Tim Biro Ekosob AMAN Kaltim Kaltim bersama Warga Mancong Mancong saat melakukan penyemaian penyemaian Tanaman Doyo
Kain tenun Ulap Doyo sudah terkenal sejak dahulu kala pada masa kerajan Kutai, kain tenun ini diperkirakan sebelum abad ke-17. Pada masa itu masih berlaku perbedaan sosial. Dengan melihat motif Ulap Doyo yang digunakan pada masa itu bisa dijadikan sebagai ciri atau identitas seseorang, contohnya motif Jaunt Nguku digunakan oleh kaum kaum Mantiq
(Bangsawan/Raja) dan motif Waniq Ngelukng digunakan oleh golongan Marantikaq (orang Biasa).
Ulap Doyo dipakai saat Sari Gantar untuk menyambut tamu Kain tenun ikat Ulap Doyo merupakan salah satu bentuk ekspresi dari ilmu pengetahuan dan keyakinan masyarakat adat dayak Benuaq Ohokng. Kain tenun ini bisa digunakan laki laki maupun perempuan pada saat upacara adat, tari-tarian, rijok-dongkoi dan dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya kain tenun yang digunakan sehari-hari adalah warna hitam sedangkan kain tenun yang berwarna warni dan bermotif akan digunakan saat ada ritual-ritual adat. Kain tenun yang bermotif serta memiliki hiasan khusus memiliki nilai-nilai adat dan fungsional yang memiliki nilai religi. Seperti motif Timang ( Harimau) melambangkan keperkasaan keperkasaan seorang pria, motif Naga melambangkan melambangkan kecantikan seorang wanita, motif Limar (perahu) melambangkan kerjasama dan motif Tukar Torai (tangga Rebah) maknanya melindungi usaha dan kerjasama masyarakat masih banyak motif yang lainnya serta memiliki makna yang berbeda-beda. Dalam penggunaan warna juga memiliki makna tersendiri dan memiliki simbolik yang mengandung nilai budaya, seperti warna hitam pada kain panjang adalah si pemakai memiliki kemampuan dalam melakukan tolak bala dan ilmu hitam (ilmu yang jahat).
Kain tenun ikat ini digunakan dalam berbagai upacara adat sperti upacara kewangkey (ritual kematian), upacara pelulukng peruku (pernikahan adat), tarian gantar, upacara panen hasil bumu, ritual pengobatan, kain tenun ulap Doyo ini juga biasanya digunakan sebagai mahar untuk melamar yang disebut Uru Oncangkng.
Pakaian Tradisional Pria Dayak Benuaq Ohokng Terbentuknya kelompok pengerajin Kain Tenun Ikat Ulap Doyo di Kampung Macong sebenarnya sudah lama sejak masih dalam wilayah kabupaten Kuati Kartanegra, sekiatar tahun 1990 kelompok pengerajin dibentuk melalui dinas parawisata, binaan diberikan pada kelompok ini dan membuahkan hasil yang luar biasa berkembang cukup pesat dan pemasaran dilakukan di masyarakat dan pemerintah, kelompok ini juga memasarkan produk mereka dengan mengikuti pameran ditingkat kecamatan, kabupaten, provinsi bahkan sampai ke Jakarta, bukan hanya kain tenun ikat yang kelompok ini miliki tetapi ada kesenian daerah yaitu tarian gantar dan rijok. Namun seiring berkebangnya pembangunan
maka terjadi pemekaran daerah dan kampung Mancong masuk dalam kabupaten baru yaitu kabupaten Kutai Barat, dengan seiringnya waktu kelompok binaan pemerintahan ini terabaikan dan menjadi mati. Masyarakat adat komunitas Ohokng ini masih tetap terus melakukan kegiatan menenun kain tenun ikat yang berbahan dasar dari benang doyo dan pewarna yang digunakan berasal dari alam dan hutan wilayah adat mereka. Walaupun kelompok sudah tidak ada lagi namun para pengerajin masih tetap melakukan praktek menenun dan memproduksi kain tenun ikat ulap doyo yang biasanya digunakan oleh masyarakat adat itu sendiri untuk melakukan ritual-ritual, dan masih ada pesanan dari luar kampung Mancong. Dan skala produksinya masih terbatas serta harga masih ditentukan oleh pembeli. Pada tanggal 20 September 2013, para perempuan adat dan ada perwakilan masyarakat juga berkumpul bermusyawarah bersama untuk membentuk kembali kelompok yang telah mati, kelompok ini sebagai wadah bersama dari hasil usaha yang mereka buat dan untuk keberlanjutan budaya dan kearifan lokal masyarakat adat Ohokng. Perempuan adat bermufakat membentuk kelompok baru yang di beri nama “ Sempeket Uat Bayu ” artinya bersama bangkit kembali. Para perempuan adat ini bermufakat untuk mempertahankan dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang mereka miliki dari leluhur. Terbentuknya kelompok didampingi oleh Perempuan AMAN dan AMAN Kaltim.
