Ancaman Ancaman Baru, Perang Perang Non Konvensional Konvensional Dr. Donny Gahral Adian Departemen Filsafat Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia Kampus UI, Depok
[email protected] For the kinds of challenges America will face, the Armed Forces will need principled, creative, reform-minded leaders—men and women who … want to do something, not be somebody. An unconventional era of warfare requires unconventional thinkers.” Menteri Pertahanan Amerika, Robert Gates (21 Gates (21 April 2008) - Ancaman A b s t r a k - Ancaman
bagi kedaulatan sebuah negara-bangsa dewasa ini menjadi semakin kompleks dan rumit. Terorisme, misalnya, tidak dapat dikenali dalam terminologi perang simetrik. Ancaman arus uang panas para spekulan juga dapat meruntuhkan fundamen ekonomi sebuah bangsa. Para pengambil kebijakan baik dari kalangan sipil maupun militer perlu memahami jenis-jenis ancaman baru dan cara terbaik untuk menangkalnya. Pemahaman baru tersebut perlu berpijak pada paradigma atau model yang juga baru. Artikel ini berupaya menjelaskan pergeseran paradigma dalam memahami ancaman dan keamanan nasional. Paradigma perang generasi ketiga bergeser menjadi perang generasi keempat yang mana media, diplomasi dan think tank memainkan peranan penting. - Threats toward nation-states nowadays become more complicated. Terrorism, for instance, cannot be recognized in terms of symetrical war. The threat of “hot money” can destroy economic foundation of a nation state within weeks. These new threats demand that policy makers both military and civilian understand current complexity and also ways to solve it. The new understanding among policy malkers need to be based on new paradigm of threat and solution to threat. This article tries to elaborate further on the paradigm, shift in understanding threats. New paradigm where expert groups or think tanks play important role.
Abstract
Globalisasi, Negara-Bangsa, Keamanan Nasional, Fourth Generation Warfare, Warfare, Biopower
Kata
Kunci -
Perang biasa dipahami sebagai fungsi Ancaman terhadap keamanan nasional pokok angkatan bersenjata dalam mengambil bentuk yang tak terbayangkan mempertahankan kedaulatan sebuah sebelumnya. Ancaman tidak lagi negara. Angkatan bersenjata sendiri adalah mengambil bentuk negara-bangsa dengan pengorganisasian kekuatan non sipil yang angkatan perangnya melainkan spekulan menekankan disiplin, keseragaman, pasar uang yang mampu mengobrak-abrik prosedur tetap dan militansi. Persoalannya, fundamen perekonomian, atau kaum perang sudah bergeser dari bentuk radikal yang berupaya mengganti konvensionalnya. Perang, misalnya, sudah fundamen politik. Untuk itu, perang tidak tidak lagi menjadikan negara sebagai semata membutuhkan militer yang objeknya. Perang melawan terorisme konservatif dan disiplin melainkan pemikiradalah perang melawan sebuah konsep pemikir liar yang mampu melihat : beyond yang tidak berteritori. Menteri Pertahanan the trodden path of both international and Amerika, Robert Gates, mengatakan domestic politics. politics. Tulisan ini adalah refleksi betapa perang non-konvensional non konvensional terhadap perang memerlukan pemikiran non konvensional. sekaligus keamanan nasional. 10
Universitas Pertahanan Indonesia
Ancaman Baru negara-bangsa. Globalisasi mengancam Keamanan nasional umumnya dipahami negara-bangsa secara institusional dan dalam kerangka negara “Westphalian” yang kultural. Secara institusional negara berfokus pada pengakuan resiprokal antara dilemahkan kendalinya pada perekonomian negara. Resiprositas tersebut pada oleh kekuatan ekonomi global. Secara gilirannya menghasilkan konsep kedaulatan kultural negara diancam oleh identitas dan yang terbatas secara teritorial. Tulisan- ideologi subnasional dan supranasional tulisan lama tentang keamanan nasional yang merusak sendi-sendi ketahanan bersandar pada gagasan tentang kultural. Globalisasi membuat kapabilitas perlindungan fisik terhadap teritori fisik ekonomi, informasi, militer dan diplomasi sebuah negara berdaulat. Sebab itu, aktor non negara menguat dan bahkan monopoli terhadap penggunaan kekerasan mengatasi negara-bangsa itu sendiri. yang absah mutlak berada di tangan Globalisasi ditopang oleh kemajuan negara dalam wujud angkatan bersenjata. teknologi, khususnya teknologi informasi. Persoalannya, negara berdaulat tidak Teknologi merupakan pedang bermata sekedar hadir sebagai protektor teritori fisik ganda. Di satu sisi, mobilisasi pengetahuan melainkan untuk sebuah tujuan yang lebih tidak lagi terganjal oleh teritori. Di sisi lain, luas. Dalam tulisan filsuf-filsuf kontinental jenis pengetahuan yang dimobilisasi dapat seperti Locke, Hobbes dan Adam Smith, mengancam ketahanan kultural negara negara tidak hanya berfungsi sebagai bangsa. Situs-situs radikal saat ini dapat penjaga malam melainkan membangun diakses dengan bebas. Teknik pembuatan masyarakat yang berkeadaban. Negara bom rakitan dapat ditemukan dengan satu adalah sebuah proyek etis untuk (bahasa klik saja. Terorisme adalah penumpang pembukaan UUD 1945) melindungi gelap dalam gerbong teknologi informasi. segenap bangsa, mencerdaskan Teknologi informasi juga membuat uang kehidupan bangsa dan memajukan berpindah tanpa menghitung jarak dan kesejahteraan umum. Negara bukan waktu lagi. Modal bisa dilarikan secepat sekadar makhluk politik melainkan juga kilat sehingga menyisakan kesulitan kultural yang bersendikan nilai atau prinsip ekonomi bagi negara yang ditinggalkan. hidup bersama secara berkeadaban. Kolapsnya bank-bank di Irlandia, misalnya, Negara-kultural biasa disebut sebagai disebabkan oleh pelarian modal besar“bangsa”. Konsep “negara-bangsa” pun besaran yang tak dapat lagi ditahan oleh harus dibaca dalam kerangka fungsi ganda kemampuan negara menalanginya (bail negara melindungi teritori fisik (batas out ). Arus uang panas yang masuk ke wilayah) dan non fisik (kultur, keadaban). pasar finansial sebuah negara hanya Globalisasi adalah berkah sekaligus mengejar keuntungan jangka pendek tanpa ancaman terhadap negara-bangsa. Di satu memiliki dampak serius pada pertumbuhan sisi, globalisasi dianggap berkah karena sektor riil sebuah negara. berkat dialah warga sebuah negara dapat Perubahan demografis akibat mobilitas menikmati produk murah buatan negara manusia yang masif juga mempengaruhi lain. Di sisi lain, globalisasi sering dicap keamanan nasional. Pertumbuhan populasi sebagai ancaman terhadap fungsi kultural yang tidak terkendali meningkatkan negara sebab menghilangkan lapangan peluang instabilitas, radikalisme dan pekerjaan dan meningkatkan kemiskinan. ekstremisme. Pembengkakan populasi Perang kurs antara Amerika Serikat dan yang melampaui daya dukung ekologis dan Cina bersandar pada kepentingan kultural politis sebuah negara-bangsa dapat masing-masing negara dalam melindungi menjerumuskan sebuah negara ke dalam keadaban bangsanya dari kehancuran situasi negara gagal (failed state). Negara ekonomi. gagal adalah pekan raya bagi konflik Globalisasi juga memobilisasi pikiran horisontal, separatisme, sektarianisme dan sektarian (baca: Wahhabisme) yang radikalisme. menggerakan kaum radikal dan Industrialisasi sebagai siasat penciptaan mengancam kultur moderat sebuah lapangan pekerjaan juga menyimpan Universitas Pertahanan Indonesia
11
masalah. Industrialisasi sebagai konversi Perang Non Konvensional lahan pertahanan menyebabkan urbanisasi Watak ancaman yang berubah menuntut besar-besaran yang menimbulkan perubahan dalam cara kita berperang. beberapa persoalan seperti kemiskinan Ancaman baru terhadap kesehatan, pengangguran, kriminalitas, buruknya kecerdasan, nilai, dan kebudayaan sebuah kesehatan publik, dan minimnya akses negara-bangsa tidak dapat lagi dihadapi pendidikan. Ketika lapangan pekerjaan di dengan angkatan bersenjata. Perang kota besar tak dapat lagi mencukupi bagi sudah memasuki fase baru yang biasa kaum urban tak berketerampilan, mereka disebut generasi keempat (fourth kemudian menjadi komoditas dagangan di generation warfare). Generasi pertama pasar internasional sebagai buruh migran. perang modern didominasi oleh tenaga Proteksi hukum terhadap mereka di negara manusia (manpower ) dalam skala masif orang sangat lemah karena sebagian besar dan mencapai puncaknya pada perang negara belum mengakui secara legal Napoleon. Generasi kedua didominasi oleh “pekerja rumah tangga” sebagai sebuah persenjataan (firepower ) dan berakhir pada profesi. Di sini fungsi kultural negara perang dunia pertama. Generasi ketiga bangsa dalam “melindungi segenap bangsa didominasi oleh manuver, siasat dan taktik. Indonesia” menjadi tanda tanya besar. Generasi keempat adalah bentuk perang Pembengkakan populasi menimbulkan baru yang berhadapan dengan fenomena persoalan seiring merosotnya ketersediaan insurgensi yang memanfaatkan kekuatan air, energi dan pangan. Kelangkaan air, ekonomi, politik, sosial dan militer untuk energi dan pangan diperumit dengan melemahkan legitimasi moral musuh. ketidakadilan global dalam urusan Insurgensi juga memanfaatkan berbagai perubahan iklim. Negara dunia ketiga modalitas yang ada untuk meyakinkan mengalami kesusahan akibat musuh betapa tujuan strategis dari perang kekeraskepalaan negara maju untuk tidak tak mungkin dicapai dan mahal. mengubah pola konsumsi dan menurunkan Perang pun sekarang berubah menjadi tingkat emisi. Berbagai dana bantuan perang legitimasi. Pertarungan negara maju untuk rehabilitasi lingkungan sesungguhnya berlangsung di media harus dibaca sebagai konservasi sumber elektronik maupun cetak. Acap kali Israel ekonomi dan energi mereka. Perubahan membom basis-basis Hisbullah di Lebanon, iklim juga mengancam kualitas kesehatan media milik Hisbullah, al Manar , merekam warga dengan meningkatnya intensitas kejadian itu dan meyebarluaskan ke penyakit tropis. Pemanasan global sudah seantero Lebanon bahkan luar negeri. mengubah struktur biologis virus sehingga Sayap medis Hisbullah merawat mereka menjadi imun dan lebih berbahaya dari yang luka. Sayap pelayanan sosial sebelumnya. Negara dunia ketiga Hisbullah memberikan bantuan keuangan khususnya negara tropis seperti Indonesia kepada keluarga para martir. Para perekrut menjadi surga sumber daya hayati bagi pun bersiap-siap untuk merekrut anak-anak pengembangan vaksin-vaksin komersial di muda yang marah untuk bergabung dalam negara dunia pertama. Minimnya SDM dan perlawanan bersenjata. Perang yang fasilitas laboratorium lanjut untuk penelitian dilakukan Hisbullah adalah perang penyakit menular membuat negara dunia legitimasi yang mengubah kekejaman ketiga menjadi konsumen belaka bagi Israel menjadi keuntungan politik bagi vaksin komersial dengan harga irasional. mereka. Perang kesehatan dewasa ini adalah Perang melawan Terorisme di Indonesia perang dalam memperebutkan hak atas sesungguhnya juga mengambil bentuk kekayaan hayati. Ke depan bukan sekadar perang legitimasi. Ruang publik kebudayaan yang diklaim bangsa lain, dibombardir dengan opini-opini moderat. namun juga sampel darah warga lokal dan Kurikulum anti teror disusun. LSM-LSM nyamuk. Islam moderat diguyur dana besar untuk mengkampanyekan pluralisme. Itu semua untuk menunjukan betapa terorisme 12
Universitas Pertahanan Indonesia
sebagai strategi untuk men”sektarian”kan ruang publik sukar dan mahal untuk dicapai. Perang melawan pemanasan global juga berlangsung di forum-forum global dimana negara dunia ketiga menuntut negara dunia pertama menjalankan komitmen mereka untuk menurunkan tingkat emisi. Presiden Obama berjuang habis-habisan meyakinkan para pemimpin G-20 bahwa Cina telah mematok kurs terlalu murah sehingga mengganggu perekonomian global. Negara dunia ketiga berjuang untuk arsitektur pasar keuangan dunia yang lebih adil. Semua itu menunjukan betapa perang sudah beranjak jauh dari bentuk “militer”nya dan menjadi lebih politis, sosial dan kultural . Perang pun menjadi regulatif. Berbagai forum internasional tentang perubahan iklim, perdagangan bebas, dan lain-lain dibuat untuk menormalisasi perang dengan menjadikannya pertemuan rutin. Perang saat ini bukan lagi soal prajurit berotot atau misil berpandu laser, melainkan diplomat yang cerdas dan tangkas dalam bernegosiasi. Perang sekarang adalah siasat untuk mamanfaatkan ruang (media) dan waktu (momen atau peristiwa) untuk memenangkan hati publik dan mematahkan jus ad bellum dari musuh. Kesimpulan Filsuf Antonio Negri (2004) menyebut betapa perang dewasa ini bukan sebuah kondisi pengecualian melainkan situasi normal atau wajar. Kita memasuki perang berkelanjutan yang terus mencipta dan memperkuat bentuk kehidupan tertentu. Perang melawan terorisme sejatinya bertujuan menyingkirkan bentuk kehidupan radikal dan membangun bentuk kehidupan baru yang pro kemajemukan dan anti kekerasan. Perang bukan lagi soal destabilisasi struktur kekuasaan melainkan mekanisme aktif yang terus mencipta tertib sosial baru dan merebut legitimasi. Perang yang dilakukan Hisbullah bukan sekadar perang fisik melainkan upaya meyakinkan dunia bahwa apa yang mereka lakukan sah di mata moral. Perang dewasa ini menjadi sebentuk biopower yang bertujuan mempromosikan
dan meregulasi kehidupan sosial. Perang sudah bergeser dari adagium lama Clausewitz tentang perang sebagai kepanjangan politik. Dewasa ini, perang dan politik bukan dua hal terpisah yang mana satu adalah kepanjangan dari yang lain. Perang dan politik harus disebut dalam satu tarikan nafas. Perang bukan lagi subjek dari hukum internasional melainkan pondasi hukum itu sendiri. Watak perang yang meregulasi dan membuat tertib sosial sebangun dengan watak hukum. Ketika dulu perang disubordinasi oleh struktur legal, maka sekarang perang justru menciptakan dan memaksakan kerangka legalnya sendiri. Perang seputar kurs yang dilancarkan Amerika terhadap Cina berupaya menciptakan kerangka legal internasional yang memaksa negaranegara mengambangkan nilai kurs-nya untuk perdagangan yang lebih fair dan setara. Segenap perang revolusi anti kolonialisme (termasuk perang revolusi kemerdekaan RI) adalah upaya menumbangkan rejim kolonial dan menancapkan kode legal dan bentuk kehidupan baru. Pertanyaannya, siapkah pemimpinpemimpin kita untuk menghadapi jenis ancaman dan perang baru ini? Perang non-konvensional membutuhkan pemimpinpemikir dan bukan pemimpin-pesolek. Untuk memperoleh pemimpin-pemikir, kurikulum kepemimpinan harus disusupi filsafat. Menyitir (kembali) menteri pertahanan Amerika, Robert Gates, perang non-konvensional membutuhkan pemikir non-konvensional. Ancaman dan perang non-konvensional membutuhkan filsuf, seniman, atau budayawan yang mampu berpikir jauh melenting melampaui zamannya. Perang tidak sekadar membutuhkan artileri melainkan juga grup diskusi.
Universitas Pertahanan Indonesia
13
DAFTAR REFERENSI [1] Sven, Bislev. “Globalization, State Transformation, and Public Security” International Political Science Review / Revue internationale de science politique, Vol.25, No. 3 [2] Harvard Kennedy School, Center for Public Leadership. 2009. Transforming the National Security Culture: A Report of the Harvard Kennedy School’s Defense Leadership Project [3] Jeffrey S Lantis. “Strategic Culture and National Security Policy” International Studies Review, Vol. 4, No. 3 (Autumn, 2002), pp. 87-113 [4] D. Krasner, Stephen. 2001. “Rethinking the Sovereign State Model,” in Empire,Systems and States: Great Transformations in International Politics, Michael Cox, Tim Dunne, and Ken Booth, eds., New York: Cambridge University [5] Thomas X. Hammes, “4th-generation Warfare: Our Enemies Play to Their Strengths,” Armed Forces Journal , November 2004, pp. 40-44. [6] Walzer, Michael. Just and Unjust War . Basic Books, 2000 [7] Negri, Antonio; Hardt, Michael. Multitude: War and Democracy in the Age of Empire. Penguin Press, 2004
14
Universitas Pertahanan Indonesia