ASAS-ASAS HUKUM PEMBUKTIAN PE RD ATA
Sanksi Pelanggaran Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang HAK CIPTA, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1987 jo. Undang-Undang No. 12 Tahun 1997, bahwa: 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau menyebarkan menyebarkan suatu ciptaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun t ahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun t ahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Prof. Dr. Achmad Ali, S.H., M.H.
ASAS-ASAS HUKUM PEMBUKTIAN PERDATA
Prof. Dr. Achmad Ali, S.H., M.H. HUKUM PEMBUKTIAN PERDATA ©2012 Achmad Ali Edisi Pertama. Cetakan Ke-1
Kencana. 2011.0075 Hak Penerbitan pada Prenada Media Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit
Cover Percetakan Lay-out
Irfan Fahmi Fajar Interpratama Offset SatuCahayapro
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
PROF. DR. ACHMAD ALI, S.H., M.H. Hukum Pembuktian Perdata Jakarta: Kencana, 2012 Ed. 1. Cet. 1; xii, 177 hlm; 21 cm 1. Hukum ISBN 978-602-8730-74-7 001.42
Cetakan ke-1, Januari 2012
KENCANA PRENADA MEDIA GROUP Jl. Tambra Raya No. 23 Rawamangun - Jakarta 13220 Telp: (021) 478-64657, 475-4134 Faks: (021) 475-4134 Email:
[email protected] Http: www.prenadamedia.com INDONESIA
I. Judul
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................... v DAFTAR SINGKATAN ................................................. ix BAGIAN PERTAMA PEDAHULUAN ............................................................. 1
A.
Hukum sebagai Suatu Sistem ...................................... 1
B.
Pengertian Hukum Acara Perdata ............................. 3
C.
Perbedaan antara Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana ........................................... 8
D.
Perbedaan Hukum Acara Perdata dengan Hukum Acara Pidana Internasional ....................................... 13
BAGIAN KEDUA HUKUM PEMBUKTIAN PADA UMUMNYA DALAM PROSES PERDATA ........................................ 15
A.
Arti Membuktikan ..................................................... 15
B.
Pengertian Hukum Pembuktian ............................... 22
C.
Perbedaan Pembuktian Yuridis dan Pembuktian Ilmiah Lainnya ............................................................ 23
D.
Letak Hukum Pembuktian ........................................ 25
E.
Hukum Pembuktian dalam Sollen dan Sein ............ 30
F.
Apakah yang Harus Dibuktikan (Quad Erat Demostrandum) dan Apa yang Tidak Perlu Dibuktikan ................................................................ 32
G.
Siapa yang Mengajukan Alat Bukti .......................... 44
H.
Siapa yang Menilai Pembuktian ............................... 51
BAGIAN KETIGA TUJUAN PEMBUKTIAN ............................................. 57 BAGIAN KEEMPAT ASAS�ASAS HUKUM PEMBUKTIAN ........................ 61
A.
Asas Audi Et Alteram Partem .................................... 61
B.
Asas Ius Curia Novit ................................................... 63
C.
Asas Nemo Testis Indoneus In Propris Causa .......... 64
D.
Asas Ne Ultra Petits .................................................... 65
E.
Asas De Gustibus Non Est Disputandum ................. 65
F.
Asas Nemo Plus Juris Transferra Potest Quam Ipse Habet ................................................................ 66 BAGIAN KELIMA
ALAT�ALAT BUKTI DALAM PROSES ....................... 69
A. Pengertian Alat Bukti .................................................... 73 B. Klasifikasi Alat Bukti ..................................................... 73 C. Apakah Ada Alat Bukti Lain di Luar Ketujuh Alat Bukti yang Secara Tegas Itu? ................................ 77 D. Empat Cara Mengajukan Alat Bukti ........................... 78 E.
Kekuatan Pembuktian (Visprobandi) dari AlatAlat Bukti ............................................................... 80
F.
Bagaimana Kekuatan Pembuktian dari Alat Bukti di Luar HIR dan R.bg. (Termasuk buku IV BW) ...... 85
G. TeoriTeori Pembuktian ................................................ 87 H. Teoriteori Pembuktian ................................................. 90 I.
Alat Bukti Kesaksian (Testimony ) ............................... 92
J.
Alat Bukti Persangkaanpersangkaan ......................... 93 vi
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
K. Pengakuan (Confession, Bakentenis) .......................... 95 L.
Sumpah Sebagai Alat Bukti ........................................... 95 BAGIAN KEENAM
PENGERTIAN BEBAN PEMBUKTIAN ...................... 99 BAGIAN KETUJUH ASAS BEBAN PEMBUKTIAN ................................... 119 BAGIAN KEDELAPAN TEORI�TEORI BEBAN PEMBUKTIAN .................... 117
A. Teori Negative Non Sun Probanda ............................. 117 B. Teori Hak
...............................................................118
C. Teori De Lege Late (Menurut Hukum Positip .......... 120 D. Teori Ius Publicum (Hukum Publik) ......................... 121 E. Toori Audi Et Alteram Partom ................................... 122 BAGIAN KESEMBILAN SIFAT BEBAN PEMBUKTIAN ................................... 123
A. Sifat Yang Kasuistis ...................................................... 123 B. Sifat Yang Yuridis ......................................................... 127 BAGIAN KESEPULUH BEBERAPA PERMASALAHAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM TEORI DAN PRAKTIK .... 131
A. Permasalahan Teoretis ................................................ 131 B. Permasalahan Dalam Yurisprudensi ......................... 136 BAGIAN KESEBELAS TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP BEBAN PEMBUKTIAN ....................... 141
A. Sedikit tentang Kegunaan Sosiologi Hukum ........... 141 B. Tugas Hakim dalam Kacamata Sosiologi Hukum ... 145 Daftar Isi
vii
C. Beban Pembuktian dari Optik Sosiologi Hukum .... 148 BAGIAN KEDUA BELAS PERRJANJIAN PEMBUKTIAN .................................. 153
A. Pengertian Perjanjian Pembuktian ............................ 153 B. Isi Perjanjian Pembuktian ........................................... 153 C. Halhal yang Terlarang untuk Diperjanjikan ........... 154 D. Kaitan Perjanjian Pembuktian dengan Alat Bukti Tulisan ...............................................................155 E.
Halhal Lain Mengenai Perjanjian Pembuktian ...... 155
DAFTAR LITERATUR LANGSUNG ......................... 157 DAFTAR LITERATUR TIDAK LANGSUNG ........... 163 DAFTAR ISTILAH ASING ......................................... 167 DAFTAR NAMA ORANG .......................................... 173 DAFTAR PERATURAN/UNDANG�UNDANG ........ 173 DAFTAR YURISPRUDENSI ...................................... 177
viii
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
DAFTAR SINGKATAN
No �n
= nomor =
tahun
Prof
= Prefessor
S.H.
= Sarjana Hukum
M.A.
= Master of Art
R.M.
= Raden Mas
M.A
= Mahkamah Agung
P.N.
= Pengadilan Negeri
P.T.
= Pengadilan Tinggi
hlm
= halaman
vs
= versus
Mr.
= Master in de Rechten
KUH Perdata
= Kitab UndangUndang Hukum Perdata
KUH Dagang/KUHD = Kitab UndangUndang Hukum Dagang KUHP
= Kitab UndangUndang Hukum Pidana
KUHAP
= Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana
BPHN
= Badan Pembinaan Hukum Na sional
UU
= undangundang
R.I
= Republik Indonesia
H.R.
= Hoge Raad
BW
= Burgelijk Wetboek
S.
= Staatsblad
Stbl.
= Staatsblad
R.M. �emis
= Rechtgeleerd Magazijn �emis (nama majalah)
N.J.B.
= Nederland Juristenbland (nama majalah)
A.A.
= Ars Aequi (nama majalah)
WvK
= wetboek van koophandel
Rv.
= Wetboek van Burgelijke Rechts vordering
Km
= kilometer
DD
= tanda plat Sulawesi Selatan untuk kendaraan bermotor darat
Bag.
= Bagian
Ed.
= Editor
Pdt.
= perdata
K
= Kasasi
AS
= Algemene Bepaling van Wetgeving
CV
= Comenditaire Vennootschap
HIR
= Herzien Indonesis Reglement
I.S.
= Indische Staatsregeling
P4D
= Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah
PP
= Peraturan Pemerintah
SK
= surat keputusan
x
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
R.bg.
= Rechtsregkement Buitengewesten
RD
= Reglement op de Rechterlijke Or ganitatie
S.E.M.A.
= Surat Edaran Mahkamah Agung
Daftar Singkatan
xi
Bagian Perama PENDAHULUAN
Ius Vigilanticus Scriptm est “Hukum ditlis untk orang-orang yang berjaga-jaga”
A. Hukum sebagai Suatu Sistem Di dalam setiap karya penulis tentang hukum, selalu yang pertama penulis kemukakan adalah “Hukum sebagai Suatu Sistem” karena cari fokus inilah munculnya berbagai masalah, berbagai bidang hukum. Hukum sebagai suatu sistem berarti hukum itu harus dilihat, harus diterima, dan harus diterapkan sebagai suatu keseluruhan yang terdiri dari bagianbagian yang saling kait mengait satu sama lain. Atau sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Dr. R.M. Soedikno Martokusumo, S.H. 1 bahwa sistem adalah suatu kesatuan, suatu kebulatan di mana setiap problem baru mendapatkan jawabannya atau penyelesaiannya. Juga yang dirumuskan oleh Van Vollenhoven bahwa, “Innerlijke samenhang waarin ieder nieww probleem zijn antwoord vindt.” Sehubungan dengan hukum sebagai suatu sistem maka sistem hukum itu sendiri memiliki unsurunsurnya, yang secara garis besarnya terbagi atas:
1.
lembaga legislatif;
2.
lembaga peradilan;
3.
kebiasaan.
Jadi,terlihat bahwa lembaga peradilan adalah salah satu unsur dari sistem hukum. Peradilan merupakan salah satu pelaksanaan hukum dalam hal ada tuntutan hak yang kon krit melalui pengadilan. Tuntutan hak yang konkret itu sehubungan dengan asas “hakim yang pasif ” yang didasarkan pada asas “Wo kein Kla ger ist, ist kein Richter ” (di mana tidak ada tuntutan/penuntut, maka tidak ada hakim). Setiap masalah hukum tidak bisa kita lepaskan dari sistem hukum itu secara keseluruhan, sehingga setiap yuris harus se nantiasa mengingat hukum sebagai sistem. Hal ini dapat kita lihat bahwa seorang petugas hukum tidak boleh membuat statement ataupun aturan dalam bentuk ataupun isi yang bertentangan dengan konstitusi misalnya, sekalipun statement-nya atau atur annya itu tidak berada dalam bidang hukum publik. Atau di bidang peradilan misalnya tidak mungkin pu tusan pengadilan negeri dapat membatalkan putusan Mah kamah Agung. Setiap sistem hukum selalu mengenal pembagian, hanya saja pembagian itu selalu dilihat dari berbagai sudut. Pembagian yang konvensional, yang paling banyak di terima orang sementara ini adalah: a.
hukum publik;
b.
Hukum privat.
Sehubungan dengan tempat “hukum acara perdata” itu sendiri, pada umumnya para ahli hukum memasukkannya 2
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
di bidang hukum privat, termasuk penulis sendiri. Walaupun di dalam kenyataannya memang ada beberapa ahli hukum isinya yang memasukkan hukum acara perdata sebagai bagian hukum publik, dengan alasan bahwa ditinjau dari segi lembaga pengelolanya serta aparat termasuk hakim, maka hukum acara perdata termasuk hukum administrasi negara, dalam hal ini hukum publik tentunya. 2 Penulis sendiri menganggap hukum acara perdata se bagai bagian dari hukum privat, tidaklah secara konsekuen. Hanya saja jika pembagian hukum atas publik dan privat ma sih mau dipertahankan, maka letaknya hukum acara perdata dimaksudkan untuk mempertahankan hukum perdata/privat materiil. Tetapi, seandainya kita mau keluar dari pembagian hu kum publik dan privat, maka penulis lebih cenderung me nempatkan hukum acara perdata dalam bidang “hukum peradilan”. Penulis cenderung untuk membuat suatu bidang hukum baru, yang disebut “hukum peradilan” yang mencakupi hu kum acara perdata, hukum acara pidana, dan hukum acara lainnya. Sebab, menurut pandangan penulis pembagian atas publik dan privat dewasa ini sulit untuk dipertahankan, mengingat batasan antara kepentingan umum dan kepenting an perorangan sudah sulit dipisahkan secara tegas. Apalagi de ngan munculnya bidangbidang hukum baru, seperti hukum lingkungan hidup, hukum angkasa, dan sebagainya.
B. Pengertian Hukum Acara Perdata Salah satu pembagian hukum secara ortodoks (the orthodox classification) adalah pembedaan antara dua bidang hukum: Pendahuluan
3
a.
substantive law;
b. procedural law. Pembagian seperti ini ditemukan di dalam sistem Hu kum Anglo Saks (common law) di USA, Inggris, dan negara negara comonwealthnya. Hukum acara perdata menurut pembagian di atas, ter masuk dalam bidang procedural law (hukum proses). Adapun hukum perdata materiil dan hukum dagang termasuk dalam bidang substantive law (hukum materiil). George Whitecross Patton3 tidak menyetujui pembedaan di atas, alasan Patton adalah: “Firstly, the whole law remedies does not belong to procedure, and secondly, there are rigths in the realm procedure just as in that of substantive law.... ” Jadi, pertama, karena keseluruhan hukum, bukan hanya hukum proses adalah bersifat “pemulihan hak”; dan kedua, di dalam hukum proses pun terdapat pengaturan hak dan kewajiban. Jika kita mengikuti jalan berpikir dari Patton di atas, maka kita melihat bahwa di dalam hukum materiil (substantive law) pun di samping mengatur hak dan kewajiban, juga ber sifat pemulihan hak. Di lain pihak hukum proses ( procedural law) pun di samping bersifat pemulihan hak, juga berisikan hak dan kewajiban. Karena itulah, sehingga Patton4 menganggap pembedaan antara “substantive law dengan procedural law” adalah kesa lahan pembuat undangundang. Yang dimaksud sebagai pemulihan hak adalah: “...A power damages, s a remedial right ...” Jadi, merupakan suatu kemampuan untuk memulihkan kembali hak melalui ganti kerugian. Lain lagi pandangan kaum realis, yang beranggapan bah 4
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
wa baik di dalam “substantive law” maupun “ procedural law” tidak berisikan hak dan kewajiban, tetapi keduanya bersifat pemulihan hak. Di dalam kenyataannya, hukum proses (the law procedural ) pun menciptakan hak dan kewajiban, atau lebih tepat nya lagi menciptakan: a.
hak untuk menuntut ganti kerugian;
b.
kebebasan untuk menutut;
c.
kebebasan untuk memulihkan haknya;
d.
kekebalan (immunities).
Antara lain diketahui bahwa walaupun di dalam hukum acara ada suatu hak untuk menuntut jawaban dari seorang saksi, di mana saksi itu berkewajiban untuk memberi jawab an, tetapi seorang saksi pun memiliki hak istimewa (the privilege) untuk menolak memberi jawaban, jika dengan ja wabannya nanti ia bisa terlibat sebagai terdakwa. (Ini contoh dalam hukum acara pidana) Oleh karena itulah, penulis berpendapat bahwa pem bedaan antara hukum materiil (substantive law) dan hukum acara ( procedural law) jangan atas kriteria “hak dan kewa jiban” serta “pemulihan”. Suatu cara pembedaan lain adalah apa yang dikemukakan oleh Charles F. Hamphill J.R. & Phyllis D. Hamphill 5 yang membedakan atas: a.
substantive law;
b.
adjective law ( procedural law). Dikatakan bahwa substantive law adalah: “...�at area of the law which sets forth, defines. And creates rights, as distinguished from so called ADJECTIVE LAW, or PROCEDURAL Pendahuluan
5
LAW, which provides the legal and method for enforcing or obtaining those rights. For example, the substantive law states that RAPE is an unlawful and forcible sexual assault on a female. Adjective law, for example, may provide that a female victim in a rape prosecution may not be cross examined as to whether she was previously chaste, unless some other witness testifies in open court that the victim was of questionable morals.
Jadi, mereka memberikan batasan tentang substantive law sekaligus dengan membandingkannya dengan adjective law. Tetapi mereka pun memberikan penjelasan tersendiri lagi tentang adjective law: “...�at body of the law which provides procedure and methods for enforcing legal rights. Adjective law is synonymous with procedural law. It is that part of the law concerned with methods for enforcing or maintaining rigths. Adjective (procedural) law is distinguished from substantive law that body of law which the courtc are established to administer.”
Dengan mengetahui perbedaan antara hukum materiil dan hukum proses (hukum acara), juga dengan mengetahui letak persamaannya, akan lebih mudah kita memahami pe ngertian daripada hukum acara perdata sendiri sebagai bagian dari hukum pada umumnya. Menurut Prof. Dr. R. Wiryono Prodjodikoro,S.H., 6 bah wa hukum acara perdata adalah rangkaian peraturanper aturan yang membuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana peng adilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum perdata. Definisi di atas kurang menjelaskan apa kaitan hukum acara perdata dengan hukum sebagai satu sistem tersendiri. Kaitan antara pengertian hukum acara perdata dengan hu 6
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
kum sebagai satu sistem, dapat lebih telihat dalam pengertian hukum acara perdata yang diberikan oleh Prof. Dr. R.M. Soedikno Martokusumo, S.H7. “Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. Dengan perkataan lain, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil.”
Selanjutnya beliau menjelaskan lagi, bahwa:8 “...Lebih konkret lagi, dapatkah dikatakan bahwa hukum acara per data mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutuskan dan pelaksanaan daripada pu tusannya. Tuntutan hak dalam hal ini tidak lain adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting ” atau tindakan menghakimi sendiri. Tindakan menghakimi sendiri merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendaknya sendiri yang bersifat sewenangwenang tanpa persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan, sehingga akan menimbulkan kerugian. Oleh karena itu tindakan menghakimi sendiri ini tidak dibenarkan, dalam hal ini kita hendak memperjuangkan atau melaksanakan hak kita.”
Mengapa penulis mengatakan bahwa pendapat dari Prof. Dr. R.M. Soedikno Martokusumo, S.H. di atas lebih menam pakkan kaitan yang erat antara pengertian hukum acara per data di satu pihak dan hukum sebagai satu sistem di pihak lain, tidak lain karena di dalam uraian tersebut tampak pem bagian atas: a.
Hukum materiil.
b.
Hukum formal.
Dengan memerhatikan apa yang telah dikemukakan di atas, penulis tiba pada kesimpulan, bahwa Hukum acara perdata adalah serangkaian aturan-aturan hukum bagi warga masyarakat yang ingin mempertahankan keperdataannya Pendahuluan
7
dengan dengan perantaraan hakim di muka persidangan pengadilan, dalam dalam rangka melaksanakan aturan-aturan aturan-aturan hukum materiil . Mengapa penulis lebih cenderung untuk menggunakan istilah “aturan” daripada “peraturan”, karena istilah “per aturan” lebih memberi makna hukum yang tertulis belaka, sedangkan istilah “aturan” selain hukum tertulis juga hukum tidak tertulis (di Indonesia Indonesia adalah hukum adat). Mengapa pula penulis harus menegaskan perkataan “di muka persidangan pengadilan”, karena hukum formal formal tidak tidak ahanya meliputi hukum acara perdata belaka yang mempro mempro sesnya di muka sidang pengadilan. Kita pun mengenal bagian daripada hukum acara yang tidak berlangsung berlangsung di muka sidang pengadilan, seperti arbitrasi dan notaris. Demikian pula jika kita hanya menggunakan istilah “di muka pengadilan” masih bisa menimbulkan pengertian yang ambivalensi, karena bisa diartikan hanya di muka “gedung pengadilan”, padahal maksudnya tidak demikian.
C. Perbedaan antara Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana Jika kita ingin memberdakan antara hukum acara per per data dan hukum acara pidana, maka akan ditemukan banyak banyak sekali perbedaannya, antara lain penulis dapat menge mengemu mu kakan beberapa di antaranya antaranya di bawah ini:
1. Perbedaan dari segi inisiatif inisiati f pengajuan perkaranya perkaranya Di dalam hukum acara pidana inisiatif untuk mengaju mengajukan kan perkara pidana ke muka persidangan pengadilan adalah jaksa selaku penuntut umum yang mewakili kepentingan umum, sedangkan dalam hukum acara perdata, inisiatif untuk meng ajukan perkara perdata ke muka persidangan pengadilan pengadilan ada 8
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
lah pihak penggugat (the (the plaintiff ) yang mewakili kepen kepenting ting annya sendiri secara perorangan. Jadi, Jadi, dalam hal ini terlihat kepentingan umum pada hu kum acara pidana dan kepentingan perseorangan pada hu kum acara perdata.
2. Perbedaan dari segi keterikatan hakim pada alat-alat pembuktian Di dalam hukum acara pidana, hakim tidak sematamata terikat pada alat bukti yang sah, tetapi di samping samping terikat pada alat bukti yang sah, hakim harus terikat pada keyakinannya sendiri atas kesalahan si terdakwa. Inilah yang dalam sistem Hukum Anglo Saks dinamakan “beyond “beyond reasonable doubt ”, sedangkan sedangkan di dalam hukum acara perdata, hakim hanya se matamata terikat pada alat bukti yang sah, sehingga dikata dikata kan bahwa dalam hukum acara perdata cukup dengan “ pre ponderance ponderance of evidence” evidence” sebagaimana yang dikatakan oleh Mc Cormich,9 bahwa: “Evidence preponderates when it is more convicing to the trier than the opposing evidence”.
3. Perbedaan Perbedaan dari segi kebenaran yang ingin dicapai Di dalam hukum acara pidana, sebagai konsekuensi dari keterikatan hakim pada keyakinannya sendiri, sehingga dikatakan dikatakan bahwa hakim dalam perkara pidana bertujuan untuk mencari “kebenaran “kebenaran materi”, materi”, sedangkan di dalam hu kum acata perdata, karena hakim hanya sematamata sematamata terikat pada alat bukti yang sah, sehingga dikatakan hanya mencari “kebenaran formal ”. Dalam hubungan ini ada motto: Lebih baik membebas
Pendahuluan
9
kan 1000 orang bersalah, daripada menghukum satu orang yang tak salah.
4. Perbedaan dari segi pemisahan peristiwanya dan hukumnya Di dalam hukum acara pidana, terdapat perpaduan an tara penetapan peristiwa per istiwa dan penemuan hukum, sedangkan sedangkan di dalam hukum acara perdata ada pemisahan. Para pihak hanya membuktikan “peristiwa” yang dipersengketakannya dipersengketakannya saja, se dang soal “hukumnya” adalah menjadi tugas hakim, sesuai asas IUS CURIA NOVIT (hakim dianggap akan hukumnya). Jadi, di dalam hukum acara pidana jaksa tidak mem buktikan. buktikan. Jaksa mempunyai inisiatip penuntutan dan dalam tuduh tuduhannya annya menentukan tema ke arah aman proses harus diarahkan, diarahkan, tetapi kemudian untuk selanjutnya jaksa sama kedudukannya kedudukannya dengan pembela, dan hakim dalam diskusi persidangan. persidangan. Karena itu, menurut Enschede,10 dalam hukum acara pidana lebih tepat dikatakan bahwa hakimlah yang membuktikan.
5. Perbedaan dari segi penghentian pemeriksaan perkara perkara Di dalam hukum acara pidana, kalau suatu perkara pi dana sudah sekali diajukan oleh kejaksaan ke muka persi per si dangan pengadilan, maka diteruskan atau tidaknya perkara itu pada asasnya tidak tergantung atas kehendak dari jaksa atau terdakwa. Pada asasnya kejaksaan tidak berwenang un tuk mencabut mencabut tuntutannya, sedangkan di dalam hukum acara perdata, pada asasnya para pihak yang berperkara bebas bebas un tuk menghentikan pemeriksaan perkara itu sebelum hakim hakim menjatuhkan putusannya. Misalnya, dalam hal ada perda perdamai mai an antara penggugat dan tergugat. 10
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
Dikatakan pada asasnya, karena ada pengecualian ter tentu yang dalam seri hukum acara perdata terbitan ber ikutnya ikutnya akan penulis p enulis bahas secara khusus.
6. Perbedaan Perbedaan mengenai beban pembuktian Di dalam hukum acara pidana, masalah beban pembuk pembuk tian (the (the burden of proof ) tidak sepenting dan seserius dalam hukum acara perdata: untuk menjelaskan lebih lanjut dapat ditemukan dalam babbab berikutnya dalam buku ini.
7. Perbedaan Perbedaan dari segi aktif dan pasifnya hakim Di dalam hukum acara pedata, pada dasarnya merupa kan sengketa para pihak, di mana luas ruang lingkup per sengketaan itu ditentukan oleh para pihak. Di sinilah terli maxim), jadi proses hat sikap pasif dari hakim (verhanlungs ( verhanlungs maxim), perdata merupakan merup akan “penyelesaian “penyelesaian persengket pers engketaan aan””, sedangkan sedangkan di dalam hukum acara pidana, bukan penyelesaian perseng ketaan. Hal in terlihat bahwa di dalam hukum acara pidana, walaupun terdakwa sudah mengadakan pengakuan, hakim tidak boleh meneriman begitu saja pengakuan terdakwa, te tapi harus aktif menyelediki kebenaran pengakuan itu, sedang sedang tadi di dalam hukum acara perdata hakim wajib menerima pengakuan pengakuan tergugat. Di sini, terlihat bahwa dalam hukum acara pidana hakim bersifat aktif (eventual (eventual maxim). maxim).
8. Perbedaan dari segi kepentingan yang dilindungi Dari sudut kepentingan yang dilindungi, dilindungi, maka di dalam hukum acara pidana mengahadapi dua kepentingan: 1.
kepentingan umum;
2.
kepentingan hukum. Adapun di dalam hukum acara perdata, dua pihak Pendahuluan
11
yang berperkara sama bobot kepentingannya, sehingga ber laku asas AUDI ET ALTERAM PARTEM ,11 yaitu baik pi hak penggugat maupun tergugat harus diperlakukan sama. Dalam arti kata kans untuk kalah dan menang sama, tergan tung nantinya pada pembuktian mereka sehingga keduanya memiliki kepentingan hukum yang sama. Di dalam hukum acara pidana tidak demikian. Kepen tingan yang diwakili jaksa adalah kepentingan umum, se dangkan kepentingan yang diwakili terdakwa adalah ke pentingan perseorangan. Kepentingan perseorangan di sini membutuhkan kepastian hukum yang menuntut perlindung an hukum. Kepentingan umum menghendaki agar yang salah dihukum, sedangkan kepentingan hukum menghendaki agar yang tidak salah tidak dihukum.
9. Perbedaan dari segi sanksinya Di dalam hukum acara pidana, selain sanksi definitif se perti hukum penjara, denda dan lainlain dikenal juga adanya sanksi yang bersifat sementara, misalnya penahanan sebelum vonis dengan pertimbangan untuk memperlancar persidangan atau untuk kepantingan lain, misalnya terdakwa dikhawatir kan melarikan diri atau mengulangi perbuatannya. Adapun di dalam hukum acara perdata tidak dikenal sanksi sementara. Sebagai catatan, perlu penulis kemukakan bahwa sitakonservatoir bukanlah sanksi sementara.
10. Perbedaan dari segi sifat hukum Di dalam hukum acara pidana, tujuan hukuman adalah dengan sengaja membebankan nestapa kepada si pelaku.12 Adapun di dalam hukum acara perdata tujuan hukuman ada lah untuk melindungi subjek hukum lain di luar si pelaku. 12
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
D. Perbedaan Hukum Acara Perdata dengan Hukum Acara Perdata Internasional Hal yang paling menonjol yang membedakan antara hu kum acara perdata dean hukum acara perdata internasional adalah: –
Di dalam hukum acara perdata, para pihak hanya ber kewajiban membuktikan peristiwanya, sedangkan me nyangkut hukumnya adalah menjadi tugas hakim.
–
Adapun di dalam hukum acara perdata internasional, para pihak di samping harus membuktikan peristiwanya yang dipersengketakan, juaga harus dapat membuktikan “HUKUM APA YANG BERLAKU”. Dengan kata lain, hukum negara manakah yang berlaku? Negara penggu gatkah? Ataukah negara tergugat? Ataukah negara lain nya lagi?
Endnote: 1.
2. 3. 4. 5.
6. 7. 8.
Prof. Dr. R.M. Soedikno Mertokusumo, S.H. “Kuliah Ilmu Hukum”. Pendidikan Pascasarjana Hukum, Lembaga Pendidikan Doktor, Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 1981............... Dr. Sunarjati Hartono, S.H, “Kapita Selekta Perbandingan Hukum ”, Penerbit Alumni, Bandung, 1976, hlm. 72. George Whitecross Patton, “ A Text Book of Jurisprudence”. Oxford at the Clarendon Press, 1964, hlm. 535. Ibid . hlm. 535. Charless F. Hempill, J.R. & Phyllis D. Hemphill. “�e Dictionary of Practical Law”. PrenticeHall, Inc. Englewoud Cliffs, N.J. 07632, hlm. 13. Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. “Hukum Acara Perdata Indonesia”. Penerbit Sumur Bandung, 1980, hlm. 13. Prof. Dr. R.M. Soedikno Mertokusumo S.H. “Hukum Acara Perdata Indonesia”. Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 2. Ibid .
Pendahuluan
13
Edward W. Cleary. “ Mc.Cormick’s Handbook of Law of Evidence”. St. Paul, Minn, West Publishing, Co. 1972, hlm. 793. 10. Enschede. “Bewijzen in het strafrecht ”. R.M. �emis 1966 afl. 5/6, hlm. 506. 11. Lihat tesis penulis untuk meraih gelar master dalam hukum acara perdata. 12. Prof. Mr. M.M. Djojodiguno, dalam kuliah Perkembangan Ilmu Hukum Umum, oleh Prof. Iman Sudiyat, S.H. 9.
14
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
Bagian Kedua HUKUM PEMBUKTIAN PADA UMUMNYA DALAM PROSES PERDATA
Juris Igerantia Nocet,Facti Non Nocet “Tidak mengenal hukum adalah mergikan, tidak mengenal fakta-fakta tidak mergikan”
A. Arti Membuktikan Bukti, pembuktian atau membuktikan dalam Hukum Ing gris sering menggunakan istilah dua perkataan, yaitu: proof dan evidence. Adapun dalam hukum Belanda disebut “bewijs” . Tetapi, walaupun demikian, arti dari “membuktikan” itu sendiri banyak sekali, dan karena itu, untuk memahami pe ngertian hukum pembuktian itu sendiri tentu saja kita ter lebih dahulu harus memahami arti dari pembuktian atau membuktikan itu sendiri. Apalagi untuk kita kaitkan dengan pengertian “alat bukti” dan pengertian “beban pembuktian”. Oleh karena membuktikan memiliki pengertian yang sangat luas, yang tidak hanya terdapat dalam bidang hukum saja, maka terlebih dahulu kita akan mengemukakan arti membuktikan secara umum. Untuk itu, sebuah pengertian yang sangat menarik telah dikemukakan oleh Prof. Dr. R.M. Soedikno Mertokusumo, 1 sebagai berikut:
1.
Kata membuktikan dikenal dalam arti logis. Pembuktian di sini berarti memberi kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memung kinkan adanya bukti lawan. Berdasarkan suatu aksi oma, yaitu asasasas umum yang dikenal dalam ilmu pengetahuan, dimungkinkan adanya pembuktian yang bersifat mutlak yang tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Berdasarkan suatu aksioma, bahwa dua garis yang sejajar tidak mungkin bersilang dapat dibuktikan bahwa dua kaki dari segitiga tidak mungkin sejajar. Terhadap pembuktian ini tidak dimungkinkan adanya bukti lawan. kecuali pembuktian itu berlaku bagi setiap orang. Di sini aksioma dihubungkan menurut ketentuan logika dengan pengamatanpengamatan yang diperoleh dari pengalaman, sehingga diperoleh kesimpulan yang memberi kepastian yang bersifat mutlak.
2.
Kata membuktikan dikenal juga dalam arti konvensional. Di sisi pun membuktikan berarti juga memberi kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak, selain kepastian yang nisbi atau relatif sifatnya, yang mempunyai tingkatan tingkatan:
3.
a.
Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka. Ka rena didasarkan atas perasaan belaka maka kepastian ini besifat intuitif, dan disebut conviction intime.
b.
Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka oleh karena itu disebut conviction raisonnee.
Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yu ridis. Di dalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan akan bukti lawan, akan tetapi merupakan pembuktian yang 16
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
kon vensional yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihakpihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. De ngan demikian, pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak, hal ini terlihat bahwa ada kemungkinannya bahwa pengakuan, kesaksian, atau suratsurat itu tidak benar atau dipalsukan. Maka dalam hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan. Suatu pendapat yang menarik di kemukakan oleh H. Drion.2 Bahwa pembuktian yuridis itu adalah pembuktian yang “historis”. Dari uraian H. Drion, penulis dapat menjelaskannya sebagai berikut; bahwa dikatakan pembuktian yuridis adalah pembuktian historis, karena ada yang hendak dibuktikan da lam suatu persengketaan perdata ataupun perkara pidana ada lah sesuatu yang “sudah terjadi”, sesuatu yang sudah berada di masa silam. Jadi, pembuktian yuridis yang bersifat historis ini mencoba menetapkan apa yang terjadi secara in-concreto. Suyling3 menyatakan bahwa pembuktian secara yuridis tidak hanya berarti memberi kepastian kepada hakim, tetapi juga berarti terjadinya suatu peristiwa yang tidak tergantung pada tindakan para pihak (seperti pada persengketaan) dan tidak pula tergantung pada keyakinan hakim (seperti pada pengakuan dan sumpah). Di lain pihak, Eggens4 mengatakan bahwa membuktikan seperti menetapkan peristiwa hukum, tetapi juga dalam arti luas menetapkan hubungan hukumnya sendiri. Tentang pengertian dari istilah “evidence” itu sendiri, penulis tertarik dengan apa yang diuraikan secara panjang lebar oleh Sir Roland Burrows. 5 Yang memberikan definisi Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...
17
tentang pembuktian itu, definisi mana pula diikutinya de ngan penjelasan, dituliskannya bahwa: “Evidence, as used in judicial proceeding, has several meanings. �e two mainsenses of the word are: firstly, the means, apart from argument and inference, whereby the court is informed as to the issues of fact as ascertained by the pleadings; secondly, the subjectmatter of such means. �e word is also use to denote that some fact may be admitted as proof and also in some cases that some fact has relevance to the issues of fact. In a real sense evidence is that which may be placed before the court in order that it may decide the issues of fact. fact. �ere �ere also also are are other other shades shades of of mean meaning ing that that it it is not necessary necessary to discuss here. �us it has bean held that “evidence” in the inheritance (Family Provision) Act, 1938, covers all the material that persons outside a court of law take into consideration when deciding how to (Re Vrindt, Vrindt V. Swain, (1940) Ch, 920). Evidence, in the act (Re first first sense, means means the testimon testimonyy, whether whether oral, oral, documentary documentary or real, which may be lagally received in order to prove or disprove some fact in dispute....”
