Pajak Internasional ANALISIS KASUS PAJAK PERUSAHAAN PENANAMAN MODAL ASING (PMA) PADA PT TOYOTA MOTOR MANUFACTURING MANUFACTURING INDONESIA (TMMIN)
Disusun oleh:
Jafar Shodiq
(15919053)
Maharani Dyah Pitaloka
(15919048)
Putri Ramadhayanti
(15919056)
MAGISTER AKUNTANSI UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA 2017
Analisis Kasus Pajak Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) pada PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN)
Pendahuluan
Kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia mencuat setelah Direktorat Jenderal Pajak secara simultan memeriksa surat pemberitahuan pajak tahunan (SPT) Toyota Motor Manufacturing pada 2005 yang dilanjutkan dengan pemeriksaan pajak untuk tahun pajak 2007 dan 2008. Pemeriksaan dipicu karena adanya permohonan restitusi (pengembalian kelebihan pembayaran pajak). Kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia muncul setelah Ditjen Pajak menelusuri transaksi sejak tahun 2003. Sebelum tahun 2003, semua lini bisnis produksi dan distribusi otomotif dilakukan di bawah satu bendera: PT Toyota Astra Motor. Pemilik sahamnya ada dua: PT Astra International Tbk (51 persen) dan Toyota Motor Corporation Jepang (49 persen). Pada pertengahan 2003, Astra menjual sebagian besar sahamnya di Toyota Astra Motor kepada Toyota Motor Corporation Jepang. Alasannya, Astra punya utang jatuh tempo yang tak bisa ditangguhkan lagi. Pada akhirnya Toyota Motor Corporation Jepang menguasai 95% saham Toyota Astra Motor yang kemudian nama perusahaan berubah menjadi Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN). Sementara itu untuk menjalankan fungsi distribusi di pasar domestik Astra dan Toyota Motor Manufacturing Indonesia kemudian mendirikan perusahaan agen tunggal pemegang merek menggunakan nama lama yaitu PT Toyota Astra Motor. Pada perusahaan ATPM yang baru ini Astra menjadi pemegang saham mayoritas dengan menguasai 51% saham dan sisanya sebesar 49% milik Toyota Motor Corporation Jepang. Uraian Kasus
Petugas pajak menemukan sejumlah kejanggalan dari pemeriksaan SPT Toyota pada 2005. Pada 2004 misalnya, laba bruto Toyota anjlok lebih dari 30 persen, dari Rp 1,5 triliun (2003) menjadi Rp 950 miliar. Selain itu, rasio gross margin atau perimbangan antara laba kotor dengan tingkat penjualan juga menyusut. Dari sebelumnya 14,59 persen (2003) menjadi hanya 6,58 persen setahun kemudian. Penyebab penurunan pendapatan perusahaan otomotif multinasional tersebut adalah karena Toyota melakukan restrukturisasi mendasar yang
dilakukan di tahun 2003 dimana PT Toyota Astra Motor berubah menjadi Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) kemudian membentuk perusahaan ATPM baru dengan nama sama dengan perusahaan lama yaitu PT Toyota Astra Motor. Setelah restrukturisasi itulah, laba gabungan kedua perusahaan Toyota anjlok. Melorotnya keuntungan Toyota membuat setoran pajaknya pada pemerintah juga berkurang. Sebelumnya, perusahaan ini bisa membayar pajak sampai setengah triliun rupiah. Pada 2004, pasca-restrukturisasi, dua perusahaan Toyota (TMMIN dan TAM) hanya memba yar pajak Rp 168 miliar. Dari pemeriksaan Pajak terhadap SPT Toyota pada Tahun Pajak 2005, petugas pajak menemukan sejumlah kejanggalan. Pada Tahun 2004 misalnya, laba bruto Toyota turun lebih dari 30% dari 1,5 Triliun Rupiah (Tahun 2003) menjadi 950 Milyar Rupiah (2004). Selain itu, rasio gross margin juga mengalami penurunan dari sebelumnya 14,59% pada tahun 2003 menjadi hanya 6,58% pada tahun 2004. Sebelum restuktrurisasi, gross margin PT Toyota Astra Motor mengalami peningkatan 11% hingga 14% per tahun. Namun setelah dilakukan restrukturisasi gross margin Toyota Motor Manufacturing Indonesia hanya sekitar 1,8% hingga 3% per tahun. Sementara pada PT Toyota Astra Motor (perusahaan Agen Tunggal Pemegang Merk yang didirikan setelah restrukturisasi) gross margin mencapai 3,8% hingga 5%. Jika gross margin PT Toyota Astra Motor digabungkan dengan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia persentasenya masih 