2
ANALISIS KASUS
MASALAH KESEHATAN REPRODUKSI
TUGAS
Diajukan Untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Prinsip Teori Kesehatan Reproduksi
Disusun Oleh :
Asyifa Robiatul Adawiyah
UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA (URINDO)
PROGRAM PASCA SARJANA (S2)
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
2015
Kasus
Bu Ita adalah seorang ibu berusia 42 tahun. Saat ini dia sudah mempunyai 2 orang anak usia 10 dan 8 tahun dan dia sudah merasa bahagia dengan kedua anaknya tersebut meskipun dua-duanya laki-laki. Dia tidak berniat untuk menambah anak lagi. Selama ini dia menggunakan kontrasepsi IUD dan dia merasa aman-aman saja dengan kontrasepsinya tersebut. Namun 2 hari yang lalu dia baru tersadar bahwa dia sudah tidak mendapat haid selama 2 bulan ini dan setelah tes dengan alat kehamilan hasilnya adalah positif.
Bu Ita sangat shock, bingung sekaligus takut setelah tahu akan hal ini. Dia merasa sudah tidak pantas lagi untuk hamil karena usianya yang sudah tidak muda lagi. Kemudian berdasarkan pengalaman pada dua kehamilannya yang lalu, dia selalu bermasalah jika hamil. Biasanya dia akan mengalami hipertensi dan berbagai keluhan lainnya.
Kata Kunci Masalah
Ibu Ita berusia 42 tahun,
Sudah 2 kali melahirkan,
Menggunakan kontrasepsi IUD dan merasa aman,
Tidak haid selama 2 bulan,
Tes kehamilan hasil (+),
Merasa tidak pantas hamil karena usia sudah tidak muda,
Dua kali hamil selalu bermasalah,
Mengalami hipertensi dan keluhan lain setiap hamil.
Pertanyaan Masalah
Yang harus dilakukan adalah membuat analisa dengan 5W 1H yang akan muncul pada pertanyaan masalah tersebut, yaitu:
What - Apa yang menjadi inti permasalahan kasus tersebut?
Who - Siapa saja yang telibat dalam masalah tersebut?
Why - Mengapa masalah tersebut dapat muncul?
When - Sejak kapan masalah tersebut muncul?
Where - Dimana biasanya masalah tersebut muncul?
How - Bagaimana cara untuk mengatasi masalah tersebut?
Analisa Masalah
What - Apa yang menjadi inti permasalahan kasus tersebut?
Yang menjadi inti masalah dalam penelitian ini adalah keadaan ibu Ita berusia 42 yang cemas karena hamil ketiga padahal sudah memakai KB IUD, dua kehamilan sebelumnya selalu mengalami hipertensi dan berbagai keluhan lainnya. Pada keadaan ini Ibu Ita disebut Ibu hamil risiko tinggi/komplikasi dengan keadaan penyimpangan dari normal yang secara langsung menyebabkan kesakitan dan kematian bagi ibu maupun bayinya (Profi Kesehatan jatim, 2011) dan kehamilan terebut termasuk dalam kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), ada beberapa alasan untuk tidak menginginkan kehamilan antara lain karena perkosaan, kurang pengetahuan yang memadai tentang kontrasepsi, terlalu banyak anak, alasan kesehatan, janin cacat, usia muda atau belum siap menikah, pasangan tidak bertanggungjawab atau hubungan dengan pasangan belum mantap, kendala ekonomi, dan lainnya (WHO, 2000).
Who - Siapa saja yang telibat dalam masalah tersebut?
Dari permasalahan kasus tersebut pihak-pihak yang menyebabkan permasalahan ini diantaranya kurangnya pengetahuan ibu Ita tentang pemakaian KB dan Angka Kegagalan Kontrasepsi serta kurangnya sosialisasi dan kajian pemerintah tentang KB.
Why - Mengapa masalah tersebut dapat muncul?
Keadaan kualitas pelayanan yang belum maksimal menjadi jawaban dari adanya masalah tersebut. Kualitas pelayanan menjadi penting, karena:
Kualitas pelayanan memang diperlukan bagi keberhasilan gerakan KB,
Adanya peningkatan modernitas dan rasionalitas masyarakat,
adanya kaitan yang erat antara kualitas pelayanan KB dengan kesehatan reproduksi,
Perbaikan kualitas pelayanan merupakan satu cara efektif untuk memperkecil kegagalan kontrasepsi atau KTD bagi para akseptor (Dwiyanto, 1996).
