Analisis Ketidaksyariahan Konsep Akad Mura M urab bahah hah Pada Implementasinya Di Perbankan Syariah
Oleh: Faradillah Djuma 10800113127/ 10800113127/ Kelas C Jurusan Akuntansi/ Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Islam Negeri Alaluddin Makassar
[email protected] Abstract Murabahah is the most preferred type of financing in sharia banking. This indicates the discrepancy between the principles of Islam with application Murabahah in sharia banking itself. The purpose of this study was to knowing whether implementation murabahah on the ground is still appropriate or not with the original concept. The results of this study indicate that the practicescontract murabahah in Islamic bankingis not in accordance with the original conceptcontract, of murabahah because in contract found any element of riba, gharar, wakalah and coercion made by the Islamic banking on customers or buyers. The conclusion was the discovery of a discrepancy between murabahah with its application in Islamic banking should be a major concern DPS. DPS performance should be improved to cope with such things. Keywords: Murabahah, Riba, gharar, gharar, wakalah, coercion, the DPS DPS I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan lembaga-lembaga keuangan syariah, maka berkembang pula wacana mengenai akuntansi syariah. Hal ini terkait karena keberadaan suatu lembaga lembaga atau perusahaan, tidak akan terlepas dari proses pencatatan akuntansi. Hal ini sejalan dengan pendapat Hasmitha dan Ja’far (2012:67) (2012:67) dan Hizazi, dkk (2010:49), akuntansi syariah adalah proses akuntansi yang digunakan oleh lembaga-lembaga keuangan syariah yang melakukan transaksi syariah yang meliputi pengakuan, pengukuran, pengukuran, pencatatan, penilaan dan penyajian laporan keuangan. keuangan. Menurut Ramadhani (2014:4), Hasmitha dan Ja’far J a’far (2012:64), Zahara,dkk (2014:53), Hanum (2014:2), perbankan syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam atau bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an Al-Qur’an dan Al-Hadist. Al -Hadist. Sedangkan menurut Adurrahim (2013:14-15), istilah Bank Islam yang menggunakan sistem bagi hasil diubah dengan sebutan bank syariah yang menjalankan kegiatannya sesuai dengan prinsip syariah. Jadi perbankan syariah adalah bank yang menjalankan operasionalnya berdasarkan prinsip
syariah yang berlandaskan Al-Qur’an dan Al-Hadist dengan menggunakan sistem bagi hasil. Dalam melaksanakan kegiatan penghimpunan dana, bank syariah menerima simpanan dari masyarakat. Sedangkan dalam kegiatan penyaluran dana, bank syariah memberikan jasa dalam bentuk pembiayaan dan investasi. Pembiayaan di bank syariah merupakan salah satu tulang punggung kegiatan perbankan. Terdapat beberapa jenis pembiayaan yang ditawarkan oleh bank syariah, diantaranya pembiayaan murabahah. Pembiayaan murabahah sendiri skema penyaluran dana dari
merupakan transaksi yang banyak dipilih sebagai bank syariah. Menurut Mardani dalam Ramadhani
(2014:3), dan Mahbub dan Hadiono (2015:3), Murabahah adalah pembiayaan yang saling menguntungkan yang dilakukan oleh bank dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi Bank dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsuran. Sedangkan menurut Hasmitha dan Ja’far (2012:2), dan Hanum (2014:3), Murabahah yaitu akad jual beli barang dengan harga jual sebesar biaya perolehan ditambah pendapatan yang disepakati dan penjual harus mengungkapkan biaya perolehan barang tersebut kepada pembeli. Dalam penelitian Abdurahim (2013:19), dan Fahrul, dkk (2012:78) Murabahah adalah menjual suatu barang dengan harga pokok ditambah keuntungan yang disetujui bersama untuk dibayar pada waktu yang ditentukan atau dibayar secara cicilan. Begitupun dengan pendapat Karim dalam Zahrah, dkk (2014:55) Murabahah adalah suatu kontrak penjualan dan pembelian dengan kesepakatan harga beli dari objek transaksi , dan keuntungan (margin) secara mutual disetujui baik penjual dan pembeli. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Murabahah adalah pembiayaan dengan prinsip jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati, dengan pihak bank selaku penjual dan nasabah sebagai pembeli. Pembayaran dapat dilakukan secara angsuran ataupun ditangguhkan sesuai dengan kesepakatan bersama. Menurut Karim (2014) dalam Bowo (2013-2014:63) Inti dari murabahah adalah akad jual-beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati penjual dan pembeli. Karena di dalam pengertian tersebut ada kata “keuntungan yang disepakati”, maksudnya yaitu si penjual harus memberitahukan harga pembelian barang tersebut dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada
biaya tersebut. Machmud (2015:278) menyatakan bahwa teori yang paling tepat digunakan dalam pembiayaan Murabahah adalah teori Exchange Behaviorims (Pertukaran Sosial) yang dikemukakan oleh Homans. Hal ini karena dalam teori Exchange Behaviorims (Pertukaran Sosial) menyatakan bahwa satu ciri khas teori pertukaran yang menonjol adalah cost and reward . Dalam berinteraksi manusia selalu mempertimbangkan cost (biaya atau pengorbanan) dengan reward (penghargaan atau manfaat) yang diperoleh dari interaksi tersebut. Jika dikaitkan dengan teori pertukaran social, maka pengungkapan harga dan keuntungan bertujuan untuk menunjukkan bahwa harga jual (imbalan) sebanding dengan biaya yang dikeluarkan (harga beli/investasi) yang telah disepakati kedua pihak. Dengan demikian akad Murabahah telah memenuhi prinsip dasar teori pertukaran Homas. Salah satu keberhasilan dalam penghimpunan dan penyaluran dana melalui pembiayaan, baik pembiayaan modal maupun pembiayaan dalam bentuk hutang. Pembiayaan modal lazim juga disebut dengan pembiayaan dengan skema bagi hasil, dimana Bank Syariah memberikan pembiayaan untuk modal usaha nasabahnya. Dimana semakin lama murabahah dalam produk perbankan ini pelan-pelan meningkat dan mayoritas portofolio pembiayaan pada Perbankan Syariah banyak didomonasi oleh pembiayaan Murabahah. dan menurut faktanya bahwa Murabahah ini salah satu pembiayaan yang banyak diminati oleh nasabah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wuluyo (2015:229) yang mengatakan bahwa pada penyaluran pembiayaan bank syariah di Indonesia, penyaluran pembiayaan dengan PLS yaitu musyarakah sebesar 25% dan mudharabah sebesar 7% sedangkan pembiayaan berakad jual beli (murabahah) menempati porsi terbesar yaitu 59% dari keseluruhan pembiayaan di bank syariah. Dengan terus hadirnya produk Murabahah di dalam Perbankan Syariah tentunya banyak juga masalah yang berkaitan dengan proses jalannya perbankan salah satunya adalah ketidaksesuaian antara teori dengan implementasinya yang terjadi pada perjanjian pembiayaan Murabahah. Menurut Ernawati (2012:436) Perkembangan murabahah yang pesat
menimbulkan dua pertanyaan: Apakah aplikasinya saat ini
alami ataukah dipaksakan?
