BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang
Menurut BAPEDAL (1995), definisi limbah B3 adalah setiap bahan sisa (limbah) suatu kegiatan proses produksi yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) karena sifat (toxicity, (toxicity, flammability, reactivity, dan corrosivity) corrosivity) serta konsentrasi atau jumlahnya yang baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak, mencemarkan lingkungan, atau membahayakan kesehatan manusia. Seiring dengan perkembangan teknologi, limbah B3 akan selalu diproduksi oleh manusia sehingga masalah penyingkiran limbah B3 tersebut selalu menjadi topik hangat untuk dikaji. Limbah B3 yang tidak diolah secara baik dapat menjadi salah satu faktor terjadinya pencemaran lingkungan yang berdampak buruk bagi lingkungan. lingkungan. Limbah medis merupakan limbah yang dihasilkan dari aktivitas pengobatan atau tindakan perawatan lainnya di instalasi kesehatan, baik itu rumah sakit, puskesmas, klinik, apotek, dan sebagainya. Limbah medis mengandung mikroorganisme sumber penyakit. Limbah layanan kesehatan dapat mencemari penduduk lingkungan di sekitar layanan kesehatan dan dapat menimbulkan masalah kesehatan. Hal ini dikarenakan limbah tersebut dapat mengandung jasad renik penyebab penyakit pada manusia termasuk demam typoid demam typoid , cholera, cholera, disentri, dan hepatitis, sehingga limbah harus diolah sebelum dibuang ke lingkungan (BAPEDAL, 1999). Selain yang telah disebutkan, pengelolaan limbah medis yang tidak tepat dapat menimbulkan masalah seperti penularan penyakit kepada masyarakat sekitar maupun tenaga kerja tempat tersebut. Guna menghindari kejadian ini, pemerintah menciptakan suatu perencanaan dengan mempertimbangkan lingkungan. Hal tersebut kemudian digariskan dalam Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL). Peraturan pemerintah
ini
kemudian diperbaiki
dan disempurnakan oleh
Peraturan
Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (AMDAL). Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) merupakan kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan di Indonesia. Sementara itu untuk Kota Bandung sendiri memiliki 30 rumah sakit dan hanya 8 rumah sakit yang memiliki insinerator. Maka dibutuhkan suatu pengolahan limbah B3 medis dari 22 rumah sakit yang tidak memiliki insinerator. 1.2 Tujuan
Tujuan penulisan laporan ini adalah sebagai berikut: a.
Mengidentifikasi potensi dampak besar dan penting terhadap lingkungan
hidup yang disebabkan oleh usaha dan/atau kegiatan rumah sakit di Kota Bandung b. Mengidentifikasi komponen-komponen lingkungan hidup yang akan terkena dampak besar dan penting rumah sakit di Kota Bandung c.
Menyusun rencana pengelolaan limbah padat B3 sesuai dengan analisis
dampak lingkungan rumah sakit di Kota Bandung 1.3 Rumusan Masalah
Rumusan masalah laporan ini adalah sebagai berikut: a.
Apa dampak besar dan penting terhadap lingkungan lingkungan hidup yang yang disebabkan
oleh rumah sakit di Kota Bandung? b.
Apa komponen lingkungan hidup yang akan terkena dampak dari limbah
padat B3 di rumah sakit di Kota Bandung? Bandung? c.
Bagaimana rencana pengelolaan limbah padat B3 di rumah sakit di Kota Kota
Bandung?
BAB II GAMBARAN UMUM PERENCANAAN PERENCANAA N 2.1 Gambaran Umum Lokasi
Hidup (AMDAL). Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) merupakan kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan di Indonesia. Sementara itu untuk Kota Bandung sendiri memiliki 30 rumah sakit dan hanya 8 rumah sakit yang memiliki insinerator. Maka dibutuhkan suatu pengolahan limbah B3 medis dari 22 rumah sakit yang tidak memiliki insinerator. 1.2 Tujuan
Tujuan penulisan laporan ini adalah sebagai berikut: a.
Mengidentifikasi potensi dampak besar dan penting terhadap lingkungan
hidup yang disebabkan oleh usaha dan/atau kegiatan rumah sakit di Kota Bandung b. Mengidentifikasi komponen-komponen lingkungan hidup yang akan terkena dampak besar dan penting rumah sakit di Kota Bandung c.
Menyusun rencana pengelolaan limbah padat B3 sesuai dengan analisis
dampak lingkungan rumah sakit di Kota Bandung 1.3 Rumusan Masalah
Rumusan masalah laporan ini adalah sebagai berikut: a.
Apa dampak besar dan penting terhadap lingkungan lingkungan hidup yang yang disebabkan
oleh rumah sakit di Kota Bandung? b.
Apa komponen lingkungan hidup yang akan terkena dampak dari limbah
padat B3 di rumah sakit di Kota Bandung? Bandung? c.
Bagaimana rencana pengelolaan limbah padat B3 di rumah sakit di Kota Kota
Bandung?
BAB II GAMBARAN UMUM PERENCANAAN PERENCANAA N 2.1 Gambaran Umum Lokasi
Inisinerator akan dibuat untuk mengatasi masalah limbah medis yang dihasilkan oleh rumah sakit di Kota Bandung dan direncanakan tanpa mengganggu lingkungan sekitarnya. maka insinerator akan dilengkapi oleh alat pengendali pencemar udara baik partikulat maupun gas. lokasi yang direncanakan dari pembuatan insinerator ini berada di daerah Gedebage, tepatnya di lahan la han kosong di dekat Gelora Bandung Lautan Api di Desa Rancanumpang, Kecamatan Gedebage, Kota Bandung, Jawa Barat. Lokasi dengan luas 186 Ha ini dipilih untuk mendukung rencana beroperasinya TPA Regional Legok sehingga
akan
mempermudah pengangkutan abu yang dihasilkan dari insinerator menuju T PA.
