TUGAS HUKUM LINGKUNGAN “Analisa kasus Administrasi, kasus Perdata dan Pidana yang Terkait Dengan Kasus Lingkungan”
Oleh :
IKKE RINDA SAPUTRI 11010111130452 KELAS H
Saksi Ahli Kasus Bioremediasi: Tidak Ada Pidana Lingkungan Yang Terkait Dengan Korupsi
JAKARTA (RiauInfo) - Dalam sidang kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta dengan terdakwa Widodo, dihadirkan saksi ahli pakar hukum dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, Asep Warlan Yusuf, dan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Edward Omar Syarif Hiariej. Dalam sidang yang berlangsung pada Rabu, 29 Mei 2013 itu, Asep menerangkan bahwa dalam pidana lingkungan yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Pelestarian Lingkungan Hidup, tidak diatur tentang pidana yang terkait dengan kerugian k euangan negara atau korupsi, seperti yang dituduhkan kepada karyawan Chevron, Widodo. Asep di hadapan Majelis Hakim yang diketuai Sudharmawati Ningsih, mengaku turut serta dalam penyusunan dua UU bidang lingkungan. Yakni UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Lingkungan maupun UU 32/2009. Namun dalam dua UU tersebut, sama sekali tidak ada ketentuan tentang pidana lingkungan yang berkaitan dengan kerugian negara atau korupsi. Pakar hukum lingkungan dan hukum administrasi yang beberapa kali mengikuti kursus hukum di Belanda dan Belgia ini juga menerangkan, dalam penanganan dugaan adanya tindak pidana lingkungan, maka peraturan yang wajib dirujuk adalah UU 32/2009. Karena UU 32/2009 merupakan lex specialis terhadap UU lain dalam hal pidana lingkungan. Jika ada pelanggaran lingkungan, maka UU 32/2009 inilah yang digunakan, tidak butuh dukungan UU lainnya, tegasnya. Lebih lanjut ia menjelaskan, dalam UU 32/2009, pidana lingkungan bisa menjerat baik pelaku maupun pemerintah. Dan yang diberi tugas oleh UU untuk menjadi penegak hukum pada pidana lingkungan adalah penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang harus berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Jika dalam menangani perkara pidana lingkungan penegak hukum tidak koordinasi dengan KLH, berarti telah terjadi pengabaian terhadap UU 32/2009, jelasnya lagi. Dalam UU 32/2009, kata Asep, disebutkan bahwa jika ada laporan masyarakat ke penyidik (Polri atau Kejaksaan) mengenai dugaan pidana lingkungan, maka penyidik harus berkoordinasi ke KLH, untuk kemudian KLH menugaskan PPNS-nya melakukan tindakan penegakan hukum. Asep pun lantas menyebutkan dasar hukum statemennya. Yakni Pasal 63 UU 32/2009 yang menyebutkan bahwa pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup dilakukan ol eh pemerintah, yang secara spesifik dalam Pasal 64 UU 32/2009 diamanatkan ke Kementerian Lingkungan Hidup. Ia juga menerangkan bahwa instrumen penegakan hukum lingkungan bukan hanya pemidanaan. Melainkan ada izin, yang di dalamnya terkandung instrumen pengendalian, pencegahan terhadap pelanggaran, koordinasi, dan pengawasan. Dalam setiap permohonan izin lingkungan, ada empat syarat yang harus dipenuhi pemohon, yakni administrasi, yur idis, teknis, dan manajerial. Dan dalam menjalankan fungsi izin, pemerintah dapat melakukan peninjauan ke lapangan. Hal senada diungkapkan Guru Besar Hukum Pidana UGM, Edward Omar Syarif Hiariej, yang juga dihadirkan sebagai saksi ahli dalam persidangan itu. Terkait dengan kasus bioremediasi, Edward menerangkan bahwa yang menjadi rujukan adalah UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan
Pelestarian Lingkungan Hidup, karena sifat kasus ini yang spesifik. Dalam konteks pidana, ketentuan yang khusus mengesampingkan ketentuan yang umum. Jika ada dua UU yang bersifat khusus, maka digunakan fakta yang lebih dominan. Misalnya dalam konteks lingkungan hidup, maka rujukan yang dipilih adalah UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Pelestarian Lingkungan Hidup, tandasnya. Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan menilai bahwa di hampir seluruh persidangan untuk perkara ini sangat bisa dirasakan bahwa jaksa penuntut umum dan majelis hakim cenderung mencari-cari jawaban yang mendukung dugaan dan prasangka tentang adanya korupsi sehingga mengabaikan keterangan-keterangan yang faktual yang sangat jelas menunjukkan tidak adanya korupsi dan pelanggaran hukum. Ketika hakim lebih mendengar keterangan ahli yang sarat kepentingan daripada keterangan KLH yang jelas berwenang menurut undang-undang, tentunya menjadi pertanyaan besar apakah hal tersebut disengaja atau suatu kekhilapan? ungkap Dony. Menurut Dony ketika SKK Migas sebagai manajemen KKKS menilai proyek ini sudah berjalan dengan baik dan sesuai peraturan sehingga biaya operasinya harus dibayarkan sesuai kontrak PSC maka menjadi tanda tanya tentang alasan majelis hakim untuk terus mencari jawaban lain dengan menduga-duga adanya kerugian negara akibat cost recovery ini. Hakim tak boleh berprasangka. Jika pihak atau lembaga pemerintah yang berwenang sesuai dengan peraturan dan undang-undang di Indonesia yaitu KLH dan SKK Migas telah menyatakan proyek bioremediasi ini telah sesuai dengan peraturan yang berlaku, maka hukum yang mana lagi yang dijadikan pegangan oleh pengadilan tipikor dan kejagung? ungkap Dony agak keheranan. Kami yakin bahwa saat ini pengadilan dan kejaksaan telah memperoleh fakta dan keterangan yang semakin banyak dan jelas yang menunjukkan bahwa perkara ini adalah perkara perdata dalam kontrak PSC migas dan bukan perkara korupsi serta memahami bahwa karyawan CPI dan kontraktor CPI tidak memiliki tanggung jawab hukum untuk pelaksanaan kontrak PSC ini sehingga sudah semestinya mereka semua dibebaskan, pungkasnya.
ANALISA
Dalam kasus diatas telah melanggar Pasal 63 UU 32/2009 yang menyebutkan bahwa pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup dilakukan oleh pemerintah, yang secara spesifik dalam Pasal 64 UU 32/2009 diamanatkan ke Kementerian Lingkungan Hidup. Pasal 63 : “Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan berwenang: a. menetapkan kebijakan nasional; b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan krit eria; c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH nasional; d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai KLHS; e. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL; f. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam nasional dan emisi gas rumah kaca; ......” Pasal 64 : “Tugas dan wewenang Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dilaksanakan dan/atau dikoordinasikan oleh Menteri.” Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan merupakan perbuatan melawan hukum yang banyak dilakukan oleh baik perorangan m aupun korporasi, Namur didalam prakteknya masih banyak korporasi yang belum dimintakan pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban ini dapat dimintakan karena korporasi paling banyak berperan dalam usaha pemanfaatan lingkungan hidup yang dapat mengakibatkan dampak terhadap lingkungan hidup. Penerapan sanksi perdata terhadap korporasi dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan melalui pengadilan atau di luar pengadilan, yang menyangkut masalah tuntutan besarnya kerugian dan/atau kerusakan yang pertanggungjawaban kepada korporasi adalah pemberian ganti rugi yang dibayarkan kepada korban atau pemerintah sebagai pengawas lingkungan. Disarankan kepada setiap perusahaan wajib melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup dengan melakukan audit lingkungan dan memperbaiki serta melengkapi izin dalam membangun, pengelolaan, serta menjalankan kegiatan operasioal dengan memiliki izin analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dan/atau UKL-UPL. Kemudian diperlukan sebuah standar operasional prosedur dalam penerapan sanksi perdata khususnya mengenai pemberian ganti rugi terhadap korban pencemaran dan/atau perusakan lingkungan yang dilakukan o leh korporasi. Terhadap pelaku tindak perdata lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun. (vide pasal 47 UULH).
Ini Kata Kajati Aceh Terkait Kasus Hukum Lingkungan di Rawa Tripa
KASUS hukum terhadap penyalahgunaan izin dan pembakaran hutan gambut tripa Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) tetap terus diselesaikan sampai tuntas. K ajati Aceh, T. Syahrizal sangat berkomitmen agar kasus hukum di Aceh bisa cepat diselesaikan. Salah satunya kasus hukum terhadap penyalahgunaan izin perkebunan dan kasus pembakaran di hutan gambut tripa.