Definisi yang dikemukakan oleh Sir Roland Burrows di ata memang cukup panjang, tetapi dari definisi itu menjadi sangat jelaslah pengertian dari “evidence “evidence”” itu sendiri. Sebagaimana dikatakan Sir Roland bahwa ada dua pe ngertian ngertian yang utama dari kata “evidence” “evidence” , yaitu: 1. Bagian dari alasan dan kesimpulan, kesimpulan, dengan jalan mana pengadilan pengadilan mengetahui peristiwa yang dipersengketaan sebagai suatu kepastian. 2. Pokok Pokok dari persoalan perso alan apa saja. Jadi, Jadi, arti kedua ini adalah arti luasnya. Selain itu, perkataan “evidence “evidence”” juga menurut Sir Roland digunakan: a.
Untuk menunjukkan beberapa beb erapa fakta yang mungkin di kenali sebagai bukti.
b.
Dan juga dalam beberapa kasus tentang beberapa fakta 18
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
yang mempunyai relevansi dengan peristiwa yang diper diper sengketakan. Dari sekian banyak pengertian tentang “evidence “evidence itu Sir Roland memberi arti yang paling khusus, yaitu bah wa pembuktian atau alat bukti ditempatkan di muka peng adilan agar pengadilan dapat memutus memutus peristiwa per istiwa yang diper sengketakan, jadi pengertian utamanya adalah selaku alat yang menghasilkan putusan.
–
Dalam arti alat bukti, maka mencakupi: kesaksian; whether oral ;
–
documentary atau atau real .
–
Yang mana menurut hukum agar peristiwa yang diperseng diperseng ketakan itu terbukti ataukah tidak terbukti. Adapun pengertian “evidence “evidence”” di dalam “INHERI “INHERITANTANCE” CE” (Fam ily Provision P rovision)) Act 1938, dikatakan sebagai meli (Family me liputi puti seluruh alatalat tentang tentang person person yang yang di luar suatu pengadil pengadil an, dan digunakan untuk menjatuhkan putusan. putusan. Sir Roland mengakui masih banyak lagi pengertian pem pem buktian lain, tetapi tidak relevan dibicarakan dalam pembi pembi caraan mengenai hukum pembuktian ini. Berlainan dengan Sir Roland, maka Milton C. Jacobs 6 mengemukakan mengemukakan pengertian p engertian pembuktian dari segi tujuannya, rumusan mana didasarkan pada putusan pengadilan dalam perkara Clark melawan Brooklyn Heights R. Co.: “�e object of evidence is to inform the trial tribunal of the material facts facts,, whic which h are are relev relevan antt as bearin bearingg upon upon the the issue issues, s, in oder oder that that the the truth truth may be elicited and a just determination of the controversy reached. ”
Jadi, dari segi tujuannya Milton C. Jacobs melihat adanya dua tujuan pembuktian: Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...
19
1.
untuk mencapai kebenaran;
2.
untuk dapat menghasilkan puusan.
Kedua tujuan itu dicapai dengan jalan memberikan ba hanbahan tentang peristiwa yang dipersengketakan kepada pengadilan. pengadilan. Bahanbahan mana tentu saja yang relevan de ngan persoalan yang dipersengketakan. Dengan membedakan antara istilah “ proof ” dan isti lah “evidence “evidence”, ”, maka Milton C. Jacobs membedakan sebagai berikut:7 “Evidence is the medium of proof, proof is the effect of evidence. ”
Jadi, dalam hubungan ini “evidence “evidence”” itu adalah alat buktinya, sedangkan sedangkan “ pr proof oof ” adalah hasil atau akibat yang timbul dari alat bukti. Lebih lanjut dikatakan oleh Milton C. Jacobs, 8 bahwa bahwa istilah evidence merupakan evidence merupakan penggunaan umum bagi pembuk pembuk tian yang terjadi di muka pengadilan atau proses pengadilan. pengadilan. Di kalangan ahli hukum Indonesia, maka Prof. Dr. R. Supomo Supomo9 mengemukakan pengertian pembuktian dengan membedakannya membedakannya sebagai berikut: a.
Pengertian yang luas. Pembuktian Pembuktian adalah membenarkan hubungan dengan hukum. Misalnya hakim mengabulkan tuntutan penggu penggu gat, maka pengabulan ini berarti bahwa hakim mena me narik rik kesimpulan bahwa yang dikemukakan oleh penggu penggugat gat sebagai hubungan hukum antara penggugat dan ter ter gugat adalah benar. Berhubung dengan itu, maka mem mem buktikan dalam arti yang luas adalah memperkuat ke ke simpulan hakim dengan syarat bukti yang sah.
b.
Pengertian yang terbatas. terbatas . Bararti bahwa yang perlu dibuktikan itu hanyalah hanyalah hal 20
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
hal yang dibantah oleh tergugat. Hal ini yang diakui ter gugat tidak perlu dibuktikan lagi. Menurut Anema,10 membuktikan adalah memberi ke pastian pastian kepada hakim tentang peristiwaperistiwa hukum dengan dengan alatalat tertentu untuk dapat mengabulkan akibat hukum yang dihubungkan dengan peristiwaperistiwa itu oleh hukum. Prof. R. Subekti, S.H. 11 memberikan arti membuktikan dengan dengan mengikat hakim untuk membenarkan kebenaran peris peristiwa/hak tiwa/hak yang dipersengketakan oleh para pihak dalam suatu perkara. Penulis sendiri berpendapat bahwa pengertian mem bukti buktikan kan yang perlu kita persoalkan di sini hanyalah pe ngertian ngertian membuktikan dalam hukum acara perdata, karena pembicaraan kita saat ini berada dalam bidang hukum acara perdata. Penulis dalam hal ini, dapat memberikan batasan seka dar sebagai pegangan, bahwa b ahwa pembuktian dalam proses per data adalah: “Upaya “Upaya yang dilakukan oleh para pihak untuk menye menyelesaikan lesaikan per sengketaan sengketaan mareka atau untuk memberi kepas ke pastian tian tentang benar terjadinya peristiwa hukum tertentu, dengan dengan menggunakan alat bukti yang ditentukan hukum, sehingga sehingga dapat dihasilkan suatu pene penetapan tapan atau putusan oleh pengadilan.”
Mengapa Mengapa penulis p enulis harus membatasi dengan dua hal: a.
untuk menyelesaikan menyelesaikan persengketaan; atau
b.
untuk memberi kepastian tentang benar terjadinya pe ristiwa ristiwa hukum tertentu.
Karena, kalau hanya untuk menyelesaikan persengke perse ngketa taan an saja, bagaimana halnya dengan pembuktian dalam perkara Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...
21
perkara voluntair di mana di situ tidak ada persengketaan. Demikian juga kita tidak bisa mengatakan bahwa pem buktian hanya untuk menghasilkan putusan, karena pada umumnya pengertian “putusan” hanya berlaku bagi peng adilan yang sesungguhnya (contentieuse jurisdicte), yaitu da lam hal persengketaan ada, sedangkan dalam peradilan vo luntair hanya dihasilkan “ penetapan”.
B. Pengertian Hukum Pembuktian Sama halnya dengan pengertian “pembuktian”, maka pe ngertian hukum pembuktian pun terdapat banyak pendapat di kalangan yurist. Prof. R. Subekti, S.H12 mengemukakan bahwa hukum pembuktian memberikan aturan tentang bagaimana berlang sungnya suatu perkara di muka hakim. Penulis kurang menyetujui batasan yang terlalu umum itu, karena bukan hanya hukum pembuktian yang memberi kan aturan tentang bagaimana berlangsungnya suatu perkara di muka hakim, melainkan keseluruhan aturan hukum acara, baik hukum acara perdata maupun hukum acara lainnya, ju ga memberikan aturan tentang bagaimana berlangsungnya suatu perkara di muka hakim. Penulis lebih setuju definisi yang dikemukakan oleh Edward W. Cleary,12 bahwa: “�e law of evidence is the system of rules and standards by which the admission of proof at the trial of law suit is regulated .”
Definisi Cleary di atas lebih menampakkan kekhususan hu kum pembuktian dalam peranannya melalui pembuktian di muka persidangan, juga menunjukkan suatu sistem hukum dan standar bagi keseluruhan aturan pembuktian. 22
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
Oleh karena itu, lebih tepatnya jika penulis merumus kan batasan tentang pengertian hukum pembuktian sebagai berikut: “Hukum pembuktian adalah keseluruhan aturan tentang pembuktian yang menggunakan alat bukti yang sah sebagai alatnya dengan tujuan untuk memperoleh kebenaran melalui putusan atau penetapan hakim.”
C. Perbedaan Pembuktian Yuridis dan Pembuktian Ilmiah Lainnya Sehubungan dengan terdapatnya perbedaan pembuktian yuridis dan pembuktian ilmiah, maka menurut Lord Justice Danning.14 Baik dalam pembuktian yuridis maupun pem buktian ilmiah lainnya adalah: “�e degree of probality which a reasonable and just man wuld reqiure to come to a conclusion....depens on the conclusion to which he is required to come ...”
Mengapa ada perbedaan antara pembuktian dan pem buktian ilmiah? Semuanya akan penulis kemukakan secara terperinci di bawah ini. Sehubungan dengan itu, Edwin C. Concrad15 menyatakan bahwa: “He learns early in his practice that legal rules of evidence are not and never will be based on principles of science. He does comprehend, that science is science and law is law and never the twain shall meet. ”
Walaupun antara pembuktian yuridis dan pembuktian ilmiah adalah “never the twain shall meet ”, tetapi bukan ber arti tidak bisa dibuktikan, karena itu penulis memberikan tiga perbedaan antara keduanya: 1.
Pembuktian yuridis adalah bersifat historis (lihat pen dapat H. Drion,15 artinya yang ingin dibuktikan secara yuridis itu adalah suatu peristiwa yang telah terjadi, se Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...
23
suatu yang berada di masa lampau. Adapun pembuktian eksakta khususnya dan pembuktian ilmiah lainnya adalah untuk membuktikan sesuatu yang di masa sekarang. 2.
Di dalam pembuktian ilmiah, tidak dibedakan antara pihak yang mengajukan pembuktian dan pihak yang menilai pembuktian. Walaupun ada perbedaannya teta pi tidak secara tegas terpisah. Lain halnya dengan pem buktian yuridis, di mana antara pihak yang mengajukan pembuktian dan pihak yang menilai pembuktian itu di bedakan secara terpisah, yaitu: a.
Yang mengajukan alat bukti adalah: (i) dalam perkara perdata: para pihak; (ii) dalam perkara pidana: Jaksa.
b. 3.
Yang menilai pembuktiannya itu adalah hakim.
Hasil dari pembuktian ilmiah lebih pasti dan eksak da ripada hasil pembuktian yuridis. Misalnya, dalam pem buktian yuridis, jika seorang tergugat mengakui telah berutang kepada penggugat, maka sekalipun tergugat berdusta, oleh hakim hal itu harus diterima sebagai ter bukti benar telah berutang.
Sehubungan dengan hal ini, perlu diketahui adanya perbedaan antara sistem peradilan Anglo Saks di negaranegara common law, dengan sistem peradilan kontinental, seperti yang dianut di Indonesia (sebagai akibat warisan penjajahan Be landa). Perbedaannya yang sehubungan dengan masalah pembuktian ini adalah: –
Dalam sistem kontinental, hakimlah yang memeriksa baik peristiwanya maupun hukumnya.
–
Dalam sistem Anglo Saks, hakim memeriksa segi hukum nya dan juri menangani segi fakta atau peristiwanya. Dalam 24
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
hal ini juri hanya menyatakan “ guilty or not guilty ”, selanjut nya tugas hakim untuk follow-up masalah hukumnya. Dari apa yang telah penulis kemukakan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa di dalam hukum pembuktian dibedakan atas: 1.
Siapa yang mengajukan alat bukti.
2.
Siapa yang menilai alat bukti.
D. Letak Hukum Pembuktian Sering timbul keraguan kita, apakah hukum pembuktian hanya merupakan bagian dari hukum acara perdata ataukah bagian hukum perdata materiil? Pertanyaan ini timbul de ngan pengaturan masalah pembuktian dalam buku IV KUH perdata kita. Sebenarnya pengaturan masalah pembuktian dalam bu ku IV KUH perdata adalah sama dengan penempatan sese orang yang “salah kamar”, karena hukum pembuktian adalah bagian dari hukum acara perdata, bukan hukum perdata materiil. Penyebab dari “salah kamar” itu adalah harus ditinjau dari segi historis hukum acara perdata di Eropa. Dahulu dikenal adanya: a.
Hukum Formal dengan unsurunsur materiil.
b.
Hukum Formal dengan unsurunsur formal.
Penulis sadar, hal ini mungkin akan membingungkan beberapa pembaca. Penulis sendiri pun sebelumnya pernah mengkaji benarbenar masalahnya dan menjadi bingung sendiri. Sebab, bukankah hukum formal adalah formal, dan yang materiil itu adalah hukum materiil? Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...
25
Di zaman dahulu di Eropa, sebagian besar yuris berpan dangan adanya dua jenis hukum formal dan adanya dua jenis hukum materiil. Hukum formal yang memiliki unsurunsur materiil adalah hukum formal yang memuat tentang hak dan kewa jiban, misalnya pembuktian, termasuk hukum formal yang memiliki unsurunsur materiil, karena di dalam pembuktian diatur ten tang hak dan kewajiban para pihak untuk membuktikan. Berbeda dengan hukum formal yang hanya memiliki unsurunsur formal, adalah sematamata hal yang murni prosesuil sifatnya, misalnya: hakim memakai toga, para pi hak duduk didepan meja hakim, dan sebagainya. Karena pertimbangan bahwa hukum pembuktian ada lah hukum formal yang memiliki unsurunsur materiil, maka dimasukkan ke dalam Buku IV KUH Perdata (BW). Menurut anggapan penulis, seyogianya pembagian se macam itu tidak dianut lagi pada zaman kini, karena hanya menimbulkan kebingungan belaka. Pembuat undangundang di negeri Belanda pun, sebagai tempat asal BW Indonesia, sudah tidak mengakut pembagian demikian itu. Terbukti dari BW baru Belanda yang tidak lagi memasukkan pengaturan hukum pembuktian dalam BW baru itu. Sebagai gambaran agar pembaca lebih memahaminya, penulis di bawah ini mencantumkan BW baru BELANDA dalam sistematikanya;17 –
Yang telah diundangkan:
–
Buku I
: Hukum Perorangan dan Hukum Keluarga
Buku II
: Badanbadan Hukum
Yang telah disetujui parlemen, tetapi belum diundangkan: 26
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
–
Buku III
: Hukum Harta Benda Umumnya
Buku IV Buku V
: Hukum Warisan : Hakhak Benda
Buku VI : Bagian Umum Hukum Perikatan Yang masih dalam persiapan: Buku VII : Perjanjianperjanjian Khusus Buku VIII : Alatalat Pengangkutan dan Pengangkutan Buku IX
: Hakhak atau hasil pikiran
Selain itu, hukum pembuktian adalah termasuk hukum acara perdata, ketentuannya dapat kita lihat pada konstitusi ris yang mencantumkannya huruf “i” dari lampiran pokok pokok penyelenggaraan pemerintahan yang dibebankan ke pada RIS menurut pasal 51 yang berbunyi bahwa: “...Asas asas pokok hukum acara perdata, termasuk didalamnya hukum pembuktian....” Dari beberapa uraian di atas, cukup kuatlah alasan pe nulis jika mengatakan bahwa hukum pembuktian adalah ba gian dari hukum acara perdata. Dewasa ini, selama belum ada UndangUndang Hukum acara perdata yang baru, maka HIR, RBG, dan buku IV BW masih tetap berlaku bagi hukum pembuktian. Khususnya hukum pembuktian dalam Buku IV BW di susun khusus untuk acara contradictoir dalam bidang hu kum harta kekayaan di muka hakim perdata. Adapun bagi acara declaratoir atau peradilan voluntair pada asasnya tidak tidak berlaku hukum pembuktian dari Buku IV BW, kecuali diperlakukan secara analog.19 Di dalam perkembangannya dewasa ini, hukum pem buktian lebih banyak dikembangkan oleh DOKTRINA (para ahli hukum) dan YURISPRUDENSI (putusan peradilan). Dan Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...
27
diharapkan bahwa di dalam hukum acara perdata itu kita kelak diatur di dalamnya secara lebih lengkap dan sesuai zaman. Di atas telah penulis kemukakan bahwa hukum pem buktian yang diatur di dalam BW Buku IV hanya berlaku untuk perkara contradictoir, dan tidak diperuntukkan bagi perkaraperkara voluntair atau declaratoir. Tetapi walaupun demikian, hukum pembuktian yang diatur oleh Buku IV BW, diperlakukan secara analogi maupun a contrario bagi perkara decralaratoir (atau peradilan semu). Karena, isi aturan pembuktian yang terdapat dalam Buku IV BW, aturan pembuktian yang terdapat dalam HIR atau R.bg. maka sama saja, bahwa jika dikatakan Buku IV BW hanya berlaku bagi perkaraperkara contradictoir, demikian pula HIR dan R.bg. Dari mana dapat diketahui bahwa hukum pembuktian yang diatur oleh Buku IV BW, HIR, dan R.bg. hanya berlaku bagi perkaraperkara contradictoir? Ini diatur oleh yuris prudensi, dengan putusan H.R. tertanggal 19 Desember 1932 bahwa BW Buku IV sematamata hanya diperuntukkan bagi perkaraperkara contradictoir. Sebagaimana diketahui bahwa yang dimaksud sebagai perkaraperkara contradictoir adalah perkara persengketaan perdata yang sesungguhnya, di mana jelas ada pihak yang bersengketa, ada penggugat dan ada tergugat. Dalam hal ini pengadilan menghasilkan “putusan” yang sifatnya dime nangkan salah satu pihak yang berperkara, entah penggugat, entah tergugat. Demikan juga dalam hal adanya pihak ketiga yang melakukan intervensi. Adapun perkara decralatoir adalah perkara yang di ba wah yurisdiksi peradilan voluntair (peradilan semu), dalam hal mana pengadilan tidak memberikan dua pihak yang 28
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
berperkara, karena hanya ada satu pihak yang memohonkan penetapan, misalnya si A memohonkan kepada pengadilan agar ia ditetapkan sebagai wali dari anaknya, dan sebagainya. Jadi, dalam hal ini pengadilan hanya menghasilkan suatu “penetapan”, bukan “putusan”. Tadi dikatakan, bahwa walaupun hukum pembuktian dalam Buku IV BW, HIR, dan R.bg. hanya diperuntukkan bagi perkara contradictoir, namun diperlukan secara analogi atau a contrario bagi perkara decralatoir. Sebagaimana diketahui analogi dan a contrario adalah jenis penafsiran yang digunakan dalam hukum perdata. Perbedaan antara analogi dan a contrario adalah bahwa: –
analogi memperluas suatu aturan hukum;
–
a contrario mempersempit suatu aturan hukum. Contoh klasik dari analogi, ialah:
BW mengatur bahwa jual beli tidak memutuskan hu bungan sewamenyewa. Kemudian dianalogikan bahwa wa laupun undangundang hanya mengatur tentang “jualbeli”— adalah suatu bentuk “ peralihan hak”—maka pengadilan se jak puluhan tahun yang lampau telah memperluas undang undang, dengan menganalogikan bahwa bukan hanya “jual beli” yang tidak memutuskan hubungan sewamenyewa, me lainkan semua bentuk peralihan hak lainnya pun, tidak me mutuskan hubungan sewamenyewa. Jadi, hibah pun misalnya, juga tidak memutuskan hubungan sewamenyewa. Contoh klasik dari argumentum a contrario adalah Un dangUndang Perkawinan mengatur bahwa wanita yang bercerai dari suaminya, mempunyai masa idah 300 hari, di mana dalam masa iddah itu wanita tersebut belum boleh melangsungkan perkawinan baru. Yang diatur hanyalah wa Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...
29
nita. Bagaimana dengan pria yang bercerai? Undangundang tidak mengatur, tetapi berdasarkan a contrario, diperoleh hasil nya aturan yang menganggap bahwa karena undangundang hanya mengatur bagi wanita, maka berarti sebagai lawannya, yaitu pria yang tidak mempunyai masa idah. Aturan hukum pembuktian yang khusus mengatur ten tang perkaraperkara yang decralatoir atau peradilan volun tair, ternyata hanya diatur dalam satu Pasal HIR, yaitu Pasal 145 ayat 2 yang dapat penulis simpulkan esensi aturannya tentang pengecualian aturan orang bisa menjadi saksi (baca sendiri isi pasal 145 ayat 2 HIR). Selebihnya diterapkan hu kum pembuktian bagi perkara contradictoir berdasarkan analogi dan a contrario tadi. Pada hakikatnya, penafsiran analogi dan a contrario itu adalah perwujudan dari asas putusan yang dicetuskan oleh Aristoteles, bahwa perkara yang sama seyogianya diputus sama dan perkara yang tidak sama seyogianya diputus tidak sama. Adanya analogi dan a contrario selaras dengan kewajiban hakim yang tidak boleh tidak harus memutus perkara yang telah diajukan padanya berdasarkan asas IUS CURIA NOVI , di mana walaupun undangundang tidak mengaturnya, ha kim harus menciptakan hukumnya.
E. Hukum Pembuktian dalam Sollen Sein Ada semacam pembagian dunia penelitian hukum atas: a.
Dunia sollen (dunia cita).
b.
Dunia sein (dunia nyata).
Untuk jelasnya, penulis menggambarkannya dengan se cara skematik. 30
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
Jika kita membandingkan skema di atas dengan letak daripada hukum pembuktian itu sendiri, dapatlah penu lis mengatakan bahwa hukum pembuktian terletak di dalam dunia sollen maupun di dalam dunai sein. Terutama karena hukum pembuktian adalah termasuk pada hukum formal yang lebih menonjol peranannya sebagai pelaksanaan. Jadi, sebagai aturan tentang pembuktian, yang meru pakan bagian dari aturan hukum acara perdata, maka dapat dikatakan hukum pembuktian ini termasuk dalam dunia sollen. Adapun sebagai “law enforcement ” maka pembuktian itu termasuk dalam dunia sein. Pengertian “law enforcement ” sendiri berarti pelaksanaan hukum. Tetapi dalam hal ini penulis perlu menggarisbawahi bahwa pelaksanaan hukum itu ada dua macam: 1.
Pelaksanaan hukum secara otomatis (tanpa sengketa).
2.
Pelaksanaan hukum dalam hal ada persengketaan (pada umumnya melalui peradilan).
Pelaksanaan hukum secara otomatis dapat kita rasakan sendiri dalam kehidupan kita seharihari. Kita mengendarai mobil atau motor di arah jalan kiri, kita mengasuh anak NORM
Undang-undang TERTULIS Putusan pengadilan
Sollen
PERILAKU Sein
TIDAK TERTULIS KEBIASAAN PERJANJIAN LAW ENFORSEMENT KESADARAN HUKUM
Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...
31
anak kita, kita membayar ketika kita membeli barang dan se bagainya. Maka dalam hubungan ini, hukum pembuktian yang termasuk dalam dunia sein adalah termasuk dalam jenis pe laksanaan hukum di dalam hal ada sengketa perdata. Karena itulah mempelajari hukum pembuktian harus pula menghayati sein.
F. Apakah yang Harus Dibuktikan (Quoderat Demonstrandum) dan Apa yang Tidak Perlu Dibuktikan Pada zaman dahulu, ada yang beranggapan bahwa yang dapat dibuktikan hanyalah “peristiwa”, sedangan “hak” tidak dapat dibuktikan. Pendapat tersebut sudah tidak diterima dewasa ini.18 Sehingga dewasa, ini halhal yang dapat dibuktikan (Quod Erat Demonstrandum) adalah: a.
Peristiwa ( factum).
b.
Hak (ius).
Dapat dibuktikannya hak kita bisa lihat pada Pasal 163 HIR (Pasal 283 R.bg., Pasal 1865 BW) yang isinya menyatakan: “Barangsiapa menyatakan mempunyai suatu hak atau menyebutkan suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya atau untuk membantah adanya hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.”
Selain itu, yurisprudensi pun menerima pendapat ten tang dapat dibuktikannya hak. Sekarang penulis terlebih dahulu ingin melihat, apakah yang dimaksudkan peristiwa dan apa pula yang dimaksud hak.
32
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
1. Pengertian peristiwa Pengertian “peristiwa” yang dapat dibuktikan di dalam hukum pembuktian ini berbeda dengan pengertian “peristi wa hukum”. Peristiwa hukum sebagaimana yang kita ketahui adalah “Peristiwa yang oleh hukum diberi akibat hukum.” Adapun peristiwa yang harus dibuktikan jauh lebih luas lagi, yaitu sesuatu yang kompleks sifatnya, karena peristiwa ini merupakan suatu keseluruhan dari keadaan, kejadian, hubungan dan sebagainya. Jadi, bukan hanya suatu kejadian, bahkan sering kali tidak dilihat secara keseluruhan oleh pan caindra.
2. Pengertian hak Dalam bahasa Belanda, dikenal adanya dua jenis “hu kum”: a.
Hukum objektif.
b.
Hukum subjektif.
Sebenarnya jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indo nesia, maka hukum objektif itu adalah “hukum” itu sendiri, sedangkan hukum subjektif adalah “hak”. Menurut Prof. Holand20 yang dimaksudkan sebagai “hak” adalah: “One man’s capasity of influencing the acts of an other, by means, nota of his own strength, but of the opinion or the force of society. ”
Jadi, menurut Prof. Holand, hak merupakan kemampuan seseorang untuk memengaruhi perbuatan/tindakan orang lain, bukan dengan jalan kekuatannya sendiri, melainkan di dasarkan pada pendapat atau kekuatan masyarakat. Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...
33
Atau seperti yang dikatakan oleh Ernest Barker21, bahwa: “ My right in general are my part and portions of a whole system of right, as expressed an embodied in my particular person, an they are part and portion”.
Jadi pada asasnya, kata Ernest Barker, hak adalah bagian dari keseluruhan sistem hukum. Atau menurut Dias22 bahwa: “ A right is a claim, whether enforceable or not, which resides by virtue of a rule of law in any given person, that another person, also by virtue of law, shall behave in a particular way. ”
Jadi, Dias lebih memandang hak itu sebagai suatu tun tutan yang karena adanya suatu kaidah hukum yang dipu nyai oleh seseorang terhadap orang lain, agar orang lain itu berbuat/bertindak menurut suatu kaidah tertentu itu. Bagi sistem hukum Barat, hak adalah alat untuk me mungkinkan manusia memperkembangkan jiwa raganya se cara sepenuhnya. Demikian kata Ernest Barker.23 Adapun bagi kita di Indonesia, hak itu bukanlah untuk digunakan secara sepenuhnya, melainkan juga harus memer hatikan kepentingan kolektif. Menurut penulis, kebebasan yang sebebasbebasnya justru adalah ketidakbebasan. Marilah penulis memberikan sebah contoh sebagai berikut: Jika si A dengan sebebasbebasnya menggunakan haknya untuk meng gunakan mobil pribadinya dengan kecepatan maksimal 120 kilometer perjam ditengah keramaian kota, apakah yang ter jadi? Malapetakalah yang akan menimpa orang lain yang juga adalah pemakai jalan raya, sehingga kebebasan bagi si A adalah ketidak bebasan bagi orang lain. Oleh karena itu, penulis lebih cenderung mengartikan hak itu sebagai: 34
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
“Kebebasan untuk berbuat sesuatu menurut hukum, dengan memerhatikan kepentingan kolektif. ”
Perkataan memerhatikan kepentingan kolektif disini, bukan berarti lantas kepentingan pribadi si pemilik hak su dah diatasi sama sekali oleh kepentingan kolektif, karena itu penulis tidak menggunakan kata “tunduk” kepada kepentin gan kolektif, tetapi “memerhatikan” kepentingan kolektif. Ini berarti antara kepentingan pribadi dan kepentingan kolektif harus selaras. Sehubungan dengan hal di atas, ada pepatah hukum yang menyatakan: “Quod licet jovi non licet bovi”, apa yang boleh dilakukan oleh seseorang belum berarti yang lain juga boleh melakukannya.” Setelah kita mengetahui pengertian “peristiwa” dan “hak”, timbullah pertanyaan, dari suatu peristiwa, apanya yang harus dibuktikan?. Jawabannya adalah bahwa yang harus kita buktikan pa da suatu peristiwa adalah “kebenarannya”. Bahwa peristiwa tersebut benar telah terjadi. Di dalam hukum pembuktian, tidak semua peristiwa itu harus dibuktikan. Untuk mengetahui mana yang harus di buktikan dan mana yang tidak perlu dibuktikan, maka penu lis di bawah ini menjelaskannya dengan gambar berikut. Jadi, ada dua macam peristiwa dalam hubungannya dengan pembuktian ini: 1.
Peristiwa yang irelevan (tidak relevan).
2.
Peristiwa yang relevan.
Sehubungan dengan peristiwa yang relevan dan irele van ini, ada ahli hukum lain yang menggunakan istilah: Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...
35
Keterangan gambar: A = Peristiwa yang tidak relevan. B = Peristiwa yang relevan. B1, B2, B3, dan B4 adalah peristiwa relevan yang tidak perlu dibuktikan.
1.
Ratio Decidendi.
2.
Obitar Dictum.
a.
Ratio Deciendi Ratio decidendi ini adalah inti dari suatu perkara yuri dis, yakni bagian yang dianggap mempunyai sifat yang menentukan. Dengan kata lain, Ratio decidendi adalah faktor yang sejati (material fact ), faktor esensi yang jus tru mengakibatkan suatu putusan demikian.
b.
Obiter Dictum Kebaikan dari ratio decidendi adalah obiter dictum ini. Jadi, merupakan bagian dari peristiwa yuridis yang ti dak penting diperhatikan. (mengenai hal ini, lebih mendetailnya dapat dibaca pada hlm. 3031, Prof. Kusumadi Pudjosewojo, S.H., “Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia).
Peristiwa yang irelevan ini sudah jelas tidak perlu dibuk tikan, berdasarkan asas “ MINIMA NON CURAT PRAETOR”, yaitu bahwa hakim tidak memerhatikan halhal yang remeh, atau asas lain “NULTA SED NON MULTUM ”, yaitu banyak 36
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
dalam jumlah, tetapi tidak ada yang penting. Tetapi perlu diketahui, bahwa tidak semua peristiwa yang relevan yang perlu dibuktikan. Ada empat peristiwa relevan yang tidak perlu dibuktikan (dalam gambar penulis sebagai B1, B2, B3, dan B4), yaitu: 1.
Peristiwa prosesuil.
2.
Peristiwa notoir.
3.
Peristiwa yang sudah merupakan pengetahuan umum.
4.
Peristiwa yang oleh undangundang sendiri telah diten tukan bahwa tidak perlu dibuktikan lagi.
Baiklah, di bawah ini penulis menjelaskan masingma sing dengan lebih mendetail. ad. 1. Peristiwa prosesuil
Yang penulis maksudkan sebagai peristiwa prosesuil adalah peristiwa yang terjadi di muka persidangan pengadil an yang memeriksa perkara yang bersangkutan yang harus dibuktikan tadi. Penulis dalam hal ini dapat membagi peristiwa prosesuil itu atas: a.
Peristiwa prosesuil murni.
b.
Peristiwa Prosesuil yang tidak murni.
Yang penulis maksudkan sebagai peristiwa prosesuil murni, adalah peristiwaperistiwa yang terjadi di muka persi dangan pengadilan, yang bersifat yuridis prosesuil, misalnya penggugat mengadakan pengakuan murni, sehingga perkara itu bisa diputus dengan dasar pengakuan murni dari tergugat itu. Adapun yang penulis maksudkan sebagai peristiwa pro sesuil yang tidak murni adalah peristiwaperistiwa yang ter Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...
37
jadi di muka persidangan, yang sebenarnya hanya peristiwa biasa, tetapi karena mempunyai pengaruh terhadap peristiwa pemeriksaan, maka harus dicatat dalam berita acara. Misal nya, si tergugat atau si penggugat ketika sedang diperiksa dimuka persidangan, tibatiba menguap dengan membuka mulut lebarlebar, yang berakibat secara kebetulan seekor lalat masuk menyangkut di kerongkongannya, sehingga ia kelabakan dan berjingkrakjingkrak, atau mungkin pingsan karena sesak nafas, sehingga menimbulkan kegemparan di persidangan, atau menyebabkan terjadinya gangguan pada pemeriksaan perkara tersebut. Peristiwa prosesuil ini dianggap diketahui hakim se hingga tidak perlu dibuktikan lagi. ad. 2. Peristiwa notoir
Ini harus berhatihati untuk menyatakan atau meng galangkan suatu peristiwa ke dalam Notoir-Feiten atau pe ristiwa notoir ini, karena kadangkadang suatu peristiwa ke lihatannya adalah peristiwa notoir , padahal bukan. Peristiwa notoir itu sendiri adalah suatu peristiwa yang dianggap peristiwa yang sudah diketahui oleh orang yang memiliki penidikan cukup dan telah mengenal keadaan masa di mana ia hidup, tanpa mengadakan penelitian lebih lan jut lagi, termasuk pula peristiwa yang diketahuinya dari sumbersumber umum (mass media misalnya) tanpa meng adakan peristiwa yang cukup untuk digunakan sebagai argumentasi pembenaran bagi suatu tindakan yang sifatnya merupakan sifat yang memiliki arti. (Bandingkan pula pen dapat P.A. Stein24 dan pendapat Prof.Dr. R.M. Sudikno Mer tokusumo.25 Atau pendapat Prof. Mr. A. Pitlo,26 bahwa tidaklah ter 38
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
masuk dalam peristiwa notoir jika peristiwaperistiwa yang secara kebetulan diketahui hakim yang bersangkutan, atau hakim yang menyaksikannya ketika terjadi atau hakim yang bersangkutan mempunyai keahlian perihal suatu kejadian atau keadaan. Ini berarti bahwa “ private knowledge” dari hakim atau yang dalam istilah hukum kontinental disebut “Eigen Wetenschap des Rechters”, masih memerlukan pembuktian dan tidak termasuk peristiwa notoir . Misalnya, hakim kebetulan melihat tergugat mengadakan perjanjian jual beli rumah yang kini dipersengketakan, di mana hakim itu sendiri yang kebetulan memeriksa perkara nya, maka dalam hal ini terjadinya perjanjian jual beli rumah itu masih tetap harus dibuktikan oleh para pihak, karena ini hanya merupakan “Eigen Wetenschap des Rechters” dan bukan Notoir Feiten. Lazimnya peristiwa notoir ini diartikan sebagai peris tiwa yang diketahui umum. Oleh sebab itu, maka hakim ber pendidikan tinggi dan sudah tentu dianggap berpengetahuan luas juga, harus tahu juga peristiwa notoir ini, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut. Sebagai contoh, bahwa hari kemerdekaan Republik Indonesia jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945, hal ini tidak memerlukan pembuktian lagi di muka pengadilan. Adalah tidak efisien apabila harus didatangkan seorang saksi sejarah yang membuktikan bahwa proklamasi Indonesia itu benar tanggal 17 Agustus 1945. Dalam hal timbul perselisihan akan hal semacam itu sulit untuk dimasukkan dalam golongan “diketahui umum”, sehingga dalam hal demikian perselisihan akan timbul, peris tiwa yang bersangkutan masih harus dibuktikan. Demikian Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...
