UU ITE; Sembilu Demokrasi Republik, Benarkah? Oleh: Alfi Arifian*
Setelah rezim Jokowi meratifikasi UU ITE, seolah kehadiran pakem gejala hoax yang tengah merajalela di ranah maya ini menjadi momok menakutkan. UU ITE dianggap sebagai senjata rezim untuk mematahkan demokrasi, mengerdilkan kebebasan publik serta menyapu semua suara yang berbeda di ranah maya. Media pun yang memiliki fungsi instrumental sebagai pembentuk opini publik menggiring celah kekosongan paham awam tentang legitimasi UU ITE yang mental bila terkait pemilik rezim. Seolah UU ITE hanya berlaku bagi kaum tunakuasa. Menilik konsep dasar kebebasan modern yang sering digaungkan kaum “tunakuasa”; kebebasan berpendapat merupakan salah satu nilai universalitas kebebasan “The Four Freedom” yang diusung FDR (Roosevelt), yang menjadi rujukan negara penganut paham demokrasi. Bila di masa Orde Baru Soeharto menggunakan hegemoni-nya atas media dan “mempropaganda” (mendidik) program pemerintah lewat TVRI, maka di awal abad 21 ketika fase Reformasi mencapai titik kulminasi-nya, segala bentuk belenggu “kebebasan” dimusnahkan. Alhasil, Reformasi pun terkesan kebablasan. Di titik itu sebenarnya Indonesia telah kehilangan nilai demokrasinya. Konsep demos dan kratos kita bukanlah semata democracy warisan Barat (yang alih-alih menerapkan “kekuasaan milik rakyat” namun menembak presidennya sendiri karena kebijakannya yang menentang hegemoni elite global), namun merupakan adopsi dan hasil akulturasi antara liberalisme & sosialisme yang diagungkan dunia Barat dan nilai langka yang hanya dimiliki budaya dan adat ketimuran, yang termaktub dalam Pancasila. Ditambah era digital yang memberikan arus informasi tak terbendung yang mampu diakses siapa pun di penjuru negeri, menjadi muasal tersebarnya “kabar bohong” (hoax) maupun “ujaran kebencian” (hate speech). Tumbangnya orde baru merupakan gerbang revolusi kebudayaan. Hal ini ditandai dengan dihapusnya pakem yang menekan arus kebebasan. Kesalahannya “Reformasi” (revolusi sistem politik) ini turut mereformasi budaya pada masyarakat yang estetik-religius menjadi budaya pasar. Media pun, yang menjadi korban tindak represif Orba, menjadi agen yang bahkan tak mampu menekan perubahan mobilitas sosial masyarakat yang teratomisasi ke dalam kelompok budaya pasar. Chris Barker menyatakan bahwa imperialisme budaya adalah hasil dari kesatuan proses ekonomi budaya yang merupakan bagian dari kapitalisme global. Dengan kata lain,
tumbangnya Orba menjadi gerbang masuknya imperialisme budaya berbasis kapitalisme global, sebuah skema menakutkan yang telah dirancang jauh sebelumnya oleh FDR melalui konsep The Four Freedom.
Indonesia Darurat Hoax Wacana hoax bukanlah hal sepele. Indonesia berada pada kondisi darurat. Arus informasi tak terbendung di ranah maya yang menyebarkan berita hoax mampu memecah kesatuan dan persatuan NKRI. Apalagi isu intoleransi keagamaan sedang memanas. Satu pihak menjelekkan pihak lain. Kehadiran situs ormas radikal pun membumbui jagad maya. Ada yang disinyalir berafiliasi dengan jaringan teroris internasional ISIS maupun menyebarkan ideologi anti Pancasila. Tak pelak 11 situs yang telah dievaluasi sebagai situs radikal diblokir Kemenkominfo. Dalam budaya Romawi, informasi rahasia disebar menggunakan cara klasik; berbisik. Bila yang berbisik lebih dari satu orang maka disebut “berbisik bersama”. Con=bersama, spirare= bernapas/berbisik, yang menghasilkan istilah conspire atau konspirasi. Dalam KBBI konspirasi bermakna persekongkolan. Tentunya memiliki konotasi negatif. Begitu juga dengan hoax. Sebab hoax merupakan bagian dari konspirasi terselubung, berbisik lewat jagad media sosial. Rezim saat ini tidaklah serepresif Orba yang sengaja mengotak-ngotakkan kelompok masyarakat dengan meminimalisir jumlah agar tidak terjadi konflik horizontal yang lebih besar. Satu-satunya pilihan yang diambil rezim Jokowi adalah memberi batas ruang gerak di dalam ranah maya dengan mengeluarkan UU ITE. Intinya agar masyarakat lebih bijak dalam bersosmed. Sebabnya, menurut Harris Efendi Thahar, masyarakat Indonesia meski telah melampaui zaman renaisans kaum intelektual 1928, masih saja terbelakang dengan meninggalkan budaya gemar membaca. Hal ini ia buktikan dengan teori degradasi-nya karya Kasih Tak Sampai; Siti Nurbaya (Marah Rusli, 1922). Istilah “sekarang bukan zaman Siti Nurbaya” merujuk pada kasus kawin paksa merupakan mitos yang juga bentuk gagal paham masyarakat yang tidak gemar membaca. Padahal Siti Nurbaya tidaklah dikawin paksa, dan Datuk Maringgih bukanlah penjahat. Ia pahlawan yang menentang kolonialisme yang tewas di ujung senapan prajurit KNIL bernama Syamsul Bahri, mantannya Siti Nurbaya. Budaya seperti ini masih berlaku di era digital yang tidak benar-benar membaca dan hanya copas artikel setelah melihat judul yang “wow”. Tidak peduli artikel itu fakta atau bohong, tidak peduli artikel itu menyudutkan pihak lain atau tidak, tidak peduli artikel itu merusak tatanan
sosial harmoni yang jauh terbangun sebelumnya atau tidak. Gambaran teori tarik-menarik dalam psikologi massa seperti satu anjing yang menggonggong, maka semua anjing di lingkungan ikut menggonggong tanpa tahu kenapa mereka menggonggong. Itulah ketakutan rezim yang sebenarnya dan tujuan diberlakukan UU ITE; menekan arus kebebasan berpendapat yang kebablasan serta memberi pemahaman kepada masyarakat tentang budaya gemar membaca dengan memverifikasi data. Bisa jadi ini langkah awal pemerintah dalam menerapkan revolusi mental. Bukan semata dibaca sebagai sembilu demokrasi yang mengekang hak berpendapat.
*Penulis @Anak Hebat