ANALISIS KEBIJAKAN/REGULASI TENTANG PROMOSI KESEHATAN
DAN EFEKTIFITASNYA DALAM MEWUJUDKAN
KECAMATAN SEHAT
Disusun Sebagai Tugas
M.K. PROMOSI KESEHATAN
Dosen : Dr. UNTUNG SUJIANTO, S.Kp., M.Kes.
Oleh :
KUSNADI JAYA, S.Kep., Ns.
NIM. 22020114410044
Peminatan : Manajemen Keperawatan
PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Permasalahan kesehatan yang dihadapi sampai saat ini cukup kompleks, karena upaya kesehatan belum dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 diketahui penyebab kematian di Indonesia untuk semua umur, telah terjadi pergeseran dari penyakit menular ke penyakit tidak menular, yaitu penyebab kematian pada untuk usia > 5 tahun, penyebab kematian yang terbanyak adalah stroke, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Hasil Riskesdas 2007 juga menggambarkan hubungan penyakit degeneratif seperti sindroma metabolik, stroke, hipertensi, obesitas dan penyakit jantung dengan status sosial ekonomi masyarakat (pendidikan, kemiskinan, dan lain-lain). Prevalensi gizi buruk yang berada di atas rata-rata nasional (5,4%) ditemukan pada 21 provinsi dan 216 kabupaten/kota. Sedangkan berdasarkan gabungan hasil pengukuran gizi buruk dan gizi kurang Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa sebanyak 19 provinsi mempunyai prevalensi gizi buruk dan gizi kurang di atas prevalensi nasional sebesar 18,4%. Namun demikian, target rencana pembangunan jangka menengah untuk pencapaian program perbaikan gizi yang diproyeksikan sebesar 20%, dan target Millenium Development Goals sebesar 18,5% pada 2015, telah dapat dicapai pada 2007 (Badan Lit-Bang Kes Kemenkes RI, 2007).
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 merupakan riset kedua yang mengumpulkan data dasar dan indikator kesehatan setelah tahun 2007 yang merepresentasikan gambaran wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Indikator yang dihasilkan antara lain status kesehatan dan faktor penentu kesehatan yang bertumpu pada konsep Henrik Blum. Riskesdas menghasilkan berbagai peta masalah kesehatan dan kecenderungannya, dari bayi lahir sampai dewasa. Misalnya, prevalensi gizi kurang pada balita (BB/U<-2SD) memberikan gambaran yang fluktuatif dari 18,4 persen (2007) menurun menjadi 17,9 persen (2010) kemudian meningkat lagi menjadi 19,6 persen (tahun 2013). Beberapa provinsi, seperti Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah menunjukkan kecenderungan menurun. Dua provinsi yang prevalensinya sangat tinggi (>30%) adalah NTT diikuti Papua Barat, dan dua provinsi yang prevalensinya <15 persen terjadi di Bali, dan DKI Jakarta. Masalah stunting/pendek pada balita masih cukup serius, angka nasional 37,2 persen, bervariasi dari yang terendah di Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Kalimantan Timur (<30%) sampai yang tertinggi (>50%) di Nusa Tenggara Timur. Tidak berubahnya prevalensi status gizi, kemungkinan besar belum meratanya pemantauan pertumbuhan, dan terlihat kecenderungan proporsi balita yang tidak pernah ditimbang enam bulan terakhir semakin meningkat dari 25,5 persen (2007) menjadi 34,3 persen (2013) (Badan Lit-Bang Kes Kemenkes RI, 2013).
Hasil pemetaan penyakit menular yang mencolok adalah penurunan angka period prevalence diare dari 9,0 persen tahun 2007 menjadi 3,5 persen tahun 2013. Untuk menjadi catatan penurunan prevalensi diasumsikan tahun 2007 pengumpulan data tidak dilakukan secara serentak, sementara tahun 2013 pengumpulan data dilakukan bersamaan di bulan Mei-Juni. Terjadi juga kecenderungan yang meningkat untuk period prevalence pneumonia semua umur dari 2,1 persen (2007) menjadi 2,7 persen (2013). Prevalensi TB –paru masih di posisi yang sama untuk tahun 2007 dan 2013 (0,4%). Terjadi peningkatan prevalensi hepatitis semua umur dari 0,6 persen tahun 2007 menjadi 1,2 persen tahun 2013. Penyakit tidak menular, terutama hipertensi terjadi penurunan dari 31,7 persen tahun 2007 menjadi 25,8 persen tahun 2013. Asumsi terjadi penurunan bisa bermacam-macam mulai dari alat pengukur tensi yang berbeda sampai pada kemungkinan masyarakat sudah mulai datang berobat ke fasilitas kesehatan. Terjadi peningkatan prevalensi hipertensi berdasarkan wawancara (apakah pernah didiagnosis nakes dan minum obat hipertensi) dari 7,6 persen tahun 2007 menjadi 9,5 persen tahun 2013. Hal yang sama untuk stroke berdasarkan wawancara (berdasarkan jawaban responden yang pernah didiagnosis nakes dan gejala) juga meningkat dari 8,3 per1000 (2007) menjadi 12,1 per1000 (2013). Demikian juga untuk Diabetes melitus yang berdasarkan wawancara juga terjadi peningkatan dari 1,1 persen (2007) menjadi 2,1 persen (Ba Lit-Bang Kes Kemenkes RI, 2013).