Saat melakukan silaturahmi kepada wartawan, (03/4/2013) di kediamannya, T. Syahrizal mengatakan ada dua kasus hukum yang sedang dalam proses. Yaitu kasus gugatan perdata yang sedang disidangkan di PN Meulaboh dan kasus pidana terkait izin perkebunan yang masih diselidiki oleh pihak Polda Aceh.
Ia menjelaskan kasus gugatan perdata ki ni sedang dalam proses persidangan di PN. Meulaboh. “Gugatan ini domainya adalah Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Kejaksaan Agung di Jakarta,” kata dia. Namun dalam kasus tersebut kemungkinan terus lanjut dan bisa lama selesainya. “KLH tetap pada isi gugatannya,” katanya lagi. Penegakan hukum tidak ada tawar menawar.
Sementara itu kasus yang ditangani oleh KLH dan Kejagung ini juga akan diajukan gugatan secara pidana. “Semua gugatan dari KLH ini akan didampingi oleh Kejaksaan Agung, tapi lokasinya tetap di Aceh,” kata Syahrizal.
Sementara itu kasus hukum yang ditangani oleh Polda Aceh ini berkaitan dengan penyalahgunaan izin. “Mungkin ada tiga atau empat perusahaan yang sedang diselidiki oleh Polda Aceh,” kata Kajati Aceh. “Berkas semua perusahaan itu sudah diserahkan ke pihak Kejaksaan, tapi sudah diserahkan kembali ke Polda Aceh karena ada berkas yang belum lengkap,” imbuh Syahrizal. Menurutnya berkas yang belum lengkap itu menyangkut para ahli.
Kasus yang ditangani oleh Polda Aceh ini menurut Kajati Aceh mendapat sorotan dari pihak Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan oleh Yunus Husein yang pernah langsung turun ke Polda Aceh. “Kasus pidana yang ditangani oleh Polda Aceh ini belum P-21,” demikian Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh.(acehterkini/001)
ANALISA
Pemerintah tengah mempertimbangkan untuk memberlakukan sanksi pidana dan perdata secara bersamaan pada perusahaan yang tidak memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Rencana ini masih dikaji dari segi akademis dan hukum. Sanksi perdata dijatuhkan apabila pelanggaran tidak terlalu berat, hanya pelanggaran yang diancam dengan pidana denda atau sanksi perdata tidak mengenai pidana penjara, dapat diperkirakan adanya kesalahan tetapi sulit dibuktikan. Dengan ditetapkannya korporasi sebagai subjek delik lingkungan berdasarkan Pasal 116, 117, 118, 119 maka vicarious liability berlaku bagi hukum pidana karena perbuatan pengurus yang memberi perintah atau memimpin pelanggaran tersebut menyebabkan korporasi bertanggung jawab secara sendiri-sendiri atau keduanya. Pasal 116 ayat (2) adalah berfungsi mengantisipasi kemungkinan korporasi bisa berlindung di balik hubungan kontraktual yang dilakukannya dengan pihak lain. Jadi pasal ini memperluas tanggung jawab, kesimpulan yang dapat diambil adalah perbuatan atas nama korporasi berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lain bertindak dilingkungan korporasi. Lebih jauh bila dilihat dari sudut subjek liabilitasnya, maka menurut Pasal 116 ayat (2) terdapat pihak-pihak yang bertanggung jawab, yaitu pemberi perintah atau pengambil keputusan atau yang bertindak sebagai pemimpin berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain secara sendiri-sendiri atau kolektif. Ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) mengenai vicarious liability dapat ditemui dalam Pasal 1367. Sanksi pidana dan perdata ini akan difokuskan pada perusahaan yang sudah dua kali mendapat kategori hitam dalam penilaian program peringkat kinerja lingkungan yang dikeluarkan KLH. Dalam konteks penegakan hukum, harus ditekankan pada pengawasan dan penerapan atau dengan ancaman, penggunaan instrumen administratif, kepidanaan atau keperdataan dic apailah penaatan ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku umum dan individual. Tentu hal ini sejalan dengan prinsip undang-undang lingkungan yang mengandung tiga (3) sanksi, yakni administrasi, perdata dan pidana. Permasalahan kemudian sering tindak pidana lingkungan, khususnya yang berhubungan dengan masalah standar baku lingkungan yang sangat minim dalam penegakan hukum selama ini. Sanksi ini perlu diterapkan karena saat perusahaan sudah dijatuhi hukuman pidana, perusahaan tersebut lepas dari kewajiban untuk memperbaiki lingkungan. Kal au seseorang sudah dikenakan pidana, maka dia tidak wajib lagi yang untuk perdata itu. Artinya, jika perusahaan terbukti merusak lingkungan dan sudah dipidana itu sudah punya lagi kewajiban untuk memperbaiki lingkungan yang rusak. Menurut saya lebih baik perusahaan ganti rugi dulu kepada masyarakat yang merasakan dampak dari rusaknya lingkungan. Jika tidak mau baru dipidana. Dari 627 perusahaan yang mengikuti program peringkat kinerja lingkungan 2009, ada 56 perusahaan yang masuk dalam kategori hitam. Sebagian besarnya adalah perusahaan tambang.