Maksud aplikasi alami disini bahwa murabahah
diposisikan sebagai sifat asalnya dan dipraktikkan secara benar. Dan jika dipaksakan, hal tersebut menunjukkan bahwa
transaksi Murabahah diimplementasikan tidak
sebagaimana mestinya. Dalam teorinya syarat terjadinya murabahah yaitu kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan, yaitu ada penjual, pembeli, barang yang diperjualbelikan dan ada akad. Serta kontrak harus bebas dari riba. Namun menurut Abdurrahim (2012:14) penetapan besaran angsuran pembiayaan Murabahah seharusnya mengacu peda besaran harga pokok ditambah margin serta jangka waktu pembayaran. Ini harusnya benar-benar terlepas dari acuan terhadap suku bunga bank konvensional. Sementara itu menurut Dalel and Bessem (2013:159) dalam praktek "Murabahah" di perbankan ,klien melakukan pembelian aset sebelum bank membeli dan menjual kembali kepadanya sesudahnya. Dalam operasi ini, tidak ada risiko dan tidak ada pekerjaan dengan keuntungan tertentu bagi bank. Di sini, bank meminjamkan uang sebagai imbalan untuk manfaat ditentukan, sehingga kontrak "Murabaha" tidak lain adalah pinjaman dengan bunga. Adapun bentuk ketidaksesuaian lainnya yang terjadi yaitu adanya unsur Gahar serta adanya akad Wakalah dalam akad murabahah. Berdasarkan
uraian
Ketidaksesuaan
tersebut,
peneliti
tertarik
mengaangkat
judul
“Analisis
Antara Teori Pada Akad Murabahah Dengan Implementasinya Di
Perbankan Syariah”. B. Rumusan Masalah
Murabahah adalah akad
jual beli pada perbankan syariah, dimana nasabah
bertindak sebagai pembeli dan pihak bank bertindak sebagai penjual, keuntungan yang diperoleh dari akad Murabahah akan dibagi bersama dan pembayarannya dilakuan secara angsuran atau angsuran. Menurut Lathif (2012:74) ketentuan Murabahah pada perbankan
syariah adalah sebagai berikut: Pertama, bank dan
nasabah harus
melakukan akad Murabahah yang bebas riba. Kedua, Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariat Islam. Ketiga, bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya. Keempat, bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba. Kelima, bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang. Keenam, bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini, Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok
barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
Ketujuh, Nasabah
membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang
telah disepakati. Kedelapan, Untuk mencegah terjadinya kerusakan akad tersebut, pihak
penyalahgunaan atau
bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan
nasabah. Kesembilan, Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murâbahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank. Namun dalam impelemntasi ditemukannya ketidakseuaian antara konsep awal pada akad Murabahah dengan implementasinya dewasa ini pada perbankan syariah. Ada beberapa hal yang terjadi pada praktek akad Murabahah yang sudah melenceng dari kaidah islam sendiri, seperti di temukannya kemungkinan terjadinya riba, Gahar, serta adanya akad Wakalah, hal ini tentunya sudah melenceng dari konsep awal akad Murabahah dan merusak kontrak Murabahah itu sendiri. Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang dapat penulis angkat yaitu: 1. Bagaimana bentuk kinerja perbankan syariah dalam menjalankan akad Murabahah sehingga didalam akadnya muncul unsur Riba, gharar , akad Wakalah serta unsur pemaksaan yang sudah melenceng dari konsep awalnya? 2. Mengapa pihak perbankan syariah tetap mempertahankan akad Murabahah sebagai pembiayaan utama walaupun didalam akadnya sudah keluar dari konsep awalnya? 3. Bagaimana bentuk pencegahan yang dapat dilakukan sehingga akad Murabahah kembali ke konsep awalnya? II.
TINJAUAN TEORITIS DAN PAMBAHASAN
A. Teori Exchange Behaviorims (Pertukaran Sosial)
Amal (2013:4) menyatakan bahwa meski dasar-dasar teori pertukaran sosial dapat dilacak pada
perbincangan ataupun karya para ahli ilmu sosial klasik, teori
behaviorisme dan teori pilihan rasional, sebagaimana dikem ukakan di atas, namun orang yang dianggap sebagai pencetus teori ini adalah George C. Homans. Dikatakan demikian karena Homans telah berhasil menuangkan gagasan teoritisnya secara lebih utuh dan sistematis. Teori pertukaran yang digagas Homans ini lahir pada pertengahan abad ke 20 di Amerika Serikat. Tekanan individualistis dalam teori pertukaran di Amerika sejalan dengan fenomena individualisme yang terdapat dalam warisan budaya Amerika. Menarik dicatat bahwa asal-usul teori pertukaran di Amerika masa kini bertumbuh dari konfrontasi polemik antara orientasi individualstis dan kolektivistis.