Perilaku merokok penduduk 15 tahun keatas masih belum terjadi penurunan dari 2007 ke 2013, cenderung meningkat dari 34,2 persen tahun 2007 menjadi 36,3 persen tahun 2013. Sebanyak 64,9 persen laki-laki dan 2,1 persen perempuan masih menghisap rokok tahun 2013. Ditemukan 1,4 persen perokok umur 10-14 tahun, 9,9 persen perokok pada kelompok tidak bekerja, dan 32,3 persen pada kelompok kuintil indeks kepemilikan terendah. Sedangkan rerata jumlah batang rokok yang dihisap adalah sekitar 12,3 batang, bervariasi dari yang terendah 10 batang di DI Yogyakarta dan tertinggi di Bangka Belitung (18,3 batang). Untuk kesehatan lingkungan, ada kecenderungan meningkat untuk rumah tangga yang bisa akses ke sumber air minum 'improved' 62,0 persen tahun 2007 menjadi 66,8 persen tahun 2013, dan variasi antar provinsi yang sangat lebar dari yang terendah di Kep. Riau (24,0%) dan yang tertinggi Bali dan DI Yogyakarta (>80%). Demikian halnya untuk rumah tangga yang memiliki akses ke fasilitas sanitasi 'improved' juga meningkat dari 40,3 persen (2007) (Ba Lit-Bang Kes Kemenkes RI, 2013).
Hasil Riskesdas diatas menunjukkan bahwa ada beberapa masalah kesehatan yang meningkat dibanding tahun 2007, antara lain : prevalensi gizi buruk, period prevalence pneumonia, prevalensi hepatitis dan prevalensi diabetes mellitus. Terkait dengan perilaku kesehatan diketahui bahwa perilaku merokok pada usia 15 tahun keatas juga meningkat sehingga resiko paparan penyakit-penyakit akibat rokok juga akan meningkat. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengendalikan peningkatan indikator-indikator diatas, tetapi kenyataannya masih ada peningkatan dari tahun ke tahun. Perawat di Puskesmas sebagai ujung tombak kegiatan Perawat Kesehatan Masyarakat memiliki tanggung jawab besar melakukan upaya-upaya kesehatan.
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007, tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) memberikan arah kebijakan pelaksanaan pembangunan di Indonesia sampai dengan tahun 2025 termasuk bidang kesehatan. Kebijakan tersebut dituangkan dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) Tahun 2009, bahwa upaya untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat dalam berperilaku sehat dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung melalui berbagai saluran media dan teknik promosi kesehatan. Salah satu pendekatan pelayanan kesehatan dalam SKN 2009 adalah pendekatan pelayanan kesehatan primer (Primary Health Care) yang secara global telah diakui sebagai pendekatan yang tepat dalam mencapai kesehatan bagi semua.
Program promosi kesehatan sebagai amanat undang-undang (UU No 17/ 2007 dan UU No. 36/2009 pasal 1), wajib dilaksanakan oleh Puskesmas, untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya. Program promosi kesehatan dilaksanakan dengan biayanya lebih murah dari kuratif dan rehabilitatif, juga karena 90–85% penduduk Indonesia yang sehat, perlu tetap di jaga kesehatannya agar tidak jatuh sakit. Penyelenggaraan upaya promotif dan preventif sangat penting untuk diutamakan dalam penyelenggaraan kesehatan di Indonesia, karena secara statistik jumlah penduduk Indonesia yang sehat jauh lebih banyak dari yang sakit, perbandingan hanya sekitar 10–15% saja orang Indonesia yang sakit, sedangkan selebihnya antara 90–85% adalah orang Indonesia yang sehat. Akan tetapi sebaliknya anggaran kesehatan lebih dimaksimalkan untuk pelayanan kuratif dengan perbandingan 85% penganggaran (budget) kesehatan dialokasikan untuk kegiatan kuratif, dan sisanya hanya 15% dialokasikan untuk kegiatan promotif dan preventif (Sampoerno, 2010).