Kasus Bioremediasi Chevron, Penataan Hukum Tidak Berstruktur Bisnis.com, JAKARTA - Kasus bioremediasi PT Chevron Pacifik Indonesia (CPI) yang kini menuai
kontroversi dinilai merupakan pidana administrasi, bukan kasus ko rupsi dan tidak ada kerugian negara. "Kasus bioremediasi Chevron jelas konteksnya masalah administrasi. Tidak ada kerugian negara dari APBN. Uang siapa yang dianggap sebagai kerugian negara," ujar Dian Puji Simatupang, pakar Hukum Administrasi UI dalam talk show yang diselenggarakan INILAH Group, Selasa (8/10). Oleh karena itu, sambungnya, seharusnya tidak ada sanksi badan. Sebaliknya, jika m elanggar, dikenakan sanksi denda. Dia menjelaskan masalah bioremediasi jika tidak dituntaskan, menjadi kontradiktif dan tidak bisa menyelesaikan masalah pencemaran. Dia menjelaskan perlu ada instrumen baru ka rena masalah lingkungan terlalu banyak. "Jelas ini soal kontrak sehingga perlu perbaikan masalah hukum. Jika hukum bertentangan tidak bisa diidentifikasi. Di Indonesia sebenarnya ada dua lembaga, yakni MA dan MK. Namun, kini MK sedang heboh," ungkap Dian. Menurutnya, persoalan tersebut semakin berlarut-larut tanpa kepastian hukum. Padahal, kasus tersebut murni karena penataan hukum di Indonesia tidak terstruktur. Dia menjelaskan akibat penataan hukum yang memiliki aturan tidak terstruktur, maka sejumlah lembaga memiliki tafsir sendiri dalam menentukan sebuah regulasi. Itu menjadi salah satu penyebab penyalahgunaan wewenang oleh para pengambil keputusan dalam sebuah perkara peradilan. Penyalahgunaan wewenang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu dengan cara memaksa, mengancam dan meminta. “Kalau merujuk pada kasus bioremediasi CPI. Jelas ada wewenang yang digunakan untuk memaksakan dan mereka berlindung di balik r egulasi yang tidak terstruktur tadi," katanya. Menurut Dian, Bioremediasi aturannya berkaitan langsung dengan K ementerian Lingkungan Hidup (KLH) justru dinilai salah oleh penegak hukum. Padahal aturannya sendiri dibuat oleh KLH, tetapi penegak hukum justru menyalahkan aturan itu. Prof M. Udiharto, Pakar Bioremediasi Lemigas mengatakan pelestarian lingkungan sudah tertuang dalam ketentuan hukum. Begitu pula kaitannya dengan industri hulu migas. "Jika kegiatan itu berpotensi mencemari lingkungan, maka harus menjalankan pengembalian lingkungan pascaeksplorasi atau eksploitasi," ujarnya.
Oleh karena itu, sambungnya, bioremediasi merupakan suatu hal yang penting dijalankan. Hukum menyatakan pelestarian lingkungan memang perlu dilakukan. Anggota Komisi VII DPR . S. Milton Pakpahan, menjelaskan bioremediasi atau proses dalam penyelesaian masalah sangat penting dilakukan terkait dengan kegiatan lingkungan. Limbah migas yang diperoleh dari eksplorasi dan eksploitasi perlu diolah agar tidak mencemari tanah dari lokasi pengelolaan migas oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). "Berangkat dari kasus bioremediasi yang dialami Chevron, sebaiknya bioremediasi perlu dimasukkan dalam revisi Undang –undang Migas No 21/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Bioremediasi di Indonesia harus tetap dijalankan karena setiap pembangunan harus berwawasan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Selain mengatur bioremediasi, RUU Migas juga akan memberi kewenangan lebih kepada SKK Migas," ujarnya. Bioremediasi, menurutnya, enjadi kewajiban agar lokasi pengelolaan m igas ini bisa diolah sehingga pencemaran tanah ini bisa dikembalikan seperti semula.