Tanaman Doyo Tumbuhan Doyo dengan nama latin Curculigo Latifolia , serat tumbuhan tesebut diambil kemudian dipintal dan ditenun menjadi kain tenun ulap Doyo yang indah dan memiliki nilai budaya. Tumbuhan Doyo ini banyak tumbuh di wilayah Kalimantan Timur serta memiliki beberapa varietas dan ciri-ciri yang berbeda. Ada tumbuhan Doyo yang tidak dapa digunakan sebagai bahan benang kain tenun ikat karena tidak memuliki serat yang bagus. Adapun varietas tumbuhan Doyo yang diambil seratnya untuk dijadikan sebagai bahan kain tenun ikat Ulap Doyo, yaitu : 1.
Doyo Temayo Varietas yang paling baik seratnya sebagai bahan kain tenun ikat (No.1), memiliki ciri-ciri bentuk daun agak kecil, melengkung warna hijau muda cerah, serat daunnya tidak telalu keras varietasnya terdapar disekitar wilayah kampung Mancong dan kampung Perigiq,
2.
Doyo Pentih Seratnya hapir sama dengan serat Doyo Temayo, yang membedakannya adalah warna daun yang hijau kekuningan dan lebih tahan terhadap sinar matahari.
3.
Doyo Biakng Ukuran daun dan tangkai daun Doto jenis ini lebih panjan varietas ini bisa mencapai 150 cm dan lebar 25 cm, panjang tangkai daunnya bisa mencapai 113 cm.
4.
Doyo Tulakng Ukuran daun Doyo ini lebih kecil dari daun Doyo Pentih dan Doyo Biakng, bentuk daunnya agak tegak dan lentur karena tulangnya lebih keras, saat pengerikan serat daunnya akan pecah-pecah.
Pada awalnya pewarna alami dari hutan dan kebun-kebun masyarakat yang digunakan sebagai bahan pewarna kain tenun, namun seiring berkembangnya pembangunan banyak hutan dan lahan perkebunan masyarakat yang dialih fungsikan menjadi lahan pertambangan dan perkebunan kelapa sawit sehingga bhan baku dari tumbuhan Doyo dan pewarna menjadi susah didapatkan disekitaran kampung, sehingga pengerajin menggunakan pewarna tekstil.
Baju khas Perempuan Dayak Benuaq Ohokng Warna serat tumbuhan Doyo adalah putih dan krem. Pewarnaan dilakukan untuk memeprindah dan membuat variasi motif semakin indah. Ada beberapa jenis bahan pewarna dan warna yang biasanya digunakan oleh pengeraji antara lain :
1.
Warna hitam Diperoleh dari asap pembakaran Damar yang dicampur dengan cairan pekat. Dan juga menggunakan daun pohon Kebuau yang sudah Tua. Serat daun Kebuau direbus bersama dengan serat daun Doyo hingga menjadi hitam warnanya. 2.
Warna kuning
Warna ini menggunakan tumbuhan kunyit (Curcuma Longa ), kunyit diparut atau ditumbuk sampai halus kemudian tambahkan air sedikit diperas seperti santan hingga mengeluarkan warna kuning pekat, selanjutnya direbus kemudain benag direndam selama beberap jam hingga terserap warna kuning dari kunyit. 3.
Warna merah
ü Batu Lado, batu yang biasanya terdapat di sungai Lawa dan Bentian Besar dan daerah Tanjung Isuy. Merupakan bahan untuk membuat warna merah pada serat Doyo. Caranya batu dibuat menjadi bubuk campur dengan air kemudian dioleskan pada benang Doyo. ü Biji buah Geligemp (Annatto Bixa Orellana), buah ini yang agak tua. Caranya siapkan beberapa biji buah Geligemp yang telah diremas bijinya lalu dicampur dengan air sedikit saja dan menghasilkan warna merah kental, kemudian cairan ini dioleskan pada benang Doyo. ü Kulit batang poho Uar, kulit batang pohon Uar diambil kemudian ditumbuk sampai menngeluarkan getah kemudian kulit kayu ini direndam satu malam sampai air rendaman berwarna merah tua. Kemudian benang Doyo direndam dalam air tersebut selama3-4 jam sampai menyerap dan warna benang menjadi merah. 4.
Warna hijau Warna yang diperoleh dari Putri malu ( Aminosa Pudica), daun putimalu ditumbuk hingga menjadi halus kemudian direbus dan mengeluarkan warna hujau kental, benang direbus sebentar bersama cairan hingga terserap dan warna benang menjadi hijau.
5.
Warna coklat
Warna ini diperoleh dari akar kayu Oter, akar kayu oter diamabil kemudian ditimbuk halus hingga mengeluarkan getah lalu benang direndam dalam getah kayu oter hingga menyerap dan warna menjadi coklat. Hampir semua bahan pewarna diatas sudah sulit didapat dikarenakan lahan yang telah dialihfungsikan. Dan sekarang kelompok penegerajin berusaha untuk membudidaya tumbuhan Doyo dan pewarna alam yang mereka gunakan secara turun temurun.
Adapun peralatan yang digunakan dalam melakukan proses pembuatan kain tenun ikat ulap Doyo adalah peratan yang masih tradisional, adapun peratan yang diguanakan antara lain: 1) 2)
Pengampent atau Band merupakan ikat pinggang sebagai penahan pinggang. Apit atau penggulung kaint, alat yang digunakan untuk menggulung pangkal kain tenun.
3)
Bliraq atau penumbuk, atau biasanya disebut parang-parang atau penumbuk saat menenun.
4)
Buyutn disebut sisir, sebagai penyusun benang.
5)
Telokng, terbuat dari bambu sebagai pembuka benang.
6)
Perasai Merua, terbuat dari bambu tipis selebar 2 cm sebagai pemisah benang.
7)
Gigiq , sebagai pengatur benang supaya tidak kusut.
8)
Duat , terbuat dari bambu sebagai pengait benang lungsi .
9)
Daag , alat yang digunakan untuk memasang rangkaian benang tenun yang akan ditenun.
10)
Tukar , sebagai pijakan kaki yang berfungsi untuk pengencang benang
11)
Tukar tekuet atau sekoci dari kayu, sebagai tempat benang isi yang akan ditenun pada benang lungsi
Dua tahap yang harus dilalui pengerajin hingga bisa menghasilkan kain tenun ikat Ulap Doyo. 1.
Pengolahan bahan baku Pertama yang harus dilakukan oleh pengerajin adalah pengambilan bahan baku atau daun Doyo dari hutan, dan jangan samapai kering terpapar sianar matahari karena akan rusak. Pengambilan daun doyo 60 -100 lembar, daun yang dipiluh adalah adau yang setengah tua tidak boleh terlalu muda maupun terlalu tua, dengan ukuran sekitar 1- 1,5 meter. Dari setiap pohon doyo hanya diambil 1-3 lembar daun dalam satu kali pengambilan dan juga menjaga supaya tumbuhan ini tidak mati. Dan setiap rumpun dipilih tangkai no 2 dan 5 sebagai bahan tenun. Tangkai no 4 sebagai pengikat serat pada saat pencelupan kedalam bahan pewarna.
Proses pemetikan Tanaman Doyo untuk diolah Daun yang telah diambil langsung dibawa untuk direndam dan diambil seratnya, apabila kering maka daun tersebut tidak bisa diambil seratnya. Dauin Doyo direndam dalam air hingga daging daun hancur atau lembek, kemudian serat disisir atau dikerik dengan pisau terbuat dari bambu panjangnya 20 cm dan lebar 40 cm tergantung sipemakai. Proses ini
diusahakan pada air sungai yang mengalir supaya serat benang yang dihasilkan tidak kusut. Selama proses ini dilakuakn serat Doyo harus tetap berada dalam air, karena apabila warna tersbut terkena udara maka warnanya akan berubah menjadi merah atau coklat tua. Serat yang telah selesai dikerik tidak langsung dimasukan kedalam wadah, namun dikaitkan pada batang kayu atau bambu yang telah ditancapkan pada dasar sungai. Agar sisa-sisa pada serat terbeut larut. Proses pemnegrikan biasanya dilakukan kurang lebih satu jam. Setelah itu dilakuakn proses penjemuran serat benang digantung dengan terjuntai kebawah supaya tidak kusut. Proses ini yang perlu diperhatikan juga benang harus benar-benar kering. Dalam pengerikan daun doyo juga tergantung dengan air yang digunakan apabila bersih (bening) maka hasilnya akan menjadi putih sedangkan airnya kecoklatan maka warna yang dihasilkan akan menjadi krem. 2.
Proses penenunan
Buntaran/gulungan benang Doyo yang siap ditenun menjadi Ulap atau Kain Doyo Sebelum proses penenunan dilakuakn pengerajin harus melalui tahap-tahap antara lain: a)
Moyent Doyo (memintal), serat doyo dibelah menjadi 2-3 mm, dengan menggunakan pisau atau peniki, setelah di kerik pelan-pelan kemudian dipelintir hingga menjadi benang,
b)
Nukui (Menyambung benang), benang-benang doyo yang telah dipintal disambung satu persatu, dengan cara disimpul rapat dingga panjang 100 - 200 meter.
c)
Munter Lawei (menggulung benang), benag yang telah di sambung kemudian digulung seperti bola sebesar kepakan tangan.
d)
Ngorakng entaq (menyusun corak), proses penyusunan corak, alat ini digunakan untuk mengencangkan benang-benang hingga menjadi rapi. Penyusunan memerlukan waktu yang lama 1-2 minggu untuk merapikan benang.
e)
Telegatn (mengikat), ini alat yang digunakan untuk mengikat dan melipat benang yang tidak kencang menjadi dua.
f)
Nelep (pewarnaan), ini proses pewarnaan pada benang dengan merendam dalam pewarna.
Ragam hias pada kain tenun Doyo pada umumnya hampir sama dengan ragam hias yang diterapkan pada kain tenun di daerah lain di Nusantara. Motif - motif yang paling menonjol pada tenun Doyo adalah motif dengan gaya swastika, misalnya pada motif timang atau harimau dan motif - motif flora dan fauna. Kini, tenun doyo memiliki puluhan jenis ragam hias atau motif yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat luas. Ragam hias atau motifmotif tersebut adalah sebagai berikut:
·
Motif naga, yaitu melambangkan keayuan seorang wanita
·
Motif Limar atau perahu, yaitu lambang kerja sama dalam usaha. Perahu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak Benuaq merupakan alat transportasi yang di sungai dan di danau
·
Motif Kinas atau ikan, yaitu bermakna sebagai suatu pertanda atau peringatan berupa nasehat dari leluhur kepada generasi penerusnya.
·
Motif Timang atau harimau, yaitu melambangkan keperkasaan seorang pria.
·
Motif Tukar Toray atau tangga rebah atau terbalik, yaitu bermakna melindungi usaha dan kerjasama dalam masyarakat.
·
Motif Tipak Mening Knowala atau gigi graham, yaitu melambangkan peran orangtua dalam suatu kerjasama atau bermasyarakat.
·
Motif Timang Nuat atau harimau yang tunduk, yaitu melambangkan suatu harapan agar keperkasaan atau keberanian seseorang tidak boleh lemah atau pudar.
·
Motif Timang Sesat Sungkar atau tangga harimau, yaitu melambangkan agar kerjasama dan usaha masyarakat harus senantiasa tegar dan berani untuk mencapai cita-cita.
·
Motif Tengkulutn Tongau atau patung, yaitu sebagai lambang kepercayaan masyarakat setempat tentang kehidupan di alam lain setelah manusia mengalami kematian. Oleh karena itu, patung itu memegang peranan penting dalam upacara kwangkai
·
Motif Brabakng atau senduk yang bersusun-susun, yaitu melambangkan kemewahan dan kesenangan seseorang.
· ·
Motif Upak Tolang atau kulit bambu, yaitu melambangkan kesuburan Motif Wahi Nunuk atau akar pohon beringin, yaitu melambangkan keberhasilan suatu pekerjaan yang tergantung pada kerjasama di dalam masyarakat.
·
s Motif Tempaku atau pinggiran tenun yang berbentuk tumpal, yaitu melambangkan keberhasilan yang sempurna suatu usaha.
· Motif Tekulutn atau katak, yaitu melambangkan akhir dari suatu pekerjaan. · Motif Tekurent atau titik-titik hujan, yaitu melambangkan kesuburan lingkungan si perajin tenun.
·Motif Tapus Tongan atau kembang anggrek, yaitu melambangkan kesuburan generasi muda untuk mencapai cita-cita. ·
Motif Rakang atau kembang penggerek kelapa, yaitu melambangkan suatu masalah kecil yang lama-kelamaan akan membawa petaka besar.
· Motif Kelelemakng atau kupu-kupu, yaitu melambangkan harapan dan kesuburan. · Motif Basukng atau bambu muda, melambangkan kekuatan dari dalam dan secara abstrak menggambarkan manusia itu sendiri.
LIAR TAPI JANGAN DI BUNUH 'KAIN TENUN DOYO' Diposkan oleh rahmayana rebang di 23.45
Mengenakan pakaian mahal itu sebuah kesenangan tersendiri bagi beberapa orang, namun tidak bagi saya, apalagi orang seperti saya percaya pakaian hanya sebatas fungsi untuk menutupi tubuh bukan karena harga. Tapi hal itu berbeda ketika saya membeli baju dengan motif sederhana berbahan kain tenun daun Doyo (curculigo latifolia lend) yang merupakan salah satu Heritage Indonesia, warisan tak ternilai bagi bangsa ini.
Penari yang menggunakan pakaian adat dari Tenun Doyo
Secara tidak sengaja saya sangat tertarik dengan hal-hal yang berbau budaya darah ibu saya yaitu Suku Dayak (Dayak Benuaq, Kab.Kutai Barat, Kalimantan Timur). Mungkin di dalam keluarga, saya adalah orang yang paling aktif mencari tau tentang riwayat kebudayaan Dayak khususnya Dayak Benuaq. Ketertarikan itu bermula dari hobi saya yang suka jalan – jalan, hingga mengantarkan saya bisa berinteraksi langsung dengan penenun kain daun Doyo (Ulap Doyo). Perjalanan saya kali ini adalah perjalanan mendadak, karena kaki saya sudah gatal mengingat sudah 2 bulan saya tidak melakukan travelling, padahal hampir setiap bulan saya melakukan traveling baik di daerah sendiri maupun ke luar pulau, apalagi 2 bulan itu banyak tanggal merahnya dan mendekati weekend. Dengan bermodal motor pribadi, saya niatkan pergi ke sebuah kecamatan lain di Kabupaten saya, dengan tujuan utama adalah ke kampung Tanjung Isuy. Sebelumnya saya masih menimbang-nimbang antara pergi atau tidak. Pukul empat sore saya nyatakan niat itu, tidak sampai dua jam saya telah sampai di kampung tersebut, padahal normal perjalanan biasanya ditempuh selama dua jam setengah, setengah jam lebih
cepat
oleh
gas
motor
saya.
Malamnya saya menginap di rumah keluarga, dan kebetulan malam itu sedang ada cara adat Kwangkey di Lamin tengah kampung yang tak jauh dari rumah keluarga saya, saya pun menyempatkan ikut dalam tarian Ngerangkaw sebagai salah satu prosesi acara adat Kwangkey dengan 7 kali putaran dan menggunakan pakaian adat suku Dayak Benuaq yang berbahan Kain tenun Doyo, acara ini berlangsung setiap malam hingga acara puncak yaitu pemotongan hewan sebagai persembahan. …….
Pagi itu saya ditemani adik sepupu memulai perjalanan untuk menghampiri riwayat budaya – budaya suku Dayak Benuaq lainnya. Rumah panjang yang umumnya disebut Lamin oleh suku Dayak, atau oleh orang suku Dayak Benuaq menyebutnya dengan Lou. Rumah itu berbentuk panggung dan panjang, tinggi tiang lamin sekitar 1 hingga 2 meter dari permukaan tanah. Tangga untuk naik ke dalam rumah lamin terbuat dari kayu pohon yang bulat, yang disepanjang batangnya di buat lubang sebagai tempat menginjak kaki untuk menaiki tangga satu demi satu, dinding luarnya terbuat dari papan kayu, atapnya terbuat dari sirip-sirip kayu ulin. Setiap tiang yang berada di teras Lamin dipahat hingga berbentuk patung – patung yang berjejer, seraya menyambut kedatangan kami dan mengatakan “selamat datang di Lamin Batuq Bura”.
Lamin Batuq Bura
ukiran patung di Tiang Lamin
Memasuki kedalam rumah Lamin kita disuguhkan ornamen – ornamen asli Lamin, yang sekarang jarang sekali bisa kita temukan di sebuah rumah Lamin. Kita bisa melihat ornamen itu dari bahan dinding pembelah antara kamar dan ruang tamu yang berbahan kulit kayu, jaman dulu kulit kayu digunakan sebagai dinding, kulit kayu inilah ornamen asli rumah lamin. Keaslian ornamen lainnya te rlihat pada lantai rumah lamin yang terbuat dari rotan-rotan yang diikat ke kayu bulat, serta benda – benda yang berada di lamin tersebut seperti tikar yang terbuat dari rotan atau biasanya disebut Lampit. Di satu sisi dinding kulit kayu ada berdiri beberapa tombak yang dulu biasanya digunakan untuk berburu hewan, dan m asih banyak benda benda lainnya yang merupakan ornamen asli rumah lamin. – Kedatangan saya disambut oleh ibu Way, beliau mempersilahkan kami masuk dan duduk di kursi yang terbuat dari rotan. Wanita yang berumur sekitar 50 tahunan ini pun mulai menceritakan tentang keberadaan rumah lamin tersebut. Lamin yang dibangun pada tahun 1990 yang terletak di Kampung Tanjung Isuy, Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur ini dihuni oleh 5 keluarga. Di Lamin inilah kita bisa melihat aktifitas Tenun Ulap Doyo, ibu way pun seorang penenun kain Doyo. Doyo adalah tumbuhan liar sejenis tunas kelapa atau atau palem atau anggrek yang masih kecil. Ulap yang berarti ‘daun’, jadi Ulap Doyo adalah daun Doyo. Daun ini mirip sekali dengan daun nyiur kelapa yang masih tunas, namun ada terselip didaunnya yaitu bulu-bulu tipis. Daun inilah yang digunakan sebagai bahan untuk membuat benang dan nantinya menjadi kain doyo. Untuk diketahui, Sedikitnya terdapat 4 jenis varietas doyo yang bisa dijadikan sebagai bahan tenun, yaitu doyo temoyo, pentih, biang dan tulang.
Pohon Doyo *sumber google Tenun Doyo termasuk dalam katagori Tenun Ikat, salah satu ciri khas tenun Doyo yang membedakan dengan tenun ikat di daerah lain adalah adanya titik – titik hitam yang muncul pada bidang yang berwar na terang. Sebelum menjadi kain, daun Doyo yang banyak tumbuh liar di hutan Kalimantan akan melalui berbagai proses, yaitu : 1.Pengambilan daun doyo, Dimulai dengan pengambilan daun Doyo kemudian direndam di dalam air hingga daging daunnya hancur.
2.Rorot / Merorot Serat daun doyo di kerik (merorot) di dalam air menggunakan sebilah piasu bambu atau sisir dari atas ke bawah hingga menghasilkan serat – serat kuat dari daun doyo.
Serat Daun Doyo
3.Pintal / Memintal Selanjutnya Daun doyo yang sudah di Rorot kemudian dikeringkan/jemur. Setelah kering salah satu ujungnya di ikat menyatu lalu di Pintal dengan ujung serat yang diikat lalu dijepit pada ujung kaki dan dibantu oleh tangan yang memelintir ujung serat yang tidak diikat. Setelah satu ikatan seleseai di Pintal maka mulailah untuk menyatukan sambungan demi sambungan hingga menjadi gulungan – gulungan benang yang siap untuk di tenun.
Gulungan Benang Doyo
4.Mewarnai benang Bahan pewarna pada motif kain menggunakan bahan – bahan alami yang berasal dari tumbuh – tumbuhan. HITAM : asap hasil pembakaran dammar atau serat daun pohon kebuau yang direbus MERAH : biji buah glinggang, kulit batang pohon uar dan batu lado COKLAT TUA : akar kayu oter HIJAU : daun putrid malu KUNING : umbi kunyit
5.Merakit alat tenun 6.Menenun
Alat Tenun Kain Doyo sudah ada sejak Zaman Ke rajaan Hindu Kutai ratusan tahun silam dan mulai dikenal secara luas pada akhir tahun 1970 hingga sekarang. Kain Doyo biasanya digunakan pada acara – acara adat suku Dayak Benuaq, namun sering sekali saya menjumpai acara – acara adat yang tidak menggunakan pakaian adat, khususnya yang terbuat dari Doyo, bahkan banyak yang menggunakan pakaian adat dari suku lain dan ada juga yang menggunakan baju biasa, jika hal ini tidak segera diperbaiki, takutnya identitas asli acara adat tersebut akan hilang. Namun tidak semua seperti itu, ada beberapa keluarga yang sedang mengadakan acara adat dan mewajibkan penari, pemusik serta Pengereraw menggunakan pakaian adat sukunya.
Saya salut dengan keluarga ibu Way, karena masih mempertahankan 80 % keaslian rumah lamin serta ornamen - ornamennya, dimana 20 % tidak keasliannya terletak pada tinggi tiang rumah yang hanya 1 hingga 2 meter saja. Tidak seperti kebanyakan rumah lamin lainnya yang hampir 60 % tidak asli, atau bagi saya melihatnya hanya sebagai museum saja. Selain masih mempertahankan ciri keaslian rumah lamin, keluarga ini masih mempertahankan kerajinan tenun ulap doyo yang merupakan mata pencarian sampingan mereka yang biasanya setiap bulan ia menyetor 2 – 3 lembar tenun. Namun sayangnya pohon Doyo sekarang hampir punah, karena daunnya yang dipetik untuk menjadi bahan utama makin sulit diperoleh. Hal ini disebabkan tumbuhan tersebut belum dapat dibudidayakan oleh masyarakat dan karena semakin banyaknya pembukaan perkebunan kelapa sawit serta pembukaan lahan batu bara yang semakin mengancam keberadaan tumbuhan liar ini. Biar tanaman ini liar tapi janganlah di bunuh hanya karena alasan pembukaan lahan atau sebagainya. Setelah mendapatkan banyak informasi berharga dari ibu Way, saya bertekad untuk membeli lagi baju tenun doyo, tapi karena harga satu setnya sama dengan harga tiket pesawat PP Balikpapan – Surabaya, maka niat itu akan saya laksanakan ketika punya uang lebih. *modus :D