LAPORAN KASUS
Sindrom Dapson pada Pasien Morbus Hansen Vidyani Adiningtyas Adiningtyas Kusu Kusumastanto, mastanto,* Prima Kartika Esti** *Dokter Magang SMF Ilmu Kulit dan Kelamin, **SMF Ilmu Kulit dan Kelamin RS Kusta dr. Sitanala, Tangerang, Indonesia
ABSTRAK
Dapson merupakan obat antibiotik dan antiin�amasi yang dapat digunakan untuk pengobatan berbagai penyakit, seperti lepra, dermatosis vesikobulosa, vaskulitis, malaria, Pneumonitis carinii pneumonia. Dapson memiliki efek samping yang jarang, namun mengancam nyawa, yaitu Dapsone Hypersensitivity Syndrome Syndrome (DHS) atau Sindrom Sulfon. Dilaporkan satu kasus DHS pada wanita penderita kusta berusia 52 tahun dengan manifestasi klinis demam, anemia, ascites ascites,, edema tungkai, dermatitis eksfoliativa, peningkatan SGOT dan SGPT. Gejala membaik dengan terapi kortikosteroid oral dan terapi suportif lain. Para dokter diharapkan dapat mengenai efek samping DHS yang paling fatal serta menangani secara cepat dan tepat. Kata kunci: Dapson, DHS, lepra, morbus hansen, hansen, sindrom dapson
ABSTRACT
Dapsone is an antibiotic drug and antiin�amation, widely used for a variety of disease with indications ranging from lepra, vesicobullous dermatitis, vasculitis, malaria, and Pneumonitis carinii pneumonia. Dapsone has a rare potentially fatal side effect named Dapsone HypersensitivitySyndrome Hypersensitivity Syndrome (DHS) or Sulfon Syndrome. A DHS case was reported in 52-year-old woman with leprosy; the clinical manifestations are fever, anemia, ascites, edema of lower extremity, exfoliativa dermatitis, also elevated serum levels of AST and ALT. The case was clinically improved by oral steroid and other supportive therapy. Physicians should be aware of potentially fatal DHS to ensure timely diagnosis and appropriate management. Vidyani Adiningtyas Kusumastanto, Prima Kartika Esti. Dapsone Syndrome in Morbus Hansen Patient. Keywords: Dapsone, DHS, leprosy, morbus hansen, dapsone syndrome
PENDAHULUAN
Sindrom sulfon atau Dapsone Hypersensitivity Syndrome (DHS) dapat timbul 5 – 6 minggu hingga 6 bulan setelah terapi awal pada pasien gizi buruk. Gejala DHS umumnya berupa trias: demam, erupsi kulit, dan keterlibatan organ tubuh (paru, hati, sistem saraf, dan sebagainya), 1 dapat juga disertai malaise, dermatitis eksfoliatif, ikterus disertai nekrosis hati, limfadenopati, methemoglobinemia, dan anemia.2 Secara farmakokinetik, dapson diserap lambat dalam saluran cerna tetapi hampir sempurna. Kadar puncak tercapai setelah 1-3 jam, yaitu 10-15mcg/mL setelah pemberian dosis yang dianjurkan. Kadar puncak cepat turun, tetapi masih dijumpai dalam jumlah cukup setelah 8 jam. Waktu paruh eliminasi berkisar antara 10-50 jam dengan rata-rata 28 jam. Pada dosis berulang sejumlah kecil Alamat korespondensi korespondensi