39
pendapat Prof. R. Soekardono, S.H. 27 Tadi penulis mengemukakan bahwa sering suatu peris tiwa dianggap notoir feit , padahal sebenarnya bukan. Penulis dapat memberikan sebuah contoh: jika si X dikatakan se bagai orang terkaya di kota Ujungpandang, ini belum me rupakan peristiwa notoir, karena kriteria kaya tidaknya se seorang masih merupakan sesuatu yang relatif dan masih memungkinkan diperdebatkan. Lain halnya dengan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari diproklamasikannya Republik Indonesia, tidak mungkin diperdebatkan lagi. Penulis membagi ada tiga macam peristiwa notoir : a.
Peristiwa notoir yang bersifat internasional.
b.
Peristiwa notoir yang bersifat nasional.
c.
Peristiwa notoir yang bersifat lokal/kedaerahan.
Peristiwa notoir yang bersifat internasional misalnya, bahwa Israel melakukan invasi militer ke wilayah Lebanon, atau Partai Buruh Solidaritas dibubarkan oleh pemerintah Polandia. Peristiwa notoir yang sifatnya internasional ini pada umumnya berlaku bagi hukum acara perdata internasional, tetapi bukan berarti bahwa dalam hukum acara perdata biasa tidak mungkin berarti. Sebagai contoh: jika tergugat ingin membuktikan keti dakberadaannya di Indonesia, karena berada di Lebanon pada saat tentara Israel melakukan invasinya, ini sudah me rupakan peristiwa notoir intenasional, yaitu tentang saat tentara Israel melakukan invasi itu. Adapun peristiwa notoir yang bersifat nasional, misalnya meletusnya Gunung Galunggung di Jawa Barat. Atau bahwa Menteri Pertahanan Republik Indonesia sekarang (tahun 1982) adalah Jenderal TNI M. Yusuf. 40
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
Dan peristiwa notoir lokal/kedaerahan, misalnya bahwa Kantor Pengadilan Negeri Ujungpandang terletak di Jalan Kartini persimpangan/pojok jalan Jenderal Sudirman, bah wa bioskop artis terletak di jalan G. Lompabatang dan lain lainnya. Ini hanya merupakan peristiwa notoir yang berlaku bagi penduduk tetap Ujungpandang atau Makasar. Tidak perlu dibuktikan lagi bahwa bioskop artis itu apakah benar terletak di jalan G. Lompobatang atau tidak. Yang dewasa ini masih merupakan polemik dalam lite raturliteratur hukum pembuktian antara para ahli hukum adalah apakah termasuk pula dalam pengertian peristiwa notoir , peristiwa yang merupakan desasdesus? Atau secara lengkap penulis mempertanyakan, apakah peristiwaperistiwa: a. b.
desasdesus, rumor (desasdesus buruk bagi seseorang),
c. d.
fama, juga sejenis desasdesus, communis, opinie doctorum (pendapat umum para ahli),
dapat dimasukkan sebagai peristiwa notoir atau bukan? Masih diperdebatkan kini. ad. 3. Peristiwa yang sudah merupakan pengetahuan umum
Yang penulis maksudkan di sini, sebagai peristiwa yang sudah merupakan pengetahuan umum adalah peristiwa yang berdasarkan pengalaman, atau dengan kata lain kesimpulan yang didasarkan pada pengetahuan umum. Pengalaman yang dimaksudkan di sini adalah tidak ber sifat normatif, jadi merupakan ketentuan umum berdasar kan pengalaman manusia yang digunakan untuk menilai pe ristiwa yang diajukan untuk dibuktikan itu. Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...
41
Pengetahuan tentang pengalaman, misalnya: –
bahwa seorang manusia yang berlari nonstop selama dua jam, pasti akan kepayahan;
–
bahwa mobil yang dilarikan dengan kecepatan 100 kilo meter per jam, kemudian tibatiba direm, pasti mening galkan “remspoor ” (bekas rem di aspal);
–
jika seorang manusia ditembak kepalanya sehingga kena dengan sebutir peluru, maka orang itu pasti mati.
Semua contoh di atas tidak membutuhkan pembuktian lagi, sesuai asas “ MANIFESTA NON EGENT PROSATIONE” (faktafakta yang dikenal umum tidak perlu memerlukan pem buktian). Coba dibayangkan jika untuk membuktikan bahwa seorang yang ditembak kepalanya akan mati, harus dibuktikan dengan menampilkan seorang “sukarelawan” yang bersedia benarbenar ditembak kepalanya di muka persidangan, bu kankah suatu hal yang tidak mungkin?. Lalu di mana letak perbedaan antara peristiwa notoir de ngan peristiwa yang berdasarkan pengetahuan umum? Perbedaannya adalah: –
peristiwa notoir , hakim mengenal peristiwanya secara konkret, misalnya warna emas adalah kuning;
–
peristiwa yang didasarkan pengetahuan umum, hakim menerapkan suatu pengetahuan umum, misalnya mobil lebih cepat larinya dari manusia.
ad. 4. Peristiwa yang oleh undang-undang sendiri telah ditentukan bahwa tidak perlu dibuktikan
Dalam hal ini ada yang juga termasuk peristiwa prosesuil. Sebagai contoh: –
dengan telah dilaksanakannya sumpah pemutus (sum 42
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
pah decisoir), yang oleh undangundang tidak memung kinkan pembuktian perlawanan lagi, maka peristiwa yang dipersengketakan tidak memerlukan pembuktian lebih lanjut; –
jika seorang tergugat mengakui gugatan penggugat dalam bentuk pengakuan murni, berarti peristiwa yang dipersengketakan yang telah diakui secara murni oleh tergugat tidak memerlukan pembuktian lebih lanjut, dan perkara itu dianggap selesai;
–
dalam hal tergugat tidak datang, padahal telah dipanggil secara patut, lalu hakim menjatuhkan hukuman verstek yang menyatakan tergugat kalah, maka peristiwa yang di persengketakan yang dimuat dalam gugatan penggu gat tanpa diadakan pembuktian sudah dianggap benar, dan kemudian tanpa mendengar serta di luar hadirnya tergugat dijatuhkan hukuman verstek. (sebagai catatan, perlu diketahui, bahwa tidak mesti seorang hakim men jatuhkan hukuman putusan yang menyatakan kalahnya ter gugat secara verstek jika tergugat tidak hadir, meski pun telah dipanggil secara patut, bisa saja dengan pertimbangan bahwa gugatan si penggugat tidak ada dasar hukumnya, maka hakim dalam ketidak hadiran ter gugat menyatakan penggugat yang kalah, bukan tergugat ).
Mengenai hal ini, lihat Pasal 8 dari UndangUndang Nomor 20 Tahun 1947 atau Pasal 200 R.bg. Untuk menjelaskan mana peristiwa yang relevan dan mana yang irelevan, penulis memisalkan sebagai berikut: Terjadi tabrakan antara mobil Mercy putih milik Tuan A dan mobil Toyota milik Tuan B, sehingga Tuan B meminta ganti rugi. Terjadinya tabrakan pada Jumat kliwon. Dan lokasi Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...
43
nya di perempatan jalan Kartini, jalan G. Sawakarang, Jalan Sudirman, Tuan A memakai baju safari merah muda, ber kacamata, sedangkan Tuan B memakai Jean sepasang warna biru. Pada saat kecelakaan, di atas mobil Tuan A ikut anak ananya. Adapun di atas mobil Tuan B ikut pacarnya Miss X, seorang aktris jelita. Cepat kendaraan 50 kilometer per jam, baik Tuan A maupun Tuan B. Dari keseluruhan yang dikemukakan di atas, yang termasuk peristiwa relevan hanyalah bahwa yang mengemudikan mobil adalah Tuan A dan Tuan, kecepatannya masingmasing 50 kilometer per jam, lokasinya di jalanjalan tersebut. Adapun isinya, seperti baju Tuan A dan Tuan B, pacar Tuan B yang aktris jelita dan sebagainya adalah peristiwa yang irelevant, sehingga tidak perlu dibuktikan.
G. Siapa yang Mengajukan Alat Bukti? Buat kita di Indonesia, jelas kita tidak dapat menerima ajaran Jhon Austin, yang menganggap hukum sebagai dipi sahkan secara tegas dari keadilan, hukum tidak di dasarkan pada nilainilai yang baik dan buruk, tetapi atas dasar da ripada penguasa, atau seperti yang dituliskan oleh Judith Shklar27 bahwa: “Treating law as an isolate block of concepts that have no relevant characteristic or function—apart from their possible validity or invalidity within a hyppthatical system. ”
Buat kita di Indonesia, hukum tidak dapat dipisahkan dari keadilan, dan hukum itu harus menciptakan kemanfaat an yang sebenarbenarnya bagi sebanyakbanyaknya rakyat Indonesia. Karena itulah di dalam proses peradilan Indonesia, para pihak yang berperkara (dalam proses perdata) maupun ter 44
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
tuduh (dalam proses pidana) senantiasa dijamin hakhaknya untuk membuktikan ketidakbersalahannya (�e Presumption of Innocemce). Hal ini sejalan dengan pandangan Roscoe Pound yang berpendapat bahwa hukum harus dilihat atau dipandang se bagai lembaga yang memenuhi kebutuhankebutuhan sosial, serta adalah tugas ilmu hukum untuk memperkembangkan suatu kerangka dalam mana kebutuhan sosial dapat dipenuhi secara maksimal. Terbukti dari apa yang dituliskannya: “....�e record of a continually wider recognizing and satisfying of human wants or claims or desires through social control, a more embracing and more effective security of social interest, a continually more complete and effective elimination of waste and precluding of friction in human enjoyment of the goods of existence—in short a continually more afficacious social engineering.”29
Roscoe Pound meganjurkan agar mempelajari hukum sebagai suatu proses. Di dalam hukum acara perdata, yang berhadapan adalah dua pihak yang terlibat dalam suatu persengketaan perdata. Keduanya memiliki kedudukan yang sama di muka hukum, termasuk di muka pengadilan (hakim), berdasarkan asas AUDI ET ALTERAN PARTEM . Walaupun demikian, terlebih dahulu kita harus jelas mengetahui siapakah yang dimaksudkan para pihak dalam suatu perkara perdata? Hal ini sangat penting, karena yang harus mengajukan alat bukti ini adalah para pihak itu. Pada asasnya setiap orang mempunyai hak, dan karena itu adalah suatu kewajaran jika setiap orang berusaha untuk mempertahankan atau membela haknya, berwanang untuk bertindak selaku pihak dalam perkara perdata, baik sebagai Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...
45
penggugat maupun tergugat atau dalam hal tertentu sebagai pihak yang melakukan intervensi, hal ini sesuai dengan asas: “Legitima persona standi in jidicio.” Tetapi selain manusia, kita harus ingat bahwa pengertian “orang” menurut hukum, juga termasuk badan hukum atau yang lazim disebut “RECHTAPERSOON ”. Sehingga yang dimaksud pihak dalam perkara perdata ada dua macam: 1.
Manusia.
2.
Badan hukum.
Di dalam suatu persengketaan perdata sekurangkurang nya terdapat dua pihak, yaitu: penggugat (eiser, plaintiff ), dan tergugat ( gedaagde, defendant ). Mengenai orang yang aktif bertindak sebagai pihak di muka persidangan pengadilan, dapat kita bagi atas: a.
Orang yang mempunyai kepentingan langsung.
b.
Orang yang tidak mempunyai kepentingan langsung.
Jika orang yang berkepentingan langsung yang bertin dak sendiri di muka pengadilan disebut sebagai “pihak ma teriil”, tetapi sekaligus juga merupakan “pihak formal”, karena mereka sendiri yang beracara. Yang dimaksudkan sebagai orang yang tidak mempunyai kepentingan langsung adalah: a.
Wali
b.
Pengampu
c.
Pengacara
Wali ini mewakili orang yang masih di bawah umur. Di Indonesia terdapat banyak peraturan mengenai batas umur kedewasaan. Batas umur itu berkisar antara 15 tahun hingga 46
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
21 tahun. Batas umur untuk perkawinan saja ada berbagai macam, menurut BW bagi lakilaki adalah 18 tahun dan bagi wanita 15 tahun, sedang menurut U. U No. 1 Tahun 1974 bagi lakilaki 19 tahun dan wanita 16 tahun. Batasbatas umur dewasa itu adalah a.
Dewasa untuk memilih: 17 tahun (berdasarkan Pasal 9 UU No. 5 Tahun 1975).
b.
Dewasa menurut UndangUndang Kerja adalah 18 ta hun (Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1951 jo. UU. No. 12 Tahun 1948).
c.
Dewasa untuk menjadi saksi di muka persidangan pengadilan adalah 15 tahun (Pasal 145 ayat 1 No. 3, 145 ayat 4 HIR, 172 ayat (1) No. 4 jo. 173 R.bg.m 1912 BW).
d.
Dewasa untuk dapat dituntut pidana adalah 16 tahun.
Bagi golongan pribumi, maka di dalam S. 1931 No. 54 diatur bahwa jika ketentuan undangundang menggunakan istilah “belum cukup umur” maka bagi golongan Indonesia yang dimaksud adalah semua orang yang belum mencapai umur 21 tahun dan tidak kawin sebelumnya. Walaupun di dalam praktik peradilan di Indonesia de wasa ini belum pernah terjadi masalah umur dalam penga juan gugatan di muka persidangan pengadilan, tetapi untuk kepastian hukum perlu adanya ketentuan atau pedoman bagi batas umur untuk orang yang hendak mengajukan gugatan. Menurut penulis, untuk saat ini pedomannya adalah Pasal 330 BW dan S. 1931 No. 54 yang menentukan batas umur 21 tahun sebagai batas umur dewasa. Pengampu atau kurator adalah orang yang mewakili ke pentingan orang yang berada di bawah kuratele atau peng ampuan. Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...
47
Orang yang biasanya ditempatkan di bawah kuratele adalah: a.
sakit ingatan;
b.
pemboros;
c.
pemabuk.
Tetapi, perlu diketahui bahwa pada umumnya mereka yang diletakkan di bawah pengampuan karena pemboros atau pemabuk, ketidakmampuannya hanyalah terbatas pada perbuatanperbuatan di lapangan hukum harta kekayaan. (Bandingkan pendapat Asser Scholten29) Demikian pula seorang istri yang tunduk pada BW tidak dapat bertindak sebagai pihak tanpa bantuan daripada suaminya, sesuai ketentuan Pasal 110 BW, kecuali dalam hal perceraian atau apabila ia dituntut dalam perkara pidana. Adapun kuasa yang merupakan juga pihak yang tidak berkepentingan langsung biasanya diarahkan kepada penga cara. perlu penulis tegaskan di sini, bahwa pengertian penga cara di satu pihak, dengan pengertian advokat di lain pihak, tidaklah identik. Penulis dapat membedakannya sebagai berikut: ADVOKAT :
adalah pengacara profesional, seorang pe ngacara yang memang pengerjaan pokok nya adalah kepengacaraan, dan telah resmi diangkat oleh negara sebagai advokat. (li hat peraturan menteri kehakiman No. 1 Tahun 1965 tertanggal 28 Mei 1965, Jo. Keputusan Menteri Kehakiman No. J.P. 14/2/11 tanggal 7 Oktober 1965).
PENGACARA: adalah lebih luas pengertiannya, karena disamping termasuk di dalamnya advokat, 48
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
juga tercakup setiap badan hukum yang menjalankan fungsi pengacara, misalnya dosendosen fakultas hukum yang aktif di biro bantuan hukum fakultas hukum ma singmasing. Selain itu ada istilah lain yaitu “POKROL” yang penulis arti kan sebagai: setiap orang yang bukan sarjana hukum, yang menjalankan fungsi kepengacaraan. Dalam hubungan ini, me nurut hemat penulis, seyogianya pokrol dilarang berpraktik untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan hukum. Kapan seseorang boleh bertindak sebagai kuasa? Kalau memenuhi salah satu persyaratan atau beberapa persyaratan di bawah ini. Untuk menjadi kuasa penggugat:
a.
Harus mempunyai surat khusus seperti yang diatur oleh pasal 123 ayat 1 HIR, Pasal 147 ayat 1 R.bg.
b.
Ditunjuk selaku kuasa dalam surat gugatan, seperti yang diatur oleh Pasal 123 ayat 1 HIR, Pasal 147 ayat 1 R.bg.
c.
Ditunjuk sebagai kuasa atau wakil dalam catatan gugatan jika gugatan diajukan secara lisan, diatur oleh pasal yang sama di atas.
d.
Ditunjuk oleh penggugat sebagai kuasa atau wakil di persidangan, juga diatur oleh pasal yang sama di atas.
e.
Memenuhi syarat dalam Peraturan Menteri Kehakiman 1/1965 tanggal 28 Mei Jo. Keputusan Menteri Keha kiman No. J.P. 14/2/11 tanggal 7 Oktober 1965 tentang Pokrol.
f.
Telah terda�ar sebagai advokat atau memenuhi syarat setempat tentang izin untuk membela perkara. Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...
49
Untuk dapat menjadi kuasa tergugat:
Pada asasnya memiliki persyaratan yang sama dengan persyaratan untuk menjadi kuasa bagi penggugat di atas. Sebagaimana jika negara/pemerintah yang bertindak selaku pihak di muka persidangan perdata selaku QUASI STAATRECHT ? Sebagai warga negara semu? Siapa yang di syaratkan dapat menjadi kuasanya? Ini ditentukan oleh S. 1922 No. 522 dan Pasal 123 ayat 2 HIR, Pasal 147 2 R.bg. a.
Pengacara yang diangkat oleh pemerintah.
b.
Jaksa.
c.
Orangorang tertentu atau para pejabat yang diangkat atau ditunjuk.
Juga yang sering dipertanyakan, bagaimana dengan suatu Badan Hukum Privat? Siapa yang harus mewakilinya di depan sidang pengadilan? Dalam hal ini diatur oleh psal 1655 BW dan pasal 8 no. 2 Rv., bahwa adan hukum bertindak melalui pengurusnya atau wakilnya. Adapun nama pengurus dari badan hukum itu tidak harus di muat dalam gugatan, oleh karena itu badan hukum dapat bertindak sebagai pihak materi ataupun pihak formal dalam perkara. Demikian pen dapat dari star bubwann.31 Semua orang yang dianggap tidak cakap untuk bertindak disebut dengan istilah “PERSONAE MISERABILE”. Sehingga dapatlah kita nyatakan bahwa didakannya lembaga Personae Miserabile itu adalah bertujuan untuk melindungi orang orang tersebut sendiri. Dewasa ini yang sering menjadi pertanyaan, bagaimana halnya dengan orang tua? sampai batas umur berapa baru tergolong sebagai “Personae Miserabile”? Belum ada keten tuannya hingga saat ini. Tetapi menurut hemat penulis seyo 50
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
gianya jika kelak diatur oleh undangundang tidak dibatasi dari segi usianya, karena ada orang tua yang berusia 7090 tahun tetapi belum pikun, sedangkan ada yang baru 50 tahun sudah pikun. Karena itulah pengaturannya harus di atur dari segi “pi kunnya”. Tentu saja ini pun bukan persoalan yang terlalu mu dah, karena kriteria kepikunan masih bisa diperdebatkan lagi. Jadi, kita kembali kepada masalah siapakah yang harus mengajukan alat bukti, jawabannya adalah semua orang yang menjadi pihak formal di depan pengadilan, termasuk pula pihak yang sekaligus adalah pihak materiil.
H. Siapakah yang Menilai Pembuktian Dalam sistem peradilan kita di Indonesia, satusatunya yang menjadi pihak penilai pembuktian adalah hanyalah “HAKIM”. Berbeda dengan sistem peradilan Anglo Saks di negaranegara common law, di mana selain hakim yang me nilai segi hukumnya, ada lagi “JURI” yang menilai segi fakta atau peristiwanya. Hakim di dalam menilai pembuktian ini, di dalam proses perdata sematamata terikat pada alat bukti yang sah, jadi seperti yang berulangulang penulis tuliskan di bagian depan, hanya bersifat “ propederence evidence”, tidak harus “Beyond Ressonable Doubt ” seperti halnya dalam perkara pidana. Asas yang mewajibkan hakim untuk menilai pembuk tian, dan bukan para pihak adalah asas “UNTERBUCHUNGS MAXIME”, yaitu asa yang mewajibkan hakim untuk me ngumpulkan alat bukti dan menilainya. Alat bukti yang dikumpulkan itu adalah alat bukti yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Adapun para pihak diwajibkan meng Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...
51
ajukan dan meyakinkan hakim dan alat buktinya, sesuai asas “VERHANDLUNGO MAXIME”. Selain menilai pembuktian sebagai salah satu tugas ha kim, maka tugas hakim yang lain sehubungan dengan ma salah pembuktian ini adalah untuk membebani pembuktian kepada para pihak yang berperkara. Oleh karena itu, dapatlah disimpulkan bahwa tugas ha kim yang utama dalam kaitannya dengan masalah pembuk tian ini adalah: a. Membebani pembuktian kepada para pihak. b.
Menilai pembuktian yang diajukan para pihak.
Dan justru kedua tugas hakim itulah yang paling ber pengaruh pada putusan akhirnya. Tugastugas hakim yang lain tentunya masih banyak, antara lain:32 a.
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali mengikuti dan memahami nilainilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
b.
Hakim yang sudah diserahi perkara tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, tetapi wajib untuk me meriksa dan mengadilinya.
c.
Tugas hakim itu tidak berakhir hanya dengan menjatuh kan putusan saja, akan tetapi juga menyelesaikan pada pelaksanaannya (eksekusi).
d.
Khususnya dalam perkara perdata, hakim harus mem bentuk pihakpihak yang berperkara dan berusaha se maksimal mungkin untuk mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk terwujudnya peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. 52
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
Jika kita ingin menyimpulkan tugas hakim pada garis besarnya, dapatlah kita bagi menjadi tiga, yaitu: 1.
mengonstatir;
2.
mengkualifisir;
3.
mengkostituir.
Agar bagi pembaca awam jelas, baiklah penulis membe rikan suatu contoh imajiner; Si A menggugat si B, bahwa pada tanggal 17 Agustus 1981, ketika mobil Mercy berplat DD 952 diparkir oleh si A di depan rumahnya yang terletak di tepi Jl. G. Lampobatang No. 5 Ujungpandang, tibatiba ditabrak oleh mobil Toyota biru dengan plat DD 511 milik si B yang dikendarai oleh si B sendiri. Kecepatan mobil si B itu adalah sangat kencang dan diperkirakan melebihi kecepatan maksimum yang di tentukan bagi kendaraan jika berada dalam kota. Akibatnya mobil milik si A rusak berat dan menderita kerugian seharga mobil Mercy itu. Untuk itu si A menggugat pada si B agar si B antara lain dihukum untuk membayar ganti kerugian sejumlah mobil Mercy itu...bdan seterusnya.... Menghadapi perkara di atas, hakim pertamatama harus mengonstatir, benarkah telah terjadi peristiwa tarakan de ngan kronologis dan akibat yang sesuai dengan yang dinya takan si A dalam gugatannya? Untuk ini, hakim harus dapat membuktikan terjadinya peristiwa tadi. Dalam hal ini, bukanlah kewajiban hakim untuk aktif mengadakan penyelidikan agar memperoleh buktibukti, melainkan pihak pengugatlah yaitu si A yang ha rus mampu mengajukan alat bukti yang dapat membuktikan bahwa benar peristiwa tabrakan itu telah terjadi. Sebaliknya bagi si B, jika menyangkali perbuatan si A, Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...
53
juga harus mampu mengajukan alat bukti yang membuktikan ketidakbenaran gugatan ini. Dalam hal ini, misalnya si A berhasil membuktikan ter jadinya peristiwa tabrakan tadi, maka tugas hakim selan jutnya adalah mengadakan kualifikasi peristiwa. Jadi meng kualifisir. Peristiwa tabrakan itu, kemudian dapat dikualifisir oleh hakim, sebagai perbuatan melawan hukum (Onrechtmatigdaad ) berdasarkan Pasal 1365 BW (KUH Perdata). Atas dasar kualifikasi sebagai perbuatan melawan hukum itulah, hakim kemudian melakukan konstituiring , memutus perkara itu dengan menghukum si A selaku penggugat. Di dalam tahap konstituiring inilah hakim melakukan penalaran silogisme atas logika. Melihat keseluruhan tugas hakim yang telah penulis kemukakan di atas, dapatlah jelas diketahui bahwa hakim tidak hanya bertugas untuk menemukan dan mengharapkan hukum, tetapi jauh lebih berat lagi, yaitu menciptakan hukum dalam hal hukumnya tidak ada atau tidak jelas. Karena itulah Cardozo33 menyatakan: “�e law which is the resulting product is not found but made. �e process in its highest reaches is not discovery, but creation”
Yang lebih berat lagi, bahwa hakim dalam menjalankan tugastugasnya itu senantiasa mempertahankan posisi ob jektifnya yang merupakan hal yang paling prinsip dalam ke seluruhan jabatan dan fungsinya selaku hakim. Apalagi jika dikaitkan dengan pepatah yang bersifat asas pula, bahwa “Nemo judex idoneus in proris cause,” yaitu bahwa tidak seorang pun dapat menjadi hakim yang baik bagi dirinya sendiri. Mungkin asas tersebut kekecualiannya hanyalah bagi 54
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
orangorang pilihan, seperti para rasul dan nabi, paling tidak para sahabat Nabi seperti Umar bin Khatab misalnya. Untuk menjamin terlaksananya posisi objektif para ha kim, penulis menyarankan kirakira sudah tepatlah jika segi finansial dan kesejahteraan ekonomis para hakim men jadi perhatian dari pemerintah kita, agar godaan untuk me nyimpang dari prinsip objektivitas itu bisa dicegah, paling tidak dikurangi seminimal mungkin, sehingga asas lain yang juga merupakan asas penting dalam hukum pembuk tian perdata, “ AUDI ET ALTERAM PARTEN ”, juga bisa ter wujudkan dalam dunia sein.
Endnote: Prof. Dr. R.M. Sudikno Metokusumo, S.H. “Hukum Acara Perdata Indonesia”. Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 9697. 2. Prof. Mr. H. Drion. “Bewijzen in hetrecht ”. R.M. �emis 1966 af1 5/6. 3. Prof. Mr. H. Wiersma. “Bewijzen in het Burgelijk Gding ”. R.M. �emis 1966 af1 5/6. 4. Ibid . 5. Charless F. Hempill, J.R. & Phyllis D. Hemphill. “�e Dictionary of Practical Law”. PrenticeHall, Inc. Englewoud Cliffs, N.J. 07632, hlm. 13. 6. Milton C. Jacobs. “Civil Trial Evidence”. Second edition, New York, hlm. 1. 7. Ibid . 8. Ibid . 9. Prof. Dr. R. Supomo. “Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri”. Penerbit Fasco, Jakarta, 1958, hlm. 8885. 10. AsserAnemaVerdan. “Van Bewijs” N.V. Uit Gevers Maatschappij W. E. J. Tjeenk Willing, Zwolle, 1955, hlm. 35. 11. Prof. R. Subekti, S.H. “Hukum Pembuktian”. Penerbit Pradny paramita, Jakarta, 1978, hlm. 56. 12. Prof. R. Subekti, S.H. Ibid . 1.
Hukum Pembuktian Pada Umumnya ...
55
13. Edward W. Cleary. “ McCormick’s Handbook of the Law of Evidence”. St. Paul Minn, West Publishing Co. 1972, hlm. 1. 14. Prof. H. Drion, Op.Cit . hlm. 416. 15. Journal of Forensic Science, vol. 9. No. 4, hlm. 445. 16. Prof. H. Drion, op-cit . 17. Conpendium Hukum Belanda, hlm. 9. 18. Achmad Ali, S.H. “Pembuktian Dalam Proses Perdata ”.Ujungpan dang, 1980, hlm. 6. 19. Ibid . 20. Wisa B. R. “Gutlines of Jurisprudence”. 1959, hlm. 31. 21. Ernest Baker. “Principles of Social and Political �eory ”. 1963, hlm. 137. 22. Wisa, B. R, Op.Cit. , hlm. 34. 23. Ernest Baker, op-cit , hlm. 137. 24. Prof. Dr. R.M. Sudikno Metokusumo, S. H. Op.Cit , hlm. 86. 25. Ibid . 26. Prof. Mr. A. Pitlo. “Pembuktian dan Daluarsa”(terjemahan). Pe nerbit PT. Intermasa, Jakarta, 1976, hlm. 16. 27. Prof. R. Sukardono, S.H, “Penggunaan Upaya-upaya Pembuktian dalam Prosedur Perdata”. Majalah Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, 1971 No. 12, hlm. 49. 28. Judith Bhklar. Legalism. Cambridge, Harvard University Press, 1964, hlm. 34. 29. Roesco Pound. “ An Introduction to the Philosophy of Law”. New Haven”. Yale University Press, 1959, hlm. 47. 30. AsserScoltenWIARDA. “ Mr. C. Asser’s Hanleiding tot de beoefening van het Nederland Bugerlijk Recht ”. Earste Deel Earste Stuk: Familia recht, N, V. Witgevers Mastschappij N. E. J. TjeenkWillink, Zwolle, 1947, hlm. 539. 31. Star Bussmann. “Hoofdstukkan van burgerlijk Rechtsvardering ”. Harlem Deerven F. Bahn, N. V. 1948. 131. 32. UndangUndang Pokok kekuasaan Kehakiman. (UU No. 14 Tahun 1978). 33. Benyamin N. Cardozo LLD. “�e Narure of Judicvial Process”. New Haven, Yale University Press, 1977.
56
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
Bagian Ketiga TUJUAN PEMBUKTIAN
Lex Meminen Cogit Ad Impossibilia “Undang-undang tidak memaksa seorang pun untk melakukan sesuat yang tidak mungkin”
Pada hakikatnya tujuan pembuktian adalah untuk meng hasilkan suatu putusan, yang menyatakan salah satu pihak menang, dan pihak yang lain kalah (jika merupakan peradilan yang sebenarnya), atau untuk menghasilkan suatu penetapan (jika pengadilan voluntair atau peradilan semu). Jadi, tujuan pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan pada pembuktian itu. Segi yang kalah dalam perkara perdata tentunya secara formal yuridis menjadi pihak yang merugi atau menjadi pihak yang dikenakan hukuman. Sama halnya jika terdakwa dalam perkara pidana terbukti bersalah, akan dijatuhi sanksi pidana. Sehubungan dengan hal tersebut, apakah dihukumnya pihak itu merupakan akibat dari perbuatan hukum yang per nah dilakukannya? Dengan perkataan lain, apakah perbuatan yang dilakukan dengan hukuman yang diterimanya meru pakan suatu hubungan sebab akibat ? Mengenai permasalahan ini, Hans Kelsen mengemuka kan salah satu teori yang terkenal sebagai “Toerekeningstheoris”
(teori pertanggung jawab). Menurut teori Hans Kelsen yang kemudian diikuti oleh Paul Scholten itu, tindakan yang dilakukan seseorang sehing ga ia di hukum, bukan merupakan hubungan sebab akibat. Artinya bahwa hukuman yang diterimanya bukanlah akibat dari perbuatannya, melainkan bahwa hukuman itu merupakan pertanggungjawaban atau perbuatannya sen diri. Berbeda dengan batu yang dilemparkan ke atas, maka akibatnya pasti akan jatuh kembai ke bawah. Berlainan de ngan tindakan seseorang yang membeli suatu barang, belum tentu akibatnya ia harus membayar dan kemudian ia me mang tidak membayar. Apakah akibatnya ia akan di hukum? Belum tentu. Oleh karena itu, dalam hal ini lebih tepatlah jika dikatakan bahwa ia membeli suatu barang, maka sebagai pertanggungjawabannya ia harus membayar harga barang yang dibeli tadi. Atau, kalau ia tidak membayarnya sehingga berakibat ia dijatuhi hukuman oleh hakim, maka hukuman itu merupa kan pertanggungjawaban atas perbuatan yang tidak memba yarnya harga barang yang dibelinya. Jadi tidak berdasarkan hukum kausalitas seperti jatuhnya batu ke bawah yang dilem parkan ke atas. Oleh karena itu, pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan pada pembuktian itu, maka di sini terbukti lagi betapa besarnya peranan hukum pembuktian di dalam me netukan kalah menangnya pihakpihak yang berperkara. Sebagai tujuan akhir dari pembuktian itu tentu saja se jalan dengan tujuan dari hukum pada umumnya, di sini kita harus ingat lagi, bahwa hukum pembuktian hanya subsistem dari sistem hukum secara keseluruhan. 58
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
Apakah tujuan hukum itu? Tujuan hukum adalah: a.
Gerachtgkeit (keadilan).
b.
Zwegkmassigkeit (kemanfaatan).
c.
Rechtsicherheit (kepastian hukum).
Hukum itu timbul pada hakikatnya disebabkan karena terjadinya konflik di antara berbagai kepentingan manusia (conflict of human interest ). Akibat konflik antarkepentingan itu, sehingga meng hendaki adanya penyelesaian fungsi hukum. Khususnya hukum acara perdata, tujuan pembuktian di dalamnya untuk menyelesaikan persengketaan antara pihak yang berperkara. Kita selalu harus ingat, bahwa proses per data adalah proses penyelesaian persengketaan antara dua pihak. Berbeda dengan proses pidana, di mana tidak terdapat persengketaan antara jaksa dan terdakwa. Karena itulah selaras dengan tujuan hukum pada haki katnya, maka dengan pembuktian dalam proses perdata, ber tujuan menyelesaikan persengketaan antara pihak yang ber perkara, dengan jalan yang seadiladilnya, dengan memberi kepastian hukum baik bagi pihak yang berperkara maupun terhadap masyarakat pada umumnya, dengan tidak melu pakan kemanfaatan putusan hakim itu terhadap masyarakat pada umumnya. Itulah tujuan pembuktian perdata menurut hemat penulis. Secara filosofinya dapat dikatakan tujuan pembuktian adalah: “QUOD BONUM FELIX FAURTUMQUE”, apa yang baik, bahagia dan karunia (oleh Allah).