Gambar 2.1 Lokasi Perencanaan Lokasi tersebut memiliki batas wilayah sebagai berikut. Utara: Jalan Ranca Sagatan dan pemukiman Timur: Jalan Ranca Numpang Selatan: Jalan Adi Flora Raya Barat: Jalan Gedebage dan pemukiman 2.2 Cakupan Pelayanan
Dalam studi ini, jasa pengelolaan limbah padat B3 yang akan dibuat adalah untuk menangani permasalahan limbah medis 22 rumah sakit di Bandung yang tidak
memiliki fasilitas pengolahan berupa insinerator meliputi RS Al Ihsan, RS Al Islam, RS Mitra Kasih, RS Hasan Sadikin, RS Kebonjati, RS Mata Cicendo, RS Muhammadiyah, RS Santo Yusup, RSIA Limijati, RS Advent, RS Halmahera, RS Bhayangkara Sartika Asih, Melinda Hospital, RS Lanud Dr. M. Salamun, RS Elim Medical & Dental Center, RSU Bungsu, RS Hermina Pasteur, RS Hermina Arcamanik, RSUD Ujungberung, RS Paru Dr. HA. Rotinsulu, RS Immanuel, RS Ginjal Ny. R.A Habibie. 2.3 Kegiatan Rumah Sakit dan Timbulan Limbah B3
Karakteristik limbah padat B3 yang akan ditangani adalah: ·
Limbah infeksius (limbah yang diduga mengandung patogen)
·
Limbah patologi (jaringan dan cairan tubuh manusia)
·
Limbah benda tajam (contoh: jarum, alat infus, pisau bedah, pecahan
gelas) · ·
Limbah farmasi (limbah yang mengandung obat-obatan) Limbah genotoksik (limbah yang mengandung zat yang memiliki sifat
genotoksik) ·
Limbah kimiawi (contoh: reagen lab, desinfektan, dan zat pelarut)
·
Limbah dengan kandungan logam berat yang tinggi (contoh: alat ukur
tensi, dan thermometer) Menurut WHO, negara berkembang yang belum melakukan survei terkait limbah rumah sakit bisa menggunakan estimasi distribusi timbulan rumah sakit untuk perencanaan awal pengelolaan limbah sebagai berikut: · 80% dari limbah tergolong limbah tidak berbahaya, yang bisa dikelola sebagaimana limbah domestik · 15% limbah patologis dan infeksius · 1% limbah tajam
· 3% limbah kimia dan farmasi ·
<1% limbah lainnya seperti limbah radioaktif, sitotoksik, kontainer
bertekanan, termometer rusak, maupun baterai usang. Limbah padat B3 yang dihasilkan dari kegiatan rumah sakit relatif sama karena sifatnya yang infeksius dan sitotoksik. Sumber limbah padat B3 dari kegiatan rumah sakit dapat berasal dari: ·
Ruang rawat inap
·
Ruang bersalin
·
Hemodialisa
·
Ruang bedah
·
ICU
·
HCU
·
Laboratorium
·
Farmasi
·
Poliklinik
·
Poliklinik gigi
·
UGD
Berikut adalah jumlah kamar/bed dari 22 rumah sakit yang akan dilakukan pengolahan. Jumlah bed yang tertera meliputi ruang rawat inap, ruang bersalin, ruang bedah, ICU, HCU, poliklinik, poliklinik gigi, dan UGD.
Tabel 2.1 Jumlah Bed per Rumah Sakit No.
Nama Rumah Sakit
Jumlah Bed (buah)
1
RS Al Ihsan
341
2
RS Al Islam
245
3
RS Mitra Kasih
137
4
RS Hasan Sadikin
996
5
RS Kebonjati
293
6
RS Mata Cicendo
307
7
RS Muhammadiyah
335 :
8
RS Santo Yusup
650
9
RSIA Limijati
187
10
RS Advent
592
11
RS Halmahera
100
12
RS Bhayangkara Sartika Asih
292
13
Melinda Hospital
57
14
RS Lanud Sulaiman
591
15
RS Elim Medical & Dental Center
100
16
RSU Bungsu
193
17
RS Hermina Pasteur
104
18
RS Hermina Arcamanik
50
19
RSUD Ujungberung
298
20
RS Paru Dr. HA. Rotinsulu
372
21
RS Immanuel
328
22
RS Ginjal Ny. R.A Habibie
48
Total
6616
Timbulan limbah medis yaitu sebesar 0,855 kg/bed/hari. Kedua jenis limbah ini dihasilkan dari
ruang rawat inap, ruang bersalin, ruang bedah, ICU, HCU,
poliklinik, poliklinik gigi, dan UGD. Diketahui jenis limbah selain kedua limbah tersebut tidak dihasilkan setiap hari seperti limbah farmasi, laboratorium, dan hemodialisa. maka dari itu komposisi jenis limbah ini tergolong sangat kecil. kemudian data timbulan Rumah Sakit Al Islam akan dijadikan referensi untuk mengetahui total jumlah timbulan limbah yang akan diolah. Sehingga, jumlah timbulan limbahnya setiap rumah sakit ialah sebagai berikut: Tabel 2.2 Jumlah Timbulan Limbah No.
Nama Rumah Sakit
Jumlah Limbah (kg/hari)
1
RS Al Ihsan
233,8286
2
RS Al Islam
168
3
RS Mitra Kasih
93,94286
4
RS Hasan Sadikin
682,9714
5
RS Kebonjati
200,9143
6
RS Mata Cicendo
210,5143
7
RS Muhammadiyah
229,7143
8
RS Santo Yusup
445,7143
9
RSIA Limijati
128,2286
10
RS Advent
405,9429
11
RS Halmahera
68,57143
12
RS Bhayangkara Sartika Asih
200,2286
13
Melinda Hospital
39,08571
14
RS Lanud Sulaiman
405,2571
15
RS Elim Medical & Dental Center
68,57143
16
RSU Bungsu
132,3429
17
RS Hermina Pasteur
71,31429
18
RS Hermina Arcamanik
34,28571
19
RSUD Ujungberung
204,3429
20
RS Paru Dr. HA. Rotinsulu
255,0857
21
RS Immanuel
224,9143
22
RS Ginjal Ny. R.A Habibie
32,91429
Total
5656,68
2.4 Dampak dari Kegiatan Rumah Sakit
Rumah sakit merupakan sarana pelayanan kesehatan, tempat berkumpulnya orang sakit maupun sehat yang akan menghasilkan limbah. Limbah yang dihasilkan rumah sakit dalam bentuk benda tajam, limbah infeksius, jaringan tubuh, limbah sitotoksis, limbah kimia, limbah radioaktif, dan limbah farmasi. Secara langsung maupun
tidak
langsung
akan
menimbulkan
gangguan
kesehatan
dan
membahayakan bagi pengunjung maupun petugas kesehatan. Limbah ini juga akan menimbulkan pencemaran lingkungan bila dibuang sembarangan dan
akhirnya membahayakan serta mengganggu kesehatan masyarakat (Henni, 1994). Kerugian tersebut dapat berupa pencemaran udara, tanah, air, dan laut. Hal ini disebabkan oleh limbah rumah sakit yang mengandung zat kimia, zat radioaktif, dan zat lain yang konsentrasinya cukup tinggi. Oleh karena itu, perlu ada penyehatan lingkungan rumah sakit yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dan petugas rumah sakit dari bahaya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah padat B3 rumah sakit. Salah satu bentuk penyehatan yang bisa dilakukan adalah dengan mengelola limbah medis yang dihasilkan di setiap rumah sakit. 2.5 Perencanaan Tata Letak
Insinerator yang direncanakan dilengkapi oleh TPS B3 guna menampung limbah B3 dari rumah sakit sebelum memasuki proses insinerasi. Jangka waktu pengoperasian yang diharapkan adalah 20 tahun dengan frekuensi masa pemeliharan TPS B3 setiap lima tahun sekali. Berikut adalah denah yang direncanakan untuk insinerator dan TPS B3.
Gambar 2.3 Tata Letak Perencanaan 2.6 Kewajiban AMDAL
Rencana kegiatan ini merupakan kegiatan dari suatu industri jasa pengelolaan limbah B3. Pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup tertulis bahwa pengolahan limbah B3 secara termal menggunakan insinerator, kecuali mengolah limbah B3 yang dihasilkan sendiri dan berasal dari 1 (satu) lokasi, kegiatan wajib memiliki AMDAL untuk semua besaran industri karena alasan berikut. ●
Berpotensi menimbulkan pencemar di udara berupa dioksin dan furans
●
Berpotensi menimbulkan penurunan kualitas udara ambien (debu, SOx, NOx, HF, HCl, As, Cd, Cr, Pb, Hg, dan Tl)
Berdasarkan peraturan tersebut, maka perencanaan pengolahan limbah padat B3 medis dari 22 rumah sakit di Kota Bandung dengan menggunakan insinerator di TPS Limbah B3 ini wajib memiliki AMDAL. BAB III RENCANA KEGIATAN 3.1 Rencana Pengelolaan Limbah Padat B3
Dalam mengelola Limbah B3 yang berasal dari 22 Rumah Sakit terlayani maka dilakukan pendekatan untuk menghitung jumlah limbah medis yang dihasilkan berdasarkan kapasitas dan jumlah tempat tidur (bed) tiap rumah sakit. Hal ini dikarenakan, satuan limbah padat untuk limbah medis menggunakan satuan kg/bed/hari. Dalam hal ini Jenis limbah padat medis B3 yang direncanakan akan diolah diantaranya ·
Limbah padat yang sudah diketahui infeksius atau mengandung bakteri
yang berbahaya. ·
Limbah padat atau benda yang telah kontak dengan cairan tubuh pasien
atau pengobatan pasien. ·
Jaringan tubuh dan specimen laboratorium.
·
Limbah padat B3 yang bersifat toksik.
Berikut adalah rincian jumlah bed dari setiap rumah sakit yang dilayani berdasarkan sumber literatur : 1. Rumah Sakit Al-Ihsan : 341 bed 2. Rumah Sakit Al Islam dengan luas tanah 31.339 m2 dan luas bangunan 17.447.67 m2 memiliki 188 ruangan dan 245 bed 3. Rumah Sakit Mitra Kasih : memiliki luas tanah 4718 m2 dan luas bangunan 7122,78 m2 dengan 137 kamar 4. Rumah Sakit Hasan Sadikin : 996 bed dengan luas bangunan 101.035 m2 dan luas tanah 85.687 m2 5. Rumah Sakit Kebon Jati dengan luas tanah 7849 m2 dan luas bangunan 8406 m2 memiliki 293 bed dan 110 ruangan 6. Rumah Sakit Cicendo RS Mata Cicendo dengan luas tanah 10.675 m2 dan luas bangunan 28.505.5 m2 memiliki 307 bed dengan 104 ruangan. 7. Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung memiliki luas tanah 7751 m2 dan luas bangunan 5853 m2 dan sekitar 355 bed dengan 133 ruangan didalamnya 8. Rumah Sakit Santo Yusup memiliki luas tanah 17.883 m2 dan luas bangunan 9.421 m2 dengan 650 bed, dengan 222 ruangan. 9. RSIA Limijati memiliki luas tanah 3553 m2 dan luas bangunan 5.364.374 dengan 187 bed dengan 69 ruangan. 10. Rumah Sakit Advent memiliki luas tanah 17200 m2 dan luas bangunan 31.099,94 m2 dan memiliki 592 bed dengan 210 ruangan 11. Rumah Sakit Halmahera memiliki luas tanah 1585 m2 dan luas bangunan 1800 m2 dengan 100 bed yang memiliki 40 ruangan 12. Rumah Sakit Bahayangkara Sartika Asih memiliki luas tanah 8083 m2 dan luas bangunan 5227 m2 dan 292 bed dengan 96 ruangan 13. Rumah Sakit Melinda memiliki
luas tanah 2913.878 m2 dan luas
bangunan 18192.006 m2, memiliki 57 bed dengan 28 ruangan
14. Rumah Sakit RSU Lanud Dr.M.Salamun dengan luas tanah 39.545 m2 dan luas bangunan 11.002.23 m2 memiliki 591 bed dengan 181 ruangan 15. Rumah Sakit Bungsu memiliki 56 ruangan dengan 193 bed 16. Rumah Sakit RS Paru Dr.H.A.Rotinsulu dengan luas tanah 33.900 m2 dan luas bangunan 23037 m2, rumah sakit dengan 116 ruangan ini memiliki 372 bed 17. Rumah Sakit RSU Immanuel Bandung dengan luas tanah 53.270 m2 dan luas bangunan 24.377,21 m2 memiliki 984 bed dengan 328 ruangan 18. Rumah Sakit RSK Ginjal NY RA Habibie memiliki 13 ruangan dengan 48 bed 19. Rumah Sakit Elim Medical dan Dental Center memiliki sekitar 100 bed 20. Rumah Sakit Hermina Pasteur memiliki sekitar 104 bed 21. Rumah Sakit Hermina Arcamanik sekitar 50 bed 22. Rumah Sakit Ujung Berung memiliki kapasitas 298 bed. Berdasarkan akumulasi dari seluruh rumah sakit yang akan dilayani, terdapat sekitar 6616 bed/hari yang dapat menghasilkan limbah padat B3. Jika diasumsikan berdasarkan data literatur yang didapatkan sebagai sumber timbulan limbah medis rumah sakit dari Rumah Sakit Al-Islami yaitu sebesar 0,855 kg/bed/hari, maka didapatkan jumlah timbulan dari seluruh rumah sakit yang harus diolah ialah sebesar 5656,68 kg/hari. Berdasarkan jumlah limbah tersebut, maka akan diolah dengan menggunakan insenerator.
Damanhuri
(2010)
menjelaskan
bahwa
teknologi
insinerasi
merupakan teknologi yang menkonversi materi padat (dalam hal ini sampah) menjadi materi gas (gas buang), serta materi padatan yang sulit terbakar, yaitu abu (bottom ash) dan debu (fly ash). Sistem insinerasi pada dasarnya didesain untuk menghancurkan komponen organik dari suatu timbulan sampah. Menurut LaGrega dkk (1994), insinerasi merupakan proses kimia yang cukup sederhana karena komponen organik yang terdiri dari karbon, hidrogen, dan oksigen, dengan kemungkinan keberadaan logam maupun nonlogam lainnya seperti halogen dan nitrogen. Namun, reaksi sederhana tersebut hanya terjadi jika pembakaran terjadi sempurna dan pada umumya pembakaran yang terjadi tidaklah sempurna.
