edukasi pada pasien dan keluarga tentang proses operasi yang akan dijalani pasien.
1. Dengan memberi informasi pasien dan keluarga tentang tindak operasi yang akan dijalani pasien dapat mengurangi kecemasan pasien.
2. Bantu pasien untuk mempersiapkan diri sebelum pelaksanaan operasi, misal : puasa.
2. Puasa merupakan salah satu persiapan sebel operasi dengan tujuan agar tidak terjadi kontaminasi saat operasi sedang berjalan.
���.��� ������ �����. ���������. ���
���� 12
- Siap menjalani tindakan operasi.
Post operatif DIAGNOSA N KEPERAWATAN INTERVENSI o. (Tujuan dan Kriteria Hasil) Nyeri b.d pasca tindakan 1. Ajarkan pasien dan operasi pengangkatan keluarga tentang tindakan tumor. pengendalian nyeri Tujuan : mengurangi nyeri sebelum menjadi berat yang dirasakan pasien. dengan cara Setelah dilakukan nonfarmakologi, misal : intervensi 1x24 jam pasien relaksasi, terapi music, akan melaporkan kriteria distraksi. hasil : 2. Kendalikan faktor - Nyeri berkurang / lingkungan yang dapat 1. terkontrol yaitu dengan mempengaruhi respon menunjukan penurunan nyeri, seperti suhu skala nyeri. ruangan, cahaya, - Pasien dapat kebersihan dan suara menunjukan tekhnik yang ada disekitar pasien. relaksasi secara 3. Kolaborasikan dengan individual yang efektif dokter untuk pemberian untuk mencapai analgesic seperti opiate kenyamanan. atau PCA untuk mengelola nyeri pasca operasi.
2.
Resiko infeksi b.d port de 1. Instruksikan pada pasien entri masuknya kuman dan keluarga untuk sekunder pembedahan. menjaga hygiene pasien. Tujuan : faktor resiko infeksi akan hilang. 2. Anjurkan pasien untuk Setelah dilakukan memperbaiki pemasukan intervensi 1x24 jam pasien nutrisi sesuai indikasi akan melaporkan kriteria dokter dan ahli gizi. hasil : - TTV dalam rentang normal. - Menunjukan status
RASIONAL
1. Teknik pengendalian nyeri nonfarmakologi ini dapat memandirikan pasien dalam mengelola nyeri yang dialami tanpa ada efek samping ketergantungan obat. 2. Dengan menciptakan lingkungan yang nyaman bagi pasien dapat mengurangi intensitas nyeri dan mendukung proses penyembuhan. 3. Analgesic seperti PCA dan opiate dapat membantu pasien untuk meringankan rasa nyeri yang dialami. 1. Hygiene pasien yang baik dapat menurunkan resiko terjadinya infeksi. 2. Dengan pemasukan nutrisi yang adekuat akan membantu mempercepat penyembuhan luka dan reepitelisasi sel-sel yang telah rusak serta memperkuat
���.��� ������ �����. ���������. ���
���� 13
nutrisi yang adekuat. - Menunjukan hygiene pribadi yang adekuat.
3. Lakukan perawatan luka secara rutin.
4. Observasi TTV pasien secara rutin .
5. Kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian antibiotic.
pertahanan imun. 3. Perawatan luka dibutuhkan bagi pasien post op. untuk menjaga kesterilan luka agar tidak terjadi infeksi dan pertumbuhan kuman dan bakteri. 4. Dari nilai TTV yang diobservasi secara rutin kita dapat mengetahui tanda-tanda adanya infeksi. 5. Antibiotic berguna untuk mencegah terjadinya infeksi dengan meningkatkan imun tubuh.
���.��� ������ �����. ���������. ���
���� 1�
PENUTUP Kesimpulan Astrositoma adalah kelompok tumor SSP primer yang tersering. Astrositoma adalah sekelompok neoplasma heterogen yang berkisar dari lesi berbatas tegas tumbuh lambat seperti astrositoma pilositik hingga neoplasma infiltratif, yang sangat ganas seperti glioblastoma multiform. Astrositoma fibriler (difus) mempunyai pertumbuhan yang infiltratif. Meskipun paling sering ditemukan pada orang dewasa, tumor ini dapat timbul pada semua usia. Tumor tipe ini paling sering ditemukan pada hemisferium serebri meskipun dapat ditemukan dimana saja pada SSP. Astrositoma pilositik lebih sering terjadi pada anak meskipun dapat timbul pada semua usia. Tempat yang paling sering terkena adalah serebelum, ventrikel ketiga, dan saraf optikus, tetapi seperti pada kasus astrositoma fibrilar (difus), semua bagian SSP dapat terkena. (Japardi, 2003) Peran perawat sangat mempengaruhi pada keberhasilan dalam mencapai tujuan dan hasil akhir yang diharapkan dalam perawatan. Dimana asuhan keperawatan pada pasien Cerebellar Astrocytoma lebih ke arah pemenuhan kebutuhan pasien sebelumdan setelah operasi. Perawat juga perlu memberikan health educatin pada klien dan keluarga, sehingga klien akan mampu mengontrol nyeri akibat penyakit maupun akibat post operasi dengan memanipulasi komponen - komponen alamiah dalam kehidupan sehari-hari. Saran
Untuk mencegah terjadinya tumor otak terutama Cerebellar Astrocytoma pada anak diperlukan kesadaran untuk membiasakan diri makan-makanan sehat non karsinogenik maupun makanan yang banyak mengandung senyawa nitroso serta menghindari faktor-faktor yang dapat memicu munculnya tumor pada otak kecuali faktor keturunan. Sebagaimana peran perawat dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia, seorang perawat harus lebih aktif dalam meninjau gangguan funsi saraf pusat pada klien.
���.��� ������ �����. ���������. ���
���� 1�
DAFTAR PUSTAKA
Adam and Victors, Intracranial Neoplasms and Paraneoplastic Disorders in Manual of Neurology. ed.7. McGraw Hill, New York, 2002 : 258-263. Anonym. Astrositoma. Available from http://e-infomu.com/berita-129astrositoma.html. di akses tanggal 17 agustus 2011. Capodano AM. Nervous system : Astrocytic tumors. Atlas Genet Cytogenet Oncol Haematol. November 2000. Availaible from http://atlasgeneticsoncology.org/Tumors/AstrocytID5007.html . di akses tanggal 17 agustus 2011. Fauci A BE, Kesper D, Hauser S, Longo D, Jameson J, Loscalzo J. Harrison’s Manual of Medicine. New York.2009. Mc Graw Hill. p 1031-5 Japardi Iskandar. Astrositoma : insidens dan pengobataan. Jurnal Kedokteran Trisakti. No.3/Vol.22/September-desember 2003 : 110-5. Kennedy Benjamin. Astrocytoma. [online] 2011. Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/283453-overview M.L. Grunnet M.D. Cerebellar Astrocytoma. Synopsis. Available from http://esynopsis.uchc.edu/eatlas/cns/1764.htm di akses tanggal 17 agustus 2011. Price A. Sylvia, Wilson M. Lorraine. Patofisiologi. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005 h. 1184. Robins, Kumar, Cotran. Buku Ajar Patologi. Volume 2. Edisi 7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2002 h. 928-30. Sabiston C,David. 1994. Buku Ajar Bedah, ed.2. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC : 504. Taufik Maulana. Kumpulan Makalah Kedokteran. Astrositoma. [online]. Available from URL:http://kumpulanmakalahkedokteran.blogspot.com/2010/04/astros itoma_16.html
���.��� ������ �����. ���������. ���
���� 1