analisis kasus transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
alternatif pemecahan masalah
kendala yang dihadapi DJP
PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd (Singapura)
negara tujuan ekspor
5
MAKALAH
AKUNTANSI MANAJEMEN
ANALISIS KASUS TRANSFER PRICING
PT TOYOTA MOTOR MANUFACTURING INDONESIA
Disusun Oleh
I Gede Yudi Henrayana (24)
Kelas 8A Program Studi D IV Alih Program
NPM 154060006560
Untuk Memenuhi Tugas Akhir Semester VIII
Mata Kuliah Akuntansi Manajemen
Tahun Akademik 2015/2016
ABSTRAK
Transfer pricing adalah kebijakan penentuan harga untuk penjualan barang/jasa yang terjadi dalam internal satu perusahaan atau satu kelompok perusahaan. Belakangan ini, transfer pricing lebih banyak digunakan untuk tujuan perencanaan pajak daripada untuk pengukuran kinerja divisi. PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia juga melakukan transfer pricing untuk tujuan perencanaan pajak. Namun, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menganggap bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan transfer pricing guna penghindaran pajak. Adapun modus yang dilakukan oleh PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia adalah melakukan penjualan dengan transfer price di luar prinsip kewajaran dan kelaziman usaha kepada perusahaan afiliasinya yang berada di Singapura. Untuk membuktikan bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan transfer pricing guna penghindaran pajak, DJP menggunakan Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP). Adapun kendala dalam penggunaan metode ini adalah mencari data pembanding yang sesuai. Metode yang digunakan DJP untuk penentuan transfer price yang wajar disanggah oleh pihak PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia karena perusahaan yang menjadi perbandingan petugas pajak, yaitu Hindustan Motors (India), Yulon Motor (Taiwan), dan Force Motor Limited (India), berstatus merugi. Sementara itu, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia pada 2008 masih untung sehingga tidak bisa dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan tersebut. Terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement/APA) patut diapresiasi. Dengan melakukan APA dengan Wajib Pajak, DJP akan mempunyai dasar yang lebih kuat dalam penentuan transfer price yang wajar. Selain itu, APA juga dapat meningkatkan basis data perpajakan DJP.
Kata kunci: transfer pricing, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, Advance Pricing Agreement
ABSTRACT
Transfer pricing is a pricing policy for the sale of goods/services that occur within a company or a group of companies. Lately, transfer pricing is used more for tax planning purpose rather than for performance measurement purpose. PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia also uses transfer pricing for tax planning purpose. However, the Directorate General of Taxation (DGT) considers that PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia used transfer pricing for tax evasion. PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia is accused selling to its affiliated company in Singapore with transfer price beyond the arm's length principles. To prove that PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia used transfer pricing for tax evasion, the DGT used Comparable Uncontrolled Price (CUP) method. The constraint in the use of this method is to find an appropriate comparable data. However, the method used by the DGT is refuted by PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia because the company used as comparisons by DGT, namely Hindustan Motors (India), Yulon Motor (Taiwan), and Force Motors Limited (India), were in the condition of loss. Meanwhile, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia in 2008 still earned a profit so cannot be compared to those companies. The enactment of the Minister of Finance Regulation 7/PMK.03/2015 concerning Procedures for the Establishment and Implementation of Advance Pricing Agreement (APA) should be appreciated. By entering APAs with the taxpayers, the DGT will have a stronger basis in determining whether the transfer price is within the arm's length principles or not. In addition, the APAs can also improve the database of DGT.
Keywords: transfer pricing, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, Advance Pricing Agreement
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam era globalisasi seperti saat ini, dunia seolah-olah tanpa batas. Pengaruh globalisasi juga terjadi dalam bidang ekonomi dan bisnis. Perusahaan-perusahaan tidak hanya melakukan kegiatan bisnisnya hanya satu negara saja. Banyak perusahaan yang melaksanakan kegiatan lintas negara, baik melalui cabang maupun anak perusahaannya. Perusahaan-perusahaan semacam ini dinamakan perusahaan multinasional (multinational corporation atau multinational company/MNC).
Salah satu perusahaan multinasional terbesar di dunia adalah Toyota. Toyota adalah perusahaan otomotif yang berpusat di Jepang. Toyota memiliki banyak cabang, anak perusahaan, dan perusahaan terafiliasi di berbagai negara di seluruh dunia. Salah satu anak perusahaan Toyota di adalah PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia yang berkedudukan di Indonesia.
Pengelolaan perusahaan multinasional tentunya berbeda dengan pengelolaan yang hanya berbasis di satu negara. Pengelolaan keuangan perusahaan multinasional menggunakan suatu skema yang lebih kompleks guna memaksimalkan keuntungannya. Salah satu skema pengelolaan keuangan yang digunakan oleh perusahaan multinasional adalah transfer pricing, terutama untuk perencanaan pajaknya.