ANALISA
Gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam proses di pengadilan administrasi, sebagai upaya untuk berlakunya ketentuan hukum bagi instansi pemerintah dan pemerintah daerah memberikan sumbangan yang besar bagi pembentukan dan penegakan hukum administrasi. Penggunaan kekuasaan negara terhadap individu warga negara dengan bukan tanpa persyaratan, pada intinya individu dan warga negara tidak dapat diperlakukan secara sewenang-wenang sebagai obyek. Tindakan dan intervens negara terhadap individu. Yang semuanya harus sesuai dengan prosedur yang telah dibuat oleh legislatif. Pengawasan terhadap keputusan-keputusan pemerintah dalam persepktif prosedur hukum penting dalam penerapan prinsip-prinsip perlindungan hukum , khusus penegakan hukum administrasi di dalam UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup. Sanksi yang diatur adaadministrasi, perdata, dan pidana. Sanksi administrasi sebagai salah satu sanksi yang diatur pada hakekatnya perwujudan dan dalam undang-undang lingkungan hidup, untuk menjamin hak warga negara terhadap hak atas lingkungan baik dan sehat, sebagai hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H UUD 1945. Dengan didukung lingkungan hidup yang baik dan sehat akan lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan hidup dan kehidupannya. Salah satu instrumen lingkungan hidup, yang terkait dengan sanksi administrasi adalah izin lingkungan yakni izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdalatau UKL-UPL dalam ra ngka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan, diterbitkan oleh menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 40 UU No 32 Tahun 2009, izin lingkungan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. Awal adanya usaha atau kegiatan dengan didahului izin lingkungan, sebelum izin-izin. Pada prakteknya izin lingkungan banyak dilanggar oleh pemegang kekuasaan atau pejabat yang punya kewenangan. Bahkan pada era otonomi, izin lingkungan diabaikan melakukan usaha/kegiatan, pemerintah daerah hanya berpikir saat , “ selagi berkuasa” banyak-banyak mengelurkan izin, supaya untuk mendapat PAD, sehingga aspek dampak lingkungan dipinggirkan.
Tersangka Rawa Tripa Dijerat Pidana dan Perdata JAKARTA, KOMPAS.com — Tim penyidik kasus Rawa Tripa menggunakan jalur hukum
pidana dan perdata untuk menangani tindakan pembakaran dan pembukaan lahan gambut di Kabupaten Nagan Raya, Aceh itu. Ini diharapkan menjadi contoh penanganan hukum atas kasuskasus lingkungan. "Kami (Kementerian Lingkungan Hidup) maju secara pidana dan perdata. Pertanggungjawaban bisa ke orangnya, korporat, atau keduanya. Nanti dilihat di pemberkasannya bagaimana," ucap Sudariyono, Deputi Penaatan Hukum Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup, Jumat (18/5/2012), dihubungi dari Jakarta. Ia mengatakan, kasus ini selesai disidik di lapangan pada pekan lalu oleh tim penyidik gabungan KLH, Polri, dan kejaksaan. Kini sedang dalam pemberkasan dan persiapan pemeriksaaan saksi-saksi. Kasus Rawa Tripa muncul setelah Wahana Lingkungan Hidup dan beberapa LSM di Aceh menggugat Gubernur Aceh karena menerbitkan izin perluasan 1.605 hektar di areal Kawasan Ekosistem Leuser. Gugatan di PTUN Banda Aceh itu ditolak majelis hakim. Kejanggalan pemberian izin ini kemudian tercium o leh Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) yang juga Satgas Persiapan Kelembagaan REDD+. Kepala UKP4 Kuntoro Mangkusubroto merekomendasikan agar penyidik Kementerian Lingkungan Hidup, Polri, dan kejaksaan menangani kasus ini. Sudariyono mengatakan, secara pidana aksi perusahaan (PT Kalista Alam dan Surya Panens Subur 20) melakukan pembakaran dan pembukaan lahan melanggar UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Secara perdata, hal ini merugikan karena menimbulkan kerusakan lingkungan.
