15.1 Deteksi Kecurangan
Dalam melakukan pendeteksian terhadap kecurangan tentunya tidak dapat dilepaskan dari pengetahuan tentang hal-hal yang menjadi pemicu terjadinya kecurangan dan siapa atau pihak mana yang kemungkinan dapat melakukan kecurangan. Hal ini sangat perlu diketahui oleh pihak yang mendapat tugas untuk melakukan pendeteksian kecurangan karena dengan mengetahui faktor pemicu terjadinya kecurangan dan siapa atau pihak mana yang dilakuakan akan lebih terarah. Secara umum hal-hal yang menjadi pemicu terjadinya kecurangan baik yang dilakukan oleh seseorang ataupun sekelompok orang dapat dirangkum dalam kata GONE
THEORY yang merupakan singkatan dari Greed (Keserakahan),
Opportunity (Kesempatan), Need (Kebutuhan), dan Exposure (Pengungkapan). Dua faktor yaitu Greed dan Need terutama berhubungan dengan individu (pelaku kecurangan), sedangkan Opportunity dan Exposure berhubungan dengan organisasi (korban perbuatan kecurangan). Dalam pembahasan selanjutnya, faktor-faktor tersebut dikelompokkan ke dalam faktor generic dan faktor individu. 1.
Faktor Generik Faktor ini berada dalam pengendalian organisasi (perusahaan) yang
mencakup: a. Kesempatan atau adanya peluang bagi pelaku kecurangan (opportunity): Kesempatan melakukan kecurangan tergantung pada kedudukan pelaku terhadap obyek kecurangan. Kesempatan untuk melakukan kecurangan tidak dapat dihilangkan secara keseluruhan atau seratus persen. Usaha untuk
menghilangkan
kesempatan
terjadinya
kecurangan
secara
keseluruhan menjadi tidak ekonomis dan tidak produktif selama perusahaan tersebut masih memiliki asset, dimana asset tersebut diperdagangkan, mengalir, dan ada dalam pengendalian pihak lain seperti karyawan, pembeli, dan penjual. b. Kemungkinan bahwa kecurangan akan dapat diketahui dan diungkapkan (exposure): Kondisi saat ini ada kecenderungan makin tipisnya kepekaan seseorang/sekelompok orang terhadap kecurangan yang terjadi di
sekelilingnya. Hal ini mungkin saja dipicu oleh kekhawatiran mereka khususnya berkaitan dengan perlindungan terhadap pihak-pihak yang mengungkapkan terjadinya kecurangan tersebut. Apabila kondisi ini terus terjadi, maka secara logika kecurangan makin merajalela, karena para pelaku kecurangan tersebut merasa bahwa kecurangan apapun yang mereka lakukan tidak ada pihak lain yang berani mengungkapkannya. c. Sanksi yang dikenakan kepada pelaku jika tertangkap dan perbuatannya terungkap (exposure): Terungkapnya kecurangan belum cukup untuk mencegah terulang kembalinya kejadian tersebut dimasa yang akan datang. Oleh karena itu harus ada saksi atas perbuatan tersebut yang jelas, tegas, dan diterapkan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Suatu perusahaan yang ingin melindungi assetnya harus memiliki kebijakan (policy) yang jelas mengenai sifat dan besarnya sanksi terhadap pelaku kecurangan, seperti: 1. Siapapun yang terlibat kecurangan akan dipecat 2. Semua
kecurangan
akan
dilaporkan
kepada
pihak
yang
berwenang
2. Faktor Individu Faktor ini melekat pada diri seseorang yang melakukan kecurangan. Secara umum, faktor ini dapat dikategorikan menjadi dua yaitu: a. Moral yang berhubungan dengan keserakahan (greed). Keserakahan berhubungan dengan atribut seseorang. Bagaimana dengan atribut lainnya yang ada dalam diri manusia seperti kejujuran, integritas, loyalitas dan sebagainya, adalah sulit untuk mengetahui apakah seseorang memiliki atribut serakah ini atau tidak. b. Motivasi yang berhubungan dengan kebutuhan (need). Salah satu yang menjadi penyebab seseorang atau sekelompok orang melakukan kecurangan adalah berhubungan dengan kebutuhan ekonomi. Disamping itu juga dapat disebabkan oleh adanya perasaan ketidakpuasan atas kebijakan yang ditetapkan oleh manajemen, balas dendam, dan tantangan.