Hasil penelitian Sugiharto (2012) menunjukkan Puskesmas perawatan memiliki mean rank yang lebih baik dari pada puskesmas non perawatan terhadap pencapaian promkes (desa siaga aktif). Hasil ini penting untuk pengembangan dan perbaikan program. Meningkatnya pengembangan puskesmas dari non perawatan ke perawatan yang tidak hanya terjadi di perkotaan, tetapi juga di perdesaan, maka sesuai fungsi Puskesmas menurut Kepmenkes RI No: 128/Menkes/SK/II/2004, Puskesmas disarankan mengutamakan public goods (pelayanan kesehatan masyarakat), karena program promosi kesehatan dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pendidikan/informasi kesehatan, dengan target yang sangat luas dan hemat biaya.
Kebijakan pengembangan Puskesmas dari non perawatan menjadi perawatan di pedesaan adalah lebih ditujukan untuk membantu kemudahan masyarakat desa dalam memperoleh pelayanan pengobatan yang bermutu dan mudah di jangkau. Ketimpangan anggaran upaya kesehatan dan efektifitas pelaksanaan promkes berbasis Puskesmas yang telah dipaparkan diatas, membuat Penulis merasa tertarik untuk melakukan analisis terhadap kebijakan sektor kesehatan yang berkaitan dengan promosi kesehatan guna mencapai tujuan Kecamatan Sehat berdasarkan regulasi terbaru.
Tujuan
Tujuan umum
Mendeskripsikan efektifitas kebijakan dan regulasi tentang promosi kesehatan yang berlaku dalam mencapai visi Kecamatan Sehat
Tujuan khusus
Mengidentifikasi kebijakan dan regulasi tentang promosi kesehatan yang berlaku saat ini
Mengidentifikasi peluang dan tantangan upaya promosi kesehatan saat ini
Mengidentifikasi pendekatan yang efektif dalam upaya promosi kesehatan sesuai dengan regulasi yang berlaku saat ini
Manfaat
Memberikan panduan bagi Puskesmas dalam melihat masalah, peluang dan tantangan
Memberikan masukan bagi perawat manajer dan perawat komunitas tentang strategi promosi kesehatan yang efektif dan sesuai dengan regulasi
Memberikan masukan bagi akademisi dan pemerhati masalah kesehatan dalam menganalisa kebijakan-kebijakan strategis di sektor kesehatan.
Sistematika
Makalah ini disusun dengan sistematika sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan, berisi latar belakang, tujuan, manfaat dan sistematika penulisan
Bab II Tinjauan Pustaka, berisi tentang kebijakan dan regulasi yang berlaku saat ini terkait dengan promosi kesehatan
Bab III Permasalahan Terkait Promosi Kesehatan di Indonesia, berisi kajian-kajian yang pernah dilakukan terhadap upaya promosi kesehatan di Indonesia
Bab IV Pembahasan, berisi analisa Penulis terhadap peluang dan tantangan untuk menemukan strategi promosi kesehatan yang efektif berdasarkan perspektif regulasi yang berlaku di Indonesia.
Bab V Penutup, berisi kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pada pasal 1, mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kesehatan. Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan program promosi kesehatan, seperti mendirikan sarana pelayanan kesehatan (posyandu) maupun memberikan informasi kesehatan (promosi kesehatan), termasuk pengembangan Desa Siaga atau bentuk bentuk lain pada masyarakat desa/kelurahan.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah
Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dalam penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional sesuai amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, diperlukan dukungan dana untuk operasional pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh Fasilitas Kesehatan. Fasilitas kesehatan disebut sebagai fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan perorangan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama yang selanjutnya disingkat FKTP adalah fasilitas kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat non spesialistik untuk keperluan observasi, diagnosis, perawatan, pengobatan, dan/atau pelayanan kesehatan lainnya. Pengelolaan Dana Kapitasi BPJS merupakan tata cara penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, dan pertanggungjawaban dana kapitasi yang diterima oleh FKTP dari BPJS Kesehatan. Dana Kapitasi adalah besaran pembayaran per-bulan yang dibayar dimuka kepada FKTP berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan.
Dana Kapitasi dibayarkan langsung oleh BPJS Kesehatan kepada Bendahara Dana Kapitasi JKN pada FKTP. Kepala FKTP menyampaikan rencana pendapatan dan belanja dana kapitasi JKN tahun berjalan kepada Kepala SKPD Dinas Kesehatan. Rencana pendapatan dan belanja dana kapitasi JKN mengacu pada jumlah peserta yang terdaftar di FKTP dan besaran kapitasi JKN, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Rencana pendapatan dan belanja dana kapitasi JKN dianggarkan dalam RKA-SKPD Dinas Kesehatan.