Transfer pricing adalah suatu mekanisme yang umum digunakan oleh perusahaan multinasional untuk perencanaan pajaknya. Transfer pricing untuk tujuan perencanaan pajak tidak sepenuhnya ilegal, asalkan memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah suatu negara. Idealnya, transfer pricing suatu perusahaan multinasional dapat mengurangi beban pajak perusahaan dari sudut pandang konsolidasi, sementara di sisi lain tetap memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Akan tetapi, hal yang terjadi untuk kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia tidaklah demikian. Berdasarkan hasil pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh) PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia Tahun Pajak 2005 sampai dengan Tahun Pajak 2008, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia dianggap telah melakukan transfer pricing yang ilegal sehingga mengecilkan pajak yang harus dibayarnya di Indonesia. Atas hasil pemeriksaan DJP ini PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia telah melakukan upaya hukum sampai dengan tingkat banding ke Pengadilan Pajak. Namun, sampai saat ini putusan banding atas kasus ini belum terbit.
Kasus pajak terkait praktik transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia menarik untuk dibahas. DJP, selaku otoritas pajak Indonesia, dapat mengambil pelajaran berharga dari kasus transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Pada makalah ini, penulis akan melakukan analisis tentang kasus transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, kendala yang dihadapi DJP dalam kasus ini, serta alternatif pemecahan masalah bagi DJP untuk menghadapi kasus-kasus transfer pricing di masa mendatang.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
Bagaimanakah kasus pajak terkait transfer pricing yang terjadi pada PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia?
Kendala apakah yang dihadapi oleh DJP dalam kasus transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia?
Bagaimanakah alternatif pemecahan masalah bagi DJP untuk menghadapi kasus-kasus transfer pricing di masa mendatang?
Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
Untuk mengetahui bagaimana kasus pajak terkait transfer pricing yang terjadi pada PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
Untuk mengetahui kendala yang dihadapi oleh DJP dalam kasus transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
Memberikan alternatif pemecahan masalah bagi DJP untuk menghadapi kasus-kasus transfer pricing di masa mendatang.
Keterkaitan Topik dengan Kerangka Isu Aktual Akuntansi Manajemen
Salah satu isu aktual dalam akuntansi manajemen adalah transfer pricing. Dewasa ini, kebanyakan perusahaan multinasional menggunakan transfer pricing untuk tujuan perencanaan pajak, tidak lagi untuk pengukuran kinerja divisi/anak/cabang perusahaan. Isu transfer pricing ini adalah fenomena global yang tidak hanya dihadapi oleh DJP selaku otoritas pajak Indonesia, tetapi juga oleh otoritas-otoritas pajak negara lainnya di dunia. Penulis berharap makalah ini mampu memberikan sumbangan pikiran bagi DJP, instansi tempat penulis bekerja, dalam menyelesaikan kasus transfer pricing.
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan terhadap kasus transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Kasus transfer pricing ini terjadi pada Tahun Pajak 2005 sampai dengan Tahun Pajak 2008. Oleh karena itu, hasil penelitian mungkin hanya relevan untuk kasus transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia dan kasus-kasus transfer pricing yang serupa.
BAB II
LANDASAN TEORI
Pengertian Transfer Pricing
Menurut Hansen dan Mowen (2007, 440), "a transfer price is the price charged for a component by the selling division to the buying division of the same company". Sementara menurut Garrison, Noreen, dan Brewer (2010, 558), "a transfer price is the price charged when one segment of a company provides goods or services to another segment of the same company". Senada dengan kedua definisi di atas, Bhimani, Horngren, Datar, dan Foster (2008, 619) mendefinisikan transfer price sebagai "the price one subunit (segment, department, division, and so on) of an organisation charges for a product or service supplied to another subunit of the same organisation". Jadi, dalam konteks satu perusahaan, transfer pricing adalah suatu kebijakan penentuan harga untuk penjualan barang/jasa yang terjadi dalam internal satu perusahaan.
Jika dilihat dari sudut pandang perusahaan multinasional, transfer pricing menurut Madura (2014, 708) adalah "policy for pricing goods sent by either the parent or a subsidiary to a subsidiary of an MNC". Definisi ini tidaklah jauh berbeda dari definisi yang diberikan oleh Hansen dan Mowen, Bhimani, Horngren, Datar, dan Foster, serta Garrison, Noreen, dan Brewer di atas. Pada intinya, transfer pricing adalah kebijakan penentuan harga untuk penjualan barang/jasa yang terjadi dalam internal satu perusahaan atau satu kelompok perusahaan. Transfer pricing memiliki dua tujuan utama, yaitu pengukuran kinerja divisi dan penentuan beban pajak yang optimal.