7% (lebih rendah dibandingkan margin laba kotor sebelum restrukturisasi yang mencapai 14%). Pemeriksa Pajak menyimpulkan bahwa penyebab turunnya gross margin adalah adanya transfer pricing dengan harga di luar prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Toyota diduga ‘memainkan’ harga transaksi dengan pihak terafiliasi dan menambah beban biaya lewat pembayaran royalti secara tidak wajar. Untuk penjualan ekspor, Toyota memiliki kebijakan bahwa PT Toyota Manufacturing Indonesia harus melakukan penjualan kepada Toyota Motor Asia Pasific Pte., Ltd, unit bisnis Toyota yang berkedudukan di Singapura. Toyota Motor Asia Pasific Pte., Ltd inilah yang nantinya akan menyalurkan penjualan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke negaranegara lainnya seperti Filiphina dan Thailand. Skema jual beli melalui negara perantara semacam itu sebenarnya lazim saja dalam perdagangan internasional, apalagi penjual dan pembelinya adalah bagian dari kelompok perusahaan multinasional yang sama. Namun, hal ini akan menjadi permasalahan di bidang perpajakan jika transfer price yang digunakan tidak
berdasarkan pada prinsip kewajaran dan kelaziman usaha serta digunakan untuk melakukan penghindaran pajak. Kebijakan Toyota dengan memilih Singapura sebagai negara perantara penjualan ekspornya menarik untuk diperhatikan. Singapura adalah negara yang mempunyai tarif Pajak Penghasilan korporasi yang paling rendah di Asia Tenggara, yaitu sebesar 15% sampai dengan 17%. Tarif Pajak Penghasilan Korporasi Singapura jauh berada di bawah Indonesia, dimana untuk tahun pajak sebelum 2009 (tahun pajak untuk transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia), tarif pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan Indonesia adalah progresif sebesar 10%, 15%, dan 30%. Hal ini tentunya memberikan insentif kepada perusahaan-perusahaan multinasional seperti Toyota untuk memindahkan pendapatannya dari Indonesia ke Singapura guna meringankan beban pajaknya secara keseluruhan. Ditjen Pajak menganggap PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan transfer pricing diluar prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang ditujukan untuk mengecilkan pembayaran pajaknya di Indonesia. Temuan DJP dari pemeriksaan pajak SPT PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia Tahun Pajak 2007 menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2007 mengekspor 17.181 unit Fortuner ke Singapura. Dari pemeriksaan atas laporan keuangan Toyota, Ditjen Pajak menemukan bahwa harga pokok penjualan atau Cost of Good Sold (COGS) Fortuner itu adalah 161 juta rupiah per unit. Anehnya, dokumen internal Toyota menunjukkan bahwa semua Fortuner itu dijual 3,49% lebih murah dibandingkan COGS tersebut. Dengan demikian, Toyota Indonesia menanggung kerugian dari penjualan mobil-mobil itu ke Singapura. Temuan yang sama juga terlacak pada penjualan mobil Innova diesel dan Innova bensin, yang masing-masing dijual lebih murah 1,73% dan 5,14% dari ongkos produksinya per unit. Pada ekspor Rush, Toyota Motor Manufacturing memang meraup untung, tapi tipis sekali yakni hanya 1,15% dan 2,69% dari ongkos produksi per unit. Temuan ini jadi menyolok karena Toyota Manufacturing menjual produk-produk serupa kepada pembeli lokal di Indonesia dengan harga berbeda. Ketika dijual di dalam negeri, mobil yang persis sama dilepas ke pasar dengan nilai keuntungan bruto sebesar 3,43% sampai dengan 7,67%. Tapi temuan itu saja belum cukup untuk menyimpulkan Toyota melakukan penghindaran pajak. Untuk itu, petugas pajak harus memeriksa nilai kewajaran dari semua transaksi Toyota Manufacturing ke Singapura. Caranya, sesuai aturan penanganan transaksi hubungan istimewa yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak, otoritas pajak berhak