Pembayaran dana kapitasi dari BPJS Kesehatan dilakukan melalui Rekening Dana Kapitasi JKN pada FKTP dan diakui sebagai pendapatan. Pendapatan digunakan langsung untuk pelayanan kesehatan peserta JKN pada FKTP. Dalam hal pendapatan dana kapitasi tidak digunakan seluruhnya pada tahun anggaran berkenaan, dana kapitasi tersebut digunakan untuk tahun anggaran berikutnya. Dana kapitasi JKN di FKTP dimanfaatkan seluruhnya untuk jasa pelayanan kesehatan dan dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan. Jasa pelayanan kesehatan meliputi jasa pelayanan kesehatan perorangan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan.
Dukungan biaya operasional meliputi biaya obat, alat kesehatan, bahan medis habis pakai, dan dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan lainnya. Jasa pelayanan kesehatan di FKTP ditetapkan sekurang-kurangnya 60% (enam puluh persen) dari total penerimaan dana kapitasi JKN, dan sisanya dimanfaatkan untuk dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2014 Tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah
Alokasi untuk pembayaran dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan ditetapkan sebesar selisih dari besar Dana Kapitasi dikurangi dengan besar alokasi untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan. Besaran alokasi ditetapkan setiap tahun dengan Keputusan Kepala Daerah atas usulan Kepala SKPD Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan: a) kebutuhan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai; b) kegiatan operasional pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai target kinerja di bidang upaya kesehatan perorangan; dan c) besar tunjangan yang telah diterima dari Pemerintah Daerah. Pembagian jasa pelayanan kesehatan kepada tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan ditetapkan dengan mempertimbangkan variabel jenis ketenagaan dan/atau jabatan dan kehadiran.
Alokasi Dana Kapitasi untuk dukungan biaya operasional kesehatan dimanfaatkan untuk : a) obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai; dan b) kegiatan operasional pelayanan kesehatan lainnya. Pengadaan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dapat dilakukan melalui SKPD Dinas Kesehatan, dengan mempertimbangkan ketersediaan obat, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang dialokasikan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Dukungan kegiatan operasional pelayanan kesehatan lainnya, meliputi : a) upaya kesehatan perorangan berupa kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif lainnya; b) kunjungan rumah dalam rangka upaya kesehatan perorangan; c) operasional untuk puskesmas keliling; d) bahan cetak atau alat tulis kantor; dan/atau e) administrasi keuangan dan sistem informasi.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 Tentang Pusat Kesehatan Masyarakat
Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Ada dua macam upaya kesehatan yang dilaksanakan di Puskesmas, yakni Upaya Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disingkat UKM dan Upaya Kesehatan Perseorangan yang selanjutnya disingkat UKP.
UKM adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah dan menanggulangi timbulnya masalah kesehatan dengan sasaran keluarga, kelompok, dan masyarakat, sedangkan UKP adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk peningkatan, pencegahan, penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan. Pembangunan kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang: 1) memiliki perilaku sehat yang meliputi kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat; 2) mampu menjangkau pelayanan kesehatan bermutu; 3) hidup dalam lingkungan sehat; dan 4) memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Pembangunan kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas tersebut mendukung terwujudnya kecamatan sehat. Dengan demikian, promosi kesehatan merupakan salah satu upaya kesehatan esensial Puskesmas untuk mencapai level kemandirian setinggi-tingginya.
Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan, Puskesmas wajib diakreditasi secara berkala paling sedikit 3 (tiga) tahun sekali. Akreditasi Puskesmas adalah pengakuan terhadap Puskesmas yang diberikan oleh lembaga independen penyelenggara akreditasi yang ditetapkan oleh Menteri setelah dinilai bahwa Puskesmas telah memenuhi standar pelayanan Puskesmas yang telah ditetapkan oleh Menteri untuk meningkatkan mutu pelayanan Puskesmas secara berkesinambungan.
BAB III
PERMASALAHAN PROMOSI KESEHATAN DI INDONESIA
Hasil-hasil kajian yang berhubungan
Menurut Syuaibi dalam Nugraha (2010) ada beberapa hal yang menghambat maksimalisasi promosi kesehatan di Indonesia. Pertama, karena tenaga kesehatan yang masih sedikit, sehingga sumber daya manusia untuk melakukan promosi kesehatan seperti Home Care, penyuluhan, dan demostrasi juga terbatas terutama di daerah-daerah terpencil di Indonesia. Hambatan kedua, masyarakat Indonesia masih banyak percaya pada mitos. Contohnya jika ada orang yang sakit lebih baik di bawa ke dukun daripada diperiksakan ke ahli kesehatan. Pola pikir masyarakat yang dekat dengan mitos, sering membuat masyarakat sulit penerima pendidikan kesehatan yang diberikan oleh para ahli kesehatan. Hal ini adalah budaya dan untuk merubah budaya juga tidak bisa secara revolusioner namun harus perlahan. Promosi kesehatan sendiri merupakan sebuah proses untuk membuat masyarakat lebih mampu mengontrol, menjaga, dan memperbaiki kesehatan. Biasanya proses ini dilakukan oleh para tenaga kesehatan dengan melakukan Home Care atau kunjungan ke rumah-rumah masyarakat maupun memberikan pendidikan kesehatan melalui penyuluhan di komunitas maupun desa. Promosi kesehatan ini bukan hanya disampaikan melalui teori saja tetapi juga melalui demonstrasi tentang pentingnya menjaga kesehatan atau langkah-langkah untuk menangani penyakit.
