Urgensi Lembaga Negara Penunjang Oleh: A. Irmanputra Sidin Akhir-akhir ini muncul wacana tentang eksistensi lembaga-lembaga negara, seperti komisi negara. Berbagai pandangan ahli muncul bahwa lembaga-lembaga ini termasuk penunjang (state auxiliary organ) atau sekunder (secondary state organ) atau muncul juga dengan nama lain, yaitu kuasi negara atau kuasi lembaga swadaya masyarakat. Lembaga-lembaga ini memang akan disebut sebagai penunjang/sekunder jika kita berangkat dengan pisau bedah konsep trias politika Montesquieu, yaitu adanya kekuasaan yudikatif, eksekutif, dan legislatif. Lembaga negara trias politika ini disebutnya sebagai utama atau primer (primary state institution) jika pemetaan dengan lembaga-lembaga yang relatif independen dan tidak berada dalam salah satu kamar trias politika. Menjadi pertanyaan masih tepatkah konsep trias politika ini dijadikan pisau bedah guna menstigma bahwa lembaga negara saat ini ada yang sifatnya penunjang, sekunder, utama, primer untuk kemudian diperhadap-hadapkan secara subordinat di antara lainnya? Kehadiran lembaga-lembaga negara penunjang ini setuju atau tidak adalah perkembangan reaktif meluas dari sejarah kegagalan konsep negara penjaga malam (nachwachtaersstaat). Ketika peran negara minimalis kemudian muncul antitesis berupa negara kesejahteraan (welfare state), yang ternyata akhirnya juga berlebihan. Akibatnya, inefisiensi, korupsi, dan depresi ekonomi pada abad ke-18 sampai abad ke-20. Akhirnya muncul antitesisnya lagi, yaitu kehadiran lembaga "kuasi", "penunjang" negara yang sesungguhnya berkaitan dengan kegagalan atau pembanding konsep klasik trias politika guna mengelola negara. Rakyat sadar harus mengambil sebagian peran utama trias politika. Karena itu, muncul pandangan bahwa lembaga negara penunjang ini sesungguhnya adalah pemegang kekuasaan keempat. Lembaga negara ini adalah bentuk lain mengelola negara, yang juga terdapat di negara besar yang dibesarkan oleh konsep trias politika. Lembaga seperti ini bersifat ada yang mandiri, independen, kuasi independen, yang memiliki fungsi mengatur dan/atau mengawasi, bahkan menghukum, misalnya self regulatory bodies, independent supervisory bodies. Dalam sejarah ketatanegaraan kita sejak konstitusi yang dibuat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Undang-Undang Dasar 1945), lembaga seperti ini sesungguhnya telah ada. UUD 1945 memang telah ditegaskan Soepomo, tidak menganut konsep trias politika, seperti di Amerika dan Filipina. Tesis Soepomo ini memang terlegitimasi dengan munculnya Dewan Pertimbangan Agung (Pasal 16 UUD 1945) atau Badan Pemeriksa Keuangan (Pasal 23 ayat 5 UUD 1945). Eksistensi lembaga ini tidak masuk dalam salah satu kamar kekuasaan trias politika, apalagi setelah dipertegas dengan munculnya Ketetapan MPR masa lalu tentang eksistensi lembaga tertinggi dan tinggi negara, dengan DPA dan BPK duduk sebagai lembaga tinggi negara dengan presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Mahkamah Agung. Di era reformasi ini, pertumbuhan lembaga-lembaga seperti ini semakin subur, dan tidak masuk dalam kamar-kamar kekuasaan ketika konsep klasik trias politika mengalami degradasi kepercayaan dengan bingkai hukum yang berbeda-beda--mulai level konstitusi, bahkan ada yang muncul melalui peraturan daerah, misalnya Komisi Transparansi dan Informasi di Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Rakyat tidak percaya pelaku kekuasaan kehakiman mengawasi dirinya sendiri, maka hadirlah Komisi Yudisial (Pasal 24-B Perubahan