Homans, sebagai tokoh yang paling menonjol dalam pendekatan terhadap perkembangan teori sosial, membangun dasar-dasar
individualistis
perspektifnya yang
bertentangan dengan penjelasan Levi-Strauss yang bersifat kolektivistis mengenai perkawinan dan pola-pola kekerabatan. Teori pertukaran Homans juga menggambarkan strategi dasar dan logika yang dia kemukakan sebagai sesuatu yang penting bagi perkembangan suatu teori
sosial yang bersifat menjelaskan – berlawanan dengan
konsep-konsep yang bersifat deskriptif belaka. Inti dari teori ini menurut Machmud (2015:261) Satu ciri khas teori pertukaran yang menonjol adalah
cost and reward . Dalam berinteraksi manusia selalu
mempertimbangkan cost (biaya atau pengorbanan) dengan reward (penghargaan atau manfaat) yang diperoleh dari interaksi tersebut. Jika cost tidak sesuai dengan reward nya, maka salah satu pihak yang mengalami disertasi seperti ini akan merasa sebal dan menghentikan interaksinya, sehingga hubungan sosialnya akan mengalami kegagalan. Inti teori pertukaran Homans terletak pada kumpulan proposisi-proposisi dasar yang menerangkan tentang setidaknya dua individu yang berinteraksi. Ia mencoba menjelaskan perilaku sosial mendasar dilihat dari sudut hadiah dan biaya. Dalam hal ini ia termotivasi oleh teori struktural-fungsional Parsons. B. Teori-Teori Perbankan Syariah
Menurut Syariah Enterprise Theory ( SET), perbankan syariah harus melakukan pertanggungjawaban sosial sesuai dengan apa yang telah dikerjakannya pada organisasi maupun pada masyarakat. Dengan pertanggungjawaban sosial yang baik maka kepercayaan masyarakat terhadap perbankan syariah akan semakin meningkat. Inti dari teori ini menurut Mutia (2010) dalam Mansur (2012:111) Allah adalah sumber amanah utama. Sedangkan sumber daya yang dimiliki oleh para stakeholders adalah amanah dari Allah yang di dalamnya melekat sebuah tanggung jawab untuk menggunakan dengan cara dan tujuan yang ditetapkan oleh Sang Maha Pemberi Amanah. Jadi perbankan syariah dalam melakukan peranggungjawaban sosial harus akuntanbel, karena bila melihat teori ini yang menyatakan bahwa Allah merupakan stakeholder utama, maka secara otomatis bentuk pertanggungjawaban perbankan syariah terhadap berbagai kegiatan pembiayaan yang dilakukannya terhadap manusia (nasabah/pembeli) dan alam akan terwujud dengan baik.
Selain SET, teori lain yang bisa digunakan dalam perbankan syraiah adalah Stakeholders Theory. Stakeholders Theory dimana menyatakan bahwa perusahaan dalam hal ini perbankan syariah tidak hanya bertanggungjawab terhadap pemilik (organisasi) tetapi juga harus bertanggungjawab terhadap masyarakat. Karena harus terjalin hubungan antara pihak internal (pihak bank) dengan pihak eksternal (mesyarakat/nasabah) dengan baik. Dengan adanya tanggungjawab yang baik yang diberikan oleh perbankan syariah kepada masyarakat maka aka nada kepercayaan dari pihak eksternal (masyarakat/nasabah) kepada bank dalam menggunakan produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah itu sendiri. Hadi (2011) dalam Sari (2012:127) Teori stakeholder adalah teori yang menggambarkan kepada pihak mana saja perusahaan bertanggung jawab. Perusahaan tidak hanya sekedar bertanggung jawab terhadap para pemilik (Shareholder) sebagaimana terjadi selama ini, namun bergeser menjadi lebih luas yaitu, pada ranah sosial kemasyarakatan (stakeholder) yang disebut tanggung jawab sosial (social responsibility). Fenomena seperti ini terjadi karena adanya tuntutan dari masyarakat akibat negative externalities yang timbul serta ketimpangan sosial yang terjadi. Untuk itu, tanggung jawab perusahaan yang semula hanya di ukur sebatas pada indikator ekonomi (economic focused) dalam laporan keuangan, kini harus bergeser dengan memperhitungkan faktor-faktor sosial (social dimentions) terhadap stakeholder, baik internal maupun external. Jadi perbankan syariah juga harus selalu bertanggungjawab terhapap pihak diluar perusahaan. C. Prinsip R ahmatan L il A lamin (Rahmat Bagi Seluruh Alam)
Samsiyah, Sambharakhresna dan Kompyurini (2013:50) menjelaskan dalam jurnalnya prinsip ramhatan lil’alamin berari bahwa keberadaan manusia seharusnya dapat menjadi manfatbagi makhluk Allah lainnya. jika dikaitkan dengan kerangka bank syariah, maka manfaat keberadaan bank syariah seharusnya dapat dirasakkan oleh semua pihak baik yang terlibat maupun tidak terlibat langsung dalam aktivitas perbankan syariah. Menurut Meutia (2010:221) dalam Samsiyah, Sambharakhresna dan Kompyurini (2013:50), bentuk rahmat atau keberpihakan ini dapat berupa pemberian zakat, infak dan sedekah maupun pemmberian pembiayaan kepada para pengusaha kecil. Prinsip rahmatan lil’alamin ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam AlQur’an:
107. Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (QS.Al-Anbiya:107) Sebagai agama yang rahmatan lil’alamin, agama islam penuh dengan nilai-nilai persaudaraan, persatuan, cinta, dan kasihsayang sesama manusia. Agama islam sangat menganjurkan untuk saling menjaga dan memelihara sesama manusia. Hal ini termasuk menjaga kelestarian alam maupun sesama manusia. Dalam kaitannya dengan Murabahah prinsip ini dapat bertindak sebagai tujuan dalam pengaplikasian pembiayaan Murabahah agar pelaksanaannya bukan hanya ditujukan untuk dunia semata, melainkan dapat disalurkan pada kegiatan-kegiatan sosial. D. Mur abahah dalam Teori Exchange Behaviorims (Teori Pertukaran Sosial)
Menurut Amal (2013:7)
Homans percaya bahwa proses pertukaran dapat
