Tugas Kapita Selekta
KASUS LINGKUNGAN Pencemaran Limbah PT. Newmont Minahasa Raya di Teluk Buyat
Oleh : A. Ashillah Haerunnisa H221 09 262
JURUSAN FISIKA PROGRAM STUDY GEOFISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS HASANUDDIN 2011
Latar Belakang Lingkungan hidup sebagai media hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan unsur alam yang terdiri dari berbagai macam proses ekologi yang merupakan suatu kesatuan. Proses-proses tersebut merupakan mata rantai atau siklus penting yang menentukan daya dukung lingkungan hidup terhadap pembangunan. Lingkungan hidup juga mempunyai fungsi sebagai penyangga perikehidupan yang sangat penting, oleh karena itu pengelolaan dan pengembangannya diarahkan untuk mempertahankan keberadaannya dalam keseimbangan yang dinamis melalui berbagai usaha perlindungan dan rehabilitasi serta usaha pemeliharaan keseimbangan antara unsur-unsur secara terus menerus. Manusia dan alam lingkungannya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain karena berhubungan dan saling mengadakan interaksi. Dengan adanya interaksi dan hubungan tersebut sehingga akan membentuk suatu yang harmonis. Dalam rangkaian kesatuan itu semua unsur menjalin suatu interaksi yang harmonis dan stabil sehingga terwujud komposisi lingkungan hidup yang serasi dan seimbang. Diantara unsur-unsur tersebut di bawah ini yaitu : hewan, manusia dan tumbuh-tumbuhan atau benda mati saling mempengaruhi yang akan terbentuk dalam berbagai macam bentuk dan sifat serta reaksi suatu golongan atas pengaruh dari lainnya yang berbeda-beda. Masalah lingkungan di Indonesia merupakan problem khusus bagi pemerintah dan masyarakat karena masalah lingkungan hidup merupakan masalah yang kompleks di mana lingkungan lebih banyak bergantung kepada tingkah laku manusia yang semakin lama semakin menurun baik dalam kualitas maupun kuantitas dalam menunjang kehidupan. Pembangunan dan pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat tentu akan berkembang pula kebutuhan hidup. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut pemerintah mengadakan pembangunan di segala bidang. Dengan adanya pelaksanaan pembangunan ini maka akan berpengaruh terhadap lingkungan, karena pembangunan ini maka akan berpengaruh terhadap lingkungan, karena pembangunan berarti perubahan dan pertumbuhan yang berangsur-angsur atau secara cepat merubah rona, sifat dan keadaan lingkungan hidup, agar menjadi lebih baik dan sehat. Pembangunan yang dilakukan selama ini, selain bertujuan untuk mensejahterakan kehidupan rakyat, dalam kenyataannya juga menimbulkan dampak yang positif maupun negatif. Hal ini berarti selain membawa manfaat bagi umat manusia, pembangunan juga menimbulkan risiko bagi lingkungan. Demikian halnya pembangunan di sektor industri. Dalam usaha untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan pendapatan, pemerintah semakin mendorong lahirnya industri. Sehingga perkembangan industri mempunyai peran yang cukup luas dan kompleks dalam pembangunan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan pengawasan dan pembinaan di bidang perindustrian sehingga dapat mencegah timbulnya dampak negatif sebagai akibat dari perkembangan industri dan teknologi. Akan tetapi tidak dapat dihindari lagi bahwa pembangunan industri tersebut menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan yang cukup meresahkan, yaitu pencemaran yang berupa pencemaran air, tanah, udara, maupun kebisingan. Pembangunan sektor industri memerlukan suatu kebijaksanaan sehingga upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan dapat dilakukan secara maksimal. Telah disadari bahwa kemajuan industri yang mampu meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat ternyata juga
menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan yang berdampak berubahnya tatanan lingkungan karena kegiatan manusia atau oleh proses alam berakibat lingkungan kurang atau tidak berfungsi lagi. Dalam pembahasan kali ini kita akan membahas mengenai pencemaran yang dilakukan oleh industri yakni PT. Newmont Minahasa Raya (NMR) yang mencemari Teluk Buyat Pembahasan Teluk Buyat adalah teluk kecil yang berhadapan dengan Laut Maluku. Terletak di batas Desa Buyat, Kecamatan Kotabunan, Kabupaten Bolaang Mongondow dan Desa Ratatotok Dua, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Merupakan bagian pantai selatan provinsi Sulawesi Utara. Di situ, di Buyat Pantai berdiam sebuah komunitas masyarakat yang saat ini terdiri dari 73 KK dengan jumlah penduduk 305 orang saat ini.