Insenerator ini dapat mengelola beberapa sasaran diantaranya adalah mengurangi massa/volume,
mendesktruksi
komponen
berbahaya,serta
identik
dengan
combustion (dapat menghasilkan energi). Untuk dapat menggunakan insenerator dibutuhkan proses pembakaran sempurna dari setiap komponen limbah yang akan diolah dengan reaksi yang biasanya sebagai berikut: C + (O2 + N2) → CO2 + N2 + O2 + heat
(III.1)
H2 + (O2 + N2) → H2O + N2 + O2 + heat
(III.2)
CH4 + (O2 + N2) → CO2 + H2O + N2 + O2 + heat
(III.3)
Jenis insenerator yang akan dibangun ialah jenis Fluidized Bed Incenerator yang dipilih berdasarkan pertimbangan: -
Sesuai untuk berbagai jenis limbah. Pengembangan terbaru bahkan mengurangi kebutuhan pre-treatment untuk memperkecil ukuran sampah sehingga fluidized bed bisa mengolah material yang lebih kasar.
-
Cocok untuk limbah yang memiliki kadar air tinggi dengan nilai kalor yang rendah, seperti sludge.
-
Laju dan efisiensi pembakaran lebih besar karena turbulensi yang ditimbulkan oleh bed.
-
Turbulensi bed di freeboard sejalan dengan scouring effect dan thermal inertia menjamin pembakaran yang sempurna, terkontrol, dan menyeluruh dengan jumlah char minimum pada residu dan rendah emisi.
Sehingga, berdasarkan pertimbangan tersebut maka kualifikasi limbah yang dapat diolah pada insenerator tipe Fluidized Bed Reactor adalah semua jenis limbah medis B3 dengan proses pengolahannya seperti gambar berikut:
Gambar 3.1 Fluidized bed incinerator: 1) feeding limbah, 2) bed, 3) freeboard, 4) primary air, 5) 6) secondary air, 7) suplai udara untuk memulai pembakaran, 8) 9) windbox, 10) distributor, 11) make up sand, 12) gas keluar Prosesnya adalah limbah dimasukkan melalui inlet, lalu disuplai udara dan kebutuhan penunjang lainnya untuk pembakaran. Selanjutnya abu yang dihasilkan ditampung dalam suatu hopper untuk diberikan kepada pihak ketiga agar dilakukan pengolahan lebih lanjut. Sedangkan terdapat alat pengendali pencemar udara yang akan dipasang pada setiap insenerator untuk menanggulangi pencemar udara yang dihasilkan pada proses pembakaran. Kapasitas insenerator yang akan di bangun berdasarkan seluruh rumah sakit yang memiliki tipe rumah sakit yang berbeda beda. Maka, diambil tipe rumah sakit yang paling dominan, yaitu rumah sakit kelas B. Sehingga Kriteria desain untuk rumah sakit kelas B nya adalah sebagai berikut:
Kriteria desain ini telah mengikuti aturan dalam Spesifikasi Insinerator yang digunakan berdasarkan PERMENLH No. 56 Tahun 2015 mengenai Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dari Fasilitas
Pelayanan
Kesehatan
untuk
kegiatan
Pengolahan
Limbah
B3.
Berdasarkan kriteria desain tersebut, kapasitas dari satu buah insenerator ialah 180 kg/jam. Dengan waktu pengoperasian selama 4 jam dalam sehari, maka satu buah insenerator dapat membakar 720 kg/hari sampah. Jumlah timbulan yang dihasilkan perharinya dari seluruh rumah sakit ialah 5656,68 kg/hari. Maka, jumlah insenerator yang akan dibangun pada lahan terpilih sebanyak 8 buah insenerator.
Abu hasil pembakaran dari insinerator maupun partikulat yang tersisihkan dalam unit pengendali pencemaran udara berpotensi memiliki dampak B3, sehingga hasil pengolahan termal berupa abu tersebut direncanakan ditimbun dalam landfill khusus B3 yang umumnya dikelola oleh pihak ke 3. 3.2 Rencana Kegiatan Pembangunan Jasa Pengelolaan Limbah Padat B3 3.2 Rencana Kegiatan Pembangunan Jasa Pengelolaan Limbah Padat B3
3.2.1 Tahapan Pembangunan Proyek
Tahapan
Detail Kegiatan
Durasi
Pra Konstruksi
1. Studi Amdal
(Mencakup kajian
KA 3 Tahun
ANDAL dan RKL-RPL)
2.
Sosialisasi
Rencana
Pembangunan/Pengelolaan
2 bulan
3. Pengadaan Lahan
4.
Survey
dan
Pengukuran
untuk
2 minggu
Pembangunan dan Lahan Insinerator
5. Desain Rencana Pembangunan
dan 2 bulan
insinerator
6. Pemasangan Batas/Pondasi/Pagar Proyek
3 minggu
7. Sampling dan Pengukuran jumlah timbulan
1 minggu
limbah medis
Kontruksi
1. Rekruitmen tenaga kerja dan Penyediaan 2 minggu sarana
jalan
menuju
Lokasi
TPS
dan
insinerator
2. Mobilisasi peralatan dan bahan material dan
Pembangunan
Basecamp
(basecamp
yang dibangun diperuntukkan bagi para pekerja yang memiliki tempat tinggal relatif jauh dari lokasi proyek)
3. Pematangan Lahan
4.
Pembangunan
Fasilitas
9 bulan
Penyimpanan
Limbah B3 medis dan Insenerator
5. Pengadaan Fasilitas Penunjang
Operasional
1. Demobilisasi Peralatan dan Bahan Material 1 minggu
2. Pengoperasian dan Pemeliharaan dan Pengolahan limbah B3 medis
Pasca Operasi
1.
Penutupan
2.
Peralihan Fungsi Bangunan
20 tahun
>3 tahun
Dalam tahap pra konstruksi, kegiatan studi AMDAL diperkirakan memakan waktu tiga tahun. Dalam sebuah jurnal “Studi AMDAL Pengolahan
Limbah Medis dengan Incinerator di Kabupaten Sidoarjo”, untuk studi amdal dalam kasus di jurnal tersebut memakan waktu hingga 3 tahun hingga mencapai proses sidang komisi AMDAL. Dengan kondisi hukum dan sosial yang diasumsikan sama dengan wilayah kota Bandung. Maka perkiraan studi AMDAL ini dapat mencapai 3 tahun.
Adapun dalam kegiatan pasca operasi dari jasa pengelolaan limbah B3 padat medis ini yang mungkin dilakukan yaitu penutupan ataupun mengubah fungsi bangunan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka perlu dilakukan pemulihan lahan yang prosedurnya menyesuaikan Perturan Menteri Lingkungan Hidup No. 33 Tahun 2009 mengenai Tata Cara Pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3. Adapun dalam peraturan ini dinyatakan bahwa perlu dilakukan pemantauan kualitas tanah dan air tanah 6 bulan setelah dilakukan pemulihan lahan tercemar. Untuk mengubah fungsi bangunan tersebut menjadi bangunan yang difokuskan untuk kegiatan lain diperlukan penyusunan AMDAL kembali sesuai dengan arah kegiatan yang akan dilakukan. Sehingga perkiraan tahapan pasca operasi dapat memakan waktu lebih dari 3 tahun.