Tujuan utama dari pendeteksian kecurangan adalah dalam rangka membantu perusahaan menciptakan suasana sehat dan menguntungkan di dalam lingkungan perusahaan dengan mencegah terjadinya kerugian akibat kecurangan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mendeteksi kecurangan adalah: 1. Jangan mengabaikan hal-hal yang jelas. Hal ini untuk menghilangkan kesan bahwa penyelidikan terhadap kecurangan selalu merupakan aktivitas kompleks, padahal dalam prakteknya tidak selalu seperti kesan tersebut di atas. Disamping itu, dalam prekteknya, kebanyakan perbuatan kecurangan meninggalkan jejak yang jelas. 2. Berikan perhatian pada penyimpangan yang terjadi, jangan selalu mencari penyelesaian yang kompleks, dan mulailah dengan mencari penyelesaian yang paling sederhana. 3. Lakukan konsentrasi ada titik yang paling lemah dan sederhana di dalam kecurangan. 4. Pendeteksian dan pencegahan kecurangan merupakan aspek rutin, bukan suatu hal yang hanya dilakukan sekali. 5. Tujuan utama mendeteksi kecurangan adalah mencegah terjadinya, bukan mendeteksi seluruh kecurangan. 6. Sumber daya dan kemampuan harus dialokasikan secara khusus untuk melakukan tugas tersebut. 7. Mendeteksi kecurangan berarti kerja keras. 8. Kecurangan dapat lolos dari deteksi disebabkan tidak seorangpun ditugaskan untuk itu.
15.2. Audit Berbasis Risiko Untuk Deteksi Kecurangan 15.2.1. Audit Berbasis Risiko
Menurut Sukrisno Agoes(2012:150-151),
“terdapat
3
risik o
yang
kemungkinan terdapat dalam suatu organisasi, yaitu (1) Resiko Bawaan, (2) Resiko Pengendalian, dan (3) Resiko Deteksi”.
1.
Risiko Bawaan (inherent risk ) Risiko bawaan mengukur penilaian auditor atas kemungkinan terdapatnya salah saji material (baik kecurangan maupun kesalahan) dalam sebuah bagian pengauditan sebelum mempertimbangkan efektifitas pengendalian internal klien.
2.
Risiko Pengendalian (Control Risk ) Risiko pengendalian mengukur penilaian auditor mengenai apakah salah saji melebihi jumlah yang dapat diterima di suatu bagian pengauditan akan dapat dicegah atau dideteksi dengan tepat waktu oleh pengendalian internal klien.
3.