Tujuan Pembuktian
59
Bagian Keempat ASAS�ASAS HUKUM PEMBUKTIAN
Judex Ne Prcedat Ex Ocio “Di mana tidak ada yang mengggat, di sana tidak ada hakim”
Khususnya di dalam hukum pembuktian perdata dike dike nal asasasas tersendiri, yang berbeda dengan apa yang dike dike nal dalam hukum pembuktian lainnya. Hukum acara perdata p erdata sendiri memiliki karakteris karakteristik tik ter sendiri selaku bagian dari hukum privat ( privaatrec privaatrecht ht [Be landa], privat landa], privatee law [Inggris], droit prive [Perancis], priva [Perancis], privatrec trecht ht [Jerman]). Asasasas ini selaras dengan sifat hukum acara perdata itu sendiri, seperti tersebut di atas.
A. Asas Audi Et Ateram Partem Milton C. Jacobs1 mengatakan bahwa: “General “General rules of evidence are the same in equity as at law.” law. ” Inilah yang dalam istilah klasiknya dinamis asas “ A “ AUDI UDI ET ALTERAN PARTEN ”, ”, atau “EINES “EINES MANRES REDE IST KEINES MANNES REDE” REDE”. Asas kesamaan ke samaan kedua ke dua pihak piha k yang berperkara di muka pengadilan.
Hal ini berarti, bahwa hakim tidak boleh memberi pu tusan dengan tidak memberi kesempatan untuk mendengar mendengar kedua belah pihak. Acara “verstek” pun bukan kekecualian dari asas ini, ka rena putusan verstek dijatuhkan hanya jika tergugat sudah dipanggil dipanggil secara patut, tetapi tetap tidak mau hadir ke persi persi dangan. dangan. Ini berarti bahwa putusan verstek dijatuhkan setelah setelah tergugat diberi kesempatan untuk tampil, hanya tidak mau menggunakan kesempatan yang diberikan oleh hukum itu. Justru menurut penulis, lembaga verstek itu diadakan Alteram Partem Partem.. adalah adalah sebagai perwujudan per wujudan dari asas Aud asas Audii Et Alteram Di mana dengan adanya lembaga verstek, dengan adanya an caman caman untuk menjatuhkan putusan verstek, putusan putusan kerana tergugat tidak hadir, merupakan dorongan bagi tergugat tergugat un Audi Et tuk hadir menggunakan haknya berdasarkan asas Audi Alteram Alteram Partem Partem.. Dengan asas Audi Audi Et Alteram Alteram Partem Partem ini, ini, hakim harus adil dalam memberikan beban pembuktian pada pihak yang berperkara, agar kesempatan untuk kalah atau menang bagi kedua belah pihak pihak tetap sama, tidak pincang atau berat berat sebe sebe lah. Di sini perlunya hakim memerhatikan asasasas beban pembuktian (lihat bagian ketujuh buku ini). Sebagai akibat telah diberinya kesempatan yang sama bagi kedua pihak yang berperkara secara adil, maka suatu perkara perkara tidak dapat disidangkan dua kali (Bisde ( Bisde eadem re ne sit actio), actio), dalam hal ini pembuktian tidak dikenal adanya “Beneficium Beneficium”” atau hak istimewanya. Aturan hukum pembuktian berlaku sama, baik bagi penggugat penggugat maupun tergugat. Baik penggugat maupun tergugat dapat membuktikan 62
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
semua semua alat bukti, kecuali dalam halhal khusus, misalnya anta antara ra penggugat dan tergugat mengadakan perjanjian pem buktian (lihat Bag. XII).
B. Asas Ius Curia Novit Nov it Asas “Ius “Ius Curia Novit ” ini adalah asas yang memfiksi kan bahwa setiap hakim itu harus di anggap tahu akan hu kumnya kumnya perkara yang di periksanya. Hakim sama sekali tidak tidak boleh untuk memutus perkara, dengan alasan bahwa hakim hakim itu tidak mengetahui hukumnya. Demikian juga hakim hakim harus menciptakan menciptakan hukumnya jika memang harus diha dihadapinya dapinya be lum diatur oleh undangundang atau yuris yurisprudensi. prudensi. Pencip taan taan hukum oleh hakim ini biasanya de ngan menggunakan metode metode analogi atau argumentum a contrario. contrario. ini, sehingga para pihak Berdasarkan asas Ius Curia Novit ini, di dalam pembuktian, p embuktian, hanya hanya wajib untuk membuktikan fakta yang dipersengketakan, sedangkan pembuktian masalah hu kumnya kumnya adalah menjadi kewajiban hakim. Berdasarkan asas Ius asas Ius Curia Novit ini, ini, maka pada sistem hukum hukum Anglo Saks (common (common law) law) dibedakan pemeriksaan perdata perdata ataupun pidana atas: a.
Pertanyaan tentang fakta (Quaestio facti) facti) adalah tugas juri.
b.
Pertanyaan tentang hukumnya (Quaestio juris) juris) adalah tugas tugas hakim.
Asas Ius Curia Novit ini ini dianut juga oleh hukum positif kita di Indonesia, antara lain lihat ketentuan Pasal 14 Ayat 1 UndangUndang Pokok Kekuasaan Kehakiman UU No. 14 Tahun 1970.
Asas-Asas Hukum Pembuktian Pembuktian
63
C. Asas Nemo Testis Indoneus In Propria Causa Asas “Nemo Testis Indoneus In Propria Causa” ini berarti bahwa tidak seorang pun yang boleh menjadi saksi dalam perkaranya sendiri. Jadi sudah jelas, bahwa baik penggugat maupun tergugat sama sekali tidak dibolehkan sekaligus manjadi saksi di da lam pembuktian, untuk perkara mereka sendiri. Saksi sebagai alat bukti, harus didatangkan orang lain yang bukan pihak dalam perkara yang bersangkutan. Sehubungan dengan asas ini pun, ada ketentuan yang melarang beberapa golongan orang yang dianggap “tidak mampu” manjadi saksi (recusatio) adalah: a. b.
orang yang tidak mampu secara mutlak; orang yang tidak mampu secara nisbi.
ad. 1. Orang yang tidak mampu secara mutlak
Hakim dilarang untuk mendengar mereka ini sebagai saksi: 1. keluarga atau dan keluarga sementara menurut garis ketu runan yang lurus dari salah satu pihak yang berperkara. 2. suami atau isteri dari salah satu pihak yang berperkara, meskipun sudah bercerai. (lihat pasalpasal: 145 HIR, 172 RBG, 1910 BW). ad. 2. Orang yang tidak mampu secara nisb
Mereka ini dapat didengar sebagai keterangannya, tetapi tidak sebagai keterangan kesaksian: 1.
Anakanak yang belum mencapai usia 15 tahun.
2.
Orang gila, walaupun kadangkadang ingatannya sehat.
64
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
D. Asas Ultra Ne Petita Asas “Ultra ne petita” ini adalah asas yang membatasi hakim sehingga hakim hanya boleh mengabulkan sesuai yang dituntut. Hakim dilarang mengabulkan lebih daripada yang dituntut oleh penggugat. Berbeda dalam hukum pembuktian pidana di mana hakim dapat menyelidiki perkara itu lebih dari fakta yang terungkap oleh jaksa, bahkan kalau perlu saksi yang kemu dian ternyata terlibat dalam tindak pidana itu, dapat ganti dijadikan terdakwa. Asas Ne Ultra Petita dalam hukum pembuktian ini mem batasi hakim perdata untuk “ preponderance of evidence”, hanya terikat pada alat bukti yang sah. Berbeda dengan hukum acara pidana, di mana hakim harus “beyond reasonable doubt ”, harus yakin benar akan kebenaran alat bukti.
E. Asas De Gustibus Non Est Disputandum Asas “De Gustibus Non Est Diputandum” ini sebenarnya suatu asas yag aneh, karena diterpakan dalam hukum. Asas ini berarti bahwa mengenai selera tidak dapat diperseng ketakan. Asas ini dalam hukum pembuktian merupakan “hak mutlak” pihak tergugat. Di mana sebagai contoh: Jika si A menggugat si B bahwa si B telah berutang kepada si A sejumlah Rp 10.000, tetapi sebenarnya si B sama sekali tidak pernah berutang kepada si A. Namun ketika dalam pemeriksaan di muka persidangan pengadilan perdata, si B mengadakan pengakuan murni (aveu pu et simple) bahwa ia benar telah berutang sejumlah Rp 10.000, kepada si A. Hakim berdasarkan asas “De Gustibus Non Est Diputandum”, Asas-Asas Hukum Pembuktian
65
tidak boleh menolak pengakuan si B, meskipun misalnya, hakim itu yakin sekali bahwa si B sebenarnya tidak pernah berutang kepada si A, selaku penggugat. Hukum pembuktian perdata, memberikan kepada tergugat kebenaran dalam hal pengakuan, sepanjang tidak bertentangan dengan asas lainnya. (Lihat asas ke VI di bawah ini). Dalam hal si B di atas, oleh hukum dianggap si B sama saja menyumbangkan secara sukarela uangnya sejumlah Rp 10.000, kepada si A. Dan siapa pun tidak bisa melarang seseorang untuk menyumbangkan hartanya sendiri.
D. Asas Nemo Plus Juris Transferre Potest Quam Ipse Habet Asas ini menentukan bahwa tidak ada orang yang dapat mengalihkan banyak hak daripada yang ia miliki. Dihubungkan dengan asas sebelumnya, yaitu “De Gustibus Non Est Diputandum”, maka dapatlah penulis memberi contoh sebagai berikut: Jika menggugat rumah yang terletak di Jl. G. Lampobatang No 5 adalah rumah si A, bukan rumah milik si B. Dalam perkara ini, yang digugat adalah si B, yang kebetulan menguasai rumah itu. Di dalam persidangan itu si B selaku tergugat mengadakan pengakuan murni, bahwa “benar rumah itu adalahmilik si A”. Padahal sebenarnya si B hanyalah penyewa atau hanya menjaga rumah Jl. G. Lampobatang No. 5 itu. Pemilik rumah itu sendiri adalah Tuan A. Dalam hal ini pengakuan murni si B tetap bukan meru pakan alat bukti yang sah, karena bertentangan dengan asas “Nemo Plus Juris Transferre Potest Quam Ipse Habet ” ini, karena si B tidak berhak mengakukan sesuatu sebagai milik
66
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
orang lain, padahal ia sendiri bukan pemilik rumah itu. Lain halnya jika rumah di Jl. G. Lampobatang No. 5 itu adalah benar milik si B, maka pengakuannya itu oleh hukum pembuktian diartikan sebagai sumbangan si B kepada si A.
Endnote: 1.
Milton C. Jacobs. Civil Trial Evidence. Second edition, New York, hlm. 2.
Asas-Asas Hukum Pembuktian
67
Bagian Kelima ALAT�ALAT BUKTI DALAM PROSES PERDATA
Erare Humanum Est, Ture In Erope Perseverare “Membuat kekeliran ialah sifat manusia, akan tetapi tidaklah baik untk ters memperahankan kekeliran ....”
G. W. Paton1 menyatakan bahwa: “In a civil case a reasonable preponderance of propability is sufficient for a ferdict, but in criminal case the crown must prove the guilt of the prisoner beyond reasonable doubt.....”
Dan karena keterikatan hakim perdata akan alatalat bukti itulah, sehingga peranan alat bukti dalam proses per data sangat menentukan, berbeda dengan hakim pidana yang “beyond reasonable doubt ”. Masalah alat bukti, seperti halnya dengan masalah pem buktian pada umumnya senantiasa merupakan permasalah an yang rumit untuk diselesaikan. Kesukaran itu terutama dapat dilihat pada zaman dahulu kala pada peradilan yang masih primitif. Ada tiga kesulitan yang dihadapi oleh pengadilan primi tif, sehingga ia hampirhampir tidak dapat dan tidak mampu menyelesaikan masalah pembuktian itu, yaitu: 1.
Sebagai akibat kurang mampunya mereka mengadakan analisis terhadap alatalat bukti.
2.
Sebagai akibat meratanya kebiasaan bersumpah palsu ( per jury ) pada masa itu.
3.
Sebagai akibat ketakutan dari setiap pengadilan akan ke mungkinan terjadinya pelanggaran yang mendobrak ke pentingan warga masyarakat melalui putusannya.
Halhal inilah di Eropa, di masa lalu yang mengakibatkan titik awal bagi pengadilan mulai melepaskan tanggung jawab putusan pengadilan dari faktor tanggung jawab manusia, dan dialihkan kepada tanggung jawab kepada Tuhan melalui ancaman doa dan siksaan yang dapat menimpa orang yang melakukan sumpah palsu. Penggunaan sumpah sebagai alat bukti dalam pemerik saan di muka pengadilan ada manfaatnya, tetapi juga banyak kelemahannya. Seperti yang juga dikemukakan oleh G. W. Pato2 bahwa: “�e ordeal by oath may be useful, if it is used where there is no evidence, or where the fact are exclusifaly within the knowledge of one party, but there is always the danger that a weak court my resort to it, even where there is evidence, in order to avoid either the difficulty of deciding or the danger which my result from a decision againts a popular figure.....” Demikianlah juga pendapat dari Diamond 3.
Jadi kegunaan yang utama dari sumpah sebagai alat buk ti itu, jika di dalam satu kasus memang tidak terdapat alat bukti lain sama sekali. Di zaman dahulu, hingga pada tahun 1833 di Inggris berlaku apa yang dinamai Compurgation (wager of law) dalam pelaksanaan utang piutang, di mana para pihak di atas mana diletakkan beban pembuktian (the burden of proof ) di perintahkan untuk bersumpah bersama dengan dua belas orang saksi yang dipercaya. Apa yang dimaksudkan sebagai Compurgation dijelas 70
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
kan oleh Peter J. Dorman4 sebagai berikut: “..... In England, a type of trial in which a defence consisted of the defendand’s swearing that the claim against him was unfouded and producing the requisite number (usually eleven) of compurgators, or oath helpers, to swear that they believed the defendant. �e effect of the defense was a vardict for the devendant. Wager of law or compurgation was allowed only in cases of debt on simple contract and only on be half of people of good character. Also called compurgation. Abolished in 1833”.
Mungkin lebih jelas lagi jika kita melihat rumusan compurgator yang dituliskan Charles F. Hemphill J.R. & Phillis D. Hamphill 5 bahwa: “..... An individual who takes the witness stand and testifies as a character witness in favour of someone accused of crime, or for a de fendant in a civil action.”
Mengapa penulis secara panjang lebar membicarakan tentang compurgation atau wager of law ini, karena menurut para ahli justru compurgation inilah merupakan permulaan dari “lisensi sumpah palsu”, hal mana kemudian memang se kali terjadi dan digunakan orang sematamata agar ia dapat mengalahkan gugatan lawannya. Di zaman dahulu di Eropa, khususnya di Inggris, masih ada lagi caracara untuk pembuktian yang berkaitan dengan kepercayaan, antara lain: –
Besi yang sangat panas.
–
Air.
–
Meneguk roti suci.
Yang bagaimana pelaksanaannya secara mendetail, hing ga kini masih merupakan tekateki. Efektivitas dari alatalat bukti yang berkaitan dengan ke percayaan itu adalah karena dapat mempengaruhi psikologis seseorang yang memang merasa bersalah. Sebagai contoh: Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata
71
karena seseorang menyadari bahwa dirinya bersalah, maka ketika ia disuruh menelan roti suci untuk membuktikan ke ju jurannya dalam menyatakan sesuatu, mulutnya sudah ter lebih dahulu kering karena ketakutan, sehingga berakibat sulitnya ia menelan roti suci itu. Ini sebagai pengaruh psiko logis dari rasa bersalahnya. Kemudian karena perkembangan dan kemajuan zaman, maka dunia peradilan pun khususnya mengenai alatalat buktinya mengalami kemajuan. Pembuktian kemudian tidak lagi di serahkan pada Tuhan Yang Maha Kuasa sematamata seperti sumpah, tetapi juga kembali diserahkan efektivitas manusia dan bendabenda lain sebagai alat untuk membuktikan, atau yang lazimnya di namai “alat bukti” (evidence). Mulailah peranan alat bukti tertulis atau surat (writings) men jadi lebih menonjol, khususnya dalam lalu lintas keper dataan. Karena di dalam lalu lintas keperdataan, dua pihak yang melakukan perhubungan hukum senantiasa dengan sengaja telah menyiapkan alat bukti terlebih dahulu, seandainya ke lak mereka terlibat dalam perselisihan. Dan bukankah haki kat dari hukum itu sendiri untuk menyelesaikan konflik ke pentingan yang terjadi di dalam masyarakat. Logika manusia pun mulai digunakan, jika ternyata alat bukti lain sukar atau tidak ada sam sekali. Maka dikenal “persangkaanpersangkaan” (prasumption) sebagai alat bukti yang tidak bersifat langsung. Di samping itu, seperti yang telah dikatakan di atas, bahwa manusia pun muncul sebagai salah satu atau beberapa alat bukti. Ini terlihat dalam alat bukti kesaksian, di mana pihak ketiga yang terjun kepersengketaan untuk membuktikan ter jadi atau tidak terjadinya suatu hubungan hukum atau 72
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
peristiwa yang dipersengketakan. Juga pihak yang terlihat langsung bisa menjadi alat bukti, dalam hal pihak tergugat mengadakan pengakuan.
A. Pengertian Alat Bukti Alat bukti jelas adalah alat untuk membuktikan kebe naran hubungan hukum, yang dinyatakan baik oleh penggu gat maupun oleh tergugat dalam perkara perdata. Lebih jelas lagi apa yang dikatakan oleh Milton C. Jacobs 6 bahwa: “Evidence is the medium of proof, proof is the effect of evidence ”.
Adapun Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertukusumo, S.H.7 me nyatakan bahwa: apakah sesuatu itu merupakan alat bukti, tidak tergantung apakah sesuatu itu terjadi/diajukan dalam persidangan, tetapi ditentukan oleh sifatnya dan tidak ditetap kan oleh kenyataan apakah sesuatu itu diajukan atau tidak di persidangan. Jadi, alat bukti itu adalah sesuatu yang sebelum diajukan ke persidangan, memang sudah berfungsi sebagai alat bukti. Sebagai contoh: akta notaris, walaupun belum diajukan ke muka persidangan, sudah merupakan bukti. Sering di kalangan yuris sendiri terjadi kesalahpaham an, dikiranya yang dimaksudkan sebagai alat bukti itu hanya lah alat bukti tertulis, pada hal tidak demikian halnya, selain alat bukti tertulis, pengertian alat bukti masih banyak. Untuk itu berikut ini penulis memberikan klasifikasi alat bukti.
B. Klasikasi Alat Bukti Di dalam doktrin atau ilmu hukum, dikenal banyak kla sifikasi mengenai alat bukti atau evidence ini. Antara lain beberapa di antaranya penulis kemukakan di bawah: Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata
73
1. Klasikasi G. W. Paton8 Alat bukti dapat terbagi atas: i.
Oral
ii.
Documentary
iii. Material Yang dimaksudkan oleh Paton sebagai alat bukti yang bersifat oral adalah alat bukti yang diucapkan secara lisan. Jadi, termasuk kesaksian dan sumpah. Adapun alat bukti yang tergolong “documentary ” adalah yang dunia hukum kita Indonesia dinamai “alat bukti tertulis”. Dan alat bukti “material” adalah alat bukti dalam wu jud benda konkret, selain pada alat bukti tertulis. Mengenai alat bukti “material” ini perlu penulis kemukakan, bahwa kadangkadang suatu surat pun bisa tergolong di dalamnya, dalam hal surat itu bukan dalam hal fungsi alat bukti tertulis, melainkan dalam fungsi benda biasa. Contoh yang paling jelas, jika kita ambil dalam kasus pidana misalnya selembar surat yang berlumuran darah kor ban, dalam hal ini fungsinya sebagai alat bukti “material”, bu kan selaku “documentary ”
2. Klasikasi Sir Rolan Burrows9 Klasifikasi yang dikemukakan oleh Sir Roland dalam bukunya “Phipson on the Law of Evidence” cukup banyak, antara lain: a.
Pembagian atas alat bukti yang orisinal ( original evidence) dan alat bukti yang tidak orisinal ( unoriginal evidence)
Yang dimaksudkan sebagai original evidence adalah alat bukti kesaksian, yaitu saksi yang langsung mengucapkan ke 74
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
saksiannya secara lisan di muka persidangan pengadilan. Yang dimaksudkan “unoriginal evidence” adalah kete rangan saksi yang dilakukan secara tertulis. Buat kita di Indonesia, keterangan saksi yang dilakukan secara tertulis, tidak termasuk dalam alat bukti “kesaksian”, tetapi termasuk alat bukti tertulis (istilah lainnya: writing atau evidence in writing ). b.
Pembagian alat bukti primer ( primary evidence) dan alat bukti sekunder ( secondary evidence)
Alat bukti primer adalah alat bukti yang diutamakan, sedangkan alat bukti sekunder adalah alat bukti yang baru dibutuhkan jika alat bukti primer tidak ada. Dalam hukum acara perdata Indonesia, alat bukti pri mernya adalah alat bukti tertulis. Khususnya alat bukti akta otentik. c.
Pembagian atas “direct evidence” dan “indirect evidence”
Di Indonesia, yang termasuk alat bukti yang “direct ” adalah semua alat bukti yang secara langsung dapat dibuk tikan adanya hubungan hukum atau peristiwa yang ingin dibuktikan, jadi tidak berdasarkan kesimpulan belaka. Ka rena itu termasuk dalam “direct evidence” adalah: alat bukti tertulis, kesaksian, sumpah, dan pengakuan. Adapun “indirect evidence” adalah persangkaanper sangkaan ( presumptions). Indirect evidence ini sering disebut juga “Circumstantial Evidence” atau juga “Presumptive Evidence”. Selain dari pembagian di atas, maka dalam ilmu hu kum Anglo Saks dikenal lagi cara pengklasifikasian lain yang menghasilkan istilahistilah alat bukti lain, yang penting di Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata
75
ketahui pembaca, terutama calon ilmuwan, agar di dalam mem baca literatur hukum Anglo Saks tidak bingung karenanya. Yang penulis maksudkan antara lain oleh Edward W. Cleary 10 menyebutkan suatu jenis alat bukti yang disebut “DE MONSTRATIVE EVIDENCE”. Jika kita bandingkan de ngan klasifikasi Paton. Maka “demonstrative evidence” ini bisa disamakan dengan alat bukti “metrial” Hamphill11 memberikan suatu definisi tentang apa yang dimaksud sebagai “demonstrative evidence”, yaitu: “...Any kind of evidence, or legal proof, other than that given by oral testimony: evidence that is directed toward the senses such as sight, touch or smell. A knife found at the scene of a crime, a human hair cought in the fingernail of the slain fictim, a fingerprint, are all examples of demonstrative evidence.”
Jadi, “demonstrative evidence” ini merupakan beberapa macam alat bukti lain selain daripada yang diberikan dengan kesaksian lisan, pembuktian mana didasarkan pada indra yang sehat, seperti: penglihatan, sentuhan, atau penciuman. Sebilah pisau yang ditemukan di tempat terjadinya pembu nuhan, sehelai rambut manusia yang melekat pada kuku tangan dari korban pembunuhan, atau suatu sidik jari, se muanya merupakan contoh dari demonstrative evidence. Wa laupun contohcontoh itu dari perkara pidana, tetapi yang jelas pembaca dapat memperoleh gambaran dari contoh itu. Selain itu, ada lagi yang disebut sebagai “Real Evidence”, yaitu:12 1.
evidence from things as distinct from persons;
2.
material object produced for the inspection of the court ;
3. perception by the court (or its result) as distinct from the facts perceived .
76
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
Masih ada lagi istilahistilah lain, seperti second hand evidence, extrinsic evidence, confliting evidence, admissible evidence, cumulative evidence, dan lainlainnya. d.
Pembagian menurut Prof. R. Subekti, S.H.13
1.
Alat bukti langsung: misalnya alat bukti tertulis dan ke saksian.
2.
Alat bukti yang tidak langsung: yaitu.
e.
Pembagian alat-alat bukti menurut undang-undang
Undangundang (BW, HIR, dan R.bg.) pada dasarnya membagi alat bukti dalam hukum acara perdata atas: 1.
Alat bukti tertulis atau surat.
2.
Kesaksian.
3. Persangkaanpersangkaan. 4.
pengakuan.
5.
Sumpah.
6.
Keterangan ahli (expertise).
7.
Pemeriksaan setempat (descente).
C. Apakah Ada Alat Bukti Lain di Luar Ketujuh Alat Bukti yang Secara Tegas Itu? Secara tegas memang undangundang hanya mengatur ketujuh alat bukti di atas, tetapi apakah ini berarti tidak ada alat bukti lain yang dapat digunakan dalam pembuktian per data? Menurut pendapat penulis, dengan diaturnya lima alat bukti secara tersendiri dalam satu pasal khusus, yaitu Pasal 164 HIR (sama dengan pasal 284 R.bg., Pasal 1866 BW) mengenai alat bukti tertulis, kesaksian, persangkaanpersang kaan, pengakuan dan sumpah, baru disusul dengan pasal Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata
77
pasal tersendiri mengenai keterangan ahli dan tersendiri lagi mengenai pemeriksaan setempat, ini membuktikan bahwa pembuat undangundang tidak bermaksud secara limitatif hanya mengakui adanya sejumlah alat bukti tertentu. Bukti lain adalah dengan dicantumkannya tentang alat bukti “tongkat berkelar” pada Pasal 1524 BW, yang bukan merupakan salah satu alat bukti yang tujuh di atas. Oleh kerana itu, menurut hemat penulis sudah seyogia nya dipikirkan mengenai alatalat bukti baru kini muncul dalam lalu lintas keperdataan dunia modern, sejauh mana daya pembuktiannya dalam hukum pembuktian perdata yang modern dewasa ini. Alatalat bukti yang baru muncul itu, misalnya: a.
pembicaraan telepon;
b.
testing darah;
c.
hasil komputer;
d. fotocopy ; e.
rekaman kaset;
f.
hasil fotografi;
g.
dan sebagainya.
Tentu saja menjadi tugas para ilmuwan hukum untuk mem bahas
D. Empat Cara Mengajukan Alat Bukti Di dalam hal kita mengajukan alat bukti itu ada empat cara untuk mengajukannya: a.
Mengajukan secara langsung mengenai apa yang harus dibuktikan. Jadi, pertama ini memperlihatkan peris tiwanya (tentu saja potongan peristiwa, sebab peristi 78
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
wanya secara keseluruhan adalah mustahil untuk di perlihatkan). Dalam hal cara pertama ini, contohnya: Si A melempari kaca jendela si B dengan batu merah. Dalam hal ini si B menuntut ganti rugi atas perbuatan si A yang menjadi kualifisir sebagai “onrechtmatigedaad” (Pasal 1365 BW). Dengan cara pertama, yang dibawa ke persidangan oleh si B untuk membuktikan perbuatan si A adalah berupa batu merah yang dijadikan alat mengakibatkan kaca jen dela si B pecah. Jika dihubungkan dengan pengklasifikasian alat bukti, maka alat bukti yang dapat digunakan dengan cara per tama ini adalah “ MATERIAL EVIDENCE” atau “DE MONSTRATIVE EVIDENCE”. b.
Menjadikan surat yang menggambarkan peristiwa yang lampau. Dalam hal ini contohnya: Si A untuk membuk tikan benar telah terjadi perjanjian jual beli si C, dengan mengajukan akta jual beli. Jadi, alat bukti yang digunakan dengan cara kedua ini, adalah alat bukti tertulis atau surat (writing ).
c.
Cara ketiga untuk membuktikan adalah dengan men datangkan orangorang tertentu ke muka persidangan pengadilan untuk memberikan keterangan tentang pe ristiwa. Sebagai contoh: Si A untuk membuktikan benar si Blah yang menabrak mobilnya, mengajukan tiga orang yang melihat si B me nabrak mobil si A dengan mobilnya si B. Jadi, alat bukti yang digunakan dengan cara ketiga ini ada lah alat bukti kesaksian atau expertise (keterangan ahli). Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata
79
d.
Cara keempat untuk membuktikan sesuatu adalah de ngan jalan membuktikan hal lain. Biasanya cara ini di gunakan dalam hal membuktikan sesuatu yang sulit untuk dibuktikan. Sebagai contoh: Jika si A ingin membuktikan bahwa pada tanggal 9 November 1952 ia tidak berada di Yogyakarta, adalah dengan cara membuktikan bahwa pada tanggal dan waktu yang bersangkutan, ia berada di Makasar. Jadi pembuktian cara keempat ini menggunakan alat bukti persangkaanpersangkaan ( persumptions).
Dari keempat cara untuk membuktikan itu, dapat kita simpulkan ke dalam dua kelompok: 1.
Cara pembuktian langsung: yaitu cara pertama, kedua, dan ketiga.
2.
Cara yang membuktikan tidak langsung: yaitu cara ke empat.
E. Kekuatan Pembuktian (Vis Probandi) dari Alat-alat Bukti Setelah para pihak mengajukan alat buktinya, maka adalah tugas hakim untuk mengadakan penilaian terhadap alat bukti, sejauh mana kekuatan alat bukti itu berdasarkan ketentuan yang berlaku. Ada lima jenis kekuatan pembuktian atau daya bukti dari alat bukti, yaitu: 1.
Kekuatan pembuktian yang sempurna, yang lengkap (volledig bewijsracht ).
2.
Kekuatan pembuktian lemah, yang tidak lengkap (onvolledig bewijsracht ). 80
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
3.
Kekuatan pembuktian sebagian ( gedeeltelijk bewijsracht ).
4.
Kekuatan pembuktian yang menentukan (beslissende bewijsracht ). Kekuatan pembuktian perlawanan (tegenbewijs atau kracht van tegen bewijs).
5.
Baiklah kita akan meninjau satu persatu kekuatan pembuk tian di atas. Ad. 1. Kekuatan pembuktian sempurna
Kekuatan pembuktian sempurna ini adalah kekuatan yang memberi kepastian yang cukup kepada hakim, kecuali kalau ada pembuktian perlawanan (tegenbewijs) sehingga hakim akan menberi akibat hukumnya. Contoh: Akta. Jadi, dalam hal ini bilamana akta tersebut digunakan sebagai alat bukti dan akta ini berisi perjanjian jual beli, pihak penggugat telah berhasil membuktikan dengan akta tersebut bahwa benar ada perjanjian jual beli antara penggugat dan tergugat. Dan bila tergugat menyangkali kebenaran itu, ter gugatlah yang dibebani pembuktian untuk membuktikan ti dak adanya perjanjian. Yang penting digarisbawahi dalam hal kekuatan pem buktian sempurna ini adalah alat bukti sudah tidak perlu di lengkapi dengan alat bukti lain, tetapi masih memungkinkan pembuktian lawan. Suatu contoh bahwa kekuatan pembuktian sempurna masih dapat dilawan dengan pembuktian lawan adalah ka sus yang pernah terjadi di dunia peradilan. Seorang juru sita telah mendapat tugas melakukan pe manggilan terhadap penggugat yang bernama Tuan B. Kemu dian di dalam pemeriksaan ternyata Tuan B tidak datang, Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata
81
padahal di dalam pemeriksaan itu relas panggilan dihaturkan sebagai bukti, bahwa Tuan B telah dipanggil secara patut untuk menghadap pada sidang tersebut, di mana dalam relas panggilan itu juga telah disebutkan bahwa juru sita telah bertemu dengan Tuan B sendiri. Pada hari persidangan itu tergugat Tuan C telah hadir, sehingga hakim tidak ragu lagi dan menggugurkan gugatan karena ketidakhadiran penggu gat (Tuan B). Tetapi setelah putusan dijatuhkan, beberapa hari kemudian datanglah Tuan B kepengadilan itu menanyakan kapan perkaranya disidangkan. Ternyata juru sitanya sama sekali tidak pernah bertemu dengan si penggugat ini, karena hari itu si penggugat baru saja tiba dari luar negeri. Si B selaku penggugat dapat membuktikan keberadaan nya di luar negeri selama waktuwaktu pemanggilan hingga pengguguran perkaranya. Pemeriksaan kemudian diadakan terhadap juru sita itu dan ternyata juru sita itu sesungguhnya tidak pernah memanggil Tuan B selaku penggugat. Akibat nya ketua pengadilan negeri tersebut melakukan tindakan ad ministratif terhadap juru sita tersebut, dan untuk penggugat dianjurkan untuk mengajukan gugatan baru. Dari contoh di atas, ternyata bahwa kekuatan bukti sem purna masih dapat digugurkan dengan kekuatan pembukti an lawan yang kuat. Demikian juga dalam hal akta notaris, jika pada minuut yang disimpan oleh notaris terdapat tandatangan palsu dan perihal kepalsuan tanda tangan tersebut dapat dibuktikan, maka gugurlah kekuatan pembuktian dari akta notaris tersebut. Kekuatan pembuktian sempurna itu, juga memiliki daya berlaku yang terbatas, sebagai contoh: kekuatan pembuktian sempurna dari akta autentik yang bersifat akta partij itu hanya berlaku bagi kedua pihak atau ahli warisnya serta 82
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
orangorang yang memperoleh hak dari mereka. Terhadap pihak ketiga, kekuatan pembuktian sempurna dari suatu akta autentik adalah tidak berlaku. Dari suatu akta autentik, kekuatan yang berlaku bagi pihak ketiga hanyalah kekuatan pembuktian bebas, artinya kekuatannya diserahkan kepada pertimbangan hakim sepenuhnya. Berbeda dengan kekuatan pembuktian yang menentu kan, tidak memungkinkan pembuktian perlawanan. ad. 2. Kekuatan pembuktian lemah
Kekuatan pembuktian lemah atau tidak lengkap ini ada lah tidak memberikan kepastian yang cukup, sehingga hakim tidak memberikan akibat hukum hanya atas dasar alat bukti yang lemah. Gugatan yang hanya didasarkan pada alat bukti demikian itu harus ditolak. ad. 3. Kekuatan pembuktian sebagian
Kekuatan pembuktian sebagian ini memang sepintas lalu mirip dengan kekuatan pembuktian lemah, tetapi berbeda. Untuk menjelaskan sekaligus penulis memberikan con toh untuk keduanya: Jika si A menggugat si B, bahwa si B telah berutang ke pada si A sejumlah Rp 1000.000, pada tanggal 1 januari 1978, dan dengan perjanjian utang itu akan dibayar oleh si B paling lambat tanggal 27 Maret 1981. Dalam kasus ini, ternyata si A hanya dapat mangajukan alat bukti berupa satu orang saksi saja, padahal berdasarkan asas kesaksian UNUS TESTIS NULLUS TESTIS, kesaksian demikian tidak dapat diterima sebagai kesaksian, karena SATU SAKSI BUKAN SAKSI. Apakah kekuatan pembuktian itu lemah atau merupakan Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata
83
kekuatan pembuktian sebagian, tergantung dari tanggapan tergugat. a.
Jika tergugat menyangkali sama sekali gugatan si A, jadi si B menyatakan bahwa si B sama sekali tidak pernah berutang kepada si A dalam jumlah berapa pun, maka kekuatan pembuktian si A itu bersifat lemah dan karena nya harus ditolak.
b.