Secara kualitas, masih terdapat kegagalan dalam penggunaan kontrasepsi yang dialami para akseptor. Secara nasional angka kumulatif kegagalan kontrasepsi sebanyak 1.630 kasus, yang tersebar dalam empat metode kontrasepsi, yaitu IUD, MOW, MOP dan Implant (BKKBN, 2005).
Berawal dari kegagalan dalam menggunakan alat kontrasepsi maka akan terjadi Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD). Terdapat dua tindak lanjut berbeda yang dilakukan masyarakat setelah mengalami KTD, yaitu tetap mempertahankan kehamilan tersebut hingga bayi dilahirkan karena alasan takut dosa bila melakukan aborsi atau akan dilakukan aborsi apabila ada indikasi kedaruratan medis sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Pada Pasal 31 S/D 39 tentang tindakan aborsi yang dapat dilakukan hanya berdasarkan indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat perkosaan.
When - Sejak kapan masalah tersebut muncul?
Sejak terjadi kegagalan dalam menggunakan alat kontrasepsi terdapat imbas utama dari hal tersebut yaitu dapat menyebabkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Bahkan menurut data yang ada di World Health Organization (WHO) memperkirakan dari 200 juta kehamilan pertahun, sekitar 38 persen (75 juta) merupakan KTD (Berer, 2000 dalam YKP, 2003).
Masih minimnya tindak nyata BKKBN dalam pencanangan program menunjukkan bahwa permasalahan KTD belum menjadi isu manajemen keluarga berencana di kalangan BKKBN sendiri. Bahkan ketersediaan data dari masing-masing SKPD pun masih dirasa sangat lemah terutama yang berkaitan langsung dengan kejadian KTD. KTD juga memiliki implikasi terhadap angka kematian ibu dan bayi karena kehamilan yang tidak diinginkan dapat berakhir pada keputusan menggugurkan kandungan (aborsi) (BKKBN, 2008).
Where - Dimana biasanya masalah tersebut muncul?
Masalah akan muncul pada saat pasangan yang menggunakan alat kontrasepsi tersebut tidak tahu apa kekurangan dari masing-masing dan salah satunya adalah IUD. Adapun alasan yang melatarbelakangi dipilihnya IUD sebagai alat kontrasepsi bagi masyarakat terutama disebabkan oleh sifat alat kontrasepsi IUD yang praktis tidak saja dalam aplikasinya tapi juga perawatannya. Selain itu pemakaian IUD juga tidak menimbulkan efek-efek hormonal. Hanya saja menurut informasi menyatakan bahwa pemakaian IUD sering disertai efek IUD patah, timbul infeksi, IUD bergeser maupun indikasi medis lainnya yang berakhir pada KTD. Menurut survey BKKBN tahun 2008 menunjukkan bahwa metode kontrasepsi yang paling banyak mengalami kegagalan selama masa penggunaannya dan menyebabkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan di kalangan masyarakat adalah metode IUD. Kegagalan metode lainnya, juga bila diurut berdasarkan bentuk kegagalan terbanyak antara lain metode suntik, pil, kondom, implant dan MOP.
How - Bagaimana cara untuk mengatasi masalah tersebut?
Ada dua penyelesaian dalam masalah ini yaitu melihat dari kondisi Ibu Ita dan Solusi untuk pemerintah terutama BKKBN dalam menjalankan program KB.
Kondisi Ibu Ita:
Faktor-faktor penyebab terjadinya faktor resiko pada ibu hamil menurut Rochjati, P (2003) meliputi: umur ibu yang tergolong risiko tinggi 20 tahun dan 35 tahun, paritas yang termasuk risiko tinggi adalah ibu yang pernah hamil atau melahirkan anak 2 kali atau lebih , jarak anak yang tergolong risiko tinggi 2 tahun dan , tinggi badan yang termasuk risiko tinggi 145 cm atau kurang , yang tergolong risiko tinggi berdasarkan riwayat obstetrik jelek meliputi persalinan yang lalu dengan tindakan, bekas operasi caesarea, penyakit ibu, pre-eklamsi ringan, hamil kembar, hidramnion/ hamil kembar air, janin mati dalam kandungan, hamil lebih bulan, kelainan letak, perdarahan antepartum, dan pre-eklamsi berat / eklamsi.
Dampak yang dapat terjadi pada ibu hamil risiko tinggi yaitu keguguran, persalinan prematur, mudah terjadi infeksi, anemia pada kehamilan, gestosis, serta kematian ibu yang tinggi (Saifuddin, 2005).