Risiko Deteksi ( Detection Risk ) Risiko deteksi adalah risiko yang menyatakan bahwa salah saji material yang terdapat dalam suatu asersi tidak dapat dideteksi oleh auditor. Audit
Berbasis
Risiko
(Risk
Based
Audit)
adalah
metodologi
pemeriksaan yang dipergunakan untuk memberikan jaminan bahwa risiko telah dikelola di dalam batasan risiko yang telah ditetapkan manajemen pada tingkatan korporasi. Pendekatan audit ini berfokus dalam mengevaluasi risiko-risiko baik strategis, finansial, operasional, regulasi dan lainnya yang dihadapi oleh organisasi. Audit berbasis resiko dalam konteks pendeteksian kecurangan, tidak terlepas dari definisi Risk Manajemen. Artinya Audit berbasis resiko ini merupakan rangkaian tindakan/aktivitas pengawasan yang terencana, terpadu, dan berkesinambungan dalam rangka memetakan, mengamati, memverivikasi, dan menganalisis semua titik-titik kritis resiko (critical risk points) yang berpotensi menimbulkan tindak kecurangan (Kumaat, 2011:157). Proses audit ini didasarkan ISA atau International Standards on Auditing. ISA menekankan berbagai kewajiban entitas dan manajemen, berbagai kewajiban entitas dapat disebut pihak- pihak berkepentingan atau TCWG “Those charged with governance”. Proses audit berbasis ISA merupakan proses audit berbasis risiko yang mengandung tiga langkah kunci yaitu Risk Assessment (Penialain Risiko), Risk Response (Merespon Risiko) dan Report (Pelaporan). Menurut Valery G. Kumaat (2011:157), tiga Point penting dalam melakukan audit berbasis resiko untuk mendeteksi kecurangan adalah (1)
Pemetaan ( Mapping )/Identifikasi risiko, (2) Pengamatan (Observing ), dan (3) Verivikasi Transaksi dan Analisis Data (Verifying & Analyzing ). 1. Pemetaan (Mapping)/Identifikasi risiko Proses ini bertujuan untuk mengidentifikasi titik-titik kritis risiko terjadinya tindak kecurangan. Pemetaan ini dapat dibuat langsung melalui kriteria keuangan, masukan (khususnya keluhan) dari berbagai pihak, hingga riwayat kasus yang pernah terjadi. 2. Pengamatan (Observing) Proses ini bertujuan untuk memperdalam semua titik risiko berdasarkan situasi aktial dilapangan, termasuk mewawancarai pihak-pihak terkait guna
mengetahui
berbagai
kendala/masalah
actual
serta
kebutuhan/ekspektasi para pelaksana di lapangan. Pada proses ini, terkadang langsung dapat memperoleh kesimpulan terkait ada atau tidaknya tindak kecurangan. 3. Verivikasi Transaksi dan Analisis Data (Verifying & Analyzing) Proses ini bertujuan untuk mempertegas kesimpulan bahwa tindak kecurangan mungkin ada atau rawan terjadi. Hasil dari proses ini akan menyempurnakan hasil pemetaan dan pengamatan untuk menyimpulkan adanya bahaya terkait ada tidaknya tindak kecurangan. Dalam audit internal, Objek dari audit berbasis resiko untuk deteksi kecurangan ini, diperoleh dari audit objek pada audit kepatutan, dimana setidaknya ada 3 objek yang bisa menjadi materi uji awal untuk menggambarkan berbagai titik kritis resiko, (1) Transparansi sistem, (2) Konsentrasi Aset dan Biaya, dan (3) Integritas SDM dan Keseimbangan Organisasi (Kumaat,2011:157160). 1. Transparansi Sistem Seringkali sistem yang tidak transparan menjadi salah satu celah terjadinya tindak kecurangan, dimana tindak kecurangan tersebut bisa disebabkan oleh orang yang memiliki otoritas atas sistem tersebut dengan memanfaatkan kesempatan yang terdapat dari kelemahan sistem. Hal berbeda akan terjadi ketika sistem tersebut lebih transparan, dimana
transparansi itu memungkinkan berbagai pihak melakukan pengawasan dan memberi masukan terhadap sistem yang sedang berjalan sehingga menututup kemungkinan terjadinya tindak kecurangan. 2. Konsentrasi Aset dan Biaya Kebanyakan kasus yang terjadi, para pelaku kecurangan kerap kali mengincar berbagai pos aset dan biaya atau anggaran yang Liquid (mudah dicairkan/diuangkan), sehingga dalam hal ini, meski sistem yang terdapat dalam suatu organisasi transparan dan relatif kuat, para pelaku kecurangan lebih berani untuk melakukan tindak kecurangan terhadap aset dan biaya. 3. Integritas SDM dan Keseimbangan Organisasi SDM dan organisasi adalah bagian yang mungkin mudah dinilai, tetapi juga menjadi faktor yang luput dari perkiraan ketika prosess pengukuran potensi risiko terjadinya tindak kecurangan, dimana SDM dan organisasi kadangkala
menjadi
salah
satu
faktor
eksternal
yang
sangat
mempengaruhi tindak kecurangan.