Adapun si B selaku tergugat menyangkali sebagian, te tapi mengakui bagian, jadi misalnya si B mengakui bah wa benar ia telah berutang pada si A sejumlah yang di gugat oleh si A, yaitu Rp 1000.000, tetapi tidak benar si B menjanjikan untuk dibayar paling lambat tanggal tang gal 27 Maret 1981, melainkan tanggal 9 November 1982, inilah yang merupakan kekuatan pembuktian sebagian.
ad. 4. Kekuatan pembuktian menentukan
Kekuatan pembuktian yang bersifat menentukan adalah kekuatan pembuktian yang tidak memungkinkan pembuk tian perlawanan sama sekali. Jadi, inilah bedanya dengan ke kuatan pembuktian sempurna, yang masih memungkinkan pembuktian lawan. Contoh dari alat bukti yang mempunyai kekuatan pem buktian yang menentukan adalah alat bukti SUMPAH. ad. 5. Kekuatan pembuktian perlawanan
Kekuatan pembuktian perlawanan adalah kekuatan dari alat bukti yang melumpuhkan pembuktian dari pihak lawan. Sebagai contoh: Si A menggugat si B bahwa pada tanggal 15 Agustus 1960, si B telah menabrak mobil si A yang diparkirkan di depan toko buku Hidayat di Jl. G. Lampobatang 5 Ujungpan 84
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
dang, sehingga mobil si A rusak berat, si A mengajukan tiga orang saksi untuk membuktikan gugatannya itu. Tetapi si B mengajukan pembuktian perlawanan, dengan mengemukakan sejumlah alat bukti bahwa pada tanggal 14 Agustus 1960 hingga tanggal 17 Agustus 1960, ia tidak berada di Ujungpandang tetapi berada di luar negeri.
F. Bagaimana Kekuatan dari Alat Bukti di Luar HIR dan R.bg. (Termasuk Buku IV BW) Pada umunya mengakui, bahwa alat bukti selain: alat bukti tertulis, kesaksian, persangkaanpersangkaan, peng akuan, dan sumpah, maka di luar dari itu masih ada alat bukti lain, misalnya expertise (keterangan ahli) dan descente (pemeriksaan setempat) yang juga diatur dalam HIR. Tetapi, selain expertise dan descente biasa masih diper debatkan. Misalnya antara lain: a.
fotokopi;
b.
kaset;
c. gramaphone ( phonograph)’ d.
potret;
e.
film;
f.
radar;
g.
komputer;
h.
televisi;
i.
tes darah;
j.
dan sebagainya.
Mengenai alat bukti di atas, pada umumnya kekuatan pembuktiannya adalah kekuatan pembuktian bebas, artinya diserahkan sepenuhnya kepada pertimbangan hakim. Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata
85
Pada dasarnya alatalat di atas dapat merupakan alat bukti jika merupakan suatu objek jual beli, misalnya per janjian jual beli televisi atau kaset. Dalam hal ini televisi atau kaset ini dapat dijadikan alat bukti jika terjadi persengketaan mengenai perjanjian itu. Adapun jika alatalat itu bukan sebagai objek, melainkan untuk membuktikan suatu peristiwa, misalnya: Si X seorang suami mengugat bercerai untuk si Z istri nya, yang digugatnya telah melakukan perzinaan dengan le laki si B, sebagai alat bukti untuk membuktikan bahwa istri nya telah berzina dengan si B, maka si X mengajukan kaset yang berisikan suara rekaman, suarasuara erotik saat si Z bercumbu dengan si B di dalam kamar. Atau si X mengaju kan film yang menunjukkan adegan persetubuhan antara si Z dan si B yang di filmnya secara diamdiam tanpa sepe ngetahuan istrinya si B. Dalam hal ini, alat bukti kaset atau film itu kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Kalau hakim memastikan bahwa adegan film atau suara kaset itu asli atau gambar dari si Z dan B, maka hakim akan menerima alat bukti itu. Tetapi jika hakim meragukan, karena kaset, film, dapat dimanipuasi dengan triktrik tertentu, maka alat bukti itu ditolak. Demikian juga fotokopi, biasanya baru diterima selaku alat bukti jika sudah dilegalisir oleh pengadilan bahwa benar benar fotokopi itu sesuai dengan aslinya. Jadi aslinya harus dibawa dahulu untuk disesuaikan dengan kopinya, barulah kopi itu bisa dijadikan sebagai alat bukti. Hal ini pun masuk akal, karena memang fotokopi paling gampang dimanipulasi, sehingga sama sekali berbeda dengan aslinya. Jadi kesimpulannya, bahwa pada dasarnya alatalat buk ti hasil teknologi modern itu memberi kekuatan pembuk 86
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
tian bebas kepada hakim yang memeriksa perkara yang ber sangkutan.
G. Teori-teori Pembuktian Sejauh mana hakim itu seyogianya diikat oleh hukum positif di dalam perkara perdata, ada tiga teori yang paling berbeda: 1.
Teori negatif.
2.
Teori positif
3.
Teori bebas.
ad. 1. Teori negatif
Teori negatif ini menginginkan adanya ketentuanke tentuan yang mengikat bagi hakim di dalam pembuktian. Ketentuanketentuan tersebut bersifat “laranganlarangan bagi hakim yang merupakan pembatasan bagi kebebasan ha kim di dalam pembuktian. ad. 2. Teori positif
Teori Posotif ini menginginkan adanya ketentuanke tentuan yang mengikat hakim, selain berupa “laranganla rangan” juga berupa perintahperintah. ad. 3. Teori bebas
Teori ini menginginkan hakim sama sekali tidak diikat dengan hukum positif tertulis dalam hal pembuktian, tetapi penilaian pembuktian sepenuhnya diserahkan kepada per timbangan hakim. Kelihatannya Keneth Culp Davis14 salah satu pengikut yang menginginkan kebebasan hakim dalam hal pembuktian, terlihat dalam pandangan di bawah ini mengenai beban pembuktian: Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata
87
“�e concept of burden of proof or burden of going forward is almost always irrelevant to the judge’s assumption of extra record fact in his thinking about pleadings, evidence, law, policy, or discreation. At every step the judge uses relevant portions of his education and experience, and he does not confine his thinking in anymold such as burden of proof ….”
Kenneth Culp Davis mengikuti pendapat �ayer dan Nigmore. Kenneth Culp Davis menampakkan kecenderungannyaa bahwa sebaiknya hakim di dalam setiap langkahnya adalah menggunakan hasil pendidikan yang pernah diperolehnya serta hasil pengalamannya sendiri, dan tidak dibatasi dengan pemikiranpemikiran yang mengikat, misalnya ketentuan ketentuan mengenai beban pembuktian. Selain Kenneth Culp Davis, maka masih banyak ahli hukum yang menganut teori bebas itu, mungkin tidak pada masalah beban pembuktiannya tetapi pada masalah pem buktian lainnya. Tentu saja masingmasing teori ada kelemahan dan ada kelebihannya. Kebaikan jika hakim bebas dalam pembuktian.
1.
Dengan kebebasan dapat menutupi kekurangan hakim akan pengetahuan mengenai penguasaan undangun dang. Terutama bagi hakim yang kebetulan “kurang begitu senang membaca dan belajar”, memudahkan dirinya jika tidak diikat oleh hukum positif dalam hal pembuktian.
2.
Dalam hal menilai keterangan kesaksian, maka jika ha kim bebas, hakim dapat melakukan penilaian secara “karakter evidence” pada pribadi saksi, sehingga bagi saksi yang tidak dapat dipercayai hakim bebas untuk melakukan penilaian sendiri. 88
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
3.
Dengan memberi hakim kebebasan di dalam pembuktian, maka perkembangan hukum pembuktian kita akan lebih cepat daripada harus menunggu proses perkembangan hukum tertulis yang tentu jauh lebih lamban, dari per kembangan hukum tidak tertulis. Dengan demikian hakim dalam putusannya dapat lebih menyesuaikan de ngan kebutuhan hukum warga masyarakat.
Kelemahan jika hakim bebas dalam pembuktian.
Tentu saja kelemahan yang paling mungkin dan paling mencolok adalah “BELUM SIAPNYA” mental dan pengua saan ilmu hukum sebagian besar hakim kita di Indonesia untuk menilai pembuktian itu secara terlalu bebas, terutama kesewenangwenangan dapat terjadi karenanya. Sehubungan teori pembuktian bebas yang mengingin kan hakim bebas dalam pembuktian, timbul pertanyaan, dalam hal apa saja penganut teori pembuktian bebas itu menginginkan hakim bebas dalam masalah pembuktiannya? Jawabannya adalah: 1.
Kebebasan hakim dalam hukum pembuktian merupa kan kebebasan di dalam menerima alatalat bukti. Sebagaimana diketahui bahwa di dalam hukum pem buktian ada yang disebut “ ADMISSIBILITY ”, yaitu da pat tidaknya diizinkan suatu alat bukti tertentu dalam peristiwa tertentu. Jadi, hakim diberikan kebebasan se penuhnya untuk menentukan kapan alat bukti tertentu digunakan.
2.
Penilaian yang mandiri oleh hakim. Dalam hal ini ha kim mempunyai posisi yang objektif dan penilaiannya objektif pula. Dengan kebebasan yang lebih, hakim da pat melakukan penilaian yang mandiri. Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata
89
3.
Penilaian secara mandiri pula ke arah kebenaran yang sebenarnya dari peristiwanya.
Pendapat pribadi penulis sendiri tentang kebebasan ha kim ini adalah jika kita menginginkan menganut teori pem buktian bebas, maka untuk menjaga kepastian hukum dalam memberikan kebebasan hakim, juga sedikit demi sedikit kita harus mengarah kepada sistem “ presedent ”, yaitu mengikuti putusan hakim yang terlebih dahulu. Karena di dalam sistem Anglo Saks, yang mana hakimnya tidak terikat pada undang undang seperti sistem kontinental, lalu mengikatkan diri pada “ presedent ”. Setiap sistem hukum mempunyai cara sendiri untuk mempertahankan kepastian hukumnya. Sistem Anglo Saks tidak diikat oleh undangundang, tetapi diikat lagi oleh presedent . Sistem kita di Indonesia pada hakikatnya tidak diikat oleh presedent, tetapi diikat oleh ketentuan undangundang. Sebab bagaimana pun hakim tidak boleh dibiarkan terlalu bebas, mengingat bahaya kebebasan itu pun banyak sekali, apalagi dalam negara yang masih berkembang seperti kita, di mana masih banyak faktorfaktor kultur, maupun ekonomis yang memengaruhi objektivitas hakim.
H. Alat Bukti Tertulis (Surat) Walaupun dalam Buku II dan seterusnya penulis akan membahas secara mendetail setiap jenis alat bukti, tetapi dalam buku I ini pun tetap penulis akan mengutarakan secara garis besarnya beberapa alat bukti yang lazim digunakan dalam hukum pembuktian perdata, termasuk pertamatama ini alat bukti tertulis atau surat ( geschri, writings). Suatu alat bukti termasuk sebagai alat bukti tertulis atau surat jika memenuhi tiga unsur berikut ini:15 90
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
1.
Harus memuat tandatanda bacaan.
2.
Bermaksud untuk mencurahkan isi hati atau untuk me nyampaikan buah pikiran seseorang.
3.
Sengaja dibuat untuk digunakan sebagai pembuktian.
Alat bukti tertulis atau surat ini dapat digolongkan ke dalam tiga jenis: 1.
Akta autentik.
2.
Akta dibawah tangan.
3.
Suratsurat lain yang bukan akta.
Secara lebih umum, dapat dipersempit pembagian itu menjadi: 1.
akta.
2.
bukan akta.
Pengertian akta
Akta adalah alat bukti tertulis yang diberi tanda tangan serta memuat peristiwaperistiwa yang menjadi dasar dari suatu perikatan, atau menjadi dasar dari suatu hak dengan ketentuan bahwa sejak semula akta ini sengaja dibuat untuk pembuktian. Jadi dapatlah kita menemukan 3 unsur yang harus ter dapat pada suatu akta, entah itu akta otentik, maupun akta di bawah tangan, yaitu: 1.
harus ada tanda tangan.
2.
harus memuat peristiwaperistiwa yang menjadi dasar dari suatu perikatan atau menjadi dasar dari suatu hak.
3.
harus sejak dibuatnya sengaja dimaksudkan untuk pem buktian. Akta itu sendiri terbagi lagi atas dua macam, yaitu: Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata
91
a.
Akta autentik: yaitu akta yang dibuat oleh atau di ha dapan pejabat yang berwenang untuk itu.
b.
Akta di bawah tangan: yaitu akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari pejabat yang berwenang.
Pengertian surat yang bukan akta
Yang termasuk dalam suratsurat yang bukan akta adalah semua alat bukti tertulis yang memenuhi unsur untuk adanya alat bukti tertulis, tetapi tidak memenuhi unsurunsur untuk diakuinya sebagai suatu akta. Lihat pendapat penulis.16
I. Alat Bukti Kesaksian (Testimony) Menurut penulis, kesaksian adalah alat bukti yang dibe ritahukan secara lisan dan pribadi oleh saksi, yang bukan pihak dalam perkara tersebut, untuk memberikan kepastian kepada hakim di muka persidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan. Dengan demikian, unsur yang harus ada pada alat bukti kesaksian adalah: 1.
Keterangan kesaksian itu diucapkan sendiri oleh saksi secara lisan di muka persidangan.
2.
Tujuannya untuk memberi kepastian kepada hakim ten tang peristiwa yang dipersengketakan.
3.
Saksi itu bukan salah satu pihak yang beperkara.
Sesuai dengan pengertian di atas, jelaslah bahwa keterang an yang diberikan secara tertulis oleh saksi bukan alat bukti ke saksian, melainkan bernilai alat bukti tertulis atau surat. Mengenai keterangan yang diberikan oleh saksi itu, atau yang dinamai “keterangan kesaksian” haruslah mengenai apa 92
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri oleh saksi. Sehingga keterangan yang diperoleh dari pihak ketiga atau “testimonium de auditu” pada umumnya tidak diper kenankan. Asas dari kesaksian ini adalah: “UNUS TESTIS NULLUS TESTIS”, satu saksi bukan saksi. Ini berarti bahwa jika hanya ada satu kesaksian, maka tidak boleh diterima sebagai alat bukti. Minimal harus ada dua kesaksian. Keterangan satu orang saksi, kalau keterangan itu dapat dipercayai oleh hakim, barulah dapat menjadi alat bukti sempurna jika dilengkapi alat bukti lain. Pembahasan secara mendetail mengenai kesaksian ini, akan penulis bahas dalam Buku III Seri Hukum Pembuktian ini, dalam satu buku tersendiri.
J. Alat Bukti Persangkaan-persangkaan Menurut E. W. Cleary 17 persangkaanpersangkaan atau PRESUMTIONS adalah: “�e slipperiest member of the family of legal terms... .”
Persangkaanpersangkaan itu adalah merupakan alat buk ti yang tidak langsung, karena dengan persangkaanpersangka an kita menarik kesimpulan dari peristiwa yang telah terbukti ke arah peristiwa yang belum terbukti. Sebagai contoh: si Chika terbukti ada di Makasar pada tanggal 9 November 1952, berarti dari peristiwa yang telah terbukti di atas, kita menarik kesimpulan bahwa karena si Chika ada di Makasar, tentunya si Chika tidak berada di New York pada saat yang sama itu. Menurut Ch. J. Enschede18 persangkaanpersangkaan ini merupakan pembuktian yang bersifat sementara. Dalam hukum positif kita di Indonesia, dapat dibedakan dua jenis persangkaan: Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata
93
1.
persangkaanpersangkaan menurut hakim.
2.
persangkaanpersangkaan menurut undangundang.
ad. 1. Persangkaan-persangkaan menurut hakim ( presumtions facti, rechterlijke vermoedens )
Adalah persangkaanpersangkaan yang dilakukan oleh hakim, berdasarkan kenyataan. Jadi hakimlah yang membuat jenis persangkaanpersangkaan ini. ad. 2. Persangkaan-persangkaan menurut undang-undang ( presumptions juris, rechtsvermodens ).:
Adalah persangkaanpersangkaan yang ditentukan oleh undangundang sendiri, dibagi lagi atas dua jenis: a.
Yang masih memungkinkan pembuktian lawan ( presum ptions juris tantum).
b.
Yang tidak memungkinkan pembuktian lawan ( presumtiones juris et de jure).
Perbedaan antara persangkaanpersangkaan menurut hakim dan persangkaanpersangkaan menurut undangun dang adalah: a. Persangkaanpersangkaan menurut undangundang sudah ditetapkan terlebih dahulu sebelum peristiwa konkret terjadi. b.
Persangkaanpersangkaan menurut hakim ditetapkan oleh hakim, setelah adanya peristiwa konkret yang terjadi.
Penjelasan secara lebih luas tentang persangkaanpersang kaan ini akan akan penulis bahas dalam Buku IV Seri Hu kum Pembuktian ini dalam satu buku tersendiri.
94
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
K. Pengakuan (Confession, Bekentenis) 1.
Pengakuan sebagai alat bukti ada tiga macam: Pengakuan murni (aveu pur et simple).
2. 3.
Pengakuan dengan kualifikasi (aveu qualifie). Pengakuan dengan klausuls (aveu complexe).
Penulis menjelaskan masingmasing dari ketiga jenis pengakuan di atas: ad. 1. Pengakuan murni:
Pengakuan tergugat mengenai seluruh isi gugatan peng gugat. Contoh: Si A menggugat si B, bahwa si B telah berutang kepada sejumlah Rp 100.000,, kemudian si B mengakui bahwa benar ia telah berutang sejumlah Rp 100.000, kepada si A. ad. 2. Pengakuan dengan kualifikasi:
Pengakuan tergugat tetapi disertai dengan sangkalan ter hadap sebagian gugatan. Contoh: Si A menggugat si B, bahwa si B telah membeli rumahnya seharga Rp 45.000.000, dan belum dibayar oleh si B. B mengakui telah membeli rumah si A, tetapi bukan seharga Rp 45.000.000, melainkan hanya Rp 30.000.0000,. ad. 3. Pengakuan dengan klausul:
Pengakuan tergugat yang disertai dengan klausul yang bersifat membebaskan. Contoh: Si A menggugat bahwa si B telah membeli rumah si B seharga Rp 50.000.000, dan belum di bayar oleh si B. Kemudian si B mengakui, bahwa benar ia telah membeli rumah si A seharga Rp 50.000.000, tetapi ia telah membayarnya lunas. Baik pengakuan dengan kualifikasi maupun pengakuan dengan klausul harus diterima secara bulat oleh hakim, Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata
95
tidak bias dipisahkan dari keterangan tambahannya. Hal ini berdasarkan asas pengakuan “ONSPLITSBARE AVEU ” (pengakuan yang tidak boleh dipisahpisahkan). Ulasan yang lebih mendetail tentang pengakuan, akan dibahas secara tersendiri dalam Buku V Seri Hukum Pem buktian ini.
L. Sumpah sebagai Alat Bukti Sebagaimana kita ketahui bahwa fungsi sumpah itu ada dua: 1.
Sebagai alat bukti yang termasuk dalam sumpah assertoir , yaitu sumpah untuk memberi keterangan guna me neguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian atau tidak.
2.
Sumpah untuk berjanji melakukan atau tidak melakukan sesuatu, yang disebut sumpah promissoir , misalnya: sum pah seorang saksi. Jadi di sini, kesaksiannya yang alat bukti, bukan sumpah itu sendiri yang hanya merupakan janji.
Sumpah sebagai alat bukti, yang umum dikenal adalah tiga jenis: 1.
Sumpah decisoir (sumpah pemutus)
2.
Sumpah supletoir (sumpah pelengkap).
3.
Sumpah aestimatoir (sumpah penaksiran).
ad. 1. Sumpah decisoir
Sumpah decisoir ini adalah sumpah yang dibebankan ke pada salah satu pihak atas permintaan salah satu pihak lainnya. Jadi, misalnya si penggugat meminta agar tergugat ber sumpah. Sumpah decisoir ini dapat dibebankan walaupun tidak ada pembuktian sama sekali. Dan pembebanan sum
96
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
pah decisoir decisoir ini dapat dilakukan pada setiap saat selama pe merik meriksaan saan di persidangan. Sumpah decisoir ini mempunyai kekuatan pembuktian yang menentukan (Beslissende (Beslissende bewijskracht ). ). Jadi tidak me bewijs). mungkinkan mungkinkan lagi pembuktian lawan (tegen (tegen bewijs). Isi sumpah decisoir harus mengenai hal ini yang pokok po kok dan bersifat menyelesaikan persengketaan (LITIS (LITIS DECISOIR DECISOIR). ). ad. 2. Sumpah supletoir
Sumpah supletoir ini adalah sumpah pelengkap, yang ber sifat melengkapi alat bukti yang sudah ada tetapi belum cukup. Sumpah supletoir ini diperintahkan oleh hakim karena jabatannya jabatannya (ex officio). Jadi misalnya hanya ada satu saksi saja, padahal ada asas “UNUS “UNUS TESTIS NULLUS TESTIS” TESTIS”, maka untuk melengkapinya pihak yang mengajukan satu saksi saja, diperintahkan diperintahkan oleh hakim untuk bersumpah. b ersumpah. Kepada pihak mana hakim memerintahkan untuk bersum bersum pah supletoir adalah tergantung pertimbangan hakim. Sumpah Sumpah supletoir ini masih memungkinkan pembuktian lawan. ad. 3. Sumpah aestimatoir:
Sumpah aestimatoir ini adalah sumpah yang diperin diperin tahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat un tuk menen menentukan tukan jumlah uang ganti rugi yang dituntutnya. Sumpah aestimatoir ini baru dibebankan hakim kepada penggugat, penggugat, jika penggugat telah berhasil membuktikan hak nya atas ganti kerugian, tetapi jumlahnya masih simpang siur. Kekuatan pembuktiannya sama dengan sumpah suple suple toir, bersifat sempurna tetapi masih memungkinkan pem buktian buktian lawan.
Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata
97
Endnote: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
8. 9. 10.
11. 12. 13. 14.
15.
16. 17. 18.
98
Jurisprudence”. Oxford, at the G. W. Paton. “ A Text Book of Jurisprudence Clarendon Press 1964, hlm. 545. Ibid , hlm. 541. A. B. Diamond. “Primitive Law”. Second editions, ch. xxx. Peter J. Dorman. “Dictionary of Law”. Running Press, Phiadelphia, Pennsylvania, USA, 1976. hlm. 37. Charles F. Hemphill, J.R. & Phylle D. Hemphil. Hemphil. “�e Dictionary of Prenticehal l, Inc. Englewood Englewoo d Cliffs” C liffs”,, 1975 hlm. 49. Practical Law”. Prenticehall, Milton C. Jacobs. “Civil Trial Evidence”. Second S econd edition, edition , New York, 1949, hlm. 1. Prof. Dr. Dr. R.M. Sudik Mertokusumo Mertokusumo S.H. “Kuliah “Kuliah Hukum Acara Perdata untuk Program SII Hukum Keperdataan Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Tahun 1982. G. W. Paton. Op.Cit., hlm. 542. Sir Roland Burrows. “Phipson on the Law of Evidence ”. Ninth Edition, London, Sweet & Maxwell Limited, 1952, hlm. 2, 3 dan d an 4. McCormick’’s Handboo Handbookk of the Law or Evidence Evidence”. Edward W. Cleary Clear y. “ McCormick Second Edition, St. Paul, Minn, West Publishing Co. 1972, hlm. 524529. Charles F. Hemphill, J.R… Op-cit., hlm. 61. Sir Roland Burrows. Op.Cit., hlm. 3. Prof. R. Subekti, S.H. “Hukum Pembuktian”. Penerbit Pradnya paramita. Jakarta, 1978, hlm. 22. Kenneth Culp Davis “ A System System Judicial Judicial Notice Notice Based on Fairness Fairness and Convenience”. Termuat dalam “ perpective of law” Essay for Austim Wakeman Scott, (Ad. Rescoe Pound dkk.), Little Brown Company, Boston, Toronto, USA, 1964, hlm. 79. Ahmad Ali. “Beberapa Permasalahan Mengenai Alat Bukti Tertulis, Tertulis, serta Peranan dan Perkembanganya dalam Hukum Acara Acara Perdata”. (Makalah untuk Program SII Universitas Gajah Mada Yogyakarta Yogyakarta 1982), hlm. 32. Ibid .,., hlm. 33. E. W. Cleary Clear y. Op.Cit., hlm. 803. Ch. J. Enschede. “Bewijzen Bewijze n in het strafrecht strafrecht ”. R.M. �emis 1966 af1. 5/6 hlm. 488.
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
Bagian Keenam PENGERTIAN BEBAN PEMBUKTIAN
Ut Sementem Feceris, Ita Meted “Siapa yang menanam sesuat, dialah juga yang akan memetik hasilnya.”
Untuk mengetahui arti dan pengertian p engertian dari “Beban Pem buktian” (Burden (Burden of Proof, Bewijslast ), ), terlebih dahulu kita harus mengerti arti perkataan “bukti” ( proof proof ) itu dahulu. Menurut Edward W. Cleary:1 We sometimes use it to mean evidence, evide nce, “Proof, is an ambiguous word. We such as testimony or documents. Sometimes, when we say a thing is “proved” we mean that we are convinced by the data submitted that the alleged fact is true. �us, “proof ” is the end result of conviction or persuasion persuasion produced produced by the the evidence….”
Jadi, E. W. Cleary melihat arti perkataan “bukti” itu ber sifat rangkap. rangkap. Di mana arti bukti itu bisa dua pengertian: p engertian: 1.
Sebagai alat bukti, misalnya kesaksian, dokumen, dan lainlain.
2.
Sebagai terbukti, yang berarti bahwa kita meyakini akan data yang diberikan tentang suatu fakta itu adalah me mang benar. Sehingga E. W. Cleary menyimpulkan, bahwa perkataan
“bukti” “bukti” berarti hasil akhir dari keyakinan atau persuasi yang diprodukkan oleh alat bukti. Dari pengertian penger tian “bukti” di atas, E. W. W. Cleary Clear y bertitik bert itik tolak untuk memberikan pengertian tentang “beban “beban pembuktian” pembuktian” itu sendiri sebagai berikut:2 “....�e term ter m encompasses two separate burdens of proof. One burden is that of producing evidence satisfactory to the judge, of a particular fact in issue. issue. �e second is the burden burden of persuading persuading the trier of fact fact that the alleged fact is true.... ”
Jadi menurut Cleary di atas, dapat dibedakan adanya dua beban pembuktian p embuktian yang terpisah, yaitu: 1.
Beban untuk mengajukan mengajukan alat bukti yang dapat memuas memuas kan hakim, tentang suatu fakta tertentu (the (the burden of producing producing evidence). evidence).
2.
Beban untuk meyakinkan “the trier of fact ” bahwa apa yang diajukan diajukan adalah benar (the burden of persuasion persuasion). ). Lebih jauh Cleary menuliskan menuliskan bahwa:3 “�e burden of producing evidence on an issue means the liability to an adverse ruling (generally a finding or directed verdict) if evidence on the issue has not been produced. It Is usually cast first upon the party party who has pleaded existence of the fact, but as we shall see, the burden may shi to the adversary when the pleader has discharged his initial duty. duty. �e burden of pruducing evidence evide nce is a critical cr itical mechanism in a jury trial, as it empowers the judge to decide the case without jury consideration when a party fails to sustain the bur den” .
Kemudian selanjutnya Cleary menjelaskan lagi bahwa:4 “�e burden of persuasion becomes a crucial cruc ial factor only if the parties have sustaine a their burdens of producing evidence and only when all of the evidence has been introduced...” ”
Jadi, yang terpenting dari uraian Cleary di atas adalah bahwa:
100
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
a. Beban untuk mengajukan alat bukti merupakan “a critical mechanism” di dalam peradilan juri. b. Beban untuk mengajukan alat bukti walaupun pada ha kikatnya adalah kewajiban penggugat tetapi dapat ber pindah ke pihak lawan. c. Beban untuk dinilai (burden of persuasion) barulah men jadi faktor yang berarti jika para pihak sudah mengaju kan alat buktinya. Selain E. W. Cleary, maka beberapa ahli hukum lain memberikan batasan pengertian tentang beban pembuktian, antara lain Charles F. Hemphill J.R. dan Phyllis D. Hemphill 5 yang menuliskan bahwa: “�e burden of proof is: 1. In evidence law, the obligation or necessity to prove those facts in dispute in the trial of a lawsuit. Most courts say that the burden of proof involves two obligations: a. the duty of producing evidence as the trial progresses, and; b. establishing the truth of the claim by a preponderance of the evidence. 2. In a criminal prosecution, the burden of proof is on the prosecutor (on the government) to prove all material issues that may be in doubt. �is is an affirmative duty. At the outset of the trial, the defendant has no duty to prove innocence. ”
Jadi, pada dasarnya kedua ahli hukum ini pun sependapat dengan E. W. Cleary yang memberi dua artian tentang beban pembuktian itu. Pertama bahwa di dalam hukum pembukti an, fakta tentang persengketaan di buka persidangan di mana pada umumnya pengadilan berpendapat bahwa beban pem buktian meliputi dua kewajiban: a)
Kewajiban untuk mengajukan alat bukti ke muka persi dangan pengadilan; dan Pengertian Beban Pembuktian
101
b) Kewajiban untuk membuktikan kebenaran dari tuntut an itu dengan alat bukti yang benarbenar meyakinkan. Adapun pengertian kedua yaitu dalam hukum pidana, be ban pembuktian itu ada pada jaksa (dalam hal ini mewakili pemerintah) untuk membuktikan semua hal yang berkaitan dengan tuntutan pidana yang mungkin masih meragukan. Kewajiban mana merupakan kewajiban yang sifatnya afir matif. Dan para permulaan pemeriksaan di muka persidang an pengadilan, tidak ada kewajiban terdakwa untuk mem buktikan ketidakbersalahannya. Berbeda dengan itu, Mr. H. �esing6 menyatakan bahwa: “Beban pembuktian adalah aktivitas untuk mengadakan atau men ciptakan proses psikis pada hakim untuk membenarkan/meyakini adanya dan terjadinya faktafakta yang dikemukakan dan yang daripadanya diinginkan suatu akibat hukum oleh salah suatu pihak yang beperkara, di mana secara luas termasuk hal mengemukakan dalil /fakta dan secara terbatas hanya yang sifatnya, bentuknya, dan intinya khusus untuk meneguhkan dalil/fakta yang sudah di terangkan itu.”
Jadi, Mr. H. �esing melihat arti beban pembuktian dari segi proses psikis pada diri hakim. Peter J. Dorman7 memberikan arti beban pembuktian secara sangat singkat, yaitu: “ A regirement to prove a disputed fact.” Lewis Mayers8 menuliskan bahwa: “ At the trial, the burden of proof, as it is celled, may rest on one party or the other as to a particular issue. �at burden is to adducu, on the issue a preponderence of the credible evidance.... ”
Jadi oleh Lewis Mayers, beban pembuktian dilihat dari fungsinya untuk menyakinkan hakim dengan alat bukti yang ditentukan oleh undangundang. Beban pembuktian ini bu 102
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
kan suatu keharusan untuk dibebankan kepada para pihak. Hanya “boleh”, jika dibutuhkan. Perhatikan perkataan “may rest .” Sehubungan dengan hal di atas, penulis menegaskan di sini bahwa pembuktian itu barulah dilakukan jika: a.
sama sekali tidak ada alat bukti yang diajukan oleh baik pihak penggugat maupun pihak tergugat ; atau
b.
alatalat bukti yang diajukan kedua pihak sama kuat nya.
Perbedaan yang paling mencolok antara beban pembuk tian dalam perkara pidana dan perkara perdata adalah: a.
Dalam perkara pidana, beban pembuktian itu harus ber sifat “beyond reasonable doubt ”;
b.
Sedangkan dalam perkara perdata, beban pembuktian itu sifatnya “ preponderence evidence”.
Seperti apa yang dikemukakan oleh Stephen Gillers,9 bah wa hukum acara pidana “...yet other courts have said that the charges must be sustained by proof that is reasonably certain, with reasonably doubts being resolved in favor of the attorney....” Adapun dalam hukum acara perdata dikatakannya: “....In an ordinary civil action, it is generally not reguired that the miscon duct be prove beyond a reasonable doubt....”
a.
Beban mengajukan alat bukti. Sebagaimana dijelaskan tadi, bahwa pengertian beban pembuktian itu ada dua yaitu: 1.
Beban untuk mengajukan alat bukti (the burden of producing evidence);
2.
Beban untuk menyakinkan, untuk dinilai (the burden of persuasion). Pengertian Beban Pembuktian
103
Mengenai beban untuk mengajukan alat bukti, da lam sistem hukum Inggris adalah kewajiban pertama bagi para pihak yang dibebani pembuktian. Tetapi di dalam sistem hukum kita di Indonesia, antara beban untuk mengajukan alat bukti dan beban untuk meyakinkan, untuk dinilai tadi tidak diadakan pemisahan tahapan nya, sekaligus berlangsung dalam saat para pihak dibe bani pembuktian.
�ayer10 menyebutkan beban untuk mengajukan alat bukti itu dengan istilah lain yaitu “�e duty of going forward.” Adapun McNaughton11 menyebutkanya dengan istilah “�e burden of production of evidence,” penggunaan istilah yang berbedabeda di atas perlu kita ketahui, khususnya para ilmuwan. Di dalam bahan jika membaca literaturliteratur dari sistem common law. Sehubungan dengan beban untuk mengajukan alat bukti ini, Dean McCormick 12 menulis bahwa: “In the writer (s view the burden of producing eviden has far more influence upon the final outcome of cases than does the burden of persuasion, which has become very largely a matter of the technigque of the wording of instructions to juries. �is wording may be chosen in the particular case as a handle for reveral but will seldom have been a factor ini the jury’s decision.”
Jadi, menurut penulisnya beban untuk mengajukan alat bukti itu jauh lebih berpengaruh terhadap putusan, da ripada beban penilaian, beban untuk menyakinkan (the burden of persuasion). Tentu saja bagi kita di Indonesia, di mana antara kedua beban itu sekaligus dilaksanakan tidak mengenal penahapan seperti dalam sistem Inggris, maka pengaruh yng lebih besar dari salah satunya tidak ada. Keduanya berpengaruh sama besarnya terhadap 104
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
putusan, karena beban pembuktian mengandung risiko pembuktian. Beban untuk mengajukan alat bukti ini, pada umumnya dibebankan kepada pihak yang menyatakan mempunyai suatu hak gugatanya, tetapi kemudian bisa saja beralih pada pihak lawannya dalam proses selanjutnya. Beban untuk mengajukan alat bukti ini merupakan sua tu “critical mechanism” di dalam suatu peradilan jury , karena dengan adanya beban untuk mengajukan alat bukti, membuktikan bagi hakim untuk memutus per kara tanpa pertimbangan juri, yaitu jika yang dibebani untuk mengajukan alat bukti ternyata tidak dapat me laksanakannya. b.