obat masih ditemukan hingga 35 hari setelah pemberian dihentikan. Obat ini tersebar luas di seluruh jaringan dan cairan tubuh, cenderung tertahan dalam kulit dan otot, tetapi lebih banyak dalam hati dan ginjal. Sebanyak 5070% obat terikat pada protein plasma dan mengalami daur enterohepatik. Daur ini yang menyebabkan obat masih ditemukan dalam darah, lama setelah pemberian dihentikan. Dapson mengalami metabolisme di hati dan kecepatan asetilasinya ditentukan oleh faktor genetik. Ekskresi melalui urin berbeda jumlahnya bagi setiap sediaan sulfon, dapson dapson dosis tunggal 70-80% diekskresi terutama bentuk metabolitnya. Efek samping yang mungkin timbul antara lain: nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropati perifer, sindrom dapson, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, dan
methemoglobinemia.1 Efek samping dapson yang paling sering adalah hemolisis yang berhubungan erat dengan besarnya dosis; dapat terjadi pada hampir setiap pasien yang menerima 200-300 mg dapson sehari. Dosis 100 mg pada orang normal atau dosis kurang dari 50 mg pada penderita defisiensi enzim G6PD tidak menimbulkan hemolisis. Sering terlihat methemoglobinemia, kadang disertai pembentukan Heinz Heinz body body . Walaupun sulfon menyebabkan hemolisis, anemia hemolisis jarang terjadi, kecuali jika pasien juga menderita kelainan eritrosit atau sumsum tulang. Tanda hipoksia akan muncul jika hemolis hemolisis is sudah berat. Anorek Anoreksia, sia, mual, muntah dapat terjadi. Gejala lain yang pernah dilaporkan ialah nyeri kepala, gugup, sulit tidur, penglihatan kabur, parestesia, neuropati perifer yang dapat pulih, demam, hematuria, pruritus, psikosis, dan berbagai bentuk
email:
[email protected] .com
CDK-225/ vol. 42 no. 2, th. 2015
123
LAPORAN KASUS
kelainan kulit. Gejala mirip mononukleosis infeksiosa yang berakibat fatal pernah pula dilaporkan. KASUS
Seorang wanita usia 52 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat RS Kusta dr. Sitanala, Tangerang, pada April 2014 dengan keluhan utama nyeri ulu hati sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Nyeri ulu hati tidak menjalar, tidak hilang timbul, dan bertambah berat sejak 2 hari sebelumnya. Didapatkan keluhan tambahan berupa demam, mata kuning, pucat, timbul bercak merah pada kulit yang kemudian mengelupas di seluruh tubuh, lemas, mual, muntah, kaki bengkak, perut buncit, dan beberapa luka pada tubuh (Gambar). Pada September 2013, disadari muncul lebih dari 5 bercak berwarna merah di tangan kanan dan kiri, tidak ada rasa gatal maupun hilang rasa, kesemutan, pada bagian bercak dirasakan tidak berkeringat. Riwayat kontak dengan pasien lepra disangkal. Pasien mengonsumsi multidrug treatment pausibasill er selama 2 bulan (karena obat multibasiler habis) lalu multi drug treatment multibasiler selama sebulan; kemudian dihentikan oleh keluarga pada bulan Maret 2014, karena pasien mengalami bercak merah di kulit seluruh tubuh dan mengelupas. Pasien berobat ke dokter, diberi salep lanolin untuk pemakaian pagi-sore, namun tidak membaik. Selain itu, untuk demam pasien mengonsumsi parasetamol 3 x 500 mg, demam turun tetapi meningkat kembali. Riwayat sakit kuning sebelumnya, riwayat pemakaian obat suntik, transfusi darah, hemodialisa, ataupun kontak dengan penderita hepatitis disangkal. Pada pemeriksaan fisik ditemukan, keadaan