TRANSPARANS I
A I Y S A A I T B N N E A S N D O T K E S A
Process Objects
Data Objects
Critical Risk Point
Resources Objects
Transaction Objects
S U B S T A F N O T K I V U E S A U D I T
SDM & ORGANISASI
Gambar 15.1. Proses Audit berbasi resiko untuk deteksi Kecurangan
15.3 Indikasi Awal dan Audit Investigasi 15.3.1. Contoh Tujuan Investigasi
Berikut ini merupakan macam-macam alternatif mengenai tujuan investigasi yang diambil dari K. H. Spencer Pickett dan Jennifer Pickett, financial crime investigation and control (2002) dalam Tuanakotta (2010). 1. Memberhentikan manajemen. Tujuan utamanya adalah sebagai teguran keras bahwa manajemen tidak mampu mempertanggung jawabkan kewajiban fidusianya. Kewajiban fidusia ini termasuk mengawasi dan mencegah terjadinya kecurangan oleh karyawan. 2. Memeriksa, mengumpulkan, dan menilai cukupnya dan relevannya bukti. Tujuan ini akan menekankan bisa diterimanya bukti-bukti sebagai alat bukti untuk meyakinkan hakim di pengadilan. Konsepnya adalah forensic evidence, dan bukan sekedar bukti audit. 3. Melindungi reputasi dari karyawan yang tidak bersalah. Misalnya dalam pemberitaan di media masa bahwa karyawan di bagian produksi menerima uang suap. Tanpa investigasi, reputasi dari semua karyawan di bagian produksi akan tercemar. Investigasi mengungkapkan siapa yang bersalah. Mereka yang tidak bersalah terbebas dari tuduhan (meskipun pergunjingan sering kali tetap tidak terhindar). 4. Menemukan aset yang digelapkan dan mengupayakan pemulihan dari kerugian yang terjadi.ini meliputi penelusuran rekening bank, pembekuan rekening, izin-izin untuk proses penyitaan dan atau penjualan aset, dan penentuan kerugian yang terjadi. 5. Menemukan dan mengamankan dokumen yang relevan untuk investigasi. Banyak bukti dalam kejahatan keuangan berupa dokumen. Jika banyak dokumen disusun untuk menyembunyikan kejahatan, atau jika dokumen ini dapat memberi petunjuk kepada pelaku dan penanggung jawab kecurangan, maka tujuan dari investigasi ini adalah menjaga keutuhan dokumen. Ruang kerja harus diamankan, tidak boleh ada orang masuk atau keluar tanpa izin, dokumen harus diindeks dan dicacat.
Dari contoh-contoh diatas, terlihat adanya berbagai tujuan dalam melakukan suatu investigasi. Istilah investigasi dalam penggunaan sehari-hari, memberi kesan seolah-olah hanya ada satu jenis. Jenis yang kita kenal umumnya adalah dalam konteks tindak pidana korupsi. Tujuan akhirnya adalah menjebloskan koruptor ke penjara dan/ atau mendapatkan kembali sebagian atau seluruh jarahannya. Pemilihan di antara berbagai alternatif tujuan investigasi, tergantung dari organisasi atau lembaganya serta mandat yang dipunyainya, jenis dan besarnya kecurangan, dan budaya di lembaga tersebut. Tanggung jawab untuk menentukan tujuan yang ingin dicapai dalam suatu investigasi terletak pada pimpinan. 15.3.2. Predication
Langkah pertama akuntansi forensik dalam audit investigatifnya adalah menyusun predication. Fraud Examiners Manual (2006) dalam Tuanakotta (2010) menjelaskan predication sebagai berikut: (“ Predication adalah keseluruhan dari peristiwa, keadaan pada saat peristiwa itu, dan segala hal yang terkait atau berkaitan yang membawa seseorang yang cukup terlatih dan berpengalaman dengan kehati-hatian yang memadai, kepada kesimpulan bahwa fraud telah, sedang atau akan berlangsung. Predication adalah dasar untuk memulai investigasi. Investigasi atau pemeriksaan fraud jangan dilaksanakan tanpa adanya predication yang tepat.”). Investigasi dengan pendekatan teori fraud meliputi langkah-langkah sebagai berikut. 1. Analisis data yang tersedia. 2. Ciptakan (atau kembangkan) hipotesis berdasarkan analisis di atas. 3. Uji atau tes hipotesis tersebut. 4. Perhalus atau ubah hipotesis berdasarkan hasil pengujian sebelumnya. 15.3.3. Pemeriksaan Dalam Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981) mengatur tahapan hukum acara pidana sebagai berikut: 1.