Penelitian Yuniarti dkk (2012) menggunakan metode eksplanatory study dengan wawancara dan observasi terhadap 87 petugas penyuluh kesehatan menunjukan bahwa bahwa kinerja petugas penyuluh kesehatan masyarakat dalam praktek promosi kesehatan di DKK Pati adalah termasuk kurang yaitu sebesar 56,3% dan yang mempunyai kinerja baik hanya 43,7%, Variabel yang berhubungan langsung dengan kinerja petugas penyuluh kesehatan masyarakat adalah adalah tingkat pendidikan, pelatihan, pengetahuan, ketrampilan dan kepemimpinan. Variabel paling berpengaruh terhadap kinerja Petugas penyuluh kesehatan masyarakat yaitu tingkat pendidikan.
Ekawati dkk (2012) terkait Promosi kesehatan tentang HIV/AIDS di Denpasar mengemukakan hasil peneltian 40 orang siswa/siswi SMU 2 Denpasar mengungkapkan bahwa Promosi kesehatan tentang HIV/AIDS di sekolah-sekolah bisa dilakukan melalui kegiatan ekstrakulrikuler KSPAN yang ada di sekolah, memasukan dalam kurikulum maupun mengadakan penyuluhan kepada siswa-siswa di sekolah. Walaupun demikian ada kendala-kendala yang membuat promosi kesehatan di sekolah kurang efektif yaitu kurangnya minat dan perhatian siswa.
Restuastuti dan Chandra (2012) dalam penelitian tentang efektifitas promosi kesehatan dalam pencegahan DBD di Riau melaporkan salah satu cara promosi kesehatan yang efektif meningkatkan skor pengetahuan adalah penerapan model promosi kesehatan model C (kombinasi ceramah tanya jawab + komik promosi kesehatan tentang DBD + folder penanggulangan DBD terbitan Direktorat Jenderal PP dan PL Departemen Kesehatan RI tahun 2007 serta dilakukan demonstrasi pembersihan sarang nyamuk menggunakan metode 3M plus).
Identifikasi Masalah
Berdasarkan hasil-hasil kajian yang sudah dipaparkan sebelumnya maka Penulis mencoba melakukan ekstraksi data untuk mengidentifikasi point-point penting terkait promosi kesehatan, sebagai berikut :
Promosi kesehatan seringkali terhambat oleh kurangnya SDM dan budaya masyarakat yang masih mempercayai mitos (tema 1)
Promosi kesehatan dapat dilaksanakan saat home care (tema 2)
Variabel yang berhubungan langsung dengan kinerja petugas penyuluh kesehatan masyarakat adalah adalah tingkat pendidikan, pelatihan, pengetahuan, ketrampilan dan kepemimpinan. Yang paling berpengaruh adalah tingkat pendidikan (tema 3)
Promosi kesehatan di sekolah-sekolah bisa dilakukan melalui kegiatan ekstrakulrikuler, memasukan dalam kurikulum maupun mengadakan penyuluhan kepada siswa-siswa di sekolah (tema 4)
Model promosi kesehatan yang efektif meningkatkan pengetahuan secara bermakna adalah kombinasi ceramah tanya jawab + komik promosi kesehatan + folder promosi kesehatan serta dilakukan demonstrasi (tema 5).
BAB IV
PEMBAHASAN
Analisis Kebijakan dan Regulasi Terkait Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan saat ini merupakan salah satu trend issue nasional di bidang kesehatan. Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan mengemban tugas meningkatkan derajad kesehatan dengan pendekatan promosi kesehatan ini. Permenkes 75/2014 memerintahkan Puskesmas menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Dengan demikian seluruh pengelolaan pelayanan kesehatan di Puskesmas harus mengedepankan upaya promotif dan preventif daripada kuratif dan rehabilitatif.