Beban untuk meyakinkan, beban penilaian (the burden of persuasion) Penulis menerjemahkan istilah “the burden of persuasion” dengan beban untuk penilaian, karena dengan beban yang kedua ini pihak yang telah mengajukan alat bukti dinilai alat buktinya oleh hakim (dan juri). Dinilai apakah dengan alat bukti tersebut benarbenar meyakinkan bahwa peristiwa yang dinyatakan adalah benar. Karena itu pula sehingga di dalam sistim hukum common law, beban penilaian ini barulah menjadi faktor yang mempunyai arti, jika beban untuk mengajukan alat bukti telah dilaksanakan. Sebenarnya dengan sistem hukum kita di Indonesia pun, apa yang mau di nilai jika alat bukti belum diajukan? Adapun mengenai istilah beban penilaian ini, oleh Wigmore disebutnya “the risk of nonpersuasion.”13 Me nurut penulis hal mana mengandung arti bahwa jika Pengertian Beban Pembuktian
105
alat bukti yang diajukan itu tidak dapat meyakinkan ke benaran fakta yang dikemukakan, mengandung risiko kalah terhadap pihak yang bersangkutan. Selanjutnya �ayer14 menuliskan bahwa: “... It marks ... the peculiar duty of him who has the risk of any given pro position on which parties are at issue, who will lose the case if he does not make this proposition out, when all has been said and done ...”
Jadi, �ayer juga menegaskan adanya risiko pembuktian bagi siapa yang yang dibebani, tetapi ternyata tidak berhasil meyakinkan kebenaran proposisi yang dikemukakan. Suatu hal yang menarik dalam sistem peradilan Anglo Saks (common law) adalah dimungkinkan suatu persengketaan berakhir tanpa putusan hakim. Hal de mikian itu tidak dimungkinkan di Indonesia, di mana hakim wajib untuk memberi putusan dalam setiap per kara yang dihadapinya. Kesimpulan:
Dari pengertian beban pembuktian yang telah dikemu kakan secara panjang lebar di atas, dapatlah disimpulkan bahwa beban pembuktian itu merupakan kewajiban afirmatif bagi para pihak untuk tampil ke muka persidangan pengadilan dengan membuktikan tentang faktafakta mengenai pokok perkara yang dipersengketakan. Mengenai ini, perhatikan juga pendapat Charles F. Hemphill J.R, & Phyllis D. Hemphill.15 Sebagai kesimpulan akhir yang dapat kita tarik, tentang pengertian beban pembuktian itu adalah bahwa: 1.
Beban pembuktian baru muncul jika: a.
106
sama sekali tidak ada alat bukti yang di ajukan para pihak; Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
b. 2.
atau alat bukti yang diajukan para pihak sama kuat nya atau sama lemahnya.
Beban pembuktian adalah pembebanan dari hakim ke pada para pihak yang beperkara untuk: a.
Mengajukan alatalat bukti sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku.
b.
Membuktikan kebenaran fakta yang dikemuka kannya berdasarkan alat bukti yang diajukan itu, sehingga hakim yakin akan kebenaran fakta yang dikemukakan itu (dalam hal proses perdata, ke yakinanya bersifat preponderance of evidence)
Endnote: Edward W. Cleary. “ McCormick’s Handbook of the Law of Evidence”. St. Paul Minn, West Publishing Co. 1972, hlm. 783. 2. Ibid . 3. Ibid . 4. Ibid., hlm. 784. 5. Charlas F. Hemphill J.R. & Phillis D. Hemphill. “�e Dictionary of Practical Law”. Prantice Hall, Inc. Englewood Cliffs, N.J. 1979, hlm. 33. 6. Mr. H. �esing. “De grondslogan van de Bewijslast in de Civila Procedure”. S’Graven hage, 1961 blz 54. 7. Peter J. Dorman. “Dictionary of law”. Runing Press Philadelphia, Pennsylvania, 1976, hlm. 28. 8. Lewis Maers. “�e Machinery of Justice; An Introduction to Legal Structure and Process”. Foundations of law in a business socie, series, Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs, New Jersey, 1963, hlm. 39. 9. Stephen Gillers. “ An American Civil Liberties Union Handbook: �e Rights of Lawyers and Clients ”. A Discus Book/Published by A von Books, USA, 1979, hlm. 72. 10. James Bradley �ayer. “Preliminary Treatise on Evidence”. 1898, ch. 9, hlm. 355. 1.
Pengertian Beban Pembuktian
107
11. McNaughton, “Burden of Production of Evidence ”. Dikutip oleh Edward W. Cleary dalam “ McCormick’s Handbook of the Law of Evidence”, hlm. 783. 12. Dean McCormick. Terkutip Ibid., hlm. 784. 13. Wigmore. Terkutip Ibid., hlm. 784. 14. James Bradley �ayer. Ibid., hlm. 784. 15. Charles F. Hemphill J.R. & Phyllis D Hemphill. Op.Cit ., hlm. 33.
108
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
Bagian Ketjuh ASAS BEBAN PEMBUKTIAN
Negativa non sunt probanda “Sesuat yang negatie, Sulit untk dibuktikan”
Ada suatu pepatah hukum Romawi, yang berbunyi: “SI VIS PACEM PARA BELUM ” yang berarti “hendak damai, siapkan perang”. Demikianlah suatu proses perdata. Dua pihak yang me miliki kepentingan yang berlawanan, tampil ke muka per sidangan pengadilan untuk menyelesaikan “perang” atau “persengketaan” mereka, demi menuju penyelesaian per sengketaan itu melalui suatu putusan hakim. Karena untuk kepastian hukum, maka tiap putusan ha kim yang telah dijatuhkan harus selalu dianggap benar dan sah, kecuali jika ada putusan pengadilan yang lebih tinggi yang membatalkannya. Hal ini sesuai asas “RES YDICATA PROVERI TATE HABETUR”; atau serupa tetapi tak sama, asas lain yang bunyinya “res Judicata jus facit inter partes” (putusan hakim menimbulkan hak antara para pihak yang beperkara); atau juga asas yang bunyinya “res judicate pro veritate accipitur ” isi daripada suatu putusan hakim sebagai benar). Kewajiban para pihak untuk membela kepentingannya
masingmasing di muka persidangan pengadilan dengan menun jukkan alat bukti (the burden of producing evidence) dan meyakinkan hakim kebenaran alat bukti itu (the burden of persuasion). Tetapi, dalam hal, sama sekali tidak ada alat bukti yang diajukan kedua pihak sama kuat adalah kewajiban hakim untuk membebani salah satu pihak atau kedua pihak dengan beban pembuktian (the burden of proof ). Tentu saja pelaksanaan beban pembuktian itu diatur dengan asas tertentu yang bersifat restrictief ; bersifat mem batasi kebebasan hakim sehingga dapat terhindarkan pe nyalahgunaan jabatan atau wewenang; de tournament de pouvoir . Asas beban pembuktian diatur oleh Pasal 163 HIR (pasal 283 R.bg., 1865 KUH Perdata) yang isinya: “Barangsiapa yang mengaku mempunyai hak atau yang mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu atau untuk menyangkal hak orang lain harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.” Ini berarti bahwa baik penggugat maupun tergugat, da pat dibebani dengan pembuktian. Terutama penggugat wajib untuk membuktikan gugatannya, dan tergugat wajib untuk membuktikan sangkalannya. “Reo negate actori incumbit probation;” kalau tergugat tidak mengakui gugatan, maka penggugat harus membukti kannya. Tetapi tidak berarti setiap tergugat menyangkali gu gatan, selalu pihak penggugatlah yang harus membuktikan. Dalam hal ini hakim harus teliti mempertimbangkan sesuai kasus yang dihadapinya. Sebab bisa saja, Reus excipiendo fit actor ; tergugat dianggap sebagai penggugat jika ia menyang 110
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
kal. Dengan kata lain, ada kalanya tergugat pun dapat dibe bani pembuktian jika ia menyangkali gugatan penggugat. Penggugat tidak diwajibkan membuktikan kebenaran sangkalan tergugat, demikian pula sebaliknya tergugat tidak diwajibkan untuk membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukan oleh penggugat. Secara terperinci, penulis dapat mengemukakan bebera pa asas yang terpenting dalam masalah beban pembuktian; 1.
Yurisprudensi berpendapat bahwa hakim di dalam mem bebani pembuktian, hendaknya yang dibebani dengan pembuktian itu adalah yang paling sedikit dirugikan, jika ia harus membuktikannya. Sebagai contoh yang mudah, jika kita melihat dalam kasus pidana. Jika si A dituduh oleh si B bahwa si A mencuri cincin berlian milik si B. Maka tentu saja pihak yang paling sedikit dirugikan jika dibebani untuk mem buktikan (seandainya ini adalah kasus perdata) adalah si B. Adapun pihak yang paling banyak dirugikan jika dibebani untuk membuktikan adalah si A yang dituduh. Mengapa demikian? Si A sebagai orang yang dituduh, berarti masih mengan dung dua kemungkinan; a.
ataukah ia benar mencuri;
b.
ataukah ia sama sekali tidak mencuri.
Seandainya si A sama sekali tidak mencuri, bagaimana mungkin ia membuktikannya bahwa ia benar tidak men curi? Terlalu berat bagi Si A untuk dibebani. Adapun bagi si B, dengan tindakanya menuduh si B selaku pencuri tentu mendasarkan pada suatu kecurigaan atau dugaan dugaan tertentu. Sehingga berdasarkan kecurigaan atau Asas Beban Pembuktian
111
dugaannya, bukanlah sesuatu yang berat baginya untuk membuktikannya. Paling tidak masih lebih ringan bagi si B untuk di bebani pembuktiaan daripada si A. Walaupun kasus ini perkara pidana, tetapi pembaca pasti dapat menerapkan jika dihadapkan pada kasus perdata. 2.
Asas yang kedua, yang masih berkaitan erat dengan asas pertama di atas, adalah asas “negative non sunt probanda”, asas bahwa sesuatu yang bersifat negatie, sulit untuk dibuktikan. Sesuatu yang bersifat negatie biasanya ditandai dengan perkataan “TIDAK”. Misalnya: Si A menyatakan bahwa ia tidak berutang ke pada si B. Atau si X menyatakan bahwa ia tidak menu bruk mobil si Z, dan lainlain. Sehubungan dengan hal ini, G.W. Paton 1 menuliskan bahwa: “Should not be forced on a person without very strong reasons.” Dalam hal ini, penulis meyetujui jika dikatakan bahwa membuktikan sesuatu yang bersifat negatie itu, sulit untuk dibuktikan. Tetapi, penulis tidak sependapat jika dikatakan bahwa membuktikan sesuatu yang negatie itu MUSTAHIL dibuktikan. Mengapa penulis menganggap bahwa sesuatu yang ber sifat negatie, TIDAK MUSTAHIL untuk dibuktikan? Di bawah ini penulis memberikan contoh: Jika si Polan diwajibkan untuk membuktikan ketidak beradanya di Yogyakarta pada jam 12 siang, tanggal 27 Maret 1981. Berarti si Polan disuruh untuk mem buktikan sesuatu yang negatie. Maka si Polan dalam hal ini dapat membuktikan ketidakberadaannya diYogya
112
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
karta pada saat tersebut diatas, dengan cara membukti kan keberadaannya pada jam 12 siang, tanggal 27 Maret 1981 di Makassar. Dari contoh yang penulis berikan di atas membuktikan bahwa sesuatu sifatnya negatie, tidak mustahil untuk di buktikan. Tetapi tetap merupakan sesuatu yang sulit un tuk membuktikannya. Karena itu penulis tetap sependapat, bahwa hakim ja ngan membebani suatu pihak untuk membuktikan se suatu yang negatie; kecuali jika terpaksa sekali dilihat dari segi kasusnya. Sehubungan dengan pendapat penulis ini, yurisprudensi Mahkamah Agung tertanggal 15 Maret 1972 (No. 547 K/ Sip/1971) memutuskan bahwa pembuktian yang dibe bankan kepada pihak yang harus membuktikan sesuatu yang negatie adalah berat daripada beban pembuktian pihak yang harus membuktikan sesuatu yang positif, yang tersebut terakhir ini termasuk pihak yang lebih mampu untuk membuktikan. 3.
Asas yang ketiga adalah asas iktikad baik. Asas ini berbunyi bahwa iktikad baik selamanya harus dianggap ada pada setiap orang yang menguasai sesuatu benda. Barang siapa menggugat akan adanya iktikad bu ruk bagi bezutter itu, harus membuktikannya. Jadi, dengan asas ini adalah telah ditetapkan bahwa jika penggugat dalam gugatannya mendakwa/menyatakan adanya iktikad buruk pada si tergugat yang merupakan bezitter dari barang yang digugat si penggugatlah yang harus dibebani dengan pembuktian (lihat Pasal 533 BW).
4.
Asas yang keempat adalah asas bahwa jika seseorang te lah memulai menguasai sesuatu untuk orang lain maka Asas Beban Pembuktian
113
selalu dianggap meneruskan penguasaan tersebut, ke cuali jika terbukti sebaliknya. Sebagai kasus imajiner untuk menjelaskan asas ini, da pat penulis berikan contoh: Si A dan si B sedang menunggu berangkatnya bus juru san Pdi stasiun bus. Karena si A ini ke kamar kecil, si A menitipkan kopernya kepada si B yang kebetulan duduk satu bangku dengannya. Si B menerima “tugas gratis“ itu dari si B, dan bersedia untuk menjaga koper si A itu selagi si A di kamar kecil. Ketika si A sudah/masih di kamar kecil, datang seorang wanita yang mengaku pada si B sebagai nyonya si A yang disuruh oleh si A untuk mengambil koper yang tadi dititipkan si A kepada si B. Si B percaya dan menyerahkan koper itu pada wanita yang mengaku nyonya A tadi. Tetapi, setelah wanita itu pergi dengan membawa koper si A, tibatiba muncul si A dari kamar kecil meminta kopernya. Si B mau melepaskan tanggung jawab. Tetapi berdasarkan asas ini, maka si B tetap dianggap bertanggung jawab atas kopor si A sehingga hukum se lalu menganggap si B meneruskan penguasaan itu (ber tanggung jawab) kecuali jika terbukti sebaliknya. Jadi, dalam hal ini beban pembuktian untuk membuktian bahwa koper itu benar telah diserahkan kepada wanita itu, jatuh pada si B. (lihat Pasal 535 BW). 5.
Asas yang menyatakan bahwa barang siapa yang me nguasai suatu benda bergerak, dianggap sebagai pemilik nya. Sehingga, jika seseorang menggugat orang yang mengusai suatu benda bergerak, si penggugatlah yang selamanya harus dibebani dengan pembuktian (lihat Pasal 1977 ayat 1 BW).
114
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
6.
Asas bahwa adanya keadaan memaksa harus dibuktikan oleh pihak debitur (lihat Pasal 1244 BW).
7.
Asas bahwa siapa yang menuntut penggantian kerugian yang disebabkan suatu perbuatan melanggar hukum, harus membuktikan adanya kesalahan (lihat Pasal 1365 BW).
8.
Asas yang menyatakan bahwa siapa yang menunjukkan tiga kuitansi yang berturutturut terakhir dianggap telah membayar semua cicilan. Sehingga, jika ada seseorang yang menggugat si pemegang tiga kuitansi terakhir ber turutturut itu, dialah (penggugat) yang harus dibebani dengan pembuktian (lihat Pasal 1394 BW).
9.
Asas risiko pembuktian, yaitu bahwa barang siapa dibe bani dengan pembuktian lalu ternyata tidak mampu un tuk membuktikan, harus dikalahkan dalam perkara itu.
10. Asas yang menyatakan bahwa barang siapa yang menya takan sesuatu yang tidak biasa, harus membuktikan hal yang tidak biasa itu. (Lihat putusan Mahkama Agung), yang (tertanggal 21 November 1956, Nomor 162 K/ Sip/195). 11. Asas yang menyatakan bahwa jika isi suatu surat dapat di artikan dua macam, yaitu menguntungkan dan merugi kan bagi si penanda tangan surat, maka si penanda tangan yang harus dibebani untuk membuktikan positumnya. (Lihat Putusan M. A. tanggal 11 September 1957, No mor 74 K/Sip/1955)
Ednnote: 1.
G.W. Paton “ A text book of Jurisprudence”. Oxford, At the Claren don Press, 1964, hlm. 542.
Asas Beban Pembuktian
115
Bagian Kedelapan TEORI�TEORI BEBAN PEMBUKTIAN
Audi Et Alteram Parem “Dengarlah juga pihak lainnya”
Di samping adanya asasasas beban pembuktian yang merupakan hasil pemikiran para ahli hukum, juga undang undang dan yurisprudensi, maka di dalam ilmu pengetahuan hukum dikenal juga “teoriteori beban pembuktian” yang merupakan pedoman bagi hakim di dalam memutuskan sia pa yang harus dibebani dengan pembuktian dalam setiap ka sus yang diperiksanya.
A. Teori Negativa Non Sunt Probanda Teori ini bertitik tolak pada asas beban pembuktian “Negativa non sunt probanda” asas yang menyatakan bahwa sesuatu yang negatie sifatnya sulit untuk dibuktikan. Asas ini, sehingga penganut teori ini menyatakan bahwa barang siapa yang mengemukakan sesuatu, ialah yang harus membuktikannya, jadi bukan pihak yang menyangkalinya. Karena teori ini bersifat menguatkan belaka, sehingga beberapa ahli hukum menamainya juga dengan nama “teori
bloot affirmatif ” antara lain AsserAnemaVerdam.1 Dan juga Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumo, S.H. 2 Dewasa ini menganut teori “Negativa non sunt probanda” ini sudah tidak ada lagi. Karena dangan teori ini, hampir selalu penggugatlah yang dibebani pembuktian. Teori pertama ini menganggap bahwa sesuatu yang sifat nya negatie, adalah di luar batas kemampuan untuk dibukti kan, karena itu sesuai adagium berbunyi: Ultra posse nemo obli gatur (tiada orang berkewajiban melakukan lebih daripada kemampuannya), maka orang yang menyatakan/me ngemuka kan sesuatulah yang harus dibebani dengan pembuktian. Tentu saja teori itu tidak selamanya benar dalam setiap kasus. Pembaca dapat melihatnya sendiri jika telah membaca keseluruhan buku ini.
B. Teori Hak Dasar dari teori ini adalah bahwa “HAK”lah yang men dasari proses perdata. Dengan lain kata, proses perdata itu se nantiasa melaksanakan “hak” yang dimiliki perorangan. Dengan demikian, teori ini berpendapat bahwa tujuan dari hukum se cara perdata adalah sematamata untuk mempertahankan hak. Dengan demikian, barang siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai sesuatu hak, dialah yang dibebani dengan pembuktian. Perbedaannya dengan teori Negativa non sunt probanda adalah karena kalau pada teori pertama ini penggugat harus membuktikan keseluruhan. Adapun menurut teori “hak” ini, tidak seluruh peristiwa harus dibuktikan si penggugat. Penganut teori ‘hak” ini antara lain AsserAnemaVer dam, membagi peristiwa itu ke dalam: 118
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
a.
Peristiwa umum.
b.
Peristiwa khusus. 1. Peristiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak (rechtserzeugende Tatsachen). 2. Peristiwa khusus yang bersifat merintangi timbul nya hak (rechtshindernde Tatsachen). 3.
Peristiwa khusus yang bersifat membatalkan hak (rechtsvernichtende Tatsachen).
Penganut teori ini membagi beban pembuktian sebagai berikut: a. b.
Pihak penggugat wajib untuk membuktikan adanya pe ristiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak. Pihak tergugat wajib untuk membuktikan. 1. 2. 3.
Tidak adanya peristiwaperistiwa umum. Adanya peristiwaperistiwa khusus yang bersifat merintangi timbulnya hak. Adanya peristiwa khusus yang bersifat membatal kan hak.
Untuk jelasnya penulis memberikan contoh kasus ima jiner sebagai berikut: Si Baco menggugat kapada Basse, bahwa si Basse telah menerima mobil Toyota plat DD. 2731981 yang dibeli si Basse dengan harga Rp 15.000.000, dari si Baco, tetapi si Basse belum membayarnya. Dalam hal ini berdasarkan teori “hak” ini, karena ternyata si Basse menyangkali gugatan si Baco, beban pembuktiannya dibagi: a. Si Baco selaku penggugat, harus membuktikan bahwa: 1.
Perjanjian jual beli memang telah terjadi antara dia dengan si Basse. Teori-Teori Beban Pembuktian
119
b.
2.
Benar harga yang disepekati adalah Rp. 15.000.000
3.
Benar mobil itu sudah diserahkan kepada si Basse selaku pembeli.
Si Basse selaku tergugat, harus membuktikan bahwa: 1.
Dia telah membayar harga yang sejumlah Rp 15.000.000, itu kepada si Baco selaku penjual.
2.
Atau membuktikan adanya cacat pada persesuaian kehendak.
P. A. Stein3 tidak menyetujui teori ini dengan alasan bahwa teori ini hanya mampu memecahkan masalah jika gugatan si penggugat didasarkan pada “hak”. Bagaimana dalam gugatan perceraian? Menurut Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumo, S.H., 4 kelemahan lain dari teori ini adalah karena teori ini terlalu banyak kesimpulan yang abstrak dan tidak memberi jawaban atas persoalanpersoalan tentang beban pembuktian dalam suatu persengketaan yang bersifat prosesuil.
C. Teori De Lege Lata (Menurut Hukum Positif) Menurut teori ini, dengan si penggugat mengajukan gu gatannya berarti bahwa si penggugat meminta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan hukum yang berlaku terhadap peristiwa yang diajukan. Karena itulah, maka si penggugat harus dibebani pem buktian untuk membuktian kebenaran dari peristiwa yang diajukannya, dan kemudian mencarikan dasar hukumnya untuk diterapkan pada peristiwa itu. Sebagai contoh: jika si A menggugat tentang suatu per janjian, maka si A harus mencari dalam undangundang apa syaratsyarat sahnya suatu perjanjian, lalu membuktikannya. 120
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
Dalam contoh ini, si A tentu harus berdasarkan Pasal 1320 BW dan karena Pasal 1320 BW tidak menyebutkan ada nya cacat dalam persesuaian kehendak, sehingga si A pun tidak perlu membuktikan adanya cacat dalam persesuaian kehendak itu. Tentang adanya cacat dalam persesuaian ke hendak itu, pihak lawanlah yang harus membuktikannya. Ini berarti hakim hanya dapat mengabulkan gugatan jika unsur unsur yang ditetapkan oleh hukum/undangundang itu ada. Bagaimana dengan persoalan yang tidak diatur dalam undangundang? Inilah kelemahan teori ini.
D. Teori Ius Publicum (Hukum Publik) Teori ini menekankan bahwa walaupun hukum acara perdata adalah bagian dari hukum privat, tetapi bagaimana pun kepentingan publik termasuk di dalamnya. Sebab, kepen tingan peradilan adalah juga kepentingan publik. Karena itu, teori ini cenderung untuk menginginkan agar hakim diberi wewenang yang lebih besar di dalam mencari kebenaran. Teori ini menghendaki agar bagi para pihak dibebani dengan kewa jiban yang bersifat hukum publik, di mana ke wajiban itu harus disertai dengan saksi pidana. Tentu saja teori ini terlalu berlebihan untuk diterapkan di Indonesia dewasa ini.
E. Teori Audi Et Alteram Partem Teori ini adalah berdasarkan pada asas hukum acara perdata pada umumnya, yaitu asas “ AUDI ET ALTERAM PARTEM ”, asas kedudukan yang sama secara prosesuil dari kedua pihak yang beperkara. Asas ini mewajibkan hakim agar memberi kesempatan yang sama bagi para pihak untuk menang secara prosesuil. Teori-Teori Beban Pembuktian
121
Karena itu, hakim harus membagi beban pembuktian kepada para pihak yang beperkara secara patut, di mana ada kalanya hanya tergugat, dan ada kalanya keduaduanya. Dengan asas ini, hakim benarbenar harus adil membagi beban pembuktian itu, sehingga kalau penggugat menggugat tergugat mengenai perjanjian jual beli itu dan bukannya ter gugat yang harus membuktikan tentang tidak adanya per janjian tersebut antara penggugat dan tergugat. Kalau tergugat mengemukakan bahwa ia membeli se suatu dari penggugat, tetapi bahwa jual beli itu batal karena kompensasi, maka tergugatlah yang harus membuktikanbah wa ia mempunyai tagihan terhadap penggugat. Penggugat dalam hal ini tidak perlu membuktikan bahwa ia tidak mem punyai utang pada tergugat.
Endnote: 1.
2. 3. 4.
AsserAnemaVerdam. “ Mr. C. Asser’s Handleiding tot de beoefening van hat Nederland Burgelijk Recht ”. Vijfde – Deel: Van Bewijs, NV, Uitgevers Maat schappij, W.E.J.T Jeenk Uillink, Zwolle 1934 hlm. 64. Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumo, S.H. “Hukum Acara Perdata Indonesia”. Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 104. Mr. P. A. Stein. “Compendium can het – Burgelijk Procesrecht ”, Kluwer, Deventer, 1973, hlm. 118. Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumio, SH. Op.Cit , hlm. 105.
122
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
Bagian Kesembilan SIFAT BEBAN PEMBUKTIAN
Si Duo Faciunt Idem Non Est Idem! “Kalau dua orang melakukan hal yang sama, maka hal it adalah tidak sama.”
Sifat dari beban pembuktian itu sendiri dapat digolong kan ke dalam tiga sifat; penggolongan ke dalam tiga sifat ini adalah sebagai penyempurnaan pembagian yang penulis dahulu bedakan hanya atas dua sifat.1 Ketiga sifat beban pembuktian itu adalah masingmasing: 1.
Sifatnya yang kasuistik.
2.
Sifatnya yang yuridis.
3.
Sifatnya yang historis.
A. Sifatnya yang Kasuistik Hukum positip kita di Indonesia hanya mengatur satu Pasal mengenai asas beban pembuktian secara umum yaitu Pasal 163 HIR (sama bunyinya dengan Pasal 285 R.bg. Pasal 1865 – BW) yang bunyinya: “Barang siapa menyatakan mempunyai sesuatu hak atau menyebutkan suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya atau untuk membantah adanya hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.”
Dari ketentuan Pasal di atas, yang jelas hanyalah dua hal: 1.
Yang dapat dibebani pembuktian adalah baik penggugat maupun tergugat.
2.
Yang dapat dibuktikan adalah peristiwa dan hak.
Tetapi selanjutnya, kapan penggugat yang dibebani, ka pan tergugat, dan kapan keduaduanya, baik penggugat mau pun tergugat sekaligus? Semuanya itu tidak jelas. Karena itulah, sehingga dikatakan bahwa beban pem buktian itu mempunyai sifat yang yuridis, artinya tergantung pada kasusnya. Kita tidak dapat menentukan secara umum, bahwa dalam hal beban pembuktian selalu penggugatlah yang dibebani, atau selalu kedua pihaklah yang dibebani, atau selalu tergugatlah yang dibebani. Penentuan semacam itu jelas tidak mungkin. Malah akan menimbulkan kekakuan dan ketidakadilan. Karena itulah sifat kasuistik dari beban pembuktian perlu dipertahankan oleh pembuat undang undang. (Bandingkan pendapat penulis pada tahun 1980).2 Pada umumnya hakim cenderung untuk selalu membe bani penggugat dengan pembuktian manakala tergugat me nyangkal, antara lain dapat penulis berikan tiga putusan peng adilan sebagai contohnya: 1.
Putusan Pengadilan Negeri Pangkajene (Sulawesi Sela tan) tertanggal 5 Agustus 1964, Nomor 16/1962 yang mempertimbangkan antara lain: “Menimbang bahwa tergugat menyangkal kebenaran dalil/dalildalil penggugat, maka pada penggugatlah ter letak kewajiban untuk membuktikan dalildalilnya.” 3
2.
Putusan Pengadilan Negeri Surakarta tertanggal 3 Agus tus 1962, Nomor 243/1962/Pdt yang mempertimbang kan antara lain:
124
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
“Menimbang bahwa di mana tergugat menyangkal gu gatan penggugat, maka penggugatlah yang wajib mem buktikannya.”4 3.
Putusan Pengadilan Negeri Sengkang (Sulawesi Selatan) tertanggal 1 Agustus 1964 Nomor 80/1964 yang memper timbangkan antara lain: “Menimbang bahwa oleh karena tergugat menyangkal kebenaran isi gugatan tersebut, maka pihak penggugat harus membuktikannya.”5
Kecenderungan hakim untuk selalu membebani peng gugat dengan pembuktian, jika tergugat menyangkal gugatan adalah sebagai akibat kesalahpahaman tentang makna Pasal 163 HIR (285 R.bg., 1865 BW) dan ketidakmengertian akan adanya sifat kasuistik dari beban pembuktian ini. Ini pun tidak terlepas dari kesalahan pihak pengajar mata kuliah Hukum Acara Perdata pada Fakultas Hukum yang kurang memberikan pengalaman tentang masalah beban pembuktian ini, dalam materi perkuliahannya; juga tidak terlepas dari kurangnnya literatur berbahasa Indonesia yang membahas secara luas masalah beban pembuktian ini. Dari sifat kasuistik beban pembuktian ini, dapat disim pulkan adanya tiga kemungkinan kepada siapa beban pem buktian itu diletakkan dalam suatu perkara, yaitu: 1.
Penggugatlah yang dibebani dengan pembuktian.
2.
Tergugatlah yang dibebani dengan pembuktian.
3.
Baik penggugat maupun tergugat, keduanya dibebani dengan pembuktian.
Untuk jelasnya, baiklah di bawah ini penulis memberikan masingmasing sebuah contoh: Sifat Beban Pembuktian
125
1.
Si A menggugat si B, karena si B sebagai orang yang diberi hak untuk memungut uang sewa pintupintu toko tidak menyetorkan kepada si A yang menyuruhnya memungut uang sewa, dengan sangkalan si B selalu tergugat, bahwa pintupintu toko tersebut tidak selalu menghasilkan sewa. Dalam hal ini, karena si tergugat sebagai pihak yang menyatakan sesuatu yang tidak biasa, haruslah yang dibebani pembuktian untuk membuktikan hal yang tidak biasa itu. (Lihat Putusan Mahkamah Agung tanggal 21 November 1956 Nomor 162 K/Sip, 1955).
2.
Si A menggugat si B, bahwa si B selaku pihak penjual dalam sengketa jual beli belum menyerahkan seluruh ba rang yang telah dibeli oleh si A selaku pembeli menurut kontrak, sedang si B selaku penjual membantah dengan mengemukakan bahwa ia telah menyerahkan seluruh barang yang diperjualbelikan. Dalam hal ini maka ke dua pihak dibebani pembuktian. Pihak pembeli harus dibebani pembuktian mengenai adanya kontrak dan pembayaran yang telah dilakukan, sedang pihak penjual harus membuktikan mengenai barangbarang yang telah diserahkannya. (Lihat Putusan Mahkamah Agung tang gal 30 Desember 1957 No. 197 K/Sip/1956).
3.
Jika si A menggugat si B, dengan gugatan bahwa arloji Rolex yang dipakai dan dikuasai oleh si B sekarang ini adalah arloji milik si A, sedang si B menyangkali gugatan si A, maka dalam hal ini beban pembuktian hanya jatuh pada diri penggugat, karena barang siapa menguasai suatu benda bergerak, dianggap sebagai pemiliknya. (Lihat Pasal 1977 ayat 1 BW).
Karena sifat beban pembuktian yang kasuistik ini, maka hendaklah hakim di dalam melakukan pembagian beban 126
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
pembuktian, senantiasa memerhatikan asasasas beban pem buktian pada khususnya dan asasasas hukum pembuktian pada umumnya.
B. Sifatnya yang Yuridis Sifat kedua dari beban pembuktian ini adalah sifat yuridis yang melekat padanya. Sifat yuridis dari beban pembuktian ini dapat kita lihat dalam tiga hal: 1. Pada risiko pembuktian. 2. Pada pengaturan beban pembuktian baik dalam hukum formil maupun hukum materiil. 3. Dapat dikasasinya masalah beban pembuktian ke Mah kamah Agung. Ad. 1 Sifat yuridis dari risiko pembuktian
Dengan adanya pembebanan pembuktian, selalu diikuti dengan risiko pembuktian, karena siapa yang memikul beban pembuktian itu jika gagal membuktikannya akan menerima risiko berupa kalah dalam perkaranya. Jadi jelas menunjukkan sifat yuridisnya, karena kalah atau menangnya salah satu pihak adalah soal yuridis, yaitu sebagai akibat dari suatu proses perkara yang diatur oleh hukum acara perdata. Mengenai risiko pembuktian dapat dibaca lebih jelas pada Bagian Kesebelas buku ini. Ad. 2. Sifat yuridis pada pengaturannya dalam hukum formil maupun hukum materiil
Mengenai sifat yuridis beban pembuktian, karena peng aturannya baik dalam hukum formal maupun hukum ma teriil, penulis akan menyebutkan beberapa pasal undangun dang sebagai berikut: Sifat Beban Pembuktian
127
a.
Pasal 1244 BW: Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apa bila ia tidak dapat membuktikan bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikat itu, disebabkan karena suatu yang tak terduga pun tidak dapat dipertanggungjwabkan padanya, kesemuanya itu pun jika iktikad baik tidaklah pada pihaknya.
b.
Pasal 1394 BW: Tentang pembayaran sewa rumah, se wa tanah, tunjangan tahunan untuk naah, bunga aba di atau bunga cagak hidup, bunga uang pinjaman, dan pada umumnya segala apa yang harus dibayar tiap ta hun atau tiap waktu tertentu yang lebih pendek, maka dengan adanya tiga surat tanda pembayaran, dari mana ternyata pembayaran tiga angsuran berturutturut, ter bitlah suatu persangkaan bahwa angsuranangsuran yang lebih dahulu telah dibayar lunas, melainkan jika dibuktikan sebaliknya.
c.
Pasal 1977 ayat 1 BW: Terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga maupun piutang yang tidak harus dibayar kepada si pembawa, maka barang siapa yang menguasainya dianggap sebagai pemiliknya. (Jadi, siapa yang menggugatnya, ialah yang dibebani pembuktian).
d.
Pasal 1365 BW: Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut (dalam hal itu, penggugat yang dibebani pembuktian).
e. Pasal 468 ayat 2 KUHP Dagang: Si pengangkut diwa jibkan mengganti segala kerugian yang disebabkan ka rena barang tersebut seluruhnya atau sebagian tidak da pat diserahkannya, atau karena terjadi kerusakan pada 128
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
barang itu, kecuali jika dibuktikannya bahwa tidak dapat diserahkannya barang atau kerusakan tadi disebab kan oleh suatu malapetaka yang selayaknya tidak dapat dicegah maupun dihindarinya, atau cacat daripada ba rang tersebut atau oleh kesalahannya dari yang mengi rimkannya. Ad. 3. Sifat yuridis dari dapat dikasasinya
Penulis sependapat dengan Prof. Dr. R. Subekti, S.H.,6 yang meyatakan bahwa soal pembagian beban pembuktian ini dianggap sebagai suatu soal hukum atau soal yuridis yang da pat diperjuangkan sampai tingkat kasasi di muka pengadilan kasasi, yaitu Mahkamah Agung. Melakukan pembagian be ban pembuktian yang tidak adil dianggap sebagai suatu pe langgaran hukum atau undangundang yang merupakan alasan bagi Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan hakim atau pengadilan rendahan yang bersangkutan. Hal tersebut sudah terbukti dengan banyaknya putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia yang meme riksa dan memutuskan perkara mengenai masalah beban pembuktian.
Endnote: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Achmad Ali. Beban Pembuktian Dalam Praktik (Skripsi). Ujungpandang, 1980, hlm. 18. Achmad Ali. Ibid. Hasil penelitian putusanputusan pada Pengadilan Tinggi Ujung pandang menyangkut perkaraperkara perdata. Achmad Ali. Op.Cit., hlm. 28. Achmad Ali. Op.Cit., hlm. 28. Prof. Dr. R. Subekti, S.H. Hukum Pembuktian. Penerbit Pradya paramita, Jakarta, 1978, hlm. 17.
Sifat Beban Pembuktian
129
Bagian Kesepuluh BEBERAPA PERMASALAHAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM TEORI DAN PRAKTIK
Ulta Posse Neno Obligator “Tiada orang berkewajiban, melakukan lebih dari kemampuannya.”
Sekalipun beban pembuktian mempunyai asasasas yang telah tercantum pada Pasal 163 KIR, tetapi isi Pasal 163 KIR itu masih sering menimbulkan kekaburan tentang beban pembuktian itu sendiri, baik secara teoritis maupun di dalam praktik/Yurisprudensi. Begitu banyaknya masalah yang sering timbul menguasai beban pembuktian ini, sehingga tidak mungkin penulis dapat mencantumkannya secara lengkap sempurna dalam buku sederhana ini, karena itu hanya beberapa di antaranya yang penulis sempat kemukakan. Bagi mahasiswa, tentunya dapat mengadakan penelitian tersendiri untuk melengkapinya.
A. Permasalahan Teoretis 1. Masih adakah asas beban pembuktian lain yang diatur dalam HIR selain pasal 163 HIR? Pada umumnya kalangan yuris di Indonesia sependapat, jika dikatakan bahwa asas beban pembuktian yang diatur
oleh HIR, hanyalah pada Pasal 163 HIR, tetapi menurut penulis selain Pasal 163 HIR tersebut, maka masih ada satu pasal lain yang terdapat di dalam HIR yang merupakan asas beban pembuktian, yang merupakan kekecualian bagi Pasal 163 KIR yang merupakan asas umum tadi. Pasal yang penulis maksudkan adalah Pasal 176 KIR, yang isinya adalah: “Tiap-tiap pengakuan harus diterima segenapnya, dan hakim tiada wenang akan menerima sebagiannya saja dan menolak yang sebagian lain, sehingga merugikan orang yang mengaku itu; yang demikian itu hanya boleh dilakukan kalau orang yang berutang, dengan maksud akan melepaskan dirinya, menyebutkan perkara yang terbukti benar.” Dengan merenungi isi Pasal 176 KIR di atas, yang me rupakan pasal yang mengatur tentang pengakuan yang tidak dapat dipisahkanpisahkan (onsplitsbare bekentenis, onsplitsbare aveu), sebenarnya juga merupakan asas beban pembuk tian khusus. Sebagai diketahui, bahwa pengakuan adalah salah satu alat dalam hukum acara perdata. Sehingga, sebagai misal: Jika si A menggugat si B, bahwa si B telah berutang se jumlah satu juta rupiah kepada si A, sedang si B selaku tergugat mengakui bahwa benar ia (si B) telah berutang sejumlah satu juta rupiah dari si A; oleh hukum pembuktian perdata, peng akuan si B (tergugat yang merupakan “pengakuan murni”) harus diterima oleh hakim. Dan penggugat karenanya tidak diwajibkan untuk membuktikan berutangnya si B lagi. Tetapi dalam hal dua jenis bentuk pengakuan lain yang bukan pengakuan murni, yaitu: a. Pengakuan dengan klausul. b. Pengakuan dengan kualifikasi. Berlaku Pasal 176 HIR ini. 132
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
Penulis dapat menjelaskannya dengan sebuah contoh kasus imajiner sebagai berikut: Si A menggugat bahwa si B telah berutang sejumlah Rp 50.000, kepada si A. Si B selaku tergugat mengakui bahwa benar ia telah berutang sejumlah Rp 50.000, dari si A, tetapi telah dibayarkan lunas. Jadi dalam hal ini pengakuan si B adalah “pengakuan dengan klausul.” Menurut Pasal 176 ini, tiaptiap pengakuan harus dite rima keseluruhannya, apabila pada pengakuan itu dibutuh kan suatu keterangan yang membebaskan (klausul). Dari ka sus di atas: 1.
Si B mengaku telah berutang sejumlah Rp. 50.000,.
2.
Si B menyatakan bahwa utang yang Rp. 50.000, telah dibayar lunas.
Berdasarkan Pasal 176 KIR ini, maka penggugat yang dihadapkan kepada pengakuan yang tidak dapat dipisahkan itu dapat mengambil dua macam jalan: a.
Pengakuan yang dibubuhi keterangan tadi boleh penggu gat anggap sebagai suatu penyangkalan atas tuntutannya, dan atas dasar penyangkalan itu ia mengajukan bukti bukti yang diperlukan untuk menguatkan tuntutannya itu.
b.
Penggugat mengajukan alat bukti, bahwa pembubuhan ke terangan atas pengakuan tergugat itu tidaklah benar, dan jika ia berhasil dalam pembuktiannya itu maka ia kemudian meminta kepada hakim agar diadakan pemisahan terhadap pernyataan tergugat. Setelah itu penggugat meminta agar tergugat dihukum atas dasar pengakuan yang sekarang telah dibersihkan dari “klausul” itu.
Beberapa Permasalahan Beban Pembuktian
133
2. Apakah Pasal 163 HIR hanya merupakan asas beban pembuktian saja? Pada umumnya beberapa yuris kita menganggap bahwa Pasal 163 HIR (pasal 283 R.bg., Pasal 1865 BW) hanyalah pasal yang merupakan asas “beban pembuktian” (burden of proof ). Memang jika melihat isi Pasal 163 HIR itu, yang paling cepat tertangkap jelas adalah adanya asas “beban pembukti an” adalah para pihak yang beperkara. Yang membebani pembuktian jelas adalah hakim. Tetapi jika kita merenungi lebih teliti dan dalam isi Pasal 163 HIR, akan kita jumpai bahwa selain sebagai asas beban pembuktian, juga berisikan beberapa asas lain, yaitu: a.
Asas pembagian beban pembuktian.
b.
Asas dapat dibuktikannya HAK, selain daripada PERISTIWA.
c.
Asas sifat kasuistiknya beban pembuktian.
Asas pembagian beban pembuktian harus dibedakan dengan asas beban pembuktian sendiri. Jadi, Pasal 163 HIR, sekaligus sebagai: a.
Asas beban pembuktian (burden of proof ).
b.
Asas pembagian beban pembuktian.
Asas pembagian beban pembuktian ini, tampak dari isi Pasal 163 HIR itu bahwa penggugat wajib membuktikan pe ristiwa yang diajukannya, sedang tergugat wajib membukti kan bantahannya. Penggugat tidak diwajibkan membuktikan kebenaran bantahan tergugat, demikian pula membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukan oleh penggugat.
134
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
3. Risiko pembuktian Sekalipun pada bagianbagian terdahulu penulis telah menyinggung sedikit tentang masalah risiko pembuktian ini, tetapi ada baiknya penulis mengemukakannya di sini lebih mendetail lagi. Kalau salah satu pihak yang beperkara dibebani pem buktian, dan ternyata tidak mampu untuk membuktikan, maka pihak itu akan dikalahkan karenanya. Inilah yang di maksudkan dengan risiko pembuktian. Karena adanya risiko pembuktian inilah sebenarnya sehingga masalah beban pembuktian sangat menentukan jalannya peradilan. Hakim karenanya harus sangat berhati hati dalam melakukan pembagian beban pembuktian. Sebagai contohcontoh kasus imajinasi yang menampak kan risiko pembuktian ini, dapat penulis kemukakan sebagai berikut: a. Baik penggugat maupun tergugat samasama tidak mampu mengajukan alatalat bukti berupa alat bukti ter tulis, saksi. Karena itu pengugat meminta agar si tergugat melakukan “Sumpah Delicior” atau sumpah pemutus. Jika tergugat bersedia dan melakukan sumpah yang di mintakan oleh penggugat, maka sebagai risiko pembuk tiannya penggugat harus diputus oleh hakim sebagai pi hak yang kalah. b. Jika si tergugat menolak untuk melakukan sumpah yang dibebankan padanya itu, maka sebagai risiko pembuk tiannya adalah hakim harus menyatakan/memutuskan tergugatlah sebagai pihak yang kalah. c. Kalau tergugat mengembalikan sumpah itu kepada peng gugat, yaitu bahwa penggugatlah; sedangkan penggugat
Beberapa Permasalahan Beban Pembuktian
135
d.
menolak pengembalian sumpah dari tergugat, maka se bagai risiko pembuktiannya hakim harus memutuskan pihak penggugat yang kalah. Adapun kalau penggugat menerima pengembalian sum pah tergugat, maka tergugatlah yang menjadi pihak yang kalah.
Itulah sedikit gambaran tentang risiko pembuktian yang mengikuti beban pembuktian.
B. Permasalahan dalam Yurisprudensi Masalah beban pembuktian dianggap sebagai masalah hukum, karenanya dipersoalkan di tingkat kasasi (Mahka mah Agung) Banyak putusan kasasi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang memeriksa masalah beban pembuktian itu, an tara lain beberapa di antaranya penulis kemukakan berikut ini.
1. Onsplitsbaar aveu Dalam hal penggugat asli menuntut kepada tergugat asli penyerahan sawah sengketa kepada penggugat asli, bersama kedua anaknya atas alasan bahwa sawah tersebut adalah bu del warisan dari almarhum suaminya yang kini dipegang oleh tergugat asli tanpa hak. Yang atas gugatan tersebut tergugat asli menjawab bahwa sawah itu kirakira lima belas tahun yang lalu telah dibeli plas dari penggugat asli oleh almarhum suami tergugat asli. Jawaban tergugat asli tersebut merupakan suatu jawaban yang tidak dapat dipisahpisahkan (onsplitsbaar aveu), maka sebenarnya penggugat aslilah yang harus dibebani untuk membuktikan kebenaran dalilnya, i.c. bahwa tanah sawah sengketa adalah milik almarhum suaminya. 136
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
(Putusan Mahkamah Agung tanggal 28 Mei 1958 Nomor 8 K/Sip/1957, dalam perkara Bok Ngali melawan Bok Maji Siti Fatimah).
2. Membuktikan sesuatu yang tidak biasa Pihak yang menyatakan sesuatu yang tidak biasa harus membuktikan hal yang tidak biasa itu, i.c. orang yang diberi hak untuk memungut uang sewa pintupintu toko meng ajukan bahwa pintu toko tersebut tidak selalu menghasilkan sewa. (Putusan Mahkamah Agung tanggal 21 November 1956 Nomor 162 K/Sip/1955, dalam perkara: Pr. Halijah binti Wan Abdoer rachman Albasi melawan para ahli waris dari Laisengh).
3. Isi surat diartikan dua macam Apabila isi surat dapat diartikan dua macam, yaitu me nguntungkan dan merugikan bagi penanda tangan surat, pe nanda tangan surat ini patut dibebani untuk membuktikan positumnya. (Putusan Mahkamah Agung tanggal 11 September 1957 Nomor 74 K/Sip/1955 dalam perkara M. Soleh Unding bin Haji Abdullah lawan Herman Uzir bin Arsjat).
4. Kontrak jual beli Dalam persengketaan jual beli, di mana pihak pembeli mendalilkan bahwa ia belum menerima seluruh barang yang dibelinya menurut kontrak, sedang pihak penjual memban tah dengan mengemukakan bahwa ia telah menyerahkan seluruh barang yang diperjualbelikan, pihak pembeli harus dibebani pembuktian mengenai adanya kontrak dan pem bayaran yang telah dilakukan, sedang pihak penjual me Beberapa Permasalahan Beban Pembuktian
137
ngenai barangbarang yang telah diserahkan. (Putusan Mahkamah Agung tanggal 30 Desember 1957 No mor 197 K/Sip/1956, dalam perkara Saleh Bisjir melawan N.V. Cultur Maats chappy “Bayabang”).
5. Cap dagang Pihak yang mendalilkan bahwa cap dagang yang telah di da�arkan oleh pihak lawan telah tiga tahun lamanya tidak di pakai harus membuktikan adanya nonusus selama tiga tahun itu. Dan tidaklah tepat bila dalam hal ini beban pembuktian diserahkan kepada pihak lawan, yaitu untuk membuktikan bahwa ia selama tiga tahun itu secara terusmenerus menggunakan cap dagang termaksud. (Putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Januari 1957 Nomor 108 K/Sip/1954 dalam perkara Handelsvereniging Hermsen Verwey & Dunlop N.V. melawan Sie Kian Bing).
6. Sengketa tanah perkarangan Dalam hal penggugat mendalilkan ia menuntut penye rahan kembali tanah pekarangan tersengketa yang kini di duduki oleh tergugat, oleh karena pekarangan tersebut dahulu hanya di pinjamkan saja oleh penggugat kepada tergugat. Adapun tergugat membantah dengan dalil bahwa peka rangan tersebut dahulu benar milik penggugat, tetapi peka rangan itu telah dibelinya lepas dari penggugat; pembebanan pembuktian haruslah sebagai berikut: 1. penggugat diberi kesempatan untuk membuktikan hal peminjaman tanah tersebut kepada tergugat; dan 2.
kepada tergugat diberi kesempatan untuk membuktikan tentang pembelian lepas tanah tersebut.
138
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
(Putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Januari 1957 Nomor 94 /K/Sip 1956 dalam perkara Sani ban melawan Bok Karsija).
7. Terguggat asal menyangkal Karena tergugat asal menyangkal, penggugat asal harus membuktikan dalilnya; alasan pengadilan tinggi untuk mem bebankan pembuktian pada penggugat asal karena tergugat asal menguasai sawah sengketa bukan karena pembuatan melawan hukum; tidak berdasarkan hukum. (Putusan Mahkamah Agung tanggal 11 September 1975 No mor 540 K/Sip/1972 dalam perkara Lai Masina melawan Lomo Dea dan Tori’buta).
8. Tentang Pasal 176 HIR Perkembangan Yurisprudensi mengenai Pasal 176 HIR (pengakuan yang terpisah) ialah bahwa dalam hal ada peng akuan yang terpisahpisah hakim bebas menentukan pada siapa harus dibebankan kewajiban pembuktian. (Putusan Mahkamah Agung tanggal 27 November 1975 No mor 272 K/Sip/1973, dalam perkara Sjarifudin Gaffar al. Pak Ekut Sepik melawan Haji Abdul Hamid & Haji Achmad M.)
9. Juga tentang Pasal 175 HIR Penggunaan Pasal 176 HIR ada baiknya dalam praktik peradilan terutama dalam halhal tergugat adalah pihak yang ekonomis lemah. Sebaliknya, di dalam hal lainlainnya sebaiknya harus diberi kesempatan kepada hakim untuk di dalam tiaptiap perkara tersendiri mempertimbangkan, pihak manakah yang layak dapat dilindungi, sehingga lawannyalah yang ha rus dibebani pembuktian. Beberapa Permasalahan Beban Pembuktian
139
(Putusan Mahkamah Agung tanggal 30 Agustus 1958 Nomor 134 K/Sip/1958, dalam perkara A.8. Papilaya melawan Lie Boen Ong).
140
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
Bagian Kesebelas TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP BEBAN PEMBUKTIAN
Melius est accipere quamfacere injuriam “Lebih baik mengalami ketidak-adilan daripada melakukan ketidak-adilan.”
A. Sedikit tentang Kegunaan Sosiologi Hukum Sosiologi hukum bukan cabang ilmu hukum yang berdiri sendiri, melainkan hanya salah satu cara untuk mempela jari hukum. Sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Dr. R.M. Su dikno Mertokusumo, S.H., 1 bahwa hukum dapat ditinjau dari tiga cara yang ketigatiganya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah masingmasing: 1. Menanyakan tentang lahirnya/jadinya lembagalembaga hukum dan pandanganpandangan hukum, yang disebut juga mengarangkan lahirnya hukum secara kausal ge netis. Metode ini melihat hukum sebagai perilaku serta pertimbanganpertimbangan manusia yang hendak me nerangkan kenyataan yang phisispsychis secara historis sosiologis, dihubungkan dengan gejalagejala lain. Ini adalah metode sejarah hukumhukum sosiologi hukum. 2. Menanyakan apa hukum itu (bukan bagaimana menjadi hukum) dan sekaligus menjawab pertanyaan apa yang
sah, apa yang dalam keadaan konkret tertentu harus terjadi menurut hukum. Metode ini disebut metode yu ridis yang melihat peraturan hukum yang berlaku se bagai satu kesatuan yang dapat diterangkan dari dirinya sendiri, menerangkan secara logis sistematis. 3.
Menerangkan bagaimanakah (apakah) hukum itu seha rusnya? Mencari ukuran untuk menilai hukum. Mena nyakan tentang keadilan. Ini merupakan metode filsafat hukum yang menilai hukum.
Sosiologi hukum adalah sangat berguna bagi kalangan hukm, yaitu kaum profesi hukum. Yang penulis maksudkan sebagai kaum profesi hukum adalah para sarjana hukum; yang profesinya di bidang: a.
Pendidikan hukum: Dosen Fakultas Hukum.
b.
Pembinaan hukum: antara lain yang aktif di BPHN.
c.
Perancangan hukum: ahli hukum yang duduk dalam lembaga legislatif.
d.
Pelaksanaan hukum: jaksa, hakim, pengacara, dan lain lainnya.
Di sini perlu penulis tegaskan bahwa pengertian profesi itu tidak sesederhana yang sering digunakan orang awam, yang sering mengindentikkan “profesi” dengan “pekerjaan”. Bandingkan pendapat penulis dalam harian Pedoman Rakyat 1982.2 Pengertian profesi menurut Dietrich Rueschemeyer3 adalah: “�e professions are conceived of as service occupations that: (1) apply a systematics body of knowledge to problems which; (2) are highly relevant to central value of the society.”
142
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
Jadi, profesi itu adalah lebih sempit dari pengertian peker jaan. Sebab profesi adalah pekerjaan harus merupakan penerap an suatu ilmu untuk pemecahan problem dan harus sangat relevan dengan nilainilai sentral dari suatu masyarakat. Karena itu, Districh Rueschemeyer mengatakan lagi:4 “�eir high degree of learned competence creates special problems of social control, laymen cannot judge the professional performance; in many cases they cannot evenset the concrets goals for the professional’s work ....”
Penulis sependapat dengan apa yang dikemukakan Rueschemeyer di atas, karena dalam kenyataannya memang pekerjaan profesional itu sulit untuk dinilai oleh masyarakat awam. Katakanlah, suatu putusan pengadilan dengan bahasa profesi khas hukum akan membingungkan bagi orang awam yang membacanya. Sama saja dengan pengertian profesi yang dikemukakan oleh H. P. Fairchild 5 bahwa yang dimaksudkan dengan profesi itu adalah kegiatankegiatan yang mempunyai khas: “... A high degree of technical skill, entailing specialized preparation generally at recognized instituions of learning, official regulation and licensure, a stong feeling of class honour and solidarity, manifested ini vocational associations to secure a monopoly of the service, and in codes of ethics enjoining the responsibility of the profession to the collective it serves.”
Kegunaan sosiologi hukum bagi kaum profesi hukum antara lain adalah: 1.
bagaimana memahami hukum dengan mengaitkannya de ngan konteks kemasyarakatan, dengan kenyataan sosial;
2.
menganalisis sejauh mana efektivitas hukum di dalam masyarakat, baik sebagai alat “sosial kontrol” maupun sebagai “social engineering ”; Tinjauan Sosiologi Hukum ...
143
3.
mengkonkretkan kaidah hukum dan pengertian hukum yang belum jelas atau kurang pasti;
4.
secara tidak langsung dapat menjadi bahan bagi pem bentukan hukum yang merupakan hukum yang hidup (living law) oleh hakim di dalam putusannya;
5.
dan sebagainya.
Masih banyak lagi kegunaan sosiologi hukum ini, tetapi yang penulis cantumkan di atas yang erat kaitannya dengan dunia hukum acara saja, khususnya bagi hakim. Mengapa harus dengan sosiologi hukum, mengapa tidak dengan ilmu hukum dogmatis saja? Hal ini karena sesuai apa yang dikemukakan oleh Harold Laski,6 bahwa: “�e supreme problem for the jurists of this epoch is the need to awaken to the responsibilities of the issues they confront. For only a realistic awareness of what that issue fully implies can save us from the grim regours of a new dark age. ”
George Gurvitch7 membagi sosiologi hukum itu atas tiga macam: 1.
Sosiologi hukum sistematis.
2.
Sosiologi hukum diferensial.
3.
Sosiologi hukum genetis.
Dua lainnya tidak akan kita persoalkan di sini, tetapi hanya “Sosiologi Hukum Sistematis” atau yang disebut juga “Mikrososiologi Hukum” yaitu yang objek pembahasannya antara lain: lembagalembaga hukum, termasuk tugas hakim di Pengadilan.
144
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
B. Tugas Hakim dalam Kacamata Sosiologi Hukum Pada bagianbagian terdahulu, penulis telah mengemu kakan tugastugas hakim secara optik ilmu dogmatik hukum atau menurut teori ilmu hukum, yang didasarkan pada bunyi perundangundangan dalam arti luas. Misalnya, menurut UndangUndang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 14 Tahun 1970). Tetapi, optik sosiologi hukum tidak ingin melihat bagai mana tugas hakim di dalam undangundang atau apa yang tertulis, tetapi bagaimana tugas hakim di dalam kenyataannya. Sebab, pandangan sosiologi hukum adalah seperti yang dikemukakan oleh tokoh Eugen Echrlich8 bahwa: “�e centre of gravity of legal developmentlies not in legislation, no
in juristic science not in judicial decision but in society it self ”.
Menurut Dr. Soerjono Sukanto, S.H., M.A.,9 di dalam ilmu hukum sebenarnya dikenal paling sedikit ilmu hukum tiga pendekatan terhadap keputusan pengadilan, yaitu: 1. Approach tradisional. 2. Approach konvensional. 3. Approach behavioral. Kadangkadang dipecah menjadi dua saja: 1.
Yang tradisional.
2.
Yang modern.
Dengan yang tradisional dimaksudkan sebagai pende katan aliran “analytical jurisprudence” dari John Austin. Adapun pendekatan yang modern adalah aliranaliran Sosiological Jurisprudence dan Realistic Jurisprudence, yang ber kembang di USA. Tinjauan Sosiologi Hukum ...
145
Seberapa pandangan sosiologis tentang tugas hakim, antara lain adalah: 1.
Tugas hakim adalah sebagai policy makers. Dalam hu bungannya sebagai policy makers hakim tidak hanya bertugas untuk menemukan dan menerapkan hukum, tetapi juga untuk membentuk hukum. Dasar pandangan ini adalah bahwa hukum adalah bagian dari sistem sosial, sehingga kalau hakim sematamata hanya menemukan hukum, tidak akan ada political jurisprudence, oleh karena pusat perhatian politik adalah kekuasaan dan ke kuasaan berarti memilih.
2.
Tugas hakim adalah mengkonkretkan aturan hukum dengan kombinasi cara berpikir hakim itu sendiri, serta faktorfaktor sosial lainnya yang membentuk pribadi hakim itu selaku seorang warga masyarakat. Dalam hal ini, walaupun dikatakan bahwa tugas hakim di dalam jabatannya selaku hakim harus dipisahkan secara tugas dari faktor pribadi hakim, tetap saja di dalam kenya taannya adalah sangat sulit memisahkan antara faktor pribadi hakim dengan tugas jabatannya. Pandangan ini bertitik tolak bahwa hakim sebagai manusia adalah makhluk sosial yang mustahil bisa dilepaskan bagai ro ket yang terlepas dari induknya.
Sehubungan dengan pandangan kedua di atas, maka para ahli sosiologi hukum sependapat bahwa faktor sosial yang turut memengaruhi hakim di dalam memeriksa dan menjatuhkan putusanputusannya adalah antara lain: a.
faktor etnis si hakim itu sendiri;
b.
faktor etnis dari nyanyanya;
c.
faktor latar belakang pendidikan dari hakim itu;
146
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
d.
Faktor kondisi ekonomisnya (gaji serta penghasilan lain nya);
e.
faktor keyakinan agamanya;
f.
faktor latar belakang status sosial keluarga/orang tua si hakim;
g.
dan sebagainya.
Penulis tentu saja tidak akan membahas secara luas satu persatu faktorfaktor di atas, tetapi sebagai contoh hanya akan mengemukakan tiga contoh konkret yang terjadi dalam fakta: 1.
Berdasarkan hasil penelitian seorang sosiolog di Ameri ka Serikat, diperoleh data bahwa hakim yang berasal dari keluarga kaya pada umumnya cenderung “memihak” pada pihak yang juga berasal dari keluarga kaya di dalam perkara perdata. Dikatakan pada umumnya kalau data membuktikan lebih dari 50% hakimhakim yang men jadi sampelnya terbukti demikian.
2.
Menurut seorang ahli sosiologi hukum kita di Indonesi, Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., 10 seorang hakim ke nalannya (penulis sengaja tidak mencantumkan na manya) terkenal sangat jujur dalam menjalankan tu gastugasnya sebagai hakim, kejujurannya itu akibat pengaruh “keimanannya” yang kuat dari hakim itu akan kepercayaan agama yang dianutnya, sehingga cara ber pikir yang dibentuk oleh ajaran agamanya membuat pu tusanputusannya senantiasa objektif.
Masih sehubungan dengan tugas hakim ini, ada suatu pendapat yang menarik dari Lawrence Friedman11 yang telah mencoba untuk menarik garis persamaan antara pengadilan dengan suatu depertement store (Toserba). Menurut Prof. Friedman, pengelolaan kedua badan itu akan tampak dalam Tinjauan Sosiologi Hukum ...
147
bentuk reaksi yang hampir sama pada waktu keduanya menghadapi kenaikan dalam jumlah persoalan yang datang kepada mereka. Lembaga pengadilan pada waktu menghadapi kenaikan dalam jumlah perkara masuk, sedangkan Toserba pada waktu menghadapi kenaikan dalam jumlah (volume) kegiatan bisnisnya. Kenaikan dalam jumlah kegiatan tersebut tidak serta merta menimbulkan kesulitan. Bahkan ampai pada satu tingkat tertentu, kenaikan itu bagi Toserba yang bersangkutan merupakan suatu pahala. Dengan demikian, sejumlah pekerja akan memperoleh tempat, cabangcabang dibuka dan penambahanpenambahan akan ditambah, maka langganan akan mengalami perlakuan atau pelayanan yang kurang menyenangkan. Tempat menjadi berjubel, pelayan merosot, tempat parkir sulit, dan sebagainya. Selanjutnya, oleh Profesor Friedman dikatakan12 bahwa kedudukan pengadilan di Amerika Serikat adalah sama dengan toserba yang menghadapi kenaikan dalam jumlah bisnisnya, tetapi tidak mampu memperluas fasilitas dan stafnya. Dika takan bahwa respons yang diberikan oleh lambagalembaga pengadilan di situ terhadap tuntutantuntutan baru adalah bagaikan rayapan seekor kurakura, artinya lamban sekali. Hal ini disebabkan oleh karena penguasaan atas urusan ke pegawaian tidak ada di tangan lembaga itu sendiri. Pasaran kerja relatif tetap; pengadilanpengadilan tidak mungkin membuka cabangcabang atas kemauan sendiri oleh karena terikat oleh birokrasi dengan prosedurnya yang sering ber belitbelit. Dan lainlain persoalannya yang semacamnya.
C. Beban Pembuktian dari Optik Sosiologi Hukum Hakim yang membebani para pihak dengan pembuktian, 148
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
dan hakim adalah seorang manusia, makhluk sosial, warga masyarakat. Penggugat dan tergugat adalah yang dapat dibebani dengan pembuktian, dan baik tergugat maupun penggugat kedua adalah manusia biasa yang juga adalah “zoon politican” atau makhluk sosial. Memang sudah ada Pasal 163 HIR sebagai asas beban pembuktian, tetapi jika salah satu pihak menggunakan faktor faktor X untuk memengaruhi perasaan subjektivitas hakim yang juga adalah manusia biasa, maka hakim dapat memain kan beban pembuktian ini untuk keuntungan salah satu pihak. Halhal yang menyangkut beban pembuktian, yang da pat dimainkan oleh seorang hakim yang sudah a’priori cukup banyak, mengingat betapa abstraknya asas umum beban pembuktian yang terdapat dalam Pasal 163 HIR. Suatu keuntungan untuk menutupi kelemahan undang undang ini adalah karena masalah pembagian pembuktian dianggap sebagai masalah yuridis yang dapat dikasasi ke Mahkamah Agung, sehingga meskipun pengadilan negeri atau pengadilan tinggi salah menerapkan pembagian beban pembuktian, entah kesalahan itu dikarenakan ketidaktahuan ataupun kesalahan yang diakibatkan faktorfaktor subjek tivitas, maka pada tingkat kasasi kesalahan tersebut dapat dipulihkan kembali. Karena itu, sepatutnyalah Mahkamah Agung lebih ba nyak memberikan aturanaturan konkret melalui putusan kasasinya dalam hal beban pembuktian ini. Adanya asas yang berdasarkan yurisprudensi, bahwa pi hak yang dibebani pembuktian adalah pihak yang paling sedikit dirugikan jika harus membuktikan, belum menjamin terlak sananya pembagian beban pembuktian secara adil dan patut; Tinjauan Sosiologi Hukum ...
149
karena biasa saja disalahtafsirkan oleh beberapa oknum hakim. Bagaimana upaya untuk mencegah adanya penyalah gunaan wewenang (onrechtmatige overheidsdaad ) dari ok num hakim dalam hal membagi beban pembuktian ini? Apakah cukup dengan sanksisanksi melalui perundangun dangan saja? Faul Bohannan,13 seorang ahli antropologi, pernah me ngatakan bahwa: “Hukum adalah cara yang ditempuh oleh masyarakat untuk mengobati dan mempertahankan dirinya.” Dengan demikian, untuk mencegah masalah yang tim bul di dalam ruang lingkup pengadilan (termasuk oknum hakimnya) tidaklah cukup hanya dengan penanganan dari segi hukum saja. Yang penting diperhatikan adalah banyak faktor, misalnya: a.
bagaimana meningkatkan penghasilan resmi para ha kim, sehingga keadaan ekonomis rumah tangganya cukup; sehingga merupakan rem untuk “mencari tam bahan penghasilan” dengan cara melanggar hukum atau de tournament de pouvoir ;
b.
bagaimana meningkatkan pengetahuan hukum para ha kim (terutama hakim junior) dengan melengkapi kantor/ ruang para hakim di pengadilan dengan perpustakaan yang memadai;
c.
bagaimana meningkatkan minat membaca para hakim kita;
d.
dan sebagainya.
(Secara lebih jelas, baca artikel penulis tentang Aspek So silogis Hakim. 14
150
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
Endnote: 1.
2. 3.
4. 5. 6. 7. 8.
9.
10.
11.
12. 13.
14.
Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumo, S.H., dikutip oleh Achmad Ali, dalam “Beberapa Permasalahan Mengenai Alat Bukti Tertulis, serta Peranan dan Perkembangannya dalam Hukum Acara Perdata”. (Sebuah Makalah) dalam program Pendidikan Pascasarjana UGM Yogyakarta, 1982, hlm. 6. Achmad Ali, “.... termuat dalam harian Pedoman Rakyat tgl ... 1982, Ujungpandang. Districh Rueschemeyer. “Lawyers and Docters: A Comparison of Two Professions”, termuat dalam “Sociology of Law”. (Selected Readings), Edited by Vilhelm Aubert, Penguin Books, Baltimore, Maryland, 1969, hlm. 200. Ibid . M.P. Fairchild. “Dictionary of Sociology and Related Scineces ”. Ames, Iowa: Littlefield, Adam & Co. 1959, hlm. 235. Laski, N. J. “ A Grammar of Politics”. Fith Editons, Londong: Steven & Sons, 1966, hlm. XXVII. George Gurvitch. “Sosiologi Hukum” (terjemahan Sumantri Mertodipura). Bharatara, Jakarta, 1961, hlm. 233240. Eugen Echrlich, dikutip oleh Achmad Ali dalam artikel, “ Aspekaspek Sosiologis dari Putusan Hakim ”, termuat dalam harian Pedoman Rakyat , tanggal 22 Maret 1982. Dr. Soerjono Sukanto, S.H., dalam kuliah sosiologi hukum bagi peserta pendidikan Pascasarjana Hukum UGM Yogyakarta 1981 yang diikuti oleh penulis antara lain. Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., kuliah sosiologi hukum bagi peserta pendidikan Pascasarjana Hukum UGM Yogyakarta 1981 yang diikuti oleh penulis antara lain. Lawrence Friedman, dikutip dari Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. Hukum Masyarakat dan Pembangunan”. Penerbit Alumni, Bandung, 1976 , hlm. 8889. Ibid . Paul Bohannan, dikutip dari Achmad Ali. “Peranan Sarjana Hukum dalam Era Pembangunan”. Harian Pedoman Rakyat , tanggal 23 Februari 1981. Achmad Ali, “ Aspek-aspek Sosiologis dari Putusan Hakim”. Harian Pedomana Rakyat , tanggal 22 Maret 1982. Tinjauan Sosiologi Hukum ...
151
Bagian Kedua Belas PERJANJIAN PEMBUKTIAN
A. Pengertian Perjanjian Pembuktian Perjanjian pembuktian (Bewijsovereenkomst ) adalah per janjian antara dua pihak yang menentukan aturan pem buktian yang bagaimanakah yang akan dilakukan dalam prosedur tertentu. Jadi, perjanjian pembuktian ini merupakan kekecualian dari ketentuan umum mengenai pembuktian yang berlaku dalam hukum acara perdata. Perjanjian pembuktian ini adalah perjanjian yang diada kan oleh kedua pihak yang mengadakan hubungan keper dataan, yang dilakukan sebelum terjadinya persengketaan.
B. Isi Perjanjian Pembuktian Isi dari suatu perjanjian pembuktian itu ada tiga: 1.
Untuk menyampingkan alatalat tertentu.
2.
Justru untuk mengizinkan alatalat bukti tertentu yang dalam keadaan normal tidak digunakan.
3.
Mengatur kekuatan pembuktiannya.