Ketiga UUD 1945); rakyat tidak percaya eksekutif menyelenggarakan pemilu, maka dibentuklah Komisi Pemilihan Umum (pasal 22-E UUD 1945). Eksistensi BPK lebih dipertegas kemandiriannya (Pasal 23-E Perubahan Ketiga UUD 1945), sedangkan DPA dihapus, dan dimasukkan dalam rumpun kekuasaan eksekutif menjadi dewan pertimbangan presiden (Pasal 16 Perubahan Keempat UUD 1945). Belum lagi pada level undang-undang, misalnya reaksi ketidakpercayaan terhadap kejaksaan dan kepolisian (eksekutif) dalam memberantas korupsi melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Komisi Pemilihan Umum muncul guna menyelenggarakan pemilu; kekecewaan terhadap penyiaran dan pers melahirkan Dewan Pers serta Komisi Penyiaran dan masih banyak lagi.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana model manajemen ketatanegaraan kita dengan eksistensi lembaga seperti ini? Setelah perubahan konstitusi, sesungguhnya sudah tidak tepat kita menggunakan termin lembaga "utama" atau hanya "penunjang", meski pelaku kekuasaan trias politika telah ditegaskan dalam konstitusi. Ada pandangan bahwa tanpa kehadiran lembaga "penunjang" negara bisa berjalan. Sesungguhnya tidak seperti itu, karena lembaga "utama" ini telah mengalami degradasi kepercayaan, sehingga kalau dibiarkan, negara bisa menuju kehancuran. Manajemen ketatanegaraan sesungguhnya semakin mirip dengan manajemen sepak bola. Bahwa antara pemain, wasit, hakim garis, dan komisi disiplin tidak berada dalam struktur utama atau penunjang. Tidak berarti penjaga gawang adalah "pelengkap" ujung tombak, tidak berarti libero lebih utama/tinggi daripada bek kiri, begitu seterusnya. Semuanya bermain pada lini masing-masing sesuai dengan peran konstitusi sepak bola yang diberikan kepadanya.
Sistem pemerintahan menurut Locke terdiri atas seorang raja yang memiliki kekuasaan eksekutif dan parlemen yang memiliki kekuasaan legislatif. Sistem ini dinamakannya monarki konstitusional atau monarki parlementer. Badan eksekutif mempunyai hak prerogatif yang tidak berdasarkan pada suatu undang-undang, malah kadang-kadang berlawanan dengan undang-undang, tapi ia tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum atau kebaikan umum, contohnya memanggil parlemen untuk bersidang. Yang menentukan hak tersebut sejalan dengan kepentingan umum adalah seluruh rakyat, yang dalam pelaksanaannya dilimpahkan pada wakil-wakil kepercayaannya di legislatif. Hal ini, menurut Locke, mengakibatkan eksekutif tergantung pada legislatif dan legislatif tergantung pada rakyat. Locke juga sebenarnya menambahkan satu lembaga lagi dalam negara, yang disebutnya dengan kekuasaan federatif. Lembaga ini berfungsi menyelenggarakan kekuasaan tentang hal perang dan damai, pembuatan perjanjian dan persekutuan serta apapun yang diperlukan dalam berhubungan dengan pihak-pihak luar negara. Kekuasaan ini juga tunduk pada legislatif, namun sebagaimana yang dikemukakan oleh Locke sendiri, fungsi federatif ini sebenarnya juga sebaiknya dilakukan oleh eksekutif, sehingga terlihat bahwa Locke sendiri tidak menganggap lembaga ini penting untuk dipisahkan secara tegas. Kerangka pemikiran Locke kemudian lebih dikembangkan dan dipertegas lagi oleh Montesquieu. Dalam pemikirannya yang dikenal dengan konsep trias politika, Montesquieu memisahkan pelembagaan kekuasaan negara dalam tiga fungsi, yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif. Dengan adanya pemisahan kekuasaan yang tegas, diharapkan terjaminnya kebebasan masing-masing lembaga dalam menjalankan kekuasaannya.