ANALISA
Penyelesaian hukum lingkungan tidak hanya dapat di selesaikan dengan instrumen hukum perdata maupun hukum administrasi saja, melainkan dapat pula menggunakan instrumen hukum pidana yang pada prinsipnya ialah sebagai ultimatum remidium (obat terakhir). Artinya instrumen hukum pidana maupun penggunaan hukum acara pidana dalam penyelesaian sengketa hukum lingkungan merupakan suatu jalan terakhir yang dipakai dalam suatu kasus kejahatan m aupun pelanggaran terhadap hukum lingkungan, akan tetapi dapat pula langsung menggunakan instrumen hukum pidana apabila kasus tersebut disinyalir sebagai suatu kejahatan yang berdampak besar atau extraordinary crime. Dengan demikian instrumen hukum pidana i kut pula dalam ruang lingkup penyelesaian sengketa hukum lingkungan. Lebih lanjut membahas penyelesaian sengketa hukum lingkungan dengan instrumen hukum pidana terdapat alur penyelesaian sengketa mulai dari penyidikan, pembuktian maupun gugatan dalam perspektif hukum pidana. Alur dari perspektif hukum pidana tidak hanya terdapat dalam Kitab Undang – Undang Pidana saja meainkan salahsatunya aturan yang memuat alur perspektif hukum pidana adalah undang – undang no 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaha lingkungan hidup dan AMDAL, kemudian undang – undang no 7 tahun 2004 tentang sumber daya air yang khusus menangani masalah berkaitan dengan hukum lingkungan yang berkaitan dengan sumber daya air . Akan tetapi dalam pembahasan makalah ini yang nantinya akan dibahas lebih dalam ialah mengenai ketentuan segala hal instrumen pidana yang berkaitan dengan undang – undang no. 32 tahun 2009. Perlu dipahami mengenai penyelesaian masalah hukum lingkungan melalui instrumen pidana sangat dipengaruhi oleh perkembangan zaman. Seiring dengan berjalannya waktu pengaturan hukum lingkungan lebih dibuat lebih kompleks dari peraturan hukum lingkungan sebelumnya, alasan yang paling utama ial ah banyaknya kasus yang muncul terhadap hukum lingkungan yang pada kenyataannya kasus tersebut perlu diatur lebih lanjut akibat tindakannya y ang bermacam – macam. Dengan adanya bermacam – macam kejahatan terhadap hukum lingkungan hidup maka muncul undang – undang no. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup yang lebih lengkap daripada undang – undang sebelumnya (undang – undang no 23 tahun 1997 tentang pengelolahan lingkungan hidup). Dalam penegakkan hukum lingkungan yang terdapat dalam Undang – Undang no 32 tahun 2009 menyebutkan bahwa terdapat empat pihak yang memiliki hak untuk menggugat apabila terjadi pelanggaran terhadap hukum lingkungan, yaitu pihak pemerintah, masyarakat, orang dan pihak organisasi lingkungan hidup. Empat pihak tersebut memiliki hak yang berbeda seperti yang terdapat dalam pasal 90, 91, dan 92 undang – undang no 32 tahun 2009, sehingga keempat pihak tersebut telah jelas mendapatkan hak untuk mengajukan gugatan terhadap pelaku tindakan kejahatan terhadap lingkungan hidup. Adapun dalam kasus rawa teripa ini telah melanggar ketentuan undang-undang pihak pemerintah yang berhak mengajukan gugatan apabila terjadi pelanggaran atau kejahatan terhadap lingkungan diatur dalam pasal 90 ayat 1 dan 2 undang – undang no. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolahan lingungan hidup. Menurut pasal tersebut secara garis besar pemerintah maupun pemerintah daerah dapat meminta ganti rugi dan tindakan tertentu terhada usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran lingkungan hidup. Sedangkan untuk ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian yang dimaksud dalam pasal 90 diatur lebih dalam dengan Peraturan Menteri.
Adapun pihak lain yang berhak mengajukan gugatan adalah masyarakat yang pada dasarnya seperti yang tercantum dalam pasal 91 undang – undang no. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolahan lingungan hidup memiliki hak untuk mewakili kelompok untuk kepentingan diri sendiri dan atau kepentingan masyarkat apabila mengalami kerugian. Terdapat hal yang harus diperhatikan dalam mengajukan gugatan yang mengatasnamakan pihak masyarakat yaitu harus terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar huku, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompok.