KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN
TESIS Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Hukum pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Mataram
ASTAN WIRYA NIM. I2B 013 009
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS MATARAM TAHUN 2015
Halaman Pengesahan
TESIS INI TELAH DI UJI Pada tanggal,
01 Juni 2015
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Amiruddin, SH., M.Hum.
Dr. Lalu Parman, SH., MH.
NIP.19670710 198503 1 001
NIP.19580408 198602 1 001
Mataram, 01 Juni 2015 Mengetahui ; Program Studi Magister Ilmu Hukum Uniersitas Mataram
Program Studi Pascasarjana Uniersitas Mataram
Ketua,
Direktur,
Prof. Dr. H. Zainal Asikin, SH., SU. NIP. 19550815 198103 1 035
I Gde Ekaputra G., M.Agr, Ph.D NIP. 19550815 198103 1 035
TESIS INI TELAH DI UJI PADA TANGGAL,
01
JUNI TAHUN 2015
MAJELIS PENGUJI TESIS BERDASARKAN SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR PRGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS MATARAM NOMOR :
/H18.4/HK/2015
Ketua
: Dr. H. Muhammad Natsir, SH., M.Hum
: ..............................
Anggota
: Dr. Amiruddin, SH., MH.
: ..............................
Anggota
: Dr. Lalu Parman, SH., M.Hum
: ..............................
Anggota
: Prof. Dr. Hj. Rodliyah, SH., MH.
: ..............................
Anggota
: Dr. Muhammad Sood, SH., MH.
: ..............................
CURRICULUM VITAE
Nama
: ASTAN WIRYA
Tempat/tanggal lahir
: Sukarara/LOTIM, 10 Februari 1983
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama Islam
: Islam
Pekerjaan
: Polisi Kehutanan
Data Keluarga : Istri
: Dewi Karmila, ST.
Anak
:-
Riwayat Pendidikan
:
Perguruan Tinggi
: 1. Strata Satu (S-1) Konsentarasi Sistem Peradilan dan Penegakan Hukum Fakultas Hukum
Universitan Mataram
2. Strata Dua (S-2) Konsentrasi Hukum Pidana Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Unversitas Mataram.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Puji dan syukur kehadirat Allah SWT., yang Maha Agung, yang Maha Suci, Yang Maha Menguasai Samudera Ilmu yang telah melimpahkan berkah, rahmat serta ridho-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan lancar. Shalawat dan salam kepada Nabi Besar Muhammad SAW., beserta keluarga dan sahabat-Nya yang senantiasa menjadi teladan bagi umat manusia. Adapun kajian penelitian tesis ini adalah “Kebijakan Formulasi Hukum
Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan”. Penyelesaian tesis ini, tidak akan rampung tanpa bantuan, saran, arahan dan petunjuk yang diberikan kepada penulis oleh pembimbing maupun penguji baik pada saat pengajuan judul sampai penyusunan tesis. Perjalanan panjang dalam studi di Program Pascasarjana Universitas Mataram Program Studi Magister Ilmu Hukum,
hingga penulisan tesis ini tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. H. Lalu Husni, SH., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Mataram dan sebagai dosen pengajar. 2. Bapak Prof. Dr. H. Galang Asmara, SH., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan ilmu pengetahuannya dan dalam setiap kesempatan berdiskusi. 3. Bapak Prof. Dr. H. Zainal Asikin, SH., SU. Selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum dan sebagai dosen pengajar.
4. Bapak I Gde Ekaputra G., M.Agr, Ph.D., selaku Ketua Studi Program Pascasarjana Hukum Universitas Mataram. 6. Bapak Dr. Lalu Parman, SH, M.Hum., yang telah meluangkan waktu di tengahtengah kesibukan beliau selalu meluangkan waktu dalam membimbing, mentransfer ilmu penegetahuan kepada penulis khususnya dalam menyelesaikan penulisan tesis ini. 7. Bapak Dr. Amiruddin, SH., MH., yang telah meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukan beliau selalu meluangkan dalam membimbing penulis menyelesaikan penulisan tesis ini dan telah memberikan ilmu dalam penulisan tesis ini. 8.
Bapak Dr. H. Muhammad Natsir, SH., MH., selaku Dosen pengajar dan Ketua Dewan Penguji tesis ini.
9.
Ibu Prof. Dr. Hj. Rodliyah, SH., MH., dan Dr. Muhammad Sood, SH., M.Hum., selaku Dewan Penguji dan sebagai dosen pengajar.
10. Semua Guru Besar, Dosen dan seluruh civitas akademik pada Program Pascasarjana Program Magister Ilmu Hukum Universitas Mataram yang semoga dengan tulus dan ikhlas telah memberikan ilmu pengetahuan, membuka wawasan dan mempasilitasi penulis untuk mengenal luasnya samudera ilmu pengetahuan yang indah untuk diselami. Pada kesempatan ini juga penulis mengucapakan terima kasih, khususnya kepada Bapak Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTB, Keluaga Besar Korps Polisi Kehutanan dan seluruh Rimbawan dimanapun berada yang telah memberikan dukungan dan motivasi untuk mengikuti studi. Ucapan terima kasih dan do’a penulis untuk kedua orang tuaku Menggep dan Rahmin, mertua H. Abdul Karim dan Hj. Maoizah dan istri tercinta Dewi Karmila, ST., semoga Allah SWT., membalas semua kebaikan-kebaikanya. Do’a-do’anya selalu mengiringi penulis, sehingga mampu menghadapi cobaan hidup dan menjadi berkah yang memberikan semangat dari segala rintangan. Kepada seluruh saudara, sahabat dan kerabat yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah mendukung dan mendo’akan, penulis ucapkan terima kasih atas segala bantuan dan perhatiannya.
Akhir kata tiada gading yang tak retak, penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan ini. Penulis mengkharapkan semoga penulisan tesis ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan semua pihak yang telah membacanya.
Mataram, Hormat Penulis,
Astan Wirya
Juni 2015
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... HALAMAN MAJELIS PENGUJI .............................................................. KATA PENGANTAR ............................................................................... HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................... DAFTAR ISI .......................................................................................... DAFTAR SINGKATAN ........................................................................... RINGKASAN ......................................................................................... ABSTRAK .............................................................................................. BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1 A. Latar Belakang ........................................................................................ B. Rumusan Permasalahan ......................................................................... c. Tujuan Penelitian .................................................................................... D. Manfaat Penelitian .................................................................................. E. Ruang Lingkup Penelitian ....................................................................... F. Kerangka Teoritik ....................................................................................
G. H.
i ii iii iv v vi vii x xi
1 12 13 13 14
1. Teori Perlindungan Hukum .......................................................................
18 18
2. Teori Keadilan .........................................................................................
20
3. Teori Kebijakan Kriminal (Criminal Policy Theory) ......................................
22
4. Teori Kebijakan Penal (Penal Policy Theory) ..............................................
28
5. Teori Kewenangan (Authority Theory) .......................................................
38
Kerangka Konseptual .............................................................................. Metode Penelitian ...................................................................................
40 48
1. Jenis Penelitian .......................................................................................
48
2. Pendekatan Masalah ................................................................................
49
3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum ..............................................................
50
4. Teknik Penelusuran Bahan Hukum ............................................................
51
5. Analisis Bahan Hukum .............................................................................
53
BAB II. TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA DAN KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM PENAGGULANGAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN A. TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA ... 54 1. Pengertian Hutan, Kehutanan dan Kawasan Hutan ...........................
54
2. Jenis-jenis hutan ..................................................................................
57
2.1. Status Hutan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI ..................
58
2.2. Fungsi Hutan ....................................................................................
61
2.3. Kawasan Hutan Berdasarkan Tujuan Khusus (KHDTK) ........................ 63 2.4. Hutan berdasarkan Kepentingan Pengaturan Iklim Mikro dan Resapan
Air ..................................................................................................
3. Perlindungan Hutan ............................................................................. 4. Legalitas Hasil Hutan ........................................................................... 5. Modus Operandi dan Tipologi Pembalakan Liar .................................. 6. Perbuatan Perusakan Hutan ................................................................
64 64 66 73 79
B. KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA ...............................................
80
1. Kebijakan Formulasi Tindak Pidana .................................................... 85
a. Ketentuan Pidana umum dalam KUHP yang terkait dengan Tindak Pidana Kehutanan ................................................................. 86 1. Pengerusakan (Pasal 406 sampai dengan Pasal 412 KUHP) ..................
87
2. Pencurian (Pasal 362-363 KUHP) ........................................................
88
3. Penyelundupan (Pasal 121 KUHP) ......................................................
89
4. Pemalsuan (Pasal 261-276 KUHP) ...................................................... 5. Penggelapan (Pasal 372-377 KUHP) ................................................... 6. Penadahan (Pasal 480 KUHP) ............................................................
89 91 92
b. Ketentuan Tindak Pidana dalam Undang-Undang di Bidang Kehutanan ....................................................................................... 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ................................................ 2. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ............... 3. Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Kehutanan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan ............................................................................ 2. Kebijakan Formulasi Pertanggung Jawaban Pidana .........................
2.1. Asas Pertanggungjawaban pidana terbatas atau ketat (stric liability) ..... 2.2. Asas Pertanggungjawaban atas Kesalahan (genn straf zonder schuld) ... 2.3. Asas pertanggungjawaban vicarious liability ........................................ 3. Kebijakan Formulasi Sistem Pemidanaan (Punisment Syistem)
a. Jenis-jenis pidana ................................................................................. b. Syarat pemidanaan ............................................................................... c. Pedoman penerapan sanksi pidana atau pemidanaan .............................
93 94 95
97 120 121 122 124 126 131 133
134 4. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam Rancangan KUHP dan KUHAP Nasional ................................................................................... 135 a. Formulasi hukum pidana dalam Rancangan Kitab Undang Undang
Hukum Pidana (KUHP) Nasional ........................................................... 135 b. Formulasi hukum acara pidana dalam Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nasional ............................................... 142
c. Lembaga atau Instansi
lain yang dapat menangani Tindak Pidana Kehutanan ........................................................................................
147
BAB III. KEWENANGAN LEMBAGA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN (P3H) DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN 1. Kedudukan Lembaga Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan ........................................... a. Kedudukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
155
(LP3H) ................................................................................................... b. Kerjasama antar lembaga penegak hukum ................................................
155
2. Struktur Kelembagaan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan 157 Perusakan Hutan (LP3H) ........................................................................ a. Struktur dan Kelembagaan Lembaga P3H ................................................. 159 b. Unsur-unsur dalam
Lembaga P3H ........................................................
159
3. Kewenangan, Tugas dan Fungsi Lembaga Pencegahan dan 161 Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) ............................................ 1. Ruang Lingkup Tugas dan Fungsi ...................................................... 162
1.1. Pencegahan .................................................................................... 164 1.2 Penindakan atau Penegakan Hukum ..................................................
164
2. Penyelidikan dan Penyidikan .............................................................. 166
2.1. Penyelidikan .................................................................................... 167 2.2. Penyidikan ......................................................................................
167
3. Penuntutan ..........................................................................................
168
4. Persidangan di sidang pengadilan .....................................................
172
4. Peran serta Masyarakat dan Kerjasama Internasional ...........................
176
$
BAB IV. PENUTUP
183
A. KESIMPULAN ................................................................................
186
B. S A R A N .......................................................................................
187
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... LAMPIRAN-LAMPIRAN .........................................................................
189 200
DAFTAR SINGKATAN
1. DHH
= Daftar Hasil Hutan
2. DR
= Dana Reboisasi
3. HPH
= Hak Pengusahaan Hutan
4. IPK
= Izin Pemanfaatan Kayu
5. IPHHK
= Izin Pengusahaan Hasil Hutan Kayu
6. IPKTM
= Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik
7. IUPHHK
= Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
8. IUPHHA
= Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Alam
9. KB
= Kayu Bulat
10. LHP
= Laporan Hasil Penebangan
11. LHPKB
= Laporan Hasil Penebangan Kayu Bulat
12. PSDH
= Provisi Sumber Daya Hutan
13. RKL
= Rencana Kerja Lima Tahunan
14. P2SKSHH
= Pejabat Penerbit Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan
15. P3KB
= Petugas Pemeriksa Penerimaan Kayu Bulat
16. P3KG
= Petugas Pemeriksa Penerimaan Kayu Gergajian
17. RKT
= Rencana Kerja Tahunan
18. SATS
= Surat Angkutan Tumbuhan dan Satwa Liar
19. SAT-DN
= Surat Angkut Tumbuhan Dalam Negeri
20. SAT-LN
= Surat Angkut Tumbuhan Luar Negeri
21. SKAU
= Surat Keterangan Asal Usul
22. SKSHH
= Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan
23. TPKT
= Tempat Penampungan Kayu Terdatar
24. TPI
= Tebang Pilih Indonesia
25. P3H
= Pencegahan dan Pembarantasan Perusakan Hutan
26. KUHP
= Kitab Undang Undang Hukum Pidana
27. KUHAP
= Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana
THE CRIMINAL POLICY FORMULATION AT LAW ENFORCEMENT PENAL FORESTRY ABSTRACT The criminal policy formulation at law enforcement penal forestry on this thesis is about problem and what criminal formulation policy in tackling a forestry criminal act and what competence and effort to eliminate forestry destruction institution (LP3H) based on ordinance number 18 years 2013, regarding prevention, and elimination of forestry impairment, this research is about normative and doctrinal law and supporting by law element such premier, secondary and tarsier law. Approach system in this thesis using statue approach, conceptual approach, historical approach, meanwhile an analyze research basic law interpretation with deductive and inductive concept as the explanation, logic interpretation and systematic. The criminal policy formulation at law enforcement penal forestry has been direction through criminal law regulation (KUHP), an ordinance number 5 years 1990 regarding ecosystem resource and conservation, an ordinance number 41 years 1999 regarding forestry and ordinance number 18 years 2013, regarding prevention and elimination of forestry impairment, an criminal law enforcement policy on the ordinance number 18 year 2013 has been divide a type of criminal case, criminal responsibilities and criminality system with minimum particularly up to maximum which criminal responsibilities distinguish into personal, person to person around forestry, corporate, and government authorities An ordinance number 18 years 2013 regarding the P3H, dedicate and declare tackling a forestry criminal act and what authority and effort to eliminate forestry destruction istitution (LP3H), those institution under president supervise, institution element including Forest Ministry, Indonesian Police, Public Persecutor and others, institution structure lead by a chairman helping by some deputy such as prevention deputy broad, measures, law, and cooperation, internal supervise and community complain deputy, P3H institution has right and function for forest destruction prevention, by input the local community participate, fill up a basic resource, campaign of forest destruction. a right of law measures, investigation, pursuit, up to court interrogation. Institution P3H also has right and function to coordinate supervise a criminal forest lawsuit act. Key word : Criminal policy, formulation law and penal forestry.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang lahir dari
proklamasi
kemerdekaan
Indonesia
merupakan
tonggak
sejarah
kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia 17 Agustus 1945, termaktub di dalam batang tubuhnya bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum1. Tujuan politik hukum negara Indonesia juga dinyatakan jelas dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang Undang Dasar Tahun 1945 terdapat cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu : 1. Untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2. Untuk memajukan kesejahteraan umum; 3. Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan 4. Ikut memelihara ketertiban dunia. Berlandaskan pada hal itu, membentuk
pemerintahan
dengan
negara kesatuan Republik Indonesia menyelenggarakan
pembangunan.
Pembangunan pada dasarnya merupakan perubahan positif, perubahan ini direncanakan dan digerakkan oleh suatu pandangan yang optimis berorientasi ke masa depan yang mempunyai tujuan ke arah kemajuan serta meningkatkan taraf kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. Dengan kata lain hakikat 1
Lihat Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB I tentang
Kedaulatan Negara, hasil amandemen ke-3 pada Pasal 1 ayat 3 bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.
pembangunan
merupakan
suatu
proses
perubahan
terus-menerus
dan
berkesinambungan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat. Perkembangan atau perubahan tersebut secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap kehidupan manusia, masyarakat serta lingkungan. Pada
hakekatnya
pembangunan
nasional
adalah
bertujuan
untuk
mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Salah bagian dari pembangunan nasional adalah pembangunan dibidang
satu
hukum,
yang dikenal dengan istilah pembaharuan hukum (law reform). Pembaharuan hukum nasional sebagai bagian dari rangkaian pembangunan nasional ini dilakukan secara menyeluruh dan terpadu baik hukum pidana, hukum perdata maupun hukum administrasi negara dan meliputi pula hukum formil maupun hukum materiilnya. Pengelolaan hutan dalam pelaksanaannya senantiasa harus memperhatikan fungsi dan peruntukannya, sehingga pengelolaan hutan yang mengabaikan fungsi dan peruntukannya sangat berpotensi mengakibatkan kerusakan hutan. Kekayaan sumber daya alam Indonesia termasuk flora dan fauna harus dikelola seoptimal mungkin tanpa harus merusak ekosistemnya,2 antara lain dengan menerapkan prinsip konservasi3, sehingga hutan tetap terjaga kelestariannya, sebagaimana
Ekosistem adalah tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur-unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Lihat Alam Setia Zein, Kamus Kehutanan, Rineka Cipta, Jakarta, 1998, hlm. 47. 3 Konservasi adalah kegiatan pengelolaan, perlindungan dan pemanfaatan secara lestari sumber daya hutan, tanah dan air yang dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan 2
yang diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi bahwa “Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”. Dewasa ini kegiatan perusakan hutan berjalan dengan lebih terbuka dan transparan, seiring dengan kemajuan pembangunan disegala bidang khususnya juga kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Terdapat banyak pihak yang terlibat dan memperoleh keuntungan dari aktifitas pembalakan liar (illegal
logging), perambahan (ocuvasi), penggunaan kawasan hutan non prosedural, pertambangan tanpa izin (illegal mining),
perkebunan dalam kawasan hutan
tanpa izin dan sebagainya. Berbagai modus yang biasanya dilakukan dengan melibatkan banyak pihak dan secara sistematis dan terorganisir. Pada umumnya mereka yang berperan adalah buruh atau penebang, masyarakat sekitar hutan, pemodal (cukong), perusahaaan berbadan hukum atau korporasi, broker, penyedia angkutan dan pengaman usaha seringkali sebagai pengaman usaha adalah dari kalangan pejabat politik, aparat pemerintah, TNI, Polisi4.
Dalam
upaya untuk mengatasi tindakan perusakan hutan, jajaran aparat penegak hukum penyidik Polri maupun penyidik PPNS yang lingkup tugasnya bertanggungjawab terhadap pengurusan hutan, Kejaksaan dan Hakim telah mempergunakan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
persediaannya dengan tetap menjamin dan meningkatkan kuwalitas keanekaragaman nilainya. Lihat Alam Setia Zein, Ibid, hlm. 93-94. 4 Suryanto, et. al, Illegal Logging Sebuah Misteri dalam Sistem Pengrusakan Hutan Indonesia, (Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutananan Kalimantan - Indonesia, 2005), hlm. 9499.
Hayati dan Ekosistemnya. Dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagai instrumen hukum untuk penanggulangan tindak pidana kehutanan. Kebijakan baru atau reformulasi dari suatu kebijakan tidak hanya berangkat dari fakta-fakta kerusakan hutan (degradation)5 dan menurunnya fungsi-fungsi hutan (deforestration),6
sebagai akibat dari kebebasan individu-
individu atau korporasi, bahkan potensi keikutsertaan dari komponen personal pemangku kebijakan dari pemerintah atau negara ikut serta dalam pelanggaran hukum khususnya perbuatan perusakan hutan. Bagaimana bisa berharap jika dari pemangku kebijakan sampai pelaksana kebijakan dari suatu peraturan perudangundangan sebelumnya tidak menimbulkan efek jera akibat dari kurang efektifnya sumber hukum matriel. Dalam pengkualifikasian dari delik-delik pidana yang terdapat dalam peraturan perundangan-undangan sebelumnya bagi seseorang, sehingga mereformulasikan kebijakan hukum pidana tidak hanya melihat peraturan sebelumnya saja, akan tetapi lebih dari itu seperti bagaimana kebijakan politik dari orang-orang yang berkepentingan terhadap sumber daya hutan, apakah kepentingan pribadi atau orang lain bahkan keuntungan bagi korporasi. Dengan kata lain kebijakan hukum pidana sebelumnya tidak mampu menampung atau mengakomodir tindakan-tindakan kebaruan tindak pidana perusakan hutan, dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013
5
tentang
Degradation adalah penyusustan luas produktivitas dan fungsi hutan atau daya dukung lahan merosot akibat kegiatan yang tidak sesuai denngan ketentuan jenis pengelolaan hutan yang ditetapkan, lihat Alam Setia Zein, ibid., hlm. 40 6 Deforestation adalah setiap perubahan yang terjadi di dalam ekosistem hutan sehingga menyebabkan mundurnya nilai dan fungsi hutan. Lihat Alam Setia Zein, Op.cit, hlm. 91.
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, sebagai salah satu tindakan preventif berupa pencegahan terhadap perusakan hutan dan tindakan represif yakni penegakan hukum dengan konsekuensi pidana yang lebih tegas. Selain dari itu reformulasi dari kebijakan hukum pidana sebagai salah satu dari bagian pembangunan nasional adalah pembaharuan dibidang hukum yang secara menyeluruh dan terpadu baik hukum pidana, hukum perdata maupun hukum administrasi negara yang meliputi juga hukum formil maupun hukum materielnya. Dalam hal ini akan dibahas kebijakan hukum pidana dibidang kehutanan, meskipun pada dasarnya kebijakan hukum pidana tidak terlepas dari kebijakan dari pembidangan hukum-hukum yang lainya. Seperti bagaimana norma-norma hukum yang hidup dimasyarakat yang terkena efek dari pengerusakan hutan itu, sebagai akibat dari lemahnya penegakan hukum oleh pemerintah dalam menjaga perlindungan dan kesejahteraan masyarakat. Dimana masyarakat sangat bergantung pada hasil hutan dengan cara-cara yang sederhana dan menjaga dari sumber hasil pendapatan mereka. Hukum berfungsi untuk mengendalikan masyarakat dan bisa juga menjadi sarana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat7. Dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief” pembaharuan hukum pidana tidak hanya menyangkut masalah substansinya saja, akan tetapi selalu berkaitan dengan nilai-nilai yang ada, untuk itu dalam pandangannya beliau menyatakan bahwa : “Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sosio politik, sosio filosofik dan sosio kultural masyarakat
7
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996, hlm. 189.
Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.“ 8 Satjipto Raharjo sebagaimana pendapatnya yang dikutip oleh Nyoman Sarikat
Putra
Jaya9
mengatakan
bahwa;
proses
penegakan
hukum
itu
menjangkau pula sampai pada tahapan pembuatan hukum atau perundangundangan. Perumusan pikiran pembuat Undang-undang yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu nanti dijalankan. Hukum pidana materiil, dilihat dari sudut dogmatis-normatif, menurut Barda Nawawi Arief bersubstansikan pada 3 (tiga) masalah pokok dari hukum pidana, maksudnya hukum pidana materiel terletak pada masalah mengenai yang saling berkait yaitu10 : 1. 2. 3.
Perbuatan apa yang sepatutnya dipidana Syarat apa yang seharusnya dipenuhi untuk mempersalahkan/mempertanggung-jawabkan seseorang melakukan perbuatan itu; dan Sanksi/pidana apa yang sepatutnya dikenakan pada orang tersebut.
Kebijakan hukum pidana pada hakekatnya mengandung politik hukum negara dalam mengatur dan membatasi kekuasaan, baik kewenangan masyarakat pada umumnya untuk bertindak dan bertingkah laku maupun kekuasaan atau kewenangan penguasa atau aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, memastikan bahwa masyarakat taat dan patuh pada aturan hukum
8
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 28. 9 Nyoman Sarikat Putra Jaya, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Undip, Semarang, 2000, hlm. 23. 10 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana Edisi Revisi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 136.
yang telah ditetapkan. Kebijakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri atas tiga tahapan yakni : a. Tahap kebijakan legislatif/formulatif b. Tahap kebijakan yudikatif/aflikatif; dan c. Tahap kebijakan eksekutif/administratif Berdasarkan tiga uraian tahapan penegakan hukum pidana tersebut terterkandung di dalamnya terdapat tiga kekuasaan atau kewenangan, yaitu kekuasaan legislatif berwenang dalam hal menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok dalam hukum pidana meliputi, perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan atau pertanggungjawaban pidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh pembuat undang-undang. Kekuasaan yudikatif merupakan kekuasaan dalam hal menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum atau pengadilan.
Kekuasaan eksekutif dalam melaksanakan hukum pidana oleh
aparat pelaksana/eksekusi pidana. Kebijakan hukum pidana oleh Marc Ancel dan
G. Peter Hoefnagels dikutif oleh Hj. Rodliyah11 disebutkan “merupakan usaha rasional dan terorganisasi dari suatu kemasyarakatan untuk menaggulangi kejahatan, kebijakan kriminal merupakan pengaturan rasional dari reaksi sosial terhadap kejahatan” (criminal policy is the rational organization of the social re-
actions to crime). Mencakup beberapa bagian mengenai kriminal antara lain : 11
Rodliyah Hj., “Pembaharuan Hukum Pidana tentang Eksekusi Pidana Mati” Pokok-pokok Pikiran Revisi Undang-undang Nomor 2/Pnps/1964, CV. Arti Bumi Intara, Yogyakarata, 2011, hlm. 37.
1. Criminal policy is the science of response (kebijakan hukum pidana sebagai ilmu pertanggungjawaban) 2. Criminal policy is the science of prevention (kebijakan hukum pidana sebagai sebagai ilmu pencegahan) 3.
Criminal policy is a policy of designating human behavior as crime
(kebijakan hukum pidana adalah sebagai kebijakan yang mempelajari perilaku kejahatan manusia). 4. Criminal policy is a rational total of response to crime (Kebijakan hukum pidana sebagai keseluruhan pertanggungjawaban pidana).12 Sebagaimana diutarakan oleh Barda Nawawi Arief13 bahwa kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan (criminal policy) pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat modern, dalam menghadapi globalisasi serta adanya proses industrialisasi dan modernisasi akan menumbuhkan perubahan proses sosial dalam tata kehidupan masyarakat. Proses industrialisasi dan modernisasi, terutama industrialisasi kehutanan telah berdampak besar pada kelangsungan hutan sebagai penyangga hidup dan kehidupan mahluk di dunia. Hutan merupakan sumber daya yang sangat penting dan strategis tidak hanya sebagai sumber daya kayu, tetapi lebih sebagai salah satu komponen lingkungan hidup14. Pembangunan hutan berkelanjutan (sustainable forest) memerlukan upaya
yang
sungguh-sungguh
dalam
penanggulangan
dan
pencegahan
kerusakan hutan, sebagai akibat dari tindak pidana kehutanan atau perusakan
12 13
Ibid. hlm. 42
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, Cet. Ke-2, hlm. 73. 14 Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hlm. 6.
hutan tersebut, telah menimbulkan kerugian negara, kerusakan kehidupan sosial budaya dan lingkungan hidup yang sangat besar, serta telah meningkatkan pemanasan global (global warming), perubahan iklim (anomali iklim) yang telah menjadi permasalahan dan isu, baik nasional, regional, dan internasional. Dewasa ini tindakan perusakan hutan atau tindak pidana dibidang kehutanan semakin meluas dan mengalami permasalahan yang kompleks. Perbuatan perusakan hutan terjadi tidak hanya pada hutan dengan fungsi produksi, tetapi juga telah merambah ke hutan lindung ataupun hutan konservasi. Perusakan hutan demikian, telah berkembang menjadi suatu
perbuatan
kejahatan yang berdampak luar biasa (exstra ordinary crimes) dan sebagai kejahatan yang terorganisir (orgenaized crimes), melibatkan multi pihak, baik nasional, regional maupun internasional. Dalam melakukan pencegahan perusakan hutan, sunggu telah lama dilakukan, namun terdapat kendala yang disebabkan antara lain, oleh peraturan perundang-undangan yang ada belum secara tegas mengatur tindak pidana perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi dan kompleksitas kehidupan sosial ekonomi, budaya dan politik. Oleh karena itu diperlukan landasan hukum yang konprehensif dan tegas dalam bentuk Undang-undang agar perusakan hutan terorganisasi dapat ditangani secara efektif dan efisien, serta memberikan efek jera bagi pelaku perusakan hutan. Kerusakan yang ditimbulkan tersebut, telah
mencapai
pada
tingkat
yang
sangat
mengkhawatirkan
bagi
keberlangsungan kehidupan berbangsa dan negara. Oleh karena itu, upaya
penanganan terhadap tindak pidana kehutanan atau perusakan hutan, juga harus dilakukan secara luar biasa (esxtra ordinary). Kebijakan formulasi hukum pidana yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, lahir sebagai jawaban terhapap adanya kelemahan-kelemahan pengaturan hukum tindak pidana kehutanan atau ketidak epektifan dari Undang-undang sebelumnya untuk mengatasi permasalahan tindak pidana kehutanan atau perbuatan perusakan hutan. Berdasarkan pada pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, upaya pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, dikharapkan dapat dilakukan upaya penanggulangan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan tentu dengan mengedepankan asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum serta keberlanjutan, tanggungjawab negara, partisipasi masyarakat, tanggung gugat, prioritas, serta keterpaduan dan koordinasi. Dalam pembentukan Undang-undang ini, memiliki aspek pencegahan dan pemberantasan atau aspek represif, juga mempertimbangkan aspek restoratif, yang bertujuan untuk15 : a. Memberikan payung hukum yang lebih tegas dan lengkap bagi aparat penegak hukum untuk melakukan pemberantasan perusakan hutan sehingga mampu memberi efek jera bagi pelakunya. b. Meningkatkan kemampuan dan koordinasi aparat penegak hukum dan
15
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5432.
pihak-pihak terkait melalui lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan dalam upaya pemberantasan perusakan hutan. c. Meningkatkan peran masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan terutama sebagai bentuk kontrol sosial pelaksanaan pemberantasan perusakan hutan d. Mengembangkan kerja sama internasional dalam rangka pemberantasan perusakan hutan secara bilateral, regional, ataupun multilateral e. Menjamin keberadaan hutan secara berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian dan tidak merusak lingkungan serta ekosistem sekitarnya guna mewujudkan masyarakat sejahtera. Penanganan Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang optimal harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa (exstra ordinary), salah satunya dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, didalamnya mengamanatkan pembentukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H), lembaga khusus ini memiliki kewenangan tugas dan fungsi dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Lembaga khusus anti perusakan hutan ini, selain
melakukan
upaya pencegahan,
memiliki
kewenangan
juga dalam
melakukan pemberantasan atau penindakan terhadap tindak pidana perusakan hutan yang bersifat umum maupun terorganisir, baik dari perbuatan langsung, tidak langsung, maupun perbuatan yang terkait lainnya dengan perusakan hutan. Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) dengan kewenangan tugas dan fungsi pemberantasan dengan penegakan hukum yang konprehensif melalui penyelidikan dan penyidikan, penuntutan dan proses peradilan yang cepat dan terintegrasi, kewenangan
LP3H ini juga
adalah
memiliki fungsi koordinasi dan supervisi terhadap lembaga lain yang menangani tindak pidana dibidang kehutanan atau perusakan hutan.
Berdasarkan
pada
uraian
latar
belakang
di
atas,
penelitian
ini
menitikberatkan kajian permasalahan berkaitan dengan kebijakan formulasi hukum
pidana
dalam
penanggulangan
tindak
pidana
kehutanan
dan
permasalahan mengenai Kewenangan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H)
berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013
tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, hal ini dimaksudkan untuk dapat memberikan pemikiran dan pemahaman mengenai kebijakan hukum yang dilakukan pemerintah dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan.
B. Rumusan Permasalahan Dalam rangka untuk penanggulangan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan atau tindak pidana kehutanan menjadi sangat penting, agar lebih memahami perkembangan atau kebaruan mengenai permasalahan hukum khususnya dibidang kehutanan yang terjadi dewasa ini. Berdasarkan pada latar belakang di atas, dirumuskan kajian permasalahan berkaitan dengan penelitian tesis sebagai berikut : 1. Bagaimanakah
Kebijakan
Formulasi
Hukum
Pidana
dalam
penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan berdasarkan Undangundang
Nomor
18
Tahun
2013
tentang
Pencegahan
dan
Pemberantasan Perusakan Hutan.? 2. Bagaimanakah Kewenangan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk secara kritis menelaah dan mengkaji dengan memaparkan landasan konseptual dan teoritis sehingga dapat memperoleh jawaban dengan permasalahan tindak pidana kehutanan atau perusakan hutan di Indonesia. Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah :
a. Menganalisis berkaitan Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Tindak Pidana Kehutanan berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. b. Mengkaji Kewenangan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) dalam penanggulangan
tindak pidana
kehutanan berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
D. Manfaat Penelitian Bertitik tolak dari tujuan penelitian atau penulisan tesis ini, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, berguna dan memberikan kontribusi positif bagi banyak pihak yang berkepentingan, baik secara teoritis maupun praktis antara lain manfaat tesebut adalah : 1.
Secara teoritis Manfaat penelitian ini sangat diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum pidana dan hukum lainya khususnya mengenai ikhwal kebijakan hukum pidana dalam
penanggulangan
tindak
pidana
kehutanan,
pemberantasan
perusakan hutan atau penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana indonesia, selain itu berguna untuk membangun pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan pengembangan ilmu hukum pidana
pada khususnya, terutama berkaitan dengan penanggulangan
tindak
pidana kehutanan.
2.
Secara praktis Penelitian ini secara praktis dapat memberikan manfaat sebagai bahan masukan bagi lembaga atau instansi, atau pihak-pihak yang berkepentingan, aparat penegak hukum khususnya (Penyidik, Jaksa dan Hakim) dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system), dalam upaya
penanganan,
mengambil
atau
menerapkan
hukum
dalam
penanggulangan tindak pidana kehutanan, atau perbutan perusakan hutan. Bagi aparat penegak hukum dan seluruh elemen terkait (stake
holders) dapat menjadi masukan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
E. Ruang Lingkup Penelitian Pembatasan ruang lingkup dalam penelitian ini untuk menjaga agar penelitian
ini
tidak
membias
dari
isu hukum normatif, atau
pokok
permasalahan yang diangkat, yaitu berkaitan dengan kebijakan hukum dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Permasalahan hukum dalam penanggulahan tindak pidana kehutanan atau perusakan hutan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, terdapat 2 (dua) pokok pemasalahan yaitu : 1. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan dan, 2. Kewenangan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) dalam penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan.
Berdasarkan dari fokus permasalahan dan tujuan dari penelitian ini, tampak secara jelas bahwa penelitian ini bergerak pada upaya penggalian serta pemahaman akan arti tujuan hukum yakni :
1. Keadilan Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar. John Rawls, menyatakan bahwa "Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran" . Tapi, menurut kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai : "Kita tidak hidup di dunia yang adil"16
Kebanyakan orang percaya bahwa
ketidakadilan harus dilawan dan dihukum, dan banyak gerakan sosial dan 16
http://id.wikepedia.org/wiki/ keadilan, John Rawls, A Theory of Justice (revised edn, Oxford: OUP), 1999, diposting pada 20 Nopember 2014.
politis diseluruh dunia yang berjuang menegakkan keadilan. Adalah “wujud kemauan yang sifatnya tetap dan terus menerus, untuk memberikan apa yang menjadi hak setip orang”17.
Keadilan intinya adalah meletakkan
segala sesuatunya pada tempatnya.
2. Kemanfaatan Pada prinsipnya tujuan hukum hanyalah untuk menciptakan kemanfaatan
atau
kebahagiaan
memasukkan ajaran moral
praktis
untuk
masyarakat.
Aliran
utilitis
yang menurut penganutnya adalah
semata-mata untuk memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan yang sebesar-besarnya warga masyarakat. Bahwa negara dan hukum sematamata ada untuk memberikan manfaat sejati. Jeremy Bentham kemudian terkenal dengan motonya “the greatest happinnes of the greetest
numbers” (kebahagiaan yang terbesar, untuk kebahagiaan semua orang).18
3. Kepastian Kepastian hukum secara normatif adalah suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) dan logis dalam artian menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga 17
Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal theory ) dan Teory Peradilan (judicial prudence) termasuk interpretasi Undanag-undang (legis prudence), edisi pertama, Cet. Kedua, Kharisma Putra Utama, Jakarta, 2009, hlm. 221. 18 Ibid., hlm. 272 – 273.
tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Kepastian hukum merupakan keadaan dimana perilaku manusia, baik individu, kelompok, maupun organisasi, terikat dan berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum. Secara etis, pandangan seperti ini lahir dari kekhawatiran yang dahulu kala pernah dilontarkan oleh Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya
(homo hominilupus). Manusia adalah makhluk yang beringas yang merupakan suatu ancaman. Untuk itu, hukum lahir sebagai suatu pedoman untuk menghindari jatuhnya korban. Konsekuensi dari pandangan ini adalah bahwa perilaku manusia secara sosiologis merupakan refleksi dari perilaku yang dibayangkan dalam pikiran pembuat aturan Adalah “Scerkeit
des Recht Selbst” (kepastian tetang hukum itu sendiri)19
F. KERANGKA TEORITIK Teori hukum normatif yang merupakan orientasi dalam studi ini menggunakan beberapa pemikiran atau konstruksi, kritik dan sistematik sebagai kerangka teori dalam mengembangkan permasalahan penelitian dan menjawab setiap permasalahan hukum yang menjadi pokok bahasan dalam kajian penelitian tesis ini, adapun teori-teori yang digunakan adalah sebagai berikut : 19
Ibid., hlm. 292.
1. Teori Perlindungan Hukum Kehadiran hukum dalam suatu kekuasaan negara diorientasikan untuk menjaga tertib kehidupan masyarakat dan melindungi berbagai hak dan kewajiban yang tumbuh dan berlaku disuatu negara. Dalam pandangan
Jhon
Locke
bahwa
“kekuasaan
tersebut
justru
untuk
melindungi hak-hak kodrat, dari bahaya yang mengancam, baik yang datang dari dalam maupun dari luar”.20 Sebagai pemegang kedaulatan, maka negara harus mampu memberikan perlindungan bagi kehidupan warga negaranya, baik dalam hukum publik maupun hukum privat. Bukan sebaliknya, negara bardaulat dapat bertindak sewenang-wenang atas warga negaranya. Sehingga kedaulatan negara dengan hukumnya dapat mewujudkan keadilan
(rechtsgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutilitiet) dan kepastian hukum (rechtszekerheid). Menurut muchsin21, perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidahkaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan untuk menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup manusia. Atas dasar itu, maka perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek
20
Satjipto Rahardjo, Teori Hukum Strtegi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 72. 21 Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum Bagi Investor di Indonesia, Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Uniersitas Sebelas Maret, Surakarta, 2003, hlm. 14.
hukum
melalui
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku
dan
dipaksakan pelaksanaanya melalui sanksi. Konsep teori perlindungan hukum sangat terkait dengan pemerintah atau negara, karena pemerintah atau negara sebagai titik sentralnya. Oleh karena itu, terbentuklah 2 (dua) bentuk perlindungan hukum, yaitu : a. Perlindungan hukum preventif perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan ramburambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban. b. Perlindungan hukum reresif perlindungan hukum refresif merupakan perlindungan hukum akhir yang berupa sanksi, seperti denda penjara dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.22 Berdasarkan itu, perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah
terjadinya
sengketa
atau
permasalahan.
Sementara
perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Seperti halnya perlindungan hukum dalam peradilan umum dan peradilan administrasi ke dalam perlindungan hukum represif. Konsep perlindungan hukum pun sangat terkait erat dengan fungsi hukum sendiri. Mochtar Kusuma Atmaja menguraikan fungsi hukum sebagai berikut : “Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Mengingat fungsinya sifat hukum, pada dasanya adalah konservatif, artinya hukum bersifat memelihara dan memepertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang yang 22
Ibid, hlm. 20.
membangaun, yang dalam definisi kita berarti masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak memiliki fungsi demikian saja. Ia juga harus membantu proses perubahan masyarakat itu. Pandangan yang konservatif tentang hukum yang menitikberatkan pada fungsi pemeliharaan ketertibaan dalam arti statis, dan sifat konservatif hukum, menganggap bahwa hukum tidak dapat memainkan suatu peranan yang berarti dalam proses pembaruan”.23 Pandangan atau konsepsi yang lebih luas di atas menunjukkan kekuatan hukum yang dinamis dalam mengatur tertib hukum bagi suatu masyarakat. Hukum tidak saja mengedepankan aspek-aspek represif dalam penegakannya, tetapi peka dan sensitif atas perkembangan yang sedang berlaku dalam masyarakat sehingga tindakan preventifnya dapat dirumuskan
dalam
peraturan
perundang-undangan,
sehingga
pada
akhirnya, hukum dapat menjadi penyangga kehidupan manusia.
2. Teori Keadilan Keadilan
menurut
Plato,
mengemban fungsi “menyelaraskan”
Herman
Bakir24,
dan “menyeimbangkan”
hal itu
seperti
dikutif
berbunyi sebagai berikut : Keadilan merupakan besaran-besaran atau aset-aset (virtues) tertentu yang akan membuat kondisi kemasyarakatan menjadi selaras (mengharmonikan) dan seimbang. Keadilan yang dimaksudkan adalah besaran yang bersumber dari dalam jiwa tiaptiap masyarakat manusia itu sendiri, yang pada dirinya tidak dapat di pahami, dikreteriakan atau tidak dapat diekspesitkan (dijabarkan) melalui argumentasi-argumentasi (dirasionalkan). Kita tidak dapat berkharap banyak dengan tercapainya keadilan bila hanya mengandalkan kebijaksanaan dari para pilsuf dan doktrindoktrin mereka, sebab dalam memahami keadilan mereka kerapkali 23
Hasan Basri, Op.cit., hlm. 83 Herman Bakir, Filsafat Hukum Desain dan Arsitektur Kesejarahan, Refika Aditama, Cet. Pertama, Bandung, 2007, hlm. 177. 24
terjebak dalam keadaan dimana mereka memandang hukum hanyalah sekedar materi bertempramen spritual (mistik). Bahwa untuk dapat memahami lebih jauh tentang bekerjanya keadilan dalam jiwa tiap-tiap individu manusia, Plato menelaah sifat manusia dalam konteks yang sangat luas, yakni dalam kaitannya dengan sebuah “Negara Kota” 25 disebutkan : 1. Di dalam suatu masyarakat yang adil, tiap warganya harus dapat memainkan perannya (fungsi kemasyarakatannya) yang paling sesuai dengan dirinya demikian juga halnya, dalam aset-aset ekonomi perorangan. 2. Keadilan hanya akan menjadi pemenang ketika akal (naluri) juga menang dan selera serta nafsu binatang semestinya diletakkan (dikendalikan) sedemikian rupa pada tempat sesuai tatanan masyarakat yang berkeadilan hanya akan dapat tercapai sepanjang akal manusia beserta keseluruhan prinsip-prinsip rasional lainnya dapat memandu penyelenggaraan dari elemenelemen masyarakat, selain itu yang tidak kalah penting. Masih dalam kaitanya dengan keadilan, dalam teori keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles”26. “Keadilan akan terjadi apabila kepada seseorang diberikan apa yang menjadi miliknya. Seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila orang yang mengambil lebih dari bagian semestinya. Orang yang tidak menghiraukan hukum juga adalah orang yang tidak adil, karena semua hal yang didasarkan pada hukum dapat dianggap adil. Jadi keadilan adalah penilaian dengan memberikan kepada siapapun sesuai dengan apa yang menjadi haknya, yakni dengan bertindak proporsional dan tidak melanggar hukum”.
25
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Cet. Kelima, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 167. 26
Ibid, hlm 178.
Dari orientasi ide keadilan tersebut, justru mengimplikasikan pada setiap permasalahan apapun yang timbul harus diselesaikan dengan berorientasi pada ide keadilan bukan paksaan. Permasalahan tindak pidana kehutanan atau tindak pidana perusakan hutan merupakan permasalahan keadilan yang harus diselesaikan berdasarkan ide keadilan yang bertumpu kepada tujuan hukum yaitu; keadilan hukum, kepastian hukum dan kemanfaatan yang akan mencapai tujuan pada perlindungan masyarakat
(soscial deffence) dan kesejahteraan masyarakat (social welfare). Kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian "kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana".
3. Teori Kebijakan Kriminal (Criminal Policy Theory) Kebijakan yang merupakan terjemahan dari kata policy atau beleid adalah merupakan sebuah instrument pemerintahan, bukan saja dalam arti
government
yang
hanya
menyangkut
aparatur
negara,
melainkan
governance yang menyentuh pengelolaan sumberdaya publik. Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan- pilihan yang secara langsung
mengatur
pengelolaan
dan
tindakan
pendistribusian
sumberdaya alam, keuangan dan sumberdaya manusia untuk kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat atau warga negara.
Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi bahkan kompetisi antara berbagai gagasan, teori, idiologi dan kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik suatu Negara27. Kata kebijakan seringkali digunakan dalam istilah kebijakan publik dan kebijakan sosial. Kedua istilah tersebut sering diartikan sama, namun sebenarnya kebijakan publik dan kebijakan sosial secara kontekstual adalah berbeda.
Kebijakan
publik
berorientasi
pada
penyusunan
kebijakan,
sedangkan kebijakan sosial berorientasi pada bidang telaah kebijakan. Secara maknawi kebijakan sosial dapat merupakan bagian dari kebijakan publik dan sebaliknya kebijakan publik merupakan bagian dari kebijakan sosial. Terkait dengan kebijakan sosial, maka kata sosial dapat diartikan baik secara generik pada pengertian umum mengenai bidang-bidang atau sektor pembangunan yang mencakup aspek manusia dalam kontek masyarakat atau kolektifitas. Istilah sosial dalam pengertian ini mencakup antara lain bidang pendidikan, kesehatan, politik, hukum, budaya, atau pertanian.
Dalam arti
spesifik atau sempit, kata sosial menyangkut sektor kesejahteraan sosial sebagai
suatu
bidang
atau
bagian
dari
pembangunan
sosial
atau
kesejahteraan rakyat yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia, terutama mereka yang dikategorikan sebagai kelompok yang tidak beruntung
(disad pantaged group) dan kelompok rentan (fuel merable
group).
27
hlm. 3
Edi Suharto, Kebijakan sosial Sebagai Kebijakan Publik, Alfa Beta, Bandung, 2007,
Beberapa ahli seperti Magil, Marshal, Rein, Huttma, Specker dan Hill
yang dikutif dari desertasi Lalu Parman mengartikan kebijakan sosial dalam kaitannya dengan kesejahteraan sosial yakni
28
:
1. Kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan publik (public policy). Kebijakan publik meliputi semua kebijakan yang berasal dari pemerintah seperti kebijakan ekonomi, transportasi, komunikasi, dan pertahanan keamanan (militer), serta fasilitasfasilitas umum lainnya serta fasilitas-fasilitas umum lainnya (magil 1986). 2. Kebijakan sosial adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tindakan yang memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan warga negara melalui penyediaan pelayanan sosial atau bantuan keuangan (Marshal, 1965) 3. Kebijakan sosial adalah perencanaan untuk mengatasi biaya-biaya sosial, peningkatan pemerataan dan pendistribusian pelayanan dan bantuan sosial (Rein, 1970) 4. Kebijakan sosial adalah strategi-strategi, tindakan-tindakan atau, 5. Kebijakan sosial adalah kebijakan yang berkaitan dengan kesejahteraan (welfare) baik dalam arti luas yang menyangkut kualitas hidup manusia, maupun dalam dalam arti sempit yang menunjuk pada beberapa jenias pemberian pelayanan kolektif tertentu guna melindungi kesejahteraan rakyat (specker, 1995) 6. Kebijakan sosial adalah studi mengenai peranan negara dalam kaitannya dengan kesejahteraan warganya (Hill, 1996)
Berkenaan dengan upaya yang dilakukan dalam menyelesaikan masalah sosial dalam rangka mencapai kesejahteraan sosial, maka istilah kebijakan digunakan sebagai suatu istilah yang bermakna dan berorientasi secara khusus dalam mengatasi salah satu masalah sosial yaitu kejahatan. Kejahatan sebagai problem sosial dapat merintangi kemajuan untuk mencapai kualitas hidup yang pantas bagi semua orang, untuk itu
28
Lalu Parman, Op.cit, hlm. 71
pencegahan kejahatan harus didasarkan pada sebab-sebab dan kondisikondisi yang menimbulkan kejahatan. Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) atau dikenal dengan istilah politik kriminal pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, dapat dikatakan tujuan akhir dari atau tujuan utama politik kriminal ialah perlindungan
masyarakat
untuk
mencapai
kebahagiaan
masyarakat
(happines of the citizen), kehidupan kultural yang sehat dan menyegarkan (a whole some and cultural living), kesejahteraan masyarakat (social
welfare) atau untuk mencapai keseimbangan (equality).29 Pembaharuan hukum pidana menurut Barda Nawawi Arief30 adalah menuntut adanya penelitian dan pemikiran terhadap masalah sentral yang sangat fundamental dan strategis, termasuk dalam klasifikasi masalah yang demikian antara lain masalah kebijakan dalam menetapkan atau merumuskan suatu perbuatan yang merupakan perbuatan pidana dan sanksi yang dapat dikenakan. Kebijakan kriminal menurut Marc Ancel31 adalah sebagai “The
rational organization of the control of crime by society”, sedangkan G. Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa, “Criminal policy is the rational 29
Ibid, hlm. 81 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Balai Penerbitan Undip, Semarang, 1996, hlm. 3. 30
31
Barda Nawawi Arief., Op.cit,. hlm. 27
organization of the social reactions to crime ”. terdapat tiga arti kebijakan kriminal dengan mengatakan bahwa “Politik kriminal” ini dapat diberi arti sempit, lebih luas dan paling luas. Dalam arti sempit, politik kriminal itu digamabarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana, dalam artian yang lebih luas, ia merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan, jaksa dan penyidik, dalam artian yang paling luas ia merupakan keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat”. Kebijakan kriminal merupakan usaha yang rasional dari masyarakat untuk mencegah kejahatan dan mengadakan reaksi terhadap kejahatan. Usaha yang rasional itu merupakan konsekuwensi logis, sebagai masalah yang termasuk masalah kebijakan, maka penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak
merupakan
suatu
keharusan. Tidak
ada
kemutlakan dalam bidang kebijakan karena pada hakekatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalah kebijakan penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif.
Kebijakan kriminal pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial. Usaha penanggulangan kejahatan, dapat dijabarkan
32
:
1. Pencegahan penanggulangan kejahatan, harus menunjang tujuan (goal), social welfare, dan social defence. Dimana aspek social welfare dan social defence yang sangat penting adalah aspek kesejahteraan dan perlindungan masyarakat yang bersifat immaterial, terutama nilai kepercayaan, kebenaran, kejujuran/keadilan. 2. Pencegahan penanggulangan kejahatan dilakukan dengan “pendekatan integral” ada keseimbangan sarana “penal” dan “non penal”. 3. Pencegahan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal atau “penal law enforcement policy” yang fungsionalisasi/operasionalisasinya melalui beberapa tahap : (1) Formulasi (kebijakan legislatif). (2) Aplikasi (kebijakan yudikatif). (3) Eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).
Melaksanakan
politik
kriminal
antara
lain
berarti
membuat
perencanaan untuk masa yang akan datang dalam menghadapi atau menanggulangi masalah yang berhubungan dengan kejahatan. Termasuk dalam perencanaan itu ialah di samping merumuskan perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, juga menetapkan sanksisanksi apa yang diterapkan terhadap si pelanggar atau pelaku yang melekukan perbuatan pidana. Kebijakan integral penanggulangan kejahatan terlihat bahwa untuk mencapai tujuan akhir tersebut ditempuh dengan dua kebijakan yaitu; kebijakan sosial (social policy) 32
dan kebijakan kriminal (criminal policy)
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, Undip, Semarang, 2000.
yang merupakan bagian dari kebijakan sosial itu sendiri. Dalam hal penaggulangan kejahatan atau politik kriminal digunakan pula dua kebijakan,
yaitu
dengan
menggunakan
kebijakan
menggunakan sanksi pidana dan kebijakan non penal
33
penal,
dengan
. Apabila berbagai
cara tidak mampu mengendalikan perbuatan negatif masyarakat, baru
penal
sarana
difungsikan
menjadi
“ultimum
remidium”
untuk
menanggulangi kejahatan, melalui kriminalisasi dan dekriminalisasi.
4. Teori Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy Theory) Istilah kebijakan hukum pidana disebut juga dengan istilah politik hukum pidana. Dalam kepustakaan asing juga digunakan istilah penal
policy, criminal law policy atau strafrechtpolitiek. Untuk mengartikan istilah kebijakan hukum
pidana
atau
politik
hukum
pidana
dilihat dari sudut pandang politik hukum atau dari sudut pandang
dapat politik
kriminal. Menurut Satjipto Rahardjo politik hukum adalah aktifitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Dalam studi politik hukum ada beberapa pertanyaan mendasar yaitu : 1. Tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang ada;
33
Siswanto Sunarso, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 8.
2. Cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik untuk dipakai dalam mencapai tujuan tersebut; 3. Kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu diubah; dan 4. Dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu dalam memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik34.
Mahfud M.D., mengartikan politik hukum sebagai arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara. Dapat juga dikatakan bahwa politik hukum merupakan upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian tujuan
negara.
Selain
itu
politik
hukum juga merupakan jawaban atas pertanyaan tentang mau diapakan hukum itu dalam perspektif formal kenegaraan guna mencapai tujuan negara. Dalam pengertian ini, pijakan utama politik hukum nasional adalah tujuan negara yang kemudian melahirkan sistem hukum nasional yang harus dibangun dengan pilihan isi dan cara-cara tertentu.35 Lebih lanjut Mahfud MD., menjelaskan bahwa politik hukum mengandung dua sisi yang tak terpisahkan yakni sebagai arahan pembuatan hukum atau legal policy lembaga-lembaga
negara
dalam
pembuatan
hukum
dan
sekaligus
34
Satjipto Rahardjo, Op Cit, hlm. 352. Mahfud M. D., Membangun Politk Hukum Menegakkan Konstitusi, Jakarta, 2010, hlm. 15-16. 35
Rajawali Pers,
sebagai alat untuk menilai dan mengkritisi apakah sebuah hukum yang dibuat sudah sesuai atau tidak dengan kerangka pikir legal policy tersebut untuk mencapai tujuan negara. Berdasarkan pengertian-pengertian politik hukum tersebut, maka sebagai bagian dari politik hukum, kebijakan hukum pidana adalah bagaimana mengusahakan
atau
membuat dan
merumuskan suatu
peraturan perundang-undangan hukum pidana yang baik yang sesuai dengan kebutuhan dan keadaan di masa yang akan datang. Secara substansi penyusunan kebijakan hukum pidana dimulai dengan proses kriminalisasi dan/atau proses dekriminalisasi. Dilihat dari perspektif kebijakan hukum pidana, kriminalisasi hakikatnya adalah merupakan kebijakan untuk
“mengangkat/menetapkan/menunjuk” suatu
perbuatan yang semula tidak merupakan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana. Peter G. Hoefnagels menyatakan bahwa “criminal policy is a
policy of designating human behavior as crime” kebijakan dalam menetapkan perilaku manusia sebagai suatu kejahatan atau tindak pidana. Untuk
melakukan
kriminalisasi
haruslah
didahului
oleh
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut : a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional; b. Penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;
c. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulagi harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki karena perbuatan tersebut mendatangkan kerugian bagi masyarakat; d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefid principale).36 Kebijakan dirumuskan
formulasi
dalam
perbuatan
rumusan
yang
hendak
undang-undang
dilarang pidana
dapat dengan
menjadikannya suatu perbuatan pidana. Konsep perbuatan pidana atau tindak pidana yang diparalelkan dengan pengertian criminal act, mengalami pergeseran baik secara penetapannya. mewujudkan
Kebijakan peraturan
substansi
hukum
pidana
maupun merupakan
perundang-undangan
pidana
prosedur usaha
untuk
yang
sesuai
dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang. Kata “sesuai” dalam pengertian tersebut mengandung makna “baik” dalam memenuhi syarat keadilan dan dayaguna37. Pendekatan kebijakan mencakup pengertian yang saling terkait antara pendekatan yang berorientasi pada tujuan, pendekatan yang rasional, pendekatan ekonomis dan fragmatis, serta pendekatan yang berorientasi pada nilai.38 Kebijakan penegakan hukum
pidana
merupakan
serangkaian
proses yang terdiri dari tiga tahap kebijakan yaitu :
36
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Op. cit, hlm. 18. Aloysius Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1999, hlm. 11. 38 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, 1994, hlm. 61. 37
a. Tahap kebijakan legislatif yaitu menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh badan pembuat undang-undang. b. Tahap kebijakan yudikatif yaitu menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. c. Tahap kebijakan eksekutif yaitu melaksanakan hukum pidana secara kongkrit, oleh aparat pelaksana pidana.39
Pada tahap kebijakan legislatif ditetapkan sistem pemidanaan, maka pada hakekatnya sistem pemidanaan itu merupakan sistem kewenangan atau kekuasaan menjatuhkan pidana. Pidana tidak hanya dapat dilihat dalam arti sempit atau formal, tetapi juga dapat dilihat dalam arti luas atau material. Dalam arti sempit atau formal, penjatuhan pidana berarti kewenangan menjatuhkan atau mengenakan sanksi pidana menurut Undang-undang oleh pejabat yang berwenang (hakim). Sedangkan dalam arti luas atau material, penjatuhan pidana merupakan mata rantai proses tindakan hukum dari pejabat yang berwenang, mulai dari proses penyidikan, penuntutan, sampai pada putusan pidana dijatuhkan oleh pengadilan dan dilaksanakan oleh aparat pelaksana pidana. hukum
pidana
Hal ini merupakan satu kesatuan sistem penegakan yang
sistem/proses/kewenangan
integral.
Oleh
penegakan
karena
hukum
itu
pidana
keseluruhan itupun
harus
terwujud dalam satu kesatuan kebijakan legislatif yang integral. Mengingat
pentingnya
pemidanaan
sebagai
sarana
untuk
mencapai tujuan yang lebih besar yaitu perlindungan masyarakat (social 39
Barda Nawawi Arief, Op.,Cit, hlm. 18-19.
defence) dan kesejahteraan masyarakat (social welfare), perlu diperhatikan juga
berkaitan
denngan
teori-teori
penjatuhan
pidana
atau
teori
pemidanaan, yakni : 1. Teori absolut atau “vergeldings theorie” adalah teori yang mempunyai ajaran bahwa yang dianggap sebagai dasar dari pidana ialah sifat “pembalasan” (vergelding or vergeltung). Diantara penganut teori ini
Immanuel
adalah
Kant
yang
memandang
pidana
sebagai
“kattegorische imperatief” yakni; seseorang harus dipidana oleh hakim karena ia telah melakukan kejahatan, sedangkan Hegel berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi adanya kejahatan. Menurut Andeanes bahwa tujuan utama (primair) menurut teori ini adalah untuk memuaskan tuntunan keaslian (to satisfy the
clims
of
justice)
sedangkan
menguntungkan adalah sekunder.40
pengaruh-pengaruhnya
yang
Aliran ini berpendapat bahwa
pidana adalah pembalasan, pemberian pidana dapat dibenarkan, karena telah menjadi suatu kehajahatan yang telah menggoncangkan masyarakat. Kejahatan adalah perbuatan yang telah menimbulkan penderitaan
anggota
masyarakat
lainnya,
sehingga
untuk
mengembalikan keadaan seperti semula, maka penderitaan itu harus dibalas dengan penderitaan pula yaitu pidana (nestapa) terhadap pelaku.
40
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op-Cit, hlm. 11.
2. Teori relatif atau teori tujuan (doel theorien) Menurut teori ini bahwa pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan. Penjatuhan pidana dimaksudkan tidak untuk memuaskan tuntutan absolut (pembalasan) dari keadilan, tetapi pembalasan itu sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat, teori itu disebut : a. Teori perlindungan masyarakat (the theory of social defence) b. Teori reduktif ( untuk mengurangi frekuensi kejahatan); atau c. Teori tujuan (utilitarian theory), pengimbalan mempunyai tujuan tertentu yang bermanfaat.41 Aliran ini menurut Koeswadji menafsirkan tujuan pokok dari pemidanaan, adalah untuk : 1. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (de handhaving van de
maatshappelijke orde). 2. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari terjadinya kejahatan (het herstel van het door de misdaad
onstance maatshappelijke nadeed). 3. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering van de dader). 4. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijke maken van de
misdadinger). 5. Untuk mencegah kejahatan (ter voorkoMing van de misdaad).42 . 41 42
Ibid, hlm. 12. Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, Citra Aditya, Bandung, 1993, hlm. 12.
3. Teori gabungan antara teori absolut dan teori relatif. Teori ini menggunakan kedua teori di atas atau gabungan dari teori
absolut
pertimbangan
dan
relatif
bahwa kedua
sebagai teori
dasar tersebut
pemidanaan, memiliki
dengan
kelemahan-
kelemahan : 1. Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus yang segera melaksanakan. 2. Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukuman berat, kepuasan masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat, dan mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan43. Dalam teori ini diperhitungkan adanya pembalasan, prevensi general, serta perbaikan sebagai tujuan pidana.
Dalam penelitian ini akan lebih ditekankan mengenai teori relatif atau teori utilitarianisme dari Jeremy Bentham. Pokok aliran utilitarian ini mangatakan bahwa “suatu tindakan mempunyai nilai moral apabila tindakan tersebut memberikan konsekuensi yang baik pada orang-orang lain sebanyak banyaknya”.44
43 44
Ibid. hlm. 2
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum: Sejarah, Aliran dan Pemaknaan, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2006, hlm. 155.
Jeremy Bentham mengungkapkan esensi dari teori aliran utilitarianisme ini dengan semboyan : “the greatest happiness for the
greatest number”.45 Pemikiran yang mendasari aliran ini adalah bahwa pada akhirnya setiap perbuatan manusia itu haruslah dievaluasi guna meningkatkan
kesejahteraan
umum
atau
taraf
sosial
(sebagai
konsekuensi dari kebahagiaan/kemapanan/kepuasan yang telah dicapai oleh masyarakat mayoritas). Look to the future and promote human
welfare (melihat ke masa depan dan meraih kesejahteraan masyarakat), merupakan ajaran dari aliran utilitarianisme yang berhubungan dengan etika, namun secara formal ajaran ini dapat dilihat dari prinsip utilitas, yaitu : “of all the possible action open to you, perform that action with
the greatest tendency to bring about the balance of happiness over misery for mankind as a whole” (dari segala kemungkinan perbuatan yang
akan
dilakukan,
mengutamakan
lakukanlah
keseimbangan
mengesampingkan
penderitaan
perbuatan dari
bagi
tersebut
kebahagiaan umat
manusia
dengan dengan secara
menyeluruh).46 Ajaran utilitarianisme terkadang disebut dengan teori kebahagiaan terbesar yang
mengajarkan tiap manusia untuk meraih kebahagiaan
(kenikmatan) terbesar untuk orang banyak, karena kenikmatan adalah satu-satunya kebaikan intrinsik dan penderitaan adalah satu-satunya 45
Jeffrie G. Murphy dan Coleman Jules L, The phylosophy of law: An Introduction To Jurisprudence, Totowa NJ, Rowman & Allenheld, 1984, hlm. 74. 46 Ibid.
kejahatan intrinsik. Bagi Bentham, moralitas bukanlah persoalan menyenangkan Tuhan atau masalah kesetiaan pada aturan-aturan abstrak, melainkan adalah upaya untuk mewujudkan sebanyak mungkin kebahagiaan di dunia. Oleh karena itu, Bentham memperkenalkan prinsip moral tertinggi yang disebutnya dengan “asas kegunaan atau manfaat” (the principle of utility). Salah satu penganut teori ini adalah
Seneca yang terkenal dengan ucapannya ; “nemo prudens punit quia peccatum est, sed ne pecceter” (artinya : no reasonable man punishes because there has been a wrong doing, but in order that there should be no wrong doing = tidak seorang normal pun dipidana karena telah melakukan suatu perbuatan jahat, tetapi ia dipidana agar tidak ada perbuatan jahat). Johanes Andenaes menyebut teori ini juga sebagai teori pelindung masyarakat.47 Aliran ini menurut Koeswadji menafsirkan tujuan pokok dari pemidanaan, yaitu : 1) Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat; 2) Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari terjadinya kejahatan; 3) Untuk memperbaiki si penjahat; 4) Untuk membinasakan si penjahat; 5) Untuk mencegah kejahatan.48 Penerapan sanksi pidana atau pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana kehutanan atau tindakan perusakan hutan sebagaimana dalam
47 48
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit, hlm. 1. Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, Citra Aditya, Bandung, 1993, hlm. 12.
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan
adalah
untuk
menanggulangi
kejahatan
kehutanan dan mencapai tujuan pemidanaan atau politik kriminal pada masa-masa yang akan datang.
5. Teori Kewenangan (Authority Theory) Wewenang merupakan bagian penting dari aspek hukum, terutama segi hukum tata negara dan hukum administrasi negara, karena objek dari Hukum Tata Negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN) adalah berkaitan erat dengan wewenang atau kewenangan pemerintah dalam mengelola dan melaksanakan kekuasaan negara sehingga ruang lingkup wewenang pemerintah meliputi wewenang keputusan (beschikking) dan juga wewenang dalam rangka melaksanakan tugas serta pengaturan
(rechtgelling). Kewenangan (authority) berbeda dengan wewenang (competence) kewenangan merupakan kekuasaan formal, yang berasal dari kekuasaan legislatif atau dari kekuasaan eksekutif. Dalam hal kewenangan terdapat wewenang untuk melakukan kewenangan publik. Prajudi Admosudirjo49 memberikan pengertian wewenang
adalah
“kekuasaan terhadap golongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap
49
hlm. 78.
Pramuji Admosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994,
suatu bidang pemerintah dibidang urusan tertentu”. Secara teoritik kewenangan diperoleh melalui 3 (tiga) cara, yakni sebagai berikut : 1. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah pembuat Undang-undang kepada organ pemerintah.
oleh
2. Delegasi pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya. 3. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan dari satu pemerintahan mengizinkan kewenangannya di jalankan oleh organ lain atas namanya. Kewenangan atributif dalam arti yuridis wewenang kamampuan bertindak
yang
diberikan
oleh
Undang-undang
untuk
melakukan
hubungan-hubungan hukum, yakni hubungan yang dapat menimbulkan akibat hukum. Kewenangan delegasi adalah wewenang yang merupakan hak dan kekuasaan untuk pemerintah untuk menentukan atau mengambil kebijakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan kewenangan mandat (mandate) adalah suatu kekuasaan untuk mengambil keputusan dan kebijakan yang berkaitan dengan adanya hubungan
atasan
dan
bawahan
dalam
rangka
penyelenggaraan
pemerintahan.
G. Kerangka Konseptual Kerangka konseptual merupakan landasan konsep yang akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang di gunakan oleh
peneliti dalam penulisan ini. Konsep merupakan bagian penting dari rumusan teori. Kegunaan konsep pada dasarnya dalam penelitian adalah menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas. Pengertian konsep sendiri diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang yang khusus yang lazim disebut dengan definisi opersional. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua atau ganda dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu juga dipergunakan untuk memeberikan arah pada proses penelitian ini. Dalam penelitian ini terdapat 2 (dua) variabel pokok yaitu; Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dan Penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan.
1. Kebijakan Hukum Pidana 1.1. Kebijakan Dalam bukunya Barda Nawawi Arief” istilah kebijakan yang dalam bahasa Inggris “policy ”
atau “politiek”
Belanda sering disebut sebagai politik
dalam bahasa
yang berarti kebijakan.
Secara umum politik atau kebijakan dapat diartikan sebagai prinsipprinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum) dalam mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah
masyarakat
atau
bidang-bidang
penyusunan
peraturan perunndang-undangan dan pengaplikasian hukum atau
peraturan, dengan suatu tujuan umum yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara).50 1.2.
Kebijakan Hukum Terdapat banyak definisi menegenai kebijakan hukum atau politik hukum. Padmo Wahjono” mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk51. Sedangkan Teuku Mohammad Radhie52” mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan menegenai arah perkembangan hukum yang akan dibangun. Menurut ahli lain berpendapat Satjipto Raharjo53 yang di kutif dari tesis
Muhammad Aziz Hakim” medefinisikan politik hukum
sebagai aktifitas memilih cara yang hendak dipakai untuk memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dengan hukum tertentu yang cakupannya meliputi jawaban atas beberapa pertanyaan dasar, yaitu ; 1) tujuan apa yang hendak di capai melalui sistem yang ada; 2) cara-cara apa dan yang mana 50
1986.
51
Barda Nawawi Arif, Op-Cit, hlm. 23-24. Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Ghalilia Indonesia, Jakarta,
52
Teuku Mohammad Radhie, Pembaharuan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan
Nasional, Jakarta, 1973. 53
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1991.
yang dirasa paling baik yang dipakai dalam mencapai tujuan tersebut; 3) kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu diubah; 4) dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu dalam memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.
1.3.
Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Kebijakan formulasi hukum pidana merupakan istilah yang berasal dari politiek
dari Belanda dan policy
dari Inggris,
dari
istilah asing tersebut, maka istilah “politik hukum pidana” atau sering juga disebut dengan istilah “kebijakan hukum pidana” dalam kepustakaan asing istilah politik hukum pidana sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain; “penal policy” atau “criminal
law policy” atau “strafrechtspolitiek”.54 Sedangakan istilah formulasi atau
formula
merupakan
pembentukan,
penyusunan
atau
perumusan yang berkaitan erat dengan pengaturan atau disebut sebagai kebijakan legislatif atau formulatif.
2. Penanggulangan tindak pidana Penanggulangan merupakan kegiatan yang dilakukan dengan menggunakan sarana penal maupun non penal atau dikenal istilah upaya
54
Aloysius Wisnu Subroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penaggulangan Penyalahgunaan Komputer, Universitas Atmajaya Yogyakarta, 1999, hlm. 10
hukum litigasi dan upaya hukum non litigasi55. Kegiatan non penal dengan melakukan pencegahan dan pemberdayaan masyarakat. Penanggulangan kejahatan (criminal policy) atau penanggulangan tindak pidana dengan penggunaan sarana penal dilakukan dengan menggunakan sarana hukum pidana melalui penegakan hukum (law enforcement). istilah penegakan hukum dapat dipergunakan terjemahan dari echtshandhaving, yang dimaksud disini adalah hukum yang berkuasa dan ditaati melalui sistem peradilan pidana yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan56. Koesnadi Hardjosoemantri mengemukakan bahwa ada suatu pendapat yang keliru yang cukup meluas diberbagai kalangan,
yaitu
bahwa
penegakan
hukum
hanya
melalui
proses
pengadilan. Adapula pendapat yang keliru, seolah-olah penegakan hukum adalah semata-mata tanggung jawab aparat penegak hukum. penegakan hukum adalah kewajiban dari seluruh masyarakat dan untuk itu pemahaman
tentang
hak
dan
kewajiban
menjadi
syarat
mutlak.
Masyarakat bukan penonton bagaimana hukum ditegakkan akan tetapi masyarakat
berperan
dalam
penegakan
hukum57.
Andi
Hamzah
menyebutkan bahwa istilah penegakan hukum dalan Bahasa Indonesia, selalu diasosiasikan dengan force, sehingga ada yang berpendapat bahwa
55
Hermansyah, Buku Panduan Peran Serta Masyarakat Dalam Penegakan Hukum Bidang Kehutanan, EC-Indonesia Plegt Support Project Forest Law Enforcement, (Goverment Ang Trade) – Kementerian Kehutanan RI, Jakarta, 2010, hlm. 9. 56 Marjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta, 1999, hlm. 78-79. 57 Koesnadi Hardjosoemantri, Hukum Perlindungan Lingkungan, Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, cet. II, Edisi I, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
penegakan hukum hanya bersangkutan dengan hukum pidana saja. Pikiran seperti ini diperkuat dengan kebiasaan masyarakat dengan kebiasaan menyebut penegak hukum itu adalah polisi, jaksa dan hakim. Tidak disebut pejabat administrasi yang sesuai dengan mengingat ruang lingkup yang lebih luas58.
3. Tindak Pidana Kehutanan (TIPIHUT) Dalam hukum kehutanan terdapat berapa peggunaan istilah-istilah yang berkaitan dengan hukum pidana, hal ini ditemukan dalam perundangundangan maupun dalam berbagai literatur hukum atau sumber hukum. istilah hukum pidana itu adalah dikenal “tindak pidana, delik, perbuatan
pidana, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum,
peristiwa pidana”
atau dalam bahasa asalnya
dikenal dengan “strafbaar feit” yang merupakan istilah dari bahasa Belanda yang
terdapat dalam Wet Boek van Strafrecht voor Nederlands Indie
(WvSNI).
Terjemahan dari istilah “strafbaar feit” merupakan istilah yang
berarti suatu perbuatan dan atau peristiwa yang diancam hukuman sebagai kejahatan atau pelanggaran baik yang disebut atau diatur dalam
58
hlm. 61.
Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, PT. Arikha Media Cipta, Jakarta, 1995,
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun dalam peraturan perundang-undangan lainnya59. Hukum pidana atau perbuatan pidana dibidang kehutanan dalam peraturan
perundang-undangan
dan
buku-buku
literatur
ditemukan
beberapa istilah diantarannya, penebangan liar atau pembalakan liar
(illegal logging), perusakan hutan adalah perbuatan pidana yang dalam peraturan perundangan dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Jenis-jenis perbuatan pidana ini ditemukan seperti; pembalakan liar atau penebangan tanpa izin (illegal Logging), pertambangan tanpa izin (illegal mining),
perkebunan dalam kawasan
hutan tanpa izin, perambahan (ocuvasi) kawasan hutan, pendudukan, penguasaan hutan tanpa izin, penggunaan kawasan hutan non prosedural dan perbuatan lainnya yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan. Perbuatan pidana berupa perusakan hutan menimbulkan kerugian negara dan kerusakan kehidupan sosial budaya dan lingkungan hidup yang sangat besar serta telah meningkatkan pemanasan global (global
warming), perubahan iklim (climeted iklim), banjir, tanah longsor dan sebagainya, hal ini telah menjadi kekawatiran dan menjadi permasalahan ditingkat nasional, regional, dan internasional.
59
Anonim, Buku Saku Ketentuan Tindak Pidana Kehutanan, Direktorat Penyidikan dan Perlindungan Hutan Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan, EC-Indonesia FLEGT SP (Forest Law Enforcement, Goverment and Trade ), 2008.
Perbuatan pidana atau tindak pidana tersebut di kriminalisasi atau diformulasikan dalam ketentuan pasal-pasal dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan. Berdasarkan pada ketentuan perundang-undangan tersebut dan literatur lainya ditemukan istilah Tindak Pidana Kehutanan
yang lazim
disebut (TIPIHUT) adalah perbuatan yang dilarang dan diancam pidana sebagai kejahatan atau pelanggaran sebagaimana diatur dalam Undangundang dibidang Kehutanan
dan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya60. Dalam buku hukum kehutanan yang dikemukakan oleh M. Hariyanto61 mendefinisikan Tindak Pidana Kehutanan sebagai “Suatu peristiwa yang telah/sedang/akan terjadi berupa perbuatan melanggar larangan atau kewajiban dengan ancaman sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bagi barang siapa yang secara melawan hukum melanggarnya". Dari berbagai ketentuan dan pendapat ahli tersebut, peneliti dapat menyimpulkan bahwa, perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan pidana seperti perusakan hutan, pembalakan liar atau illegal logging merupakan merupakan tindak pidana dibidang kehutanan dan konservasi 60
Anonim, Petunjuk Praktis Penegakan Hukum untuk Polisi Kehutanan , kerjasama antara Direktorat Penyidikan dan Pengamanan Hutan Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan dengan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) Indonesian Office, Jakarta, 2013. 61 M. Hariyanto, Tindak Pidana Kehutanan, hhtp//blogmhariyanto. blogspot.com, diposting pada tanggal, juni 2009, jam 09.00 wita.
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang diistilahkan dalam hukum pidana atau sering disebut sebagai tindak pidana kehutanan (TIPIHUT).
H.
METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Penelitian hukum dalam studi ini adalah penelitian hukum normatif atau doktrinal. Jenis penelitian hukum ini memfokuskan untuk menelaah dan menganalisis norma-norma hukum, asas-asas hukum, falsafah (dogma atau doktrin) hukum. Penelitian hukum doktrinal juga dapat berupa usaha untuk menemukan hukum in concerto yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan perkara hukum tertentu.62 Dalam
penelitian
hukum
normatif
atau
doktrinal
juga
menggunakan buku-buku literatur yang telah disediakan terlebih dahulu, untuk memperoleh bahan-bahan yang bersifat teoritis ilmiah sebagai bahan perbandingan, maupun sebagai petunjuk dalam menguraikan bahasan yang selanjutnya, peneliti mengumpulkan dan mempelajari beberapa tulisan yang berhubungan dengan penelitian ini. Sebagimana dikemukakan oleh Rinal Dwokin” penelitian hukum normatif sering disebut juga dengan istilah penelitian doktrinal
(doctrinal research) yaitu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis dalam buku (law is writen in the book) maupun yang 62
Soetandyo
Wingyosoebroto,
Masalahnya, HUMA, 2002, Jakarta, hlm. 17.
Hukum,
Paradigma,
Methode
dan
Dinamika
diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is by the
judge thorough judicial process ).
2. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut : a. Pendekatan
perundang-undangan
(statute
approach),
yaitu
pendekatan ini mengkaji dan meneliti peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan masalah hkum kehutanan atau tindak pidana kehutanan, serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait. Dalam hal ini peneliti melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat komprehensif, norma-norma hukum yang terdapat di dalamnya berkaitan antara satu dengan yang lainnya secara logis dan sistematik. Bahwa di samping bertautan antara satu dengan lainnya, norma hukum juga tersusun secara hirarkis.63 b. Pendekatan konsep (conseptual approach),
yaitu pendekatan ini
digunakan untuk memahami unsur-unsur abstrak yang terdapat dalam
pikiran.
Menurut
Ayn Rand” secara pilsafat konsep
merupakan integrasi mental atas dua unit atau lebih yang diisolasikan menurut ciri khas dan yang disatukan dengan definisi
63
Haryono dalam Jonny Ibrahim, Op.Cit. hlm. 249
yang khas. Dalam pendekatan konsep (conseptual approach) penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji konsep yang berkaitan dengan konsep pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan atau tindak pidana kehutanan serta konsep yang terkait dengan masalah itu. c. Pendekatan sejarah (historical approach), yaitu suatu pendekatan yang digunakan untuk mengetahui, memahami dan mengkaji bagaimana perkembangan hukum dan latar belakang lahirnya suatu perundang-undangan.
3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Jenis dan sumber bahan hukum dalam penelitian hukum ini adalah
bahan
hukum
sekunder
yang diperoleh
dari
penelitian
kepustakaan (library research) yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Bahan hukum dimaksud adalah sesuai dengan penelitian hukum, mencakup : 1. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terkait dengan peraturan perundang-undangan, yang berkaitan penanggulangan tindak
pidana
kehutanan
atau
perbuatan
perusakan
hutan.
Khususnya yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang
Konservasi
Sumber
Daya
Alam
Hayati
dan
Ekosistemnya, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
kehutanan sebagaimanan diubah dengan Undang-undang 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan serta peraturan hukum yang terkait lainnya. 2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang meberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer berupa buku, hasil
penelitian, rancangan undang-undang, bahan-bahan lain yang berkaitan dengan penanggulangan tindak pidana kehutanan. 3. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang
memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan
hukum primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, kamus hukum kehutanan, majalah dan jurnal ilmiah, surat kabar serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian.64 4. Teknik dan Penelusuran Bahan Hukum Dalam penelitian ini, untuk
memperoleh bahan hukum dan
bahan terkait lainnya yang diperlukan, maka digunakan teknik dan penelusuran bahan hukum sebagai berikut :
64
Bambang Sugono, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998, hlm . 19
a. Teknik pengumpulan hahan hukum; dilakukan dengan studi pustaka dan
dokumentasi
dalam
studi
ini
dilakukan
pengumpulan,
menginventarisir dan mempelajari bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier atau bahan-bahan non hukum atau bahan-bahan dokumen penting yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. b. Penelusuran bahan hukum dilakukan dengan cara studi kepustakaan yaitu dengan cara menginventarisir dan mengkaji peraturan asasasas hukum dalam perundang-undangan, serta berbagai dokumen, maupun jurnal hukum serta hasil penelitian-penelitian terdahulu yang terkait dengan permasalahan yang di teliti. Penelusuran menggambarkan
bahan
ketentuan
hukum dari
secara
pendekatan
normatif penelitian
ini yang
digunakan. Hal ini disebabkan karena dalam penelitian hukum normatif sepenuhnya menggunakan bahan hukum sekunder, dari bahan
kepustakaan
sehingga
penyusunan
kerangka
konsepsionalnya mutlak diperlukan.65 Hal ini dilakukan untuk menemukan asas-asas yang tersirat dan termaktub dalam pasal perundang-undangan yang terdapat dalam ragam dan kepustakaan yang tersedia.
65
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 199
5. Analisis Bahan Hukum Analisis bahan hukum dalam penelitian ini adalah dilakukan dengan analisis penelitian hukum normatif, analisis penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara penafsiran berkaitan dengan asas-asas hukum yang terkait dengan kebijakan formulasi hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan. Dengan tujuan untuk memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini. Dalam melakukan analisis bahan hukum sekunder terhadap penelitian ini dilakukan dengan pendekatan beberapa penafsiran yakni, penafsiran historis, penafsiran ekstensif atau penafsiran memperluas, dan penafsiran yang mempertentangkan66. Semua tipe penafsiran di atas diuraikan secara sistematis dengan mengunakan kerangka berfikir deduktif dan induktif, sebagai suatu penjelasan dan interpretasi secara logis dan sistematis. Penjelasan secara logis sintesis menunjukkan cara berfikir deduktif-induktif, yaitu cara berfikir deduktif adalah berangkat dari umum ke hal-hal yang bersifat khusus, sedangkan cara berfikir induktif merupakan cara berfikir yang berangkat dari hal-hal khusus kemudian dicari generalisnya yang bersifat umum. Setelah
analisis
bahan hukum selesai, maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif yaitu
dengan
cara
menuturkan
permasalahan yang diteliti.
66
Amirudin dan Zainal Asikin, Op.Cit. hlm. 165
dan
menggambarkan
sesuai
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA DAN KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN
A. Tinjauan Umum Mengenai Pengelolaan Hutan Indonesia 1. Pengertian Hutan, Kehutanan dan Kawasan Hutan Dalam bahasa Indonesia dikenal berbagai sebutan “hutan”, misalnya hutan belukar, hutan perawan, hutan alam dan lain-lain. Kata hutan dalam bahasa Inggris disebut dengan forrest, sedangkan hutan rimba disebut dengan jungle. Akan tetapi pada umumnya persepsi umum tentang hutan adalah penuh dengan pohon-pohonan yang tumbuh tidak beraturan.67 Dalam Black Law’s Dictionary hutan di definisikan “Forrest is a tract of
land, not
necessarily
hunting deer and
wooded, reserved to the king or a grantee, for
other game”
68
.
“Hutan adalah suatu bidang daratan, berpohon-pohon
yang
dipesan
oleh raja untuk berburu rusa dan permainan lain”. Menurut pendapat dari salah satu ahli kehutanan Herman Haeruman
J.S.69 menyatakan bahwa : “Hutan adalah pelindung tanah, tempat berlindung selama bergerilya
67
Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan dan Satwa , Cet. I, Erlangga, Jakarta, 1995, hlm. 11. 68 Garner, Black Law’s Dictionary, Seventh Edition, West Group, Dallas, 1999, hlm. 660. 69 Herman Haeruman J.S., Hutan Sebagai Lingkungan, Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Jakarta, 1980, hlm. 6.
melawan penjajah, tempat nyaman dan sejuk, pencegah banjir maupun erosi dan sebagainya, serta ekosistem peyangga dan pendukung kehidupan bagi banyak makhluk.” Sementara itu Mochtar Lubis70
mengemukakan pengertian hutan sebagai
berikut : “Hutan adalah sebuah ekosistem yang berciri tumbuh-tumbuhan berkayu seperti misalnya pepohonan dan semak. Perkebunan karet, kelapa sawit ataupun kebun buah-buahan tidak dipandang sebagai hutan”. Adapun pengertian hutan menurut Dangler sebagaimana dikutip oleh Sukardi71 adalah sebagai berikut : “Sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu, kelembaban, cahaya, angin dan sebagainya tidak lagi menentukan lengkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuhtumbuhan pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas dan tumbuhnya cukup rapat (horizontal dan vertikal)”. Sedangkan dalam ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 Udang-undang
Nomor
18
Tahun
2013
tentang
Pencegahan
dan
Pemberantasan Perusakan Hutan, bahwa Hutan didefinisikan adalah sebagai berikut : “Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam komunitas alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dan yang lainnya “.
70
hlm. 196.
71
Mochtar Lubis, Menuju Kelestarian Hutan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1988,
Sukardi, Illegal Logging dalam Perspektif Hukum Pidana (Kasus Papua), Cet. I, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2005, hlm. 12.
Selanjutnya diketentuan lain yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan, Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 ayat 2 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan
meliputi;
kegiatan
penyelenggaraan,
perencanaan
kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan dan pengawasan hutan. Perencanaan kehutanan
menurut ketentuan dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan meliputi; inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan
kawasan hutan, pembentukan wilayah
pengelolaan hutan dan penyusunan rencana kehutanan. Dalam pengelolaan hutan, konsep hutan dengan kawasan hutan dapat dibedakan, perbedaan antara hutan dan kawasan hutan dapat dilihat dari pengertian terhadap kawasan hutan sebagai mana terdapat dalam ketentuan Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Dalam perkembangannya bahwa definisi kawasan hutan tersebut menimbulkan
polemik
dan
multitafsir
sehingga
dilakukan
permohnan
pengujian atau uji materiil terhadap Undang Undang Dasar 1945 atau
dilakukan
judicial review yang dilakukan kepada Mahkamah Konstitusi dan
hasil pemeriksaan tersebut
telah diputuskan dengan
putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor : 45/PUU-IX/2011, dalam putusan mahkamah tersebut mengabulkan permohonan pemohon terhadap prase kata “ditunjuk”
tidak
relevan dan tidak memenuhi rasa keadilan72, sehinga definisi kawasan hutan tersebut untuk menjamin kepastian hukum, sebagaimana terdapat dalam Undang-undang
Nomor
18
Tahun
2013
tentang
Pencegahan
dan
Kawasan Hutan sebagaimana terdapat
Pemberantasan Perusakan Hutan.
dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-undang Nomor
18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan kawasan hutan adalah “wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”. Dengan
adanya
Putusan
Mahkamah
Konstitusi
tersebut,
maka
penunjukan kawasan hutan masih tetap berlaku, tetapi tidak mempunyai nilai kepastian hukum dan tidak dapat dijadikan acuan dalam menentukan kawasan hutan. Dapat dikatakan sebagai kawasan hutan apabila telah dilakukan proses penetapan kawasan hutan mulai dari penunjukan kawasan hutan, proses tata batas kawasan hutan, pemetaan dan dilakukan penetapkan kawasan hutan.
2. Jenis-jenis Hutan Berdasarkan jenis-jenis hutan, dilakukan pengelompokan jenis-jenis hutan 72
berdasarkan
Undang-undang
Nomor
41
Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 45/PUU-IX/2011,
Tahun
1999
tentang
tanggal 21 Februari 2012
Kehutanan, di dalamnya ditentukan terdapat 4 (empat) jenis hutan yaitu, hutan berdasarkan pada,
Status Hutan,
Fungsi Hutan, Kawasan Hutan
denganTujuan Khusus dan Pengaturan iklim mikro, estetika dan resapan air.
Berdasarkan pada pengelompokan dari jenis hutan tersebut
dapat
dijabarkan sebagai berikut :
2.1. Status Hutan pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI Pembagian
hutan
hutan
menurut
statusnya
adalah
suatu
pembagian hutan yang didasarkan pada status (kedudukan) antara orang, badan hukum, atau institusi yang melakukan pengelolaan, pemanfaatan dan perlindungan terhadap hutan tersebut73. Hutan menurut statusnya pasca putusan judicial review Mahkamah Kontitusi terhadap Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Berdasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 35/PUU-X/2012 menyebutkan bahwa hutan adat dikeluarkan dari hutan negara,
sehingga Hutan Adat yang sebelumnya menjadi bagian dari
Hutan Negara74, harus dimaknai sebagai Hutan Hak. Berdasarkan pada status hutan dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yakni sebagai berikut :
1. Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak-hak atas tanah. Hutan negara yang pengelolaannya 73
2003, hlm. 43 74
Salim HS, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, edisi Pertama, cetakan, Liberty, Jakarta, http://ugm.ac.id, Pemerintah Segera Menyikapi Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 21 Februari 2014.
Tentang Hutan Adat,
dapat berupa Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Taman Industri (HTI), Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan pengelolaan lainnya diberikan
pemerintah
yang
diserahkan
pengelolaannya
kepada
masyarakat baik dalam bentuk perorangan (naturlijke person), koperasi dan perusahaan berbadan hukum (rechtsperson). Hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat desa disekitar kawasan hutan disebut hutan desa. Dengan demikian, hutan negara dapat berbentuk : a. Hutan Taman Industri (HTI), ialah
hutan negara yang dikelola
oleh badan usaha milik negara maupun swasta untuk memenuhi kebutuhan suatu industri dan masyarakat. b. Hutan Tanaman Rakyat (HTR) adalah hutan negara yang dikelola oleh masyarakat baik perorangan maupun badan usaha. c. Hutan Desa, adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat desa d. Hutan
Kemasyarakatan
pemanfaatan
utamanya
(HKm),
ialah
ditujukan
hutan
untuk
negara
yang
memberdayakan
masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan.
Berbagai bentuk pengelolaan hutan negara yang dilakukan dengan berbagai program pengelolaan ataupun pemanaatan dengan tujuan
adalah
untuk
meningkatkan
kualitas
mutu
kehidupan,
kesejahteraan masyarakat, memaksimalkan potensi sumber daya
alam, dengan partisipasi, pengelolaan, pemanfaatan demi kelestarian hutan dan kesejahteran masyarakat.
2. Hutan Hak/hutan hak milik adalah hutan yang dibebani alas hak/kepemilikan. Hutan ini dapat dimilliki secara komunal/penguasaan bersama masyarakat hukum adat dan kepemilikan secara personal dapat dibedakan sebagai berikut ;
1. Hutan Adat adalah kawasan hutan yang berada dalam wilayah masyarakat
hukum
adat
(rechtsgemeenschap).
Pembedaan
perlakuan terhadap hutan negara dan hutan adat dibutuhkan pengaturan hubungan antara hak menguasai negara pada hutan negara, dan hak menguasai negara terhadap hutan adat. Terhadap hutan negara, negara mempunyai wewenang penuh untuk
mengatur
peruntukan,
pemanfaatan
dan
hubungan-
hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara, terhadap hutan adat, wewenang negara dibatasi sejauh mana isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat. Hutan adat ini berada dalam cakupan hak ulayat dalam satu kesatuan wilayah (ketunggalan wilayah) masyarakat hukum adat. Para warga masyarakat hukum adat mempunyai hak membuka hutan ulayatnya untuk dikuasai dan diusahakan tanahnya bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarganya.
Jadi, tidak mungkin hak warga masyarakat hukum adat itu ditiadakan atau dibekukan sepanjang memenuhi syarat dalam cakupan pengertian kesatuan masyarakat hukum adat seperti dimaksud pasal 18B ayat (2) UUD 1945, Konstitusi
M.
Alim
pada
saat
Hakim Mahkamah
membacakan
pertimbangan
hukumnya (putusan sidang Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 35/PUU-X/2012).
2. Hutan hak/hutan milik
adalah hutan yang berada pada tanah
yang dibebani hak atas tanah. (Pasal 1 Angka 5 Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan ). Hutan yang berada pada hak/milik masyarakat baik yang ditanami maupun yang tumbuh alami pada lahan hak/milik. Berkaitan dengan hasil hutan yang bersal dari hutan hak/milik,
pengaturan
pengusahaan
hasil
hutan
atau
penatausahaan hasil hutan dari hutan hak diatur dalam ketentuan tersendiri
didalam
Peraturan
Menteri
Kehutanan
Republik
Indonesia Nomor : P.30/Menhut-II/2013 tetang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Hak. Pembedaan pengaturan atau penatausahaan hasil hutan tersebut bertujuan
untuk
menjamin kepastian hukun antara hak masyarakat/milik (private) dengan hak negara.
2.2. Fungsi Hutan
Hutan berdasarkan fungsinya adalah penggolongan hutan yang didasarkan pada kegunaanya yaitu; (1) Hutan Konservasi, (2) Hutan Lindung dan, (3) Hutan Produksi. 1.
Hutan Konservasi
Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tetentu yang mempunyai pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya75. Hutan konservasi ini terdiri atas : 1.1.
Kawasan Hutan Suaka Alam, yaitu hutan dengan ciri khas tertentu, mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa, serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah penyangga76. Kawasan hutan suaka alam terdiri dari hutan cagar alam dan suaka margasatwa77.
1.2.
Kawasan Hutan Pelestarian Alam, yaitu hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga
kehidupan,
pengawetan
keanekaragaman
jenis
tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat
11
Undang-undang
Nomor
41
tentang
Kehutanan,
dinyatakan kawasan pelestarian alam ini terdiri dari Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam dalam pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002. 75 76 77
Pasal 1 ayat 9 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 1 ayat ayat 10 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002.
1.3.
Kawasan Hutan Taman Buru, yaitu kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu dalam Pasal 1 ayat 12 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
2. Hutan Lindung Hutan lindung merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan dan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah
instrusi
air
laut
dan
memelihara
kesuburan
tanah
sebagaimana dalam Pasal 1 ayat 8 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
3. Hutan Produksi Hutan produksi adalah hutan memiliki fungsi pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 7 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tetang Kehutanan, hutan produksi adalah hutan yang mempunyai fungsi pokok untuk memproduksi hasil hutan. Hutan ini juga dibedakan menjadi hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas.
2.3. Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Dalam ketentuan Pasal 8 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan, Kawasan Hutan Berdasarkan Tujuan Khusus (KHDTK) yaitu hutan yang diperuntukkan untuk kepentingan
umum seperti; penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, religi dan budaya.
2.4. Hutan Berdasarkan Kepentingan Pengaturan Iklim Mikro, Estetika dan Resapan Air Hutan jenis ini,
disetiap kota ditetapkan kawasan tertentu
sebagai hutan kota untuk kepentingan pengaturan iklim mikro, estetika dan resapan air sebagaimana dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
3. Perlindungan Hutan Kegiatan
perlindunggan
hutan
atau
usaha
perlindungan
hutan
merupakan usaha untuk mencegah terjadinya kerusakan hutan agar kelestarian
hutan
dapat
tetap
terjaga.
Dalam
melakukan
kegiatan
perlindungan terhadap hutan, hutan harus dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan lingkungan atau ekosistem secara global
(global
ecosystem). Rumusan perlindungan hutan menurut Pasal 47 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan bahwa perlidungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk : a. Mencegah dan membatasi kerusakan hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama serta penyakit.
b. Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
Sedangkan dalam Deklarasi Rio de Jenairo Tahun 1992 telah ditetapkan prinsip perlindungan lingkungan dalam skala global diantaranya :
In order to archeve sustainable develoement, enviromental proptection shall constitue an integral part of the developement proses and cannot be concidered in issolation prom it (article 4). States shall coperate in a spirit of global patnership to conserve, protect and restore the health and integrity of the earth ecosystem... (article 7) States shall enacts
efektife envioromental legislation, envioromental
standards, management objektifes and priorities should reflect the envioromental and developmental context to which they apply... (article 11). Artikel (prinsip) 4 merumuskan bahwa perlindungan lingkungan harus diperhitungkan sebagai bagian terpadu dari proses pembangunan dan tidak dapat dipandang sebagai suatu yang terpisah. Dalam artikel 7 dirumuskan tiap negara mempunyai tanggungjawab global untuk memelihara, melindungi dan memugar kembali integritas dan kesehatan ekosistem bumi, dan dalam artikel 11 dijelaskan bahwa tiap negara menetapkan pemberlakuan ketentuan lingkungan
secara
efektif,
standar
(baku
mutu)
lingkungan,
sasaran
manajemen dan standar lainnya yang mencerminkan konteks keseimbangan antara pembangunan dan lingkunagan sesuai dengan kondisi setempat.
Perlindungan hutan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, pada ketentuan yang terdapat dalam pasal 1 ayat 1 bahwa, Perlindungan Hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Menurut pendapat peneliti, pada intinya perlidungan hutan terdapat 3
(tiga) aspek bentuk dari perlindungan hutan sebagai berikut; 1). Perlindungan atas hutan, 2). Perlindungan kawasan hutan, dan 3). Perlindungan terhadap hasil hutan. Dari ketiga aspek pokok dalam perlindungan hutan tersebut merupakan inti dari kegiatan atau upaya dalam penanggulangan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Kegiatan perlindungan tersebut dilakukan melalui; upaya persuasif dengan melakukan kegiatan pencegahan dan kegiatan dilakukan dengan melakukann tindakan represif atau penindakan dengan proses penegakan hukum (law enforcement proces).
4. Legalitas Hasil Hutan Kayu Pada umumnya keabsahan hasil hutan kayu atau disebut dengan legalitas hasil hutan mencakup permasalahan yang sangat luas, hal ini dapat ditinjau dari dimulai proses perizinan, persiapan operasi areal, kegiatan produksi,
pengangkutan,
penatausahaan,
pengolahan,
hingga
pada
pemasaran. Legalitas hasil hutan kayu dapat dilihat dari keabsahan asal-usul atau sumber dari hasil hutan kayu, kemudian dilihat dari tatacara atau prosedur
dari
izin
penebangan,
sistem
dan
prosedur
penebangan,
dokumentasi pengangkutan dan administrasi. Proses pemasaran, perdagangan atau pengangkutannya telah teruji memenuhi persyaratan dan telah terpenuhi semua persyaratan baik dari unsur material dan formil dari dokumennya. Sistem penatausahaan hasil hutan kayu dalam ketentuan Pasal 16 Undang-undang
Nomor
18
Tahun
2013
tentang
pencegahan
dan
pemberantasan perusakan hutan disebutkan bahwa "Setiap orang yang melakukan pengangkutan kayu hasil hutan wajib memiliki dokumen yang merupakan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH)78, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan", pada ketentuan ini terdapat sanksi, jika larangan tesebut dilanggar dengan sanksi pidana berupa pidana penjara paling singkat 1 tahun sampai dengan paling lama 5 tahun, serta dikenakan pidana denda paling sedikit Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 2.500.000.000,- (dua miliyar lima ratus juta rupiah), apabila perbuatan tersebut, yang melakukan kejahatan adalah badan hukum atau korporasi dapat dikenai sanksi pidana berbeda dan lebih berat dengan sanksi pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,- (lima belas milyar).
78
Ketentuan
Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) adalah dokumen-dokumen yang merupakan bukti legalitas hasil hutan pada setiap segmen kegiatan dalam penatausahaan hasil hutan. (Pasal 1 angka 12 dan Pasal 1 angka 29 PP Nomor 6 tahun 2007).
sanksi pidana tersebut dapat juga dikenakan terhadap barang siapa atau orang yang memalsukan atau menggunakan SKSHH palsu79. Penggunaan istilah Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) sebagaimana disebut dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 atau Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, bukan merupakan nama dokumen tetapi merupakan terminologi umum (general term) yang di dalamnya terdiri dari beberapa bagian atau nama dokumen surat keterangan sahnya hasil hutan. Dokumen legalitas atau dokumen keabsahan hasil hutan yang digunakan dalam penguasaan ataupun pengangkutan hasil hutan baik yang berasal dari hutan alam atau hutan tanaman dari hutan produksi pada hutan negara diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia80. Dokumen yang termasuk Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) adalah sebagai berikut: a. Surat Keterangan Sah Kayu Bulat (SKSKB) adalah blanko model DKB 401 b. Faktur Angkutan Kayu Bulat (FA-KB) adalah blanko model DKA. 301 c. Faktur Angkutan Hasil Hutan Bukan Kayu (FA-HHBK) adalah blanko model DKA. 302 d. Faktur Angkutan Kayu Olahan (FA-KO) adalah blanko model DKA. 303 e. Surat Angkutan Lelang (SAL) adalah blanko model DKB. 402 f. Nota atau faktur Perusahaan pemilik kayu olahan.81
79
Pasal 88 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. 80 Permenhut RI Nomor : P.41/Menhut-II/2014 tentang Penatausahaan Hasil Hutan dari Hutan Alam dan Permenhut RI Nomor : P.42/Menhut-II/2014 tentang Penatausahaan Hasil Hutan dari Hutan Tanaman pada Hutan Produksi. 81 M. Hariyanto, Hukum Kehutanan, http://blogmhariyanto.blogspot.com/2009/07/dokumen legalitas pengangkutan hasil hutan kayu.html/2013/html, diakses pada tanggal 22 Februari 2015, jam 20. 30 wita.
Dengan
demikian,
SKSHH
merupakan
dokumen
milik
negara
(Kementerian Kehutanan) yang berfungsi sebagai : 1. Sebagai bukti legalitas, pengangkutan, penguasaan atau pemilikan hasil hutan kayu. 2. Dapat digunakan untuk pengangkutan, penguasaan atau pemilikan selain hasil hutan. 3. Menjadi dasar perhitungan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) 82 dan Dana Reboisasi (DR)83.
Sedangkan dokumen legalitas dalam penguasaan ataupun untuk mengangkut hasil hutan yang berasal dari hutan hak diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.30/Menhut-II/2013 tetang Penatausahaan Hasil Hutan dari Hutan Hak. Pada umumnya ketentuan yang berkaitan dengan penguasaan atau keabsahan dari hak atau kepemilikan berupa, sertifikat, girik, leter c dan dokumen kepemilikan lain yang sah. Hasil hutan dari hutan hak dalam pengusaan atau pengangkutannya digunakan dokumen legalitas yang disebut
Surat Keterangan Asal Usul (SKAU)84,
pengangkutan dengan dokumennya untuk hasil hutan yang berasal dari hutan 82
Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara. 83 Dana Reboisasi (DR) adalah dana yang dipungut dari pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan dari hutan alam yang berupa kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi hutan. Lihat penjelasan Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dana untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya yang dipungut dari pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan dari hutan alam yang berupa kayu. Jadi disini jelas pengenaan Dana Reboisasi (DR) hanya berlaku untuk hasil hutan berupa kayu dari hutan alam. Pengenaan Dana Reboisasi (DR) tidak berlaku untuk hasil hutan kayu dari hutan tanaman dan hasil hutan bukan kayu, seperti; rotan, madu, buah-buahan, getah-getahan, daun, tanaman obat-obatan, dan lain-lain. 84 Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) adalah dokumen legalitas pengangkutan hasil hutan yang berasal dari hutan hak/rakyat atau dari tanah milik yang telah di bebani alas hak sesuai P.30/Menhut-II/2013 tetang Penatausahaan Hasil Hutan dari Hutan Hak.
hak dengan SKAU beserta turunannya dalam bentuk dokumen NOTA Angkutan, khusus untuk 23 jenis kayu diantaranya85 dan NOTA angkutan penggunaan sendiri tidak diperdagangkan hanya dipakai sendiri. Menurut pendapat peneliti, penatausahaan hasil hutan kayu maupun Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) pada hutan negara dan penatausahaan kayu pada hutan hak/milik, keabsahan atau legalitasnya dalam penguasaan maupun dalam pengangkutan harus sesuai dengan ketentuan dan tatacara sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku. Dokumen keabsahan atau legalitas hasil hutan tersebut merupakan sarana
pengaturan atau
atau control berupa pengawasan dan pengendalian dalam upaya
pencegahan dan penanggulangan kerusakan hutan, kerugian negara serta untuk membedakan hak negara dan masyarakat terhadap hasil hutan. Selain itu juga, dokumen perijinan dan legalitas hasil hutan yang ada juga tentu memiliki potensi untuk disalahgunakan ataupun dijadikan sebagai modus operandi timbulnya kejahatan baru.
Penggunaan dokumen atau
adanya legalitas hasil hutan, perijinan penggunaan kawasan hutan dan pemanfaatan hasil hutan sebagai pengawasan, namun hal demikaian tidak terlepas dari bagaimana integritas dan moral serta budaya (culture) dari aparatur pemerintah, para pelaku usaha dan masyarakat dalam pengusahaan hasil hutan untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
85
Dokumen NOTA Angkutan untuk 23 jenis diantaranya ; Rambutan, randu, sawit, sawo, sukun, trembesi, waru, karet, jabon, sengon, petai, cempedak, dadap, duku, jambu, jengkol, kelapa, kecapai, kenari, mangga, manggis, melinjo dan nangka.
Sedangkan sumber daya hutan atau hasil hutan berupa flora dan fauna yang terdapat dalam hutan, karena keunikan dan kelangkaannya dilakukan upaya konservasi untuk mempertahankan jenis dilakukan perlindungan terhadap tumbuhan dan satwa liar.
Berkaitan dengan dokumen perizinan
legalitas atau keabsahan dan upaya perlindungannya, dalam hal pemindahan atau pengangkutannya terdapat dokumen Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar (SATS) yang dilindungi, Pengiriman atau pengangkutan jenis tumbuhan dan satwa liar dari satu wilayah habitat ke wilayah habitat lainnya di Indonesia, atau dari dan keluar wilayah Indonesia, wajib dilengkapi dengan dokumen
pengiriman
atau
pengangkutan86,
baik
dokumen
perizinan
penangkararan dan pengangkutan tumbuhan dan atau satwa liar. Dokumen pengiriman atau pengangkutan, tumbuhan dan satwa untuk dalam negeri menggunakan Surat Angkut Dalam Negeri (SAT-DN), sedangkan untuk pengangkutan tumbuhan dan satwa keluar negeri menggunakan Surat Angkut Luar Negeri (SAT-LN), karena tanpa menggunakan perijinan tersebut dikatakan
sebagai perbutan penyelundupan dan atau pencurian dan atau
percobaan melakukan perusakan lingkungan hidup bertentangan dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya”.
86
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar
Berkaitan dengan ketentuan perijinan terhadap tumbuhan dan satwa liar
yang dilindungi baik oleh center of international trade on endanger
species for flora and fauna (CITES), maupun yang tidak dilindungi dalam ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konsenvasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2008 tentang Pengankutan Tumbuhan dan Satwa Liar Dilindungi. Ketentuan terkait legalitas pengangkutan tumbuhan dan satwa liar tidak dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 adalah sebagai berikut: a) Pasal 42 ayat (1) “Pengiriman atau pengangkutan jenis tumbuhan dan satwa liar dari satu wilayah habitat ke wilayah habitat lainnya di Indonesia, atau dari dan keluar wilayah Indonesia, wajib dilengkapi dengan dokumen pengiriman atau pengangkutan” berikut Pasal 63 ayat (2) “Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan serta merta dapat dihukum denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp. 250.000.000,- (dua
ratus lima puluh juta rupiah) dan atau pencabutan izin usaha yang bersangkutan”; b) Pasal 64 ayat (2) “Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, dan 63, sepanjang menyangkut tumbuhan dan satwa liar baik yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi, maka tumbuhan dan satwa liar tersebut diperlakukan sama dengan yang dilindungi, dirampas untuk negara”. Berdasarkan
pada ketentuan
peraturan
yang berkaitan
dengan
konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya, menurut pendapat peneliti dalam pengusaaan terhadap tumbuhan dan satwa liar harus pada kaedah-
kaedah konservasi, perlindungan dan perizinan. Perlindungan terhadap tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi guna menjaga keutuhan habitat dan ekosistemnya.
5. Modus Operandi dan Tipologi Pembalakan Liar Berbagai macam perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan perusakan huatan atau tindak pidana kehutanan, dilakukan dengan cara atau modus operandi diantaranya adalah penebangan pohon tanpa izin atau pembalakan liar, sering disebut dalam istilah asing sebagai (illegal logging), perambahan dan kegiatan perusakan hutan lainya. Dalam ketentuan Undangundang Nomor 18 Tahun 2013, istilah pembalakan liar didefinisikan dalam ketentuan pasal 1 ayat 4 bahwa
pembalakan liar adalah semua kegiatan
pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi. Sementara itu, istilah perambahan hutan terdapat dalam Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, sebagian ketentuan pidana dan saksi dicabut, termasuk ketentuan sanksi pidana perambahan hutan berupa mengerjakan
atau
menggunakan
kawasan
hutan
secara
tidak
sah
sebagaimana diatur pasal 50 ayat 3 huruf a Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan di nyatakan tidak berlaku dan di cabut sesuai ketentuan Pasal 112 huruf a Undang-undang nomor 18 Tahun 2013, sehinga penerapannya menjadi bertentangan dengan asas hukum pidana yang menyatakan “tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali ada sanksi
pidananya ”nullum dillectum nullapoena legge ponalli”
atau adanya
kesalahan, asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder
schuld). Permaslahan norma tesebut di atas, tentu saja menimbulkan kekosongan norma hukum dan ketidakpastian hukum terhadap penanganan penggunaan
dan/atau
pengerjaan/perambahan
dan/atau
pendudukan
kawasan hutan secara tidak sah yang berimplikasi terhadap semangat pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Perambahan hutan dalam rumusan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tetang P3H tidak ditemukan, rumusan perambahan yang kulifikasikan dalam perbuatan terorganisasi.87
Penggunaan kawasan hutan secara tidak
sah yang dimaksudkan sebagai kegiatan terorganisasi yang dilakukan di dalam kawasan hutan untuk kegiatan perkebunan dan/atau pertambangan tanpa izin Menteri88.
Sedangkan istilah perusakan hutan dijelaskan dalam ketentuan
yang terdapat dalam pasal 1 ayat 3 dinyatakan bahwa perusakan hutan adalah proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan izin yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian izin di dalam
Terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, yang terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu 87
dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial. (Penjelasan dalam ketentuan Pasal 1 ayat 6 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013). 88 Pasal 1 ayat 5 UU Nomor 18 Tahun 2013 tetang P3H.
kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah. Dalam
perbuatan
perusakan
hutan,
terdapat
tipologi
dalam
pembalakan liar, dimulai dari penyandang dana atau sering dikenal dengan istilah cukong (penyokong dana) memiliki peranan penting dibalik kejahatan pembalakan liar tersebut. Kegiatan pembalakan liar dilakukan dengan merencanakan semua langkah yang harus dilakukan untuk mengambil kayu hutan secara illegal dan menjualnya seakan kayu tersebut diperoleh secara sah atau legal. Untuk menyembunyikan harta hasil dari pembalakan liar dan mencucinya, penyokong dana pertama-tama membayar sejumlah uang untuk para pembalak dan pemimpin masyarakat lokal. Pembayaran ini dapat berupa uang tunai infrastruktur seperti; jalan dan fasilitas umum lainnya ataupun jasa lainya. Sebagai balasannya, penyokong dana memperoleh akses kepada hutan alam yang dibutuhkan untuk memperoleh kayu. Mereka juga menyuap oknum disektor kehutanan untuk memperoleh surat-surat yang sah. Proses ini pada dasarnya mencuci kayu illegal menjadi kayu legal. Setelah melakukan semua hal ini, penyokong dana kemudian harus membayar suap kepada oknum polisi, bea cukai dan aparat kehutanan pada beberapa titik pemeriksaan untuk menjaga kelancaran transportasi
kayu
illegal
kepada
pembeli kayu. Pembeli-pembeli tersebut dapat berupa industri kayu lokal atau pedagang kayu asing. Dana tunai yang diterima oleh para pemimpin masyarakat lokal, oknum pejabat pemerintah dan penegak hukum digunakan untuk membeli barang-
barang konsumsi seperti televisi, sepeda motor dan mobil. Barang-barang ini dikemudian hari dapat dijual untuk benar-benar mencuci harta hasil tindak kejahatan di hutan. Sebagian uang korupsi akan digunakan untuk investasi pada bisnis yang leggal, seperti transportasi, perumahan dan perdagangan, sementara sebagian lainnya akan diinvestasikan
kembali
pada
bisnis
pembalakan liar, seperti membangun pabrik industri pengolahan kayu illegal. Sebagian harta hasil kejahatan juga akan dimasukkan ke Bank di kabupaten ataupun Bank di luar negeri. Setelah menerima kayu bulat yang sudah “dicuci”, pembeli kayu memerintahkan Bank mereka untuk mengkredit rekening cukong di Bank yang
sama
atau
mentransfer
uang ke-rekening cukong di Bank lain.
Rekening-rekening ini bisa terdapat di Indonesia atau di luar negeri; sehingga Bank asing dapat terlibat dalam transaksi pembayaran pembelian kayu illegal. Untuk benar-benar menyembunyikan jejak bisnis kayu illegal, cukong dapat mengintegrasikan dana dari bisnis nonkayu legal ke dalam rekening bisnis kayu illegal. Bisnis legal ini dapat berupa perdagangan, hotel dan bisnis hiburan. Pada beberapa situasi, cukong menggunakan keuntungan dari kegiatan-kegiatan illegal, seperti penipuan dan obat terlarang,
untuk
berinvestasi dibisnis kehutanan yang illegal maupun legal. Dengan harta hasil kejahatan non kehutanan tersebut, cukong dapat mendanai perdagangan dan pengangkutan kayu illegal serta pembangunan pabrik penggergajian kayu. Pemodal atau penyandang dana juga menjaga hubungan baik dengan oknum pengambil keputusan dalam pemerintahan atau instansi terkait yang
menangani urusan kehutanan, termasuk aparat penegak hukum, militer dan legislatif89. Pemodal atau cukong ini, biasanya melakukan transfer uang pertemanan (goodwill) ke rekening Bank yang dimiliki oleh oknum pengambil keputusan tersebut atau perwakilannya di Indonesia atau di luar negeri. Kegiatan seperti ini juga dilakukan dengan Bank lokal juga menerima simpanan dari pemimpin masyarakat lokal dan aparat pemerintah yang menerima suap dari penyokong dana atau penyandang dana dari usaha bisnis kayu illegal. Dibawah ini terdapat tabel skema modus operandi pembalakan liar atau illegal logging yang dilakukan oleh penyandang dana atau cukong sebagai berikut : Gambar : Skema modus operandi pembalakan liar atau illegal logging dilakukan oleh cukong atau penyandang dana90.
Pembeli kayu Penebang liar
USS
Rp, barang, jasa
Pembeli non kayu Cukong
Pemimpin masyarakat
Rp USS Rp
Pejabat pemerintah
Pejabat penegak hukum
Pengambil kebijakan
Rp
Barang konsumen, bisnis legal dan illegal,bank Transaksi bank (non tunai) Transaksi tunai (tunai)
B a r a n g
k o Kejahatan Kehutanan dan Mendorong Bambang Setiono dan Yunus Husain, Memerangi n Prinsip Kehati-hatian Perbankan untuk Mewujudkan Pengelolaan Hutan yang Berkelanjutan s Pendekatan Anti Pencucian Uang, Center for International Forestry Research, Jakarta, 2005, hlm. 11. 90 u 12 Bambang Setiono dan Yunus Husain, Op, cit., hlm. m e n , 89
b i s
Pada seminar dan rapat
koodinasi
(RAKOR) Perlindungan dan
Pengamanan Hutan, di identifikasi/ditemukan dan dikemukakan berbagai permasalahan dan berbagai macam cara atau modus operandi dan tiplogi pembalakan liar dari tindak pidana kehutanan. Kegiatan tesebut dilakukan berbagai permaslahan yang kompleks dalam penaggulangan tindak pidana kehutanan atau berkaitan dengan permasalahan perbutan perusakan hutan, diataranya adalah sebagai berikut
91
:
a. Pencurian kayu hutan dan pengkaburan asal usul kayu dengan cara menampung kayu hutan dan mencampur dengan kayu rakyat dalam industri atau Tempat Penanampungan Kayu Terdaftar (TPT). b. Perubahan bentuk dari betuk log atau bahan setengah jadi, kedalam bentuk menjadi produk jadi (meubel). c. Penggunaan dokumen kayu tanah milik/hak untuk legalitas kayu dari hutan negara . d. Jasa atau penyediaan dokumen legalitas kayu oleh pemilik ijin industri/ijin Tempat Penampungan Kayu Terdatar (TPT) atau Pejabat Penerbit Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAU). e. Penebangan di luar ijin pemanfaatan hasil hutan kayu seperti IPK dari Penggunaan Kawasan Hutan. f. Penggunaan kawasan hutan untuk pengembangan tanaman non kehutanan seperti; jagung, pisang dan tanaman semusim lainnya. g. Melakukan jual beli lahan ataupun ganti rugi kawasan hutan dan sertifikasi dalam kawasan hutan. h. Pembangunan sarana prasarana wisata illegal dalam kawasan hutan i. Penambangan dalam Kawasan Hutan dan Penggunaan kawasan hutan tanpa ijin yang sah. j. Dilakukan secara masif, berkelompok dan terorganisasi. k. Dilakukan pada malam hari dan/atau pada hari-hari libur. l. Menjelang perayaan hari-hari tertentu akan meningkat eskalasi perbuatan perusakan hutan. m. Menggunakan alat angkut sepeda motor dan lainnya yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa untuk angkutan. Berdasarkan pada uraian permaslahan tersebut di atas, terjadinya 91
Makalah bahan Rapat Koodinasi Pengamanan Hutan, Perlindungan dan Pengaman Hutan di NTB, Bidang Planolgi dan Pengamanan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi NTB, Mataram, 2015.
kerusakan hutan disebabkan karena dari berbagai cara modus operandi dan berbagai tipologi pembalakan liar. Perbuatan atau tindak pidana perusakan hutan yang terjadi dilakukan dengan masif, terorganisir, hal ini juga disebabkan adanya kelemahan-kelemahan pada norma hukum yang ada dan aparat
penegak
hukum
dan
budaya
masyarakat.
Dalam
upaya
penanggulangan pencegahan dan pemberantasan perusakan diperlukan penanganan yang dilakukan dengan upaya yang luar biasa dan terpadu secara terukur, sturuktur dan kelembagaan yang terintegrasi.
6. Perbuatan Perusakan Hutan Perbuatan
perusakan
hutan
merupakan
suatu
perbuatan
yang
dikatagorikan sebagai tindak pidana kehutanan dalam ketentuan Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, didefinisikan bahwa perusakan hutan adalah proses, cara atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan izin yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian izin di dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah. Sedangkan pembalakan liar
92
dalam pasal 1 ayat 4
adalah semua
kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi. Dalam pasal 1 ayat 5 penggunaan kawasan hutan secara tidak sah adalah
92
Undang-undang Nomor 18 tahun 2013 tentang P3H.
kegiatan terorganisasi yang dilakukan di dalam kawasan hutan untuk perkebunan dan/atau
pertambangan tanpa izin Menteri.
Selanjutnya di
dalam pasal 1 ayat 6 kegiatan terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur yang terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih dan bertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau disekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial.
B.
KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA Kebijakan formulasi hukum pidana didasarkan pada ketentuanketentuan dalam konsideran yang terdapat dalam suatu peraturan perundangundangan dari yang sudah diundangkan merupakan langkah awal dalam menentukan kebijakan baru atau mereformulasikan kebijakan-kebijakan yang secara sadar dilakukan oleh institusi legislatif bersama dengan eksekutif yang kemudian ditegakkan oleh lembaga yudikatif. Pengaturan kebijakan hukum pidana diformulasikan untuk menanggulangi suatu kejahatan atau tindak pidana untuk mencapai perlindungan dan kesejahteraan masyarakat. Sumber daya hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan harus dijaga kelestariannya dengan dilakukan pengelolaan, perlindungan dan pemanfaatanya secara baik berkelanjutan. Sebagaimana terdapat dalam landasan konstitusional pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang
berbunyi “Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” . Kawasan hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang terbuka, sehingga akses bagi masyarakat untuk masuk dan memanfaatkannya sangat besar
dan dapat memicu permasalahan dalam pengelolaannya.
Kegiatan perusakan hutan berupa, aktifitas penebangan liar,
penggunaan
kawasan hutan tanpa izin pencurian sumber daya alam lainya yang diambil dari kawasan hutan dengan tidak sah atau tanpa ijin yang sah dari pemerintah kemudian diformulasikan sebagai tindak pidana kehutanan atau
dikenal
dengan istilah illegal logging. Beberapa
hasil
temuan
modus
yang
biasa
dilakukan
dalam
penebangan liar adalah pengusaha melakukan penebangan dibekas areal lahan yang dimilikinya maupun penebangan diluar jatah tebang, serta pelaku usaha melakukan manipulasi terhadap isi dokumen SKSHH ataupun dengan membeli SKSHH untuk melegalkan kayu yang diperoleh dari praktek penebangan liar. Praktek penebangan liar yang terjadi disebabkan karena adanya kerjasama antara masyarakat lokal berperan sebagai pelaksana dilapangan
dan pemodal atau cukong yang akan membeli kayu-kayu hasil
tebangan tersebut, adakalanya tidak hanya menampung dan membeli kayukayu hasil tebangan namun juga mensuplai alat-alat berat, alat tebang lainya kepada masyarakat untuk kebutuhan penebangan ataupun pengangkutan. Penanggulangan
terhadap
maraknya
tindak
pidana
kehutanan,
dilakukanlah reformulasi kebijakan hukum pidana, dari jajaran aparat penegak
hukum dari penyidik Polri maupun penyidik PPNS Kehutanan sesuai lingkup tugasnya yang bertanggung jawab terhadap pengurusan hutan, Kejaksaan maupun pengadilan/hakim, yang sebelumnya mempergunakan Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 yang ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan. Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, merupakan sarana menjadi
instrumen
hukum
dalam
menanggulangi
pemberantasan tindak pidana kehutanan. tidak menyebutkan adanya istilah
pencegahan
dan
Dalam Undang-undang tersebut
illegal logging yang dimaksud dengan
illegal logging berdasarkan berdasarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu illegal (Illegal Logging) dan Peredaran Hasil hutan Illegal di Kawasan Ekosistem Leuser dan taman Nasional Tanjung Puting, adalah penebangan kayu dikawasan hutan dengan tidak sah. Menurut pendapat Haryadi Kartodiharjo93,
illegal logging merupakan
penebangan kayu secara tidak sah dan melanggar peraturan perundangundangan, yaitu berupa pencurian kayu di dalam kawasan hutan Negara atau hutan hak (milik) dan atau pemegang ijin melakukan penebangan lebih dari jatah yang telah ditetapkan dalam perizinan.
93
Haryadi Kartodiharjo, Modus Operandi, Scientific Evidence dan Legal Evidence dalam kasus Illegal Logging, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Hakim Penegakan Hukum Lingkungan yang diselenggarakan, oleh ICEL bekerjasama dengan Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2003.
Penegakan hukum pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP, setelah diberlakunya Undang-undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
terhadap perbuatan memanfaatkan kayu hasil hutan tanpa ijin pihak yang berwenang, hal tersebut dikenakan ancaman pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 50 mentukan perbutan pidana atau tindak pidana dan Pasal 78 mengatur sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang notabene ancaman pidananya lebih berat dibandingkan dengan dikenai pasal-pasal dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam Ketentuan penjelasan pasal 50 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, yang dimaksud dengan orang adalah subyek hukum baik orang pribadi, badan hukum maupun badan usaha dengan tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang perumusan tindak pidananya sehingga sanksi pidana terhadap orang pribadi dan korporasi juga diberlakukan sama sanksi pidananya. Dalam rumusan pasal-pasal dalam Undang-undang sebelumnya baik, dalam ketentuan umum yang terdapat dalam KUHP dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, masih banyak kelemahan sehingga tidak mampu atau tidak efektif untuk mengakomodir tindakan kebaharuan perusakan hutan dan memberikan efek jera bagi pelaku. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, juga sulit untuk menjerat para pelaku usaha atau badan
hukum
berupa
korporasi
dengan
permasalahan
tersebut
diundangkanlah Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebagai solusi untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan dengan dengan kebijakan formulasi hukum pidana yang lebih ketat dan tegas. Adanya berbagai kasus diberbagai daerah dimana seseorang karena sekedar memenuhi kebutuhan ekonomi menebang, mengambil membawa dan memanfaatkan sebatang kayu dari hutan tanpa ijin pejabat yang berwenang dikenakan tindak pidana kehutanan, apabila dikaitkan dengan
tujuan
pemidanaan menimbulkan permasalahan yang dihubungkan dengan tujuan penanggulangan kejahatan (criminal policy) sebagai upaya perlindungan masyarakat (social deffence) untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan masyarakat (social welfare), menjadikan pemikiran cukuplah mereka yang karena sekedar memenuhi kebutuhan ekonomi atau perut diancam dengan hukuman yang sama dengan pemilik modal yang jelas-jelas mencuri kayu hutan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Dalam mengantisipasi tindak pidana
kehutanan,
menjadi sangat
penting untuk melakukan suatu kebijakan hukum pidana khususnya kebijakan legislatif atau formulatif, yaitu bagaimana memformulasikan suatu perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana perusakan hutan, syarat apa saja yang harus dipenuhi untuk mempersalahkan atau mempertanggungjawabkan bagi seseorang melakukan perbuatan perusakan hutan dan sanksi atau pidana apa yang sepatutnya dikenakan serta bagaimana dalam menerapkan kebijakan legislatif tersebut oleh badan yudikatif.
1. Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Suatu perbuatan pidana atau kejahatan yang berdampak pada kerusakan hutan merupakan tindak pidana khusus
yang diatur dengan
ketentuan hukum pidana dan hukum acara pidana tersendiri. Seseorang yang telah melakukan tindak pidana belum tentu dapat dipidana karena sebelum menentukan terdakwa dipidana, terlebih dahulu harus ditetapkan dua hal yaitu apakah perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana atau bukan dan apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atau tidak perbuatan pidananya. Dalam menentukan adanya suatu tindak pidana harus didasarkan pada asas legalitas (dalam pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dinyatakan “tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana, jika tidak ada aturan pidananya”, sebagaimana disebutkan di atas sedangkan menentukan adanya pertanggung jawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan. Istilah lain dari asas kesalahan ini adalah “asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”, disebut asas culpabilitas atau dikenal dengan istilah bahasa Belanda “geen straf zonder schuld” dan “keine strafe ohne
schuld” dalam bahasa Jerman. Asas legalitas yang berkaitan dengan tindak pidana atau aturan pidana sedangkan asas kesalahan berkaitan dengan orang yang berbuat pidana atau berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana, termasuk juga hukum pidana berkaitan dengan prosedur dan sitem pemidanaan. Dalam
kasus tindak pidana kehutanan terdapat kriteria yang dapat menunjukan hukum pidana khusus itu, yaitu
pertama adalah menyangkut dengan
orang-orangnya atau subjeknya yang khusus, dan kedua perbuatannya yang khusus (bijzonder lijk feiten). Hukum pidana khusus yang subjeknya khusus maksudnya adalah subjek atau pelakunya yang khusus seperti hukum pidana militer yang hanya untuk golongan militer, kedua hukum pidana yang perbuatannya yang khusus maksudnya adalah perbuatan pidana yang dilakukan khusus dalam bidang tertentu seperti hukum fiskal yang hanya untuk delik-delik fiskal. Perbuatan yang merupakan tindak pidana kehutan merupakan tindak
pidana
khusus
yang
dalam
kategori
hukum
pidana
yang
perbuatannya khusus, yaitu untuk delik-delik atau tindak pidana yang terkait dengan penggunaan kawasan hutan, pengelolaan hasil hutan kayu dan peredaran hasil hutan serta investasi yang ada terdapat di dalamnya.
a. Ketentuan pidana umum dalam KUHP yang terkait Tindak Pidana Kehutanan Pada dasarnya tindak pidana kehutanan atau perbutan yang dikategorikan sebagai perusakan hutan, secara umum berkaitan langsung dengan unsur-unsur tindak pidana umum yang terdapat dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)94. Perbuatan pidana pada Buku II KUHP tentang Kejahatan, berkaitan dengan kebijakan formulasi tindak pidana 94
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP.
kehutanan dapat dikelompokan dalam beberapa bentuk kejahatan secara umum sebagai berikut :
1. Pengerusakan (Pasal 406 sampai dengan pasal 412 KUHP) Perbutan pengerusakan sebagaimana diatur dalam Pasal 406 sampai hutan
Pasal 412 KUHP, terhadap perkara tindak pidana perusakan atau
dalam
tindak
pidana
kehutanan,
berkaitan
dengan
pengerusakan dalam ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, terdapat dalam Pasal 25 dan Pasal 26 dinyatakn bahwa “setiap orang dilarang merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan dan/atau merusak, memindahkan atau menghilangkan pal batas luar kawasan hutan, batas fungsi kawasan hutan atau batas kawasan hutan yang berimpit dengan batas negara yang mengakibatkan perubahan bentuk dan atau luasan kawasan hutan”. Dari ketentuan tersebut konsep pemikiran tentang pengerusakan yang terdapat dalam KUHP tersebut di atas, pengerusakan dalam sistem pengelolaan
hutan
yang
mengandung
fungsi
perlindungan
dan
pengawasan terhadap kawasan hutan untuk tetap menjamin keutuhan kawasan dan kelestarian fungsi hutan yang berdaya guna bagi kehidupan. Umumnya
tindak
pidana kehutanan
hakekatnya merupakan
kegiatan yang menyalahi ketentuan perizinan yang ada atau tidak memiliki izin secara resmi maupun yang memiliki izin namun melanggar dari ketentuan yang ada dalam perizinan itu, secara umum adalah
berkaitan
dengan
penggunaan
kawasan
hutan
dan
pemanfaatan
terhadap hasil hutan, contohnya pemanfaatan hasil hutan yang diberikan izin dalam bentuk Izin Pemanfaatan Kayu Hutan Alam (IPKHA) terjadi over atau penebangan di luar areal konsesi yang dimiliki termasuk penebangan liar, penggunaan kawasan untuk pertambangan yang menyalahi prosedur atau izin terdapat kerugian negara artinya kerugian secara materil maupun inmateril dari kerusakan sumber daya hutan dan ekosistemnya tersebut.
2. Pencurian (Pasal 362 -363 KUHP) Kegiatan penebangan liar dalam kawasan hutan atau sering disebut dengan istilah illegal logging merupakan perbuatan pidana pencurian dilakukan dengan unsur kesengajaan dan tujuan dari kegiatan itu adalah untuk mengambil manfaat dari hasil hutan berupa kayu tersebut (untuk dimiliki). Dalam Pasal 362 KUHP disebutkan “barang siapa mengmabil barang sesuatu kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum dapat dipidana”, perbuatan tersebut dalam ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, terdapat dalam Pasal 12 huruf a, b dan c, “menebang pohon dalam kawasan hutan tidak sesuai izin, tanpa memiliki izin atau secara tidak sah. Dalam ketentuan perundangan yang mangatur tentang hak dan kewajiban dalam pemanfaatan hasil hutan berupa hasil hutan kayu, yang bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
berarti kegiatan kegiatan tersebut dapat dikatagorikan sebagai perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan hukum baik yang dilakukan dengan adanya unsur kesengajaan ataupun dengan unsur kelalaian. Perbuatan perusakan hutan yang dilakukan berupa penebangan kayu di dalam areal kawasan hutan atau penebangan dalam kawasan hutan yang bukan menjadi haknya menurut hukum.95 Perbutan demikian merupakan mengambil suatu yang bertentangan dengan hukum atau pencurian karena bukan menjadi haknya yang seharusnya menjadi hak negara.
3. Penyelundupan Pasal 121 KUHP Perbuatan penyelundupan hingga saat ini, belum ada peraturan perundang-undangan
yang
secara
khusus
mengatur
tentang
penyelundupan kayu hasil penebangan liar, bahkan dalam KUHP yang merupakan ketentuan umum terhadap tindak pidana belum mengatur tentang
penyelundupan.
Kegiatan
selama
ini
berkaitan
dengan
penyelundupan sering hanya dipersamakan dengan tindak pidana pencurian oleh karena memiliki persamaan unsur yaitu tanpa hak mengambil barang milik orang lain. Berdasarkan pada pemahaman tersebut, kegiatan atau usaha penyelundupan kayu atau peredaran hasil hutan kayu secara tidak sah atau illegal menjadi bagian dari rangkaian perbuatan yang dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana kehutanan. Penyelundupan hasil hutan ataupun pengusaan hutan tanpa izin yang sah dapat dikategorikan 95
Pope, Strategi Memberantas Korupsi, (Yayasan Obor Indonesia, Jakara, 2003), hlm.19
sebagai penyelundupan, dalam ketentuan ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, ketetuan tersebut diatur dalam Pasal 12 huruf e, f, g, h, i, j, k, l, m, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, pasal ini berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan kayu seara illegal atau tanpa izin atau dengan dokumen atau tanpa dokumen SKSHH yang palsu atau tidak sesuai dengan dokumen terhadap penguasaan hasil hutan. ketentuan penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan dan perkebunan, diketentuan perbuatan pidana pertambangan dalam kawasan hutan pada Pasal 17 ayat 1 huruf a, b, c, d dan e. Ketentuan perbuatan pidana perkebunan dalam kawasan hutan dan Pasal 17 ayat 2 huruf a, b, c, d, e, Pasal 19 huruf f “mengubah status kayu hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan huttan secara tidak sah.
Pada
umumnya ketentuan pasal tersebut terdapat kesamaan unsu-unsur pencurian atau penggelapan yang terdapat dalam KUHP.
4. Pemalsuan (Pasal 261-276 KUHP) Pemalsuan surat atau pembuatan surat palsu menurut penjelasan Pasal 263 KUHP adalah membuat surat yang isinya bukan semestinya atau membuat surat sedemikian rupa, sehingga menunjukkan seperti aslinya. Surat dalam hal ini adalah yang dapat menerbitkan suatu hal, suatu perjanjian, pembebasan utang dan surat yang dapat dipakai sebagai suatu terangan perbuatan atau peristiwa pidana. Ancaman
pidana terhadap pemalsuan surat menurut Pasal 263 KUHP ini adalah pidana penjara paling lama 6 tahun, dan Pasal 264 paling lama 8 Tahun. Dalam praktek tindak pidana perusakan hutan atau tindak pidana dibidang kehutanan, salah satu modus operandi yang sering digunakan oleh pelaku dalam melakukan kegiatannya adalah dengan melakukan pemalsuan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), pemalsuan tanda tangan, pembuatan stempel palsu, atau keterangan Palsu dalam SKSHH, artinya tidak terdapat kesesuaian yang terdapat dalam dokumen SKSHH dengan fisik kayu hasil hutan maupun dalam perijinan terhadap penggunaan kawasan hutan terlebih lagi terhadap hasil hutan kayu. Perbuatan
pidana
Pemalsuan
dalam
KUHP
direformulasikan
kedalam ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, diatur dalam ketentuan Pasal 24 huruf a, b, dengan ketentuan memalsukan surat izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan, menggunakan izin palsu dan/atau memindahtangankan atau menjual izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang kecuali dengan persetujuan Menteri.
5. Penggelapan (Pasal 372 -377 KUHP) Unsur-unsur penggelapan dalam tindak pidana dibidang kehutanan atau illegal logging antara lain, seperti over cutting yaitu penebangan di luar areal konsesi yang dimiliki, penebangan yang melebihi target kuota yang ada (over capsity), dan melakukan penebangan sistem terbang
habis sedangkan ijin yang dimiliki adalah sistem terbang pilih, pencantuman data jumlah kayu dalam Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) yang lebih kecil dari jumlah yang sebenarnya, penggelapan sebagimana diatur dalam KUHP tesebut diatur khusus dalam
ketetuan
Undang-undang
Nomor
18
Tahun
2013
tetang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
6. Penadahan (Pasal 480 KUHP) Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) penadahan yang kata dasarnya
tadah
adalah
sebutan
lain
dari
perbuatan
persengkokolan atau sengkongkol atau pertolongan jahat. Penadahan dalam bahasa asingnya “heling “ (penjelasan Pasal 480 KUHP). Lebih lanjut dijelaskan oleh R. Soesilo96 sebagai berikut : “Bahwa perbuatan itu dibagi menjadi, perbuatan membeli atau menyewa barang yang diketahui atau patut diduga hasil dari kejahatan, dan perbuatan menjual, menukar atau menggadaikan barang yang diketahui atau patut diduga dari hasil kejahatan”. Ancaman pidana dalam Pasal 480 KUHP itu adalah paling lama 4 tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900,- (sembilan ratus
rupiah), modus ini banyak dilakukan dalam transaksi perdagangan kayu illegal baik di dalam maupun di luar negeri, bahkan terdapat kayu-kayu hasil
pembalakan liar illegal logging
pelaku baik penjual maupun pembeli.
96
Ibid, hlm. 260.
yang nyata-nyata diketahui oleh
Perbuatan penadahan atau persekongkolan atau pertolongan jahat dalam ketentuan yang terdapat di Undang-undang Nomor 18 tahun 2013 tetang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dapat di persamakan sebagai perbuatan yang diatur dalam Pasal 19 huruf a, c, d, f, g, h, i, dalam ketentuan dinyatakan sebagai perbuatan, menyuruh, mengorganisasi
atau
menggerakkan
penebangan
liar
dan/atau
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, melakukan permupakatan jahat,
mendanai,
penggunaan
mengubah
kawasan
hutan,
status
pembalakan
bahkan
liar
dan/atau
pesekongkolan
dalam
menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menitipkan dan/atau menukarkan surat berharga lainnya serta harta kekayaan lainnya
dan/atau
menyembunyikan
atau
menyamarkan
yang
diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil dari pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.
b. Ketentuan Tindak Pidana Kehutanan dalam Undang-undang dibidang Kehutanan Dalam rangka untuk penanggulangan tindak pidana kehutanan atau pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perusakan hutan, terdapat berapa peraturan perudang-undangan yang mengatur ketentuan pidana kaitannya dengan perlindungan hutan, penggunaan kawasan hutan, pemanfatan hasil hutan dan konservasi sumberdaya alam hayati dan eksistemnya.
Peraturan perundang-undangan atau Undang-undang yang ada dibidang kehutanan sampai saat ini, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Ketentuan dalam penanggulangan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan atau tindak pidana dibidang kehutanan termasuk di dalamnya adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dalam ketentuan Undang-undang ini, diatur dua macam perbuatan pidana yaitu kejahatan dan pelanggaran sedangkan sanksi pidana dapat berupa pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda. Perbutan pidana
atau tindak pidana dalam undang-undang ini,
ditentukan dalam ketentuan Pasal 40 ayat 1 dan 2
dan sistem
pemidanaan atau ketentuan sanksi pidana diatur dalam Pasal 40 ayat 3 dan 4 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sedangkan unsur-unsur perbuatan pidana lainya
diatur dalam pasal 19, 21 dan Pasal 33 dan sanksi
pidananya ditentukan dalam pasal 40 ayat 1, 2 dan 3 dalam Undangundang Nomor 5 Tahun 1990 tetang KSDHE. Unsur-unsur perbuatan yang dilakukan, baik yang dilakukan dengan unsur
kesengajaan
atau
disebabkan
karena
adanya
kelalaian,
mengakibatkan kerusakan terhadap hutan atau kawasan hutan dan ekosistemnya. Pertama pada ketentuan di dalam Undang-undang Nomor
5 Tahun 1990 tetang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, hanya khusus pada kawasan suaka alam, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam.
Kedua
perbuatan yang
dilakukan dengan adanya unsur kesengajaan maupun karena kelalaian mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut,
memperniagakan,
dan
menyelundupkan
hasil
hutan.
Ketentuan khusus berkaitan dengan hasil hutan berupa tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi yaitu jenis spesies tertentu yang terancam kepunahan diatur lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 20 ayat 1 Undangundang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
2. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Penanggulangan
tindak
pidana
kehutanan
atau
perbuatan
perusakan hutan, selama ini telah dilakukan dengan instrumen hukum pidana yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah diubah peraturan pemerintah pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 yang ditetapkan menjadi Undangundang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan, belum berjalan secara efektif dan belum menunjukkan hasil yang optimal dalam penanganan serta memberikan efek jera bagi pelaku perusakan hutan. Belum oftimalnya penanganan terhadap tindak pidana kehutanan atau perusakan hutan adalah salah satunya disebabkan oleh peraturan
perundang-undangan yang ada sebelumnya, belum secara tegas sanksi pidana bagi pelakau tindak pidana perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi atau yang dilakukan oleh badan hukum atau korporasi. Dengan telah diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, merupakan payung hukum dalam bentuk undang-undang merupakan landasan hukum dasar agar kejahatan perusakan hutan terorganisasi dapat ditangani secara efektif dan efisien serta pemberian efek jera kepada pelakunya baik, yang dilakukan oleh orang perseorangan, badan hukum atau korporasi dan pejabat pemerintah yang tidak menjalankan tugas sesuai dengan kewenangannya. Kegiatan penanggulangan tindak pidana dibidang kehutanan dengan menggunakan instrumen yang ada dalam ketentuan Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang diatur pada ketentuan pasal 50 ayat 3 huruf a sampai dengan huruf
m dan
ketentuan sanksi pidana yang diatur dalam pasal 77 dan 78 sebagian besar dicabut dan dinnyatakan tidak berlaku. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, menyebutkan bahwa ketentuan Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, serta huruf k dan ketentuan Pasal 78 ayat (1) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (1) serta ayat (2) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat
(6), ayat (7), ayat (9), dan ayat (10) dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Berdasarkan
ketentuan
tersebut
di
atas,
berdampak
pada
penangan terhadap perkara-perkara tindak pidana kehutanan atau perbuatan perusakan hutan. Penanganan tindak pidana kehutanan beralih
dan mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam ketentuan
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, terkeculi pada ketentuan pasal-pasal yang tidak dicabut dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
3. Kebijakan Formulasi Tindak Pidana
Kehutanan dalam Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Dalam ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemeberantasan Perusakan Hutan, bahwa perbuatan perusakan seperti; pembalakan liar (illegal logging), pertambangan tanpa izin dalam kawasan hutan, perkebunan tanpa izin, penggunaan ataupun pemanfaatan kawasan hutan dan hasil hutan tanpa izin. Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian negara, baik kerugian materil dan inmateril berupa kerusakan lingkungan, terjadinya banjir, longsor yang berdampak pada kehidupan sosial budaya, ekonomi serta meningkatkan
pemanasan global dan permaslahan ini telah menjadi isu pada tingkat nasional, regional, dan internasional. Perbuatan perusakan hutan tersebut telah menjelma menjadi suatu tindak pidana yang berdampak luar biasa (extra ordinary), masif, terorganisir, melintasi batas-batas wilayah dan lintas negara. Kejahatan ini dilakukan dengan berbagai modus operandi, dengan kebaharuan modus yang canggih sesuai perkembangan teknologi informasi, sarana dan prasarana. Kejahatan ini tentu mengancam keberlangsungan kehidupan
mahluk
hidup,
sumber
daya
alam
hayati
beserta
ekosistemnya, kehidupan bermasyarakat dan bangsa. Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang efektif dan pemberian efek jera bagi pelaku, diperlukan landasan hukum yang kuat dan mampu menjamin efektivitas pencegahan dan penegakan hukum. Kebijakan formulasi hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan sebagaimana dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun
2013 tentang Pencegahan
dan Pemberantasa
Perusakan Hutan di dalamnya diatur perbuatan yang dilarang atau jenisjenis tindak pidana kehutanan, ketentuan undang-undang ini juga diatur subjek hukum pertanggungjawaban hukum pidana, terhadap tindak pidana kehutanan adalah orang/manusia alamiah (naturlijke person) dan badan hukum atau korporasi (rechtsperson), serta pejabat pemerintah yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangannya.
Dalam penerapan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sering kali terjadi disvaritas pidana dan dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, oleh karena itu Undangundang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan, dianut sistem pemidanaan dengan sanksi pidana
minimum khusus dan maksimum khusus. Dalam undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, diatur jenis tindak pidana atau perbuatan yang dilarang, subjek hukum pertanggujawaban pidana dan sistem pemidanaan atau sanksi. Pengaturan sanksi pidana dibedakan antara yang dilakukan oleh orang perseorangan dengan orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau berada disekitar kawasan hutan, korporasi atau badan hukum dan pejabat pemerintah. Untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh dari sitsem pemidanaan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel : Formulasi Tindak Pidana Kehutanan Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan No.
Jenis Tindak Pidana
Kesalahan
1.
Pasal 82 ayat (1) Orang perseorangan ; a. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tidak sesuai izin. (Pasal 12 huruf a). b. melakukan penebang pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin dari pejabat yang berwenang. (Pasal 12 huruf b ).
Kesengajaan
Sanksi Pidana Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp. 500.000.000,(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah).
c. melakukan penebang pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah (Pasal 12 huruf c ).
2.
ayat (2) Orang perseorangan bertempat tinggal di dalam dan/atau sekitar kawasan hutan
Pidana penjara paling singkat 3 bulan dan paling lama 2 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp.500.000,(lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
ayat (3) Korporasi
Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,(lima belas miliar rupiah).
Pasal 83 ayat (1) Orang Perseorangan ; a. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin. (Pasal 12 huruf d )
Kesengajaan
Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.500.000.000,(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah).
Kelalaian
Pidana penjara paling singkat 8 bulan dan paling lama 3 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.10.000.000,sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
b. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan. (Pasal 12 huruf e) c. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar. (Pasal 12 huryf h ). ayat 2 orang perseorangan
ayat 3 orang perseorangan bertempat tinggal di dalam dan/atau sekitar kawasan hutan, melakukan pada ayat (1) c) dan ayat (2) c )
Pidana penjara paling singkat 3 bulan dan paling lama 2 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp.500.000,- dan
paling banyak Rp.500.000.000,ayat 4 Korporasi;
3.
Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).
Pasal 84 ayat (1) Orang perseorangan membawa alatalat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. (Pasal 12 huruf f ) Pasal 84 ayat (2) Orang perseorangan membawa alatalat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. (Pasal 12 huruf f ) Pasal 84 ayat perseorangan tinggal di dalam disekitar kawasan, (1) dan ayat (2)
Kesengajaan
Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.250.000.000,(dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
Kelalaian
Pidana penjara paling singkat 8 bulan dan paling lama 2 (dua) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
3 Orang bertempat dan/atau pada ayat
Pidana penjara paling singkat 3 bulan serta paling lama 2 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp.500.000-, (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)
Pasal 84 ayat 4 Korporasi membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. (Pasal 12 huruf f ) 4.
Pasal 85 ayat 1 Orang perseorangan membawa alatalat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
Pidana denda paling sedikit Rp. 2.000.000.000-, (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).
Kesegajaan
Pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah).
(Pasal 12 huruf g ). Pasal 85 ayat (2) Korporasi yang membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. (Pasal huruf 12 g ). 5.
Pasal 86 ayat 1 Orang perorangan ; a. mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat, perairan, atau udara. (Pasal 12 huruf i ). b. menyelundupkan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui sungai, darat, laut, atau udara. (Pasal 12 huruf j ).
Pidana denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,(lima belas miliar rupiah).
Kesengajaan
Pasal 86 ayat (2) Korporasi
6.
Pasal 87 ayat (1) Orang perseorangan ; a. menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan, dan/atau memiliki hasil hutan yang diketahui berasal dari pembalakan liar. (Pasal 12 k ). b. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah. (Pasal 12 huruf l ). c. menerima, menjual, menerima tukar, menerima
Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.500.000.000,(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah).
Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah). Kesengajaan
Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.500.000.000,(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah).
titipan, menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah. (Pasal 12 m) Pasal 87 ayat (2) Orang perseorangan
7.
Kelalaian
Pidana penjara paling singkat 8 bulan dan paling lama 3 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.250.000.000,(dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
Pasal 87 ayat 3 Orang perorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau disekitar kawasan hutan, melakukan pada ayat (1) dan ayat (2)
Pidana penjara paling singkat 3 bulan dan paling lama 2 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp.500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 87 ayat (4) Korporasi
Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).
Pasal 88 ayat (1) Orang perseorangan ; a. melakukan pengangkutan kayu hasil hutan tanpa memiliki dokumen yang merupakan surat keterangan sahnya hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (Pasal 16) b. memalsukan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu dan/atau menggunakan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu yang palsu. (Pasal 14 ) c. melakukan
Kesengajaan
Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.500.000.000,(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah).
penyalahgunaan dokumen angkutan hasil hutan kayu yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang. (Pasal 15 )
Pasal 88 ayat (2) Korporasi
7.
Pasal 89 ayat (1) Orang Perseorangan : a. melakukan kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri. (Pasal 17 ayat (1) huruf b) dan/atau
Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).
Kesengajaan
b. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan penambangan dan/atau mengangkut hasil tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri. (Pasal 17 ayat (1) huruf a). Ayat (2) Korporasi ;
8.
’
Pasal 90 ayat (1) Orang perseorangan mengangkut dan/atau menerima titipan hasil tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin. (Pasal 17 ayat (1) huruf c).
Pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.10.000.000.000,(sepuluh miliar rupiah).
Pidana denda paling sedikit Rp.20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.50.000.000.000,- (lima puluh miliar rupiah). Kesengajaan
Pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
ayat (2) Korporasi
9.
Pasal 91 ayat (1) Orang perseorangan :
Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,(lima belas miliar rupiah). Kesengajaan
a. menjual, menguasai, memiliki, dan/atau enyimpan hasil tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin. (Pasal 17 ayat (1) huruf d) dan/atau
Pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
b. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil tambang dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin (Pasal 17 ayat (1) huruf e). ayat (2) Korporasi
10.
Pasal 92 ayat (1) Orang perseorangan; a. melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri di dalam kawasan hutan. (Pasal 17 ayat (2) huruf b ) dan/atau b. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri. (Pasal 17 ayat (2) huruf a). ayat (2) Korporasi
Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah). Kesengajaan
Pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
Pidana denda paling sedikit Rp.20.000.000.000,- (dua
puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.50.000.000.000,(lima puluh miliar rupiah). 11.
Pasal 93 ayat (1) Orang perseorangan ; a. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin. (Pasal 17 ayat (2) huruf c). b. menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin. (Pasal 17 ayat (2) huruf d ) dan/atau
Kesengajaan
Pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
Kelalaian
Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.100.000.000,(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
c. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf e). ayat (2) Orang perseorangan
ayat (3) Korporasi
12.
Pasal 94 ayat (1) Orang perseorangan ;
Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).
Kesengajaan
Pidana penjara paling singkat 8 tahun dan paling lama 15
12.
a. menyuruh, mengorganisasi, atau menggerakkan membalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 19 huruf a). b. melakukan permufakatan jahat untuk melakukan embalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 19 huruf c ). c. mendanai pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah secara langsung atau tidak langsung. (Pasal 19 huruf d ) dan/atau d. mengubah status kayu hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, seolah-olah menjadi kayu yang sah atau hasil penggunaan kawasan hutan yang sah untuk dijual kepada pihak ketiga, baik di dalam maupun di luar negeri. (Pasal 19 huruf f ).
tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000.000,(seratus miliar rupiah).
ayat (2) Korporasi
Pidana denda paling sedikit Rp.20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000.000,(satu triliun rupiah).
Pasal 95 ayat (1) Orang perseorangan : a. memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dengan mengubah bentuk, ukuran, termasuk pemanfaatan limbahnya. (Pasal 19 huruf g ). b. menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa
Kesengajaan
Pidana penjara paling singkat 8 tahun dan paling lama 15 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000.000,(seratus miliar rupiah).
keluar negeri dan/atau menukarkan uang atau surat berharga lainnya serta harta kekayaan lainnya yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 19 huruf h) dan/atau c. menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sehingga seolaholah menjadi harta kekayaan yang sah. (Pasal 19 huruf i ). ayat (2) Orang perseorangan
Kelalaian
ayat (3) Korporasi
13.
Pasal 96 ayat (1) Orang perseorangan : a. memalsukan surat izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan. (Pasal 24huruf a). b. menggunakan surat izin palsu pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan. (Pasal 24 huruf b)
Pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 5 serta pidana denda paling sedikit Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,(lima miliar rupiah). Pidana denda paling sedikit Rp.20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000.000,(satu triliun rupiah).
Kesengajaan
Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah).
dan/atau c. memindahtangankan atau menjual izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang kecuali dengan persetujuan Menteri (Pasal 24 huruf c) ayat (2) Korporasi
14.
Pasal 97 ayat (1) Orang perseorangan : a. merusak sarana dan prasarana pelindungan hutan (Pasal 25 ) dan/atau
Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,-(lima belas miliar rupiah). Kesengajaan
Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Kelalaian
Pidana penjara paling singkat 8 bulan dan paling lama 2 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.10.000.000,(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
b. merusak, memindahkan, atau menghilangkan pal batas luar kawasan hutan, batas fungsi kawasan hutan, atau batas kawasan hutan yang berimpit dengan batas negara yang mengakibatkan perubahan bentuk dan/atau luasan kawasan hutan. (Pasal 26) ayat (2) Orang perseorangan
ayat (3) Korporasi
Pidana denda paling sedikit Rp.4.000.000.000,- (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).
15.
Pasal 98 ayat (1) Orang perseorangan turut serta melakukan atau membantu terjadinya pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 19 huruf b) ayat (2) Orang perseorangan
Kesengajaan
Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.500.000.000,(satu miliar lima ratus juta rupiah).
Kelalaian
Pidana penjara paling singkat 8 bulan dan paling lama 2 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
ayat (3) Korporasi
16.
Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).
Pasal 99 ayat (1) Orang perseorangan menggunakan dana yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 19 huruf e)
Kesengajaan
ayat (2) Orang perseorangan
Kelalaian
ayat (3) Korporasi
Pidana penjara paling singkat 8 tahun dan paling lama 15 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.10.000.000.000,-(sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah). Pidana denda paling sedikit Rp.20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000.000,(satu triliun rupiah).
17.
Pasal 100 ayat (1) Orang perseorangan mencegah, merintangi, dan/atau menggagalkan secara langsung maupun tidak langsung upaya pemberantasan pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 20).
Kesengajaan
ayat (2) Korporasi
18.
19.
Pasal 101 ayat (1) Orang perseorangan memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi. (Pasal 21)
Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,(lima miliar rupiah).
Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah). Kesengajaan
Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah).
ayat (2) Orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau disekitar kawasan hutan
Pidana penjara paling singkat 3 bulan serta paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah) paling banyak Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
ayat (3) Korporasi
Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).
Pasal 102 ayat (1) Orang perseorangan menghalanghalangi dan/atau menggagalkan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan tindak pidana
Kesengajaan
Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.500.000.000,(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 22) ayat (2) Korporasi
20.
Pasal 103 ayat (1) Orang perseorangan melakukan intimidasi dan/atau ancaman terhadap keselamatan petugas yang melakukan pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 23)
Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Kesengajaan
ayat (2) Korporasi
21.
Pasal 104 Setiap Pejabat yang melakukan pembiaran terjadinya perbuatan pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 sampai dengan Pasal 17 dan Pasal 19, tetapi tidak menjalankan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.
22.
Pasal 105 Setiap pejabat yang ; a. menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan kewenangannya. (Pasal 28 huruf a). b. menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan
Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.500.000.000,(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
Pidana denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,(lima belas miliar rupiah). Kesengajaan
Pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 15 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.7.500.000.000,(tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
Pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
kayu dan/atau izin penggunaan kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (Pasal 28 huruf b). c. melindungi pelaku pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah (Pasal 28 huruf c) d. ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 28 huruf d). e. melakukan permufakatan untuk terjadinya pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 28 huruf e). f. menerbitkan surat keterangan sahnya hasil hutan tanpa hak. (Pasal 28 huruf f) dan/atau g. dengan sengaja melakukan pembiaran dalam melaksanakan tugas sehingga terjadi tindak pidana pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. (Pasal 28 huruf g)
Sumber : Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
Formulasi hukum pidana dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 22013, sebagaimana pada tabel di atas, dalam Undang-undang ini juga diatur berkaitan dengan pejabat yaitu orang yang melakukan pembiaran tidak menjalankan tugas diancam sanksi sebagaimana
Pasal 104, dan setiap
pejabat yang diperintahkan atau orang yang karena jabatannya memiliki kewenangan dengan suatu tugas dan tanggungjawab tertentu, sebagaimana dimaksud dalam sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 105. Perbuatan pidana tersebut dapat dikenakan dengan sanksi pidana dengan ancaman sanksi pidana penjara minimum khusus dan maksimum khusus dan/atau denda. Dalam
Undang-undang
Nomor
18
Tahun
2013,
diatur
pertanggungjawaban pidana adalah subjek hukum adalah korporasi atau badan hukum. Suatu perbuatan pidana atau tindak pidana bilamana dilakukan dapat dikenakan ketentuan pidana sebagaimana terdapat dalam Pasal 109 ayat (5) dan (6), pidana pokok yang dapat dijatuhkan pada korporasi adalah pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 sampai Pasal 103, selain itu korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa penutupan seluruh atau sebagian perusahaan (diatur dalam Pasal 10 KUHP), dan pelanggaran sebagaimana dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, badan hukum atau korporasi dapat dikenai sanksi administratif beruapa; paksaan pemerintah, uang paksa dan/atau pencabutan izin. Dalam penelitian hukum ini peneliti menemukan dalam Undangundang Nomor 18 Tahun 2013, terdapat adanya permasalahan norma hukum, permasalahan
norma
hukum
di
dalamnya
berkaitan
dengan
adanya
kekosongan hukum (blank of norm), adanya kekaburan norma hukum (vage
of norm) dan permasalahan
konflik norma hukum (conflict of norm).
Permasalahan norma hukum dimaksud diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Dalam ketentuan Pasal 1 angka (5)
Undang-undang Nomor 18 Tahun
2013 dinyatakan bahwa ”Penggunaan kawasan hutan secara tidak sah adalah kegiatan terorganisasi yang dilakukan di dalam kawasan hutan untuk perkebunan dan/atau pertambangan tanpa izin Menteri”. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat 5 tersebut di atas, bahwa penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, hanya untuk perkebunan dan/atau
pertambangan.
/pengerjaan/pendudukan
Sedangkan kawasan
untuk
hutan
kegiatan
perambahan
sebagaimana
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010, jo. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2013 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, sebagian penggunaan kawasan hutan tidak termasuk dalam unsur-unsur tindak pidana/delik pidana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, disisi lain tindak pidana atau delik pidana ”mengerjakan dan/atau menggunakan dan/atau menggunakan kawasan hutan secara tidak sah” sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat 3 huruf a undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dinyatakan tidak berlaku dan dicabut sesuai ketentuan Pasal 112 huruf a Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, atas,
tentu
saja
dalam hal kondisi demikian seperti tersebut di
menimbulkan
kekosongan
norma
hukum
dan
ketidakpastian hukum sehingga akan berdampak terhadap penanganan pencegahan dan penindakan terhadap permasalahan atau kasus-kasus penggunaan dan/atau pengerjaan/perambahan dan/atau pendudukan
kawasan hutan secara tidak sah yang berimplikasi terhadap semangat pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. 2. Perbuatan yang dilarang atau tindak pidana
kehutanan (strrafbar fait)
berupa merambah kawasan hutan dalam Pasal 50 ayat 3 huruf b Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, tidak termasuk yang dicabut sebagaimana ketentuan Pasal 112 huruf a Undang-undang Nomor 18 tahun 2013, akan tetapi ketentuan sanksi pidana atau ancaman pidananya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, hal ini sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 112 huruf b yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 78 ayat (1) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (1) serta ayat (2) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf a dan b, ayat (6), ayat (7), ayat (9) dan ayat (10) Undangundang Nomor 41 tentang Kehutanan. Menurut pendapat peneliti, dari ketentuan rumusan perbuatan pidana tersebut di atas, terdapat permasalahan inkonsistensi hukum atau adanya konflik norma hukum, sehingga tidak dapat diterapkan unsur perbuatan pidana atau tidak terjeratnya para pelaku perambahan, pendudukan kawasan hutan. Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berkaitan dengan asas
legalitas hukum pidana dinyatakan bahwa ”tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana jika tidak ada saksi pidana yang mengaturnya” atau dalam bahasa Belanda dikenal ”nullum dillectum nulla poena sine parapie lege
ponalli” atau tidak ada undang-undang yang mengatur.
3. Pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 40 ayat 3 dikemukakan bahwa
Penyidik yang melakukan penyitaan barang bukti temuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 wajib untuk : a. Melaporkan dan meminta izin sita, b. Meminta izin peruntukan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat ) jam sejak dilakukan penyitaan. c. Menyampaikan
tembusan
kepada
kepala
Kejaksaan
Negeri
setempat.
Dari ketentuan tersebut di atas terkait dalam hal Penyidik melakukan penyitaan kepada siapa untuk barang temuan tersebut disita.?, dari ketentuan Pasal 40 ayat 3 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, terdapat kekaburan norma hukum (vage of norm) dalam hal barang bukti temuan terhadap tindak pidana kehutanan, sehingga diperlukan penafsiran hukum dalam hal kekaburan norma hukum sebagaimana permasalahan tersebut di atas. 4. Dalam ketentuan sebagaimana terdapat dalam Pasal 41 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dinyatakan bahwa ketua Pengadilan Negeri setempat, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima permintaan penyidik
sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 ayat 3 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, wajib menetapkan peruntukan pemanfaatan barang bukti. Dari ketentuan tersebut setelah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang menetapkan barang bukti untuk kepentingan publik atau sosial, siapa yang berwenang untuk menentukan peruntukan barang bukti tersebut, hal ini juga diperlukan penafsiran atau petunjuk pelaksana teknis terhadap permasalahan norma di atas. 5. Berdasarkan ketentuan Pasal 44 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, Ayat (1) dinyatakan bahwa Barang bukti kayu hasil pembalakan liar dan/atau hasil dari penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi dimusnahkan, kecuali untuk kepentingan pembuktian perkara dan penelitian”. Ayat (2) dinyatakan “Barang bukti kayu temuan hasil pembalakan liar yang berasal
dari
luar
hutan
konservasi
dimanfaatkan
untuk
kepentingan publik atau kepentingan sosial”. Ayat (3) dinyatakan “Barang bukti kayu sitaan hasil pembalakan liar yang berasal dari luar hutan konservasi dapat dilelang karena dapat cepat rusak atau biaya penyimpanannya terlalu tinggi yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”.
Berdasarkan pada ketentuan pasal tersebut di atas, apakah barang bukti sitaan dan/atau temuan yang berasal dari kawasan hutan lindung dapat dilelang dan apakah barang bukti temuan dari kawasan hutan konservasi dapat dilelang dan hanya untuk kepentingan umum atau sosial. Dalam hal ketentuan berkaitan dengan kebijakan formulasi hukum pidana dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013,
menurut analisa dan
penelitian dari peneliti, bahwa terdapat kelemahan-kelemahan dalam norma yang ada di dalamnya, permasalahan norma hukum tersebut, tentu akan
berdampak
pada
upaya
penanggulangan
pencegahan
dan
pemberantasan perusakan hutan. 6. Dalam hal korporasi atau badan hukum sebagai subjek hukum, apakah apakah korporasi dapat dikenakan sanksi pidana penjara? dalam ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, tidak diatur secara khusus berkaitan dengan korporasi sebagai subjek hukum, sehingga terdapat adanya kekaburan norma (vage of norm) di dalamnya, dalam hal tersebut diperlukan adanya penafsiran hukum. Pengaturan jenis sanksi pidana untuk korporasi diatur dalam Pasal 18 ayat (1), bahwa selain dikenai sanksi pidana, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, huruf b, huruf c, Pasal 17 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf e, dan Pasal 17 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf e yang dilakukan oleh badan hukum atau korporasi dikenai sanksi administratif berupa :
a. Paksaan pemerintah b. Uang paksa; dan/atau c. Pencabutan izin.
Pada umumnya permasalahan norma hukum seperti yang ditemukan
dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, seperti diuraikan di atas solusi permasalahan norma seperti; adanaya kekosongan norma hukum, dapat dilakukan upaya penemuan humum, sedangkan berkaitan dengan adanya permasalahan konflik norma hukum adalah dengan melihat kepada asas-asas hukum untuk meyelesaikan permasalahan konflik tersebut selanjutnya dalam hal terdapat adanya kekaburan dalam norma hukum, dapat dilakukan adalah dilakukan penafsiran hukum berkaitan dengan kekaburan norma.
2. Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Kebijakan (policy) pengaturan pertanggungjawaban pidana memiliki kriteria, bahwa pertanggungjawaban pidana adalah
pertanggungjawaban
pidana yang bersifat pribadi. Dalam hukum pidana Indonesia mengenai perbuatan pidana terdapat asas hukum pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukkum Pidana (KUHP) mengatur ketentuan yang mengatakan bahwa “suatu perbuatan tidak dapat dihukum selama perbuatan itu belum diatur dalam suatu perundang-undangan atau hukum tertulis”, Asas
ini dapat dijumpai pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang disebut legalitas yaitu asas mengenai menjatuhkan
atau
berlakunya
menerapkan
suatu
hukum. pemidanaan
dengan
Untuk
itu
terhadap
asas dalam
seorang
pelaku kejahatan harus memperhatikan hukum yang berlaku. Pertanggungjawaban pidana
dalam peraturan perundang-undangan
Indonesia salah satu kriteria prinsip individualisasi pidana dapat dilihat dari ketentuan Pasal 77 Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa “Kewenangan menuntut pidana hapus, jika terdakwa meninggal dunia”
dari ketentuan
dalam Pasal 77 KUHP tersebut terkandung suatu prinsip, bahwa penuntutan pidana harus ditujukan kepada diri pribadi orang, jika orang yang didakwa telah meninggal dunia, maka penuntutan atas tindak pidana tersebut terhenti, artinya penuntutan tidak dapat dialihkan kepada ahli warisnya. Dalam teori hukum pertanggungjawaban pidana dikenal beberapa asasasas pertanggungjawaban pidana sebagai berikut : 2.1. Asas pertanggungjawaban pidana terbatas (strict liability) Dalam asas pertanggungjawaban terbatas atau absoluth liability bahwa pembuat atau pelaku yang melakukan tindak pidana sudah dapat dipidana apabila
telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana
dirumuskan dalam suatu Undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Asas pertanggungjawaban pidana ini diartikan secara singkat sebagai pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without faul).
2.2. Asas pertanggungjawaban atas kesalahan (geen straf zonder schuld) Seseorang yang telah melakukan tindak pidana belum tentu dapat dipidana karena sebelum menentukan terdakwa yang dipidana, terlebih dahulu harus ditetapkan dua hal yaitu apakah perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana atau bukan dan apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atau tidak, dalam hal menentukan adanya tindak pidana maka didasarkan pada asas legalitas sebagaimana disebutkan di atas, sedangkan menentukan adanya pertanggung jawaban
pidana
didasarkan pada asas kesalahan. Istilah lain dari asas kesalahan ini adalah asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan, “asas culvabilitas” atau “geen
straf zonder schuld” Berkaitan dengan asas legalitas berkaitan dengan tindak pidana, sedangkan asas kesalahan berkaitan dengan orang yang berbuat atau berkaitan
dengan
pertanggungjawaban
pidana.
Pertanggungjawaban
pidana ini dalam istilah bahasa asing disebut sebagai “toerekenbaarheid “, “criminal responsibility” atau “criminal liability”, pertanggungjawaban pidana dimaksudkan
untuk
menentukan
apakah
seseorang tersangka
atau
terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak. Pada negara-negara Anglo Saxon, dikenal dengan asas “Actus non facit reum, nisi mens sit rea” atau disingkat asas “mens
rea”, terjemahan aslinya ialah “evil mind” atau “evil will” atau “guilty mind”. Asas mens rea merupakan subjective guilt yang melekat pada si pembuat. Subjective guilt ini berupa intent
(kesengajaan) atau setidak-
tidaknya negligence (kelalaian). Hanya perlu diketahui bahwa di Inggris ada yang disebut sebagai “strict liability” yang berarti bahwa pada beberapa tindak pidana tertentu atau mengenai unsur tertentu pada sesuatu tindak pidana, tidak diperlukan adanya mens rea. Pemisahan antara asas legalitas dan asas culpabilitas tetapi asas tersebut saling berhubungan. Konsekuensi dipisahkannya tindak pidana dengan orang yang melakukan tindak pidana adalah untuk penjatuhan pidana tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan tindak pidana, jadi meskipun perbuatannya merupakan tindak pidana namun belum tentu orang tersebut dijatuhi pidana, orang tersebut dapat dipidana apabila memenuhi syarat lainnya yaitu orang yang melakukan itu harus mempunyai kesalahan,
dengan
perkataan
lain,
orang
tersebut
harus
dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Unsur-unsur dari kesalahan artinya yang membentuk kesalahan dalam arti ungkapan dasar “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” tersebut adalah sebagai berikut : 1. Mampu bertanggungjawab 2. Mempunyai unsur kesengajaan atau kealpaan dalam hubungan dengan dilakukannya tindak pidana. 3. Tidak adanya alasan-alasan yang memaafkan bagi pembuat atau pelaku dalam melakukan tindak pidana.
Ketiga unsur ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahpisahkan, yang satu bergantung pada yang lain, dalam arti bahwa demikian pula urut-urutan yang disebut kemudian bergantung pada yang disebutkan terlebih dahulu, pengertian dan sekaligus perbedaan antara unsur kesengajaan dan kealpaan menurut Roeslan Saleh yaitu ; “Unsur kesengajaan adalah kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang diharuskan atau dilarang oleh aturan perundang-undangan. Baik unsur cognitif maupun unsur volitif merupakan ciri unsur kesengajaanan. Jadi baik kehendak maupun pengetahuan, sedangkan Kealpaan adalah tidak hati-hati atau kurang memikirkan kemungkinan terjadinya sesuatu yang adalah terlarang”. 97 Perumusan pertanggungjawaban pidana ini tidak ada di dalam KUHP dan selama ini lebih banyak didasarkan pada teori-teori dalam hukum pidana. Dalam rancangan Konsep KUHP Tahun 2004, pertanggungjawaban pidana dirumuskan dalam Pasal 34 yang berbunyi “pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subyektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu”.
2.3. Asas pertanggungjawaban vicarious liability Asas
pertanggunjawaban
vicarious
liability
diartikan
sebagai
pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain merupakan bentuk pertanggungjawaban sebagai
97
Ibid.,
pengecualian dari asas kesalahan. Adapun cara untuk mempidana korporasi adalah sebagai berikut : 1. Korporasi dapat dikenakan pidana berdasarkan asas strict liability atas kejahatan yang dilakukan oleh pegawainya. 2. Korporasi dapat dikenakan pidana berdasarkan asas identifikasi, dimana mengakui tindakan anggota tertentu dari korporasi, dianggap sebagai tindakan korporasi itu sendiri. Teori ini menyebutkan bahwa tindakan dan kehendak dari direktur juga merupakan tindakan kehendak dari korporasi.98 Korporasi
mempunyai
sifat
yang
mandiri
dalam
hal
pertanggungjawaban pidana, sehingga korporasi tidak dapat disamakan dengan model pertanggungjawaban vicarious liability. Perbedaan pertanggungjawaban korporasi enterprise liability
dengan
vicarious liability
dapat dilihat pada direktur adalah identik dengan korporasi sehingga dikatakan bahwa tindakan direktur itu juga merupakan tindakan dari korporasi asal tindakan yang dilakukan oleh direktur adalah masih dalam ruang
lingkup
pekerjaannya
dan
demi
keuntungan
korporasi
yang
dipimpinnya. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya mengandung makna pencelaan pembuat dan/atau pelaku (subjek hukum) atas tindak pidana yang telah dilakukannya, pertanggung jawaban pidana mengandung di dalamnya pencelaan atau pertanggungjawaban seara objektif dan subjektif.
98
Mardjono Reksodiputro, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Korporasi, Makalah seminar Nasional Kejahatan Korporasi, (Semarang, Fakultas HUkum Universitas Diponegoro, 1989), hlm. 9.
Masalah pertanggungjawaban pidana dan khususnya pertanggungjawaban pidana yang berkaitan dengan beberapa hal antara lain sebagai berikut
99
:
a. Ada atau tidaknya kebebasan manusia untuk menentukan kehendak. a. Tingkat kemampuan bertanggungjawab; mampu, kurang mampu, tidak mampu. b. Batas umur untuk dianggap mampu atau tidak mampu bertanggung jawab Permasalahan pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan bukanlah masalah tentang proses sederhana mempidanakan seseorang dengan menjebloskannya ke penjara, pemidanaan harus mengandung unsur kehilangan atau kesengsaraan yang dilakukan oleh institusi yang berwenang karenanya pemidanaan bukan merupakan balas dendam dari korban terhadap pelanggar hukum yang mengakibatkan penderitaan.
3. Kebijakan Formulasi Sistem Pemidanaan (Punishment Syistem) Kebijakan formulasi sistem pemidanaan (punisment syistem) yang diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Berkaitan dengan sistem pemidanaan terlebih dahulu dikemukakan sistem pemidanaan secara umum terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai sistem pemberian atau penjatuhan pidana atau sanksi pidana. Sistem pemidanaan ini, dilihat dari dua sudut yaitu dari sudut fungsional dan dari sudut norma-substantif, sistem pemidanaan dari sudut 99
Marjono Reksodiputro, Op.cit, hlm. 12
fungsional dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem konkretisasi pidana atau keseluruhan sistem mengatur bagaimana hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkrit sehingga seseorang dijatuhi sanksi pidana. Dilihat dari sudut norma-substantif merupakan sistem pemidanaan sebagai keseluruhan sistem aturan atau norma hukum pidana materiel untuk pemidanaan, atau keseluruhan sistem aturan atau norma hukum pidana materiel untuk pemberian atau penjatuhan dan pelaksanaan pidana. Pengertian demikian, keseluruhan peraturan perundang-undangan rules hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan yang terdiri dari aturan umum dalam Buku I KUHP dan aturan khusus terdapat dalam Buku II dan Buku III KUHP maupun dalam Undang-undang khusus yang diatur di luar KUHP100. Sumber hukum yang disusun melalui sistem kodifikasi dalam KUHP tidak hanya kumpulan peraturan hukum pidana atau norma-norma hukum pidana, akan tetapi memuat juga asas-asas hukum pidana, dengan demikian KUHP sebagai sumber hukum yang berlaku secara umum untuk semua perbuatan yang diatur dalam perundang-undangan lain, sepanjang tidak ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan lain tertentu. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia sekarang ini adalah KUHP yang berasal dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang merupakan peninggalan pemerintah kolonial Belanda yaitu Wetbook van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang mulai 100
Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana, Op Cit, hlm. 261-263
berlaku pada tanggal 1 Januari 1918. WvSNI merupakan turunan dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda Wetbook van Strafrecht tanggal 2 Maret 1881 dan mulai berlaku pada tanggal 1 September 1886 sesuai dengan ketentuan terakhir invoeringswet April 1886, Stb. 64101.
van Strafrecht voor Nederlandsch Indie
berlaku
Wetbook
berdasarkan asas
konkordansi kolonial Belanda yaitu Indonesia dan/atau penambahan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan di Indonesia. Setelah Indonesia merdeka berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945, pidana Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan
Hukum
Pidana,
setelah
diadakan
perubahan
dan/atau
penambahan yang disesuaikan dengan kedudukan dan keadaan Indonesia yang sudah merdeka sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 sebagai berikut : a. Pasal V menentukan bahwa peraturan hukum pidana yang seluruhnya atau
sebagian
yang
sekarang
idak
dapat
dijalankan
atau
bertentangan dengan kedudukan Indonesia sebagai negara merdeka atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap tidak berlaku. b. Pasal VI menentukan bahwa Nama Undang-Undang Hukum Pidana
Wetbook van Strafrecht voor Nederlandsch Indie, Strafrecht yang kemudian disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau dikenal KUHP.
101
J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana I, Hukum Pidana Materiel Bagian Umum, Terjemahan Hasnan, cetakan kedua, (Bandung, Binacipta, 19887), hlm. 1
c. Pasal VIII memuat perubahan kata-kata dan penghapusan beberapa pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai salah satu sumber hukum pidana di Indonesia, memiliki sifat yang statis jika dibandingkan dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Artinya ketentuan-ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam KUHP seringkali tidak dapat diterapkan pada peristiwa atau perbuatan tertentu dalam perkembangan masyarakat. Sistem pemidanaan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana van
Strafrecht
sangat sederhana dan berhati-hati, karena pada waktu itu
belum ada kepastian tentang dasar hukum pidana. Pada waktu itu Menteri Kehakiman Modderman mengatakan bahwa asas darimana pembuat Undang-undang bertolak adalah bahwa hanya boleh dipidana terutama sesuatu yang melanggar hukum. Ini adalah syarat mutlak dan ditambah dengan syarat bahwa pelanggaran hukum terjadi, apabila menurut pengalaman mengingat keadaan tertentu dalam masyarakat, perbuatan itu tidak dapat ditahan sepantasnya dengan sarana lain. Ancaman dengan pidana harus tetap sebagai suatu “ultimatum remidium” . Dalam memilih pidana pembuat Undang-undanag membatasi diri, dan
memilih
sistem
pemidanaan
yang
sangat
sederhana
dengan
menganggap hal ini sebagai keuntungan besar. Dalam memori penjelasan dikatakan lebih sedikit pidana, lebih mudah untuk membuat perbandingan
dari
pidana
dan
tanpa
perbandingan
seperti
itu
tidak
mungkin
menjatuhkan pidana yang sesuai dengan beratnya kejahatan yang dilakukan. Dalam hal sebab-sebab dalam individu dan masyarakat yang mengakibatkan terjadinya berbagai macam kejahatan. Keuntungan dari sistem pemidanaan yang sederhana seperti yang dianut dalam KUHP adalah Pertama, sebagai keluwesan bagi pembuat Undang-undang untuk mengancamkan jenis pidana yang telah ditentukan pada suatu tindak pidana tertentu baik secara tunggal ataupun secara alternatif, sesuai dengan berat ringan tindak pidana yang dirumuskan dalam pasal yang bersangkutan. Kedua, dalam pidana diancamkan secara alternatif, keluwesan bagi hakim untuk memilih dan menjatuhkan pidana yang lebih sepadan dan tepat, disamping kewenangannya bergerak antara maksimum dan minimum pidana yang telah ditentukan102. Sistem pemidanaan ditetapkan secara pasti yakni penetapan sanksi pidana dalam Undang-undang tidak dipakai sistem peringanan atau pemberatan yang beruhubungan dengan faktor usia, keadaan jiwa pelaku, kejahatan terdahulu, maupun keadaan khusus dari perbuatan kejahatan yang dilakukan, dengan demikian, tidak dipakai sistem individualisasi pidana. Dalam ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dinyatakan dalam pasal
102
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHAEMPETEHAEM, Jakarta 1986, hlm. 458.
50
bahwa
“pengembalian
kerugian
akibat
perusakan
hutan
tidak
menghapus pidana pelaku perusakan hutan”.
a. Jenis-jenis pidana Dalam proses penegakan hukum terhadap suatu tindak pidana atau kejahatan, suatu perbuatan pidana tidak bisa terlepas dari sanksi pidana dan sistem pemidanaan terhadap terjadinya suatu perbutan pidana. Jenis-jenis pidana berdasarkan ketentuan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat ada 2 (dua) jenis yaitu pidana pokok dan pidana tambahan, sebagaimana ditentukan dalam BAB II Pasal 10 KUHP dinyatakan tentang jenis pidana sebagai berikut terdiri atas103 : a. Pidana Pokok : 1. Pidana Mati 2. Pidana Penjara 3. Kurungan 4. Denda b. Pidana Tambahan 1. Pencabutan hak-hak tertentu 2. Perampasan barang-barang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim. Penjatuhan pidana oleh hakim dalam memutuskan suatu perkara tindak pidana tidak diperbolehkan menjatuhkan hukuman selain yang dirumuskan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 KUHP. Penjatuhan sanksi pidana secara khusus juga ditentukan dalam Ketentuan Undangundang Nomor 18 Tahun 2013, ketentuan pidana tersebut diatur dalam
103
Pasal 10 KUHP.
BAB X pada Pasal 82 sampai dengan Pasal 109, baik yang dilakukan dengan unsur kesengajaan atau karena kelalaian, melingkupi tindakantindakan yang dilakukan oleh pelaku sebagai subjek hukum yang berupa manusia alamiah (naturlijke person) ataupun sebagai badan hukum atau korporasi (rechtsperson), tindak pidana perusakan hutan, diantaranya berupa : 1. Perorangan 2. Korporasi atau Pejabat Pemerintah Kesemua ketentutuan pidana ini tidak terlepas dari aturan hukum pidana pada umum (KUHP), bahwa ketentuan pidana lebih khusus diberlakukan sebagai cara untuk menanggulagi tindak pidana dalam kehutanan, melingkupi kebijakan hukum administrasi, hukum perdata atau keperdataan berkaitan dengan korporasi. Kebijakan
menanggulangi
kejahatan
merupakan
organisasi
rasional dari reaksi-reaksi sosial terhadap kejahatan merupakan bagian dari kebijakan yang lebih luas dalam bidang penegakkan hukum. Hal ini memudahkan bahwa hukum perdata dan administrasi menduduki tempat yang sama sebagai instrumen pencegahan kejahatan yang tidak bersifat pidana (non crimininal legal crime prevention). Dalam hubungan ini pembagian dalam ragam ilmu pengetahuan mengikuti sifat kriminologi. Kebijakan
kriminal
berwujud
baik
pengetahuan
maupun
sebagai
penerapan
(aplikatif).
Kebijakan
penegakan
hukum
dan
legislatif
merupakan bagian dari kebijakan sosial.104
b. Syarat Pemidanaan Syarat pemidanaan tidak terlepas dari adanya kesalahan yang digunakan untuk menyatakan adanya unsur kesengajaan atau kealpaan. Artinya dikatakan ada kesalahan, jika pada diri pelaku terdapat salah satu bentuk kesalahan ketika melakukan tindak pidana. Dalam hukum acara pidana, berkaitan dengan asas praduga tidak bersalah (preesumtion of
inosance), kesalahan diartikan sebagai telah melakukan tindak pidana. Kesalahan adalah dapat dilihat dari pembuat tindak pidana, karena dari segi masyarakat sebenarnya dapat berbuat lain, jika tidak ingin melakukan perbuatan tersebut. Menurut pendapat peneliti, kebijakan hukum pidana merupakan syarat pemidanaan sebagai bentuk kebijakan reformulasi tindak pidana dimasa yang akan datang, sebaiknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. Sebaiknya dirumuskan secara tegas dalam pasal-pasal mengenai tindak pidana kehutanan kehutanan, seyogyanya rumusan mengenai tindak pidana kehutanan tersebut adalah ”serangkaian perbuatan atau kegiatan yang dilakukan oleh orang atau korporasi yang berpotensi menimbulkan kerusakan hutan tanpa adanya ijin dari pejabat yang berwenang.” 104
Rodliyah, Op. Cit, hal. 42
2. Ruang lingkup perbuatan yang dapat dipidana
adalah
setiap
perbuatan atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerusakan hutan baik langsung maupun tidak langsung.
c. Pedoman penerapan sanksi pidana atau pemidanaan Penerapan sanksi pidana atau pemidanaan tindak pidana kehutanan dibedakan terhadap orang perorangan, orang perorangan yang berada disekitar kawasan hutan, badan hukum atau korporasi dan pejabat pemerintah dalam hal tidak melaksanakan tugas sesuai kewenangannya. Dengan dijadikannya korporasi atau badan hukum sebagai subjek hukum tindak pidana kehutanan, tentu sistem pemidanaannya juga seharusnya berorientasi pada korporasi, ini berarti harus ada ketentuan khusus terkait dengan permasalahan : a. Kapan dikatakan korporasi melakukan tindak pidana. b. Siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. c. Dalam hal bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan. d. Jenis-jenis sanksi apa yang dapat dijatuhkan untuk korporasi.
Penerapan sanksi tindak pidana kehutanan terhadap orangperorangan dan korporasi atau badan hukum, sementara ini perumusan tindak pidana kedua subjek hukum tersebut, diatur dalam satu rumusan pasal yang sama dengan ancaman sanksi pidana atau pemidanaan yang berbeda antara perseorangan, orang-perseorangan yang berada disekitar kawasan hutan, korporasi dan pejabat pemerintah dengan ancaman
sanksi pidana atau sistem pemidanaan dengan ancaman sanksi pidana minimun khusus sampai dengan ancaman maksimum atau sistem relatif sebagaimana terdapat dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
3. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam Rancangan KUHP dan KUHAP Nasional
a. Formulasi hukum pidana dalam racangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional Penyusunan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional untuk menggantikan Kitab Undang-undang Hukum Pidana peninggalan pemerintah kolonial Belanda dengan segala perubahannya merupakan salah satu usaha dalam rangka pembangunan hukum nasional. Penyusunan
Hukum
Pidana dalam bentuk kodifikasi dan unifikasi
dimaksudkan untuk menciptakan dan menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum dengan memperhatikan kepentingan nasional, masyarakat, dan individu dalam negara Republik Indonesia berdasarkan atas hukum yang berlandaskan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sejarah hukum pidana di Indonesia, dapat diketahui bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia berasal dari
Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (Staatsblad 1915 : 732). Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Wetboek van
Strafrecht tersebut masih berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara Republik Indonesia II Nomor 9), Wetboek van Straftrecht voor Nederlandsch-
Indie disebut sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan dinyatakan berlaku untuk Pulau Jawa dan Madura, sedangkan untuk daerah-daerah lain akan ditetapkan kemudian oleh Presiden. Dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RU KUHP) Nasional dilakukan adalah : 1. Pembaharuan Hukum Pidana materiil dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini tidak membedakan lagi antara tindak pidana (delik) kejahatan dengan tindak pidana (delik) pelanggaran. Untuk keduanya dipakai istilah tindak pidana. Dengan demikian, Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini hanya terdiri dari 2 (dua) buku yaitu Buku Kesatu memuat aturan umum dan Buku Kedua
yang
memuat aturan tentang tindak pidana. Adapun Buku Ketiga Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang mengatur tentang delik pelanggaran dihapus dan materinya ditampung
ke dalam Buku
Kedua dengan kualifikasi tindak pidana. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini diakui pula adanya tindak pidana adat untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Adalah suatu kenyataan bahwa di
beberapa daerah di tanah air, masih terdapat ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis, yang hidup dan diakui sebagai hukum di daerah yang bersangkutan, yang menentukan bahwa pelanggaran atas hukum itu patut dipidana. Dalam hal ini hakim dapat menetapkan sanksi berupa “Kewajiban Adat” yang harus dipenuhi oleh pembuat tindak pidana. Ini memberi arti, bahwa nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat setempat masih tetap dilindungi. Keadaan seperti ini tidak akan menggoyahkan dan tetap menjamin pelaksanaan asas legalitas serta larangan analogi yang dianut dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 2.
Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan perdagangan, subyek hukum pidana tidak dapat dibatasi lagi hanya pada manusia alamiah (naturlijke
person) tetapi mencakup pula
manusia hukum atau badan hukum (rechtsperson) disebut korporasi,
yang lazim
karena tindak pidana tertentu dapat pula
dilakukan oleh korporasi. Dengan dianutnya paham bahwa korporasi adalah subyek hukum, berarti korporasi sebagai bentuk badan usaha harus mempertanggungjawabkan sendiri semua perbuatannya. Di samping itu, masih dimungkinkan pula pertanggungjawaban dipikul bersama oleh korporasi dan pengurus atau hanya pengurusnya saja. 3. Dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(RU KUHP)
ini diatur mengenai jenis pidana yang berupa : 1) pidana pokok, 2)
pidana mati,
dan 3) pidana tambahan. Jenis-jenis pidana pokok
terdiri atas105 ; a. Pidana penjara; b. Pidana tutupan; c. Pidana pengawasan; d. Pidana denda; dan e. Pidana kerja sosial. Dalam pidana pokok diatur jenis pidana baru berupa pidana pengawasan dan pidana kerja sosial. Kedua jenis pidana ini perlu dikembangkan
sebagai
alternatif
dari
pidana
perampasan
kemerdekaan, sebab dengan pelaksanaan kedua jenis pidana ini terpidana dapat dibantu untuk membebaskan diri dari rasa bersalah. Demikian pula masyarakat dapat berperan serta secara aktif membantu terpidana dalam menjalankan kehidupan sosialnya secara wajar dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat. Jenis pidana pokok tersebut di atas menentukan berat ringannya pidana. Hakim bebas memilih jenis-jenis pidana yang akan dijatuhkan di antara kelima jenis tersebut, walaupun dalam Buku Kedua Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini hanya dirumuskan tiga jenis pidana yaitu pidana penjara, pidana denda, dan pidana mati. Sedangkan jenis pidana tutupan, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial merupakan cara pelaksanaan pidana sebagai alternatif pidana penjara. 105
Rancangan KUHP Nasional terakhir 2004
Pidana mati tidak terdapat dalam urutan pidana pokok. Pidana mati ditentukan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus. Jenis pidana mati adalah yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pidana mati dapat dijatuhkan pula secara bersyarat, dengan memberikan masa percobaan, sehingga dalam
tenggang
waktu
masa
percobaan
tersebut
terpidana
diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan. 4.
Di samping jenis-jenis pidana tersebut di atas, Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengatur pula jenis-jenis tindakan. Dalam hal ini hakim dapat menjatuhkan tindakan kepada mereka yang melakukan tindak
pidana,
tetapi
tidak
atau
kurang
mampu
mempertanggungjawabkan perbuatannya yang disebabkan karena menderita gangguan jiwa atau penyakit jiwa atau degradasi mental.
5.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini, dianut sistem pemidanaan baru yang berupa ancaman pidana minimum khusus. Pengaturan sistem pemidanaan baru ini dilakukan berdasarkan pertimbangan :
a. Untuk menghindari
adanya disparitas pidana yang sangat
mencolok untuk tindak pidana yang secara hakiki tidak berbeda kualitasnya; b. Untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum, khususnya bagi
tindak
pidana
yang
dipandang
membahayakan
dan
meresahkan masyarakat; c. Apabila dalam hal-hal tertentu maksimum pidana dapat diperberat, sebagai analog dipertimbangkan pula bahwa untuk
minimum
pidana pun dalam hal-hal tertentu dapat diperberat. Pada prinsipnya pidana minimum khusus merupakan suatu pengecualian, yaitu hanya untuk tindak pidana tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau meresahkan masyarakat dan untuk tindak pidana yang dikualifikasi atau diperberat oleh akibatnya. 6. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini ancaman pidana denda dirumuskan dengan menggunakan sistem kategori. Sistem ini dimaksudkan agar dalam perumusan tindak pidana tidak perlu disebutkan suatu jumlah denda tertentu, melainkan cukup dengan menunjuk kategori denda tertentu sebagaimana yang ditentukan dalam Buku Kesatu.
Dasar pemikiran menggunakan sistem kategori ini adalah bahwa pidana denda termasuk jenis pidana yang relatif lebih sering berubah nilainya karena perkembangan situasi. Dengan demikian, apabila terjadi perubahan nilai uang, dengan sistem kategori akan lebih mudah dilakukan perubahan atau penyesuaian, sebab yang diubah tidak seluruh ancaman pidana denda yang terdapat dalam perumusan tindak pidana, melainkan cukup mengubah pasal yang mengatur kategori denda dalam Buku Kesatu. 7. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini diatur pula mengenai jenis pidana dan cara pemidanaan secara khusus terhadap anak. Hal ini karena baik dipandang dari segi fisik maupun psikis anak berbeda dengan orang dewasa. Selain itu, pengaturan mengenai jenis pidana dan pemidanaan secara khusus terhadap anak dikaitkan karena Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Anak. Dalam Buku Kedua Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini terdapat beberapa jenis tindak pidana baru yang disesuaikan dengan perkembangan serta kebutuhan hukum masyarakat, antara lain mengenai tindak pidana penghinaan terhadap penyelenggaraan peradilan (contempt of court), pencucian uang (money laundering), dan
mengenai
terorisme.
Mengenai
penyelenggaraan
peradilan
(Contempt
penghinaan
of
Court)
terhadap tidak
dikelompokkan dalam satu bab tersendiri, melainkan pengaturannya
tersebar dalam bab yang berbeda, meskipun terdapat bab khusus yang merumuskan tindak pidana tersebut. Seirama dengan lajunya pembangunan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih, diperkirakan jenis tindak pidana baru masih akan muncul, terhadap jenis tindak pidana baru yang akan muncul yang belum diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini, pengaturannya dilakukan dalam undang-undang tersendiri.
b. Formulasi Hukum Acara Pidana dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nasional Perubahan harus dimaknai dengan suatu keinginan yang lebih maju, terutama demi menciptakan rasa keadilan dalam masyarakat seiring dengan aspirasi rakyat yang berkembang sesuai dengan tuntutannya. Untuk itu, perubahan KUHAP yang diinginkan harus mencerminkan tuntutan tersebut, tanpa meninggalkan asas-asas yang terkandung sebelumnya, misalnya asas106 : 1. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan; 2. Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang; 3. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah
106
Rancangan KUHAP Nasional, terakhir 2004.
sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap; 4. Orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau didadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang ditetapkan, wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan unsur kesengajaan atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana, atau dikenakan hukuman disiplin; 5. Peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana, biaya ringan, bebas, jujur, dan tidak memihak, harus diterapkan secara konsekuen pada seluruh tingkat peradilan; 6. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atau dirinya; 7. Terhadap tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan atau penahanan wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya dan wajib diberitahu haknya tersebut termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan advokat; 8. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang; 9. Pemeriksaan di sidang pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang; 10. Acara pidana yang diatur dalam Undang-Undang ini dilaksanakan secara wajar (fair) dan para pihak berlawanan secara berimbang (adversarial); dan 11. Bagi setiap korban harus diberikan penjelasan mengenai hak yang diberikan berdasarkan peraturan perundang-undangan pada semua tingkat peradilan. Dalam KUHAP ini dipertegas adanya asas legalitas demi terciptanya kepastian hukum dalam hukum acara pidana sehingga ketentuan hukum tak tertulis tidak dapat dijadikan dasar untuk melakukan tindakan dalam lingkup hukum acara pidana. Ditentukan pula bahwa ruang lingkup hukum acara pidana untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan, kaitannya dengan pemisahan lingkungan peradilan militer. Lingkup berlakunya
hukum acara pidana ini adalah termasuk pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan umum. Ketentuan
mengenai
penyelidikan,
disesuaikan
dengan
perkembangan hukum, terutama berkaitan dengan penyelesaian perkara atas pelanggaran hak asasi manusia. Kewenangan penyelidikan tidak hanya dilakukan oleh pejabat kepolisian, melainkan juga pegawai negeri atau orang tertentu, misalnya pejabat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Selain perluasan kewenangan penyelidikan, penyidikan juga diperluas tidak hanya pejabat kepolisian, melainkan antara lain Pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan penyidik lembaga atau badan, yang ditetapkan dalam rancangan KUHAP yang diberikan kewenangan menyidik dan menyerahkan berkas penyidikannya langsung kepada jaksa penuntut umum. Dengan demikian, di luar pejabat di atas, undangundang lain tidak dapat menentukan selain pejabat kepolisian negara dan pejabat penyidik tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk kepastian hukum dan menghindari tumpang tindih kewenangan penyidikan dikemudian hari oleh suatu undang-undang yang mengaturnya. Keberadaan pegawai negeri sipil penyidik (PNSP) yang dulu dikenal dengan PPNS, tetap diberikan
kewenangan
sesuai
dengan
undang-undang
yang
mengaturnya, tetapi dibatasi dengan memperhatikan kekhususan tugas dan fungsi yang secara teknis memerlukan keahlian tertentu atau spesifik.
Untuk peningkatan profesionalitas penyidikan, dalam KUHAP ini penyidik pembantu ditiadakan sehingga diharapkan seluruh penyidik di jajaran Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat disejajarkan dengan penegak hukum lainnya. Dalam KUHAP ini beberapa hal yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 ditiadakan, misalnya, kewenangan prapenuntutan penuntut umum; kewenangan penangkapan dalam tahap penyelidikan; penahanan rumah dan penahanan kota (konsep penahanan hanya pada rumah tahanan negara); masa perpanjangan penahanan karena alasan tertentu. Rumah penyimpanan benda sitaan negara (Rupbasan) dalam KUHAP ini juga ditiadakan, yakni dengan
memberikan
kewenangan
masing-masing
instansi
yang
melakukan penyitaan sesuai dengan tingkat pemeriksaan. Keberadaan Rupbasan
tersebut
pada
awalnya
dikehendaki
untuk
secepatnya
melaksanakan KUHAP, namun dalam perjalanannya banyak mengalami kendala, di samping juga belum tersedianya sarana dan prasarana. Penangkapan dilakukan paling lama 1 hari, dengan ketentuan bahwa waktu penangkapan diperhitungkan setelah yang bersangkutan berada dalam tempat pemeriksaan, bukan pada saat ditangkap. Waktu penahanan pada semua tingkat peradilan diubah menjadi 30 (tiga puluh) hari dan dapat diperpanjang selama 30 (tiga puluh) hari sehingga keseluruhan jumlah penahanan dari tingkat penahanan oleh penyidik sampai tingkat pemeriksaan kasasi oleh Mahkamah Agung adalah 300
(tiga ratus) hari. Ditentukan pula bahwa lamanya penahanan tidak boleh
melebihi ancaman pidana maksimum. Penangguhan penahanan hanya dijamin dengan uang dan syarat serta besarnya jaminan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Sebagai rujukan atau acuan terhadap peraturan perundang-undangan lainnya, KUHAP ini secara umum mengatur mengenai perlindungan hukum bagi pelapor, pengadu, saksi, dan korban sebagai wujud tegaknya hukum dan keadilan masyarakat. Bantuan hukum dilakukan oleh advokat, disesuaikan dengan Undang-Undang tentang Advokat. Penasihat hukum sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam berhubungan dengan tersangka atau terdakwa diawasi oleh penyidik, penuntut umum, dan petugas rutan. Ditentukan pula mengenai hak tersangka atau terdakwa untuk menolak bantuan hukum. Ditentukan pula mengenai terdakwa yang berhak untuk banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, kecuali terhadap putusan bebas (bukan lepas dari segala tuntutan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat). Untuk menggantikan lembaga praperadilan yang selama ini belum berjalan sebagaimana mestinya, ditentukan lembaga baru dalam KUHAP ini, yakni lembaga “hakim komisaris”. Lembaga ini pada dasarnya merupakan lembaga yang terletak antara penyidik dan penuntut umum di satu pihak dan hakim di lain pihak. Wewenang hakim komisaris lebih luas dan lebih lengkap daripada prapenuntutan (lembaga praperadilan).
Peradilan koneksitas sebagai lembaga yang selama ini memisahkan antara peradilan pidana militer dan peradilan pidana umum tidak lagi ditentukan atau diatur dalam KUHAP ini. Hal ini berkaitan dengan keinginan adanya penundukan militer ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, kecuali Kitab Undang-Undang Pidana Militer menentukan lain. Demikian secara ringkas ketentuan-ketentuan dan pembaharuan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nasional dimasa mendatang.
c. Lembaga
atau Instansi lain yang berwenang menangani Tindak Pidana
dibidang Kehutanan Dalam penanganan tindak pidana dibidang kehutanan, terdapat berapa instansi/lembaga
yang memiliki tugas dan kewenangan dalam
penegakan hukum dibidang kehutanan. Beberapa institusi/lembaga yang ada dan diakui oleh Undang-undang diantaranya adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia, Polisi Kehutanan/PPNS,
Kejaksaan, Pengadilan dan
Satuan Pengamanan Kehutanan (SPK)107 pada badan usaha milik negara (BUMN) atau swasta yang mengelola kehutanan dan termasuk juga Tentara Nasional Indonesia (TNI), khusus dalam melakukan pencegahan dan penangkapan terhadap para pelaku tindak pidana kehutanan atau dari
107
Hermansyah, Buku Panduan Peran Serta Masyarakat Dalam Penegakan Hukum Bidang Kehutanan, EC-Indonesia Plegt Support Project, (Forest Law Enforcement, Goverment Ang Trade) – Kementerian Kehutanan RI, Jakarta, 2010. hlm. 33
perbuatan perusakan hutan. Lembaga atau instansi yang diberikan kewewenangan diantaranya :
a. Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) Kepolisian Negara Republik Indonesia menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki peranan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan
hukum,
memberikan
perlindungan,
pengayoman
dan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Adapun tugas pokok kepolisian dalam Pasal 13 Undangundang Nomor 2 Tahun 2002 ada tiga yaitu ; 1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2. Menegakkan hukum dan, 3. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam melaksanakan tugas salah satunya menegakkan hukum Kepolisian
Negara Republik Indonesia (Polri), diberikan kewenangan
oleh undang-undang sebagai penegak hukum terhadap tidak pidana umum
atau
kejahatan,
khusus/tertentu.
termasuk
Penegakan
hukum
penanganan dilakukan
tindak
pidana
meliputi
upaya
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana umum sebagaimana dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun tindak pidana tertentu atau khusus yang diatur dalam Undang-undang Khusus.
b.
Polisi Kehutanan - Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) dan PPNS Kehutanan Sejarah panjang sejak zaman penjajahan sampai dengan kemerdekaan pengelolaan dan perlindungan hutan menjadi sangat strategis dan penting, kekhususan dibidang kehutanan, sumber daya alam dan ekosistemnya. Dampak dan manfaat, sifat dan karakternya hal
ini
melahirkan
fungsi-fungsi
dalam
usaha
pengelolaan,
perlindungan hutan dan konservasi alam. Kebutuhan akan sumber daya alam bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat mutlak dibutuhkan, upaya untuk melestarikan sumber daya alam, mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit.
Usaha untuk mempertahankan dan
menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan
hutan,
hasil
hutan,
investasi
serta
perangkat
yang
berhubungan dengan pengelolaan hutan menjadi tugas khusus108. Kehadiran Polisi Kehutanan dan dibentuknya satuan khusus Brigade Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC)109 sebagai 108
Pasal 47 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan; Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC), Pasal 1 angka 2 PERATURAN DIRJEN PHKA Nomor : P. 10 /IV-SET/ 2014 TTG PETUNJUK PELAKSANAAN OPERASIONAL SPORC dan Permenhut RI Nomor : P.75/Menhut-II/2014 Tentang POLISI KEHUTANAN bahwa; Satuan Khusus 109
bagian dari upaya perlindungan hutan dan menegakkan hukum kehutanan merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 46 sampai Pasal 51, Pasal 77 dan Pasal 80 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tetang
Kehutanan.
Pelaksanaan
ketentuan
Undang-undang
ini
kemudian diatur dengan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. Pada ketentuan lain, Polisi Kehutanan dijelaskan dalam Undangundang
Nomor
18
Tahun
2013
tentang
Pencegahan
dan
Pemberantasan Perusakan Hutan, pada Pasal 1 ayat 15 bahwa Polisi Kehutanan adalah pejabat tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan/atau daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya menyelenggarakan dan/atau melaksanakan usaha pelindungan hutan yang oleh kuasa undang-undang diberikan wewenang kepolisian khusus dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang berada dalam satu kesatuan komando. Dalam ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pada ketentuan Pasal 6 ayat 1 Penyidik adalah dimaksud huruf : a. Pejabat Penyidik Polri dan, b. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Polisi Kehutanan Reaksi Cepat yang selanjutnya disingkat SPORC adalah satuan dalam polisi kehutanan yang ditingkatkan kualifikasinya untuk menanggulangi gangguan keamanan hutan secara cepat, tepat dan akurat.
Sementara dalam ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, pasal 1 ayat 17
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya
disingkat PPNS adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan daerah yang oleh undang-undang diberi wewenang khusus dalam penyidikan dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Penegakan
hukum
seyogyanya
dapat
dilakukan
maksimal
dengan adanya komitmen yang sama, adanya sinergitas dan koordinasi antar lembaga penegak hukum. Upaya penanggulangan tindak pidana kehutanan dengan penegakan hukum melalui kegiatan persuasif dan represif.
Kegiatan
represif
melalui
penegakan
hukum
dengan
penyelidikan dan penyidikan, penuntutan dan persidangan merupakan sistem peradilan pidana yang terpadu (Integreted Criminal Justice
Syistem) dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
c. Kejaksaan Republik Indonesia Diketahui bersama lembaga Kejaksaan memiliki tugas dan kewenangan baik dalam bidang pidana, perdata, tata usaha negara dan juga dalam bidang ketertiban umum. Dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tetang Kejaksaan Republik Indonesia pada pasal 30 ayat 1 kewenangan dibidang Pidana Kejaksaan berwenang melakukan ;
a. Melakukan penuntutan, b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan pidana lepas bersyarat. d. Melakukan
penyidikan
terhadap
tindak
pidana
tertentu
berdasarkan Undang-undang. e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang dalam pelaksanaanya dikoodinasikan dengan penyidik.
Dalam hal ini kejaksaan dapat melakukan tugas pokok melakukan penuntutan, ditentukan juga dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kejaksaan, kejaksaan dapat melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu khusus pada tindak pidana korupsi.
d. Tentara Nasional Indonesia (TNI) Meskipun tugas utama TNI adalah sebagai institusi yang berfungsi sebagai lembaga pertahanan yang menjaga kedaulatan negara dari segala macam bentuk ancaman yang datangnya baik dari dalam maupun dari luar negeri, namun khusus dalam hal kejahatan atau tindak pidana
dibidang
kehutanan
keterlibatan
TNI
sebagai
bagian
dari
upaya
pencegahan dan pemberantasan tentu dapat dilakukan. Adapun yang menjadi dasar hukum terlibatnya TNI dalam dalam penanggulangan tindak pidana dibidang kehutanan ini adalah sebagai berikut ; a. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPRRI) RI dengan TAP Nomor VI dan TAP Nomor VII/MPR/2000, tentang pelibatan TNI dalam urusan domestik Civic Mission. b. Instruksi Presiden Republik Indonesia (INPRES) Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Liar di Seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Termasuk memerintahkan TNI untuk melakukan
pencegahan
dan
penebangan liar illegal logging
penangkapan
terhadap
terjadinya
diseluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. c. Kerjasama anatara Departemen Kehutanan dengan Mabes TNI dengan Nomor : 51/II/PIK-I/2003 melakukan kegiatan menyelamatkan hutan tropis Indonesia.
Peranan institusi TNI yang dilakukan adalah melakukan upaya pencegahan, sedangkan kewenangan TNI terbatas pada menerima laporan dari masyarakat, melakukan penangkapan terhadap pelakunya untuk dilimpahkan kepada penyidik, baik itu penyidik polri maupun pejabat
penyidik pegawai negeri sipil,
peyidik kejaksaan terkait dengan tindak
pidana korupsi dibidang kehutanan ataupun penyidik perwira TNI Angkatan Laut yang berada pada perairan diwilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sesuai dengan ketentuan dan kewenangan yang diberikan oleh Undangundang yang menjadi dasar kewenangannya.
BAB III KEWENANGAN LEMBAGA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN (LP3H) DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN
1. Kedudukan Lembaga
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan (P3H) dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kehutanan
Dalam melakukan penanggulangan tindak pidana kehutanan atau tindak pidana perusakan hutan melalui upaya pencegahan dan proses penegakan hukum
(law enforcement) yang dilakukan tentu harus memperhatikan asas-asas hukum yaitu,
dengan
memperhatikan
keadilan
(gerechtigkeit),
kemanfaatan
(zweckmassigkeit) dan kepastian hukum (rechtssicherheit), karena hukum bersifat umum dan mengikat semua orang selalu identik dengan keadilan. Dalam penggulangan pencegahan dan penegakan hukum, masyarakat mengharapkan kemanfaatan, dan adanya kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan semaunya, dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib dan tercapainya keadilan. Amanat yang ada dalam Undang-undang untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan terhadap perusakan hutan atau tindak pidana dibidang kehutanan selain lembaga atau instansi yang ada sebelumnya, diamanatkan juga oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, untuk pembentukan lembaga/badan baru yang disebut Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H), hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 54 ayat (1) dinyatakan bahwa;
dalam rangka pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, Presiden membentuk lembaga yang menangani pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan selanjutnya dalam ayat (2) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
a. Kedudukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) Pembentukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
(LP3H),
sebagai
penegasan
dari
reformulasi
sepertinya
tidak
memberikan efek jera dan tidak efektinya pemberantasan tindak pidana perusakan
hutan
pembentukan
dari
peraturan
kelembagaan
sebelumnya,
Lembaga
sehingga
Pencegahan
dan
diamanatkan
Pemberantasan
Perusakan Hutan (LP3H) untuk menjamin efektifitas dan usaha pencegahan dan perusakan hutan. Pembentukan lembaga atau badan P3H, diatur dalam ketentuan yang terdapat pada ketentuan BAB V, Pasal 54, 55 dan Pasal 56 Undang-undang
Nomor
18
pemberantasan
Perusakan
Tahun Hutan,
2013 lembaga
tentang
Pencegahan
dimaksud
dibentuk
dan dan
berkedudukan sebagai berikut110 : a. Dalam rangka pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, Presiden membentuk lembaga yang menangani pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.
110
Pasal 54 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013.
b. Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Dalam rangka penanggulangan tindak pidana perusakan hutan, pembentukan lembaga pemberantasan perusakan hutan memiliki peranan yang strategis dalam upaya pencegahan maupun pemberantasan karena lembaga ini berkedudukan di bawah presiden, memiliki struktur, tugas dan fungsi serta kewenangan. Selain itu lembaga P3H, ini memiliki fungsi koodinasi dan supervisi terhadap penanganan tindak pidana perusakan hutan.
b. Kerjasama antar lembaga penegak hukum Dalam upaya penanggulanngan perusakan hutan, koordinasi antar lembaga penegak hukum
kerjasama dan
sangat diperlukan. Lembaga
penegak hukum yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 56 ayat 1 huruf a antara lain adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi, PPNS, dan Polisi Kehutanan. Lembaga atau instansi tersebut menjadi penegak hukum yang terstruktur dan terintegrasi111. perusakan
hutan
Upaya yang
untuk
dapat
terorganisir
mengoptimalkan
yang
memiliki
pemberantasan
karakter
berbagai
kepentingan ekonomi, sosial budaya dan politik. Peran strategis lembaga pencegahan pemberantasan perusakan hutan sebagai institusi atau lembaga dalam penanggulangan perusakan hutan 111
Terintegrasi
adalah sistem informasi pemberantasan perusakan hutan dapat diakses secara bersama oleh lembaga-lembaga penegak hukum terkait dengan basis data yang terhubung satu sama lain, penjelsan Pasal 57 ayat 1 huruf d UU Nomor 18 Tahun 2013 Tentang P3H.
dengan tugas dan kewenangan yang diberikan langsung oleh Undang-undang dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan termasuk melakukan koordinasi dan supervisi terhadap penaganan perkara tindak pidana perusakan hutan. sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 56 Undang-undang
Nomor
18
Pemeberantasan
Perusakan
Tahun Hutan
2013, (P3H)
lembaga memiliki
Pencegahan tugas,
fungsi
dan dan
kewenangan adalah sebagai berikut ; a. Melakukan kerja sama dan koordinasi antar lembaga penegak hukum dalam pemberantasan perusakan hutan. b. Mengumumkan hasil pelaksanaan tugas dan kewenangannya secara berkala
kepada
masyarakat
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan; dan c. Memberi izin penggunaan terhadap barang bukti kayu temuan hasil operasi pemberantasan perusakan hutan yang berasal dari luar kawasan hutan konservasi untuk kepentingan sosial.
Pelaksanaan tugas dan pertanggujawaban terhadap tugas serta kewenangan lembaga pencegahan dan pemeberantasan perusakan hutan, ditentukan sesuai ketentuan dalam Pasal 57 dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 dinyatakan bahwa lembaga/badan P3H dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, lembaga dimaksud melaporkan hasil kerjanya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) paling sedikit 6 (enam) bulan sekali.
Selanjutnya lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan di dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan kewenangan, terdapat pengawasan melekat yang dilakukan oleh deputi bidang pengawasan internal dan pengaduan masyarakat, selain itu bertanggungjawab kepada presiden dan melaporkan hasil kerja kepada dewan perwakilan rakyat, hal ini akan menjamin pengawasan, efektifitas,
transparansi dan akuntabilitas kerja
pemberantasan perusakan hutan.
2. Struktur Kelembagaan dalam Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H)
a. Struktur Kelembagaan Lembaga/Badan P3H Struktur pelaksanaan tugas kelembagaan dalam kegiatan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Dalam ketentuan pasal 55 ayat 1 Undangundang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dipimpin oleh seorang Kepala Lembaga/Badan dan dibantu oleh seorang Sekretaris Jenderal dan beberapa orang Deputi.
Dalam ketentuan yang
terdapat pada Pasal 55 ayat 2 jabatan Sekretaris Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berasal dari unsur Pemerintah dan bertugas menyelenggarakan dukungan administratif terhadap pelaksanaan tugas dan tanggungjawab lembaga dimaksud. Selanjutnya pada ketentuan Pasal 55 ayat 3 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013,
lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan dengan
bantu dengan beberapa deputi, deputi sebagaimana pada ketentuan Undangundang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, membidangi antara lain sebagai berikut112 : a. Bidang Pencegahan b. Bidang Penindakan c. Bidang Hukum dan Kerja Sama, dan d. Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat. Dalam upaya penanggulangan tindak pidana perusakan hutan, struktur atau kelembagaan memiliki peranan strategis dalam pencegahan atau penanggulangan perusakan hutan ataupun dalam hal penindakan atau penegakan hukum terhadap tindak pidana perusakan. Kelembagaan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H), dengan organ dalam organisasi tersebut dapat melakukan kegiatan pencegahan, penindakan atau penegakan hukum terhadap tindak pidana perusakan hutan, melakukan kerjasama antar lembaga penegak hukum dan melakukan pengawasan internal untuk menindaklanjuti pengaduan masyarakat. Keberadaan lembaga P3H dan kewenangan yang diamanahkan Undangundang kepada lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan menjadi
harapan
penanggulangan
untuk
perusakan
dapat
melakukan
hutan
upaya
secara sistematis
pencegahan dan
dan
konprehensif.
Kegiatan penanggulangan perbuatan perusakan hutan tentu dapat dilakukan dengan maksimal jika didukung
112
perangkat sumber daya manusia, budaya
pasal 55 ayat 1 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tetang P3H
hukum masyarakat (culture) dan tentu dengan norma atau aturan hukum yang responsif dan progresif.
b. Unsur-unsur dalam kelembagaan P3H Dalam penanganan penanggulangan dan pencegahan tindak pidana perusakan hutan, kelembagaan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, sebagaimana dalam Pasal 53 ayat 3
Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Lembaga P3H sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsurunsur antara lain : a. Unsur b. Unsur c. Unsur d. Unsur
Kementerian Kehutanan Republik Indonesia Kepolisian Republik Indonesia Kejaksaan Republik Indonesia; dan lain yang terkait. 113
Pada ketentuan yang terdapat dalam ayat (4) Pelaksanaan tugas lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang ini. keberadaan organ dengan struktur, komposisi dalam lembaga/badan pencegahan dan pemeberantasan perusakan hutan, menjadi kharapan bahwa lembaga/badan P3H, dapat optimal dalam melakukan
tugas
dan fungsi pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Selanjutnya struktur dalam lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, dengan komposisi yang konprehensif dalam pelaksanaan penanganan perusakan hutan atau tindak pidana dibidang kehutanan, hal ini
113
Pasal 53 ayat 1 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang P3H
tentu akan mempermudah kerja-kerja dan efektifitas dalam mempermudah koordinasi dan supervisi dalam penanganan tindak pidana kehutanan.
3. Kewenangan,
Tugas
dan
Fungsi
Lembaga
Pencegahan
dan
Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) Berdasarkan pada teori kewenangan authority, bahwa dasar kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan sebagimana disebut sebagai kewenangan atribusi. Kewenangan atribusi adalah bentuk kewenangan yang didasarkan atau diberikan oleh Undang Undang Dasar atau Undang-Undang kepada suatu lembaga negara atau pemerintahan. Dengan demikian kekuasaan mempunyai dua aspek yaitu; aspek politik dan aspek hukum, sedangkan kewenangan hanya beraspek hukum semata. Artinya, kekuasaan itu dapat bersumber dari konstitusi, sedangkan kewenangan jelas bersumber dari Undangundang. Undang-undang yang memberikan amanat kewenangan pada Pencegahan dan Pemberantasan Pesusakan
Lembaga
(LP3H) merupakan kewenangan
bersumber langsung dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, untuk melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Dari berbagai pola pidana
perusakan hutan dengan kondisi kerusakan hutan yang terjadi
lemahnya penegakan hukum114 hutan.
114
Sukardi, Op.cit, hlm. 131.
tindak dan
terhadap tindakan atau perbuatan perusakan
Dasar
yang
menjadi
kewenangan
Lembaga
Pencegahan
dan
Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) adalah memiliki tugas, fungsi dan kewenangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 55 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, yang menyatakan bahwa “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, lembaga dapat membentuk satuan tugas (taks force) sebagai unsur pelaksana, selanjutnya dalam pasal 56 ayat 1, bahwa lembaga yang menangani Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat 1 bertugas sebagai berikut : a. Melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana perusakan hutan; b. Melaksanakan
administrasi
penyelidikan dan
penyidikan
terhadap
perkara perusakan hutan; c. Melaksanakan kampanye anti perusakan hutan; d. Membangun dan mengembangkan sistem informasi pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang terintegrasi; e. Memberdayakan
masyarakat
dalam
upaya
pencegahan
dan
pemberantasan perusakan hutan
Dalam pelaksanaan tugas Lembaga Pencegahan dan Pemberantsan Perusakan
Hutan
diberikan
kewenangan
berdasarkan
ketentuan
yang
diberikan langsung oleh Undang-undang. Amanat yang diberikan untuk melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, terhadap tugas Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan ditentukan pada ketentuan Pasal 55 ayat 4 Undang-undang Nomor 18 Tahun
2013, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, lembaga dapat membentuk satuan tugas sebagai unsur pelaksana. Dalam pelaksanaan tugas, unsur pelaksana dalam ketentuan di Undang-undang
Nomor
18
Tahun
2013
tentang
Pencegahan
dan
Pemberantasan Perusakan Hutan, pelaksana satuan tugas115 yang dilakukan satuan tugas (taks force) dalam melaksanakan pemberantasan perusakan hutan yang bersifat strategis memiliki kewenangan dari penyelidikan sampai dengan penuntutan diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk wilayah kepabeanan atas perintah kepala lembaga dan/atau deputi.
1. Ruang lingkup Tugas dan Fungsi
1.1. Pencegahan Dalam rangka pencegahan perusakan hutan yang dilakukan baik oleh pemerintah melalui organ-organnya yang memiliki tugas dan fungsi dalam usaha pencegahan dan pencegahan perusakan hutan yang dilakukan degan sarana hukum pidana (penal) atau diluar hukum pidana
(non penal), dalam hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 6 Undangundang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, pemerintah dan/atau pemerintah daerah berkewajiban membuat kebijakan berupa116 : a. Koordinasi lintas sektor dalam pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan; b. Pemenuhan kebutuhan sumber daya aparatur pengamanan hutan; 115 116
Pasal 55 ayat 5 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang P3H. Pasal 6 UU Nomor 18 Tahun 2013
c. Insentif bagi para pihak yang berjasa dalam menjaga kelestarian hutan; d. Peta penunjukan kawasan hutan dan/atau koordinat geografis sebagai dasar yuridis batas kawasan hutan; dan e. Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Sesuai pada ketentuan terkait pencegahan perusakan hutan pada Pasal 7 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, dinyatakan “Pencegahan perusakan hutan dilakukan oleh masyarakat, badan hukum, dan korporasi yang memperoleh izin pemanfaatan hutan. Bahwa partisipasi seluruh komponen masyarakat memiliki hak dalam melakukan usaha pencegahan terhadap kerusakan hutan. Kegiatan dalam rangka pencegahan perusakan hutan yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
menetapkan
sumber
kayu
alternatif
ataupun
kebutuhan lainnya adalah dengan mendorong pengembangan hutan tanaman yang produktif dan teknologi pengolahan termasuk melakukan kampanye
anti
perusakan
hutan.
Selain
membuat
kebijakan
sebagaimana dimaksud diatas, upaya pencegahan perusakan hutan dilakukan melalui penghilangan kesempatan dengan meningkatkan peran serta masyarakat melalui kegiatan partisipasi dalam pengelolaan dan pelestarian hutan. Kegiatan atau upaya pencegahan perusakan hutan
yang
dilakukan seperti tersebut di atas, adalah temasuk juga upaya pencegahan dengan sararan non penal atau hukum pidana diantaranya
juga melalui instrument lain termasuk hukum perdata maupun hukum administrasi negara dalam hal penggunaan kawasan hutan dan pemanaatan hasil hutan, guna untuk pencegahan perusakan hutan.
1.2. Penindakan atau Penegakan Hukum Dalam rangka untuk menanggulangi tindak pidana kehutanan atau perusakan hutan. kegiatan dengan pemberantasan perusakan hutan yang dilakukan dengan cara menindak secara hukum atau penegakan hukum terhadap pelaku perusakan hutan. Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. Menyatakan bahwa117 ; “Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubunganhubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara”. Penegakan
hukum
dalam
penanggulangan
tindak
pidana
kehutanan, dalam hal melakukan 3 (tiga) unsur yang selalu harus diperhatikan
yaitu;
Kepastian
Hukum
Keadilan
dan
Kemanfaatan
terhadap Perbuatan perusakan hutan atau tindak pidana yang dilakukan terhadap hutan, kawasan hutan dan peredaran hasil hutan baik langsung, tidak langsung, maupun yang terkait lainnya. Penindakan atau penegakan hukum (law enforcement) terhadap pelaku melalui tindakan secara hukum meliputi rangkaian proses penegakan
117
hukum
yang
meliputi
penyelidikan
dan
penyidikan,
Jimly Asshiddiqi, Penegakan Hukum, Makalah Pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional, VI, LIPI, Jakarta, November 2011.
penuntutan, serta pemeriksaan di sidang pengadilan. Aparat penegak hukum yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana perusakan hutan dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Proses hukum terhadap tindak pidana kehutanan atau perkara perusakan hutan dalam ketentuan Pasal 10 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, dinyatakan bahwa perkara perusakan hutan harus didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke sidang pengadilan guna penyelesaian secepatnya.
1. Penyelidikan dan Penyidikan
1.1. Penyeledikan Rangkaian proses penyelidikan merupakan tahapan awal proses perkara pidana yang tidak dapat dipisahkan dengan penyidikan, dengan penyelidikan penyelidik dapat memberikan informasi data dan fakta yang akurat kepada penyidik sehingga penyidik dapat segera menentukan sikap apakah dapat dilakukan penyidikan, ditunda atau tidak perlu dilakukan penyidikan, kemudian dari hasil penyelidikan penyidik telah memiliki persiapan yang matang untuk melakukan tindakan penyidikan, sehingga semaksimal mungkin akan dapat dihindari kesalahan dalam penggunaan tindakan upaya paksa yang berakibat proses praperadilan.
