KOTA MALANG A. Sejarah Kota Malang 1.
Masa Kerajaan
Sejarah kota Malang tidak dapat dilepaskan dari keberadaan reruntuhan kerajaan-kerajaan kuno. Malang pada masa lalunya merupakan wilayah kerajaan Kanjuruhan yang dibuktikan dengan adanya peninggalan candi Badut dan prasasti Dinoyo. Keberadaan pemukiman kuno ini dikarenakan banyaknya aliran sungai yang membuat Malang cocok sebagai tempat tinggal. Setelah Kanjuruhan, kota Malang pernah menjadi pusat kota kerajaan Singhasari yang dipimpin Ken Arok. Keberadaan Candi Jejagu, Candi Kidal dan lainnya telah membuktikan keberadaan kerajaan Singhasari di kota Malang ini. Namun untuk sejarah pembentukan pemukiman di kota Malang sendiri masih kabur. Para ahli masih memperdebatkan asal-usul penyebutan nama Malang untuk kota ini. Pada saat tentara Islam masuk untuk menundukan kerajan Majapahit, banyak bangsawan Majapahit yang melarikan diri kebeberapa daerah seperti Tengger, Bali dan Malang. Di ceritakan bahwa pelarian yang menuju Malang mendirikan kerajaan Hindu yang merdeka bahkan sampai saat ini masih terlihat sisa-sisa bangunannya. Sisa bangunan itu bernama benteng Kutobedah di desa Kutobedah.
2.
Masa Kolonialisme Belanda
Kota
Malang
hingga
Surapati
dan
para
pendukungnya
memerintah Pasuruan sekitar 1686-1706 pedalaman Malang adalah daerah pegunungan liar dan jarang penduduknya. Perlawanan Surapati terhadap VOC merupakan sedikit dari perlawanan dari tokoh-tokoh yang bukan bangsawan. Dia hanya seorang budak dari Bali di bawah ke Batavia oleh seorang Belanda bernama Moore. Di sana dia
1
berhubungan intim dengan anak Moore bernama Suzane, sesuatu yang tabu masa itu dan membuatnya dipenjara dan akhirnya memberontak bersama tawanan lain. l ain. Desa yang pertama waktu pendudukan VOC di sekitar benteng disebut Klojen diambil dari nama Loji. Sedangkan pemukiman asli atau penduduk Malang antara lain sebelum VOC menurut sumber itu ada di Kampung Temenggungan. Itu sebabnya Temenggungan sempat dijadikan salah satu nama untuk kota ini. Lainnya ada di seberang sungai Brantas daerah Djodipan Timur dan Kota lama serta Kutobedah. Pada tahun 1767 daerah kota Malang diduduki VOC. Mulai saat itu bendera triwarna pertama kalinya berkibar di Malang. Pada saat itu Malang tengah dipimpin oleh Adipati Moeljo Koesoemo yang terpaksa menyerah kepada VOC karena kalah kekuatan militer. Kemudian pada tahun 1812 Malang dimasukkan ke dalam wilayah Residensi Pasuruan dengan Bupati Raden Tumenggung Kartonegoro, hal
ini
dikarenakan
Malang
belum
sebagai
Gemeente
(Kotamadya/praja) sehingga bergabung dengan Kabupaten Pasuruan. Pada tahun 1824 Malang dipimpin oleh seorang asisten Residen. Pemerintah Hindia-Belanda menjadikan Malang sebagai kotapraja pada 1 April 1914. Namun baru pada 1919 Malang mempunyai walikota sendiri. Kota Malang dirancang oleh penguasa Belanda sebagai kota untuk orang-orang pensiun dan menjadi satu di antara dua kota untuk tempat beristirahat orang-orang Eropa selain Bandung (Werthleim, 1958). Kalau Bandung dijuluki Paris van Java, maka Malang dijuluki Het Dorado van Oost Java. Java . Meskipun masih merupakan kota kecil pada abad ke-19, kota ini menjadi strategis mengingat Karesidenan Pasuruan masa itu menjadi wilayah penting perkebunan tebu. Apalagi sejak Undang-Undang Gula di tahun 1870 yang mendorong pengembangan masuknya modal swasta asing ke Hindia-Belanda, menjadikan Malang kota pusat perkebunan, juga cocok untuk kopi.
2
Sejak 1 April 1914 Kota Malang resmi menjadi kotapraja dengan Walikota pertama H.I. Bussemaker (1919-1929), dilanjutkan oleh E.A.Voornemen (1929-1933), H. Lakeman (1933-1938) dan Boelstra (1938-1942). Walikota dibantu oleh beberapa orang anggota Dewan Kotapraja berdasarkan golongan penduduk. Sekalipun orang Eropa jauh lebih sedikit, tetapi perwakilannya lebih banyak. Kota Malang mulai menunjukkan bentuknya pada 1914. Kota Malang pada 1887 luasnya hanya seukuran sekitar alunalun dan suatu tempat pemukiman di bagian tengah barat. Luasnya itu juga sudah berkembang dari suatu daerah lebih kecil. Namun dibukanya akses jalan kereta api ke Surabaya pada 1879 menjadikan kota ini jadi strategis. Juga jaringan kereta api Pasuruan-Malang pada 16 Mei 1878. Jaringan jalan raya yang menghubungkan Malang dengan lokasi perkebunan dan Kota Surabaya dan Pasuruan juga membuat kota ini berkembang. Namun muaranya hanya satu: Kota ini sebetulnya diperuntukkan untuk kepentingan perekonomian kolonial. Sumber-sumber Belanda menyebutkan alun-alun sebagai pusat kota sebagai lazimnya kota-kota tradisional Jawa lengkap dengan jalannya yang sebetulnya lebih indah. Pusat kontrol pemerintahan pada kotakota kolonial di Jawa ditempatkan disekitar alun-alun kotanya. Semua bangunan pemerintahan seperti kantor asisten Residen, kantor Bupati, penjara serta bangunan keagamaan seperti masjid dibangun di dekat alun-alun. Perencanaan Kota Malang antara lain adalah konstribusi Thomas Karsten. Perencana kota dan arsitek ini dilahirkan di Amsterdam pada 1884. Perencanaan Karsten dalam mengembangkan pemukiman urban di Jawa adalah peningkatan kualitas kampung. Hal ini ditempuh dengan cara mengelilingi kampung dengan pemukiman formal yang menjadi pagar luarnnya. Di belakang pemukiman formal ini hidup pemukiman informal dengan struktur yang tumbuh organis. Orang-orang Eropa tinggal di sekitar alun-alun (di sana ada rumah dinas residen), termasuk juga di Taloon, Tongan, Sawahan,
3
Kayutangan, Oro-oro dowo, Kloedjenlor dan Rampal. Pada 18 Mei 1917 mulai dibangun kawasan untuk orang Eropa di daerah yang kini Jalan Arjuno, Ijen, Wiheliminastraat. Kawasan Pecinan terletak di tenggara alun-alun dan pribumi di kampung-kampung seperti Kebalen,
Temenggungan,
Djodipan,
sebagian
di
Taloon
dan
Klodjenlor. Di sana terdapat pasar Pecinan yang menjadi ikon kota ini. Kampung atau desa di dalam Kota Malang bukan lagi dalam pengertian lama. Desa-desa dalam kota dihuni oleh campuran antara orang Tionghoa, Eropa, Arab dan pribumi yang menjadi pejabat, pengrajin dan kuli. Pada 23 Februari 1918 Kotapraja melakukan intervensi dengan membuat aturan baru bagaimana batas kota dan desa. Aturan-aturan untuk rumah juga dibuat. Pada 1925 sebagai konsekuensinya, Kampung Temenggungan diakusisi ke dalam kota dan 1927 Desa Klodjen dan Jodipan. Pada 1928 Kidoelpasar, Kottalama (Kotalama), Sukorejo dan 1929 giliran Kuaman dan Orooro dowo. Ketika diakusisi maka administrasi, keuangan desa-desa ini menjadi bagian dari kotapraja, bukan terpisah seperti pada desa lama. Pada 1926 didirikan Balaikota Malang di dekat lapangan yang disebut J.P. Coen.
3.
Masa Pendudukan Jepang
Pada tanggal 7 Maret 1942 Kota Malang dan sekitarnya diduduki bala tentara Da'i Nippon. Malang yang saat itu dipimpin oleh Raden Adipati Ario Sam (R.A.A. Sam), kembali menyerah pada bala tentara Jepang yang saat itu berkuasa di Kota Malang. Pengambilan alih pemerintah pada prinsipnya meneruskan sistem lama, hanya sebutan-sebutan dalam jabatan diganti dengan bahasa Jepang. Selama penjajahan Jepang yang relatif pendek itu, Malang mengalami perubahan istilah istil ah pemerintahan peme rintahan dan praktek pemerasan penjajah tetap berlaku untuk kebutuhan logistik tentara Nippon. Pada masa penjajahan Jepang, kerja Romusha dilakukan lebih parah untuk
4
memenuhi kebutuhan serdadu Nippon yang tersebar dihampir semua kawasan Asia Timur. Selain itu, tenaga manusia juga di didik secara militer guna memenuhi kebutuhan Jepang atas Perang Pasifik. Hal ini dikarenakan Jepang dalam melakukan penindasan yang dibutuhkan ialah pemenuhan atas tenaga dan sumber daya alam (SDA). Meski demikian, berbeda dengan penjajahan Belanda, pada masa kedudukan Jepang masyarakat diberikan pendidikan yang lebih dibanding dengan kedudukan pada masa Belanda, organisasi pemuda dibiarkan berkembang. Ini sesungguhnya bagian dari siasat Jepang untuk meraih simpati. Dunia sudah gerah dengan ulah kejam bangsa Jepang yang sudah tidak bisa dihentikan dengan diplomasi damai. Maka tentara sekutu yang dipelopori Amerika Serikat langsung menyerang pusat kekuatan negeri matahari terbit itu, pesawat yang dikemudikan angkatan udara sekutu menjatuhkan bom atom diatas Kota Hiroshima dan Nagasaki. Kedua kota penting Jepang tersebut luluh lantak hancur, ratusan ribu manusia tewas dan keracunan. Jepang akhirnya menyerah tanpa syarat. Tentaranya yang ada di mana-mana masuk ke kapal dan berlayar kembali ke Jepang, meninggalkan puing-puing kehancuran bagi negara jajahannya.
4.
Masa Kemerdekaan
Maka pada tanggal 15 Agustus 1945 kedudukan Jepang di Indonesia telah berakir dengan seiringnya Jepang menyerah tanpa syarat
kepada
sekutu
dan
dikumandangkannya
Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia. Dengan adanya Proklamasi Kemerdekaan ini membuktikan bangsa Indonesia telah merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, sehingga membuktikan bangsa Indonesia terbebas dari belenggu penjajah meskipun pada saat itu kebodohan, kemiskinan masih terjadi pada bangsa Indonesia. Peristiwa penting sesudah Proklamasi Kemerdekaan, tepatnya pada tanggal 21 September 1945
5
Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah dibentuk dan mengeluarkan pernyataan bahwa daerah Malang menjadi daerah Republik Indonesia dan berdiri tegak dibelakang Pemerintah Republik Indonesia. Dengan adanya pernyataan tersebut maka tersusunlah KNI daerah di kota Malang yang ada di dalamnya yakni BKR daerah Malang. Kemudian pada tanggal 3 Oktober 1945 dilakukan pengambilalihan senjata dan pemerintahan dari Residen (Syutyokan) ke tangan Pemerintah Darurat Da rurat yang dipimpin oleh Pejabat Residen yaitu Bupati R.A.A. Sam, sedangkan Walikotanya adalah M. Sardjono Wirjohardjono. Kota Malang mempunyai perspektif berbeda dalam menjaga kedaulatan negara. Pada masa awal Perang Kemerdekaan Malang berfungsi sebagai daerah pengunduran atau garis berlakang dari pertempuran-pertempuran yang terjadi antara pihak Republik dengan pihak sekutu. Tidak ada catatan pertempuran dalam skala besar di kota ini antara 1945 hingga terjadinya Agresi Militer Belanda I yang dilakukan Belanda pada 21 Juli 1947. Pada tanggal 22 Juli 1947 Belanda berusaha untuk kembali menjajah, dan meletuslah perang (Clash 1) 1) yang menyebabkan pemerintah daerah dengan perangkatnya mengungsi ke luar kota, kemudian sampai dengan tahun 1950 berlangsung Pemerintah Federasi, sepuluh hari setelah terjadinya agresi. Pada periode Agustus 1945-Juli 1947, Malang Malang adalah sebuah sebuah kota tempat terjadinya aksi-aksi kemanusiaan yang tak kalah heroiknya dari mereka yang pergi ke medan tempur bahkan melibatkan berbagai etnis. Palang Merah Indonesia Cabang Malang dibentuk akhir September 1945 diketuai oleh dr. Achmad Saleh bukan satu-satunya badan yang ada untuk tugas kemanusiaan. Masyarakat Tionghoa Kota Malang membentuk juga badan-badan kemanusiaan sebagai akibat membanjirnya pengungsi keturunan Tionghoa dari Surabaya. Pada 5 Desember 1945, Palang Merah Cina dibentuk dan diketuai oleh Oei Chiau Liang. Organisasi ini tidak saja berjasa membantu korban pengungsi keturunan Tionghoa, serta menampung
6
anak-anak peranakan Tionghoa yang kehilangan orangtua mereka, tetapi juga orang Indonesia yang menjadi korban. Selain itu Masyarakat Tionghoa Kota Malang juga mendirikan Palang Biru yang diketuai oleh Tan Liep Sing, serta Angkatan Muda Tionghoa Malang pimpinan Siauw Giok Bie. Semuanya untuk aksi kemanusiaan. Ketika pecah pertempuran Surabaya pada November 1945 dari kota Malang tidak saja mengalir para sukarelawan, tetapi juga para pekerja kemanusiaan. Baru pada tanggal 2 Maret 1950 Pemerintah Daerah RI yang dipimpin oleh Walikota M. Sardjono Wirjohardjono kembali dari pengungsian dan menempati Balai Kota Malang. Sejak masa itu Pemerintah Kotamadya Malang berlangsung kembali dinaungan Pemerintah RI dan diatur dengan UU Pemerintah Daerah yang terus berkembang hingga berlakunya UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok pokok Pemerintahan di Daerah sampai sekarang ini.
B. Sejarah Sosial Ekonomi di Kota Malang 1.
Masyarakat Miskin Kota
Di tengah-tengah modernisasi di Kota Malang, terdapat beberapa kelompok bumiputra yang harus berjuang untuk dapat hidup di kota. Keberadaan mereka tersingkirkan karena tidak dapat terlibat dalam istitusi formal dan menjadi kaum miskin kota. Menurut Oscar Lewis yang dikutip oleh Sri Margana dan M. Nursam (2010: 134) kelompok miskin ini terbentuk seiring dengan perubahan dari sistem ekonomi feodal ke kapitalis. Perubahan aktivitas hidup dari agraris yang tidak menuntut banyak keahlian ke jasa yang menuntut banyak keahlian telah menciptakan kelompok masyarakat yang tersingkir dalam perubahan tersebut. Mereka itu ditandai dengan upah yang rendah, tidak terampil, dan pengangguran. a. Gelandangan dan Pengemis
7
Kelompok
yang
pertama
adalah
gelandangan.
Para
gelandangan itu telah ada di Malang sejak 1847 dengan sebutan vagabond atau landloopers. landloopers. Mereka memanfaatkan los-los pasar, stasiun dan makam untuk tempat tidur mereka. Mereka terdiri dari banyak usia, ada yang berusia anak-anak dan dewasa. Beberapa gelandangan anak sempat diinterograsi mengaku tidak memiliki orangtua, mereka berasal dari Mojokerto dan Sidoarjo. Hidup mereka ini tergantung dari sisa-sisa sisa-sis a makanan dari orang-orang yang makan di warung bakmi yang berada di Pasar Besa Malang. Kelompok yang kedua adalah pengemis. Pengemis dapat dikategorikan menjadi tiga golongan. Pertama, orang yang menjadi pengemis karena miskin, sakit dan cacat. Kedua, orang yang menjadi pengemis sebagai profesi dan masih memiliki kondisi kesehatan yang prima. Ketiga, orang yang menjadi pengemis karena menderita penyakit menular. Mereka tidur di sembarang tempat, salah satunya di sisi utara Gereja Protestan. Ada diantara pengemis itu yang mengaku berasal dari Kudus dan mengemis karena kelaparan. Selain mengaku dari Kudus, pengemis itu juga datang dari Blitar dan Kesamben (Onderdistrik di Malang Selatan). Jumlah mereka ini semakin bertambah sekalipun polisi melakukan razia. Pada tahun 1930, di Hindia-Belanda termasuk Kota Malang dilanda depresi ekonomi. Keadaan ini menimbulkan kelesuan yang berdampak pula pada jumlah gelandangan. Kaum gelandangan mulai merambah ke golongan baru yang disebut dengan oom jan, jan, kelompok ini meminta-minta uang dalam keadaan ke adaan mabuk. b. Prostitusi Praktik prostitusi di Kota Malang dimungkinkan telah ada sejak akhir abad ke-19, tetapi baru secara konkrit disebut setelah tahun 1915. Salah satu penyebab maraknya prostitusi yaitu kondisi masyarakat kota colonial itu sendiri. Kota merupakan tempat yang pertama kali menerima berkah dari keberhasilan ekspor dari
8
produk-produk primer Belanda. Dengan adanya keberhasilan itu telah memicu pertambahan jumlah populasi Eropa, terutama perjaka di kota-kota Jawa. Selain itu, juga disertai dengan peningkatan jumlah hotel, bordil dan klub-klub malam. Tempattempat itu menjadi lahan subur praktik prostitusi yang meluas hingga ke kampong dan warung remang-remang. Di Kota Malang, terdapat kampung yang identik dengan tempat prostitusi yang bernama Kebalen. Pusat prostitusi itu sebenarnya di kampung sekitar Jalan di Kebalen. Secara fisik, kondisi gang di Kebalen itu tidak terlalu kotor, namun Jawatan Kebersihan Gemeente selalu melakukan pemeriksaan terhadap kondisi kampung, khususnya rumah-rumah para penghibur untuk mencegah menyebarnya penyakit hebat yang dapat mengancam penduduk kampung. Pada masa sebelum perang, keberadaan perempuan penghibur tidak terlalu menonjol di depan publik jika dibandingkan dengan zaman sesudah perang. Prostitusi di kampung Kebalen itu tidak dapat dihilangkan karena beberapa sebab. Pertama, ada jejaka yang takut untuk menikah secara resmi karena di satu sisi belum mampu untuk berkeluarga dan di sisi lain mereka tidak dapat menahan hawa nafsunya. Kedua, ada beberapa pria yang mengalami hubungan yang tidak harmonis dengan istrinya sehingga ia menghibur diri ke tempat tersebut. Ketiga, ada pria yang memiliki nafsu seks sangat besar sehingga dia merasa tidak cukup dengan satu istri. Keempat, pengaruh lingkungan. Kelima, ada pemuda yang ingin mencoba pengalaman seks sebelum menikah. Kebanyakan dari pelaku prostitusi itu adalah migran dari Batu dan Blitar sehingga Kebalen hanya digunakan sebagai tempat praktik. Prostitusi tidak hanya berpusat di tempat tersebut tetapi juga dapat dijumpai hampir diseluruh sudut Kota Malang. Para pelaku prostitusi itu memanfaatkan sudut-sudut kota tertentu,
9
terutama warung atau stasiun. Selain itu, tempat yang sering digunakan sebagai markas adalah rumah biasa seperti yang dijumpai di kampung Kayutangan, Tumenggungan, Kidul Pasar, Klojen Lor dan Kotalama. Di kampung Kotalama agen polisi tidak berbuat apapun untuk menangkap kupu-kupu malam itu karena pemilik rumah bersahabat erat dengan salah seorang agen polisi. Pelaku prostitusi juga memiliki hubungan dengan anggota militer. Jalanan juga digunakan sebagai tempat aktivitas prostitusi, terutama pada malam hari. Hingga tahun 1920, prostitusi banyak berkeliaran di jalan besar dan dibawah jembatan kereta api depan kantin militer. Hotel juga sering digunakan sebagai markas prostitut seperti hotel Welkom. Di dalam peraturan
yang
dirumuskan Gemeente, Gemeente, restoran dan tempat hiburan lain harus ditutup pada pukul 23:00 pada hari biasa dan 01:00 pada hari Sabtu. Burgemeester memberikan keringanan kepada restoran untuk tutup lebih malam khusus hanya satu hari. Peraturan ini tidak diterapkan untuk Societeit dan losmen. Peraturan itu tetap tidak dapat menghentikan praktik prostitusi. c. Kasus Penyakit Pes di Malang Pada 1910-1911, 1913, 1914 bahkan masih terasa pada 1919, terjadi wabah penyakit pes berkecamuk di wilayah Kabupaten Malang dan sejumlah kabupaten lain di Jawa Timur. Hanya saja dalam tulisan ini saya mengulas kejadian dalam areal Kabupaten Malang yang merupakan salah daerah terparah dari rentetan serangan mematikan yang melanda Hindia-Belanda. Pes adalah penyakit yang disebabkan oleh enterobakteria Yersenia pestis (dinamakan sesuai penemunya ahli bakteri asal Prancis Alexander Yersin dan dokter Kitarso dari Jepang). Ceritanya ketika wabah ini mengamuk di Hongkong pada Juni 1894 mereka menemukan basil pada tubuh tikus yang mati. Dari penelitian mereka diketahui bahwa pada penyakit ini sebetulnya adalah penyakit tikus dan
10
beberapa spesies hewan pengerat lainnya dan ditularkan ke manusia melalui gigitan kutu tikus (pinjal). Pada November 1910, Turen diserang dengan korban 5 penderita dan bertambah lagi 3 orang pada minggu berikutnya. Dalam beberapa minggu wabah ini meluas ke Blimbing, Singosari, Dampit, Kraksaan dan akhirnya Kota Malang sendiri. Tercatat
15
orang
meninggal
pada
minggu
pertama
November 1910 di Singosari, 11 orang meninggal di Blimbing, 15 meninggal di Karangploso. Penduduk Kota Malang yang waktu itu berjumlah 28.573 juga diserang dalam waktu hampir bersamaan tewas dalam minggu pertama November 1910 sebanyak 22 orang meninggal.
Serangan
ini
makin
menjadi-jadi
pada
tahun
berikutnya. Pada Februari 1911 sebanyak 35 orang tewas di Kota Malang. Data yang dimuat di Weekblad Voor Indie 14 Mei 1911 memperlihatkan bahwa masa itu penderita demam tinggi pun dicurigai sebagai kasus pes. Dalam artikel itu tertera pada 5 April 1911 terdapat 80 penderita demam, 6 penderita pes dan 3 penderita pes meninggal. Dicatat juga angka kematian tikus sampai 1070 ekor. Hampir setiap hari ada yang meninggal. Yang terbanyak pada 30 April 1911, 47 orang penderita demam, 29 penderita pes, 10 pasien pes meninggal dan angka kematian tikus mencapai 43 ribu ekor. Tikus-tikus yang mati dibakar. Harian Tjahaja Timoer edisi 14 Januari 1914 memberikan rincian jumlah korban pada 1911 sebanyak 1855 penduduk Malang terjangkit pes. Dari jumlah itu 1480 di antaranya meninggal dunia. Sebagai bandingan Kediri punya 133 penderita, dari jumlah ini sebanyak 113 meninggal. Sisanya adalah adal ah Tulungagung mempunyai 48 penderita, 46 meninggal dan Surabaya terjangkit 25 orang, sebanyak 11 diantaranya meninggal. Pada 1912 Kabupaten Malang masih menjadi daerah yang paling banyak mempunyai penderita pes secara menyolok dibanding wilayah lain. Tercatat 1503
11
terjangkit pes dan sebanyak 1448 tewas. Penderita di Kediri meningkat sebanyak 430 orang dan 390 di antaranya meninggal, disusul Tulungagung 81 penderita dan sebanyak 67 meninggal. Kota Surabaya juga penderita sebanyak 49 orang dan 47 diantaranya meninggal.
12
DAFTAR PUSTAKA Buku
Purnawan Basundoro. 2009. Dua Kota Tiga Zaman; Surabaya dan Malang Sejak Zaman Kolonial sampai Kemerdekaan Kemerdekaan.. Yogyakarta: Ombak. Sri Margana dan M. Nursam. 2010. Kota-Kota di Jawa: Identitas, Gaya Hidup dan Permasalahan Sosial . Yogyakarta: Ombak. Supratikno Rahardjo. 2011. Peradaban Jawa dari Mataram Kuno sampai Majapahit Akhir . Jakarta: Komunitas Bambu. W.L. Olthorf a.b. H.R. Sumarsono. 2008. Babad Tanah Jawi Jawi . Yogyakarta: Narasi.
Internet
Irvan Sjafari. 2012. Kota Malang Pada Masa Awal Perang Kemerdekaan 19451947:
Aksi
Kemanusiaan
di
Garis
Belakang .
Diakses
di
http://m.kompasiana.com pada http://m.kompasiana.com pada tanggal 21 April 2015 pukul 21.34 WIB. Irvan Sjafari. 2013. Horor Hantu Hitam Sebuah Catatan Tentang Wabah Pes di Kabupaten Malang 1910an. 1910an . Diakses di http://m.kompasiana.com pada tanggal 21 April 2015 pukul 21.19 WIB. Irvan Sjafari. 2014. Kota Malang Masa Hindia Belanda 1914-1942; Het Dorado van Oost Java Catatan Awal . Awal . Diakses di http://m.kompasiana.com pada tanggal 21 April 2015 pukul 20.33 WIB. Tim Jurnal Malang. 2013. Sejarah Malang Pra-Kemerdekaan Bagian 5 . Diakses di http://www.jurnalmalang.com http://www.jurnalmalang.com pada pada tanggal 21 April 2015 pukul 19.52 WIB. http://budpar.malangkota.go.id
13