Penyelidikan
Penyelidikan adalah serangkaian kegiatan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu perbuatan yang diduga merupakan tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya penyelidikan dilakukan. Penyelidik mempunyai wewenang sebagai berikut: a. Menerima laporan atau pengaduan tentang adanya dugaan tindak pidana. b. Mencari keterangan dan barang bukti. c. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri. 2.
Penyidikan
Penyidikan adalah serangkaian kegiatan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi untuk menemukan tersangkanya. Untuk mencari dan mengumpulkan bukti, undang-undang memberi wewenang kepada penyidik untuk: a. Menggeledah dan menyita surat dan barang bukti b. Memanggil dan memeriksa saksi, yang keterangannya dituangkan dalam berita acara pemeriksaan sakdi, c. Memanggil dan memeriksa tersangka, yang keterangannya dituangkan dalam berita acara pemeriksaan tersangka d. Mendatangkan ahli untuk memperoleh keterangan ahli yang dapat juga doberikan dalam bentuk laporan ahli e. Menahan tersangka, dalam hal tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau mengulangi melakukan tindak pidana. 3.
Prapenuntutan
Prapenuntutan adalah tindakan jaksa (penuntut umum) untuk memantau perkembangan
penyidikan
setalah
menerima
pemberitahuan
dimulainya
penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan. 4.
Penuntutan
Penuntutan dalah tindakan penuntut umum yang melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang, sesuai dengan cara yang diatur dalam hukum
acara pidana, dengan permintaan agar diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. 5.
Pemeriksaan di Pengadilan
Seperti pada tahap-tahap sebelumnya, acara pemeriksaan di sidang pengadilan tidak lain berkenaan dengan pembuktian. Bukti-bukti yang diperoleh di tingkat penyidikan diperiksa kendali di sidang pengadilan untuk dijadikan alat bukti adalah berikut ini: a. Saksi-saksi yang telah diperiksa oleh penyidik dipanggil kembali ke sidang pengadilan untuk memperoleh alat bukti keterangan saksi. b. Tersangka yang sudah mendapat alat bukti di tahap penyidikan, diperiksa kembali di sidang pengadilan, untuk mendapat alat bukti keterangan terdakwa. c. Ahli telah memberikan keterangan di penyidikan atau yang telah membuat laporan ahli, dipanggil lagi untuk didengar pendapatnya atau dibacakan laporannya di sidang pengadila, agar diperoleh alat bukti keterangan ahli. d. Surat dan barang buti yang telah disita oleh penyidik diajukanke sidang pengdilan untuk dijadikan alat bukti surat dan petunjuk. 6.
Putusan Pengadilan
Hukum tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah. Kesalahan terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim, namun keyakinan itu harus didasarkan atas sekurang-kurangnya dua alat bukti yang saj, yang harus ada persesuaian satu dengan yang lain. 7.
Upaya Hukum
Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi, atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali, atau hak Jaksa Agung untuk mengajukan kasasi demi kepentingan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
15.3.4. Kunci Keberhasilan
Kunci keberhasilan dari semua teknik audit investigatif yang dibahas dalam bagian ketiga buku ini adalah sebagai berikut: 1. Mengerti dengan baik persoalan yang akan dipecahkan, apa yang akan di audit investigatif. 2. Kuasai dengan baik teknik-teknik audit investigatif. Penguasaan yang baik memungkinkan
investigator
menerapkan
teknik
yang
tepat
untuk
menyelesaikan persoalan yang kita identifikasi. Sama seperti pemancing di atas, atau seorang seni pahat memilih alat yang tepat dalam setiap tahap pekerjaannya. 3. Cermat dalam menerapkan teknik yang dipilih. Biarpun tekniknya tepat, apabila pelaksanaannya tidak cermat, hasilnya tidak seperti diharapkan. Itulah sebabnya mengapa due professional care merupakan standar audit yang penting. Dalam audit investigatif, kecermatan ini terlihat antara lain dari cara kita mengajukan pertanyaan, menentukan kapan pertanyaan tertentu harus diajukan, menindaklanjuti jawabannya. 4. Cermat dalam menarik kesimpulan dari hasil penerapan teknik yang kita pilih. Temuan yang kelihatannya “sepele”, di tangan penyelidik yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang luas, merupakan bukti yang yang kuat dalam proses pengadilan. Kecermatan dalam menafsirkan temuan jelas terlihat dalam computer forensics.
15.4 Penanganan Delik Aduan dan Audit Forensik, Penanganan Implikasi Lanjutan dan Penyelesaian Kasus 15.4.1. Pengertian Delik Aduan
Delik aduan artinya delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau
laporan
dari
orang
yang
menjadi
korban
Menurut E.Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II
tindak
pidana.
“dalam delik aduan
penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian”.
Beberapa contoh delik aduan yaitu perzinahan (Pasal 284 KUHP), pencemaran nama baik (Pasal 310 KUHP), perbuatan tidak menyenangkan (Pasal 335 KUHP), dan penggelapan/pencurian dalam kalangan keluarga (Pasal 367 KUHP). Menurut Pasal 75 KUHP “orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan ”. Perlu diketahui bahwa tindak pidana penggelapan pada Pasal 367 KUHP merupakan delik aduan yang hanya terjadi dalam lingkup keluarga. Apabila tindak pidana penggelapan dilakukan di luar lingkup keluarga, Maka tindak pidana penggelapan tersebut bukanlah merupakan delik aduan. Sehingga, meskipun laporan di kepolisian dicabut oleh korban, proses penuntutan akan terus berjalan. Hal ini sesuai dengan tujuan hukum acara pidana untuk mencari kebenaran materiil yaitu kebenaran yang sesungguhnya mengenai siapa pelaku tindak pidana yang sesungguhnya yang seharusnya dituntut dan didakwa. Dan bilamana hal pengaduan telah dilakukan, kemudian korban mencabut pengaduannya (dalam hal korban termasuk lingkup keluarga sebagaimana tersebut dalam Pasal 367 KUHP), maka pengaduan dapat ditarik kembali/dicabut dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah pengaduan diajukan sesuai Pasal 75 KUHP. Jadi, pencabutan laporan/pengaduan di kepolisian tidak akan menghentikan penuntutan terhadap tindak pidana penggelapan, Apabila hal tersebut terjadi di luar lingkup keluarga. 15.4.2. Whistleblower (Peniup Peluit)
Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) menerbitkan Pedoman Sistem Pelaporan Pelanggaran atau dalam bahasa inggris disebut dengan Whistleblowing System. Menurut KNKG Pelaporan pelanggaran ( whistleblowing ) adalah pengungkapan tindakan pelanggaran atau pengungkapan perbuatan yang melawan hukum, perbuatan tidak etis/tidak bemoral atau perbuatan lain yang dapat merugikan organisasi maupun pemangku kepentingan, yang dilakukan oleh karyawan atau pimpinan organisasi kepada pimpinan organisasi atau lembaga lain yang dapat mengambil tindakan atas pelanggaran tersebut. Pengungkapan ini umumnya bersifat rahasia (confidential ). Pengungkapan harus dilakukan dengan iktikad baik dan bukan merupakan keluhan pribadi atas suatu kebijakan
perusahaan
tertentu
( griviance)
ataupun
didasari
kehendak
buruk/fitnah
(Theodorus M. Tuanakotta, 2012:611). Pada dasarnya pelapornya pelanggaran (whistleblower ) adalah karyawan dari organisasi itu sendiri (pihak internal), akan tetapi tidak tertutup adanya pelapor berasal dari pihak eksternal (pelanggan, pemasok, masyarakat). Pelapor seyogyanya memberikan bukti, informasi, atau indikasi yang jelas atas terjadinya pelanggaran yang dilaporkan, sehingga dapat ditelusuri atau ditindaklanjuti. Tanpa informasi yang memadai laporan akan sulit untuk ditindaklanjuti. 15.4.3. Audit Forensik
Akuntansi forensik adalah penerapan disiplin ilmu akuntansi dalam arti luas, termasuk auditing, pada masalah hukum untuk penyelesaian hukum di dalam atau di luar pengadilan, di sektor publik maupun privat (Theodorus M. Tuanakotta, 2012:4). Akuntansi forensik dipraktikan dalam bidang yang luas, seperti: 1. Penyelesaian sengketa antarindividu 2. Di perusahaan swasta dengan berbagai bentuk hukum, perusahaan tertutup maupun yang terbuka, joint venture, special pupose companies. 3. Di perusahaan yang sebagian atau seluruh sahamnya dimiliki Negara, baik pusat ataupun daerah (BUMN dan BUMD). 4. Di
departemen/kementrian,
pemerintah
pusat
dan
daerah,
MPR,
DPR/DPRD, dan lembaga-lembaga Negara lainnya, mahkamah (Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Yudisial), komisi-komisi (KPU dan KPPU), yayasan, koperasi, Badan Hukum Milik Negara, Badan Layanan Umum, dsb. Menurut D. Larry Crumbley, editor-in-chief dari Journal of Forensic Accounting dengan terjemahan kedalam bahasa Indonesia “Secara sederhana dapat dikatakan akuntansi forensik adalah akuntansi yang akurat untuk tujuan hukum. Atau akuntansi yang tahan uji dalam kancah perseteruan selama proses pengadilan atau dalam proses peninjauan yudisial atau tinjauan administratif”
Berdasarkan Crumbley ingin menekankan bahwa akuntansi forensik tidak identik, bahkan tidak berurusan dengan akuntansi yang sesuai dengan generally accepted accounting principles (GAAP). Ukurannya bukan GAAP melainkan yaitu menurut hukum atau ketentuan perundang-undangan adalah akurat. Penerapan akuntansi untuk memecahkan persoalan hukum, maka istilah yang digunakan adalah akuntansi forensik. Kadar akuntansi masih terlihat, misalnya dalam perhitungan ganti rugi baik dalam konteks keuangan Negara maupun antar pihak-pihak dalam sengketa perdata. Ada yang menggunakan istilah audit forensik ( forensic audit ) untuk kegiatan audit investigatif. Dalam rangka sertifikasi, penggunaan istilah adalah auditor forensik bukan akuntan forensik, dengan pertimbangan bahwa anggota profesi ini ti dak hanya akuntan. Di Indonesia penggunaan akuntansi forensik di sektor publik lebih menonjol daripada di sektor privat, karena perkara yang lebih banyak terdapat pada sektor publik. Di sektor publik, para penuntut umum berasal dari kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi yang menggunakan penyidik dan ahli dari BPK, BPKP, dan Inspektorat Jendral dari Departemen yang bersangkutan. Menurut Pasal 1 angka 28 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Pengertian Ahli menurut KUHAP berbeda dengan pengertian menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan RI. Pasal 11 huruf c yang berbunyi: BPK dapat memberikan: a. Pertimbangan atas penyelesaian kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah, b. Pendapat kepada DPR, DPD, DPRD, Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah, Lembaga Negara Lain, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, dan lembaga atau badan lain yang diperlukan karena sifat pekerjaannya, dan c. Keterangan Ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian Negara/daerah.