umum compos mentis, tampak sakit berat. Suhu tubuh 38,3 oC, tekanan darah 95/70 mmHg, frekuensi nadi 114 x/menit, dan frekuensi nafas 20 x/menit. Kedua bola mata ikterik ringan dan konjungtiva anemis. Pada pemeriksaan jantung dan paru tidak ditemukan kelainan, pada pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan epigastrium dan ascites masif (tes undulasi +), sehingga hati dan limpa tidak dapat dipalpasi. Kedua telapak tangan pucat, serta kedua kaki pitting edema. Ditemukan kelainan dermatologik berupa plak dan makula eritematosa – hiperpigmentosa ter-
124
sebar generalisata, berukuran plakat, batas tegas, terdapat skuama, erosi, ekskoriasi, ulkus, dan xerosis. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan: hemoglobin 5.8 g/dL, hematokrit 17,6%, leukosit 2.700/uL, trombosit 194.000/uL, gula darah sewaktu 117 mg/dL, SGOT 137 U/L, SGPT 159 U/L, ureum 85,9 mg/dL, kreatinin 1,36 mg/dL. Pemeriksaan penunjang hari ke-4 perawatan: hitung jenis basofil/ eosinofil/batang/segmen/limfosit/monosit -/-/-/92/1/2, jumlah eosinofil 72, bilirubin 1,1 mg/dL, bilirubin direk 0,82 mg/dL, bilirubin indirek 1,28 mg/dL, protein total 4,3 g/dL, albumin 1,7 g/dL, dan globulin 2,6 g/dL. Pada USG abdomen didapatkan kesan gambaran asites masif di rongga abdomen. Pasien dirawat oleh dokter spesialis kulit dan kelamin bersama dokter spesialis penyakit dalam. Penatalaksanaan adalah dengan menghentikan pemberian obat dapson, terapi suportif berupa infus ringer laktat 30 tetes per menit, keseimbangan cairan dievaluasi setiap 24 jam, parasetamol tablet 3 x 500 mg/hari jika demam, ranitidin 2 x 50 mg/hari intravena, ondansetron 2 x 8 mg intravena untuk mengurangi mual serta muntah dan transfusi packed red cell 500 mL/hari selama 4 hari untuk mengatasi anemia. Selain itu, diberikan dexametasone 3 x 5 mg/hari intravena selama 12 hari, tapering off. Untuk mengatasi asites abdomen dan edema ekstremitas diberikan spironolactone 1 x 50 mg dan HCT 1 x 6,25 mg, serta captopril 12,5 mg 2 x 1/2 tablet sebagai renal protector . Hepamax® sebagai hepatoprotektor dan transfusi albumin sebanyak 400 mL, diet ekstra putih telur untuk mengatasi hipoalbuminemia, serta perawatan luka dengan kompres NaCl 0,9%. Pada hari perawatan ke-14, pasien mengalami perbaikan, edema ekstremitas berkurang, luka berangsur pulih, dan pada hari perawatan ke-30, pasien diperbolehkan pulang dan disarankan kontrol ke poliklinik. Pasien tidak lagi merasakan nyeri ulu hati, demam, ataupun lemas. Pada pemeriksaan fisik, tanda vital dalam batas normal, terdapat makula eritematosa-hiperpigmentosa diseminata ukuran numular-plakat dengan batas tegas, ulkus (+) dengan jaringan granulasi.
Tabel 1. Manifestasi Klinis pada DHS
Sistemik 1.
Demam*
2.
Pneumonitis
3.
Limfadenopati
4.
Hepatitis*
5.
Anemia*
6.
Karditis
Dermatologik 1.
Dermatitis exfoliativa*
2.
Erupsi makulopapular/ eczematous *
3.
Erosi oral
4.
Vesikel dan bula
5.
Fotosensitivitas
Laboratorium 1.
Hemolisis
2.
Anemi*
3.
Eosinofilia
4.
Limfositosis atypical
5.
Transaminitis/Peningkatan bilirubin/alkali fosfatase*
6.