Dasar pemikiran Locke dan Montesquieu di jaman modern kemudian mengalami perkembangan yang amat pesat. Mekanisme kelembagaan yang dulu belum menyentuh persoalan-persoalan teknis dan operasional terus mengalami perbaikan-perbaikan. Namun demikan isu-isu yang dikumandangkan tetap tidak berubah yaitu pembatasan kekuasaan negara dalam rangka kedaulatan rakyat (demokratisasi). Kedudukan rakyat dalam teori kedaulatan rakyat berusaha ditempatkan sedemikian rupa dalam pembahasan tentang pelembagaan dalam ketatanegaraan, sehingga pemusatan kekuasaan pada satu orang atau satu lembaga diharapkan tidak terjadi. Munculnya konsep perimbangan kekuasaan terhadap kekuasaan eksekutif memungkinkan tersedianya mekanisme kontrol dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan dan sekaligus meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan publik.
3.5. Kekuasaan Legislatif Kekuasaan legislatif dalam pengertian umum diartikan sebagai kekuasaan membentuk undang-undang. Undang-undang adalah peraturan umum yang mengatur apa yang harus dilakukan oleh pemerintah (executive) dalam tugasnya untuk memenuhi kepentingan rakyat. Dalam sistem negara demokrasi konvensional, kekuasaan membentuk undangundang diserahkan kepada lembaga perwakilan rakyat yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat dalam pemilihan umum. Menurut Montesquieu, kekuasaan ini adalah kekuasaan terpenting dalam negara karena dalam kekuasaan inilah nasib rakyat digantungkan. Oleh karena itu, Montesquieu menekankan pemisahan kekuasaan ini dari lembaga-lembaga lain agar kemurnian kehendak rakyat dapat terlaksana secara optimal. Dalam perkembangan konsep kenegaraan kemudian, fungsi legislatif tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada satu badan saja, namun dikerjakan bersama-sama dengan lembaga lain. Lembaga negara yang dianggap memiliki kompetensi dan kapabilitas dalam hal pembentukan undang-undang selain lembaga perwakilan adalah kepala pemerintahan, yang dalam sistem pemerintahan presidensial dijabat oleh presiden. Kompetensi presiden dalam pembentukan undang-undang timbul dari konsekuensi logis dari kenyataan bahwa presiden dalam sistem pemerintahan presidensial dipilih oleh rakyat, secara langsung ataupun melewati lembaga pemilihan. Kapabilitas kepala pemerintahan sebagai pembentuk undang-undang adalah karena ia merupakan pimpinan dari jajaran aparat birokrasi, yang dalam pemerintahan negara modern memiliki kemampuan teknis dan fasilitas informasi yang sangat baik dibandingkan lembaga-lembaga lain dalam negara. Pembentukan undang-undang yang melibatkan tidak hanya satu lembaga diharapkan akan dapat menghasilkan produk undang-undang yang terbaik. Namun timbul permasalahan, lembaga mana yang akan menjadi pemutus akhir dari suatu produk undang-undang yang akan diberlakukan? Terutama apabila dua lembaga yang diserahkan tanggung jawab tersebut tidak dapat menghasilkan satu persetujuan. Dalam sistem pemerintahan parlementer, kedudukan parlemen sebagai pembentuk undang-undang jauh lebih kuat dari eksekutif, karena eksekutif tergantung kedudukannya pada parlemen. Namun dalam sistem pemerintahan presidensial, kedudukan lembaga perwakilan dan presiden adalah sama kuat, sehingga masing-masing tidak dapat memaksakan kehendaknya apalagi saling menjatuhkan. Apabila pertanyaan ini dikembalikan kepada prinsip-prinsip utama dalam sistem demokrasi, maka jawabannya secara normatif adalah penentuan akhir ada di tangan rakyat. Beberapa negara yang berpenduduk relatif kecil dan tidak mengalami kendala geografis serta didukung oleh teknologi yang memadai, memberlakukan mekanisme persetujuan undang-undang tertentu secara langsung (referendum), misalnya negara Swiss. Namun untuk negara-