3.3 Analisis Biaya
NPV merupakan selisih antara pengeluaran dan pemasukan yang telah didiskon dengan menggunakan social opportunity cost of capital sebagai diskon faktor, atau dengan kata lain merupakan arus kas yang diperkirakan pada masa yang akan datang yang didiskonkan pada saat ini. Untuk menghitung NPV diperlukan data tentang perkiraan biaya investasi, biaya operasi, dan pemeliharaan serta perkiraan manfaat/benefit dari proyek yang direncanakan. Dengan berdasarkan pada data timbulan limbah sebesar 5.7 ton/hari yang dihasilkan, dan berdasarkan grafik CAPEX dibawah ini yang menggunakan rumus empiris I = 2.3507×C0.7753 di mana I adalah biaya yang dibutuhkan dan C adalah berat limbah yang akan diolah per tahunnya, maka didapat bahwa perkiraan biaya
investasi proyek sebesar 4,15 juta USD, atau setara 56,39 milyar IDR (1 USD = 13.597,06 IDR, 6 Februari 2018)
Sumber: https://wteinternational.com/cost-of-incineration-plant/ Berdasarkan hasil studi yang ada, biaya untuk perawatan fasilitas insinerator setara dengan 3% dari capital investment yang dianggarkan, dengan demikian maka biaya perawatan adalah sebesar 1,69 milyar IDR/annum. Sementara untuk biaya operasionalnya, dengan data dari literatur di mana biaya operasional sebesar 13.9 EUR/ton atau setara 233.325 IDR/ton, maka didapat biaya operasionalnya sebesar 485 juta IDR/annum. Untuk perkiraan manfaat dari proyek maka terdapat sejumlah manfaat. Manfaat pertama adalah energi yang dihasilkan. Untuk feed-in tarriff insinerator yang tergolong PLTSa maka biaya per kWhnya sebesar 100% biaya pokok produksi (BPP) atau setara 900 IDR/kWh. Limbah medis memiliki nilai kalor yang lebih tinggi dibanding limbah pada umumnya, nilai potensi listrik yang dihasilkan ada pada kisaran 1200 kW/ton ini berarti dalam satu tahun insinerator akan mampu menghasilkan 3121 MW listrik, apabila dikalikan dengan feed-in tariff maka ini setara dengan 2,81 milyar IDR/annum. Dengan asumsi nilai feed-in tarriff yang diambil, dan dengan kemampuan produksi listrik tersebut, maka setiap tahunnya insinerator ini akan menghasilkan pendapatan sebesar 760 juta IDR. Manfaat lain yang di dapat adalah pengehematan biaya pengangkutan limbah menuju landfill di mana berdasarkan literatur pengangkutan tersebut memakan biaya sebesar 191.550 IDR/ton. Ini berarti keseluruhan dalam satu tahun akan didapat penghematan sebesar 398 juta, dan sebaliknya akan didapat pemasukan dari biaya
pengangkutan limbah ke insinerator dengan asumsi biaya yang sama dengan ke landfill Tabel 3.3.1 Tabel data perhitungan Net Present Value (NPV) Perkiraan biaya investasi proyek (P)
56.394.477.752,39 IDR
Perkiraan biaya operasi dan pemeliharaan proyek (A)
2.177.266.996 IDR/annum
Perkiraan manfaat dari proyek (F)
3.605.714.550 IDR/annum
Jumlah tahun/Masa pakai (n)
20 tahun
Apabila asumsi nilai suku bunga per periode (i) adalah sebesar 20%, maka nilai NPV dari proyek tersebut adalah sebesar 49.437.938.160 IDR. IRR yang merupakan indikator tingkat efisiensi dari suatu investasi. Suatu proyek/investasi dapat dilakukan apabila laju pengembaliannya (rate of return) lebih besar dari pada laju pengembalian apabila melakukan investasi di tempat lain (bunga deposito bank, reksadana dan lain-lain). IRR digunakan dalam menentukan apakah investasi dilaksanakan atau tidak, untuk itu biasanya digunakan acuan bahwa investasi yang dilakukan harus lebih tinggi dari Minimum acceptable rate of return atau Minimum atractive rate of return (MARR). Berdasarkan data yang telah didapat pada perhitungan NPV, nilai IRR dapat dihitung untuk menentukan kelayakan proyek secara ekonomi. Berikut merupakan tabel data yang digunakan untuk menghitung nilai Internal Rate of Return atau IRR: Tabel 3.3.2 Tabel data perhitungan Internal Rate of Return (IRR) Perkiraan biaya investasi proyek (P)
56.394.477.752,39 IDR
Perkiraan biaya operasi dan pemeliharaan proyek (Ak)
2.177.266.996 IDR/annum
Perkiraan manfaat dari proyek (Am)
3.605.714.550 IDR/annum
Jumlah tahun/Masa pakai (n)
20 tahun
Perhitungannya adalah sebagai berikut:
= [(/; ; 20)] − [(/; ; 20) +
=
(/; ; 20) − (/; ; 20)
=
0 %,
=
25 %,
]
−
= −55.527 .765.198 = − 49.437 .938.160
Apabila asumsi nilai minimum rate acceptable rate of return (MARR) adalah sebesar 25%, maka nilai IRR dibawah 0 %. Nilai IRR > MARR sehingga proyek ini layak secara ekonomis. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam 20 tahun proyek ini sudah dapat memberikan return yang cukup dan profit . 3.4 Dampak Perencanaan 3.4.1 Sosial
Dampak sosial yang muncul akibat penerapan insenerator adalah adanya kesempatan lapangan kerja karena tenaga kerja yang terlibat dalam proses insenerasi, dengan catatan tenaga kerja tersebut telah memenuhi skill yang dibutuhkan. Jika pembakaran telah memenuhi spesifikasi dilakukan secara kontinyu, energi panas dari dalam tungku yang didinginkan dengan air dan uap air yang terbentuk dapat digunakan sebegai penggerak turbin untuk masyarakat sekitar. Jika temperatur pembakaran insenerator yang tidak terpenuhi (rendah)
maka akan menyebabkan terbentuknya senyawa dioksin. Dioksin merupakan jenis gas yang sangat beracun yang dapat memicu pertumbuhan kanker dalam sel tubuh manusia. 3.4.2 Ekonomi
Penerapan teknologi insenerasi dalam pengelolaan limbah padat B3 akan membutuhkan biaya investasi yang tinggi. Proses pembakaran oleh insenerator memerlukan temperatur yang tinggi yaitu 800-1.100 oC dan memerlukan energi awal seperti minyak atau listrik. Temperatur perlu dipertahankan pada kisaran tersebut supaya terjadi pembakaran sempurna dan tidak menghasilkan dioksin, sehingga diperlukan SDM yang memiliki skill tinggi untuk mengoperasikannya. Pemeliharaan insenerator yang terbuat dari plat baja perlu dilakukan secara rutin agar tidak mudah karat dan umur pakai yang lama. Dampak positif dari insenerator adalah dapat mengurangi timbulan limbah mencapai 80%, sehingga keperluan lahan untuk pengelolaan limbah padat menjadi lebih sedikit. 3.4.3 Lingkungan
Pengolahan menggunakan insenerator akan menimbulkan sisa akhir berupa bottom ash, air limbah, dan gas emisi (mengandung partikulat). Penurunan kualitas udara disebabkan oleh keberadaan kandungan pencemar di dalam gas emisi insenerator, seperti SO2, NO2, dan partikulat. Didalam udara, sulfur dioksida mengalami reaksi-reaksi fotokimia dan berubah menjadi berbagai macam senyawa sebelum jatuh ke bumi. Misalnya SO 2, dapat teroksidasi menjadi SO 3 yang mempunyai sifat iritan lebih kuat daripada SO2. Selanjutnya, SO2 ataupun SO 3 dapat bereaksi dengan uap air menjadi asam sulfat yang merupakan iritan kuat. NO2 terbentuk karena banyaknya nitrogen oksigen di udara sewaktu terjadi proses pembakaran. Debu terbentuk karena pembakaran hidrat karbon yang kurang sempurna. Partikulat ini dapat terdiri atas zat organk dan anorganik (Soemirat, 2011). SO 2 dan NO2 dapat berpotensi menyebabkan hujan asam dan pemanasan global. Sedangkan, debu dapat berpotensi menyebabkan gangguan saluran pernapasan atas dan berbagai gejala penyakit lainnya, seperti gangguan kulit dan bersin.
BAB 4 RONA AWAL LINGKUNGAN HIDUP AWAL
4.1 Komponen Fisik Kimia 4.1.1 Keadaan Geografis Gedebage merupakan salah satu kecamatan di Kota Bandung, Provinisi Jawa Barat. Kecamatan Gedebage memiliki Luas wilayah 979,930 Ha. Kecamatan Gede Bage terdiri atas 201 RT, 40 RW, 4 Kelurahan. Kecamatan Gedebage terletak pada koordinat 6,96 Lintang Selatan dan 107,69 Bujur Timur (Sumber:
BPS Kota Bandung). Wilayah Kecamatan Gedebage dapat dilihat pada Gambar 4.1 berikut.
Gambar 4. 1 Peta Kota Bandung (Sumber: Pemerintah Kota Bandung) Batas-batas wilayah Kecamatan Gedebage adalah sebagai berikut, Sebelah Utara: Kecamatan Cinambo, Sebelah Selatan: Kabupaten Bandung Sebelah Timur: Kecamatan Panyileukan Sebelah Barat: Kecamatan Rancasari Secara umum Kecamatan Gedebage terbagi atas 4 kelurahan yang memiliki luas wilayahnya masing-masing. Luas wilayah dari setiap kelurahan di tampilan dalam tabel berikut. Tabel 4. 1 Luas Wilayah Kelurahan di Kecamatan Gedebage
Kelurahan
Luas Wilayah (Ha)
Rancabolang
276,540
Rancanumpang
115,652
Cisaranten Kidul
426,711
Cimincrang
161,027 (Sumber: Podes Gedebage, 2014)
Kecamatan Gedebage merupakan kecamatan yang masih memiliki areal pertanian yang cukup luas dibandingkan dengan kecamatan lain di Kota Bandung. Areal lahan sawah terluas terletak di Kelurahan Cisaranten Kidul.
Tabel 4. 2 Luas Lahan Sawah di Kota Bandung Kecamatan
Irigasi
Non
Jumlah
Irigasi
1
Bandung
7
0
7
3
0
3
0
0
0
7
0
7
Kulon 2
Babakan Ciparay
3
Bojongloa Kaler
4
Bojongloa Kidul
5
Astanaanyar
0
0
0
6
Regol
3
0
3
7
Lengkong
0
0
0
8
Bandung Kidul
10
0
10
9
Buah Batu
49
0
49
10
Rancasari
60
0
60
11
Gedebage
276
0
276
12
Cibiru
60
0
60
13
Panyileukan
27
0
27
14
Ujungberung
98
0
98
15
Cinambo
70
0
70
16
Arcamanik
30
0
30
17
Antapani
7
0
7
18
Mandalajati
11
0
11
19
Kiaracondong
13
0
13
20
Batununggal
1
0
1
21
Sumur
0
0
0
Bandung 22
Andir
0
0
0
23
Cicendo
0
0
0
24
Bandung
0
0
0
0
0
0
4
0
4
Wetan 25
Cibeunying Kidul
26
Cibeunying Kaler
27
Coblong
0
0
0
28
Sukajadi
0
0
0
29
Sukasari
0
0
0
30
Cidadap
0
0
0
736
0
736
Kota Bandung
(Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bandung, 2016) Data luas lahan sawah pada Tabel 4.2 menunjukan bahwa Kecamatan Gedebage merupakan wilayah dengan luas sawah paling besar di Kota Bandung. 4.1.2 Keadaan Topografi
Secara topografi wilayah, Kecamatan Gedebage berada pada dataran rendah dengan ketinggian tanah 666 meter dari permukaan laut. Dengan kemiringan lahan 2-5%. Secara umum daerah dataran tinggi Kota Bandung berada pada daerah utara dengan Kecamatan Sukajadi yang memiliki ketinggian terbesar yaitu 891 dpl. (Sumber: BPS Kota Bandung) 4.1.3 Keadaan Klimatologi
Iklim asli Kota Bandung dipengaruhi oleh pegunungan di sekitarnya sehingga cuaca yang terbentuk sejuk dan lembab. Temperatur rata-rata yaitu
23,4oC dan mencapai suhu tertinggi pada bulan Oktober 2014 yaitu 24,2 oC. Hal tersebut diduga sebagai dampak perubahan iklim dan global warming. Walaupun demikian curah hujan di Kota Bandung masih cukup tinggi, yaitu rata-rata 198,8 mm dengan jumlah hari hujan rata-rata 19 hari per bulan. Iklim cenderung kering dengan temperatur maksimal dapat mencapai 30,9 oC di bulan Oktober dengan kelembaban 64%. Pada tahun 2014 iklim cenderung kurang bersahabat terutama untuk pertanian, iklim ekstrim dengan suhu tinggi di musim panas dimana puncaknya bulan September dan suhu rendah di awal tahun dengan kelembaban mencapai 63%. Pada bulan Maret 2014 curah hujan tertinggi di atas rata-rata selama tahun 2014 mencapai 418,7 mm. Tabel 4. 3 Data Iklim Kota Bandung Parameter
Satuan
Nilai
Penguapan
mm
3,6
Tekanan Udara
Mb
923,7
Kelembaban Nisbi
%
77
Temperatur Rata-rata
oC
23,4
Temperatur Maksimal
oC
29,1
Temperatur Minimal
oC
19,8
Curah Hujan
mm
193,8
Hari Hujan
Hari
19
Kecepatan Rata-rata Angin
Knot
3
Kecepatan Angin Terbesar
Knot
14
Lama Penyinaran Matahari
%
60
(Sumber: BMKG Stasiun Bandung, 2014) 4.1.4 Kualitas Udara Ambien
Pada perencanaan ini, pengelolaan limbah B3 dari rumah sakit akan dibangun di daerah Gedebage, tepatnya di lahan kosong di dekat Gelora Bandung Lautan Api di Desa Rancanumpang, Kecamatan Gedebage, Kota Bandung, Jawa Barat. Lokasi dengan luas 186 Ha. Berdasarkan data Hasil Pengukuran oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan kota Bandung diperoleh Kualitas Udara Ambien Roadside pada tahun 2014 dengan lokasi pengukuran di 27 titik. Untuk menganalisa kualitas udara ambien pada wilayah perencanaan, maka dipilih titik pengukuran kualitas
udara
ambien
yang paling
dekat
dengan
wilayah
perencanaan, yaitu hasil pengukuran di Jalan Rumah Sakit pada daerah Ujung Berung yang berjarak 8 km dari wilayah perencanaan. Dari hasil pengukuran diketahui kualitas udara ambien di area dekat Jalan Rumah Sakit berdasarkan parameternya dijabarkan dalam Tabel 4.4 berikut.
