BAB I PENDAHULUAN
Salah satu filsafat yang terpenting dalam kajian fissika adalah aktivitas manusia, sehingga kehidupan manusia tidak terlepas dari fisika, baik secara teori maupun praktek. Ada banyak pekerjaan yang menghendaki pengetahuan pengetahuan dan keterampilan-keterampilan fisika, oleh karena itu siswa perlu dibekali dengan kemampuan fisika yang memadai agar mereka dapat bersaing di era teknologi dan informasi yang berkembang dengan pesat. pesat. Upaya untuk meningkatkan kemampuan siswa tentu melibatkan beberapa faktor, diantaranya adalah kurikulum dan metode pembelajaran yang merupakan komponen vital yang dapat membuat proses pembelajaran berlangsung secara secara efektif dan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Salah satu ciri dari pembelajaran fisika masa kini adalah penyajiannya didasarkan pada teori psikologi pembelajaran yang pada saat ini sedang populer dibicarakan oleh para pakar pendidikan. Banyak teori belajar yang telah didesain dalam pelaksanaan pembelajaran fisika, diantaranya adalah konstruktivisme. Seperti halnya behaviorisme dan kognitivisme, konstruktivisme dapat diterapkan dalam berbagai aktivitas belajar baik pada ilmu-ilmu sosial maupun ilmu eksakta. Dalam fisika, konstruktivisme telah banyak diteliti, diterapkan, dan diuji coba pada situasi ruangan kelas yang berbeda-beda. Dari berbagai percobaan itu telah banyak menghasilkan berbagai pandangan yang ikut mempengaruhi perkembangan, modifikasi, dan inovasi pembelajaran. Lahirnya berbagai pendekatan seperti pembelajaran kooperatif, sosiokultur, pembelajaran kontekstual, dan lain-lain merupakan hasil inovasi dan modifikasi dari teori pembelajaran.
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Konstruktivisme
Kontruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri. Konstruktivisme sebagai aliran filsafat, banyak mempengaruhi konsep ilmu pengetahuan, teori belajar dan pembelajaran. Konstruktivisme menawarkan paradigma baru dalam dunia pembelajaran. Sebagai landasan paradigma pembelajaran, konstruktivisme menyerukan perlunya partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran, perlunya pengembagan siswa belajar mandiri, dan perlunya siswa memiliki kemampun untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri. Konstruktivisme adalah suatu teori pembelajaran dimana murid mengembangkan sendiri pengetahuan atau konsep secara aktif berdasarkan pengetahuan dan pengalaman ada. Dalam proses ini, murid akan menyesuaikan pengetahuan yang diterima dengan pengetahuan yang ada untuk memperoleh pengetahuan baru dengan bantuan interaksi sosial dengan guru dan rekannya. B. Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivisme
Ada
sejumlah
ciri-ciri
proses
pembelajaran
yang
sangat
ditekankan
oleh
teori
konstruktivisme, yaitu: 1.
Menekankan pada proses belajar, bukan proses mengajar
2.
Mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajara pada siswa
3.
Memandang siswa sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin dicapai
4.
Berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses, bukan menekan pada hasil
5.
Mendorong siswa untuk melakukan penyelidikan
6. Mengharagai peranan pengalaman kritis dalam belajar 7. Mendorong berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada siswa 8. Penilaian belajar lebih menekankan pada kinerja dan pemahaman siswa 9. Berdasarkan proses belajarnya pada prinsip-prinsip toeri kognitif 10. Banyak menggunakan terminologi kognitif untuk menjelaskan proses pembelajaran, seperti prediksi, infernsi, kreasi, dan analisis 11. Menekankan bagaimana siswa belajar
12. Mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam dialog atau diskusi dengan siswa lain dan guru 13. Sangat mendukung terjadinya belajar kooperatif 14. Melibatkan siswa dalam situasi dunia nyata 15. Menekankan pentingnya konteks siswa dalam belajar 16. Memperhatikan keyakinan dan sikap siswa dalam belajar 17. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan dan pemahaman baru yang didasarkan pada pengalaman nyata
C. Rancangan Pembelajaran Konstruktivistik
Berdasarkan teori Vygotsky maka pembelajaran dapat dirancang/didesain dalam model pembelajaran konstruktivis di kelas sebagai berikut: 1. Identifikasi prior knowledge dan miskonsepsi. Identifikasi awal terhadap gagasan intuitif yang mereka miliki terhadap lingkungannya dijaring untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan akan munculnya miskonsepsi yang menghinggapi struktur kognitif siswa. Identifikasi ini dilakukan dengan tes awal, interview. 2. Penyusunan program pembelajaran. Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran. 3. Orientasi dan elicitasi, Situasi pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan sangatlah perlu diciptakan pada awalawal pembelajaran untuk membangkitkan minat mereka terhadap topik yang akan dibahas. Siswa dituntun agar mereka mau mengemukakan gagasan intuitifnya sebanyak mungkin tentang gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam lingkungan hidupnya seharihari. Pengungkapan gagasan tersebut dapat memalui diskusi, menulis, ilustrasi gambar dan sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut kemudian dipertimbangkan bersama. Suasana pembelajaran dibuat santai dan tidak menakutkan agar siswa tidak khawatir dicemooh dan ditertawakan bila gagasan-gagasannya salah. Guru harus menahan diri untuk tidak menghakiminya. Kebenaran akan gagasan siswa akan terjawab dan terungkap dengan sendirinya melalui penalarannya dalam tahap konflik kognitif.