negara yang tidak memenuhi tiga kemudahan di atas, tidak mungkin melaksanakan mekanisme tersebut secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, penentuan kehendak rakyat dikembalikan kembali kepada lembaga-lembaga negara dengan pengawasan yang periodik melalui mekanisme pemilihan umum. Pemilihan umum dianggap sebagai mekanisme yang paling fair untuk menilai kinerja lembaga-lembaga negara dan untuk menentukan siapa saja yang mendapat legitimasi guna menyalurkan aspirasi rakyat. Mekanisme pemilu ini juga belum dapat menjawab permasalahan di atas, ia hanya menjawab persoalan tanggung jawab politik dari pelaksanaan kedaulatan rakyat. Mekanisme yang kemudian diajukan adalah mekanisme check and balance. Mekanisme ini dibentuk untuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan salah satu lembaga dalam menjalankan kekuasaannya, dalam hal ini kekuasaan legislatif. Mekanisme ini memberikan kekuasaan yang berimbang kepada masing-masing lembaga dan memberikan peluang untuk saling kontrol dalam pembentukan undang-undang. Pada akhirnya, mekanisme inilah yang dapat menjembatani permasalahan di atas, dengan ditambah adanya dukungan pemberdayaan infrastruktur politik yang kuat. UUD 1945 menetapkan bahwa fungsi legislatif dijalankan oleh Presiden bersama-sama DPR, sebagaimana dikemukakan oleh Kusnardi dan Ibrahim, konsep ini mendudukkan Presiden sebagai "partner" bagi DPR dalam menjalankan fungsi legislatif. Namun dalam prakteknya selama masa orde baru, presiden memiliki kekuasaan yang lebih menonjol dari DPR dalam hal pembentukan undang-undang karena penetapan akhir dari suatu undang-undang yang akan diberlakukan ada di tangan presiden. Menurut konsepsi negara integralistik, kekuasaan yang lebih menonjol ini merupakan konsekuensi logis bahwa presiden adalah pembawa mandat dari MPR yang merupakan lembaga "penjelmaan kedaulatan rakyat". Namun secara empiris, produk undang-undang yang dikeluarkan oleh orde baru ternyata lebih memihak kekuasaan daripada kehendak rakyat Indonesia. Dengan tuntutan demokratisasi dan tranparansi yang berkembang saat ini, konsep tersebut harus didudukkan secara rasional dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu sistem check and balance sudah mendesak untuk diterapkan dengan mekanisme yang jelas. DPR adalah pelaksana fungsi legislatif yang sejajar dengan presiden, dan apabila ada pertentangan antara presiden dan DPR dalam hal persetujuan suatu undang-undang, maka presiden harus menyatakannya secara terbuka dengan menggunakan hak veto yang dimilikinya, sehingga di akhir masa jabatannya masingmasing lembaga dapat dimintakan pertanggungjawabannya, baik di sidang umum MPR atau dalam pemilihan umum.
III. LEMBAGA – LEMBAGA YANG BERWENANG Montesquieu mengutarakan TRIAS POLITICA tentang kkuasaan negara yang terdiri atas 3 ( tiga ) pusat kekuasaan dalam lembaga negara, antara lain : a) Eksekutif b) Legislatif c) Yudikatif
Yang berfungsi sebagai centra – centra kekuasaaan negara yang masing – masing harus dipisahkan. Dalam kaitanya dengan Poliik Hukum yang tidak lain tidak bukan adalah penyusunan tertib hukum negara . Maka ketiga lembaga tersebut yang berwenang melakukannya. Sistem demokrasi yang mengharuskan adanya trias politica (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dari Montesque juga mengandaikan pembagian sistem itu harus berjalan secara efektif, tegas, dan sesuai dengan rel masingmasing. Ketiga-tiganya tidak boleh ada lembaga yang merasa paling superior dan mendominasi yang lainnya.