Lokasi Teluk Buyat
Sekitar 900 m di laut, persis di depan tempat pemukiman warga Buyat Pante ini bercokol lebih dari delapan juta kubik ton limbah PT Newmont Minahasa Raya (NMR) yang dibuang melalui system pembuangan tailing ke laut (Submarine Tailing Disposal – STD) atau penempatan tailing di dasar laut (Submarine Tailing Placement, STP) sejak Maret 1996. PT NMR menandatangani kontrak karya pada tanggal 6 November 1986 melalui surat persetujuan Presiden RI No B-3/Pres/11/1986. Jenis bahan galian yang diijinkan untuk di olah adalah emas dan mineral lain kecuali migas, batubara, uranium, dan nikel untuk masa pengolahan selama 30 tahun terhitung mulai 2 Desember 1986. Tahap produksi diawali pada Juli 1995 dan pengolahan bijih dimulai Maret 1996. Kontrak Karya PT NMR termasuk generasi keempat, Dengan wilayah sesuai dengan Kontrak Karya asli seluas 527.448 hektar. Luas Kontrak Karya kemudian menciut tinggal 26.805,30 hektar. Penambangan dilakukan dilakukan di Messel, Ratatotok kecamatan Ratatotok kabupaten Minahasa yang berjarak 65 mil barat daya Manado atau 1.500 mil timur laut Jakarta. Penyebab Pencemaran Temuan ikan-ikan mati di Teluk Buyat menunjukkan tidak ada jaminan keselamatan bagi warga setempat dan ekosistem pesisir laut. PT NMR ketika itu tidak memiliki izin operasi pengolahan dan pembuangan limbah Bahan Beracun Berbahaya (B3) yang dikeluarkan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal), seperti pasal 21 (2) PP nomor 19 tahun 1994 tentang pengolahan limbah B3.
Tahun 1997 PT.NMR memasang alat pengolah bijih tambang yang mengandung merkuri yang tinggi. (mercury scrubber). Menurut Kepala Dinas Pertambangan Sulut, R.L.E Mamesah, alat ini sengaja dipasang untuk menarik emas yang terbungkus mineral lain, terutama merkuri yang memang sudah ada di alam. Proses ekstraksi emas pada badan bijih yang ditambang menghasilkan limbah halus atau tailings. Metode pelepasan emas ini menggunakan senyawa sianida. Adapun beberapa jenis logam berat yang ikut terangkat dari perut bumi adalah Hg (mercuri), As (Arsen), Cd (Cadmium), dan Pb (timah) dan emas itu sendiri. Dan, proses pengolahan tentu saja hanya bijih emas yang diambil, dan logam berat yang lain tentu saja dialirkan menjadi limbah halus melalui pipa tailing ke Teluk Buyat. Akhir Juli 1998 warga Buyat Pante kembali dikejutkan dengan bocornya pipa limbah PT NMR. Manajemen PT NMR hanya menjelaskan bahwa pipa limbah bawah laut yang bocor itu pada sambungan flens di kedalaman 10 meter. Penyebabnya terjadi penyumbatan saluran pipa akibat kuatnya tekanan air. Agar saluran dapat berfungsi dengan baik dan dibersihkan pipa limbah di isi dengan air bor dan diberi tekanan udara. Tentu saja ikutan dari penjelasan itu adalah paparan kerugian yang di derita oleh perusahaan yang diperkirakan USS 4,9 juta, dan tidak pernah menyentil sama sekali apa akibat bocornya pipa tersebut terhadap kelangsungan kehidupan biota laut dan manusia yang ada di sekeliling pipa bocor tersebut. Hasil kajian kelayakan pembuangan pembuangan limbah tailing ke Teluk Buyat yang dilaksanakan oleh PPLH-SA dan Universitas Sam Ratulangi tahun 1999 menyatakan : Beberapa ancaman limbah tambang yang dibuang ke dasar laut sebagai berikut: (1) Limbah lumpur di dasar perairan akan memberikan dampak buruk bagi organisme benthos dan jenis biota laut lainnya. (2) Elemen kimia toksik seperti arsenic, cadmium, mercury, lead, nickel dan sianida dapat merusak ekosistem laut. Lebih berbahaya elemen-lemen kimia yang bersifat karsinogenik terakumulasi dalam rantai makanan yang akhirnya tiba pada manusia. Perairan Teluk Buyat dalam kurun 1997 – 1999 yaitu dari 5 derajat (8,9%) menjadi 2,2 derajat (3,8%) atau telah mengalami perubahan kemiringan lerengnya. Melihat kemiringan bentang lahan perairan Teluk Buyat menunjukkan bahwa lokasi tidak layak untuk dilewati pipa pembuangan limbah tailing memiliki kriteria kemiringan sebesar 10 – 20 derajat (Kuntjoro, 1999). Pipa pembuangan limbah tailing PT. NMR berada pada lapisan zona termoklin yaitu 82 meter [kini, (tahun 2000) sudah menjadi 70 meter] memungkinkan untuk naiknya partikel-partikel tailing serta ikutannya untuk mencemari area produktif perairan di teluk Buyat. Ini dibuktikan dengan hasil pengukuran konsentrasi logam Arsen (As) di sendimen di tiga lokasi yaitu: Teluk Totok, Teluk Buyat dan P. Kumeke-Kotabunan sudah berada di di atas ambang batas Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut (budidaya perikanan) Kep.02/MENKLH/1988 dimana nilai ambang batasnya adalah <0,01 ppm. Dengan berubahnya kemiringan bentang lahan di perairan di Teluk Buyat dan melihat hasil pengukuran dengan logam Arsen di tiga lokasi pengambilan contoh air, sedimen dan biota, mengindikasikan adanya transportasi partikel-partikel tailing pada kedalaman 20 meter. Dan hasil pengukuran yang dilakukan pada 10 ekor ikan diperoleh bahwa hati dan perut ikan adalah target organ yang mengakumulasi logam Arsen tertinggi, yaitu sekitar 2,777-51,365 ppb, konsentrasi
logam besi terakumulasi paling banyak pada daging ikan yaitu sekitar 1,03 – 1,86 ppm sedangkan hati dan perut ikan diperoleh konsentrasi logam besi sekitar 0,07 – 0,63 ppm. Dan basil pengukuran konsentrasi logam berat (Arsen, Cadmium dan Merkuri) diperoleh bahwa biota yang ditangkap dari perairan Teluk Buyat rata-rata sudah terkontaminasi oleh ketiga logam berat tersebut. Air raksa (mercury), Cadmium (Cd), Arsen (As) adalah jenis logam yang apabila terkonsumsi oleh manusia pada konsentrasi tertentu dapat menimbulkan efek terhadap kesehatan. Untuk mengetahui sejauh mana pencemaran material B3 Wahana Lingkungan Hidup (Walhi Sulut) melakukan pemeriksaan laboratorium terhadap 20 orang warga Buyat Pante. Hasil pengukuran konsentrasi arsenic dan mercury dalam darah 20 orang warga Buyat Pante adalah 18 orang telah memiliki konsentrasi arsenic dalam darah di atasreference range (>11,0 mcg/L) dan 1 orang memiliki konsentrasi arsenic sama dengan 11 mcg/L ‘Toxic range’ untuk arsen adalah <100 mcg/L. Setelah dilakukan beberapa penelitian, maka penelitian tersebut mulai memberikan kontribusi dan kesimpulan atas sumber pencemar pada Perairan Buyat dan sekitarnya. Dampaknya Pencemaran Penempatan limbah tailing di perairan Teluk Buyat telah mengakibatkan perubahan bentuk bathimetri