4. Refleksi. Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifat miskonsepsi yang muncul pada tahap orientasi dan elicitasi direflesikan dengan miskonsepsi yang telah dijaring pada tahap
awal.
Miskonsepsi
ini
diklasifikasi
berdasarkan
tingkat
kesalahan
dan
kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasikannya. 5. Resrtukturisasi ide, berupa: (a) tantangan, siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-gejala yang kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum. Mereka diminta untuk meramalkan hasil percobaan dan memberikan alas an untuk mendukung ramalannya itu. (b) konflik kognitif dan diskusi kelas. Siswa akan daapt melihat sendiri apakah ramalan mereka benar atau salah. Mereka didorong untuk menguji keyakinan dengan melakukan percobaan. Bila ramalan mereka meleset, mereka akan mengalami konflik kognitif dan mulai tidak puas dengan gagasan mereka. Kemudian mereka didorong untuk memikirkan penjelasan paling sederhana yang dapat menerangkan sebanyak mungkin gejala yang telah mereka lihat. Usaha untuk mencari penjelasan ini dilakukan dengan proses konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau guru yang pada kapasistasnya sebagai fasilitator dan mediator. (c) membangun ulang kerangka konseptual. Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa konsep-konsep yang baru itu memiliki konsistensi internal. Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu memiliki keunggulan dari gagasan yang lama. 6. Aplikasi. Menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep ilmiahnya tersebut dalam berbagai macam situasi untuk memecahkan masalah yang instruktif dan kemudia menguji penyelesaian secara empiris. Mereka akan mampu membandingkan secara eksplisit miskonsepsi mereka dengan penjelasa secara keilmuan. 7. Review Review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang telah berlangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran. Revisi terhadap
strategi pembelajaran dilakukan bila miskonsepsi yang muncul kembali bersifat sangar resisten. Hal ini penting dilakukan agar miskonsepsi yang resisten tersebut tidak selamanya menghinggapi struktur kognitif, yang pada akhirnya akan bermuara pada kesulitan belajar dan rendahnya prestasi siswa bersangkutan. D. Aliran Kostruktivisme Ditinjau Dari Berbagai Aspek
1. DIRI / PRIBADI Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan. Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak. Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis. Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku. Belajar hanya akan terjadi apabila seseorang mengubah atau berkeinginan mengubah pikirannya. Dalam perubahan konsepsi, siswa dipandang sebagai pemroses informasi dan pemroses pengalaman. Bukan hanya sebagai tempat penampung pengalaman dan informasi. Ini berarti, kemampuan siswa untuk belajar dan apa yang dipelajari siswa bergantung pada konsepsi yang terdapat dalam pengalaman tersebut. Gagasan yang baru tidak begitu saja ditambahkan pada gagasan yang telah ada, tetapi mereka saling berinteraksi yang kadangkadang memerlukan perubahan.