Risiko komplikasi pada wanita yang hamil di atas usia 35 memang lebih tinggi dibandingkan yang hamil di usia lebih muda. Namun banyak cara yang dapat dilakukan untuk memastikan seorang ibu melahirkan bayi yang sehat.
Ibu Ita dapat meneruskan kehamilannya dengan mengenali risiko-risiko yang lebih mungkin terjadi pada kehamilan setelah usia 35 tahun dapat membuat ibu hamil lebih waspada dan dapat bekerja sama dengan dokter dalam menangani situasi tersebut. Risiko-risiko yang dimaksud, antara lain:
Menurunnya tingkat kesuburan
Setelah usia 35 tahun, kesuburan wanita cenderung menurun sehingga relatif lebih lama menanti datangnya buah hati. Hal ini dilatarbelakangi kondisi-kondisi berikut:
Penurunan jumlah dan kualitas sel telur yang diproduksi.
Perubahan hormon yang berakibat pada perubahan ovulasi.
Lebih tingginya kemungkinan ada kondisi medis tertentu seperti endometriosis yang dapat memengaruhi peluang kehamilan.
Bayi yang tidak normal
Pembelahan sel telur yang abnormal, disebut nondisjunction, menyebabkan kemungkinan memiliki anak dengan cacat lahir atau kondisi akibat kelainan kromosom seperti Syndrom Down, akan meningkat seiring pertambahan usia wanita. Kondisi tersebut diperkirakan akan terjadi pada 1 dari 30 ibu hamil berusia 45 tahun ke atas, dalam hal ini Ibu Ita masih minim untuk terkena risiko bayi dengan Syndrom Down.
Risiko keguguran
Risiko keguguran pada usia kehamilan sebelum 4 bulan atau bayi meninggal di dalam kandungan meningkat sekitar 10 persen pada wanita berusia 40 dibandingkan dengan mereka yang hamil pada usia 20-an. Keguguran umumnya disebabkan oleh masalah pada kromosom atau genetika janin.
Bayi lahir prematur atau berat badan kurang dari normal
Wanita yang melahirkan setelah usia 35 tahun lebih berisiko melahirkan bayi yang lahir lebih dini atau lahir dengan berat badan kurang dari yang direkomendasikan. Selain itu, lebih berisiko juga melahirkan bayi dengan komplikasi masalah kesehatan.
Gangguan kesehatan pada sang ibu
Gangguan kesehatan seperti tekanan darah tinggi dan diabetes dapat muncul di saat sedang hamil. Kondisi-kondisi ini lebih umum terjadi pada ibu hamil di usia 30 hingga 40-an. Selain itu, wanita hamil pada usia ini juga cenderung lebih berisiko mengalami komplikasi seperti plasenta previa dan praeklamsia.
Operasi Caesar
Risiko komplikasi pada wanita yang hamil pada usia 35 ke atas, seperti plasenta previa, membuat mereka lebih sering menjalani proses persalinan dengan cara caesar.
Menciptakan Kehamilan Sehat di Usia 35 ke Atas
Meski secara medis kehamilan di usia 35 ke atas lebih berisiko, namun tetap ada cara yang dilakukan agar bayi dan ibu tetap sehat selama dalam kandungan dan setelah lahir. Jangan khawatir berlebihan karena sebagian besar ibu hamil di atas usia 35 mampu melahirkan bayi yang sehat.
Periksakan diri secara rutin, terutama di masa-masa awal kehamilan
Minggu-minggu pertama adalah masa penting pertumbuhan awal bayi. Ibu hamil dapat memeriksakan kehamilan mereka untuk mendeteksi dan menangani kemungkinan kelainan pada bayi. Dengan pemeriksaan rutin, dokter juga dapat memberikan penanganan dini jika Anda berisiko atau terdeteksi mengalami diabetes gestasional dan praeklampsia.
Konsumsi vitamin untuk ibu hamil
Mengonsumsi vitamin asam folat setidaknya 400 mikrogram per hari sebelum dan selama 3 bulan pertama kehamilan dapat membantu mencegah cacat tubuh pada bayi, terutama saraf tulang belakang dan otak. Beberapa vitamin pra-kehamilan mengandung 800-1000 mikrogram asam folat yang masih tergolong aman. Namun sebaiknya hindari mengonsumsi lebih dari 1000 mikrogram asam folat.