perairan Teluk Buyat, dimana dari hasil pengukuran ketebalan sendimen diperoleh bahwa telah terjadi tumpukan deposisi limbah tailing pada kedalaman 80-90 meter atau di sekitar Anus Pipa Buangan terdapat limbah tailing setebal 10 meter. Limbah Tailing yang terdeposisi memenuhi hampir semua tempat di dasar laut mulai dari kedalaman > 60 meter ini berarti telah terjadi selisih kedalaman 10 meter. Tailing tidak membentuk tumpukan melainkan menyebar ke tempat lain. Pembuangan limbah tailing ke laut (Sub Marine Tailing Disposal) dimulai di Teluk Buyat, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara pada bulan Maret 1996. Ketika pertama kali tailing dialirkan ke kedalaman 82 meter dan jarak 900 meter tepi pantai, beberapa perisitiwa yang merugikan masyarakat setempat terjadi. Rangkaian peristiwa matinya ikan-ikan terjadi setelah Maret 1996 tailing (limbah lumpur tambang) dialirkan ke laut. Penduduk juga melihat bahwa laut semakin keruh dan ikan-ikan sulit didapat. Nener (benih bandeng) hilang dan ikan tangkapan sejak tahun 1997 tinggal 13 jenis ikan saja (hasil pemetaan partisipatif masyarakat dan Walhi Sulut, 2000). Nelayan harus menangkap ikan lebih jauh ke laut lepas dan harus menggunakan motor tempel. 2000-5000 kubik ton limbah setiap hari di buang oleh PT NMR ke perairan di teluk Buyat yang di mulai sejak Maret 1996. Menurut PT. NMR, buangan limbah tersebut, terbungkus lapisan termoklin pada kedalaman 82 meter. Nelayan setempat sangat memprotes buangan limbah tersebut. Apalagi diakhir Juli 1996, nelayan mendapati puluhan bangkai ikan mati mengapung dan terdampar di pantai. Kematian misterius ikan-ikan ini berlangsung sampai Oktober 1996. Kasus ini terulang pada bulan Juli 1997. Sejauh mata memandang, ikan-ikan mati terapung; itu juga ada di sekitar permukaan mulut pipa buangan limbah PT NMR. Nelayan Buyat Pante sangat cemas. Jaraknya hanya sekitar 200 – 300 meter. Pihak PT. NMR memunggut ikan-ikan mati tersebut dengan maksud untuk diteliti penyebab
kematiannya. Belum ada hasil penelitian penyebab ikan mati, PT NMR memberi kabar bahwa ikan mati karena kegiatan pemboman ikan oleh nelayan. Kematian ikan-ikan yang mati misterius ini, oleh beberapa nelayan dan aktivis LSM di bawa ke laboratorium Universitas Sam Ratulangi Manado dan Laboratorium Balai Kesehatan Manado, tetapi kedua laboratorium tersebut menolak untuk meneliti penyebab kematian ikan-ikan tersebut. Hal yang sama PT NMR berjanji untuk membawa contoh ikan mati tersebut ke Bogor dan Australia untuk diteliti tetapi sampai saat ini pun penyebab kematian dan terapungnya ratusan ikan tersebut belum pernah di sampaikan pada masyarakat. Kronologi ikan mati di teluk buyatronologi Ikan Mati di Teluk Buyat No
Waktu dan Tanggal
Jumlah ikan dengan nama jenis setempat
1.
29 Juli 1996
Puluhan ekor jenis kerapu, tato, kuli paser dan nener
2.
16 Agustus 1996
Puluhan ekor jenis kakatua dan kuli paser
3.
17 Agustus 1996
Puluhan ekor jenis lumba-lumba
4.
3 September 1996
Puluhan ekor jenis kerapu dan kuli paser
5.
7 September 1996
Puluhan ekor jenis kerapu, tato dan kuli paser
6.
17 September 1996
Puluhan ekor jenis kerapu
7.