menentukan kewajaran harga penjualan suatu perusahaan dengan cara membandingkan harga itu dengan traksaksi perusahaan sejenis di luar negeri. Aturan ini merujuk pada Transfer Pricing Guideline yang disusun Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Dokumen pemeriksaan di pengadilan pajak, menunjukkan bahwa petugas pajak kemudian menggunakan lima perusahaan otomotif yang dianggap memiliki karakteristik serupa sebagai pembanding untuk Toyota. Kelima perusahaan itu adalah Hindustan Motors (India), Yulon Motor (Taiwan), Force Motor Limited (India), Shenyang Jinbei, dan Dongan Heibao (Cina). Dari penelaahan atas transaksi afiliasi kelima perusahaan itu, pemeriksa menetapkan bahwa kisaran keuntungan bruto yang dapat dinilai wajar ( arm’s length range) untuk perusahaan otomotif yang melakukan ekspor adalah 3,22% s ampai dengan 13,58%. Berdasarkan hal tersebut, pemeriksa pajak lalu mengkoreksi harga pada transaksi Toyota Motor Manufacturing Indonesia kepada Toyota Motor Asia Pacific di Singapura. Hasilnya omzet penjualan Toyota Motor Manufacturing pada 2007 jadi melonjak hampir setengah triliun dari laporan awal perusahaan itu menjadi Rp 27,5 triliun. Ditjen pajak kemudian memeriksa laporan keuangan Toyota Manufacturing pada 2008. Modus ekspor dengan nilai tak wajar juga berulang pada tahun itu. Koreksi serupa dilakukan dan nilai omzet Toyota tahun itu dikoreksi melonjak 1,7 triliun rupiah menjadi Rp 34,5 triliun rupiah. Dengan kombinasi ‘permainan’ harga dalam transaksi terafiliasi dan pembayaran royalti yang dinilai tak wajar, Toyota Motor Manufacturing Indonesia melaporkan penghasilan kena pajak sebesar Rp 426,9 miliar (2007) dan Rp 60,6 miliar (2008). Karena angsuran pajak penghasilan Pasal 25 yang sudah dibayarkan lebih besar dari Pajak yang seharusnya terutang, Toyota mengajukan permohonan restitusi (pengembalian kelebihan pembayaran pajak) sebesar 412 Milyar Rupiah. Namun berdasarkan hasil pemeriksaan, Direktorat Jenderal Pajak berpegang pada temuannya bahwa Toyota seharusnya membayar kekurangan pajaknya senilai 1,22 Triliun bukan malah meminta lebih bayar. Perbedaan penghitungan inilah yang kemudian menjadi sengketa di pengadilan pajak. Yang mencurigakan, sejak diadili pada 2007 sampai sekarang, kasus ini tak kunjung diputus. Umumnya persidangan sengketa pajak hanya butuh waktu 1,5 tahun. Untuk membuktikan bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan transfer pricing guna penghindaran pajak, DJP menggunakan metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/ CUP). Adapun kendala dalam penggunaan metode ini adalah mencari data pembanding yang
sesuai. Berdasarkan pengalaman di lapangan, ketersediaan data pembanding ini adalah persoalan utama dalam kasus transfer pricing yang dihadapi oleh DJP. Dalam kasus transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, DJP menggunakan kelima perusahaan seperti yang disebut sebelumnya karenatersebut memiliki karakteristik serupa dengan Toyota sehingga layak dijadikan pembanding. Akan tetapi simpulan DJP bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan transfer pricing guna penghindaran pajak dibantah oleh pihak PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia dalam sidang pengadilan pajak. Pihak PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan yang digunakan sebagai perbandingan oleh DJP yaitu Hindustan Motors (India), Yulon Motor (Taiwan), Force Motor Limited (India), berstatus merugi. Sementara itu, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia pada tahun 2008 masih untung. Dengan demikian, pihak PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan tersebut tidak layak dijadikan sebagai pembanding dalam kasus tersebut. Berdasarkan penelusuran sampai saat makalah ini ditulis, pada kasus Toyota tersebut telah keluar putusan dari Mahkamah Agung yang bersifat inkracht dengan putusan nomor 572/B/PK/PJK/2016 tanggal 20 Juli 2016 dimana Mahkamah Agung memenangkan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Penentuan besarnya transfer pricing yang wajar memang sangat susah untuk dilaksanakan. Permasalahan yang dihadapi oleh DJP terutama adalah ketersediaan data pembanding untuk menentukan besarnya transfer price yang wajar. Beberapa komoditas seperti minyak mentah dan crude palm oil (CPO) memang lebih mudah menentukan besarnya transfer price yang wajar karena datanya tersedia dan mudah diakses. Namun sebagian besar produk perusahaan-perusahaan multinasional susah dicari pembandingnya karena setiap produk mempunyai spesifikasi, fungsi, dan brand yang berbeda. Permasalahan penentuan besarnya transfer price yang wajar tidak hanya dialami oleh DJP, tetapi juga oleh otoritasotoritas pajak negara lainnya di dunia. Kesimpulan
Dari uraian yang telah dijelaskan dalam makalah ini, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Kasus di bidang pajak untuk perusahaan Penanaman Modal Asing sering berkaitan dengan masalah Transfer Pricing . 2. Transfer Pricing adalah kebijakan penentuan harga untuk penjualan barang/jasa yang terjadi dalam internal satu perusahaan atau satu kelompok perusahaan. 3. Transfer Pricing memiliki dua tujuan utama, yaitu pengukuran kinerja dan penentuan beban pajak yang optimal. Namun, belakangan ini Transfer Pricing lebih banyak digunakan untuk tujuan perencanaan pajak daripada untuk pengukuran kinerja divisi . 4. DJP menganggap bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan transfer pricing guna penghindaran pajak. Adapun modus yang dilakukan oleh PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia adalah melakukan penjualan dengan transfer price di luar prinsip kewajaran dan kelaziman usaha kepada perusahaan afiliasinya yang berada di Singapura. 5. Untuk membuktikan bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan transfer pricing guna penghindaran pajak, DJP menggunakan Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/ CUP). Adapun kendala dalam penggunaan metode ini adalah mencari data pembanding yang sesuai. 6. Metode yang digunakan DJP untuk penentuan transfer price yang wajar disanggah oleh pihak PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia karena perusahaan yang menjadi pembanding oleh DJP yaitu Hindustan Motors (India), Yulon Motor (Taiwan), Force Motor Limited (India) berstatus merugi, sementara itu PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia pada tahun 2008 masih untung sehingga tidak bisa dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan tersebut. 7. Akibatnya dalam proses hukum ke tahap selanjutnya yang diakhiri dengan putusan Peninjaauan Kembali yang diputuskan oleh Mahkamah Agung, DJP harus menerima kekalahan dan dalam kasus ini pihak PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia memenangkan sehingga DJP harus mengembalikan apa yang menjadi putusan Mahkamah Agung ditambah imbalan bunga. 8. Kedepan DJP perlu melakukan analisis yang mendalam dan hati-hati dalam melakukan pemeriksaan terhadap wajib pajak yang diduga melakukan transfer pricing untuk tujuan penghindaran pajak.
Daftar Pustaka:
Darussalam, Danny Septriadi. 2008. Konsep dan Aplikasi Cross-Border Transfer Pricing untuk Tujuan Perpajakan. Jakarta: Danny Darussalam Tax Center (PT Dimensi Internasional Tax) Gunadi. 2007. Pajak Internasional . Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Idris, Umar. 2013. Sengketa Pajak Toyota Motor Menanti Palu Hakim . Kontan. http://nasional.kontan.co.id/news/sengketa-pajak-toyota-motor-menanti-palu-hakim Kompasiana.
2017.
Dugaan
Transfer
Pricing
Toyota.
Kompasiana
http://www.kompasiana.com/kompaskampus/dugaan-transfer-pricingtoyota_58b8c532b69373f804571eda Kurniawan, Anang Mury. 2011. Pajak Internasional Beserta Contoh Aplikasinya. Bogor: Ghalia Indonesia Mahkamah Agung Republik Indonesia. 2016. Putusan Nomor 572/B/PK/PJK/2016 . https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=22&cad=rja &uact=8&ved=0ahUKEwiu9L77udPTAhWMHZQKHWadCGc4FBAWCCUwAQ& url=http%3A%2F%2Fputusan.mahkamahagung.go.id%2Fputusan%2Fdownloadpdf% 2Feb67df0223f52d65de735df2be26270c%2Fpdf&usg=AFQjCNF3XTOJaAOPF426 CqhrS3XB0MNrpg Sugiharto,
Denny.
2014.
Prahara
Pajak
Raja
Otomotif .
Tempo.
https://investigasi.tempo.co/toyota/ Zakaria, Jaja. 2005. Perlakuan Pajak terhadap Bentuk Usaha Tetap (BUT). Jakarta: Rajagrafindo Persada.