Pada umumnya, terdapat tiga pendekatan untuk penentuan kebijakan transfer price yang digunakan, yaitu market price, cost-based transfer price, dan negotiated transfer price. Namun, Atkinson, Kaplan, Matsumura, dan Young (2012, 485) menambahkan satu pendekatan penentuan transfer price, yaitu administered transfer price.
Market-Based Transfer Price
Jika barang/jasa yang akan ditransfer memiliki pasar ekternal yang kompetitif, maka harga yang digunakan sebagai transfer price adalah harga pasar. Pendekatan harga pasar ini adalah pendekatan yang paling baik digunakan untuk penentuan transfer price. Akan tetapi, pendekatan harga pasar ini sulit untuk diterapkan karena jarang sekali terdapat suatu pasar eksternal yang kompetitif untuk semua jenis barang/jasa.
Cost-Based Transfer Price
Karena jarang sekali terdapat suatu pasar eksternal yang kompetitif untuk semua jenis barang/jasa, maka perusahaan dapat menggunakan pendekatan biaya untuk penentuan transfer price. Transfer price ditentukan berdasarkan biaya untuk memproduksi barang/jasa. Perusahaan dapat menggunakan biaya berdasarkan variable costing atau full (absorption) costing. Namun, penentuan transfer price berdasarkan biaya memiliki tiga kelemahan, yaitu:
penggunaan biaya, terutama full cost, dapat menyebabkan pengambilan keputusan yang salah
jika biaya digunakan sebagai transfer price, maka divisi penjual tidak akan pernah memperoleh laba (profit) dari transfer internal, sehingga pengukuran kinerja divisi penjual sulit untuk dilakukan
pendekatan biaya untuk penentuan transfer tidak memberikan insentif untuk mengontrol biaya.
Negotiated Transfer Price
Pendekatan ketiga yang dapat digunakan untuk penentuan transfer price adalah negosiasi antara manajer divisi penjual dan manajer divisi pembeli. Divisi penjual dan divisi pembeli akan menyetujui terjadinya penjualan internal barang/jasa apabila kedua divisi sama-sama memperoleh laba dari penjualan internal tersebut. Oleh karena itu, transfer price yang disepakati berada dalam range of acceptable transfer prices, yaitu harga yang menyebabkan divisi penjual dan divisi pembeli sama-sama memperoleh laba dari penjualan internal. Menurut Atkinson, Kaplan, Matsumura, dan Young (2012, 485), pendekatan negotiated transfer price memiliki kelemahan, yaitu "can lead to decisions that do not provide the greatest economic benefits".
Administered Transfer Price
Berdasarkan pendekatan ini, transfer price ditentukan oleh suatu pembuat kebijakan (arbitrator), yang umumnya adalah manajemen puncak. Administered transfer price biasanya digunakan saat terjadi transaksi yang sifatnya sering terjadi dalam organisasi. Pendekatan ini mudah diterapkan dan dapat menghindari terjadinya konflik divisi penjual dan pembeli dalam penentuan transfer price. Akan tetapi, pendekatan administered transfer price umumnya mengorbankan semangat pengukuran kinerja dari konsep transfer pricing karena transfer price ditentukan berdasarkan pertimbangan perencanaan keuangan perusahaan, bukan pertimbangan ekonomi dan akuntabilitas.
Aspek Perpajakan Transfer Pricing
Hansen dan Mowen (2007, 834) menyatakan bahwa "if all countries had the same tax structure, then transfer prices would be set independently of taxes". Namun, karena negara-negara di dunia ini memiliki struktur dan peraturan perpajakan yang berbeda-beda, kebijakan transfer pricing juga dipengaruhi oleh aspek perpajakan. Malahan, transfer pricing kebanyakan digunakan oleh perusahaan multinasional untuk tujuan perencanaan pajak daripada untuk tujuan pengukuran kinerja. Penggunaan transfer pricing untuk tujuan perencanaan pajak sebenarnya sah-sah saja. Menurut Madura (2014, 468), "multinational corporations are subject to certain guidelines on transfer pricing, but they usually have some flexibility and tend to use a transfer pricing policy that will minimize taxes while satisfying the guidelines". Secara umum, skema perencanaan pajak yang digunakan oleh perusahaan multinasional dengan transfer pricing adalah memindahkan laba dari negara dengan tarif pajak tinggi ke negara dengan tarif pajak yang lebih rendah (lihat Gambar 1).