Jadi, perjanjian pembuktian ini dapat mengambil atur anaturan di luar BW; tetapi dapat juga sepakat untuk meng
gunakan aturanaturan tertentu di dalam BW, misalnya me reka mengadakan perjanjian bahwa satu saksi saja sudah cukup; jadi bertentangan dengan asasasas umum kesaksian, Unus Testis Nullus Testis (satu saksi bukan saksi). Perjanjian pembuktian ini bisa juga bahwa mereka meng adakan perjanjian bahwa jika kelak timbul perselisihan antara mereka berdua, maka satusatunya alat bukti tertulis misal nya, sedang pembuktian dengan saksi tidak dibolehkan.
C. Hal-hal yang Terlarang untuk Diperjanjikan Sekalipun hukum kita di Indonesia membolehkan orang mengadakan perjanjian pembuktian ini, tetapi tetap ada batasan atau larangan halhal apa yang dilarang untuk di perjanjikan. Halhal yang terlarang untuk diperjanjikan dalam per janjian pembuktian ini adalah: 1.
Membolehkan para pihak menggunakan buktibukti lain di mana undangundang dengan tegas telah mene tapkan suatu alat bukti sebagai satusatunya yang ber laku, misalnya apa yang ditetapkan dalam Pasal 180 BW bahwa dalam hal tidak adanya persatuan harta kekayaan dalam perkawinan, maka masuknya barang barang tidak dapat dibuktikan dengan cara lain hanya dengan mencantumkannya dalam perjanjian kawin, atau dengan surat pertelahan yang ditandatangani oleh notaris dan para pihak yang bersangkutan, surat mana harus dilekatkan pula pada surat asli perjanjian kawin. Dalam hal di atas, kedua pihak tidak boleh membuat perjanjian pembuktian bahwa satusatunya alat bukti yang digunakan adalah saksi misalnya, karena berten tangan dengan Pasal 150 BW tadi.
154
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
2.
Meniadakan kemungkinankemungkinan pembuktian lawan di mana undangundang secara tegas menjamin adanya hak mengadakan pembuktian lawan itu, misalnya yang ditetapkan di dalam Pasal 274 ayat 2 KUH Dagang yang menegaskan bahwa si penanggung (perusahaan asu ransi) selaku berhak untuk membuktikan di muka hakim bahwa harga yang disebutkan dalam polis terlalu tinggi.
3.
Mengadakan perjanjian yang bermaksud menutup sama sekali kemungkinan pembuktian lawan (tegenbewijs). Per janjian semacam ini dianggap sebagai melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, karena berarti menyerahkan suatu pihak kepada kesewenangwenangan pihak lawannya.
D. Kaitan Perjanjian Pembuktian dengan Alat Bukti Tulisan Perjanjian pembuktian ini sangat erat kaitannya dengan “alat bukti tertulis”, karena hampir semua perjanjian pem buktian cenderung memperjanjikan bahwa satusatunya alat bukti yang boleh digunakan adalah alat bukti tertulis. Jadi, dengan diperbolehkannya para pihak mengadakan perjanjian pembuktian, juga merupakan salah satu faktor yang lebih memperbesar peranan alat bukti tertulis.
E. Hal-hal Lain Mengenai Perjanjian Pembuktian Suatu hal yang penting diketahui adalah bahwa perjan jian pembuktian ini berbeda dengan suatu jenis perjanjian lain, di mana diperjanjikan bahwa sesuatu unsur dari per jan jian itu akan ditetapkan dengan suatu cara tertentu. Misalnya, banyak terdapat dalam perjanjian asuransi, bahwa besarnya kerugian harus ditetapkan oleh beberapa ahli.
Perjanjian Pembuktian
155
Perjanjian semacam ini tidak mengenai pembuktian, tetapi mengatur mengenai cara menetapkan sesuatu. KUH Perdata (BW) sendiri membolehkan bahwa perjanjian jual beli harga dapat diserahkan kepada perkiraan seorang pihak ketiga (Pasal 1465 BW). Di dalam perjanjian pembuktian dibolehkan untuk memperjanjikan, bahwa suatu alat bukti bebas dalam per janjian bagi kedua belah pihak merupakan suatu alat bukti yang mengikat antara kedua pihak, misalnya antara penjual dan pembeli diperjanjikan bahwa surat timbang, yaitu surat yang dibuat oleh seorang pihak ketiga, dan karena itu me nurut hukum pembuktian hanya mempunyai kekuatan pem buktian mengikat tentang diserahkannya sejumlah barang kepada pihak pembeli.
156
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
DAFTAR LITERATUR LANGSUNG (Yang Terdapat dalam Kutipan)
1.
Achmad Ali. Bahan Pembuktian dalam Proses Perdata. Skripsi, Ujungpandang, 1980.
2.
—————. Peranan Pengadilan dalam Sistem Kodifikasi. (Makalah), Pendidikan Pascasarjana UGM., Yog yakarta, 1981.
3.
—————. Beberapa Permasalahan Mengenai Alat Bukti Tertulis, serta Peranan dan Perkembanganya dalam Hukum Acara Perdata. (Makalah), Pendidikan Pas casarjana, UGM. Yogyakarta, 1982.
4.
—————. Peranan Sarjana Hukum dalam Era Pembangunan. (Artikel), termuat dalam Pedoman Rak yat , Ujungpandang, tanggal 23 Februari 1981.
5.
—————. Aspek-aspek Sosiologis dari Putusan Hakim. (Artikel), termuat dalam harian Pedoman Rakyat , Ujung pandang, tanggal 22 Maret 1982.
6.
AsserAnemaVerdam. Mr. C. Asser’s Handleiding tot de beoefening van hat Nederland Burgelijk Recht . Vijfde – Deel: Van Bewijs, N.V. Witgevers Maat schappij, W.E.J. Tjeenk Uillink, Zwolle 1953.
7.
AsserScoltenViarda. Mr. C. Asser’s Hanleiding tot de beoefening van het Nederland Bugerlijk Recht , Earste Deel Earste Stuk: Familia recht, N, V. Witgevers Mastschappij
N.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1947. 8.
Burrows, Sir Roland. Phipson on the Law of Evidence. Ninth Edition, London, Sweet & Maxwell Limited, 1952.
9.
Busmann, Mr. C.U. Star: Hoofdstukken van Burgerlijke Rechtsvordering, Haarlem, De erven F. Bohn N.V., 1948.
10. Baker, Ernest. Principles of Social and Political �eory . 1963. 11. Cleary, Edward W. McCormick’s Handbook of the Law of Evidence. St. Paul Minn, West Publishing Co. 1972. 12. Cardozo LLD, Benyamin N. �e Nature of Judicial Process. New Haven, Yale University Press. 13. Dorman, Peter J. Dictionary of Law. Running Press, Philadelphia, Pennsylvania, USA, 1976. 14. Drion, Prof. Mr. H. Bewijzen in hetrecht . R.M. �emis 1966 af1. 5/6. 15. Diamond, A.S.. Primitive Law. Second Editions, Ch. xxx. 16. Enschede, Prof. Mr. Ch. J. Bewijzen in het strafrecht . R.M. �emis 1966 af1. 5/6. 17. Fairchild, H.P. Dictionary of Sociology and Related Scineces. Ames, Iowa: Littlefield, Adam & Co. 1959. 18. Gurvitch, George. Sosiologi Hukum. (Terjemahan Sumantri Mertodipura), Bharatara, Jakarta, 1961. 19. Gillers, Stephen. An American Civil Liberties Union Handbook: �e Rights of Lawyers and Clients. A Discus Book, Published by A von Books, USA, 1979. 20. Jacobs, Milton C. Civil Trial Evidence, Second Edition, New York, 1949. 21. Laski, N.J. A Grammar of Politics. Fith Editions, London, Steven & Sons, 1966. 158
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
22. Mayers, Lewis. �e Machinery of Justice; An Introduction to Legal Structure and Process. Foundations of law in a business Socies, Series, Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs, New Jersey, 1963. 23. Paton, G. W. A Text Book of Jurisprudence. Oxford, at the clarendon Press, 1964. 24. Pound, Roesco. Perspective of Law. Essay for Austin Wakeman Scott, Little Brown and Company, Boston, Toronto, USA, 1964. 25. Pound, Roesco. An Introduction to the Philosophy of Law. New Haven, Yale, University Press, 1959. 26. Pitlo, Prof. Mr. A. Pembuktian dan Daluwarsa. (Terjemahan), PT Intermassa, Jakarta, 1976. 27. Sunarjati Hartono, Dr.S.H. Kapita Selekta Perbandingan Hukum. Penerbit Alumni, Bandung, 1976. 28. Sudikno Metokusumo Prof. Dr., S.H. Hukum Acara Perdata Indonesia. Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1981. 29. Sudikno Metokusumo Prof. Dr., S.H. Beberapa Asas Pembuktian Perdata dan Penerapannya dalam Praktik. Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1980. 30. Supomo, Prof. Dr. R. S.H. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Penerbit Fasco, Jakarta, 1958. 31. Subekti, Prof. Dr. R. S.H. Hukum Pembuktian. Penerbit Pradyaparamita, Jakarta, 1978. 32. Sukardono, Prof. R. S.H. Penggunaan Upaya-upaya Pembuktian dalam Prosedur Perdata. Majalah Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, 1971 No. 12. 33. Bhklar, Judith. Legalism. Cambridge, Harvard University Press, 1964. 34. Stein, Mr. P.A. “Compendium van het–Burgelijk ProDaftar Literatur Langsung
159
cesrecht ”, Kluwer, Deventer, 1973. 35. Soejono Sukanto, Dr. S.H. Kegunaan Sosiologi Hukum bagi Kalangan Hukum. Penerbit Alumni, Bandung, 1979. 36. Satjipto Rahardjo, Prof. Dr. S.H. Hukum Mayarakat dan Pembangunan. Penerbit Alumni, Bandung, 1976. 37. Hemphill & Hemphill. �e Dictionary of Practical Law. Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs. 38. �esing, Mr. H. De Grondslogan van de Bewijslast in de Civila Procedure”. S’Gravenhage, 1961. 39. �ayer, James Bradley. Preliminary Treatise on Evidence, 1898. 40. Wirjono Prodjodikoro, �ayer, Prof. Dr. R. S.H. Hukum Acara Perdata Indonesia. Penerbit Sumur Bandung, 1980. 41. Wiersma, Prof. Mr. H. Bewijzen in het Burgelijk Geding , R.M. �emis, 1966. 42. Wise. B. R. Cutlines of Jurisprudence. 1959. 43. ——————. Compendium Hukum Belanda. 44. ——————. Journal of Forensic Science. Vol. 9. No. 4. 45. ——————. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman. 46. Subekti, Prof. R., S.H. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Penerbit Pradnyaparamita, Jakarta, 1978. 47. Subekti, Prof. R., S.H. Kitab Undang-Undang Dagang dan Undang-Undang Kepailitan. Penerbit Pradnyaparamita, Jakarta, 1973. 48. Chidir Ali. Yurisprudensi Indonesia tentang Hukum Pembuktian. Jilid 1, Binacipta, 1981. 49. ——————. Idem, Jilid 2. 50. Retnosupartinah & Kunthoro Basuki. Kumpulan Un-
160
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
dang-undang dan Peraturan-peraturan Pemerintah yang Berhubungan dengan Masalah Peradilan. Penerbit Seksi Peradilan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1980. 51. Tresna, Mr. R. Komentar HIR. Penerbit Pradnyaparamita, Jakarta, 1975. 52. Wantjik Saleh, K. S.H. Intisari Yurisprudensi Pidana dan Perdata. PT Ichtiar Baru, Jakarta, 1973.
Daftar Literatur Langsung
161
DAFTAR LITERATUR TIDAK LANGSUNG (Daftar Literatur yang Merupakan Bahan Bacaan dalam Menyusun Buku Ini, Tetapi Tidak Terdapat dalam Kutipan)
1.
Apeldoorn, Prof. Mr. L.J, Van. Pengantar Ilmu Hukum. (Terjemahan Utarid Sandino). Penerbit Nooedhoff Kolff N.V., Jakarta 1957.
2.
Achmad Sanusi, Prof. Dr. S.H. Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia. Tarsito, Bandung, 1977.
3.
Adnan Buyung Nasution. Bantuan Hukum di Indonesia. Penerbit LP3ES,Jakarta, 1981.
4.
Amin, S.M. Hukum Acara Pengadilan Negeri. Penerbit Pradnyaparamita, Jakarta, 1976.
5.
—————. Bertamasya Ke Alam Hukum. Penerbit Fasco, Jakarta, 1954.
6.
A.T Hamid. Cara-cara Beperkara dan Praktik Pengadilan. Penerbit Dana Kesejahteraan Pegawai Pengadilan Negeri Ujungpandang,1980.
7.
Clad.J.C. Beberapa catatan tentang pengalaman Selandia Baru dalam pelayanan hukum kepada mereka yang eko nominya lemah. Termuat dalam majalah hukum dan keadilan, No. 14, 1980.
8.
Hapsoro, Prof. B. R. M. S.H., “Sistem Peradilan di KratonKraton Jawa Tengah,” termasuk dalam majalah Sangkakala Peradilan, No. 5, 1972.
9.
Hermin Hadati Koeswadji. Beberapa Permasalahan Hukum dan Pembangunan Hukum, dan Pendidikan Hukum, Hukum dan Bantuan Hukum. Penerbit PT Bina Ilmu, Surabaya, 1980.
10. Kusumandi Pudjosewojo. Pedoman Pelajaran Tata Hukun Indonesia. Penerbitan Aksara Baru Jakarta, 1976. 11. Karjadi, M. Peradilan di Indonesia. Penerbit Politeia Bogor, 1975. 12. Katz, June. Masalah Bantuan Hukum bagi orang miskin di Amerika Serikat. Termasuk dalam majalah hukum dan keadilan, No. 5/5 Tahun 1973. 13. Ko Tjay Sing, Prof. Rahasia Pekerjaan Doktor dan Advokat . Penerbit Gramedia, Jakarta,1978. 14. Lev, Daniel,S., Bushlayer (Pokrol Bambu)in Indonesia. termuat dalam majalah hukum dan keadilan, No. 5 tahun 1973. 15. Lintoong Oloan Siahaan. Jalanan Peradilan Perancis Lebih Cepat dari Peradilan Kita. Penerbit Ghalia, Indonesia, 1981. 16. Moraland, Caroll C. Equal Justice Under Law, Oceana Publications, Inc. New York, 1957. 17. ———————. Jurimetrie. Ars Aequi, Beutler Publicite, Amsterdam. 18. ———————. Susunan pengadilan dalam Negara Republik Indonesia. Pustaka Rakyat N.V. Jakarta, 1952. 19. Rubini S.H dan Chidir Ali S.H. Pengantar Hukum Acara Perdata. Penerbit Alumni, Bandung, 1952. 20. Ruslan Salah, Prof., Jurimetrie, Suatu Cara Berpikir dan Berbuat dalam Hukum. Penerbit Aksara Baru, Jakarta, 1979. 164
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
21. Surrency, Erwin C. A Guide to Legal Research. Supplement ed. Edition, Oceana Publication Inc Dobbs Ferry, New York, 1966. 22. Subekti, Prof. R. S. H. Praktik Hukum. Penerbit Alumni, Bandung 1974. 23. Subekti, Prof. R. S.H. Hukum Acara Perdata. Penerbit Binacipta, 1977. 24. Soerjono Sukanto, Dr, S.H, MA dan Purnadi. Perundangundangan dan Yurisprudensi. Penerbit Alumni, Bandung, 1972. 25. Sri Soemantri, S.H. Hak Menguji Material di Indonesia. Penerbit Alumni, Bandung, 1972. 26. Soemarno P. Wirjanto, Mr. Profesi Advokat . Penerbit, Alumni, Bandung, 1976. 27. Sudikno Pertokusumo, Pro. Dr. R.M. S.H. Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat . Penerbit Liberty, Yogyakarta 1981. 28. Subekti, Prof. R. S.H. Kekuasaan Mahkama Agung RI . Penerbit Alumni Bandung, 1980. 29. Soerjono Sukanto, DR. S.H, M.H. Pendidikan Hukum, Penelitian dan Profesi yang Berhubungan dengan Hukum. Termuat dalam majalah hukum dan keadilan No. 5/6 tahun 1973. 30. Sri Uindojati. Kesan-kesan dari Australia. Termuat dalam majalah Sangkakala Peradilan, No. 4.197131. 31. Sudikno Mertokumo, Prof. Dr. R.M. S.H. Bunga Rampai Ilmu Hukum. Penerbit Seksi Peradilan Falkutas Hukum UGM, Yogyakarta, 1981. 32. Wantjik Saleh, S.H. Kehakiman dan Peradilan. Ghalia Indonesia, 1977. Daftar Literatur Tidak Langsung
165
DAFTAR ISTILAH ASING
1. a caontrario 29 2. a critical mechanism 105 3. Act 20 4. Admissibility 92 5. Admissible evidence 79 6. Advokat 49 7. Aestimatoir 99 8. affirmatif 107 9. akta partij 86 10. Analisis 72 11. analog 28 12. analogi 29 13. Anglo Saks 4 14. Arbitrase 9 15. argumentasi 39 16. argumentum a contrario 30 17. assertair 99 18. Audi et Alteram Partem 12 19. Autentik 78 20. aveu complexe 98 21. Aveu pur et simple 68 22. aveu qualifie 98 23. Behaviour 252 24. Bekentenis 98 25. Beneficium 65 26. Beslissende Bewijskracht 83 27. Bewijs 16 28. beyond reasonable doubt 10 29. bezitter 118 30. Bis de eadem re ne sit actio 65
31. bloot affirmatif 122 32. Circumstantial evidence 78 33. Common Law 4 34. Commonwealth 4 35. Communis Opinio Doctorum 42 36. Compurgation 74 37. Compurgator 74 38. Confession 98 39. Conflic of human interest 62 40. Conflicting evidence 79 41. Contentieuse jurisdictie 23 42. Contradictoir 28 43. Conviction intime 17 44. Conviction raisonnee 45. Cumulative evidence 79 46. De gustibus non est Dis putandum 68 47. De lege lata 125 48. De tournament de pouvoir 115 49. debitur 119 50. Decisoir 43 51. Declaratoir 28 52. defendant 47 53. definisi 23 54. Demonstrative evidence 79 55. Differesial 151 56. Direct evidence 78 57. documentary 20 58. Documentary 77
Daftar Istilah Asing
167
59. Dogmatik hukum 60. doktrin 28 61. Dosen 49 62. Droit Prive 64 63. Eigen Wetenschap des Rechters 39 64. Eigenrichting 8 65. Eines Mannes Rede Ist Keines Mannes Rede 64 66. eiser 47 67. eksekusi 53 68. Equity 64 69. Errare Humanum Est, Turpe in Errore Perseverare 71 70. esensi 31 71. Eventual maxim 12 72. Evidence 16 73. Evidence in writing 78 74. ex oficio 100 75. Expertise 80 76. Extrinsic evidence 79 77. factum 33 78. Fama 42 79. Family Provision 20 80. Fenomenologik 2 81. Fiksi 66 82. Finansial 55 83. fokus 2 84. Follow up 25 85. Formal yuridis 60 86. Fructus stantes 4 87. gedaagde 47 88. Gedeeltelijk Bewijskracht 83 89. General rules 64 90. Genetis 151 91. Gerechtigkeit 61 92. Geschri 91 93. guilty or not guilty 25 94. Hand-Book 4
168
95. historis sosiologis 148 96. Hukum Objektif 34 97. Hukum Positif Quaestio facti 66 98. Hukum Subjektif 34 99. Immunities 6 100. in concreto 18 101. Inderect evidence 78 102. Inheritance 20 103. Innerlijke samenhang waarin ieder nieuw probleem zijn antwoord vindt 2 104. intervensi 29 105. intuitif 17 106. irrelevant 36 107. Ius 33 108. Ius curia novit 11 109. Ius Publicum 125 110. Ius Vigilantibus Scriptum Est 6 111. Judex ne Procedat ex Officio 63 112. Juris Ignorantia Nocet, Facti Non Nocet 15 113. Jury 25 114. karakter evidence 92 115. kasasi 134 116. Kasuistis 130 117. klassik 30 118. kolektif 35 119. kompleks 34 120. Konflik 62 121. konstatir 53 122. konstituir 53 123. Konstitusi 28 124. Kontinental 25 125. Kracht van tegenbewijs 84 126. kuratele 48 127. kurator 48
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
128. kwalifisir 53 129. law enforcement 32 130. legitima persona standi in judicio 46 131. Lex Neminem Cogit Ad Impossiblia 59 132. lisensi 74 133. Litis Decisoir 100 134. living law 150 135. Manifesta non egent Probatione 43 136. Material 77 137. Material evidence 82 138. material facts 37 139. Melius est accipere quam facere in jurism 145 140. Membuktikan secara kon vensional 17 141. Mikro Sosiologi Hukum 151 142. Minima non curat praetor 37 143. minuut 85 144. Multa sed non Multum 37 145. Ne Ultra petita 67 146. negatie 117 147. Negative non sunt probanda 113 148. Neme judex odoneus in propria cause 55 149. Nemo plus juris Transferre Potest Quam Ipse Habet 69 150. Nemo Testis Indoneus in Propris Causa 66 151. norm 32 152. Normatif 42 153. Notaris 9 154. Notoir 37 155. Notoir Feiten 39
156. Obiter Dictum 37 157. Onrechtmatigedaad 55 158. onsplitsbare aveu 99 159. Onvolledig Bewijskracht 83 160. optik 151 161. Oral 76 162. Original evidence 77 163. orthodox classifications 4 164. pembuktian historis 18 165. Pendentes 4 166. Perjury 72 167. Personae miserabile 51 168. pihak formal 47 169. pihak materiil 47 170. Pokrol 49 171. Policy maker 252 172. Political Jurisprudence 252 173. Posisi Ubyektif 55 174. positum 120 175. praecumptiones juris et dejure 97 176. praesumptiones juris tantum 97 177. precedent 93 178. preponderance of evidence 10 179. Presumptions 75 180. Presumptions Facti 97 181. Presumptions juris 97 182. Presumtive evience 78 183. Pride is the Beginning of Destruction 5 184. Primary evidence 78 185. Primitif 72 186. Privastrecht 64 187. private knowledge 39 188. Private Law 64 189. procedural law 4 190. profesi 149
Daftar Literatur Langsung
169
191. profesional 150 192. promissoir 99 193. Proof 16 194. Prosesuil 27 195. psychis 107 196. Quad Erat Demonstrandum 33 197. Quaestio facti 66 198. Quaestio juris Quaestio facti 66 199. Quasi Staatrecht 50 200. Quod Bonum Felix Faustumque 62 201. Quod Licet Jovi non licet bovi 36 202. ratio decidendi 37 203. real 20 204. Real evidence 79 205. Realistic Jurisprudence 152 206. Rechterlijke vermoedens 97 207. Rechtserzeugende Tetsachen 123 208. Rechtshindernde Tetsachen 123 209. Rechtsicherheit 62 210. Rechtspersoon 46 211. rechtsvermedens 97 212. Rechtsvernichtende m Tatsachen 124 213. Recusatio 67 214. relevant 23 215. remspoor 42 216. Reo negante actitori incumbit prabatic 115 217. Res judicata jus facit inter partes 114 218. Res judicata pro veritate accipitur 114 219. Res judicata provery tate
170
habatur 114 220. restrictief 115 221. Reus excipiendo fit actor 115 222. Rumor 42 223. schematik 31 224. Second hand evidence 79 225. Secondary evidence 78 226. Si due faciunt iden non est idem 129 227. Si vis pacem para bellum 114 228. Sita konservatoir 13 229. social control 150 230. social engineering 150 231. Socialogical Jurisprudence 152 232. Soilen-sein 3 233. standar 23 234. substantive law 4 235. supletoir 99 236. Syllogisme 55 237. Testimonium de Auditu 96 238. Testimony 95 239. the burden of persuasion 105 240. the burden of producing evidence 105 241. the burden of producing of evidence 109 242. �e burden of proof 11 243. the duty of going forward 109 244. �e law of procedure 5 245. the plaintiff 9 246. �e presumption of Innocence 45 247. �e privilege 6 248. �e risk of nonpersuasion 110 249. Toerekeningstheoris 60
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
250. Togenbewijs 84 251. Ultra posse nemo obligatur 123 252. Unoriginal evidence 77 253. Untersuchungsmaime 52 254. Unus testis, nullus testis 87 255. Ut sementem feceris, its metis 103 256. Verhandlungsmaxim 12 257. verstek 44 258. Vis Probandi 83 259. Volledig Bewijskracht 83 260. voluntair 23
261. Wager of Law 74 262. whether oral 20 263. wo kein klager ist, ist kein Richter 3 264. Writings 75 265. yuridis 17 266. yurisdiksi 29 267. yurisprudensi 28 268. yurist 23 269. zoom politican 155 270. Zweekmassigkeit 62
Daftar Literatur Langsung
171
DAFTAR NAMA ORANG
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
AsserAnemaVerdam Anema Aristoteles Asser Scholten Charles F. Hamphill Codoza Districh Rueschamayer Diamond Dias Drion Enschede Eggens Edward Cleary Eugen Echlich Fairchild Friedman Ernest Baker Edwin Baker Edwin C. Caared Hollad, Prof Hans Kelsen John Austin Judith Shklar Kenneth Culp Davis Kusumadi Pudjosewojo Lod Justice Denning Laski
28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54.
Lewis Meyer N. Naguhtan MC. Cormick Milton C. Jacobs Paton P.A. Stein Pittle, Prof Peter J. Darman Paul Bohenran Roscoe Pound Sudikno Mertokusumo Suyling Sir Roland Burrows Supomo, Prof Subekti, Prof Sukardono Prof Star Bushman Stephen Giller Satjipto Rahardjo, Prof Echalten Surjono Sukanta �esing �ayur Umar bin Chattab Wugmaer Wirjono Pradjodikara Van Vollenhoven
DAFTAR PERATURAN/ UNDANG�UNDANG
KUH Perdata (BW) Pasal 1365 Pasal 1910 Pasal 1866 Pasal 1924 Pasal 1465 Pasal 533 Pasal 535 Pasal 1977 ayat 1 Pasal 1244 Pasal 1394 Pasal 1320 Pasal 150 Pasal 1865 Pasal 1912 Pasal 330 Pasal 110 Pasal 1655 Buku IV Peraturan Mentri Kehakiman No. 1 Tahun 1965 Keputusan Mentri Keha Pasal 145 ayat kiman No. J.P. 14/2/11 HIR Pasal 145 ayat 2 Pasal 163 Pasal 145 ayat 1 Pasal 145 ayat 4 Pasal 123 ayat 183 Pasal 123 ayat 2
Pasal 176 RBG Pasal 172 Pasal 284 Pasal 283 Pasal 200 Pasal 147 ayat 1 Pasal 172 Pasal173 Peraturan Lain: U.U. No. 1 Tahun 1974 Pasal 8 U.U. No. 1 �. 1947 Pasal 9 U.U. No. 1 �. 1975 U.U. No. 1 Tahun 1948 Pasal 8 No. 2 Rv K.U.H Dagang: Pasal 274 ayat 2 Pasal 468 ayat 2 U.U. No. 1 Tahun 197 B. 1922 No. 522
DAFTAR YURISPRUDENSI
1.
2.
3.
4. 5. 6.
7.
Putusan Pengadilan Negeri Sengkang Tertanggal 1 Agustus 1964, Nomor 80/1964/pdt. Putusan Pengadilan Negeri Pangkajene Tertanggal 5 Agustus 1964, Nomor 16/1962/pdt. Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Tertanggal 3 Agustus 1962, Nomor 243/1961/pdt. Putusan H.R., 19 Desember 1932 Putusan M.A. 15 Maret 1972 Nomor: 547 K/Sip/1971 Putusan M.A. 21 Nopem ber 1956, Nomor 162 K/ Sip/1955. Putusan M.A. 11 September 1957, Nomor 74 K/Sip/1955.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Putusan M.A. tanggal 30 Desember 1957 Nomor 197 K/Sip/1956. Putusan M.A. tanggal 28 Mei 1958 Nomor 8 K/ Sip/1957. Putusan M.A. tanggal 10 Januari 1957 Nomor 108 K/ Sip/1954. Putusan M.A. tanggal 10 Januari 1957 Nomor 94 K/ Sip/1956. Putusan M.A. tanggal 11 September 1975 Nomor 540 K/Sip/1972. Putusan M.A. tanggal 27 Nopember 1975 Nomor 272 K/Sip/1973. Putusan M.A. tanggal 30 Agustus 1958 Nomor 134 K/ Sip/1958.
178
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
INDEKS
rtokusumo, R.S. Soedikno, Prof. Dr.: 1, 16, 73, 141
Asas: 110115
Adjective law: 56 Advokat: 48
dalam Keputusan penga dilan: 145
Akta
Bohannan, Faul: 150
dalam Alat bukti; tertulis: 9192
Burrows, Roland, Sir: 1719, 74
Alat bukti: 7377
BW Baru: 26
Dalam Hukum acara pidana: 9
Circumstatial evidence: lihat indirect evidence
Tertulis: 9092 Anema: 21
Cleary, Edward W.: 22, 56, 93, 100
Audi Et Alteram Partem
Compurgation: 7071
dalam Beban pembuk tian: 121122
Contentieuse jurisdicte: 22
Audi et alteram partem: 12, 456163
Curia novit: 63
Austin, Jhon: 44, 145
Davis, Kenneth Culp: 88
Barker, Ernest: 34
De gustibus non est dispi tandum: 65
Batas umur: 4647 Beban pembuktian: 11, 99 107, 110111, 131139
Behavioral, approach
Contradictoir: 2729 Danning, Lord Justice: 23
De Lege Lata, Teori dalam Beban pembuk Indeks
179
tian: 120121
Holand, Prof.: 33
Declaratoir: 28
Hukum acara perdata: 814
Demonstrative evidence: 76 Descente: 85
Hukum acara pidana inter nasional: 1315
Documentary
Hukum acara pidana: 812
dalam Klasifikasi; alat bukti: 74
Hukum materiil: 4
Dorman, Peter J.: 71, 102
Hukum privat
Drion. H.: 17
Dalam Sistem Hukum: 2
Eggens: 17
Hukum proses: 4, 5
Enschede, Ch., J.: 93
Hukum publik
Eventual maxim: 11
Dalam Sistem Hukum: 2
Evidence: 1719
Indirect evidence: 75
Expertise: 85
Ius Curia Novit: 10
Fiardchild, H.P. 143
Jacobs, Milton C.: 19, 73
Friedman, Lawrence: 147 148
Jaksa
Hukum perdata: 3
Gillers, Stephen: 103
Dalam hukum acara pidana: 8
Gurvitch, George: 144
Kasuistik
Hak
dalam Beban pembuk tian: 123127
Dalam Pembuktian: 32 35
Kebenaran formal: 9
Hak, Teori
Kebenaran materi: 9
dalam Beban pembuk tian: 118120
Kebiasaan
Hamphill, Charles F.: 5, 71, 76, 101
Kekuatan pembuktian: 80 87
Hamphill, Phyllis D.: 5, 71, 76, 101
sempurna: 8083
180
Dalam Sistem Hulum: 2
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
lemah: 80, 83 sebagian: 80, 83 menentukan: 84
Nemo plus juris transferre potest quam ipse habet: 66
Kelsen, Hans: 58
Nemo testis indoneus in propria causa: 64
Konvensional,. Approach
Obitar dictum: 36
dalam Keputusan penga dilan: 145
Onsplitsbaar aveu: 136137
Kuasa: 4950
dalam Klasifikasi, Alat bukti: 74
perlawan: 84
Kuratele: 48 Laski, Harold: 144 Law enforcement: 31 Legislatif, lembaga Dalam Sistem Hukum: 2 Legitima persona standi in judicio: 46
Oral
Patton, George Whitecross: 4, 6970, 74 Pembuktian ilmiah: 2324 Pembuktian: 1556 Tujuan: 20 Pemulihan hak: 4
Lus Publicum, Teori
Pengacara
dalam Beban pembuk tian: 121
dalam Persengketaan perdata: 46, 48
Martokusumo, Soedikno: 7
Pengakuan
Material
dalam Alat buklti: 95
dalam Klasifikasi, alat bukti: 74
dalam Beban pembuk tian: 1321133
Mayers, Lewis: 102
o dengan klausul: 132
McCormick, Dean: 104
o dengan kualifikasi: 132
Negativa Non Stunt Proban da, Teori
pembagian: 134
dalam Beban pembuk tian: 117118
dalam Persengketaan perdata: 46, 4748
Pengampu
Indeks
181
Penggugat
Ratio decidendi: 36
Dalam Hukum acara perdata: 9
Real evidence: 76`
Dalam Persengketaan perdata: 46
Resiko pembuktian: 135136
Penyalahgunaan wewenang: 150
Rechtapersoon: 46 Rueschemenyer, Dietrich: 143 Saksi
Peradilan, Lembaga
tidak mampu: 64
Dalam Sistem Hukum: 2
Scholten, Paul: 58
Peradilan: 2
Shklar; Judith: 44
Peristiwa
Sistem hukum: 12
Dalam Pembuktian: 32 33, 35
Soekardono, R. Prof.: 39
Prosesuil: 37
Sosiologi hukum
Notoir: 3740
dalam Beban pembuk tian: 141148
Pengetahuan umum: 41 42
Sollen sein: 3032
macam: 144
Tidak perlu di buktikan: 4244
Subekti, R. Prof. Dr.: 21, 22
Perjanjian pembuktian: 153156
Subtantive law: 56
Pound, Roscoe: 45 Presumptive evidence: lihat indirect evidence Procedural law: 4 Prodjodikoro, R. Wiryono, Prof. Dr.: 6 Profesi: 143 Proof: 20, 99 182
Subtantive law: 4 Sukanto. Soerjono, DR.: 145 Sumpah dalam Alat bukti: 96 decisoir: 9697 supletoir: 9697 aestimatoir: 9697 Supomo, Prof. Dr.:20 Suyling: 17
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
Teori Bebas
Verhanlung maxim: 11
dalam Pembuktian: 87 90
Vis Probandi: lihat Kekuatan pembuktian
Teori negatif
Voluntair: 28
dalam Pembuktian: 87
Wager law: 7071
Teori positif
Wali
dalam Pembuktian: 87
dalam Persengketaan Perdata: 46
Tergugat Dalam Persengketaan perdata: 46
Yuridis
�ayer: 104
dalam Beban pembuk tian: 127129
�esing, H.: 102
Kesaksian
Tradisional, approach
dalam Alat bukti: 9293
dalam Keputusan penga dilan: 145
Persangkaan dalam Alat bukti: 9394
Tugas hakim dalam Pembuktian: 52 55 Tugas hakim dalam Sosiologi hukum: 145148 Tujuan hukum: 59 Ultra ne petita: 65 Unterbuchungsmaxime: 51 Unus testis nullus testis dalam Alat bukti, Pem buktian: 93 Van Vollenhoven: 1 Verhandlungo maxime: 52 Indeks
183
184
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata
Daftar Literatur Langsung
185
186
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata