Nama : Rizki Firdaus NIM : E0016378 Mata Kuliah : Hukum Ketenagakerjaan Tugas : Mencari norma Imperatif dan Fakultatif dalam UU No. 13 tahun 2003 Sifat hukum ketenagakerjaan dari aspek norma menurut Achmad Rachmad B : 1. Imperatif : hukum harus ditaati dan tidak boleh dilanggar, jika dilanggar ada sanksi pidananya. 2. Fakultatif : hukum sebagai s ebagai pelengkap dan dapat dikesampingkan pelaksanaannya. pelaksanaannya. misalnya, perjanjian kerja bisa secara tertulis atau lisan. lisan. Dalam UU No. 13/2003 : 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Norma Imperatif Pasal 2, Pembangunan ketenagakerjaan ketenagakerjaan berlandaskan berlandaskan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 10 (2), Pelatihan kerja diselenggarakan diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu pada standar kompetensi kerja. Pasal 10 (4), Ketentuan mengenai tata cara penetapan standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 12 (1), Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui pelatihan kerja. Pasal 12 (2), Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwajibkan bagi pengusaha yang memenuhi persyaratan yang diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 15, Penyelenggara pelatihan kerja wajib memenuhi wajib memenuhi persyaratan : a) tersedianya tenaga kepelatihan;
1.
2.
3. 4.
5.
6.
7.
8.
Norma Fakultatif Pasal 5, Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Pasal 6, Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. Pasal 10 (3), Pelatihan kerja dapat dilakukan secara berjenjang. Pasal 11, Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui pelatihan kerja. Pasal 13 (2), Pelatihan kerja dapat diselenggarakan diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat kerja. Pasal 19, Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang bersangkutan. Pasal 21, Pelatihan kerja dapat diselenggarakan diselenggarakan dengan sistem pemagangan. Pasal 27 (1), Menteri dapat mewajibkan kepada perusahaan yang memenuhi persyaratan
b) adanya kurikulum yang sesuai dengan tingkat pelatihan; c) tersedianya sarana dan prasarana pelatihan kerja; dan d) tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan pelatihan kerja. 7. Pasal 17 (4), Bagi penyelenggara pelatihan kerja dalam waktu 6 (enam) bulan tidak memenuhi dan melengkapi saran per baikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan sanksi penghentian program pelatihan. 8. Pasal 17 (5), Penyelenggara pelatihan kerja yang tidak menaati dan tetap melaksanakan program pelatihan kerja yang telah dihentikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dikenakan sanksi pencabutan izin dan pembatalan pendaftaran penyelenggara pelatihan. 9. Pasal 25 (1), Pemagangan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia wajib mendapat izin dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. 10. Pasal 43 (1), Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. 11. Pasal 52 (2) dan (3) 12. Pasal 62, Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas
untuk melaksanakan program pemagangan. 9. Pasal 35 (1), Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja. 10. Pasal 51 (1), Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan. 11. Pasal 55, Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak. 12. Pasal 56 (1), Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. 13. Pasal 61 (4), Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri per-janjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh. 14. Pasal 92 (2), pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perubahan produktivitas. 15. Pasal 66 (1), Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. 16. Pasal 69 (1), Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.
waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. 13. Pasal 67 (1), Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. 14. Pasal 74 (1), Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk. 15. Pasal 79 (1), Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh. 16. Pasal 80, Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/ buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya. 17. Pasal 124 (3), Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
17. Pasal 85 (1), Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi. 18. Pasal 93 (1), Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan. 19. Pasal 116 (3), Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuat secara tertulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia. 20. Pasal 116 (4), Dalam hal terdapat perjanjian kerja bersama yang dibuat tidak menggunakan bahasa Indonesia, maka per-janjian kerja bersama tersebut harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah dan terjemahan tersebut dianggap sudah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).