Gambar 1
Skema Umum Perencanaan Pajak dengan Transfer Pricing
Belakangan ini, isu transfer pricing menjadi fokus utama bagi perusahaan-perusahaan multinasional. Berdasarkan 2010 Global Transfer Pricing Survey (Ernst & Young, 2011), transfer pricing adalah isu perpajakan terpenting bagi perusahaan induk (parent company), sebagaimana terlihat pada Gambar 2. Bahkan, sebanyak 32% dan 42% dari responden menyatakan bahwa isu transfer pricing adalah isu yang sangat kritis dan sangat penting yang akan dihadapi perusahaan dalam dua tahun ke depan, sebagaimana terlihat pada Tabel 1.
Gambar 2
Isu-Isu Perpajakan Terpenting bagi Perusahaan Induk
Sumber: Ernst & Young (2011, 7)
Di Indonesia, menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, Wajib Pajak dalam melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa wajib menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm's length principle/ALP) merupakan prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang mempunyai Hubungan istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa yang menjadi pembanding. Jadi, menurut peraturan perpajakan Indonesia, transfer pricing diperbolehkan, asalkan penentuan transfer price dilaksanakan dengan menggunakan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
Tabel 1
Pentingnya Transfer Pricing dalam Dua Tahun ke Depan
Sumber: Ernst & Young (2011, 7)
Apabila transfer pricing dilaksanakan di luar prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, maka sesuai Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya. Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011, metode yang digunakan untuk penentuan transfer price yang sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha adalah Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP), Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM), Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method), Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM), atau Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin Method/TNMM).
Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran penulisan makalah ini dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah ini. Penulis akan melakukan analisis terhadap kasus transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Dari hasil analisis kasus transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, kita akan mengetahui kendala yang dihadapi DJP dalam kasus tersebut. Selanjutnya, penulis akan mencoba memberikan alternatif pemecahan masalah bagi DJP untuk menghadapi kasus-kasus transfer pricing di masa mendatang.
Gambar 3
Kerangka Pemikiran
BAB III
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Penulis melakukan analisis terhadap buku, jurnal ilmiah, dan pemberitaan media massa terkait kasus transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Selain melakukan studi kepustakaan, penulis juga menggunakan wawancara tidak terstruktur sebagai teknik pengumpulan data. Adapun pihak yang penulis wawancarai adalah petugas pajak yang pernah menangani kasus transfer pricing.
Teknik Analisis Data
Untuk menjawab permasalahan penelitian, penulis menggunakan teknik analisis data kualitatif untuk menghasilkan data deskriptif-analitis. Analisis ini dipilih karena sangat fleksibel dan memudahkan pencarian ide serta petunjuk mengenai situasi permasalahan.
BAB IV
PEMBAHASAN
Analisis Kasus Transfer Pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
Kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia dapat ditelusuri mulai tahun 2003. Pada tahun 2003, Toyota Indonesia melakukan restrukturisasi mendasar pada bisnisnya. Sebelumnya, semua lini bisnis produksi dan distribusi mereka dilakukan di bawah satu bendera, yaitu PT Toyota Astra Motor. Pemilik saham PT Toyota Astra Motor terdiri atas dua pihak, yaitu PT Astra International, Tbk (sebesar 51%) dan Toyota Motor Corporation Jepang (sebesar 49%). Pada pertengahan 2003, PT Astra International, Tbk menjual sebagian besar sahamnya di PT Toyota Astra Motor kepada Toyota Motor Corporation Jepang. PT Astra International, Tbk menjual sahamnya di PT Toyota Astra Motor karena mereka mempunyai utang jatuh tempo yang tak bisa ditangguhkan lagi. Setelah penjualan saham tersebut, Toyota Motor Corporation Jepang menjadi pemegang saham mayoritas PT Toyota Astra Motor dengan kepemilikan saham sebesar 95%. Akibat dari perubahan kepemilikan tersebut, nama perusahaan berubah dari PT Toyota Astra Motor menjadi PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN). PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia menjalankan fungsi produksi Toyota Indonesia.
Sementara itu, untuk menjalankan fungsi distribusi di pasar domestik, Astra dan Toyota Motor Corporation Jepang kemudian mendirikan perusahaan agen tunggal pemegang merek (ATPM). Perusahaan ini agen tunggal pemegang merek ini menggunakan nama lama, yaitu PT Toyota Astra Motor (TAM). Pada perusahaan ini, Astra menjadi pemegang saham mayoritas dengan menguasai 51% saham, sementara sisanya sebesar 46% menjadi milik Toyota Motor Corporation Jepang.
Kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia mulai tercium karena Wajib Pajak melakukan permohonan pengembalian pajak (restitusi) untuk Tahun Pajak 2005, 2007, dan 2008. Atas permohonan restitusi tersebut, DJP melakukan pemeriksaan pajak terhadap PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Dari pemeriksaan pajak terhadap SPT Toyota pada Tahun Pajak 2005, petugas pajak menemukan sejumlah kejanggalan. Pada 2004 misalnya, laba bruto Toyota turun lebih dari 30%, dari Rp 1,5 triliun (2003) menjadi Rp 950 miliar. Selain itu, rasio gross margin (perbandingan antara laba kotor dengan tingkat penjualan) juga mengalami penurunan, dari sebelumnya 14,59% pada tahun 2003 menjadi hanya 6,58% pada tahun 2004.