2. REALITA Pandangan yang berkembang adalah bahwa ilmu pengetahuan merupakan hasil rekayasa manusia, teori konstruktivisme meyakini bahwa di dalam proses pembelajaran para peserta didik yang harus aktif membangun pengetahuan di dalam pikirannya. Para peserta didik yang pasif tidak mungkin membangun pengetahuannya sekalipun diberi informasi oleh para pendidik (Sarkim, 2005: 155). Agar informasi yang diterima berubah menjadi pengetahuan, seorang peserta didik harus aktif mengupayakan sendiri agar informasi itu menjadi bagian dari struktur pengetahuannya. Implikasi dari pandangan konstruktivisme ini adalah bahwa pengetahuan itu tidak dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke siswa. Pengetahuan itu harus secara aktif dibangun oleh siswa sendiri melalui pengalaman nyata. Proses belajar merupakan proses konstruktif yang menghendaki partisipasi aktif dari siswa, sehingga peran guru sekarang berubah dari sumber dan pemberi informasi menjadi pendiagnosis dan fasilitator belajar siswa Belajar hanya akan terjadi apabila seseorang mengubah atau berkeinginan mengubah pikirannya. Dalam perubahan konsepsi, siswa dipandang sebagai pemroses informasi dan pemroses pengalaman. Bukan hanya sebagai tempat penampung pengalaman dan informasi. Ini berarti, kemampuan siswa untuk belajar dan apa yang dipelajari siswa bergantung pada konsepsi yang terdapat dalam pengalaman tersebut. Gagasan yang baru tidak begitu saja ditambahkan pada gagasan yang telah ada, tetapi mereka saling berinteraksi yang kadangkadang memerlukan perubahan. 3. PENGETAHUAN Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang siswa yang aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh siswa itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi. Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, siswa yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain.
Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa sehingga belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman
konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar. Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan memalui adaptasi intelektual dalam konteks social budaya. Proses penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual. 4. NILAI Guru berperan untuk Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran peserta didik itu jalan atau tidak. Pendidik menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan peserta didik berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan dengannya. Guru membantu dalam mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan peserta didik. Evaluasi menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan keterampilan terintegrasi, dengan menggunakan masalah dalam konsteks nyata. Evaluasi yang menggali munculnya berpikir divergent, pemecahan ganda, bukan hanya satu j awaban benar. Evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar dengan cara memberikan tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermkana serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata. evaluasi menekankan pada keterampilan proses dalam kelompok. 5. PENDIDIKAN Konstruktivisme pada pendidikan berusaha merubah pendidikan dari dominasi guru menjadi pemusatan pada siswa. Peranan guru adalah membantu siswa mengembangkan pengertian baru. Siswa diajarkan bagaimana mengasimilasi pengalamn, pengetahuan, dan pengertiannya dan apakah mereka siap untuk tahu dari pembentukan pengertian baru ini. Pada bagian ini,
kita melihat permulaan aliran konstruktivisme , peranan pengalaman siswa dalam belajar dan bagaiman dapat mengasimilasi pengertiannya. Salah satu prinsip paling penting dari psikologi pendidikan adalah guru tidak hanya sematamata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Guru dapat membantu proses ini dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide-ide mereka untuk belajar. Paradigma konstruktivisme memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Konstruktivisme adalah suatu teori belajar yang mempunyai suatu pedoman dalam filosofi dan antropologi sebaik psikologi. Pedoman filosofi pada teori ni ditemukan pada abad ke-5 sebelum masehi. Ketika Socrates memajukan pemikiran dari level sophist oleh metode perkembangan sistematis yang ditemukan melalui gabungan antara pertanyaan dan alasan logika. Metode baru ini yang mengkontribusi secara besar-besaran untuk memajukan aspek pemecahan masalah aliran konstruktivisme. Penyelidikan atau pengalaman fisik, pengalaman pendidikan adalah kunci metode konstruktivisme. Selama abad ke-18 dan ke- 17, filosof Inggris ” Frances Bacon” memberikan ilmu metode untuk menyelidiki lingkungan. 6. KURIKULUM Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari. 7. GURU Dalam aliran konstruktivisme guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik . Peran Guru dalam aliran konstruktivisme adalah sebagai berikut: 1. Mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar
Dengan menghargai gagasa-gagasan atau pemikiran siswa serta mendorong siswa berpikir mandiri, berarti guru membantu siswa menemukan identitas intelektual mereka. Para siswa yang merumuskan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian menganalisis serta menjawabnya berarti telah mengembangkan tanggung jawab terhadap proses belajar mereka sendiri serta menjadi pemecah masalah. 2. Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan kesempatan beberapa waktu kepada siswa untuk merespon Berfikir reflektif memerlukan waktu yang cukup dan seringkali atas dasar gagasan-gagasan dan komentar orang lain. Cara-cara guru mengajukan pertanyaan dan cara siswa merespon atau menjawabnya akan mendorong siswa mampu membangun keberhasilan dalam melakukan penyelidikan. 3. Mendorong siswa berpikir tingkat tinggi Guru yang menerapkan proses pembelajaran konstruktivisme akan menantang para siswa untuk mampu menjangkau hal-hal yang berada di balik respon-respon faktual yang sederhana. Guru mendorong siswa untuk menghubungkan dan merangkum konsep-konsep melalui
analisis,
prediksi,
justifikasi,
dan
mempertahankan
gagasan-gagasan
atau
pemikirannya. 4. Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau didkusi dengan guru dan siswa lainnya Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial dalam kelas yang bersifat intensif sangat membantu siswa untuk mampu mengubah atau menguatkan gagasan-gagasannya. Jika mereka memiliki kesempatan untuk megemukakan apa yang mereka pikirkan dan mendengarkan gagasan-gagasan orang lain, maka mereka akan mampu membangun pengetahuannya sendiri yang didasarkan atas pemahaman mereka sendiri. Jika mereka merasa aman dan nyaman untuk mengemukakan gagasannya maka dialog yang sangat bermakna akan terjadi di kelas. 5. Siswa terlibat dalam pengalaman yang menantang dan mendorong terjadinya diskusi Jika diberi kesempatan untuk membuat berbagai macam prediksi, seringkali siswa menghasilkan berbagai hipotesis tentang fenomena alam ini. Guru yang menerapkan konstruktivisme dalam belajar memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk menguji hpotesis yang mereka buat, terutama melalu diskusi kelompok dan pengalaman nyata.
6. Guru memberika data mentah, sumber-sumber utama, dan materi-materi interaktif Proses pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivisme melibatkan para siswa dalam mengamati dan menganalisis fenomena alam dalam dunia nyata. 8. PESERTA DIDIK Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru. Sehubungan dengan hal di atas, ada tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. 1. Peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. 2. Pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. 3. Mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima. Pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahuinya. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut. Perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, ada sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu: 1. Siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, 2. Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, 3. Strategi siswa lebih bernilai, dan 4. Siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
9. METODE Pada hakikatnya pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan suasana atau memberikan pelayanan agar peserta didik belajar. Dalam menciptakan suasana atau pelayanan, hal yang esensial bagi guru adalah memahami bagaimana murid-muridnya memperoleh pengetahuan dari kegiatan belajarnya. Jika guru dapat memahami proses pemerolehan pengetahuan, maka ia dapat menentukan strategi atau metode-metode pembelajaran yang tepat bagi murid-muridnya. Terjadinya proses belajar pada murid yang sedang belajar memang sulit untuk diketahui secara kasat mata, karena proses belajar berlangsung secara mental. Namun, dari berbagai hasil penelitian atau percobaan, para ahli psikologi dapat menggambarkan bagaimana proses tersebut berlangsung. Ahli psikologi konstruktivis berpendapat bahwa proses pemerolehan pengetahuan adalah melalui penstrukturan kembali struktur kognitif yang telah dimiliki agar bersesuaian dengan pengetahuan yang akan diperoleh sehingga pengetahuan itu dapat diadaptasi. Dalam proses belajar mengajar diperlukan suatu cara atau metode untuk mencapai tujuan belajar. Metode mengajar adalah suatu cara, teknik atau langkah-langkah yang akan ditempuh dalam proses belajar mengajar. Ada berbagai metode yang dapat digunakan guru dalam kegiatan pembelajaran, diantaranya; ceramah bervariasi , tanya jawab, diskusi , pemberian tugas, bermain peran, karyawisata, inquiry, kerja kelompok, discovery, demonstrasi. Karena keterbatasan kemampuan dan waktu
maka tidak akan semua metode dapat digunakan. Namun yang terpenting adalah penggunaan metode harus dikaitkan dengan situasi dan tujuan belajar yang hendak dicapai dan ditekankan kepada keaktifan siswa dalam membangun pengetahuan. E. Implikasi teori konstruktivisme dalam pembelajaran Fisika
Ilmu fisika mempelajari berbagai gejala alam, penyebab terjadinya, akibatnya, dan penggunaannya. Ilmu ini sudah sangat jauh berkembang dan memasuki hampir semua bidang kehidupan kita. Penemuan-penemuan dalam fisika menjadi dasar dalam industri dan berbagai teknologi modern. Fisika sebagai salah satu cabang sains/IPA pada dasarnya betujuan untuk mempelajari dan menganalisis pemahaman kuantitatif gejala alam atau proses alam dan sifat zat serta penerapannya.
Dalam pemahaman materi fisika yang penting adalah kemahian berpikir fisika, salah satunya dinamakan dengan kemahiran generik. Ada 9 (Sembilan) kemahiran generik yang dapat ditumbuhkan dalam pengajaran fisika, yaitu: 1. Teknik pengamatan langsung, batas kemampuan dan keterbatasannya. 2. Cara-cara pengamatan tak langsung yang disertai dengan analisis yang disertai dengan kesimpulan yang benar 3. Kesadaran akan skala besaran/skala ukuran obyek-obyek alam 4. Kefasihan menggunakan bahasa simbolik untuk melukiskan gejala dan perangai alam 5. Kemahiran berpikir dalam kerangka logika taat asas 6. Kemahiran melakukan inferensi logika secara berarti 7. Pemahaman tentang hokum sebab akibat 8. Kemahiran membuat pemodelan matematika untuk gejala dan perangai alam 9. Kemahiran untuk membangun konsep abstrak yang fungsional. Implikasi teori konstruktivisme dalam pembelajaran adalah pembelajaran melakukan proses aktif dalam mengkonstruksi gagasan-gagasannya menuju konsep yan bersifat ilmiah. Implikasi teori konstruktivisme dalam pembelajaran fisika adalah: 1. Seleksi, guru berbasis pada seleksi pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya. 2. Perhatian, guru harus memperhatikan pengalaman-pengalaman tersebut dengan baik. 3. Masukan sensori, guru harus mampu merefleksikan masukan sensori tersebut dengan pengalaman-pengalaman
yang
dimiliki
siswa
sehingga
guru
tahu
cara
mengkonstrukinya. 4. Membangkitkan hubungan, pengalaman yang telah dimiliki, digali dan dihubungkan dengan masukan sensori baru. 5. Konstruksi, sensoriyang terseleksi selanjutnya dikonstruksi. 6. Evaluasi konstruksi, evaluasi dilakukan untuk mendeteksi keberhasilan konstruksi. 7. Penggolongan, menggolongkan hasil konstruksi kedalam memori. 8. Motivasi, siswa akan mendapat motivasi bila proses konstruksi mampu meningkatkan konsep ilmiahnya.
BAB III SIMPULAN
1. Pembelajaran berfokus pada peserta didik, memberi perhatian pada proses berfikir atau proses mental , dan bukan sekedar pada hasil belajar. Disamping kebenaran peserta didik, guru harus memahami proses yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban yang diinginkan. 2. Mengutamakan peran peserta didik dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan pembelajaran. didalam kelas, penyajian pengetahuan jadi tidak mendapat penekanan, melainkan anak didorong menemukan sendiri pengetahuan itu me1alui interaksi spontan dengan keadaannya. 3. Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. Seluruh peserta didik tumbuh melewati urutan, namun perturnbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda 4. Semua kerja kognitif tingkat tinggi pada manusia berawal dari lingkungannya. Pengetahuan merupakan suatu bentukan secara sosial dan terintemalisasi pada masingmasing individu. 5. Pembelajaran berrnakna bagi peserta didik, konsep baru atau inforrnasi baru yang akan disarnpaikan harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang telah ada pada sturktur kognitif dan terkait dengan kenyataan hidup yang dialami peserta didik. 6. Menekankan pada pengajaran yang menekankan bahwa siswa mulai dengan masalahmasalah yang kompleks untuk dipecahkan dan selanjutnya memecahkan atau menemukan (dengan bantuan guru dalam bentuk scaffolding) keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan.
MATA KULIAH : FILSAFAT ILMU
ALIRAN KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN FISIKA
OLEH : NAMA
: ANDAR M. HUTAGALUNG
NIM
: 8106176028
PRODI
: PENDIDIKAN FISIKA
KELAS
:B
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS NEGERI MEDAN MEDAN 2011