dijelaskan lewat beberapa pernyataan proposisional yang saling berhubungan dan berasal dari psikologi Skinnerian. Proposisi itu adalah proposisi sukses, stimulus, nilai, deprivasi-satiasi, dan restu agresi (approval agressian). Proposisi Sukses terdapat dalam statemen yang menyatakan “bahwa dalam setiap tindakan, semakin sering suatu tindakan tertentu memperoleh ganjaran, maka kian kerap ia akan melakukan tindakan itu”. Proposisi Stimulus, “jika di masa lalu terjadinya stimulus yang khusus, atau seperangkat stimuli, merupakan peristiwa di mana tindakan seseorang memperoleh ganjaran, maka semakin mirip stimuli yang ada sekarang ini dengan yang lalu itu, akan semakin mungkin seseorang melakukan tindakan serupa atau yang agak sama”. Proposisi Nilai, “semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka kian senang seseorang melakukan tindakan itu”. Proposisi Deprivasi-Satiasi, “semakin sering di masa yang baru berlalu seseorang menerima suatu ganjaran tertentu, maka semakin kurang bernilai bagi orang tersebut peningkatan setiap unit ganjaran itu”. Proposisi Restu-Agresi, “bila tindakan seseorang tidak memperoleh ganjaran yang diharapkannya, atau menerima hukuman yang tidak diharapkannya, atau menerima hukuman yang tidak diinginkan, maka dia akan marah; dia menjadi sangat cenderung menunjukkan perilaku agresif, dan hasil perilaku demikian menjadi lebih bernilai baginya. Bilamana tindakan seorang memperoleh ganjaran yang diharapkannya, khusus ganjaran yang lebih besar dari yang dikirakan, atau tidak memperoleh hukuman yang diharapkannya, maka dia akan merasa
senang; dia akan lebih mungkin melaksanakan perilaku yang disenanginya, dan hasil dari perilaku yang demikian akan menjadi lebih bernilai baginya”. Bila dikaitkan dengan murabahah maka teori Exchange Behaviorims (Pertukaran Sosial) ini merupakan teori yang paling tepat di pakai dalam dalam pembiayaan murabahah. Teori ini menyatakan bahwa manusia dalam melakukan interaksi selalu mempertimbangkan seberapa banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh keinginannya yang harus sebanding dengan keuntungan yang ia akan dapatkan nantinya dari hasil interaksi itu. Dengan kata lain, perbankan dan nasabah sebelum melakukan pembiayaan murabahah terlebih dahulu sudah memperhitungkan seberapa besar biaya yang harus mereka keluarkan dan seberapa besar juga keuntungan atau imbalan yang mereka akan dapatkan. Perbankan yang notabennya pasti akan mendapatkan keuntungan dari pembiayaan murabahah dengan resiko yang kecil tentu saja akan selalu mengulang atau melakukan pembiayaan murabahah dengan nasabah lainnya. Hal ini akan dilakukan secara berulang-ulang, pembiayaan murabahah yang semakin banyak dilakukan oleh pihak perbankan akan mendatangkan keuntungan yang banyak pula. Begitupun dengan pihak nasabah, mereka akan cenderung lebih memilih melakukan pembiayaan murabahah dibandingkan dengan melakukan jenis pembiayaan lainnya karena
pembiayaan
murabahah di
anggap
lebih
mudah
dilakukan
dengan
pertimbanagan bahwa imbalan yang nasabah dapatkan nantinya berupa adanya barang yang di inginkan sudah sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan barang kebutuhan nasabah tersebut. E. Pengaplikasian Akad Mur abahah di Perbankan Syariah
Produk pembiayaan pada perbankan syariah ada berbagai macam, namun akad Murabahah adalah produk perbankan syariah yang paling diminati di masyarakat, terbukti dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Amir et al (2015:20) yang menyatakan bahwa dalam pembiayaan Syariah, orang yang sangat akrab dengan akad murabahah. Untuk sekarang ini, kontrak murabahah adalah kontrak yang mendominasi distribusi pengeluaran perbankan syariah, di mana pada tahun 2012, tumbuh hingga 56,1% (yoy), mengambil posisi pasar 59,7% dari total Bank Umum Syariah (Syariah Komunal Bank) pengeluaran dan satuan usaha Syariah (unit usaha Syariah). Tingginya permintaan masyarakat terhadap pembiayaan Murabahah menyebapkan perbankan syariah menjadikannya prodak utama pada perbankan syariah sendiri mengalahkan
Mudharabah dan Musyarakah. Hal ini akibatkan karena pembiayaan Murabahah meruapakan perjanjian jangka pendek yang memiliki resiko kecil bagai perbankan syariah, selain itu proses penandatangan kontrak Murabahah tidak terlalu rumit dan cenderung lebih mudah di bandingkan produk perbankan syariah lainnya. Selain itu dalam akad Murabahah disertakan jaminan sebagai syarat pengambilan pembiayaan Murabahah yang bebankan kepada calon nasabah. Murabahah merupakan skema jual beli barang yang pembayarannya dilakukan secara cicil, dimana baiaya perolehan barang dan keuntungan harus diungkapkan oleh pihak perbankan kepada nasabah sebelum
melakukan penandatangan kontrak
murabahah itu sendiri. Pengaplikasiannya akan murabahah itu sendiri seharusnya harus sesuai dengan konsep awal akad murabahah namun dewasa ini ditemukan ada beberapa pelanggran yang dilakuan oleh beberapa perbankan syariah di Indonesia, yang menyebapkan tidak ada lagi perbedaan antara bank konvensioal dengan perbankan syariah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rachmawaty (2007) dalam Ramadhani (2014:4),pernyataan Dalel and Bessem (2013:160) serta pernyataan Amir et al (2015:10) yang menyatakan bahwa pada umumnya bank islam menggunakan murabahah sebagai pembiayaan investasi jangka pendek dan disinyalir terdapat ketidaksesuaian antara penerapan murabahah di bank syariah dengan ketentuan syariah yang ada. Pihak bank tetap mempertahankan praktek pembebanan Bunga, namun dengan lebel islam. 1. Unsur Riba Seperti yang kita ketahui bahwa riba sangat dilarang dalam agama islam, tujuan awal dari pendirian bank syariah adalah untuk menghilangkan praktek pengenaan bunga atau riba seperti yang diterapkan dalam perbankan konvensional. Namun dalam prakteknya sekarang ini, ternyata perbankan syariah tetap menerapkan pengenaan bunga dalam pembiayaan murabahah yang notabennya adalah sumber penghasilan terbesar dalam perbangkan syariah. Menurut Ramadhani (2014:15) ketika nasabah datang ke bank yang terjadi adalah negosiasi tentang besarnya Plafond pembiayaan dan syarat-syarat yang wajib dipenuhi oleh pihak nasabah perihal pengajuan murabahah, tidak ada sama sekali negoisasi tentang besarnya margin. Kemudian mengenai suplier, di dalam skema disebutkan bahwa pihak bank membeli barang dari suplier perihal barang yang dibutuhkan oleh