Sebelum restrukturisasi, gross margin PT Toyota Astra Motor mengalami peningkatan 11% hingga 14% per tahun. Namun setelah dilakukan restrukturisasi, gross margin PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia hanya sekitar 1,8% hingga 3% per tahun. Sementara di PT Toyota Astra Motor (perusahaan agen tunggal pemegang merek yang didirikan setelah restrukturisasi), gross margin mencapai 3,8% hingga 5%. Jika gross margin PT Toyota Astra Motor digabung dengan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, persentasenya masih sebesar 7%. Hal ini berarti margin laba sebelum pajak setelah restrukturisasi lebih rendah 7% dibandingkan dengan margin laba kotor sebelum restrukturisasi yang mencapai 14%.
Berdasarkan hasil pemeriksaan pajak SPT Toyota, petugas pajak menyimpulkan penyebab turunnya gross margin adalah adanya transfer pricing dengan harga di luar prinsip kewajaran dan kelaziman usaha serta pembayaran royalti yang dinilai tak wajar. Pada pembahasan kali ini penulis hanya akan membahas mengenai transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia.
Untuk penjualan ekspornya, Toyota memiliki kebijakan bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia harus melakukan penjualan kepada Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd, unit bisnis Toyota yang berkedudukan di Singapura. Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd inilah yang nantinya akan menyalurkan penjualan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke negara-negara lainnya seperti Filipinan dan Thailand. Skema jual-beli melalui negara perantara semacam itu sebenarnya lazim saja dalam perdagangan internasional, apalagi penjual dan pembelinya adalah bagian dari kelompok perusahaan multinasional yang sama. Namun, hal ini akan menjadi permasalahan di bidang perpajakan jika transfer price yang digunakan tidak berdasarkan pada prinsip kewajaran dan kelaziman usaha serta digunakan untuk melakukan penghindaran pajak.
Gambar 4
Skema Penjualan Ekspor PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
Kebijakan Toyota dengan memilih Singapura sebagai negara perantara penjualan ekspornya menarik untuk diperhatikan. Singapura adalah negara yang mempunyai tarif Pajak Penghasilan korporasi yang paling rendah di Asia Tenggara, yaitu sebesar 15% sampai dengan 17%. Tarif Pajak Penghasilan korporasi Singapura jauh berada di bawah Indonesia, di mana untuk tahun pajak sebelum 2009 (tahun pajak untuk kasus transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia), tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan Indonesia adalah progresif sebesar 10%, 15%, dan 30%. Hal ini tentunya memberikan insentif kepada perusahaan-perusahaan multinasional, seperti Toyota, untuk memindahkan pendapatannya dari Indonesia ke Singapura guna meringankan beban pajaknya secara keseluruhan.
Petugas pajak menganggap PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan transfer pricing di luar prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang ditujukan untuk mengecilkan pembayaran pajaknya di Indonesia. Temuan DJP dari pemeriksaan pajak SPT PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia Tahun Pajak 2007 menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2007, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia tercatat mengekspor 17.181 unit Fortuner ke Singapura. Dari pemeriksaan atas laporan keuangan Toyota, petugas pajak menemukan bahwa harga pokok penjualan atau cost of goods sold (COGS) Fortuner itu adalah Rp 161 juta per unit. Anehnya, dokumen internal Toyota menunjukkan bahwa semua Fortuner itu dijual 3,49% lebih murah dibandingkan nilai tersebut. Dengan demikian, Toyota Indonesia menanggung kerugian dari penjualan mobil-mobil itu ke Singapura.
Petugas pajak juga mendapatkan temuan pemeriksaan yang sama pada penjualan mobil Innova diesel dan Innova bensin. PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia menjual Innova diesel dan Innova bensin kepada Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd masing-masing dengan harga 1,73% dan 5,14% lebih murah dari biaya produksinya per unit. Sementara itu, pada ekspor Rush dan Terios, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia hanya memperoleh keuntungan yang tipis, yaitu hanya 1,15% dan 2,69% dari biaya produksinya per unit.
Temuan petugas pajak atas penjualan ekspor PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia menjadi semakin menarik apabila disandingkan dengan penjualan domestiknya. Toyota Indonesia menjual produk-produk serupa kepada pembeli lokal di Indonesia dengan harga yang berbeda. Ketika dijual di dalam negeri, mobil-mobil tersebut dijual dengan gross margin sebesar 3,43% sampai dengan 7,67%.