Tabel 4. 4 Kualitas Udara Ambien Jalan Rumah Sakit Ujung Berung Parameter
Baku Mutu
Satuan
Sumber
Nilai (ug/Nm3)
NO2
400
ug/Nm3
PP No. 41 Tahun 1999
<10
SO2
900
ug/Nm3
PP No. 41 Tahun 1999
<17,15
CO
30000
ug/Nm3
PP No. 41 Tahun 1999
6870
O3
235
ug/Nm3
PP No. 41 Tahun 1999
<15,61
HC
160
ug/Nm3
PP No. 41 Tahun 1999
15
Pb
2
ug/Nm3
PP No. 41 Tahun 1999
0,08
PM 2,5
65
ug/Nm3
PP No. 41 Tahun 1999
44
TSP
230
ug/Nm3
PP No. 41 Tahun 1999
100
(Sumber : http://data.bandung.go.id) Melalui Tabel 4.4 diketahui bahwa seluruh parameter uji kualitas udara ambien yang di pantau pada tahun 2014 memenuhi baku mutu PP No. 41 Tahun 1999. 4.1.5 Kebisingan
Data kebisingan pada kondisi eksisting juga diperoleh berdasarkan data data Hasil Pengukuran oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan kota Bandung pada tahun 2014 dengan lokasi pengukuran di 27 titik. Kebisingan pada kondisi eksisting wilayah perencanaan diestimasi dari titik pengukuran kebisingan yang paling dekat dengan wilayah perencanaan, yaitu hasil pengukuran di Jalan Rumah Sakit pada daerah Ujung Berung yang berjarak 8 km dari wilayah perencanaan. Dari hasil pengukuran diketahui kebisingan di area dekat Jalan Rumah Sakit berdasarkan parameternya dijabarkan dalam Tabel 4.5 berikut. Baku Parameter
Mutu
Nilai Satuan
Sumber
(ug/Nm3)
KepMenLH No. 48 Kebisingan
55
dBA
Tahun 1996
Tabel 4. 5 Data Kebisingan Jalan Rumah Sakit Ujung Berung (Sumber : http://data.bandung.go.id)
69,19
Berdasarkan data pada Tabel 4.5 diketahui bahwa kebisingan pada area pemukiman disekitar Jalan Rumah Sakit melebihi baku mutu yang diperuntukan bagi kawasan bagi pemukiman sesuai dengan peraturan KEPMENLH No. 48 Tahun 1996. Sehingga untuk perencanaan pembangunan jasa pengelolaan B3 perlu menghindari timbulnya kebisingan dari kegiatan salah satunya yaitu dengan rekayasa bangunan untuk meredam timbulnya bising.
4.2 Komponen Biologi 4.2.1 Populasi Ternak Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik populasi hewan pada Kecamatan Gedebage umumnya didominasi oleh hewan ternak karena adanya kegiatan peternakan. Hewan ternak tersebut diantaranya sapi potong, sapi perah, kambing, domba, ayam lokal, ayam ras pedaging, itik dan itik manila. Jumlah populasi dari masing-masing hewan ternak tersebut dijabarkan dalam Tabel 4.6 berikut. Tabel 4. 6 Data Populasi Ternak di Kecamatan Gedebage
(Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bandung, 2013)
4.3 Komponen Sosial 4.3.1 Jumlah Penduduk Jumlah penduduk Kecamatan Gedebage sebanyak 34.299 jiwa pada tahun 2010 (hasil Sensus Penduduk 2010) dengan luas wila yah 979,930 hektar. Berdasarkan angka ini maka kepadatan penduduk di Kecamatan Gedebage rata-rata adalah 35 jiwa per hektar. Tetapi dengan melihat proyeksi penduduk Kecamatan Gedebage tahun 2014 menurut kelurahan, jumlah penduduk mencapai 35.757 jiwa dan dengan luas wilayah sebesar 979,930 hektar maka rata-rata kepadatan penduduk
di Kecamatan Gedebage adalah sebesar 36 jiwa per hektar. Kepadatan penduduk yang tertinggi adalah di Kelurahan Cimincrang dan Rancanumpang sebesar 45 jiwa hal ini dikarenakan di kelurahan tersebut banyak terdapat komplek perumahan. Selanjutnya Kelurahan Rancabolang dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 33 jiwa per hektar. Sedangkan Kelurahan Rancabolang memiliki kepadatan penduduk paling rendah yaitu sebesar 21 jiwa per hektar. Kelurahan Cisaranten Kidul memiliki tingkat kepadatan penduduk terendah dibandingkan dengan kelurahan yang lain karena masih banyak areal pesawahan di kelurahan ini dan banyak lahan yang sudah dibeli oleh perusahaan swasta untuk pengembangan pemukiman penduduk. Kepadatan penduduk yang tinggi pada suatu wilayah merupakan suatu permasalahan tersendiri dalam pembangunan.