nasabah, padahal dalam keadaan sebenarnya tidak demikian bank telah mencairkan sejumlah dana pada saat akad lalu nasabah membeli sendiri kepada suplier, tanpa campur tangan pihak bank pihak nasabah membeli kepada supplier, dan nasabah hanya perlu memberikan bukti pembayaran kepada bank. Sedangkan menurut Dalel and Bessem (2013:159) Dalam praktek "Murabahah" di perbankan ,klien melakukan pembelian aset sebelum bank membeli dan menjual kembali kepadanya sesudahnya. Dalam operasi ini, tidak ada risiko dan tidak ada pekerjaan dengan keuntungan tertentu bagi bank. Di sini, bank meminjamkan uang sebagai imbalan untuk manfaat ditentukan, sehingga kontrak "Murabaha" tidak lain adalah pinjaman dengan bunga. Jadi apabila perbankan hanya sebagai pemberi pinjaman saja tanpa turun tangan langsung dalam pengadaan barang yang diingikan oleh nasabah (pembeli) dan tetap menerima pembayaran keuntungan walaupun nasabah sendiri yang langsung mengadakan barang tersebut dengan menggunakan uang yang di pinjam dari perbankan ini sudah tidak adalagi perbedaan dengan sistem kredit yang ditawarkan di perbankan konvensional. Apabila perbankan memperoleh keuntungan tanpa turun tangan langsung otomatis perbankan syariah telah mempraktekan unsur riba dalam pembiayaan Murabahah. Jadi sekarang ini sudah tidak adalagi perbedaan antara perbankan syraiah dan perbankan konvensional. Selain itu, dalam perhitungan keuntungan yang diperoleh dari Murabahah ditemukan juga adanya unsur riba, karena dalam perhitungan margin keuntungannya digunakan metode anuitas, dimana kita ketahui bahwa metode anuitas adalah metode yang digunakan dalam perbankan konvensional, dimana metode ini digunakan untuk memperhitungkan nilai bunga. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh (Kieso et al, 2008: 277-2) dalam Amir, et al (2015:23) yang menyatakan bahwa Membahas tentang anuitas, tidak dapat dipisahkan dari konsep nilai waktu dasar. Istilah dari nilai waktu dari uang menunjukkan hubungan antara waktu dan uang di mana uang yang diterima saat ini bernilai lebih dari uang yang diterima di masa depan. Nilai sekarang selalu lebih kecil jumlahnya dari nilai masa depan, sebagai bunga yang akan dihasilkan dan terakumulasi selama nilai saat ini untuk tanggal di masa depan, di mana dalam menentukan nilai masa depan, menggunakan proses Akumulasi sementara dalam menghitung nilai sekarang, perhitungan selesai bergerak melawan waktu dengan menggunakan proses pendiskontoan.
2. Unsur Gharar Gharar adalah jual beli atau akad yang mengandung unsur penipuan karena tidak adanya kejelasan suatu barang baik dari sisi harga, kwalitas, kwantitas, maupun keberadaannya. Jadi apabila perbankan syariah hanya sebagai pemberi pinjaman tanpa mengetahui segala sesuatu tentang barang yang di inginkan oleh nasabah maka itu sudah dilarang dan sudah tidak sesuai dengan syariat Islam. Menurut Dalel and Bessem (2013:159) Dalam praktek "Murabahah" diperbankan, klien melakukan pembelian aset sebelum bank membeli dan menjual kembali kepadanya kemudian, dengan kata lain, bank akan menjual properti yang tidak jelas. "Murabaha" kontrak mengandung ketidakpastian dan akibatnya "Gharar", unsur yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariat-. Apabila dalam pembiayaan murabahah pihak perbankan hanya sebagai pemberi pinjaman kepada nasabah untuk melunasi pembayaran barang kepada supplier, dengan kata lain perbankan tidak pernah mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan barang yang menjadi objek pada pembiayaan murabahah yang dilakukan oleh perbankan syariah karena barang tersebut sudah dimiliki sebelumnya oleh nasabah. 3. Akad Wakalah Menurut Ramadhani (2014:16) dalam penelitiannya penerapan pembiayaan murabahah yang ada di BPRS xxx di Kota Mojokerto dalam kenyataanya dalam hal penyediaan barang yang diperlukan nasabah, ternyata menyertakan akad wakalah di dalamnya. Dimana wakalah diartikan sebagai pemberian kuasa dan kewenangan oleh bank kepada nasabah sebagai penerima kuasa untuk membeli barang. Terlihat ada perbedaan antara praktek dalam murabahah dengan teori yakni dimasukkannya wakalah, sebenarnya dalam murabahah tidak ada wakalah karena wakalah merupakan akad yang terpisah dengan murabahah. Menurut teori seharusnya yang dilakukan oleh pihak bank adalah membelikan barang yang diminta oleh nasabah kepada supplier kemudian pihak bank menjual kembali barang tersebut dengan menyertakan margin yang diinginkan oleh pihak bank yang besarnya margin te lah disepakati oleh pihak bank dan pihak nasabah. Dengan pembelian barang oleh nasabah kepada supplier ini terkesan bahwa nasabah membeli barang dari supplier dan bukan dari pihak bank. Rahmadhani (2014:16) mengatakan penyertaan wakalah di dalam perjanjian murabahah sebenarnya mengurangi esensi daripada murabahah itu sendiri, hal ini tentu saja dapat menurunkan kualitas perbankan itu syari‟ah itu sendiri. Pihak bank mengaku
mencantumkan wakalah didalamnya karena pihak bank tidak mau kerepotan memenuhi barang yang diinginkan nasabah. Dari pernyataan pihak bank tersebut alasan digunakannya wakalah adalah agar mempermudah pihak bank, karena pihak bank tidak bisa mengurus semuanya secara keseluruhan perihal penyedian barang, dan menurut pihak bank apabila wakalah disertakan maka akan lebih membantu nasabah, karena nasabah bisa membeli barang sesuai dengan kriteria yang diharapkan nasabah walaupun nasabah juga melakukan hal tersebut karena pihak bank telah memberikan aturan wakalah tersebut tanpa negosiasi sebelumnya dengan nasabah 4. Unsur Pemaksaan Dalam akad murabahah seharusnya didalamnya tidak ada unsur pemaksaan dalam pelaksanaannya, namun kenyataannya dalam pelaksanaanya tidak ada proses negosiasi yang dilakukan oleh pihak perbankan dan pihak nasabah. Pihak perbankan sudah menyediakan kontrak yang harus ditandatangai oleh nasabah bila ingin melakukan pembiayaan murabahah. Jadi bisa disimpulkan bila akad murabahah merupakan akad sepihak yang dilakuakan oleh perbankan syariah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rahmadhani (2014:14) Dan pada tahap berikutnya yaitu pada tahap pencairan dana atau tahap penandatangan akad, nasabah diberikan form perjanjian yang telah di sediakan oleh bank yang berisi pasal-pasal dan perjanjian yang dibuat oleh pihak bank dan bersifat memaksa, karena form tersebut telah disediakan dan tidak ada perbincangan dahulu sebelumnya mengenai pasal yang ada. Begitu pula yang diungkapkan oleh Dalel and Bassem (2013:159) Menurut François Guéranger, wakil utama persetujuan, dalam hukum Islam, adalah kekerasan, penilaian subyektif yang ditentukan, kita kemudian menemukan, alternatif, dol dan kesalahan, baik berdasarkan faktor-faktor obyektif. Kekerasan adalah tindakan terhadap seseorang, yang mempengaruhi persetujuannya, kehendak bebas-Nya. Hal ini secara subyektif sudah diperkirakan: itu seharusnya ilegal, dapat dilakukan dan benar-benar efektif. Kekerasan yang diberikan pada klien karena ia setuju untuk membeli dengan harga baru yang sama dengan harga pembelian ditambah margin keuntungan tanpa mengetahui counterparty margin ini. Dol yang diberikan oleh bank, karena menyatakan bahwa "Murabaha" kontrak adalah kontrak yang sesuai dengan dasar keuangan Islam, tetapi dalam kenyataannya "Murabaha" kontrak agak pinjaman dengan bunga.
F. Pencegahan Terhadap Ketidaksesuaian Akad Murabahah Dengan Konsep Awalnya
Banyaknya terjadi kecurangan yang dilakukan pihak perbankan syariah pada pembiayaan Murabahah mengakibatkan kredibilitas perbankan syariah sendiri dipertanyakan. Hal ini menyebakan timbunya kritikan terhadap kinerja Dewan Pengawas Syariah sebagai pengawas dari kinerja perbankan syariah. Menurut Umam (2015:119) Pada dasarnya, Dewan Pengawas Syariah memiliki peranan penting dalam meminimalisir dan menghindari adanya kemungkinan penyimpangan atas kepatuhan perinsip-perinsip syariah dalam mencapai tujuan perusahaan. Melalui pengawasan tersebut, Dewan Pengawas Syariah diharapkan dapat membantu mengevaluasi dan mendeteksi mengenai sejauh mana pelaksanaan kepatuhan perinsip syariah diterapkan dan sampai sejauh mana penyimpangan yang terjadi dalam mengevaluasi kepatuhan atas perinsip-perinsip syariah tersebut. Keberadaan Dewan Pengawas Syariah diharapkan dapat memfokuskan dirinya dalam mengembangkan dan mengawal agar produk dan aktivitas lembaga keuangan syariah yang diawasinya selalu berjalan sesuai dengan syariah. Menurut Umam (2015:116) Dalam praktiknya, Dewan Pengawas Syariah sebagai lembaga independen yang mengawasi operasional lembaga keuangan syariah menerima insentif maupun tunjangan dari entitas syariah yang di awasi dimana entitas tersebut masih memiliki hubungan adminstratif dalam struktur administrasi manajemen, yaitu bukan dari lembaga independen di luar administratif kepengurusan entitas yang tidak memiliki hubungan langsung secara adminstratif dalam strukstur organisasi yang mereka awasi, sehingga dari sinilah konflik kepentingan dapat saja terjadi dimana entitas syariah yang mereka awasi selalu ingin mendapatkan status pujian kesesuaian syariah namun disisi lain, Dewan Pengawas Syariah tidak ingin kehilangan jabatan dan insentif bulananya sehingga bisa jadi hanya melaporkan hal yang baik-baik saja terhadap entitas tersebut. Selain itu, Umam (2015:123) Adapun salah satu faktor lain penyebab lemahnya pengawasan Dewan Pengawas Syariah saat ini bisa terjadi karena jumlah mereka yang terlalu sedikit yang hanya terdiri hampir dari dua sampai tiga orang tentunya tidak akan dapat menjangkau seluruh kantor cabang yang berada di daerah. Selain itu pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah tidak berlangsung
setiap hari, bahkan ada yang hanya dua minggu sekali sehingga memungkinkan terjadinya penyimpangan dalam peraktiknya. Jadi untuk melakukan pencegahan terhadap bentuk penyelewengan yang dilakukan oleh perbankan syariah terhadap akad Murabahah dapat dilakukan dengan lebih meningkatkan kinerja Dewan Pengawas Syariah dalam mengawasi kegiatan yang dilakukan oleh perbankan syariah. Integritas dan sikap profesionalisme DPS juga harus dipertahankan, sehingga seluruh bentuk ketidaksesuaian pengaplikasian pada akad Murabahah dengan konsep awalnya dapat di hilangkan. Selain itu jumlah anggota DPS harus ditambah, sehingga peroses pengawasannya terhadap kinerja perbankan syariah dapat lebih ditingkatkan dan dilakukan setiah hari kerja. Hal ini akan meminimalisir bahkan dapat menghilangkan semua bentuk kecurangan yang dilakukan pihak perbankan syariah terhadapproduk Murabahah. III.