Oktober 1996
Puluhan ekor
8.
3 Juli 1997
100-an ekor dengan jenis berbeda: uhi, bobara, wora, talahuro, tikus-tikus, bete bukokong,
9.
3 Agustus 1997Jam 08.00
Puluhan ekor jenis uhi, bobara, wora, talahuro, tikus-tikus, bete bukokong dan nener.
10.
6 Agustus 1997Jam 15.00
Puluhan ekor jenis uhi, bobara, wora, talahuro, tikus-tikus, bete bukokong dan nener.
11.
7 Agustus 1977Jam 09.00
Puluhan ekor jenis uhi, bobara, wora talahuro, tikus-tikus, bete bukokokong dan nener
12.
8 Agustus 1997Jam 15.00
Puluhan ekor jenis uhi, bobara, wora, talahuro, tikus-tikus, bete bukokong dan nener
13.
9 Agustus 1997
Tercium bau yang menusuk hidung dari laut. Jenis ikan mati: uhi, bobara, wora, talahuro, tikus-tikus, bete bukokong dan nener.
Temuan ikan-ikan mati itu menunjukkan tidak ada jaminan keselamatan bagi warga setempat dan ekosistem pesisir laut. PT NMR ketika itu tidak memiliki izin operasi pengolahan dan pembuangan limbah Bahan Beracun Berbahaya (B3) yang dikeluarkan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal), seperti pasal 21 (2) PP nomor 19 tahun 1994 tentang pengolahan limbah B3. Tentang kronologis kejadian tersebut, pemerintah daerah propinsi Sulut sudah mendapat laporan dari masyarakat, tetapi tidak pernah memberikan perhatian serius bahkan cenderung dianggap sebagai kebohongan masyarakat. 1. Logam Berbahaya pada Sedimen dan Ikan Laporan Tim Independen (1999), Kajian Kelayakan Pembuangan Tailing, penelitian WALHI-Dr.Joko Purwanto (2002), dan laporan Pusarpedal-KLH (2004) menunjukkan pada organ ikan (daging, hati dan perut) telah tercemar logam berat, khususnya Arsen (As), merkuri (Hg), dan Sianida (CN). Penelitianpenelitian tersebut diatas, ditambah laporan penelitian Evan Edinger,dkk (2004), laporan Survey P2OLIPI (2001), dan laporan Tim Terpadu (2000) menunjukkan bahwa beberapa jenis logam berat terdapat dalam konsentrasi yang cukup tinggi di Teluk Buyat. Konsentrasi tertinggi, khususnya As, Sb, Mn, dan Hg ditemukan disekitar pipa tailing. Ddibandingkan dengan Teluk Buyat, konsentrasi logam-logam berat tersebut di Perairan Totok relatif lebih rendah , kecuali untuk logam merkuri (Hg). a.
Logam Berbahaya Pada Ikan di Perairan Buyat Pada laporan salah satu analisa dokumen RKL/RPL oleh Bapedal/KLH ditemukan sampel ikan Lamontu yang mengandung 22,7 mg/kg arsen, ikan kapas-kapas yang mengandung 5,33 mg/kg merkuri (toleransi WHO 30 mcg/kg). Laporan ini dipresentasikan oleh Menteri Negara LH di depan komisi VIII DPR RI pada tahun 2000. Hasil riset Penelitian WALHI- Dr. Joko Purwanto (2002) menemukan dampak penambangan di hulu aliran sungai Buyat dan penempatan tailing PT.NMR di Teluk Buyat telah merubah kondisi ekosistem perairan Teluk Buyat. Distribusi komunitas hewan benthos, zooplankton, dan fitoplankton menjadi tidak normal (dilihat dari analisa log normal). Hal ini menunjukkan bahwa Teluk Buyat telah tidak sehat lagi bagi ekosistem perairannya atau telah terjadi penurunan kualitas lingkungan/ pencemaran lingkungan yang berat.
b.