Namun sebagaimana disampaikan oleh Sampoerno (2010), anggaran kesehatan lebih dimaksimalkan untuk pelayanan kuratif daripada kegiatan promotif dan preventif. Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2014 dan Permenkes Nomor 19 Tahun 2014 yang merupakan panduan dalam penggunaan dana kapitasi BPJS untuk mendukung pelayanan Puskesmas sama sekali tidak berpihak pada upaya promosi kesehatan. Sebanyak 60% dana kapitasi dialokasikan untuk jasa layanan dan 40 % sisanya untuk dukungan operasional.
Alokasi dana kapitasi untuk dukungan biaya operasional kesehatan sendiri dimanfaatkan untuk (yang utama) obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai serta kegiatan operasional pelayanan kesehatan lainnya. Apabila dibagi sama besar maka dapat diasumsikan 20% dana kapitasi untuk logistik pengobatan/perawatan dan 20% sisanya untuk kegiatan lain.
Pelayanan kesehatan lainnya yang dimaksud berupa: 1) upaya kesehatan perorangan berupa kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif lainnya; b) kunjungan rumah dalam rangka upaya kesehatan perorangan; c) operasional untuk puskesmas keliling; d) bahan cetak atau alat tulis kantor; dan/atau e) administrasi keuangan dan sistem informasi. Apabila alokasi tadi dibagi sama untuk kelima kegiatan diatas, maka alokasinya adalah sebagai berikut :
Upaya kesehatan perorangan (promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif) sebanyak 4%. Jika alokasi ini sama dibagi rata, maka upaya promotif hanya mendapatkan porsi sebanyak 1%.
Home care sebanyak 4%
Puskesmas keliling sebanyak 4%
ATK sebanyak 4 %
Administrasi dan sistem informasi sebanyak 4%.
Sungguh ironis ketika di satu sisi Puskesmas diminta mengedepankan upaya promotif namun alokasi dana kapitasi BPJS yang diberikan sangat kecil. Mengingat kecilnya dana kapitasi untuk upaya promosi kesehatan, maka dibutuhkan analisa lebih lanjut untuk mengidentifikasi peluang dan tantangan sehingga dapat dirumuskan kebijakan yang efektif.
Analisis Peluang dan Tantangan Upaya Promosi Kesehatan
Permenkes 75 Tahun 2014 menyebutkan bahwa pembiayaan Puskesmas dapat bersumber dari APBN, APBD maupun sumber lain, termasuk dana kapitasi BPJS. Dan dalam Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2014 disebutkan bahwa pengelolaan dana BPJS di Puskesmas harus menggunakan Pola Pengelolaaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD). Salah satu peluang dalam PPK-BLUD adalah tidak harus menghabiskan anggaran yang ada sebagaimana mekanisme APBD/APBN. Meskipun Permendagri Nomor 61 Tahun 2007 Tentang APBD menyebutkan bahwa APBD dan APBN diakui sebagai pendapatan BLUD, tetapi anggaran ini tidak akan menyisakan saldo. Berbeda dengan pendapatan BLUD atas pelayanan yang diberikan (jasa layanan), maka penggunaannya harus dilaksanakan secara efektif dan efisien. Dengan kata lain tidak harus dihabiskan. Permendagri 61/2007 juga menyebutkan bahwa saldo pada akhir tahun anggaran boleh dijadikan silva untuk dijadikan modal awal tahun berikutnya. Maka disinilah peluang untuk megembangkan promosi kesehatan harus diadvokasi dengan kebijakan anggaran.
Alokasi dana APBN/APBD untuk promosi kesehatan lebih sulit dikendalikan sebab mekanisme penetapannya melalui persetujuan DPR/DPRD. Dan alokasi yang diberikan sangat bergantung dari kebijakan lembaga eksekutif. Sedangkan pendapatan BLUD dan penggunaannya ditetapkan sendiri oleh organisasi yang menerapkan PPK-BLUD. Pejabat pengelola keuangan hanya mengesahkan saja dokumen yang ada, tanpa harus mengintervensi kebijakan alokasi anggaran dan penggunaannya sebab pertanggung jawaban pengelolaan BLUD adalah dengan mekanisme audit oleh lembaga independen.
Berdasarkan perspektif BLUD maka penggunaan dana kapitasi harus dikelola secara efektif dan efisien. Alokasi 60% untuk jasa layanan untuk tenaga kesehatan dan non kesehatan adalah untuk imbalan terhadap upaya kesehatan yang dilaksanakan. Demikian juga bagi perawat yang melaksanakan upaya promosi kesehatan, maka jasa layanan yang diterimanya adalah atas pekerjaannya melakukan promosi kesehatan. Tantangannya adalah mekanisme pertanggung jawaban keuangannya, apakah menggunakan perjalanan dinas, atau pertanggungjawaban kegiatan.