Akan tetapi, temuan pemeriksaan pajak tersebut belum cukup untuk menyimpulkan bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan penghindaran pajak melalui transfer pricing. Kebijakan diskriminasi harga antara penjualan ekspor dan domestik adalah hal yang wajar apabila penentuan harganya berdasarkan pada prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Selain itu, mungkin saja proses produksi yang dilakukan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia atas produk-produk yang menjadi temuan petugas pajak tersebut tidak efisien sehingga PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia terpaksa melakukan penjualan ekspor dengan harga jual di bawah biaya produksinya. Untuk membuktikan terjadinya penghindaran pajak melalui transfer pricing, petugas pajak harus memeriksa nilai kewajaran dari semua transaksi dari PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd di Singapura.
Adapun cara yang digunakan oleh DJP untuk menilai kewajaran transfer price dari transaksi PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd di Singapura adalah dengan cara membandingkan harga itu dengan traksaksi perusahaan sejenis di luar negeri. Metode ini disebut dengan Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP). Cara ini merujuk pada Transfer Pricing Guideline yang disusun Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Petugas pajak kemudian menggunakan lima perusahaan otomotif yang dianggap memiliki karakteristik serupa sebagai pembanding untuk Toyota. Kelima perusahaan itu adalah Hindustan Motors (India), Yulon Motor (Taiwan), Force Motor Limited (India), Shenyang Jinbei, dan Dongan Heibao (Cina). Dari penelaahan atas transaksi afiliasi kelima perusahaan tersebut, pemeriksa pajak menetapkan bahwa kisaran gross margin yang dapat dinilai wajar (arm's length range) untuk perusahaan otomotif yang melakukan ekspor adalah 3,22% sampai dengan 13,58%. Karena kisaran gross margin dari transaksi PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd di Singapura berada di bawah kisaran tersebut, DJP menyimpulkan bawah PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan transfer pricing guna penghindaran pajak.
Kendala yang Dihadapi oleh DJP dalam Kasus Transfer Pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
Untuk membuktikan bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan transfer pricing guna penghindaran pajak, DJP menggunakan Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP). Adapun kendala dalam penggunaan metode ini adalah mencari data pembanding yang sesuai. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan petugas pajak lainnya, ketersediaan data pembanding ini adalah persoalan utama dalam kasus transfer pricing yang dihadapi oleh DJP. Dalam kasus transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, petugas pajak menggunakan Hindustan Motors (India), Yulon Motor (Taiwan), Force Motor Limited (India), Shenyang Jinbei, dan Dongan Heibao (Cina). DJP menganggap bahwa kelima perusahaan tersebut memiliki karakteristik serupa dengan Toyota sehingga layak dijadikan pembanding.
Akan tetapi, simpulan DJP bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan transfer pricing guna penghindaran pajak dibantah oleh pihak PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Dalam sidang di Pengadilan Pajak, pihak PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan yang digunakan sebagai perbandingan oleh petugas pajak, yaitu Hindustan Motors (India), Yulon Motor (Taiwan), dan Force Motor Limited (India), berstatus merugi. Sementara itu, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia pada tahun 2008 masih untung. Dengan demikian, pihak PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan tersebut tidak layak dijadikan sebagai pembanding dalam kasus tersebut.
Penentuan besarnya transfer price yang wajar memang sangat susah untuk dilaksanakan. Permasalahan yang dihadapi oleh DJP terutama adalah ketersediaan data pembanding untuk menentukan besarnya transfer price yang wajar. Terhadap beberapa komoditas, seperti minyak mentah dan crude palm oil (CPO), memang lebih mudah menentukan besarnya transfer price yang wajar karena datanya tersedia dan mudah diakses. Namun, sebagian besar produk perusahaan-perusahaan multinasional susah dicari pembandingnya karena setiap produk mempunyai spesifikasi, fungsi, dan brand yang berbeda. Permasalahan penentuan besarnya transfer price yang wajar tidak hanya dialami oleh DJP, tetapi juga oleh otoritas-otoritas pajak negara lainnya di dunia.
Untuk mengatasi permasalahan penentuan besarnya transfer price yang wajar, otoritas pajak di dunia, terutama negara anggota OECD, banyak yang menggunakan Advance Pricing Agreement (APA) dan Mutual Agreement Procedure (MAP). Advance Pricing Agreement dan Mutual Agreement Procedure terbukti cukup sukses untuk menangani kasus transfer pricing. Oleh karena itu, terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) patut diapresiasi.
