3.
Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Dengan Sarana “ Penal ” dan “Non Penal”
a.
S arana P enal Secara umum upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui sarana “penal” dan “non penal”, Upaya penanggulangan hukum pidana melalui sarana (penal) (penal) dalam mengatur masyarakat lewat perundang-undangan pada hakikatnya merupakan wujud suatu langkah kebijakan (policy). (policy). Upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana (sarana penal) penal) lebih menitik beratkan pada sifat “Represive” (Penindasan/pemberantasan/penumpasan), setelah kejahatan atau tindak pidana terjadi. Selain itu pada hakikatnya sarana penal merupakan bagian dari usaha penegakan hukum oleh karena itu kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegak hukum (Law Enforcement). Enforcement). Dengan kata lain penanggulangan korupsi dapat dilakukan dengan cara menyerahkan kasus tindak pidana korupsi yang terjadi kepada pihak penegak hukum dalam hal ini, polisi, jaksa, dan KPK untuk diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dimana hukuman atau sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pelaku diharapkan dapat memberikan efek jerah kepada pelaku sesuai dengan tujuan pemidanaan. Walaupun penggunaan sarana hukum pidana “penal” dalam suatu kebijakan kriminal bukan merupakan posisi strategis dalam penanggulangan tindak pidana korupsi, namun bukan pula suatu langkah kebijakan yang bisa di sederhanakan dengan mengambil sikap ekstrim untuk menghapuskan sarana hukum pidana “penal”. Karena permasalahannya tidak terletak pada eksistensinya akan tetapi pada masalah kebijakan penggunaannya.
b.
S arana N on penal Usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi tindak pidana korupsi adalah tidak hanya dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), tetapi dapat juga denga menggunakan sarana-sarana yang non-penal . Sarana non-penal mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan.
Upaya
preventif yang di maksud adalah upaya yang dilakukan sebelum terjadinya tindak pidana korupsi dengan cara menangani faktor-faktor pendorong terjadinya korupsi, yang yang dapat di laksanakan dalam beberapa cara:1[11]
1.
Cara Moralistik Cara moralistik dapat dilakukan secara umum melalui pembinaan mental dan moral manusia, khotbah-khotbah, ceramah dan penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan hukum.
2.
Cara Abolisionik Cara ini muncul dari asumsi bahwa korupsi adalah suatu kejahatan yang harus di berantas dengan terlebih dahulu menggali sebab-sebabnya dan kemudian diserahkan kepada usaha-usaha untuk menghilangkan sebab-sebab tersebut. Kemudian mengkaji permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat serta dorongan individual yang mengarah pada tindakan-tindakan korupsi, meningkatkan kesadaran hukum masyarakat serta menghukum orang-orang yang telah melakukan korupsi berdasarkan hukum yang berlaku. Dengan demikian dilihat dari sudut pandang politik kriminal, keseluruhan kegiatan preventif yang non penal mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam pencegahan tindak
pidana
korupsi.
Oleh
karena
itu
suatu
kebijakan
kriminal
harus
dapat
mengintegrasikan seluruh kegiatan preventif kedalam sistem kegiatan Negara yang teratur. Upaya penaggulangan kejahatan non- penal dapat berupa: 1.
Pencegahan tanpa pidana (Prevention without punishment)
2.
Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (Influencing views of society on crime and punishment mass media). Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non-penal lebih bersifat tindakan pencegahan , maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan korupsi dimana faktor tersebut berpusat pada masalah-masalah atau kondisi sosial secara langsung atau tidak langsung dapat menumbuh suburkan kejahatan. Melihat tindak pidana korupsi yang tengah membudaya di Indonesia saat ini, maka sebenarnya perlu ketegasan dan kejelasan mengenai praktis operasional. Praktis operasional yang di maksud adalah tindakan preventif dan represif harus ada di dalamnya. Sebab kedua langkah dan tindakan tersebut akan menghasilkan penyelenggaraan Negara yang bebas dan bersih dari korupsi.
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
1)
Faktor-faktor penyebab timbulnya tindak pidana korupsi terdiri dari 5 (lima) aspek antara lain, Aspek individual pelaku yaitu, adanya sifat tamak dan keserakahan, Moral yang lemah dan ajaran agama yang kurang diterapkan secara benar, Penghasilan yang tidak memadai dan gaya hidup konsumtif. Aspek organisasi/institusi yaitu kurang adanya keteladanan dari pimpinan, Tidak adanya kultur instistusi/ organisasi yang benar, Sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai, adanya kelemahan sistem pengendalian manajemen dan Manajemen cenderung menutup korupsi di dalam institusi/organisasinya. Aspek Masyarakat, Aspek politik dan Aspek Penegak hukum dan Peraturan Perundang-undangan yaitu lemahnya penegakan hukum, Kulaitas peraturan perundang-undangan kurang memadai dan Penerapan sanksi yang ringan dan tidak konsisten serta pandang bulu.
2)
Upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana (sarana penal) dan lebih menitikberatkan pada sifat “Represive” ( Penindasan / pemberantasan / penumpasa ) setelah kejahatan atau tindak pidana terjadi. Selain itu pada hakikatnya sarana penal merupakan bagian dari usaha penegakan hukum oleh karena itu kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegak hukum (Law Enforcement). Sedangkan Sarana Non-Penal (Preventif) merupakan upaya-upaya yang dilakukan sebelum terja dinya tindak pidana korupsi dengan cara menangani
faktor-faktor pendorong terjadinya korupsi, yang dapat di
laksanakan dalam beberapa cara misalnya cara Moralistik dan Abolisionik. B.
Saran
1.
Korupsi merupakan penyakit yang mudah menyerang siapa saja terutama para pemegang kekuasaan, hal ini dikarenakan sikap manusia yang serakah dan tidak pernah puas dengan apa yang telah dimilikinya. Oleh karena itu memberantas tindak pidana korupsi harus dimulai dari diri pribadi seseorang dengan menanamkan dalam hati bahwa korupsi adalah perbuatan yang tidak dibenarkan dan dapat merugikan diri sendiri, keluarga maupun orang lain teruatama kepentingan negara dan rakyat bangsa Indonesia.
2.
Perlu diupayakan peningkatan kualitas aparat penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, hingga hakim.
3.
Sanksi hukum yang diberikan harus berat, tanpa diskriminasi dan pandang bulu.
1. Bagaimana upaya penanggulangan kejahatan dalam politik hukum pidana? 2. BAB II PEMBAHASAN A. Politik Hukum Pidana Pada dasarnya pengertian dari politik hukum pidana dapat dengan mudah dipahami. Apabila dapat memahami betapa besar pengaruh negara sebagai organisasi manusia terbesar dalam suatu wilayah tertentu dan bertujuan menjaga tata tertib di dalamnya terutama terhadap corak, dan bentuk hukum yang berlaku di dalamnya. Dalam hal ini, kata “politik” dalam perkataan “politik hukum” dapat diartikan sebagai kebijaksanaan atau dalam hal ini disebut dengan policy dari penguasa. Sedangkan kata “kebijaksanaan” didalam KBBI berarti rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak.
Dalam politik hukum pidana dikenal 2 (dua) upaya penanggulangan terhadap kejahatan yang antara lain disebut dengan Penal dan Non Penal. Penal policy atau kebijakan penanggulangan kejahatan dengan penghukuman Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan (hukum) pidana atau penal policy merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu. Ada pula yang menyebutkan sebagai “older philosophy of crime control”. Dilihat sebagai suatu masalah kebijakan, maka ada yang mempermasalahkan apakah perlu kejahatan itu ditanggulangi, dicegah, atau dikendalikan, dengan menggunakan sanksi pidana. Dalam memberlakukan kebijakan dengan penghukuman ini tidak s emua sependapat, melainkan ada pula yang berpendapat bahwa terhadap pelaku kejahatan atau para pelanggar hukum pada umumnya tidak perlu dikenakan pidana. Menurut pendapat ini pidana merupakan “peninggalan dari kebiadaban kita masa lalu” yang seharusnya dihindari. Pendapat ini nampaknya didasari atas pandangan bahwa pidana merupakan tindakan perlakuan atau pengenaan penderitaan yang kejam. Namun pandangan lain atas menghapuskan pidana atau hukum pidana menurut Roeslan Saleh adalah keliru. Terdapat setidaknya 3 (tiga) alasan menurut Roeslan Saleh, dimana :
Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauhkah untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan; persoalannya bukan terletak pada hasil
yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu dan nilai dari batas-batas kebebasan pribadi masing-masing.
Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terhukum; dan di samping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja. Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga masyarakat yang menaati norma-norma masyarakat.
H. L Packer yang juga membicarakan masalah pidana ini dengan segala keterbatasannya, menyimpulkan antara lain : a. Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa yang akan datang, tanpa pidana. b. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang dimiliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya. c. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama atau terbaik dan suatu ketika merupakan pengancaman yang utama dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara manusiawi, ia merupakan pengancaman apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa. Penggunaan hukum pidana atau penal sebagai sar ana untuk menanggulangi kejahatan nampaknya tidak menjadi persoalan, hal ini terlihat dalam praktek perundang-undangan selama ini, yang menunjukkan bahwa penggunaan hukum pidana atau penal merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum yang dianut di Indonesia. Penggunaan hukum pidana atau penal dianggap sebagai suatu yang wajar dan normal, seolah-olah eksistensinya tidak lagi dipersoalkan. Permasalahannya ialah garis-garis kebijakan atau pendekatan bagaimanakah yang sebaiknya ditempuhnya dalam menggunakan hukum pidana atau penal itu. Sudarto pernah mengutarakan bahwa apabila hukum pidana hendak digunakan maka hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal atau “social defence planning” yang inipun harus merupakan bagian integral dari pembangunan hukum. Politik kriminal ialah pengaturan atau penyusunan secara rasional usaha-usa ha pengendalian kejahatan oleh masyarakat. Tujuan akhir dari kebijakan kriminal ialah “perlindungan masyarakat” untuk mencapai tujuan utama yang sering disebut dengan berbagai istilah misalnya, kebahagiaan warga masyarakat/penduduk, kehidupan masyarakat yang sehat dan menyegarkan, kesejahteraan masyarakat, atau untuk mencapai keseimbangan.
B. Upaya Penanggulangan Kejahatan Korupsi Dalam ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin: corruption = penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harfia dari korupsi dapat berupa : 1. Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran. 2. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok dan sebagainya. 3. a. Korup (busuk; suka menerima uang suap, uang sogok; memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya. b. Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya); c. Koruptor (orang yang korupsi). Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. Dalam hal Tindak Pidana Korupsi sendiri telah diatur menurut
Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Pidana Korupsi yang diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Dan dimana dalam Undang – undang tersebut telah ditetapkannya 7 (tujuh) jenis Tindak Pidana Korupsi yang antara lain yaitu korupsi terkait kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, kepentingan benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Ketujuh jenis ini penting diketahui
sebagai upaya memahami korupsi sebagai tinfak pidana yang mengandung konsekuensi hukum. 1.
Korupsi Terkait Kerugian Keuangan Negara
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa “Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayan negara dalam bentuk apapun, yang dioisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung jawaban pejabat lembaga negara, baik tingkat pusat maupun di daerah dan karena berada dalam penguasaan,
pengurusan
dan
pertanggungjawaban
Badan
Usaha
Milik
Negara/Badan Usaha Milirk Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. Undang- undang Nomor 17 Tahun 2003, mengemukakan keuangan negera meliputi : a)
Semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang
b)
Segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
c)
Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah. Tindak pidana korupsi terkait kerugian negara dijelaskan dalam Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-Undang No. 20 2001 yaitu terdapat Pasal 2 dan Pasal 3 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, di pidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sediit Rp.200.000.000,00 dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 atau dapat dihukum pidana mati.
2.
Korupsi Terkait Suap-Menyuap
Korupsi terkait dengan suap-menyuap didefinisikan dalam kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP). Ada tujuh jenis bentuk tindakan pidana suap, yaitu:
a)
Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang pejabat dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
b)
Memberi sesuatu kepada seorang pejabat karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya;
c)
Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang hakim dengan maksud untuk memengaruhi putusan tentang perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d)
Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan undang-undang ditentukan menjadi penasihat atau advisor untuk menghadiri sidang atau pengadilan, dengan maksud untuk memengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
e)
Menerima hadiah atau janji (seorang pejabat), padahal diketahui atau sepatutnyaa harus diduganya bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji itu ada hubungan dengan jabatannya;
f)
Menerima hadiah atau janji(pegawai negeri), pdahal diketahuinya bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk menggerakkannya supaya melakukan atau tidak melakukan sesuaru dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
g)
Menerima hadiah bagi pegawai negeri yang mengetahui bahwahadiah itu diberijan sebagai akibat atau oleh kareana si penerima telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Korupsi terkait dengan suap-menyuap dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, Pasal 12 dan Pasal 13. 3.
Korupsi Terkait Dengan Penggelapan Dalam Jabatan
Kejahatan Korupsi ini diatur dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Pasal 8
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerusata u untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga te rsebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut. Pasal 9
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atauuntuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftardaftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi. Pasal 10
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja: a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
4.
Tindak Pidana Korupsi Pemerasan
Tindak pidana korupsi pemerasan yaitu usaha pemaksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan sehingga orang itu menyerahkan sesuatu atau mengadakan utang atau menghapus piutang, sedangkan pada delik penipuan, korban tergerak untuk mnyerahkan sesuatu dan seterusnya, rayuan memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kata-kata bohong. Tindak pidana korupsi pemerasan diatur dalam Pasar 12 poin e,f, g UndangUndang No 20 Tahun2001
5.
Tindak Pidana Korupsi Perbuatan Curang
Jenis korupsi ini diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 12 huruf h Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Pasal 7
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah): a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang; b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a; c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c. (2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 12 huruf h
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
6.
Tidak Pidana Korupsi Terkait Benturan Kepentingan Dalam Pengadaan
Hal ini diatur dalam Pasal 12 huruf f Undang-Undang Nomoer 31 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. “Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaaan atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya”
7.
Tindak Pidana Korupsi Terkait Gratifikasi
Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12 B ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 bahwa “Yang dimaksud dengan ‘gratifikasi’ dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni melipuri pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fsilitas penginapan,perjawalan wisata, pengobatan Cuma-Cuma dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.” Pada dasarnya pemberian garatifikasi mempunyai nilai netral, artinya tidak semua bentuk gratifikasi bersifat tercela atau negatif. Gratifikasi dapat dikategorikan sebagai tindakan korupsi apabila setiap gratifikasi diberikan kepada pegawai negeri atau penyelengara negara dianggap memberi suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Penyelenggara negara atau PNS meliputi semua pejabat dan pegawai lembaga tinggi dari pusat sampai daerah termasuk DPR/DPRD, hakim, jaksa, polisi, rektor perguruan tinggi negeri, BUMN/BUMD, pimpinan proyek, dan
lainnya wajib melaporkan gratifikasi. Grtifikasi diatir dalam Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun1999 yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun2001. “Pegawai atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahi atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.”