Hypogammaglobulinemia
* Manifestasi klinis yang ada pada k asus
DISKUSI
Sindrom dapson pertama kali dikemukakan oleh Allday, Lowe, dan Barnes sebagai reaksi hipersensitivitas vasculitis syndrome. Insiden DHS berkisar antara 0.5-3%, 3,4 reaksi hipersensitivitas dapat terjadi dalam 6 minggu pertamahingga selambat-lambatnya 6 bulan.3,5 Penyakit ini memiliki nama lain yaitu “�fth week dapsone dermatitis”. 7 Pasien mengalami reaksi awal berupa kulit mengelupas setelah pemakaian dapson selama 3 bulan. Trias klasik DHS terdiri dari demam, keterlibatan organ dalam (hati, ginjal, sistem hematologi, dan sebagainya), dan erupsi kulit.3 Pada pasien ini terdapat keterlibatan organ hati yang ditandai dengan mual, ikterik, peningkatan SGOT/SGPT, pada sistem hematologi ditandai dengan lemas dan anemia, dan pada ginjal ditandai dengan meningkatnya kadar ureum darah. Gambaran hepatitis, dermatitis exfoliativa, limfadenopati, anemia hemolitik, cholangitis dapat bervariasi. Erupsi kulit merupakan salah satu manifestasi utama, dapat berupa makulopapular, ekskoriasi, vesikel serta ulkus, dapat timbul secara difus pada tubuh. 7 Lesi kulit dapat berupa papul eritematosa, pustul, dan gambaran seperti dermatitis hingga plak
CDK-225/ vol. 42 no. 2, th. 2015
LAPORAN KASUS
eritematosa dengan lesi mengelupas seperti yang terjadi pada pasien. Tingkat keparahan lesi kulit tidak berhubungan dengan keparahan keterlibatan organ dalam, yang dapat asimptomatik hingga mengancam nyawa. Kelainan kulit umumnya membaik setelah 2 minggu terapi dapson dihentikan. Pada kasus berat, malnutrisi dan kehilangan protein dapat memperburuk prognosis, sehingga harus dipantau ketat. Pada DHS, antibiotik memiliki peranan sangat kecil, kecuali terdapat infeksi seperti selulitis atau sepsis. Pada DHS terdapat beragam manifestasi klinis, maka didiagnosis banding dengan berbagai penyakit lain, seperti reaksi lepra, sindrom drug reaction with eosinophilia and systemic symptom, Steven Johnson syndrome (SJS), penyakit Still’s, penyakit hematologi seperti leukemia dan limfoma, pneumonia interstitial, kelainan paraneoplastik, dan kelainan jaringan ikat tertentu. Manifestasi klinis DHS dapat lebih serius dibandingkan SJS maupun toxic epidermal necrolysis. Pada DHS dapat timbul lesi kulit baru dengan edema, bukan di lesi kulit sebelumnya. Demam terus-menerus disertai disfungsi hati dapat membantu menyingkirkan diagnosis reaksi reversal pada lepra.7 Patogenesis DHS belum diketahui jelas, beberapa penelitian menyatakan perbedaan metabolisme produksi (peningkatan aktivitas atau kuantitas enzim polimorfik sitokrom P450) dan detoksifikasi metabolit reaktif (defisiensi glutathione synthetase) memainkan peranan penting dalam reaksi hipersensitivitas sulfonamide. Produksi metabolit toksis (hydroxylamine) akibat ketidakseimbangan metabolisme dapson dapat merupakan faktor risiko anemia hemolitik. Pengaruh penyakit tertentu atas kerentanan terhadap reaksi hipersensitivitas adalah faktor potensial lain, seperti defisiensi imunitas seluler pada pasien kusta tipe lepramatous dan riwayat alergi. Tes stimulasi limfosit positif dan predominasi aktivitas sel T sitotoksik dalam dermis pasien DHS dengan keterlibatan kulit juga lebih mengarah kepada alergi daripada reaksi idiosinkrasi. Pasien ini alergi udang, tetapi tidak ada riwayat konsumsi udang, pada hasil laboratorium tidak terdapat peningkatan eosinofilia. 6
CDK-225/ vol. 42 no. 2, th. 2015