4.3.2 Pekerjaan Penduduk Jika penduduk yang tinggal pada wilayah tersebut adalah penduduk usia produktif dan bekerja, tentu merupakan potensi. Namun jika sebagian besar adalah penduduk tidak produktif atau yang tidak bekerja, maka kepadatan penduduk yang tinggi ini menjadi beban. Pada dasarnya penduduk merupakan pusat dari seluruh kebijakan dan program pembangunan yang dilakukan, sebagai partisipan pada berbagai tingkat unit kehidupan, baik sebagai individu maupun sebagai agregat (secara individu ataupun secara kelompok, baik berhubungan maupun tidak). Dalam proses pembangunan, penduduk berlaku sebagai subjek dan objek pembangunan. Selain itu, seiring alih fungsi lahan yang signifikan terjadi di Kecamatan Gedebage, banyak petani yang beralih usaha di sektor lain seperti perdagangan dan jasa. Tetapi lebih buruknya lagi banyak petani yang menjadi buruh tani di lahan garapannya sendiri. Hal ini disebabkan karena lahan yang mereka kelola sudah bukan milik mereka sendiri tapi sudah di beli oleh pengusaha pengembang (developer) yang membeli lahan pertanian di Kecamatan Gedebage secara besar-besaran untuk dijadikan kawasan perumahan dengan sarana dan prasarananya. Selain itu, Pemerintah Kota Bandung yang semula menyewakan lahannya sudah mulai melakukan pembangunan secara bertahap dimulai dengan selesainya pembangunan Sarana Olah Raga (SOR) Gedebage dan bertahap melengkapi sarana dan prasarana lainnya.
4.3.3 Pendidikan Fasilitas pendidikan di Kecamatan Gedebage cenderung tidak mengalami perubahan dibandingkan tahun 2013 tetapi dapat diartikan lengkap karena terdapat sarana pendidikan pada semua strata pendidikan kecuali pendidikan tinggi. Sarana yang tersedia di Kecamatan Gedebage adalah TK (RA), Sekolah Dasar (MI), Madrasah Tsanawiah (MTs), Sekolah Menengah Umum (SMU), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Pada tahun 2014 terdapat 16 TK/RA/BA, 6 Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah, 1 SMP/MTS, 2 SMU/MA yaitu SMU Negeri 27 dan Madrasah Aliyah An Najiyah, serta dua SMK yaitu SMK Negeri 6 dan SMK Muhammadiyah. Pada tahun 2013, jumlah seluruh siswa dari ke 27 sekolah tersebut adalah sekitar 4.292 siswa. Jumlah siswa SMA mencapai 2.025 siswa, Jumlah siswa SMP/MTs sekitar 80 siswa dan sisanya sekitar 2.187 siswa adalah siswa SD/MI dan TK. Rasio murid terhadap guru, atau beban tiap satu orang guru di jenjang SMA mencapai 22 siswa. Sedangkan rata-rata rasio guru terhadap siswa pada jenjang SD/MI adalah 30 siswa dan pada jenjang SPM/MTs adalah 4 siswa.Pembangunan di bidang pendidikan ditempuh pemerintah dengan berbagai cara, salah satunya adalah menyelamatkan siwa-siswa yang kurang mampu dalam hal ekonomi.
4.4 Kesehatan Masyarakat Di Kecamatan Gedebage berbagai fasilitas kesehatan, seperti puskesmas, posyandu, praktek dokter dan lainnya telah tersedia, dalam hal ini Puskesmas merupakan fasiltas tertinggi yang ada di Kecamatan Gedebage. Sedangkan Rumah Sakit Al-Islam adalah Rumah Sakit Swasta terdekat yang berada di kecamatan Rancasari yang berjarak sekitar 2 km dari Kecamatan Gedebage.
Tabel Indikator Kesehatan Kecamatan Gedebage 2014 Fasilitas Kesehatan
2013
2014
Posyandu
45
47
Praktik Dokter
6
7
Praktik Bidan
7
7
Poliklinik
1
4
Apotek
3
3
Adapun posyandu, sebagai pusat pelayanan kesehatan terdekat yang hadir di lingkungan masyarakat jumlahnya relatif banyak, yaitu sebanyak 47 unit. Posyandu ini ada di setiap RW, bahkan untuk RW yang cukup luas dan banyak penduduknya terdapat dua posyandu. Kegiatan di posyandu yang fokus pada pelayanan kesehatan balita (anak-anak usia di bawah lima tahun) dan lansia (penduduk lanjut usia) sangat berperan dalam memantau kesehatan masyarakat. Selain Puskesmas di Kecamatan Gedebage juga terdapat berbagai macam fasilitas kesehatan untuk masyarakat antara lain 4 unit Poliklinik, 7 unit tempat praktek Dokter, 7 unit tempat praktek Bidan, 44 unit Posyandu dan terdapat 3 apotek. Pada tahun 2015 terdapat dua puskesmas di Kecamatan Gedebage, yaitu Puskesmas Riung Bandung dan Puskesmas Cempaka Arum sebagai jejaring dari Puskesmas Riung Bandung. Kehadiran Puskesmas Cempaka Arum sangat membantu
masyarakat
dalam
Kelurahan
Rancanumpang
dan
mengakses kelurahan
fasilitas
kesehatan.
Cimincrang,
Masyarakat
bahkan
sebagian
masyarakat Cisaranten Kidul semakin merasakan dekatnya akses fasilitas kesehatan. Puskesmas selaku pusat kesehatan masyarakat menjadi harapan masyarakat untuk meningkatkan tingkat kesehatannya, mengingatbiayanya yang relatif murah, disamping jumlah dokter praktek yang masih relatif jarang. Selain dari fasilitas kesehatan yang tersedia di Kecamatan Gedebage, kita juga akan melihat keaktifan dari masyarakat Kecamatan Gedebage dalam partisipasi Program Keluarga Berencana Nasional (KB) yang apabila dilihat dari Pasangan Usia Subur (PUS) dapat diketahui seberapa besar peranan dari pasangan usia subur terhadap keaktifan dalam ber KB. Dari data Kecamatan Gedebage dalam Angka diketahui terdapat 611 pasangan usia subur yang menjadi peserta KB aktif dari 8.203 pasangan atau hanya sekitar 7,45% merupakan peserta KB aktif.
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan
1. Adanya kegiatan rumah sakit akan menghasilkan limbah B3 termasuk diantaranya benda tajam, limbah infeksius, jaringan tubuh, limbah sitotoksis, limbah kimia, limbah radioaktif, dan limbah farmasi. 2. Kerugian dari timbulan limbah B3 dari kegiatan rumah sakit secara langsung maupun tidak langsung akan menimbulkan gangguan kesehatan dan membahayakan makhluk hidup yang tinggal di sekitar rumah sakit tersebut. Dari segi lingkungan fisik dampak yang dapat timbul yaitu pencemaran udara, tanah, air, dan laut. Hal ini disebabkan oleh limbah rumah sakit yang mengandung zat kimia, zat radioaktif, dan zat lain yang konsentrasinya cukup tinggi. 3.
Dalam tugas ini dilakukan studi AMDAL terhadap pembangunan industri jasa pengelolaan limbah B3 medis dari 22 rumah sakit yang ada di kota Bandung
dengan jenis pengolahan limbah B3 difokuskan secara termal
menggunakan insinerator. Kewajiban AMDAL pada jenis usaha ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2012