Karena itu Ditasaytadevi (2014) menyarakan kedua regulasi terkait Kapitasi BPJS yang telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat agar diturunkan kembali dengan diterbitkannya Peraturan Daerah. Pemerintah Daerah bila perlu diperkuat dengan SK dari Kepala SKPD terkait dalam hal ini Dinas Kesehatan baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota, karena variabel dalam penilaian kinerja yang terdapat dalam peraturan tersebut belum terurai secara terperinci.
Dengan adanya penambahan point-point penilaian terhadap kinerja baik kesehatan dan non kesehatan setidaknya dapat meredam kekisruhan yang terjadi dalam pembagian dana jasa pelayanan di Puskesmas. Beban kerja pegawai harus dinilai dengan seberapa banyak program yang dipegang dan dilaksanakan oleh petugas (termasuk di dalamnya adalah program promosi kesehatan). Dengan penambahan variabel tersebut tenaga kesehatan di puskesmas akan merasa keadilan telah ditegakkan.
Pendekatan dan Strategi Efektif Dalam Upaya Promosi Kesehatan Sesuai Regulasi Yang Berlaku
Terkait dengan analisis diatas, maka ada beberapa hal yang menurut Penulis dapat diekstraksi untuk pembahasan selanjutnya. Langkah primer yang dapat dilakukan adalah, minimnya anggaran promosi kesehatan mesti diadvokasi melalui mekanisme APBD untuk mengalokasikan lebih banyak pos anggaran terhadap perjalanan dinas dan kegiatan dalam rangka promosi kesehatan, sebab promosi kesehatan adalah salah satu Upaya Kesehatan Masyarakat essensial yang harus diselenggarakan Puskesmas. Langkah kedua adalah penggunaan dana silva BLUD untuk kegiatan pengembangan, termasuk di dalamnya kegiatan promosi kesehatan sebab PPK-BLUD mengizinkan adanya saldo/silva pada akhir tahun anggaran. Langkah ketiga adalah advokasi terhadap kebijakan yang berlaku terutama dalam bentuk peraturan daerah yang mengatur tentang mekanisme pembagian dana kapitasi BPJS untuk jasa layanan. Dan ketiga langkah ini harus dimainkan pada level manajemen.
Langkah sekunder adalah mengintegrasikan strategi promosi kesehatan kedalam kegiatan pelayanan, misalnya home care dan UKS sebab kedua metode tersebut sudah dilaporkan efektif untuk diselenggrakan. Selain itu variabel-variabel yang berpengaruh terhadap kinerja petugas penyuluh kesehatan masyarakat dapat diintegrasikan dalam variabel pembagian jasa layanan. Sebab mereka yang memiliki kinerja lebih baik berhak atas jasa layanan yang lebih baik pula. Variabel-variabel yang dilaporkan memiliki hubungan langsung dengan kinerja petugas penyuluh kesehatan masyarakat menurut kekuatan pengaruhnya masing-masing adalah tingkat pendidikan, pelatihan, pengetahuan, ketrampilan dan kepemimpinan.
Selanjutnya, dalam merencakanan kegiatan dalam rangka promosi kesehatan mesti diperhatikan bahwa model yang dilaporkan terbaik dalam implementasinya adalah dengan memadukan ceramah, diskusi dan simulasi/peragaan. Kegiatan Puskesmas dapat dirancang dengan bentuk Lomba Kelompencapir yang pernah populer pada tahun 90 an sebab menggabungkan metode-metode tersebut. Kegiatan seperti ini lebih mudah dalam pertanggungjawaban keuangan dan lebih efisien untuk mencapai hasil. Terkait dengan tujuan akhir pencapaian kecamatan sehat maka kegiatan ini harus diagendakan bersama dengan support system Puskesmas, dalam hal ini Camat dan unsur pemerintahan kecamatan. Penyelenggaraan kegiatan bisa mengambil momentum peringatan kemerdekaan, maupun peringatan hari kesehatan.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Kebijakan dan regulasi yang mempengaruhi pelaksanaan promosi kesehatan yang berlaku saat ini, antara lain :
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang menekankan untuk melibatkan peran serta masyarakat dalam upaya promosi kesehatan.
Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah, yang mengatur pemanfaatan dana kapitasi BPJS di Puskesmas
Permenkes Nomor 19 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah, yang salah satunya mengatur variabel yang digunakan untuk menentukan besaran jasa layanan tenaga kesehatan dan non kesehatan di Puskesmas.
Permenkes Nomor 75 Tahun 2014 Tentang Puskesmas, yang menempatkan promosi kesehatan sebagai salah satu upaya kesehatan esensial.
Peluang dan tantangan upaya promosi kesehatan saat ini, meliputi :
Pemanfaatan dana kapitasi BPJS dengan PPK-BLUD memungkinkan pimpinan BLUD dan/atau Kepala Puskesmas untuk memiliki kewenangan dalam pengelolaan anggaran, mulai dari perencanaan hingga penggunaannya. Hal ini memungkinkan untuk memasukkan porsi anggaran lebih besar untuk upaya promosi kesehatan, terutama dana dari silva BLUD.
Advokasi terhadap alokasi anggaran APBD/APBN untuk promosi kesehatan, sebab pada kenyataannya jumlah orang sehat lebih banyak daripada orang sakit sehingga semestinya alokasi anggaran untuk orang sehat lebih besar, antara lain untuk kegiatan promosi kesehatan.
Variabel-variabel yang digunakan untuk pembagian dana kapitasi yang mencapai 60% perlu diturunkan dalam bentuk Peraturan Daerah, dan dipandang perlu memasukkan pula variabel-variabel tambahan terutama yang berkaitan langsung dengan prestasi kerja. Terkait dengan promosi kesehatan, variabel yang berpengaruh langsung terhadap kinerja petugas adalah tingkat pendidikan, pelatihan, pengetahuan, ketrampilan dan kepemimpinan.
Pendekatan yang efektif dalam upaya promosi kesehatan sesuai dengan regulasi yang berlaku saat ini, antara lain :
Mengintegrasikan program promkes dalam kegiatan home care maupun kegiatan UKS yang merupakan upaya essensial puskesmas.
Model promosi kesehatan yang dilaporkan terbaik dalam implementasinya adalah dengan memadukan ceramah, diskusi dan simulasi/peragaan.
Saran
Bagi Kepala Puskesmas disarankan untuk menangkap peluang-peluang yang ada terkait dengan upaya promosi kesehatan guna mengembangkan upaya kesehatan di Puskesmas. Salah satunya dana kapitasi BPJS yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan promosi kesehatan.
Bagi Perawat Manajer dan Perawat Komunitas disarankan menggunakan peluang yang ada untuk mengembangkan upaya-upaya kesehatan, sebab saat ini payung hukum terhadap tindakan keperawatan sudah ada dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014. Salah satu upaya keperawatan yang dapat dikembangkan misalnya home care dengan mengedepankan upaya promosi kesehatan.
Bagi akademisi disarankan melakukan advokasi terhadap perimbangan alokasi anggaran melalui tulisan ilmiah, kajian-kajian maupun riset-riset sehingga memberikan kontribusi yang baik dalam penyusunan peraturan perundangan.
DAFTAR PUSTAKA
Ditasaytadevi (2014) Kisruh Pembagian Dana Kapitasi Jasa Pelayanan Kesehatan, Sudah Benarkan Aturan Regulasinya? http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2014/10/29/kisruh-pembagian-dana-kapitasi-jasa-pelayanan-kesehatan-sudah-benarkan-aturan-regulasinya--699204.html . Diposkan tanggal 29 Oktober 2014
Ekawati N.K., Wulandari, L.P.L., Lubis, D., Purnama, S.G. (2012) Promosi Kesehatan di Sekolah Pada Remaja Dalam Upaya Pencegahan Penyakit HIV/AIDS di Kota Denpasar. Udayana Mengabdi. Volume 11 Nomor 2 Tahun 2012. 11 (2): 55 - 58 ISSN : 1412-0925
Nugraha, S. (2010) Promosi Kesehatan di Indonesia Tak Maksimal. http://news.okezone.com/homekampus Diposkan hari Senin tanggal 24 Mei 2010
Restuastuti, T., Chandra, F. (2012) Evaluasi Penerapan Promosi Kesehatan Dalam Pencegahan Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah Dengue Melalui Gerakan 3M Plus di Kota Pekanbaru. Jurnal Ilmu Lingkungan
Vol 3, No 01. 22 Nov 2012. ISSN 1978-5283. Diakses dari http://ejournal.unri.ac.id/index.php/JIL/article/view/321
Sampoerno D. (Ketua Kolegium Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat/IAKMI) Seimbangkan Upaya Preventif dan Kuratif. http://www.xamthone.com Diposkan hari Senin tanggal 18 Oktober 2010
Sugiharto, M., Widjiartini (2012). Analisis Pencapaian Target Program Promosi Kesehatan Menurut Jenis Puskesmas di Kabupaten Tulungagung (Uji Komperasi Mann Whitney Test - Data Rifaskes, 2011). Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 15 No. 4 Oktober 2012: 369–380
Yuniarti, Shaluhiyah, Z., Widjanarko, B. (2012) Kinerja Petugas Penyuluh Kesehatan Masyarakat dalam Praktek Promosi Kesehatan di Dinas Kesehatan Kabupaten Pati. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia. Volume 7, No. 2, Agustus 2012. Diakses dari http://ejournal.undip.ac.id/index.php/jpki/issue/view/1159