Advance Pricing Agreement (APA) dan Mutual Agreement Procedure (MAP)
Menurut OECD, APA adalah "an administrative approach that attempts to prevent transfer pricing disputes from arising by determining criteria for applying the arm's length principle to transactions in advance of those transactions taking place". APA menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 adalah adalah perjanjian tertulis antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak, atau Direktur Jenderal Pajak dengan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra P3B yang melibatkan Wajib Pajak, untuk menyepakati kriteria-kriteria dan/atau menentukan harga wajar atau laba wajar di muka. Sementara itu, MAP adalah prosedur administratif yang diatur dalam P3B untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan P3B. Jadi, pembentukan APA dilakukan melalui MAP dalam hal APA dimaksud melibatkan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra P3B.
Gambar 5
Negara-Negara yang Menggunakan APA sampai dengan Tahun 2011
Sumber: http://www.ey.com/Media/vwLUExtFile/guide_to_advance_pricing_agreements/ $FILE/map_large.jpg
APA sudah banyak digunakan oleh otoritas pajak di dunia. Daftar negara yang telah menggunakan APA sampai dengan tahun 2011 dapat dilihat pada Gambar 5 di atas. Secara formal, Indonesia telah menggunakan APA sejak 2010, dengan diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010. Akan tetapi, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 belum mengatur secara jelas prosedur pembentukan dan pelaksanaan APA. Tata cara pembentukan dan pelaksanaan APA baru diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015.
APA memiliki keuntungan bagi kedua belah pihak, baik bagi Wajib Pajak maupun DJP selaku otoritas pajak. Dengan membuat kontrak harga transfer (APA) dengan otoritas pajak, Wajib Pajak akan memperoleh dua keuntungan utama, yaitu kepastian dalam transfer pricing dan penghematan biaya dan waktu. APA akan membuat Wajib Pajak lebih nyaman dalam menjalankan kegiatan usahanya karena sudah ada batasan yang telah disepakati dengan otoritas pajak mengenai besarnya transfer price yang dianggap wajar. Hal ini akan mengurangi potensi terjadinya sengketa pajak. Pemeriksaan pajak dan upaya hukum untuk menyelesaikan sengketa pajak terkait transfer pricing seringkali memakan biaya yang besar dan waktu yang lama. Karena potensi terjadinya sengketa pajak dapat dikurangi dengan adanya APA, maka Wajib Pajak dapat menghemat biaya dan waktu.
Dengan melakukan APA dengan Wajib Pajak, DJP akan mempunyai dasar yang lebih kuat dalam penentuan transfer price yang wajar. Jika Wajib Pajak melakukan transfer pricing dengan harga di bawah APA, maka DJP sudah dapat menyimpulkan bahwa Wajib Pajak melakukan transfer pricing untuk penghindaran pajak. Di sisi lain, APA juga dapat meningkatkan basis data perpajakan DJP karena APA paling sedikit memuat tentang para pihak yang memiliki hubungan istimewa, transaksi yang termasuk dalam ruang lingkup APA, metode transfer pricing, pembanding (comparables), jangka waktu berlakunya APA, asumsi kritikal (critical assumptions), dan penyesuaian transfer pricing (transfer pricing adjustment). Sementara itu, dengan melakukan APA yang melibatkan otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B, DJP dapat menghindari terjadinya pengenaan pajak berganda terhadap Wajib Pajak.
Meskipun memberikan keuntungan, DJP tetap harus berhati-hati dalam membuat APA. Jangan sampai APA yang dibuat DJP dengan Wajib Pajak berpotensi menurunkan penerimaan negara. Ketentuan dalam APA harus dibuat dengan sejelas mungkin agar tidak terjadi perbedaan penafsiran antara DJP dan Wajib Pajak. Analisis yang mendalam dan hati-hati perlu dilakukan DJP sebelum menandatangani APA dengan Wajib Pajak, terutama terkait transaksi yang termasuk dalam ruang lingkup APA, metode transfer pricing, pembanding (comparables), jangka waktu berlakunya APA, asumsi kritikal (critical assumptions), dan penyesuaian transfer pricing (transfer pricing adjustment).
BAB V
PENUTUP
Simpulan
Adapun hal-hal yang dapat disimpulkan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
Transfer pricing adalah kebijakan penentuan harga untuk penjualan barang/jasa yang terjadi dalam internal satu perusahaan atau satu kelompok perusahaan.
Transfer pricing memiliki dua tujuan utama, yaitu pengukuran kinerja dan penentuan beban pajak yang optimal. Namun, belakangan ini transfer pricing lebih banyak digunakan untuk tujuan perencanaan pajak daripada untuk pengukuran kinerja divisi.
DJP menganggap bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan transfer pricing guna penghindaran pajak. Adapun modus yang dilakukan oleh PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia adalah melakukan penjualan dengan transfer price di luar prinsip kewajaran dan kelaziman usaha kepada perusahaan afiliasinya yang berada di Singapura.
Untuk membuktikan bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan transfer pricing guna penghindaran pajak, DJP menggunakan Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP). Adapun kendala dalam penggunaan metode ini adalah mencari data pembanding yang sesuai.