Beberapa Model Akuntansi Forensik
Dalam suatu kasus, ada satu bidang ilmu (di samping Akuntansi dan Hukum). Bidang ilmu tersebut adalah audit dan direpresentasikan dalam tiga bidang sebagai berikut:
Gambar 15.2. Bidang ilmu Dalam praktik audit secara umum ( general audit ) maupun audit khusus ( special audit ) untuk mendeteksi fraud (kecurangan), si auditor (Internal maupun eksternal) secara proaktif berupaya melihat kelemahan-kelemahan dalam sistem pengendalian internal terutama yang berkenaan dengan perlindungan terhadap aset yang rawan terjadi fraud , Ini merupakan keahlian yang harus dimiiki oleh seorang auditor. Sedangkan dari sudut audit umum ( generally audit atau opinion audit ) diperoleh temuan audit, atau terdapat tuduhan (allegation) dari pihak lain, atau terdapat keluhan (complaint ), auditor bersikap reaktif, ia menanggapi temuan, tuduhan atau keluhan tersebut. Laporan (tip-off ) dapat juga diberikan oleh para whistleblower yang mengetahui terjadinya atau masih terjadinya suatu fraud. Auditor bereaksi terhadap temuan audit, tuduhan, dan keluhan serta mendalaminya dan melakukan audit investigatif. Audit investigatif dimulai pada bagian kedua dari generally audit yang bersifat reaktif yaitu setelah ditemukannya indikasi awal fraud, audit investigatif merupakan bagian titik awal dari akuntansi forensik. Cara melihat akuntansi forensik adalah dengan menggunakan Segitiga Akuntansi Forensik, sebagai berikut:
Perbuatan Melawan Hukum
Kerugian
Hubungan Kausalitas Gambar 15.3. Segitiga Akuntansi Forensik
Konsep yang digunakan dalam Segitiga Akuntansi Forensik adalah konsep hukum yang paling penting dalam menetapkan ada atau tidaknya suatu kerugian. Di sektor publik maupun privat, akuntansi forensik berurusan dengan kerugian keuangan Negara, sedangkan di sektor privat juga terdapat kerugian yang timbul karena pengingkaran janji dalam suatu perikatan. Kerugian adalah titik awal dalam Segitiga Akuntansi Forensik. Berdasarkan Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1365 yang berbunyi “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbukan kerugian tersebut karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut.” Titik kedua dalam Segitiga Akuntansi Forensik adalah perbuatan melawan hukum, tanpa perbuatan melawan hukum, tidak ada yang dapat dituntut untuk menggantikan kerugian yang terjadi dan titik ketiga dalam Segitiga Akuntansi Forensik
adalah adanya keterkaitan antara kerugian dan perbuatan melawan
hukum atau ada hubungan kausalitas antara kerugian dan perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum dan hubungan kausalitas (antara perbuatan melawan hukum dan kerugian) adalah ranahnya para ahli dan praktisi hukum. Perhitungan besarnya kerugian adalah ranahnya para akuntan forensik, dalam mengumpulkan bukti dan barang bukti untuk menetapkan adanya hubungan kausalitas, akuntan forensik dapat membantu ahli dan praktisi hukum.
DAFTAR RUJUKAN
Agoes, Sukrisno. 2012. Auditing . Edisi 4. Buku 1. Jakarta: Salemba Empat Kumaat, Valery.G. 2011. Internal Audit . Jakarta: Salemba Empat Tuanakotta, Theodorus M. 2010. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif. Edisi Kesatu. Jakarta: Salemba Empat.