Tugas :
TEKNOLOGI BAHAN KONSTRUKSI JALAN (Metode Perbaikan Tanah dengan Vertical Drain pada Konstruksi Jalan)
NURHIDAYAT P23002210010
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2011
BAB I PENDAHULUAN Keberadaan
jalan
sangat
diperlukan
untuk
menunjang
laju
pertumbuhan ekonomi, seiring dengan meningkatnya kebutuhan sarana transportasi yang dapat menjangkau daerah – daerah terpencil yang merupakan sentra produksi pertanian. Jaringan jalan raya yang merupakan prasarana transportasi darat yang memegang peranan penting dalam sektor perhubungan, terutama untuk kesinambungan distribusi barang dan jasa, serta masyarakat dan untuk pengembangan wilayah. Perencanaan peningkatan jalan merupakan salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan lalu lintas. Sehubungan dengan permasalahan lalu lintas, maka diperlukan penambahan kapasitas jalan yang tentu akan memerlukan metoda efektif dalam perancangan maupun perencanaan agar diperoleh hasil yang terbaik dan ekonomis, tetapi memenuhi unsur kenyamanan, keamanan dan keselamatan pengguna jalan. Salah satu kesulitan pengembangan prasarana jalan terbenturnya pelaksanaan pembangunan tersebut dengan keadaan tanahnya yang jelek seperti berupa tanah lempung lembek atau tanah organik yang tidak bisa dihindarkan, misalnya tanah lempung lembek dengan daya dukung tanahnya
yang
sangat
kecil,
pemempatan
besar,
dan
koefisien
permeabilitas kecil. Adapun usaha untuk mengatasi rendahnya daya dukung dari tanah dasar yaitu dengan penanganan secara khusus dalam tulisan ini kami mengangkat tema yakni Metode Perbaikan Tanah dengan Vertical Drain pada Konstruksi Jalan Penurunan
tanah
pada
konstruksi
teknik
sipil
akibat
proses
konsolidasi tanah pendukung merupakan salah satu aspek utama dalam bidang geoteknik terutama pada lapisan tanah kohesif lunak. Proses konsolidasi adalah suatu proses disipasi air pori terhadap fungsi waktu. Pada awalnya teori konsolidasi 1-D ditemukan oleh Terzaghi (1925), dengan menganggap nilai koefisien konsolidasi (Cv) yang konstan dan pengaliran yang
terjadi
satu
arah
(arah
vertikal)
selama
proses
konsolidasi
berlangsung. Biot (1941) mengembangkan teori konsolidasi 1-D dari Terzaghi dengan menganggap koefisien konsolidasi (Cv), tegangan vertikal efektif dan kelebihan tekanan air pori yang bekerja merupakan fungsi
transient dan pengaliran yang terjadi selama proses konsolidasi dalam tiga arah (multy dimensional case).
Gambar 1.1 Aliran air pori akibat proses konsolidasi Penanggulangan
terhadap
penurunan
yang
besar
dan
waktu
penurunan yang lama pada tanah lempung lembek yang di bebani merupakan masalah yang harus diperhatikan karena tanah lunak memiliki kerapatan rongga yang rendah. Umumnya lapisan tanah lunak terdiri dari tanah yang sebagian besar adalah butir-butir sangat kecil serta memiliki kemampatan besar dan koefisien permeabilitas yang kecil, sehingga jika pembebanan konstruksi melampaui daya dukung kritis, maka kerusakan tanah akan terjadi. Meskipun intensitas beban tersebut kurang dari daya dukung kritis, dalam jangka waktu yang lama besarnya penurunan akan terus meningkat, sehingga akan mengakibatkan permukaan tanah di sekeliling konstruksi naik atau turun, atau terjadi penurunan muka air tanah atau
pengeringan
air
di
tengah
konstruksi
yang
pada
akhirnya
mengakibatkan kerusakan di sekitar konstruksi. Berdasarkan hal tersebut di atas perlu diadakan perbaikan pada kondisi
tanah
kohesif
lunak.
Penurunan
dapat
direduksi
dengan
menambahkan kerapatan rongga dari pemampatan partikel tanah. Salah satu cara untuk menanggulangi masalah tersebut di atas adalah dengan memperbaiki karakteristik tanahnya, antara lain dengan memasang vertikal drain supaya terjadi aliran drainase ke arah horizontal disamping aliran ke arah vertikal. Dengan adanya pemasangan vertikal drain tersebut maka waktu yang diperlukan untuk penurunan tanah tersebut menjadi lebih singkat.
Drain-drain
vertikal
tersebut
bisa
diisi
pasir
(bahan
yang
permeabilitasnya besar), atau bisa juga menggunakan sintetik drain
berbentuk pita. Vertikal drain konvensional atau dikenal dengan vertikal sand drain sudah banyak ditinggalkan dan fungsinya digantikan oleh prefabricated vertikal drain yang menggunakan bahan geotekstil atau bahan sintetis. Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja dari vertikal drain sintetis antara lain bentuk core yang dapat dialiri, geometris core, tekanan lateral yang bekerja dan lain-lain. Langkah–langkah yang dilakukan untuk perbaikan tanah dengan metode vertikal drain adalah 1) Uji laboratorium; pengujian di laboratorium diawali dengan pengambilan sampel di lapangan dengan menggunakan alat sondir pada titik pengamatan. Sampel tersebut kemudian dibawa ke laboratorium dan diuji sesuai dengan prosedur. Dari pengujian tersebut diperoleh parameter-parameter yang diperlukan sebagai berikut; indeks pemampatan (Cc) dan koefisien konsolidasi (Ch). 2) Perencanaan vertikal drain; data yang diperoleh dari uji di laboratorium selanjutnya digunakan pada perencanaan vertikal drain. Kemudian diameter dan jarak kolom dari vertikal drain ditetapkan. 3) Analisa stabilitas dan penurunan; analisa stabilitas dan penurunan pada tanah perlu dilakukan dalam perencanaan suatu bangunan terutama pekerjaan konstruksi, dengan tujuan untuk mengetahui keamanan dari hasil yang direncanakan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. STABILISASI TANAH Stabilisasi tanah adalah upaya rekayasa untuk memperbaiki mutu tanah yang tidak baik dan meningkatkan mutu dari tanah yang sebetulnya sudah
tergolong
baik.
Tujuan
dari
stabilisasi
tanah
yaitu
untuk
meningkatkan kemampuan daya dukung tanah dalam menahan serta meningkatkan stabilitas tanah. Pada umumnya ada dua cara stabilisasi tanah, yaitu dengan cara mekanis dan cara kimiawi. Stabilisasi tanah secara mekanis bertujuan untuk mendapatkan tanah yang bergradasi baik (well graded) sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi spesifikasi yang diinginkan. Pada prinsipnya stabilisasi tanah secara mekanis dengan penambahan kekuatan dan daya dukung terhadap tanah yang ada dengan mengatur gradasi dari butir tanah yang bersangkutan dengan meningkatkan kepadatanya. Menambah dan mencampur tanah yang ada (natural soil) dengan jenis tanah yang lain sehingga mempunyai gradasi baru yang lebih baik. Yang perlu diperhatikan dalam stabilisasi tanah secara mekanis adalah gradasi butir tanah yang memiliki daya ikat (binder soil) dan kadar air. Stabilisasi secara kimiawi dapat dilakukan dengan penambahan bahan additive, di Indonesia stabilisasi secara kimiawi dilakukan pada tanah-tanah kohesif (tanah liat) karena tanah liat tersebut secara ekonomis dipakai stabilizing agent. Stabilisasi dapat dilakukan berupa tindakan-tindakan sebagai berkut: ➢ Perbaikan Secara dinamis yaitu pemadatan tanah dengan alat pemadat
➢ gradasi dengan cara menambah tanah pada fraksi tertentu yang dianggap kurang sehingga tercapai suatu gradasi yang rapat. Fraksi yang kurang biasanya adalah fraksi yang berbutir kasar, cara yang dilakukan adalah mencampur tanah dengan fraksi butir kasar seperti pasir dan kerikil atau pasir saja ➢ Stabilisasi kimiawi dengan menambahkan bahan kimia tertentu sehingga terjadi reaksi kimia. Bahan yang biasanya digunakan antara lain portland cement, kapur tohor dan bahan kimia lainya. Stabilisasi ini dilakukan dengan dua cara yaitu mencampur tanah dengan bahan kimia kemudian diaduk dan dipadatkan, cara kedua adalah memasukan bahan kimia kedalam tanah (grouting). ➢ Pembongkaran
dan
penggantian
tanah
jelek.
Pada
tanah
yang
mengandung bahan organik akan terjadi pembusukan apabila terkena beban akan mengalami penurunan yang tidak sama. Perbaikan dilakukan dengan mengganti tanah dengan tanah yang berkualitas baik, misalnya dengan tanah yang memiliki CBR yang sesuai. Untuk tanah yang mempunyai sifat yang tidak sesuai terhadap rencana teknis atau pada tanah lempung, yang mempunyai perilaku yang kurang menguntungkan konstruksi sipil karena daya dukung yang sangat rendah, tanah tersebut dapat dilakukan stabilisasi atau diperbaiki dengan beberapa cara, yang sering dilakukan antara lain: ➢ Perbaikan permukaan tanah dengan menggunakan drainase. ➢ Perpindahan
yaitu
dengan
mengganti
lapisan
tanah
yang
tidak
menguntungkan atau jelek. ➢ Timbunan imbangan (counter weight fill), misal untuk bangunan tanggul dimaksudkan untuk mengimbangi sisi tanggul supaya stabil, bilamana tidak diperoleh faktor keamanan yang diperlukan terhadap longsoran selama penimbunan dilaksanakan. ➢ Memberikan pembebanan perlahan-lahan diterapkan bilamana kekuatan geser tanah pondasi tidak besar dan cenderung akan runtuh jika timbunan
dilaksanakan
bertambah lama.
dengan
cepat,
tetapi
berakibat
pekerjaan
2.1.1. Stabilisasi Tanah Ekspansif Dengan Cara Removal dan Replacement Metode ini dilakukan dengan cara mencampur tanah ekspansif dengan tanah non ekspansif, diharapkan dengan mencampur kedua jenis tanah ini dapat memperbaiki sifat dari tanah ekspansif. Tinggi dari timbunan tanah non ekspansif harus tepat agar didapat kekutan yang diinginkan. Tidak ada petunjuk yang tepat, berapa tinggi timbunan tersebut. Menurut Chen (1988) merekomendasikan 1 meter sampai dengan 1,30 meter. Keuntungan dari metode ini adalah: ➢ Tanah non ekspansif yang dicampurkan mempunyai sifat density dan daya dukung lebih besar, sehingga dapat memperbaiki tanah ekspansif yang mempunyai nilai density rendah. ➢ Biaya dari metode ini lebih ekonomis dari metode stabilisasi tanah ekspansif lainya, karena metode ini tidak membutuhkan peralatan konstruksi yang mahal. Kerugian dari metode ini adalah ketebalan dari tanah ekspansif yang telah dicampur dengan tanah non ekspansif akan menjadi lebih tebal sehingga memungkinkan tidak sesuai dengan ketebalan yang telah ditentukan. 2.1.2. Stabilisasi Tanah Ekspansif Dengan Cara Remolding dan Compaction Swelling potensial dari tanah ekspansif dapat diperbaiki dengan cara merubah nilai density tanah tersebut (Holtz,1959). Metode ini menunjukkan bahwa pemadatan pada nilai density yang rendah dan pada kadar air dibawah kadar optimum yang terlihat pada test Standart Proctor dapat mengakibatkan lebih sedikit swelling potential dari pemadatan pada nilai density yang tinggi dankadar air yang lebih rendah. 2.1.3.
Stabilisasi
tanah
Ekspansif
Dengan
Cara
Chemical
Admixtures a. Stabilisasi Tanah Dengan Kapur Stabilisasi tanah dengan kapur telah banyak digunakan pada proyekproyek jalan dibanyak negara. Untuk hasil yang optimum kapur yang digunakan biasanya antara 3% sampai dengan 7%. Thomson (1968) menemukan bahwa
dengan kadar kapur antara 5% sampai dengan 7% akan menghasilkan kekuatan yang lebih besar dari kadar kapur 3%. b. Stabilisasi Tanah Dengan Semen Hasil yang didapat dengan stabilisasi tanah dengan semen hampir sama stabilisasi
tanah
dengan
kapur.
Menurut
Chen
(1988)
dengan
menambahkan semen pada tanah akan dapat meningkatkan shrinkage limit dan shear strength. c. Stabilisasi Tanah Dengan Fly ash. Fly ash dapat juga dipergunakan sebagai stabilizing agents karena apabila dicampur dengan tanah akan terjadi reaksi pozzolonic. Pada tanah lunak kapur yang akan dicampur fly ash dengan perbandingan satu banding dua terbukti dapat meningkatkan daya dukung tanah. 2.2. DAYA DUKUNG TANAH Tanah yang akan dibangun suatu konstruksi diatasnya, diharuskan mempunyai nilai daya dukung tanah yang besar. Hal ini dimaksudkan agar kekuatan tanah tidak terlampaui oleh beban yang ada diatasnya. Apabila kekuatan
tanah
terlampaui
maka
penurunan
yang
berlebihan
akan
berakibat terjadinya kerusakan struktur yang ada diatasnya. Untuk tanah lempung pembuatan konstruksi diatasnya akan selalu menimbulkan tegangan pori. Biasanya waktu yang diperlukan untuk penyusutan tegangan pori jauh lebih lama daripada waktu yang diperlukan untuk mendirikan konstruksi diatas lapisan lempung tersebut. Ini berarti kekuatan geser tanah lempung tidak akan banyak mengalami perubahan selama masa pembangunan konstruksi tersebut. Nilai
daya dukung tanah
diperoleh dari
hasil
pengujian CBR
(California Bearing Ratio), baik dari pengujian lapangan maupun hasil pengujian laboratorium. Untuk lapisan tanah dasar asli nilai CBR didapat dari uji lapangan dengan alat DCP (Dynamic Cone Penetrometer) atau dengan alat sondir. Dapat juga dilakukan pengujian di laboratorium dengan cara pengambilan contoh tanah dengan silinder (mold) Daya dukung tanah asli (lempung lunak) dibawah timbunan dapat dianalisa dengan rumus Terzaghi (1943).
qult = q’ + q” Keterangan : q’ = porsi daya dukung yang diasumsikan tanpa berat tanah pondasi q” = porsi daya dukung dari berat tanah pondasi.
2.3. KONSOLIDASI Konsolidasi adalah suatu proses pengecilan volume secara perlahan–lahan pada tanah jenuh sempurna dengan permeabilitas rendah akibat pengaliran sebagian air pori. Proses tersebut berlangsung terus–menerus sampai kelebihan tekanan air pori yang disebabkan oleh kenaikan tegangan total benar–benar hilang. Jangka waktu terjadinya konsolidasi tergantung pada bagaimana cepatnya tekanan air pori yang berlebih akibat beban yang bekerja dapat dihilangkan. Karena itu koefisien permeabilitas merupakan faktor penting di samping penentuan berapa jauh jarak air pori yang harus dikeluarkan dari pori-pori yang ukurannya bertambah kecil untuk dapat meniadakan tekanan yang berlebihan. Kasus yang paling sederhana adalah konsolidasi satu dimensi, di mana kondisi regangan lateral nol mutlak ada. .
BAB III METODE VERTICAL DRAIN UNTUK PERBAIKAN TANAH PADA KONSTRUKSI JALAN
3.1. VERTICAL DRAIN Tanah lempung lunak jenuh adalah tanah dengan rongga kapiler yang sangatecil sehingga proses konsolidasi saat tanah dibebani memerlukan waktu cukup lama, sehingga untuk mengeluarkan air dari tanah secara cepat adalah dengan mebuat vertical drain pada radius tertentu sehingga air yang terkandung dalam tanah akan termobilisasi keluar melalui vertical drain yang telah terpasang. Vertical drain ini dapat berupa stone column atau menggunakan material fabricated yang diproduk oleh geosinindo atau pabrik yang lainnya. Pekerjaan vertical drain ini biasanya dikombinasikan dengan pekerjaan preload berupa timbunan tanah, dengan maksud memberikan beban pada tanah sehingga air yang terkandung dalam tanah bisa termobilisasi dengan lebih cepat.
3.2. PERKEMBANGAN VERTIKAL DRAIN Pada tahun 1925, Daniel E. Moran memperkenalkan pemakaian drainase dari kolom-kolom pasir untuk stabilitas tanah pada kedalaman yang besar dan selanjutnya keberhasilan drainase tipe ini dipakai disebelah barat benua Amerika (Amerika Serikat) dan pada tahun 1944 disebelah timur negara tersebut. Tipe drainase selanjutnya dikenal dengan drainase vertikal. Sejak tahun itu, pemanfaatan drainase vertikal yang dikenal dengan metode vertikal drain berkembang demikian pesat, umumnya dalam pekerjaan-pekerjaan konstruksi timbunan untuk jalan raya, tanggul, tanah hasil reklamasi pantai.
Pada tahun 1936, diperkenalkan sistem vertikal drain dengan bahan sintesis oleh Kjellman di Swedia. Setelah di tes di beberapa tempat pada tahun 1937 dengan bahan calboard wick mendapat sambutan yang hangat dari para ilmuwan. Sejak saat itu pengembangan vertikal drain dilanjutkan menggunakan berbagai macam bahan. Ini dilakukan para ilmuan agar dapat
mempercepat
waktu
penurunan
konsolidasi
yang
lama.
Pengembangan yang terbaru bagi vertikal drain adalah vertikal drain sintesis. Dengan memenuhi persyaratan untuk kelayakan vertikal drain dan bahkan vertikal drain sintesis dapat mempercepat waktu penurunan konsolidasi lebih cepat dari bahan-bahan terdahulunya sehingga menjadi pilihan utama saat mengatasi masalah konsolidasi.
3.3. PRINSIP VERTIKAL DRAIN Laju
konsolidasi
yang
rendah
pada
lempung
jenuh
dengan
permeabilitas rendah, dapat dinaikkan dengan menggunakan drainasi vertikal (vertical drain) yang memperpendek lintasan pengaliran dalam lempung. Kemudian konsolidasi terutama diperhitungkan akibat pengaliran horisontal radial, yang menyebabkan disipasi kelebihan tekanan air pori yang lebih cepat, pengaliran vertikal kecil pengaruhnya. Dalam teori, besar penurunan konsolidasi akhir adalah sama, hanya laju penurunannya yang terpengaruh.
Gambar 3.1 Aliran air pori pada vertikal drain
Metode tradisional dalam membuat vertikal drain adalah dengan membuat lubang bor pada lapisan lempung dan mengisi kembali dengan pasir yang bergradasi sesuai titik. Diameternya sekitar 200–600 mm dan saluran drainase tersebut dibuat sedalam lebih dari 5 meter. Pasir harus dapat dialiri air secara efisien tanpa membawa partikel–partikel tanah yang halus. Drainase cetakan juga banyak digunakan dan biasanya lebih murah daripada drainase urugan untuk suatu daerah tertentu. Salah satu jenis drainase cetakan adalah drainase prapaket (prepackage drain) yang terdiri dari sebuah selubung filter, biasanya dibuat dari polypropylene, yang diisi pasir dengan diameter 65 mm. Jenis ini sangat fleksibel dan biasanya tidak terpengaruh oleh adanya gerakan–gerakan tanah lateral. Jenis lain drainase cetakan adalah drainase pita (band drain), yang terdiri dari inti plastik datar dengan saluran drainase yang dikelilingi oleh lapisan filter, yang mana lapisan tersebut harus memiliki kekuatan untuk mencegah jangan sampai terselip ke dalam saluran. Fungsi utama dari lapisan itu adalah untuk mencegah penyumbatan partikel–partikel tanah halus pada saluran di dalam inti. Ukuran band drain ini adalah 100 mm kali 5 mm dan diameter ekivalennya biasanya diasumsikan sebagai keliling dibagi π. Drainase cetakan dipasang dengan cara menyelipkan drainase cetakan ke dalam lubang bor atau dengan menempatkannya di dalam sebuah paksi (mandrel) atau selubung (casing) yang kemudian dipancang ke dalam tanah atau digetarkan di tanah. Karena
tujuannya
adalah
untuk
mengurangi
panjang
lintasan
pengaliran, maka jarak antara drainasi merupakan hal yang terpenting. Drainasi tersebut biasanya diberi jarak dengan pola bujur sangkar atau segitiga. Jarak antara drainasi tersebut harus lebih kecil daripada tebal lapisan lempung dan tidak ada gunanya menggunakan drainasi vertikal dalam lapisan lempung yang relatif tipis. Untuk mendapatkan desain yang baik, koefisien konsoli¬dasi horisontal dan vertikal (Ch dan Cv) yang akurat sangat penting untuk diketahui. Biasa¬nya rasio Ch /Cv terletak antara 1 dan 2, semakin tinggi rasio ini, pemasangan drainasi se¬makin bermanfaat. Nilai koefisien untuk lempung di dekat drainasi kemungkinan men¬jadi berkurang akibat proses peremasan (remoulding)
selama
pemasangan
(terutama
bila
di-gunakan
paksi),
pengaruh tersebut dinamakan pelumasan (smear). Efek pelumasan ini
dapat diperhitungkan dengan mengasumsikan suatu nilai Ch yang sudah direduksi atau dengan menggunakan diameter drainasi yang diperkecil. Masalah lainnya adalah diameter drainasi pasir yang besar cenderung menyerupai tiang-tiang yang lemah, yang mengurangi kenaikan tegangan vertikal
dalam
lempung
sampai
tingkat
yang
tidak
diketahui
dan
meng¬hasilkan nilai tekanan air pori berlebihan yang lebih rendah dan begitu pula halnya dengan penurunan konsolidasi. Efek ini minimal bila menggunakan drainasi cetakan karena fleksibilitasnya. Pengalaman menunjukkan bahwa drainasi vertikal tidak baik untuk tanah yang memiliki rasio kompresi sekunder yang tinggi, seperti lempung yang sangat plastis dan gambut, karena laju konsolidasi sekunder tidak dapat dikontrol oleh vertikal drain.
3.4. TIPE-TIPE VERTIKAL DRAIN Pada prinsipnya drainase ini dapat dikatakan menjamin aliran air tanpa hambatan atau dapat dikatakan kecil ke arah vertikal yaitu ke arah lapisa porus yang berada di atas muka tanah atau bahkan dua lapisan porus di atas dan di bawah lapisan lunak (berada dalam tanah) dan juga tidak menimbulkan masalah pada bidang kontak antara tanah dan drain. Terdapat beberapa tipe dari vertikal drain, yaitu: 1. Drainase pasir vertical dengan cara desakan penumbukan (Drivendisplacement sand drains) Drainase
pasir
vertical
dengan
cara
desakan
penumbukan
merupakan cara sederhana dan digunakan secaraluas karena biayanya murah. Tetapi, cara pemasangan ini dapat mengganggudan merusak struktur tanah yang akibatnya dapat mengurangi kuat geser tanah,dan juga menimbulkan kerusakan pada saluran drainase horisontal alami.
2. Drainase pasir semprotan air tanpa desakan (Non-displacement jetted sanddrains)
Drainase pasir semprotan air tanpa desakan dapat memperkecil gangguan di sekitar tanah. Tapi metode inimemakan waktu dalam pemasangannya dan kesulitan apabila harus menembuslempung kenyal atau lapisan berbutir kasar.
3. Drainase pasir vertikal dengan pemboran mengganti (Bored replacement typesand drains) Drainase pasir vertikal dengan pemboran mengganti dipasang dengan
pengeboran
sebelumnya
memakai
augermelayang
menerus
(continuous flight augers) atau auger yang dipasang padabatang kelly teleskopik (telescopic kelly bars) dan kemudian lubang bor diisidengan pasir. Gangguan yang timbul pada pengisian pasir dengan cara iniumumnya kecil tetapi pembuangan tanah sisa pemboran dengan volume yangbesar sering menjadi permasalahan.Diameter dari lubang berkisar dari 20 hingga 40 cm dan spasinya berkisarantara 1.5 hingga 3m. Material yang digunakan untuk drainase pasir (sand drain) harus didisain sehingga : a) mempunyai kemampuan penyaringan sehingga setiap lanau atau pasir halus di dalam tanah tidak akan menyumbat aliran dan b)
cukup
permeabel
untuk
memberikan
kapasitas
drainase
yang
disyaratkan. Gradasi pasir harus dipilih sesuai untuk keperluan penyaringan dan diameter pengaliran harus ditentukan untuk menghasilkan kapasitas drainase yang diperlukan. Oleh karenanya desain drainase akan spesifik untuk setiap lokasi
4. Drainase pasir pra-fabrikasi (Prefabricated sand drains) Drainase pasir pra-fabrikasi termasuk ‘sumbu pasir (sand wicks)yang dibuat dengan mengisikan ke dalam kaus dari material filter yang biasanya berdiameter kecil. Sumbu pasir ini biasanya dimasukkan ke dalam lubang bor yang dibuat sebelumnya di dalam tanah.
5. Drainase vertikal pra-fabrikasi (Prefabricated vertical drains, PVD) Drainase vertikal pra-fabrikasi umumnya berbentuk pita (bandshaped) dengan sebuah inti plastik beralur yang dibungkus dengan selubung filter yang terbuat dari kertas atau susunan plastik tak teranyam (non woven plastic fabric). Biasanya memiliki lebar sekitar 10 cm dan tebal 0.4 cm. Jika menggunakan tipe drainase ini karakteristik hidroliknya harus diperhatikan dengan seksama, misalnya mengenai kapasitas pengeluaran air (well discharge capacity) dan permabilitas dari filter/saringannya, karakteristik mekanik seperti kuat tarik dari inti dan filternya (tensile strength of core and filter) dan kuat tekuk (buckling strength) serta ketahanannya terhadap degradasi fisik dan biokimia dalam berbagai kondisi cuaca dan lingkungan yang tidak ramah. Perkembangan terakhir memgunakan drainase dari serat alami (natural fibre drains), terdiri atas sebuah inti gulungan (coir core) dan bagian luar dari goni. Penggunaan material alami akan menghasilkan sebuah produk yang lebih murah, dan paling tidak untuk pemasangan drainase yang dangkal system drainase tersebut akan menunjukkan hasil yang sama dengan jika menggunakan material drainase dari bahan sintetis. Drainase pra-fabrikasi biasanya dipasang sampai kedalaman hingga 24m dengan menggunakan rig penetrasi statis. Untuk yang lebih dalam, dibutuhkan rig yang lebih besar, lantai kerja yang lebih kuat/luas dan penggunaan vibrator ujung (top vibrator) untuk mempermudah proses penetrasi. Kedalaman maksimum pemasangan yang pernah dilakukan di Indonesia berdasarkan pengalaman sampai saat ini mencapai 45m (Nicholls & Barry, 1983). Keuntungan dengan penggunaan sistem drainase tersebut terutama adalah prosedur pemasangannya yang sederhana, murah dan kecepatan pemasanganyang tinggi.