Metode yang digunakan DJP untuk penentuan transfer price yang wajar disanggah oleh pihak PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia karena perusahaan yang menjadi perbandingan petugas pajak, yaitu Hindustan Motors (India), Yulon Motor (Taiwan), dan Force Motor Limited (India), berstatus merugi. Sementara itu, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia pada 2008 masih untung sehingga tidak bisa dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan tersebut.
Terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement/APA) patut diapresiasi.
Dengan melakukan APA dengan Wajib Pajak, DJP akan mempunyai dasar yang lebih kuat dalam penentuan transfer price yang wajar. Selain itu, APA juga dapat meningkatkan basis data perpajakan DJP.
Saran
Adapun alternatif saran yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalah terkait kasus transfer pricing yang mirip dengan kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia antara lain:
DJP agar mensosialisasikan APA sehingga menarik Wajib Pajak untuk melaksanakan program APA.
DJP perlu melakukan analisis yang mendalam dan hati-hati sebelum menandatangani APA dengan Wajib Pajak.
Ketentuan dalam APA harus dibuat dengan sejelas mungkin agar tidak terjadi perbedaan penafsiran antara DJP dan Wajib Pajak.
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, Anthony A, Robert S. Kaplan, Ella Mae Matsumura, dan S. Mark Young. 2012. Management Accounting, Information for Decision-Making and Strategy Execution. Edisi ke-6. Upper Saddle River: Pearson Education, Inc.
Bhimani, Alnoor, Charles T. Horngren, Srikant M. Datar, dan George Foster. 2008. Management and Cost Accounting. Edisi ke-4. Essex: Pearson Education Limited.
Garrison, Ray H., Eric W. Noreen, dan Peter C. Brewer. 2010. Managerial Accounting. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hil/Irwin.
Ernst & Young. 2011. 2010 Global Transfer Pricing Survey, Adressing The Challenges of Globalization. http://www.ey.com/Publication/vwLUAssets/Global_transfer_pricing_ survey_-_2010/$FILE/2010-Globaltransferpricingsurvey_17Jan.pdf (diakses tanggal 6 Agustus 2016).
Ernst & Young. Guide to Advance Pricing Agreements (APAs), Managing Global Transfer Pricing Issues with APAs. http://www.ey.com/GL/en/Services/Tax/International-Tax/Guide-to-advance-pricing-agreements--APA----Managing-Global-Transfer-Pricing-Issues-with-APA (diakses tanggal 7 Agustus 2016).
Guidelines for APA. OECD.org. http://www.oecd.org/tax/transfer-pricing/ guidelinesforapa.htm (diakses tanggal 7 Agustus 2016).
Hansen, Don R. dan Maryanne M. Mowen. 2007. Managerial Accounting. Edisi ke-8. Mason: Thomson South-Western.
Madura, Jeff. 2014. International Financial Management. Edisi ke-12. Stamford: Cengage Learning.
Mangoting, Yenni. 2000. Aspek Perpajakan dalam Praktek Transfer Pricing. Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 2, No. 1, Mei 2000: 69 – 82. Universitas Kristen Petra. http://puslit2.petra.ac.id/gudangpaper/files/1747.pdf (diakses tanggal 6 Agustus 2016).
Nurhayat, Wiji. 2014. Tarif Pajak di Singapura Terendah se-ASEAN, Apa Bahayanya bagi RI?. detikFinance. http://finance.detik.com/read/2014/01/11/180857/2464970/4/tarif-pajak-di-singapura-terendah-se-asean-apa-bahayanya-bagi-ri (diakses tanggal 20 Juli 2016).
Prahara Pajak Raja Otomotif. Tempo.co. https://investigasi.tempo.co/toyota/ (diakses tanggal 20 Juli 2016).
Sengketa Pajak Toyota Motor Menanti Palu Hakim. 2013. Kontan.co.id http://nasional.kontan.co.id/news/sengketa-pajak-toyota-motor-menanti-palu-hakim (diakses tanggal 20 Juli 2016).
Setiawan, Hadi. 2014. Transfer Pricing dan Risikonya terhadap Penerimaan Negara. http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/2014_kajian_pprf_Transfer%20Pricing%20dan%20Risikonya%20Terhadap%20Penerimaan%20Negara.pdf (diakses tanggal 7 Agustus 2016).
Suryana, Anandita Budi. 2012. Menangkal Kecurangan Transfer Pricing. http://www.pajak.go.id/content/article/menangkal-kecurangan-transfer-pricing (diakses tanggal 6 Agustus 2016).
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement).
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara
Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa.
analisis kasus transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
kendala yang dihadapi DJP
alternatif pemecahan masalah
PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd (Singapura)
negara tujuan ekspor