Diagnosis banding pasien ini adalah sindrom Steven Johnson (SSJ), karena penyebab utama ialah obat. Pada penelitian Djuanda selama 5 tahun (1998-2002), SSJ yang diduga alergi obat tersering pada analgetik/antipiretik (45%), carbamazepine (20%) dan jamu (13.3%) - sebagian besar jamu dibubuhi obat. Penyebab lain ialah amoxicillin, cotrimoxazole, dilantin, klorokuin, ceftriaxone, dan zat adiktif. Pada anamnesis, pasien mengonsumsi parasetamol; tetapi pada pemeriksaan tidak ditemukan trias SSJ, yaitu kelainan selaput lendir ori�cium dan kelainan mata, hanya ditemukan kelainan kulit saja. 10 Pada pemeriksaan pasien tampak ikterik kedua mata, dengan SGOT SGPT yang meningkat. Untuk diagnosis banding hepatitis A dan hepatitis B, pasien menyangkal riwayat makanan tidak bersih, kontak dengan penderita hepatitis, pemakaian jarum suntik, hemodialisis maupun transfusi darah. 11 Tidak ditemukan fase dan gejala lain yang menunjang. Pemeriksaan serologi tidak dilakukan. Drug induced liver injury atau kerusakan hepar akibat obat juga dapat menjadi diagnosis banding, merupakan gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh terpajan obat maupun agen non-infeksius lain.12 Obat-obat yang dilaporkan dapat menyebabkan drug induced liver injury (DILI) antara lain parasetamol, NSAID seperti diklofenak, ibuprofen, dan naproxen; antibiotik seperti amoxicilin/ clavulanate, eritromisin, cipro�oxacine, obat antituberkulosis, dan juga obat antiviral. Azathioprine, cyclophosphamid , amiodarone, fenitoin, asam valproat, carbamazepine, chlorpromazine, dan paroxetine juga dilaporkan dapat menimbulkan DILI. 13 Pasien mengonsumsi parasetamol, berjenis kelamin wanita, dan berusia dewasa, serta gambaran klinis demam, malaise, dan ikterus. Hal ini merupakan faktor penguat diagnosis DILI. Akan tetapi, pada DILI tidak ditemukan kelainan kulit serta anemia. Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan dengan skala diagnostik CIOMS/RUCAM. Penatalaksanaan umum mencakup penghentian dapson sebagai obat yang diduga menjadi pemicu, steroid sistemik prednison oral 1mg/kg/hari atau metilprednisolon dosis ekuivalen, dan terapi suportif serta meminimalkan penggunaan obat lain. 6,8
Tapering off prednisolon (lebih dari satu bulan) dianjurkan mengingat dapson dapat berada dalam tubuh selama 35 hari melalui ikatan dengan protein.6,8,9 Kortikosteroid mengurangi gejala DHS secara bermakna, walaupun tidak ada studi kontrol yang menunjukan efektivitasnya.6 Dexametasone diberikan dalam bentuk injeksi, karena lebih praktis dan bekerja lebih cepat. Pada hari pertama hingga hari ke-12 pemberian dexamethasone sebesar 3 x 5 mg; setelah menunjukkan tanda-tanda pemulihan dan masa kritis telah terlewati, dilakukan tapering off . Terapi suportif lain seperti spironolakton, HCT, parasetamol, captopril , ondansetron, ranitidin, Hepamax®, transfusi PRC dan albumin, diet putih telur, perawatan luka, diberikan sesuai indikasi. Case fatality rate DHS adalah 9,9%, keterlibatan mukosa, bercak kulit, hepatitis, usia lanjut, lepra sebagai indikasi pemakaian dapson, kejadian penyakit lepra di negara miskin dikaitkan dengan risiko tinggi kejadian fatal. Hubungan usia dengan kejadian fatal reaksi hipersensitivitas terhadap dapson tidak signifikan. Frekuensi reaksi hipersensitivitas dapat saja dipengaruhi oleh kondisi umum dan imunologis pasien lepra. Keterlibatan mukosa merupakan faktor risiko tinggi kejadian fatal. Tanda-tanda klinis akut diperkirakan berkaitan dengan risiko tinggi prognosis buruk, akan tetapi dibutuhkan penelitian lebih lanjut.8 Mortalitas sebesar 12-23% telah dilaporkan pada kasus DHS berat. Kecermatan dalam menegakkan diagnosis sedini mungkin, diikuti terapi adekuat sangat penting untuk mencegah komplikasi lanjut dan kematian. 8 SIMPULAN
Telah dilaporkan satu kasus DHS pada wanita 52 tahun yang menderita morbus hansen tipe borderline lepramatosa, dengan gejala ascites, edema tungkai dan hipoalbuminemia. Pasien dirawat di rumah sakit selama 30 hari dan membaik. Klinisi harus waspada terhadap potensi fatal DHS pada pemberian dapson untuk kasus apapun, yang dapat muncul berupa demam, bercak dan keterlibatan multiorgan, agar dapat cepat menegakkan diagnosis dan memberi terapi, sehingga pasien dapat tertangani dengan baik.
125
LAPORAN KASUS
Gambar 1. Hari perawatan ke-2. Dermatitis eksfoliativa (+),
Gambar 3. Regio tungkai kanan kiri bawah, plak erite-
terdapat plak dan makula eritematosa – hiperpigmentosa,
Gambar 2. Regio lengan kanan bawah, tampak plak
matosa hiperpigmentasi disseminata ukuran milier-plakat
ukuran plakat, batas tegas, diseminata, skuama (+) erosi (+)
hiperpigmentasi multipel ukuran plakat dengan batas
batas tegas, edema pitting (+/+) erosi (+) purpura (+) ulkus
xerosis (+)
tegas, erosi (+) xerosis (+)
(+), ulkus mungkin disebabkan akibat trauma atau garukan
DAFTAR PUSTAKA
1.
Kosasih A, Wisnu IM, Sjamsoe-Daili E, Menaldi SL. Kusta. In: Djuanda A, Hamzah M. Aisah S, eds. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.p.84.
2
Istiantoro YH, Setiabudy R. Tuberkulostatik dan leprostatik. In: Gunawan SG, ed. Farmakologi dan Terapi. 5 th ed. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009. P 633-4.
3.
Kosseifi GS, Guha B, Nassour ND, Chi SD, Krishnaswamy G. The dapsone hypersensitivity syndrome revisited: A potentially fatal multisystem disorder with prominent hepatopulmonary manifestations. J Occup Med Toxicol [Internet]. 2006 [cited 2014 June 24] 1 (9). Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1524788/.
4.
Kolar V, Karyampudi A, Tarun KD. Dapsone hypersensitivity syndrome: A rare life threatening complication of dapsone therapy. J Pharmacol Pharmacother [Internet]. 2013 [cited 2014 June 24] 4 (2). Available from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3669581/
5.
Thappa DM, Sethuraman G. Dapsone (sulfone) syndrome (CME). Indian J Dermatol Venereol Leprol [Internet]. 2000 [cited 2014 Jun 25];66:117-20. Available from: http://www.ijdvl.com/ text.asp?2000/66/3/117/4892
6.
Bucaretc hi F, Vicente DC, Pereira RM, Tresoldi AT. Dapsone hypersensitivit y syndrome in an adolescent during treatment of leprosy. Rev. Inst. Med. Trop. S. Paulo [Interne t]. 2004 [cited 2014 Jun 26] 46(6):331-4. Available from: http://www.scielo.br/pdf/rimtsp/v46n6/a06v46n6.pdf
7.
Tian W, Shen J, Zhou M, Yan L, Zhang G. Dapsone hypersensitivity syndrome among leprosy patients in China. Lepr Rev [Internet]. 2012 [cited 2014 Jun 27] 83(4):370-7. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23614255
8.
Lorenz M, Wozel G, Schmitt G. Hypersensitivity reactions to dapsone: A systematic review. Acta Dermatol Venereol [Internet]. 2011 [cited 2014 Jun 28]. Available from http://www.ncbi. nlm.nih.gov/pubmed/22307940
9.
Rajat R, Battharat A, Shrestha P, Paudel U, Parajuli S. Dapson induced exfoliative dermatitis: Case report. J Coll Med Sci-Nepal [Internet]. 2010 [cited 2014 August 31] 6(2) 64-6. Available from http://www.nepjol.info/index.php/JCMSN/article/viewFile/3621/3120.
10. Hamzah M. Sindrom Steven-Johnson . In : Djuanda A, Hamzah M. Aisah S, eds. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.p.163-4. 11. Sanityoso A. Hepatitis Virus Akut. In : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4 th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. p. 427-8. 12. Bayupurnama P. Hepatotoksisitas imbas obat. In : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4 th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. p. 471. 13. Chau T. Drug induced liver injury : An update. The Hongkong Medical Diary [Internet]. 2008 [cited 2014 September 7] 13 (3) 23-24. Available from http://www.fmshk.org/database/ articles/03mb5_2pdf.
126
CDK-225/ vol. 42 no. 2, th. 2015