3.5. METODE DAN PROSEDUR PEKERJAAN VERTICAL DRAIN Drainase vertikal dipasang sampai sebagian atau seluruh kedalaman tanah lunakdengan jarak yang ditentukan, yang umumnya berjarak satu hingga
dua meter dengan lapisan drainase permukaan dipasang selebar timbunan penuh. Kemudian diberikan beban timbunan. Untuk lapisan tanah lunak yang dalam, adanya drainase vertikal ini akan mengurangi jarak drainase dalam tanah. Karena kecepatan konsolidasi akan bergantung pada panjang jalur drainase seperti yang ditunjukkan pada Persamaan 3.1, maka drainase vertikal ini akan mempercepat proses konsolidasi.
Jika diperlukan, perbaikan
tanah dengan drainase
vertikal ini
dapatdikombinasikan dengan solusi lain seperti ditunjukkan pada grafik
Proses
pengambilan
keputusan
pada
Gambar
3.2.
Gambar 3.2 Bagan Alir Pengambilan Keputusan untuk Metode DrainaseVertikal 3.5.1 Prosedur Instalasi 3.5.1.1 Instalasi PVD Karena
sistem
drainase
pasir
tidak
lagi
digunakan
di
Indonesia
makabelakangan ini tak ada lagi pengalaman mengenai penggunaanya dan tak adapanduan mengenai prosedur pemasangannya yang cocok yang dapatdikemukakan. Bila sistem drainase pasir akan diterapkan, maka pengawasanlapangan harus dilakukan dengan tingkat teknis yang tinggi untuk menjaminbahwa prosedur yang semestinya dijalankan.
Sistem drainase dengan PVD harus dipasang dengan mandrel yang ujungnya tertutup (closed-end mandrel) yang dimasukkan ke dalam tanah baik dengan penetrasi statis maupun pemancangan dengan vibrator (vibratory driving). Tingkat kerusakan atau gangguan pada tanah yang ditimbulkannya bergantung pada bentuk dan ukuran dari mandrel dan sepatu yang dapat dilepaskan(detachable shoe) pada dasar mandrel yang digunakan untuk mengangkut material ini ke dalam tanah. Gangguan yang timbul apabila digunakan sistemdrainase PVD akan lebih kecil dibandingkan dengan
yang
ditimbulkan
oleh
drainase
pasir
konvensional
dengan
pendesakan. Untuk proyek kecil, dapat digunakan satu rig yang dapat mencapai kecepatan pemasangan hingga 300 m2 per hari2. Di Pelabuhan Laut Belawan dimana drainase tersebut dipasang sampai kedalaman antara 20 dan 45m pemasangan, dapat mencapai hasil rata-rata 2300m drainase PVD per rig per 10 jam per hari (Nicholls, Barry & Shoji, 1984). Mesin yang dapat memasang drainase ini hingga kedalaman 60 m dengan kecepatan 1 m/detik sekarang telah tersedia dibeberapa negara (Choa, 1985).
3.5.1.2. Selimut Pasir (Sand Blanket) Selimut pasir harus dipasang pada lapisan pertama dari timbunan untuk memberi jalan kepada air yang keluar dari sistem drainase. Syarat-syarat dari selimut pasir ini adalah: a. Penempatan: harus dipasang pada elevasi yang secara praktis serendah mungkin untuk memperkecil tekanan balik (backpressure) dalam drainase. b. Ketebalan: harus cukup untuk memberikan suatu lapisan yang memadai
(reliable
interface)
antara
selimut
pasir
dengan
drainasenya, yang dalam hal ini akan bergantung pada metode pemasangan sebagaimana akan dibahas berikut ini. Tebal minimum 30cm harus dipakai. c. Kemiringan melintang (crossfall): Lapisan pasir harus mempunyai kemiringan melintang awal dari tengah ke pinggir timbunan untuk memberikan drainase positif; kemiringan melintang awal ini dapat
juga dinaikkan untuk konpensasi terjadinya beda penurunan yang terjadi antara tengah dan pinggir. d. Walaupun demikian, meninggikan selimut dibagian tengah supaya lebih miring akan menambah kerumitan pelaksanaan. Oleh karena itu pemberian kemiringan tidak disarankan. e. Gradasi (grading): untuk dapat berfungsi sebagai filter yang memadai sebagaimana dijelaskan berikut, selimut pasir perlu didisain untuk mendapatkan permeabilitas yang diinginkan yang harus dihitung sebagai berikut: Putuskan kapan selama proses konsolidasi selimut pasir harus mampumengalirkan air (discharge). Waktu untuk 5% konsolidasi akan cukup memadai. Ini berarti sebelum sampai pada waktu/saat tersebut, selimut akan dipenuhi air dan efisiensi pengaliran air menjadi kurang dari 100%. Hitung kecepatan pengaliran air tersebut pada waktu konsolidasi 5% atau tingkat konsolidasi lain yang dipilih. Dengan menggunakan Hukum Darcy’s, hitung aliran horisontal air pada selimut dengan menggunakan separuh lebar dan tebal selimut untuk mendapatkan permeabilitas yang diinginkan. Pilih
gradasi
material
untuk
memberikan
permeabilitas
yang
diperlukan. Panduan untuk itu dapat diperoleh dari Gambar 3.3 dan Gambar 3.4.
Gambar 3.3 Hubungan dari Ukuran Butir dengan Permeabilitas pada Pasir (GCO, 1982)
Gambar 3.4 Pengaruh dari Kehalusan pada Permeabilitas (GCO, 1982)
Contoh selimut pasir pada Gambar 4.2 adalah sebuah usulan yang diambildari sebuah kontrak proyek jalan di Indonesia belakangan ini. Terlihat bahwa permeabilitas dari gradasi yang dispesifikasikan ini hanya akan berada pada kisaran 10-6 hingga 10-7 m/detik yang sepertinya tidak akan dapat memberikan drainase yang diinginkan. Pasir yang tersedia secara lokal di banyak tempat di Indonesia umumnya tidak cukup kasar untuk dapat memberikan permeabilitas yang diinginkan. Bahkan pasir untuk campuran beton sekalipun. Pada kasus ini ada dua pilihan yang dapat dilakukan: Gunakan batu atau kerikil pecah berukuran tunggal (crushed single sized gravel) Menggunakan pasir lokal, tetapi dengan memasang pipa drainase lateral dengan jarak yang sesuai untuk mengurangi jarak pengaliran air. 5) Filter: Ini disyaratkan untuk mencegah masuknya butir tanah ke dalam selimut drainase yang dapat menyumbat dan mengurangi efisiensi pengaliran air. Filter bagian atas dan bawah harus menggunakan lapisan pasir dengan gradasi maupun ketebalan yang sesuai dengan desain filter yang biasa, ataupun dengan menggunakan filter geotekstil dengan disain yang sesuai. Jika selimut pasir diletakkan langsung saringanbawah tidak diperlukan lagi.
diatas
tanah
lunak
maka
3.5.1.3. Pertimbangan Pelaksanaan Sebuah lantai kerja biasanya dibutuhkan untuk alat berat untuk memasang PVD. Lantai kerja ini dapat berpengaruh terhadap efisiensi drainase selanjutnya, sehingga Perekayasa Geoteknik yang Ditunjuk harus : 1) Menyiapkan desain yang termasuk lantai kerja 2) Dikonsultasikan jika kontraktor mengusulkan perubahan Spesifikasi yang umum di Indonesia adalah dengan menghampar selimut pasir tersebut terlebih dahulu sebelum memasang drainase. Akan tetapi biasanya Kontraktor tidak bisa menerima bila selimut pasirnya digunakan sebagai lantai kerja, karena hal tersebut akan mudah rusak akibat peralatan dan juga tererosi oleh curahan air hujan. Selimut pasir tersebut juga dapat terkontaminasi oleh lanau yang mengalir akibat pekerjaan tanah di sekitarnya yang dapat mengakibatkan kinerja selimut pasir menjadi jelek. Sistem yang lebih disukai adalah dengan menghampar selimut pasir dan filter lainnya kemudian 50cm material timbunan dihampar sebagai lantai kerja. Kelemahan dari metode ini adalah: a. Bila lokasi tersebut terkena banjir maka selimut pasir akan mengalamisegregasi atau terkontaminasi selama proses penghamparannya b. Jika digunakan filter geotekstil, maka geotekstil tersebut akan tertusuk sewaktu pemasangan PVD. Pendekatan alternatif adalah dengan memasang lantai kerja dengan ketebalan yang cukup yang dapat mendukung beban peralatan. Kemudian satu strip selimut pasir dihampar dan PVD dapat dipasang melaluinya dan peralatan berdiri di selimut pasir tersebut. Alat pancang mundur dan lapisan selimut pasir berikutnya dihampar dan selanjutnya proses pemasangan diulangi. Prosedur ini dapat dilihat pada Gambar 3.5
Gambar 3.5 Prosedur Instalasi PVD
BAB IV KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa: a. Laju konsolidasi yang rendah pada lempung jenuh dengan
permeabilitas rendah, dapat dinaikkan dengan menggunakan drainasi vertikal (vertical drain) yang memperpendek lintasan pengaliran dalam lempung, b. Pengalaman menunjukkan bahwa drainasi vertikal tidak baik untuk tanah yang memiliki rasio kompresi sekunder yang tinggi, seperti lempung yang sangat plastis dan gambut, karena laju konsolidasi sekunder tidak dapat dikontrol oleh vertikal drain
LAMPIRAN Dokumentasi Contoh Pelaksanaan Pekerjaan Pemasangan Vertical Drain