SIMPULAN
Pembiayaan Murabahah adalah sumber pendapatan perbankan syariah paling besar, dimana pembiayaan Murabahah merupakan akad jaul beli barang antara perbankan dengan nasabah, dimana cara pembayarannya dilakukan secara kredit berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak. Akad Murabahah merupakan jenis perjanjian jangka pendek dimana tingkat resiko yang ditanggumh oleh perbankan syariah itu sedikit. Namun dalam pelaksanaannya dilapangan pembiayaan Murabahah sudah keluar dari konsep awal akadnya yang berdasarkan prinsip Islam. Adapun bentuk ketidaksesuaian yang dimaksud yaitu: pertama adalah adanya unsur riba, apabila perbankan hanya sebagai pemberi pinjaman saja tanpa turun tangan langsung dalam pengadaan barang yang diingikan oleh nasabah (pembeli) dan tetap menerima pembayan keuntungan walaupun nasabah sendiri yang langsung mengadakan barang tersebut dengan menggunakan uang yang di pinjam dari perbankan ini sudah tidak adalagi perbedaan dengan sistem kredit yang ditawarkan di perbankan konvensional. Apabila perbankan memperoleh keuntungan tanpa turun tangan langsung otomatis perbankan syariah telah mempraktekan unsur riba dalam pembiayaan Murabahah. Kedua yaitu Unsur Gharar, apabila dalam pembiayaan murabahah pihak perbankan hanya sebagai pemberi pinjaman kepada nasabah untuk melunasi pembayaran barang kepada supplier, dengan kata lain perbankan tidakpernah mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan barang yang menjadi objek pada pembiayaan murabahah
yang dilakukan oleh perbankan syariah karena barang tersebut sudah dimiliki sebelumnya oleh nasabah. Ketiga adanya Akad Wakalah, pihak bank memberikan alasan digunakannya wakalah adalah agar mempermudah pihak bank, karena pihak bank tidak bisa mengurus semuanya secara keseluruhan perihal penyedian barang, dan menurut pihak bank apabila wakalah disertakan maka akan lebih membantu nasabah, karena nasabah bisa membeli barang sesuai dengan kriteria yang diharapkan nasabah walaupun nasabah juga melakukan hal tersebut karena pihak bank telah memberikan aturan wakalah tersebut tanpa negosiasi sebelumnya dengan nasabah. Ke epat ditemukannya unsur pemaksaan, dalam akad murabahah seharusnya didalamnya tidak ada
unsur
pemaksaan
dalam
pelaksanaannya,
namun
kenyataannya
dalam
pelaksanaanya tidak ada proses negosiasi yang dilakukan oleh pihak perbankan dan pihak nasabah. Pihak perbankan sudah menyediakan kontrak yang harus ditandatangai oleh nasabah bila ingin melakukan pembiayaan murabahah. Jadi bisa disimpulkan bila akad murabahah merupakan akad sepihak yang dilakuakan oleh perbankan syariah. Untuk
mencegah
ketidaksesuaian
antara
akad
Murabahah
dengan
implementasinya dilapangan, maka kinerja dari DPS harus ditingkatkan dalam mengawasi kegiatan yang dilakukan oleh perbankan syariah. Integritas dan sikap profesionalisme
DPS
juga
harus
dipertahankan,
sehingga
seluruh
bentuk
ketidaksesuaian pengaplikasian pada akad Murabahah dengan konsep awalnya dapat di hilangkan. Selain itu jumlah anggota DPS harus ditambah, sehingga peroses pengawasannya terhadap kinerja perbankan syariah dapat lebih ditingkatkan dan dilakukan setiah hari kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahim, Ahim. “Oksidentalisme Dalam Perbankan Syariah.” Jurnal Akuntansi Multipradigma,” ISSN: 2086-7603. Jurnal Akuntansi Multipradigma, ISSN: 2086-2603. Vol. 4 no.1 (April 2013). http://jamal.ub.ac.id/index.php/jamal/article/view/223. (Diakses 16 Maret 2016). Amal, M. Khusba. “State Of The Art Teori Pertukaran Sosial: Dari Teori Pertukaran Sosial Klasik Pertukaran Sosial Klasik sampai Teori Pertukaran Sosial Kontemporer.”(2013). http://beasiswa.unair.ac.id/sites/default/files/perpanjangan/2013/ki_M%20K husna%20Amal_5064.pdf. (Diakses 16 Maret 2016). Amir, Vaisal et al. “ A Criticims of Anuities In Murabahah Transsaction:Allowing Riba Through Fatwa? (A Case Study of Shariah Banking in Indonesia) .” ISBN: 978-967-11350-4-4 Vol.1 (April 2015). http://klibel.com/wpcontent/uploads/2015/04/a2c3_vaisal-amir-a-criticism-of-anuities-inmurabahah-transaction.pdf. (Diakses 23 Mei 2016) Bowo, Ferdian Arie. “Pengaruh Pembiayaan Murabahah Terhadap Profitabilitas.” Jurnal Studia Vol. 1 no. 1. http://ejurnal.latansamashiro.ac.id/index.php/JSAB/article/download/19/17 (Diakses 31 Mei 2016) Dalel, Gharsellaouis and Taamallia Bassem. “Mourabaha" Contract and Basis of Islamic Finance.” Vol. 4 no. 11 (March 2013). http://journalarchieves30.webs.com/157-161.pdf. (Diakses 16 Maret 2016). Ernawati, Lies. “Keragaman Pemaknaan Murabahah.” ISSN: 1411-0393. Vol.16 no.4 (Desember 2012). Https://Www.Academia.Edu/14058119/Keragaman_Pemaknaan_Murabaha h. (Diakses pada 19 April 2016). Fahrul, Fauzan, dkk. “Pengaruh Tingkat Risiko Pembiayaan Musyarakah Dan Pembiayaan Murabahah Terhadap Tingkat Profitabilitas Bank Syariah (Studi Pada Bank Aceh Syariah Cabang Banda Aceh),” ISSN: 2302 -0164. Vol.2 no. 1 (November 2015). https://www.academia.edu/8092748/Pengaruh_Tingkat_Risiko_Pembiayaan _Musyarakah_Dan_Pembiayaan_Murabahah_Terhadap_Tingkat_Profitabili tas_Bank_Syariah_Studi_Pada_Bank_Aceh_Syariah_Cabang_Banda_Aceh. (Diakses 15 Maret 2016). Hanum, Zulia.” Analisisi Transaksi Murabahah Pada Pt.Bank Pembiayaan Rakyat( Bpr) Syariah Gebu Prima Medan.” Jurnal Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan,” ISSN: 1693-7600. Vol. 14 no.01 (Jili 2014). http://jurnal.umsu.ac.id/index.php/kumpulandosen/article/download/287/pdf _8. (Diakses 16 Maret 2016)
Hasmitha, Dwi dan Hotmal Ja’far. “Analisis Penerapan Dan Perlakuan Akuntansi Murabahah Untuk Pembiayaan Konsumtif Studi Kasus Pada P.T. Bank Muamalat Indonesia Cabang Medan.” Jurnal ekonomi. Vol. 15 no. 2 (April 2012).http://repository.usu.ac.id/xmlui/handle/123456789/43698?show=full. (Diakses 15 Maret 2016). Hizaki, Achamad, dkk. “Analisis Penerapan Akuntansi Syariah Di Bmt Al Ishlah Kota Jambi.” Jurnal penelitian Universitas Jambi Seri Humaniora, ISSN:08528349. Vol. 12 no. 2 (Juli-Desember 2010). https://www.academia.edu/5967697/AnalisisPenerapanAkuntansiSyariahDi BmtAlIshlahKotaJambi. (Diakses 15 Maret 2016). Machmud, Muhammad Eka. “Transaksi Dalam Teori Exchange Behaviorims Caspar Homans (Perspektif Ekonomi Syariah).” Vol. 8 no. 2. http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/iqtishadia/article/viewFile/959/100 2 (Diakses 31 Mei 2016) Mansur, Syuhada.“Pelaporan Corporate Social Responsibility Perbankan Syariah Dalam Prespektif Syariah Enterprise Theory ( Studi Kasus pada Laporan tahunan Pt Bank Syariah Mandiri).”Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam ISSN:2088-6365Vol.2no.2(2012). http://ejournal.kopertais4.or.id/index.php/economic/article/download/956/69 7(Diakses 1 April 2016). Rahmadani, Kiki Pricilia. “Analisis Kesyariahan Penerapan Pembiayaan Murabahah (Studi Kasus PT.Bank Pembiayaan Rakyat Syariah xxx di Kota Mojokerto).” Jurnal Imliah. Vol.2 no.1 (Februari 2014). http://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/view/957. (Diakses 16 Maret 2016). Samsiyah, Yudhata Sambharakresna dan Nurul Kompyurini. “Kajian Implementasi Corporate Social Responsibility Perbanakn Syariah Ditinjau Dari Shariah Enterprise Theory Pada Pt.Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Bhakti Sumerkar Cabang Pamekasan.” Jurnal Infestasi Vol.9 No I (Juni 2013) http://download.portalgaruda.org/article.php. (Diakses 21 Juni 2016) Sari, Rizkia Anggita.”Pengaruh Karakteristik Perusahaan Terhadap Corporate Responsibiliy Disclosure Pada Perusahaan Manufaktur yang Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia.” Vol.1 no.1 (2012) http://journal.uny.ac.id/index.php/nominal/article/viewFile/1002/805 (Diakses 30 Mei 2016) Umam, Khotibul. “Urgensi Standarisasi Dewan Pengawas Syariah dalam Meningkatkan Kualitas Audit Kepatuhan Syariah.” Jurnal Penghimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta Vol.1 no. 2 (Juni 2015)http://www.aifidigilib.org/uploads/1/3/4/6/13465004/05_isi._chotibul_ umam_(pasca_uin).pdf (Diakses 16 Juni 2016)
Waluyo, Bambang. “Implementasi Mudharabah pada Pembiayaan di Bank Syariah.” Account, ISSN: 2338-9753. Vol 1 no.3 (Juni 2015). http://akuntansi.pnj.ac.id/upload/artikel/files/bambang%20waluyo.pdf. (Diakses pada 1 April 2016). Zahara, Siti, dkk.” Pengaruh Debt Financing Dan Equity Financing Terhadap Kinerja Keuangan Bank Syariahperiode 2006-2010( Studi Pada Bank Syariah Yang Beroperasi Di Indonesia).” Jurnal Akuntansi Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, ISSN: 2302-0164. Vol.3 no. 1 (Februari 2014). http://prodipps.unsyiah.ac.id/Jurnalmia/images/Jurnal/vol.3.ma/3.1.ma/6.50. 62.siti.zahara.pdf. (Diakses 17 Maret 2016).