Penyelidikan
adalah
serangkaian
tindakan
penyelidik
untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tidak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini118. Berkaitan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. Proses penegakan hukum melalui proses hukum (litigasi), terhadap perbuatan perusakan hutan atau tindak pidana kehutanan dilakukan dari peyelidikan, penyidikan, penuntutan samapi dengan pemeriksaan di sidang pengadilan, proses hukum tersebut merupakan satu kesatuan dalam sistem peradilan pidana terpadu yang dikenal dengan istilah
(integreted criminal justice syistem), tahapan-tahapan dalam proses hukum tersebut dijabarkan sebagai berikut ;
1.2. Penyidikan Rangakaian dari hasil proses peyelidikan (crime investigation) tehadap terjadinya suatu peristiwa atau perbuatan yang temukan atau tertangkap tangan, melalui pelaporan maupun adanya pengaduan yang berkaitan dengan dugaan terjadi adanya suatu tindak pidana, peristiwa pidana atau delik, dan dengan ditemukan adanya barang bukti atau alat bukti cukup kuat untuk ditindaklanjuti ke proses Penyidikan. Dalam ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dijelaskan bahwa, 118
Pasal 1 angka 5 KUHAP
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.119 Dalam ketentuan Undang-undang 18 Tahun 2013, penyidik yang dapat melakukan Penyidikan120 adalah pejabat Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat PPNS diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, sementara dalam ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, sebagaimana dalam ketentuan Pasal 30, PPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 berwenang untuk sebagai berikut
121
:
a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana perusakan hutan b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana perusakan hutan c. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak perusakan hutan d. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana perusakan hutan. e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti, pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil kejahatan yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana perusakan hutan f. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan. 119 120 121
Pasal 1 ayat 2 KUHAP. Pasal 29 Undang-undang Nomor 18 Tahun 3013 tentang P3H. Pasal 30 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang P3H.
g. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana perusakan hutan h. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat bukti tentang adanya tindakan perusakan hutan i. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi. j. Membuat dan menandatangani berita acara dan surat-surat lain yang menyangkut penyidikan perkara perusakan hutan; dan k. Memotret dan/atau merekam melalui alat potret dan/atau alat perekam terhadap orang, barang, sarana pengangkut, atau apa saja yang dapat dijadikan bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan. Dalam hal melaksanakan tugas dan kewenangannya pada Pasal 31 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, ditentukan wilayah hukum atau wilayah kerja Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tersebut adalah wilayah hukum atau wilayah kerja PPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia termasuk Wilayah Kepabeanan. Berdasarkan pada jenis, karakter dan sifat kekhususan dari tindak pidana perusakan hutan, seluruh penyidik PPNS memilki kewenangan
yang
memaksimalkan
sangat
upaya
luas,
hal
ini
penanggulangan
diharapkan dalam
dapat
melakukan
pencegahan maupun pemberantasan terhadap perusakan hutan. Rangakaian kegiatan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan berdasarkan pada ketentuan Pasal 33 dinyatakan bahwa “Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan laporan yang berasal dari masyarakat dan/atau instansi terkait”. Selanjunya pada ketentuan lain yang terdapat dalam Pasal
34
ayat 1 menyatakan bahwa berdasarkan bukti permulaan yang
cukup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2013, bahwa penyidik berwenang untuk meminta kepada
lembaga
penyelenggara
komunikasi
untuk
dalam
hal
melakukan : a. Membuka, memeriksa, dan menyita surat atau kiriman melalui pos serta jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan pembalakan liar yang sedang diperiksa; dan/atau b. Meminta
informasi
pembicaraan
melalui
telepon
atau
alat
komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan perusakan hutan. Dalam proses penegakan hukum (law enforcement proces) dan pembuktian suatu tindak pidana kehutanan terhadap tidak terlepas dari alat bukti yang cukup untuk menentukan perbuatan perusakan hutan atau tindak pidana kehutanan ditentukan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, alat bukti lain ditentukan sebagai alat bukti pemeriksaan perbuatan perusakan hutan meliputi122 : a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana; dan/atau b. Alat bukti lain berupa : 1. Informasi elektronik 2. Dokumen elektronik; dan/atau 3. Peta. 122
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013.
Kekhususan lain juga terdapat dalam Pasal
35 ayat 1
dinyatakan bahwa; untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada Bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa. Pada ayat 4 dalam hal permintaan keterangan kepada Bank terkait keuangan tersangka atau terdakwa; penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta kepada Bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga sebagai hasil pembalakan liar selama proses penyidikan, penuntunan, dan/atau pemeriksaan berlangsung. Selanjutnya tindakan penyidik yang melakukan penyidikan terhadap perkara tindak pidana perusakan hutan, sesuai dengan tahapan ketentuan beracara dan memenuhi telah memenuhi syarat formil dan materil dalam peraturan perundangan. Sedangkan upaya paksa yang dilakukan dalam penyidikan dilakukan dimulai dengan penangkapan, penahanan penyitaan dan penggeledahan sampai dengan pelimpahan perkara beruapa pelimpahan tersangka dan barang bukti tindak pidana kehutanan kepada jaksa selaku penuntut umum. 2. Penuntutan
Rangkaian kegiatan penuntutan yang dilakukan oleh jaksa sebagai penuntut terhadap perkara tindak pidana kehutanan berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, kewenangan penuntut umum dalam penuntutan terkait dengan perbuatan perusakan hutan selain mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), diatur khusus juga dalam ketentuan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 7 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ditentukan bahwa, penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Selanjutnya di ketentuan Pasal 137 dijelaskan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan delik atau tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpakan perkara pada Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili. Pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 6 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), disebutkan penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Disisi lain jaksa diberikan wewenang sebagai penuntut umum juga melaksanakan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
(incrahts) sebagai eksekutor. Sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), wewenang penuntut umum123 adalah sebagai berikut : a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; b. Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik; c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; d. Membuat surat dakwaan; e. Melimpahkan perkara ke pengadilan; f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; g. Melakukan penuntutan; h. Menutup perkara demi kepentingan hukum i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undangundang ini. j. Melaksanakan penetapan hakim. Sementara itu, di dalam ketentuan yang terdapat pada Undangundang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemeberantasan Perusakan Hutan, diatur bahwa untuk mempercepat penyelesaian tindak pidana perkara perusakan hutan124. penyidik, penuntut umum wajib untuk melakukan :
123 124
Pasal 14 KUHAP Pasal 39 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013
a. Penyidik wajib menyelesaikan dan menyampaikan berkas perkara kepada penuntut umum paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dimulainya penyidikandan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari; b. Dalam hal hasil penyidikan belum lengkap, penuntut umum wajib melakukan penyidikan paling lama 20 (dua puluh) hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari; c. Penuntut umum wajib melimpahkan perkara ke pengadilan paling lama 25 (dua puluh lima) hari terhitung sejak selesai penyidikan; d. Untuk daerah yang sulit terjangkau karena faktor alam dan geografis atau transportasi dan tingginya biaya dalam rangka penjagaan dan pengamanan barang bukti, terhadap barang bukti kayu cukup dilakukan penyisihan barang bukti yang disertai dengan berita acara penyisihan barang bukti; dan e. Instansi teknis kehutanan wajib menunjuk ahli penguji dan pengukur kayu yang diminta penyidik dengan mempertimbangkan kecepatan untuk penyidikan. Berdasarkan dari ketentuan tersebut di atas dalam proses penyidikan dan penuntutan terdapat proses percepatan terhadap penanganan perkara tindak pidana kehutanan atau perkara perusakan hutan, hal ini terlihat dari adanya ketentuan mengatur jelas dan satu kesatuan yang konprehensif dalam penanganan perkara perusakan hutan.
Bahwa
untuk
kepentingan
penyidikan,
penuntutan
atau
pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik penuntut umum atau hakim pada Pasal 36 berwenang untuk : a. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada unit kerja terkait. b. Meminta bantuan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk melakukan penyelidikan atas data keuangan tersangka.
c. Meminta kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang berpergian ke luar negeri. d. Menetapkan seseorang sebagai tersangka dan dimasukkan dalam daftar pencarian orang dan/atau e. Meminta
kepada
pimpinan
atau
atasan
tersangka
untuk
memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya.
Dari kewenangan tersebut di atas diatur dengan tegas dan jelas, bahwa penyidik, penuntut umum dan hakim dalam penanganan perkara perusakan hutan, dalam hal tersangka atau terdakwa dapat meminta data kekayaan, perpajakan dan keuangan kepada lembaga terkait dan kepada Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), melarang seseorang untuk berpergian ke luar negeri, menetapkan sebagai tersangka dan meminta pemberhentian sementara tersangka dari jabatannya kepada pimpinan atau atasanya dalam hal berkaitan dengan adanya dugaan melakukan tindak pidana kehutanan atau telah melakukan perbutan perusakan hutan.
3. Persidangan di Sidang Pengadilan Proses persidangan merupakan proses pemeriksaan dan pembuktian yang merupakan bagian dari sistem hukum dalam penanganan perkara pidana secara hukum (litigasi). Tahapan pemeriksaan perkara di sidang pengadilan merupakan tahapan terpenting dari suatu proses
peradilan,
karena sebagai institusi lembaga pengadilan merupakan institusi/lembaga kekuasaan kehakiman (yudikatif power) yang memiliki kewenangan untuk menyatakan dan memutuskan seseorang terbukti bersalah atau tidak bersalah melakukan suatu tindak pidana serta menjatuhkan sanksi pidana sesuai dengan kesalahannya berdasarkan hukum dan sesuai dengan peraturan-perundangan yang belaku. Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, hakim yang memeriksa perkara senantiasa berusaha untuk membuktikan perbutan yang disangkakan atau didakwakan oleh jaksa atau penuntut umum adalah : a. Apakah benar suatu peristiwa telah terjadi b. Apakah benar peristiwa tersebut merupakan suatu tindak pidana c. Apakah sebab-sebabnya peristiwa itu terjadi d. Siapakah yang bersalah melakukan tindak pidana tersebut.
Dalam proses persidangan pembuktian merupakan penentu berhasil tidaknya proses penuntutan dan dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum. Artinya jaksa selaku penuntut umum harus dapat membuktikan semua unsur-unsur dalam dakwaanya jika mengiginkan pelaku tindak pidana atau terdakwa dijatuhi hukuman. Dalam menjatuhkan sanksi pidana atau hukuman (punishment) hakim harus mendasarkan keputusannya pada sekurang-kurangnya dua alat bukti dan keyakinan hakim. Dalam
ketentuan
Pasal
184
Kitab
Undang-undang
Hukum
Acara
Pidana
(KUHAP)125 ditentukan alat bukti sebagai berikut :
a. Alat b. Alat c. Alat d. Alat e. Alat
bukti bukti bukti bukti bukti
Keterangan Saksi Keterangan Ahli Surat Petunjuk Keterangan Terdakwa
Berdasarkan alat bukti tersebut hakim memperoleh kenyakinan bahwa
terdakwa
bersalah,
telah
melakukan
tindak
pidana
yang
didakwakan kepadanya126. Dengan alat bukti dimaksud, hakim dalam memutuskan suatu perkara dengan minimal 2 (dua) alat bukti dan keyakinan hakim. Dalam ketentuan lain Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013
tentang
Pencegahan
dan
Pemberantasan
Perusakan
Hutan,
ditentukan Alat bukti lain127 dalam perkara perbuatan perusakan hutan ditentukan dalam ketentuan Pasal 37 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, ditentukan alat bukti lain adalah sebagai berikut : 1. Informasi elektronik 2. Dokumen elektronik, dan/atau 3. Peta. 125 126 127
Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Alat bukti lain dalam Pasal 37 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013; a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang ukum Acara Pidana; dan/atau b. Alat bukti lain dalam UU Nomor 18 Tahun 2013.
Berdasarkan pada ketentuan alat bukti tindak pidana, jadi selain alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), ditentukan juga alat bukti dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, dalam melakukan pembuktian terhadap perkara tindak pidana perusakan hutan. Alat bukti sebagaimana dimaksud di atas merupakan sumber ataupun ciri khusus lain dari tindak pidana umum dengan tindak pidana kehutanan.
1. Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Mekanisme pemeriksaan terhadap perkara perusakan hutan di sidang pengadilan pada Pasal 51 ayat 1 dinyatakan bahwa “Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah tetapi tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa. Ketentuan pada ayat 2 Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor pemerintah daerah, dan/atau diberitahukan kepada terdakwa atau kuasanya. Selanjutnya pada ayat 3 terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan upaya hukum atas putusan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak putusan dijatuhkan, diumumkan, atau diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir. Dalam ketentuan yang terdapat di Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan dinyatakan
dalam Pasal 52 bahwa pemeriksaan
terhadap perkara perusakan hutan ditentukan pada : ayat
(1) Perkara perusakan hutan wajib diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri dalam jangka waktu paling lama 45
(empat puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan pelimpahan perkara dari penuntut umum. ayat (2) Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal, dimohonkan banding, perkara perusakan hutan wajib diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Pengadilan Tinggi. Ayat (3) Dalam hal putusan Pengadilan Tinggi dimohonkan kasasi, perkara pembalakan liar wajib diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung.
Menurut pendapat peneliti, dalam penanganan perkara tindak pidana perusakan hutan atau tindak pidana kehutanan dengan dengan telah
diundangkannya
Undang-undang
Nomor
18
Tahun
2013,
mereformulasikan perbutanan pidana yang dikategorikan sebagai tindak pidana perusakan hutan dan mengamanhkan pembentukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H),
terdapat upaya konprehensif dan percepatan dalam penanganan tindak pidana perusakan yang terintegrasi, sehingga menjamin adanya kepastian hukum, tercapainya kemanfaatan dan keadilan.
2. Hakim Pemeriksa Perkara Perusakan Hutan Dalam penanganan atau pemeriksaan perkara perusakan hutan, komposisi hakim dalam pemeriksaan perkara perusakan hutan memiliki kekhususan, dalam hal ini disebabkan sifat dan karakter dari tindak pidana perusakan hutan atau tindak pidana dibidang kehutanan yang teroganisir, menimbulkan kerugian negara dan berdampak luas tehadap berbagai aspek kehidupan manusia dan lingkungan. Dalam pemeriksaan di persidangan hakim pemeriksa terdiri dari
hakim karier dan hakim ad hoc128, sebagai pemeriksa yang mengadili tindakan perbuatan perusakan hutan atau tindak pidana dibidang kehutanan harus benar-benar memiliki profesionalisme dan integritas, pemeriksaan perkara tindak pidana perusakan hutan sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dinyatakan bahwa129 :
128
Hakim ad hoc adalah seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebagai hakim. (lihat Pasal 53 ayat 5), Hakim karier adalah hakim yang masih aktif yang berada dalam lingkungan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. 129 Pasal 53 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013.
1. Pemeriksaan perkara perusakan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1), pada pengadilan negeri, dilakukan oleh majelis hakim yang berjumlah 3 (tiga) orang yang terdiri dari satu orang hakim karier di pengadilan negeri setempat dan dua orang hakim ad hoc. 2. Pengangkatan hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Presiden atas usulan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. 3. Setelah berlakunya Undang-Undang ini ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia harus mengusulkan calon hakim ad hoc yang diangkat melalui Keputusan Presiden untuk memeriksa perkara perusakan hutan. 4. Dalam mengusulkan calon hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Ketua Mahkamah Agung wajib mengumumkan kepada masyarakat. Penanganan perkara dan hakim pemeriksa dalam proses peradilan dalam penanganan perkara perusakan hutan berbeda dengan penanganan perkara pada pemeriksaan perkara umum lainnya. Pemeriksaan perkara pidana perusakan hutan atau tindak pidana dibidang kehutanan dilakukan oleh hakim karier dan hakim ad hoc. Dalam
penanganan
atau
pemeriksaan
perkara
di
sidang
peradilan, pemeriksaan perkaranya dilakukan dengan komposisi hakim pemeriksa 1 (satu) orang hakim karier dan 2 (dua) orang hakim ad hoc. Ketentuan dalam pengangkatan hakim ad hoc diajukan oleh Mahkamah Agung ke Presiden setelah diumumkan kepada masyarakat. Pengaturan berkaitan dengan persyaratan untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc dalam penanganan perkara perusakan hutan, berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, harus terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut
130
:
1. Warga Negara Indonesia. 2. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. 3. Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun pada saat pengangkatan. 4. Berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun dalam bidang kehutanan. 5. Tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana 5 (lima) tahun atau lebih. 6. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela 7. Cakap, jujur, serta memiliki integritas moral yang tinggi dan memiliki reputasi yang baik. 8. Tidak menjadi pengurus salah satu partai politik; dan 9. Melepaskan jabatan struktural dan jabatan lainnya selama menjadi hakim ad hoc. Proses penanganan perkara di pengadilan merupakan benteng terakhir keadilan, maka dalam proses mengadili perkara tindak pidana kehutanan atau perkara perusakan hutan para hakim harus memiliki keahlian, berpengalaman dibidang kehutanan dan tidak melakukan kolusi dan korupsi. Profesionalisme aparat penegak hukum baik; penyidik, penuntut umum dan hakim dalam Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H). Hakim yang akan dibentuk untuk memeriksa perkara tindak pidana perusakan hutan di persidangan, yang berasal dari hakim karier maupun hakim ad hoc, menjadi harapan dalam upaya untuk
130
Pasal 53 ayat 5
mewujudkan perlindungan sosial dan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan.
4. Peran serta Masyarakat dan Kerjasama Internasional Peran serta masyarakat diatur juga dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemeberantasan Perusakan Hutan, tugas fungsi dan kewenangan yang dimiliki oleh Lembaga Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan meliputi; kewenangan Pencegahan dan Penindakan atau Penegakan Hukum serta kewenangan lainya. Pada BAB VI diatur juga peran
serta masyarakat dalam rangka pencegahan dan
Pemberantasan perusakan hutan, dimana mengatur hak dan kewajiban, termasuk perlindungan hukum dalam melaksanakan haknya, perlindungan hukum dalam proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai proses peradilan
sebagai
saksi
pelapor,
saksi,
saksi
ahli
sesuai
peraturan
perundang-undangan. Lembaga P3H ini, memiki tugas dan fungsi sebagaimana yang ditentukan pada BAB VII, internasional
dengan
Lembaga P3H dapat melakukan kerjasama
negara
lain
dalam
rangka
pencegahan
dan
pemberantasan perusakan hutan dengan mempertimbangkan dan menjaga kepentingan nasional. Kerjasama internasional dalam rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan,
dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dapat dilakukan dalam bentuk
131
:
a. Kerja sama bilateral b. Kerja sama regional atau b. Kerja sama multilateral. Dalam melakukan kerjasama pemerintah atau lembaga P3H, dapat dilakukan dengan melakukan suatu perjanjian. Dalam hal perjanjian belum ada, kerjasama dilakukan atas dasar hubungan baik berdasarkan prinsip timbal balik resiprositas132. Pada ketentuan yang terdapat pada Pasal 67 ayat 2 Undang-undang Nomor 18 tahun 2013, kerja sama internasional dalam rangka pencegahan perusakan hutan dapat dilakukan dalam hal : a. Manajemen pengelolaan hutan yang berkelanjutan; b. Kerja sama konservasi dan restorasi kawasan hutan; c. Pemberdayaan masyarakat; dan d.
Pemerkuatan sistem verifikasi dan sertifikasi legalitas kayu yang diakui secara internasional.
Kerjasama internasional tersebut dalam rangka mencegah perdagangan dan/atau pencuian kayu tidak sah, kerjasama internasional dalam pengelolaan hutan. Kerjasama internasional yang dilakukan dalam rangka penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap
131
Pasal 64 ayat 2 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013. Resiprositas adalah hubungan bersahabat dengan berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan pada prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku. Penjelasan Pasal 62 ayat 2 Undangundang Nomor 18 Tahun 2013. 132
perkara perusakan hutan, pemerintah dapat melakukan kerja sama regional dan internasional melalui forum bilateral atau multilateral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan maupun kerjasama internasional dalam rangka penyelidikan dilakukan melalui kerjasama interpol negara masing-masing negara.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
C. KESIMPULAN Dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya di atas, dapat diajukan kesimpulan yang menjadi hasil penelitian tesis ini. Kesimpulan hasil penelitian dimaksud adalah : 1. Kebijakan fomulasi hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan, terdapat dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan direformulasikan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Secara umum jenis tindak pidana kehutanan adalah berkaitan dengan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah dan pemanfaatan hasil hutan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, didalamnya diatur perbuatan yang dilarang atau jenis-jenis tindak pidana, subjek hukum pertanggungjawaban pidana dan sistem pemidanaan atau sanksi pidana yang diancam berbeda terhadap orang perseorangan, orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau berada disekitar kawasan hutan, korporasi dan pejabat pemerintah. Adapun sistem pemidanaannya dengan
sanksi pidana penjara dan denda yang diancaman minimum khusus sampai dengan maksimum khusus. 2. Dasar kewenangan (authorty) Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan
(P3H)
adalah
bersumber
dari
kewenangan
yang
diamanatkan Undang-undang. Adapun bentuk, kedudukan, ruang lingkup kewenangan, tugas dan fungsi lembaga P3H diatur pada BAB V Pasal 54, 55, 56 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan lembaga P3H memiliki kewenangan pencegahan dan pemberantasan atau penindakan. Tugas dan fungsi pencegahan dilakukan dengan memenuhi sumber kayu alternatif ataupun kebutuhan lainnya dengan mendorong pengembangan hutan tanaman yang produktif dan teknologi pengolahan serta kebijakan penghilangan kesempatan dengan meningkatkan peran serta masyarakat, partisipasi dalam pengelolaan dan pelestarian hutan, melakukan kampanye anti perusakan hutan dan lainnya. Sedangkan fungsi penindakan dilakukan lembaga
P3H,
penyelidikan,
melalui penyidikan,
penegakan
hukum
penuntutan
(law enforcement) melalui
sampai
proses
pemeriksaan
di
persidangan, diatur dengan hukum acara tersendiri. Lembaga P3H juga, memiliki fungsi koordinasi dan supervisi terhadap penanganan tindak pidana kehutanan.
D. S A R A N Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disampaikan saran-saran sebagai berikut : 1. Dari kebijakan formulasi hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana kehutanan
baik,
Ketentuan
norma
pencegahan berupa
dan
pemberantasan
jenis
tindak
perusakan
pidana,
subjek
hutan. hukum
pertanggungjawaban pidana, sistem pemidanaan dan hukum acara sendiri dalam
Undang-undang
Nomor
18
Tahun
2013,
diperlukan
adanya
penyempurnaan dan harmonisasi, sehingga menjadi norma yang efektif, responsif dan sesuai dengan semangat
pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan. Dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan khusunya
kebijakan
pencegahan
dan
formulasi
hukum
pemberantasan
pidana
perusakan
dalam hutan
penanggulangan
diharapkan
dapat
mengakomudir kepentingan negara dan masyarakat dalam hal perlindungan masyarakat (social defence) dan untuk mencapai kesejahteraan sosial (social
welfare) bagi masyarakat. 2. Kewenangan yang diamanahkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, untuk
pembentukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan (LP3H), dalam melakukan tugas dan fungsi pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Lembaga P3H memiliki fungsi koordinasi dan supervisi terhadap penanganan perkara tindak pidana kehutanan, bahwa konflik antar lembaga atau instansi yang berwenang dapat dilakukan
harmonisasi
antar
peraturan
perundang-undangan
terkait
kewenangan
dan/atau koordinasi antar pimpinan dan dapat dilakukan kesepahaman bersama memoradum of understanding (MOU) antar pimpinan lembagalembaga terkait untuk menghindari konflik kepentingan antar lembaga yang berwenang.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku – Buku Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Sejarah, Aliran dan Pemaknaan, (Gadjah Mada University Press, Yogyakarta), 2006. Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal theory ) dan Teory Peradilan (judicial
prudence) termasuk interpretasi Undanag-undang (legis prudence), Edisi Pertama, Cetakan Kedua, (Kharisma Putra Utama, Jakarta), 2009. Aloysius Wisnu Subroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penaggulangan
Penyalahgunaan
Komputer,
(Universitas
Atmajaya
Yogyakarta), 1999. Alam Setia Zein, Kamus Kehutanan, cetakan pertama (PT. Rineka Cipta, Jakarta), 2003. ______________, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan, (PT. Rineka Cipta, Jakarta), 1996. Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
(Raja
Grafindo Persada, Jakarta), 2012. Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, (Arikha Media Cipta, Jakarta), 1995.
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, (Balai Penerbitan Universitas Diponegoro, Semarang), 2000. _______________, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Citra Aditya Bakti, Bandung), 2002. _______________, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, (PT. Citra Aditya Bakti, Bandung), 2002. ________________, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan
dengan
Pidana
Penjara,
(Balai
Penerbitan
Undip,
Semarang), 1996. _______________ , Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana Edisi Revisi, (Citra Aditya Bakti, Bandung), 2005. Bambang Sugono, Metodologi Penelitian Hukum, (Ghalia indonesia, Jakarta), 1998. Bambang Setiono dan Yunus Husain, Memerangi Kejahatan Kehutanan dan
Mendorong
Prinsip
Kehati-hatian
Mewujudkan
Pengelolaan
Pendekatan
Anti
Hutan
Pencucian
Perbankan yang
Uang,
untuk
Berkelanjutan (Center
for
International Forestry Research CIFOR, Jakarta), 2005. Darmono, Pengenyampingan Perkara Pidana Seponering dalam Penegakan
Hukum, Studi kasus ketetapan mengesampingkan perkara
demi kepentingan umum atas nama Dr. Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, (Solusi Publishing, Jakarta), 2013. Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsapat Hukum, Apa dan
Bagaimana
Filsafat
Hukum
Indonesia,
cet.,
Kelima,
(Gramedia Pustaka Utama), Jakarta, Edi Suharto, Kebijakan sosial Sebagai Kebijakan Publik, (Alfa Beta, Bandung), 2007, hlm. 3 Hermansyah, Buku Panduan Peran Serta Masyarakat Dalam Penegakan Hukum
Bidang Kehutanan,
EC-Indonesia Plegt Support Project
(Forest Law Enforcement, Goverment Ang Trade) – Kementerian Kehutanan RI, Jakarta), 2010. Haryadi Kartodiharjo, Modus Operandi, Scientific Evidence dan Legal Evidence
Dalam Kasus Illegal Logging, Makalah disampaikan Dalam Pelatihan Hakim Penegakan Hukum Lingkungan yang diselenggarakan
oleh
ICEL
bekerjasama
dengan
Mahkamah Agung RI, Jakarta), 2003. H.B Sutopo, Metode Penelitian Hukum Kualitatif II, (Universitas Negeri Semarang Press, Surakarta), 1998. IGM. Nurdjana, et. al., Korupsi dan Illegal Logging dalam Sistem Desentralisasi, cet. III, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta), 2008. J.M. Van Bemmelen, Hukum Pidana I, Hukum Pidana Materiel Bagian Umum, Terjemahan
HASNAN,
Bandung), 19887.
cetakan
kedua,
(Binacipta,
Jimly Assiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Sekertariat
Jenderal
Mahkamah
Konstitusi
Republik
Indonesia), Jakarta, 2006. J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan., Hukum Pidana, cet. III, (PT. Citra Aditya Bhakti), 2011 Jeffrie G. Murphy dan Coleman Jules L, The Phylosophy of Law an Introduction
To Jurisprudence, (Totowa NJ, Rowman & Allenheld), 1984. Koesnadi
Hardjosoemantri,
Hukum Perlindungan Lingkungan, Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, cet. II, Edisi I, (Gadjah Mada University Press, Yogyakarta), 1999 Marjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, (Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta), 1999. ______________,
Pertanggungjawaban
Korporasi
Dalam
Tindak
Pidana
Korporasi, Makalah Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, (Semarang, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro), 1989. Nyoman Sarikat Putra Jaya, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang), 2005. Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, (Ghalilia Indonesia, Jakarta), 1986.
Rodliyah Hj., Pembaharuan Hukum Pidana Tentang Eksekusi Pidana Mati Pokok-
pokok pikiran Revis Undang-undang Nomor 2/Pnps/1964, (CV. Arti Bumi Intara Yogyakarata), 2011. Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung), 1996. ______________, Teori Hukum Strtegi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, (Genta Publishing, Yogyakarta), 2010. S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Alumni AHAEM - PETEHAEM, Jakarta), 1986. Soerjono Soekamto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, edisi 1., cet. 10 (PT. Raja Grafindo, Jakarta), 2011. Siswanto Sunarso, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, (Citra Aditya Bakti, Bandung), 1996. _______________, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian
Sengketa, (Rineka Cipta, Jakarta), 2005. Suriansyah Murhaini, Hukum Kehutanan, Penegakan Hukum Kejahatan di
Bidang Kehutanan, cet. II, (Laksbang Grafika, Yogyakarta) 2012. Suryanto, et. al., Illegal Logging Sebuah Misteri dalam Sistem Pengrusakan
Hutan di Indonesia, (Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan-Indonesia), 2005. Sukaradi, Illegal Logging dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua), Universitas Atmajaya, Yogyakarta), 2005.
Teuku Mohammad Radhie, Pembaharuan Politik Hukum dalam Rangka
Pembangunan Nasional, (Ghalilia Indonesia, Jakarta), 1973. Anonim, Seri Hukum dan Perudangan KUHAP dan KUHP, (SL Media, Jakarta), 2014. _______________, Buku Saku Ketentuan Tindak Pidana Kehutanan, Direktorat Penyidikan dan Perlindungan Hutan Direktorat Jenderal Perlindungan Kehutanan,
dan
Konservasi
EC-Indonesia
FLEGT
Alam SP
Departemen (Forest
Law
Enforcement, Goverment and Trade), 2008. ______________, Petunjuk Praktis Penegakan Hukum untuk Polisi Kehutanan, (Kerjasama antara Direktorat Penyidikan dan Pengamanan Hutan
Direktorat
Jenderal
Perlindungan
Hutan
dan
Konservasi Alam Kementerian Kehutanan dengan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) Indonesian Office, Jakarta), 2013.
B.
Peraturan Perundang-undangan a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen I, II, III dan IV. b. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). c. Rancangan KUHP dan KUHAP Nasional, terakhir Tahun 2013
d. Udang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. e. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup f. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan diubah Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan. g. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara h. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. i. Instruksi Presiden RI Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan
Penebangan Liar di Seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c. Desertasi, Thesis, Jurnal dan Makalah
Lalu Parman, Prinsip Individualisasi Pidana dalam Sistem Pidana Minimum Khusus
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, (Desertasi Program Studi Doktoral Universitas Brawijaya),
Mei 2014.
Dila Romi Aprilia, Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penanganan Tindak
Pidana Illegal Loging, (Tesis Magister Hukum Universitas Indonesia),
2012.
I Gusti Ayu Ketut Rahmi Handayani,
Penegakan Hukum Kehutanan dalam
Rangka Antisipasi Dampak Climate Change di Indonesia, (Seminar Nasional Program Studi Strata dua (S-2) Ilmu Lingkungan Universitas Negeri Semarang),
September 2008.
Muktar Amin Ahmadi, et.al, Panduan Pelaksanaan Kegiatan Polisi Kehutanan
Patroli Pengamanan Kawasan Hutan, (Direktorat Penyidikan dan Pengamanan Hutan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan Dan Konservasi Alam - Freeland Foundation), Jakarta, 2012. Andi Pramaria, Makalah bahan seminar dan Rapat Koodinasi Pengamanan Hutan, Perlindungan dan Pengaman Hutan di NTB, Bidang Planolgi dan Pengamanan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi NTB, Mataram,
Maret 2015.
d. Internet dan Media M. Hariyanto, Tindak Pidana Kehutanan, http://blogmhariyanto. blogspot.com, diposting pada tanggal, 18 juni 2009 jam 10.00 wita
________________,Hukum
Kehutanan
dan
Tata
Usaha
Kayu,
http://blogmhariyanto. blogspot.com, diposting pada tanggal 5 Desember 2014. http://hukumonline.com. Perundang-undangan Indonesia, diakses pada tanggal
10 Januari 2015, jam 11.00 wita. ________________, Ketentuan legaliatas pengangkutan tumbuhan dan satwa liar, http://blogkonservasi.blogspot.com., diposting pada tanggal 20 Desember 2013, jam 15. 00 wita. http://ugm.ac.id, Pemerintah segera menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi
tentang Hutan
Adat, diposting pada tanggal, 21 Februari
2014, jam 12.40 wita. Romli Atmasasmita,
Pengertian dan tujuan hukum, http://statushukum.com, diposting pada tanggal, 24 Maret 2013, jam 09.50 wita.