Jaga berat badan agar tetap normal
Wanita dengan berat badan normal sebaiknya mengalami pertambahan berat 11-15 kilogram saat hamil sedangkan bagi mereka yang berlebihan berat badan, 6-11 kilogram. Pertambahan berat tubuh ibu hamil yang terlalu sedikit berisiko memengaruhi pergerakan bayi dan risiko lahir prematur. Sebaliknya, ibu hamil yang mengalami kelebihan berat badan berisiko lebih tinggi mengalami kondisi tertentu seperti diabetes gestasional dan tekanan darah tinggi. Anda dapat menjaga berat badan tetap normal dengan cara:
Menerapkan pola makan sehat berimbang
Pilih sayuran dan buah segar, kacang-kacangan, dan daging tanpa lemak. Konsumsi juga makanan sumber kalsium dan asam folat untuk perkembangan bayi.
Berolahraga secara teratur
Berolahraga teratur atau bergerak aktif tiap hari dapat meredakan stres dan menguatkan tubuh ibu hamil. Tanyakan mengenai kesehatan dan jenis olahraga yang akan dilakukan kepada dokter jika Anda mengidap kondisi tertentu, seperti diabetes.
Menghentikan kebiasaan yang membahayakan janin
Merokok, mengonsumsi minuman keras, serta terlalu banyak mengonsumsi minuman berkafein dapat meningkatkan risiko kelainan mental dan fisik pada bayi dalam kandungan. Dengan menghindari ketiganya, Anda dapat memperkecil risiko praeklamsia dan risiko melahirkan bayi dengan berat badan yang rendah. Kondisi-kondisi ini umum dialami oleh wanita yang melahirkan di atas usia 35 tahun.
Deteksi kelainan kromosom pada bayi
Pelajari dan jika perlu ambil tes-tes untuk mendeteksi kemungkinan kelainan kromosom pada bayi dalam kandungan.
Untuk Pemerintah:
Melihat dari kondisi Ibu Ita merupakan salah satu gambaran bahwa kiranya pemerintah perlu melakukan perbaikan-perbaikan demi peningkatan mutu dan kualitas pelayan KB kepada masyarakat. Menurut Zeithmahl, dkk (dalam Tjiptono, 2006), suatu layanan kepada konsumen dikatakan berkualitas bila memenuhi lima indikator, meliputi: Bukti Langsung (Tangibles), Keandalan (Reliability,) Daya Tanggap (Responsiveness), Jaminan (Assurance), dan Empati (Empaty).
Indikator Bukti Langsung diukur dengan menggunakan beberapa variabel seperti tingkat kebersihan tempat pelayanan, cara berpenampilan pemberi layanan, ketersediaan alat kontrasepsi di tempat layanan, ketersediaan informasi mengenai pilihan alat kontrasepsi yang tersedia, ketersediaan informasi mengenai kontraindikasi alat kontrasepsi, ketersediaan informasi mengenai efek samping pemakaian alat kontrasepsi, dan ketersediaan informasi mengenai pelayanan lanjutan yang diperlukan untuk diperoleh hasil secara umum bahwa masyarakat memberikan penilaian/ persepsi baik pada tingkat kebersihan, cara berpenampilan dan ketersediaan alat kontrasepsi di tempat pelayanan.
Informasi mengenai alat kontrasepsi yang dipilih juga berkaitan dengan informasi mengenai kontraindikasi dari masing-masing penggunaan alat kontrasepsi. Sebab sudah menjadi hak para pengguna alat kontrasepsi untuk mengetahui secara terbuka kontraindikasi yang ditimbulkan sebagai akibat penggunaan alat kontrasepsi. Namun demikian masih ada masyarakat yang memberikan persepsi kurang tersedianya informasi tersebut. Yang tidak kalah pentingnya adalah informasi mengenai efek samping dari penggunaan alat kontrasepsi. Pemberi layanan harus secara terbuka menjelaskan efek samping dari masing-masing penggunaan alat kontrasepsi, sehingga masyarakat bisa secara tepat membuat pilihan mengenai alat kontrasepsi yang akan digunakan.
Kemampuan masyarakat untuk memilih secara mandiri alat kontrasepsi paling tepat yang akan digunakan agaknya kurang dapat terealisasi secara merata, sebab masih ada masyarakat yang memberikan persepsi tidak tersedianya informasi mengenai efek samping dari penggunan alat kontrasepsi yang dipilih (0,7%), dan sebanyak 2,1% masyarakat memberikan persepsi kurang tersedianya informasi mengenai efek samping tersebut. Penilaian yang sama juga terjadi pada kriteria ketersediaan informasi mengenai pelayanan lanjutan yang diperlukan masyarakat, dimana sebanyak 0,7% dan 2,1% masyarakat yang berpersepsi tidak tersedia dan kurang tersedianya informasi mengenai pelayanan lanjutan dalam ber-KB (BKKBN, 2008).