Logam Berbahaya Pada Sedimen Dari laporan sejumlah penelitian dinemukan konsentrasi beberapa logam berbahaya, diantaranya As, Hg, Sb, Mn dan Siandia (CN) di Perairan Teluk Buyat relatif lebih tinggi dibandingkan perairan lain. Konsentrasi tertinggi umunya ditemukan di sekitar pipa tailing hingga radius sekitar 1 kilometer (sebanding dengan radius sebaran gundukan tailing yang dilaporkan). Logam As, dan Hg pada beberapa penelitian dibawah berada pada konsentrasi yang cukup mengkhawatirkan.Konsentrasi Mangan (Mn) di mulut pipa tailing 3 kali lipat rata-rata diperairan (P2O LIPI, 2001).
Keberadaan Cn juga ditemukan pada tubuh sampel hewan laut dasar (cacing laut, crustacea) yang hidup di ketiga wilayah sampel tersebut. Penemuan Cn pada sedimen yang cukup tinggi dan juga pada hewan laut bertolak belakang dengan pernyataan PT.Newmont dalam studi AMDAL. Disebutkan dalam studi AMDAL bahwa Sianida akan menguap dengan adanya penetrasi cahaya matahari dan tidak akan diakumulasi oleh hewan laut.
2.
Penelitian Heavy Metal Contamination Of Reef Sediment oleh Dr.Evan Edinger, dkk menemukan: “Dari hubungan antar logam ditunjukkan bahwa logam Arsenik (As) dan Antimon (Sb) merupakan indikator yang tepat atas sedimen tailing, sementara Copper (Co), Cobalt (Co), dan Chrome (Cr) indikator yang konsisten dari sedimen fluvial (sedimen pada sungai). Sedimen tailing memiliki konsentrasi yang sangat tinggi pada dua logam ini, > 660 ppm As, dan > 550 ppm Sb. Konsentrasi merkuri (Hg) memiliki dua puncak konsentrasi tertinggi –satu di ujung pipa tailing (stasiun BY 001, sekitar 5 ppm), dan satu di sedimen lumpur Teluk Totok (stasiun BY 013, sekitar 10 ppm). Iron(Fe), Titanium (Ti) dan Mangan (Mn) paling banyak ditemukan di keseluruhan stasiun pengamatan.
Rasio antar logam menunjukkan sejumlah lokasi karang di Teluk Buyat mengandung sedimentasi dari tailing dengan jumlah yang signifikan. Beberapa lokasi terumbu karang ini memiliki kandungan siliciclastic yang relatif rendah pada sedimennya, mengindikasikan bahwa hampir keseluruhan fraksi non-carbonate pada sedimen berasal dari tailing, dan bukan dari sedimen fluvial. “ a.
Distribusi Penyebaran Logam Berbahaya Mayoritas laporan penelitian tersebut menemukan konsentrasi tertinggi sejumlah logam berat, -terutama As, Sb, Mn, Hg dan senyawa Sianida (CN) – secara konsisten ditemukan di sekitar pipa tailing di Teluk Buyat. Konsentrasi logam berat rata-rata menurun seiring pertambahan jarak dari pipa tailing. Konsentrasi Sianida yang tinggi di Teluk Buyat, dan Sungai Buyat berasal dari aktivitas PT.Newmont Minahasa Raya, baik melalui pipa tailing maupun rembesan di darat (lokasi tambang). Sumber Sianida (CN) juga berasal dari rembesan di darat (tambang NMR) diidarat diindikasikan dari konsentrasi Sianida yang relatif tinggi di Sungai Buyat dan juga Sungai Totok.
b.
Logam Berat Sebelum dan Sesudah Pembuangan Tailing Serial data tersedia dalam laporan studi MM-ERA (2001) mengenai keberadaan logam As, Sb, dan Hg di Teluk Totok dan Teluk Buyat dalam periode September 1990 hingga September 1999. Pembuangan tailing di Teluk Buyat dimulai pada bulan Maret 1996. Konsentrasi sejumlah logam berat indikator (As, Sb, dan Hg) meningkat secara signifikan setelah pembuangan tailing dilakukan. Bahkan data tersebut menunjukkan sebelum adanya pembuangan tailing ke Teluk Buyat, konsentrasi As di Teluk Totok relatif lebih tinggi dibandingkan di Teluk Buyat. Jelaslah bahwa aktivitas pembuangan tailing ke laut meningkatkan konsentrasi sejumlah logam berat di Perairan Teluk Buyat. Jadi, dari sejumlah laporan penelitian tersebut sejumlah logam berbahaya telah mencemari
perairan Teluk Buyat dengan konsentrasi yang relatif tinggi. Logam berbahaya As, Sb, Mn, serta senyawa Sianida (CN) ditemukan dalam konsentrasi yang relatif tinggi di Teluk Buyat. Konsentrasi tertinggi berada di sekitar mulut pipa tailing, dan depan Teluk Buyat, dibandingkan lokasi lain , diantaranya Perairan Teluk Totok. Dengan ditemukannya sejumlah sampel ikan telah terpapar logam berat Hg, As, dan senyawa Sianida (CN) yang relatif tinggi maka dapat diduga hewan laut di Perairan Teluk Buyat tidak aman dikonsumsi oleh masyarakat sekitar. Dampak Bagi Masyarakat Kasus Buyat, menjadi salah salah satu model pengelolaan lingkungan hidup yang harus mengorbankan masyarakat yang hidup di garis kemiskinan (yang terlihat) dan mengorbankan seluruh masyarakat Sulut sebetulnya (bencana ekologis) di masa datang. Inilah kenyataan yang mesti masyarakat Sulut hadapi, terpilihnya daerah kita sebagai lahan eksploitasi emas dan terpilihnya tanah kita sebagai ajang buang sampah beracun akibat kegiatan pengelolaan emas yang bakal mengancam keberadaan masyarakat Sulut dimasa datang. Kondisi masyarakat di sekitar Teluk Buyat yang mengantungkan hidupnya dari hasil laut dan harus bertahan hidup di wilayah tersebut karena tekanan kemiskinan harus menerima akibat dari pencemaran dan perusakan ekosistem Perairan Teluk Buyat. Terkontaminasi logam berat arsen, lahan tangkapan ikan berpindah jauh ketengah laut, yang semuanya itu menurunkan kualitas hidup sebagian masyarakat Desa Buyat tepatnya masyarakat di dusun V Desa Buyat Pante. Ancaman ini disebabkan oleh bahaya logam berat seperti merkuri, kadmium, tembaga dan timbal sebagai pencemar yang dapat merusak otak, menurunkan daya ingat, melemahkan sistem syaraf, menghambat pertumbuhan dan perkembangan tubuh, menyebabkan cacat fisik, termasuk kerusakan ginjal dan berpengaruh negatif pada tulang. Selain itu, seperti pada penyakit Minamata, merkuri serta logam berat pencemar lain juga dapat merusak susunan gen sehingga diperkirakan penyakit yang ditimbulkan tersebut dapat menurun ke generasi berikutnya. (Republika Online, 2005). Solusi Mengendalikan pencemaran merkuri di pertambangan emas yang bermuara ke lautan sebenarnya ada beberapa cara yaitu :
Cara yang paling utama adalah dengan menggunakan pertambangan ramah lingkungan, yaitu pertambangan tertutup. Tahap berikutnya adalah menggunakan teknologi pemrosesan batuan tambang yang tidak menggunakan bahan merkuri, di antaranya dengan bahan sianida dan dengan cara bioteknologi yang disebut proses pencucian dengan mikroba. Mikroorganisme yang mengoksida batuan itu umumnya hidup pada bahan anorganik, di antaranya adalah Thiobacillus feroxidans. Beberapa tahun lalu peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) berhasil mengisolasi spesies itu di pertambangan emas Cikotok. Proses biologi ini banyak dipilih untuk mengolah biji atau batuan yang mempunyai kandungan sulfida
yang tinggi karena biayanya lebih murah dibandingkan dengan cara mekanis, serta ramah lingkungan. Cara ini telah diterapkan AS, Cile dan beberapa negara lain. Alternatif lain yang disebut fitoremediasi Dengan menggunakan tumbuhan yang mampu menyerap logam berat juga ditempuh. Salah satu tumbuhan yang digunakan tersebut adalah pohon api-api (Avicennia marina). Pohon Api-api memiliki kemampuan akumulasi logam berat yang tinggi. Dari Penelitian yang dilakukan oleh Daru Setyo Rini Ssi (Peneliti madya Lembaga kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah-ECOTON), jenis Mangrove yang mendominasi Perairan Timur Pantai Surabaya ini memiliki sistem penanggulangan materi toksik yang berbeda, diantaranya dengan melemahkan efek racun melalui pengenceran (dilusi), yaitu dengan menyimpan banyak air untuk mengencerkan konsentrasi logam berat dalam jaringan tubuhnya sehingga mengurangi toksisitas logam tersebut. Ekskresi juga merupakan upaya yang mungkin terjadi, yaitu dengan menyimpan materi toksik logam berat dalam jaringan yang sudah tua seperti daun yang sudah tua dan kulit batang yang mudah mengelupas, sehingga dapat mengurangi konsentrasi logam berat di dalam tubuhnya. Metabolisme atau transformasi secara biologis (biotransformasi) logam berat dapat mengurangi toksisitas logam berat. Logam berat yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami pengikatan dan penurunan daya racun, karena diolah menjadi bentuk-bentuk persenyawaan yang lebih sederhana. Proses ini dibantu dengan aktivitas enzim yang mengatur dan mempercepat jalannya poses tersebut. Jenis ini dapat dikembangan sebagai benteng terakhir pengendalian Pencemaran Logam Berat di wilayah pesisir. Mengatasi pencemaran merkuri dengan bakteri juga dimungkinkan karena diketahui ada bakteri yang dapat bertahan hidup dalam lingkungan yang mengandung merkuri dalam jumlah tinggi. Bakteri itu adalah Pseudomonas fluorescens, Staphylococcus aureus, dan Bacillus sp. Hal ini dapat menginspirasi ahli biologi molekuler untuk memadukan fungsi gen beberapa bakteri hingga menghasilkan strain unggul untuk mengatasi pencemaran merkuri secara cepat dan efektif (Kompas, 2004).
Dan apabila pencemaran ini terlanjur terjadi sebaiknya pemerintah menghentikan pemberian izin pembuangan limbah tailing ke laut dan ke badan air lainnya dan menuntut perusahaan untuk melakukan rehabilitasi dan clean up atas kerusakan dan pencemaran yang telah ditimbulkan. Sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dan agar kasus ini tidak terjadi lagi maka pemerintah harus tegas dalam memberikan perijinan, dalam hal ini semua harus sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan melaui undang-undang. Hal yang diperlukan saat ini hanyalah ketegasan pemerintah dalam mencanangkan peraturan, pemberian dukungan dalam pencegahan pencemaran untuk pemulihan keadaan perairan, baik dari segi pendanaan, motivasi maupun keterlibatan secara langsung, serta kerjasama pemerintah dengan para pengusaha dan masyarakat Indonesia dalam mencegah pencemaran air pada kawasan hulu yang merupakan salah satu penyebab utama pencemaran laut. Jadi, semuanya berangkat dari kemauan dan kerjasama seluruh komponen bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
http://ariyo.wordpress.com/2007/06/17/pembuangan-limbah-tailing-ke-laut-sub-marine-tailing-disposalstd/, diakses pada tanggal 05-10-2011 pukul 8.23 p.m http://nonequeen.wordpress.com/2009/12/31/upaya-penaggulangan-kerusakan-lingkungan-hidup-dalampembangunan-berkelanjutan-%E2%80%9Ckhususnya-di-indonesia%E2%80%9D/, diakses pada tanggal 09-102011 pukul 8.07 p.m http://veronicakumurur.blogspot.com/2006/08/oleh-veronica-kumurur-kasus-buyat.html, diakses pada tanggal 0510-2011 pukul 8.24 p.m http://www.buyatdisease.com/berita/3.php, diakses pada tanggal 05-10-2011 pukul 8.25 p.m