Montesquieu mengidealkan ketiga fungsi kekuasaan negara itu dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara yang berbeda. Setiap organ menjalankan satu fungsi dan satu organ dengan organ lainnya tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti mutlak. Walaupun tidak secara tegas, negara Indonesia pun mengadopsi bentuk trias politica ini. Seiring berkembangnya ide-ide mengenai kenegaraan, konsep trias politica dirasakan tidak lagi relevan mengingat tidak mungkinnya mempertahankan eksklusivitas setiap organ dalam menjalankan fungsinya masing-masing secara terpisah. Kenyataan menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu pada praktiknya harus saling bersentuhan. Kedudukan ketiga organ tersebut pun sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances. Masyarakat yang semakin berkembang ternyata menghendaki negara memiliki struktur organisasi yang lebih responsif terhadap tuntutan mereka. Terwujudnya efektivitas dan efisiensi baik dalam pelaksanaan pelayanan publik maupun dalam pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan juga menjadi harapan masyarakat yang ditumpukan kepada negara. Perkembangan tersebut memberikan pengaruh terhadap struktur organisasi negara, termasuk bentuk serta fungsi lembaga-lembaga negara. Sebagai jawaban atas tuntutan perkembangan tersebut, berdirilah lembaga-lembaga negara baru yang dapat berupa dewan (council), komisi (commission), komite (committee), badan (board), atau otorita (authority). Dalam konteks Indonesia, kecenderungan munculnya lembaga-lembaga negara baru terjadi sebagai konsekuensi dilakukannya perubahan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945. Lembagalembaga baru itu biasa dikenal dengan istilah state auxiliary organs atau state auxiliary institutions yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai lembaga negara bantu dan merupakan lembaga negara yang bersifat sebagai penunjang. Salah satu lembaga negara bantu yang dibentuk pada era reformasi di Indonesia adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga ini dibentuk sebagai salah satu bagian agenda pemberantasan korupsi yang merupakan salah satu agenda terpenting dalam pembenahan tata pemerintahan di Indonesia. Dengan demikian, kedudukan lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan yang dianut negara Indonesia masih menarik untuk diperbincangkan. Penelitian ini akan membahas lebih lanjut mengenai kedudukan lembaga negara bantu dalam struktur ketatanegaraan RI, tidak hanya ditinjau dari UUD Negara RI Tahun 1945, tetapi juga berdasarkan berbagai pendapat para ahli di bidang hukum tata negara, dengan menjadikan KPK sebagai contoh lembaga negara bantu yang akan dianalisis kedudukannya.
Kata Montesque : "Fox populi fox die" = demokrasi terwujud dalam suara mayoritas rakyat yg berarti suara tuhan.
John Locke dan Montesquieu pun menangis melihat Indonesia In anggaran, bLog, country, dEmokrasi, damai, daya, e-gov, e-goverment, eKsekutif, eValuasi, global, hAm, hIdup, iNtermezo, iSlam, index, indonesia, informasi, kEluarga, kEpemimpinan, kEwarganegaraan, kOrupsi, lEgislatif, mAhasiswa, mAnajemen, mAteri kUliah, nUrani, pEndidikan, pEringkat iNdonesia, pOlitik, peace, ranking, readiness, risiko, risk, sUbsidi, saing, sumber daya, tEknologi iNformasi, teknologi, uang on 27 August 2008 at 3:10 am
Trias Politica merupakan ide pokok Demokrasi Barat, berkembang di Eropa pada abad XVII dan XVIII M. Trias Politica adalah menganggap kekuasaan negara terdiri dari tiga macam : legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Trias Politica menegaskan kekuasaan-kekuasaan ini tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh SATU TANGAN yang berkuasa. Kondisi ini diharapkan dapat menjamin hak-hak azasi warga negara. Ide ini pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755). Filsuf Inggris John Locke mengemukakan konsep tersebut dalam buku Two Treatises on Civil Government (1690), yang ditulis sebagai kritik terhadap kekuasaan absolut raja-raja Stuart di Inggris serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang tahun 1688 (The Glorious Revolution of 1688) yang dimenangkan oleh Parlemen Inggris. Menurut Locke, kekuasaan negara harus dibagi dalam tiga kekuasaan terpisah. Selanjutnya, tahun 1748, filsuf Perancis Montesquieu mengembangkan konsep Locke tersebut dalam bukunya L’Esprit des Lois (The Spirit of Laws), yang ditulisnya setelah dia melihat sifat despotis (sewenang-wenang) dari raja-raja Bourbon di Perancis. Dia ingin menyusun suatu sistem pemerintahan di mana warga negaranya akan merasa lebih terjamin hakhaknya. Ide dua pakar tersebut hebat sekali, jangan sampai kekuasaan ada di satu tangan dan semuanya untuk keterjaminan hak-hak warganegara. Namun andaikata mereka masih hidup dan mau melihat kondisi dan penerapan konsep Trias Politica di Indonesia sekarang, bagaimana? Saya pikir mereka berdua akan menangis tersedusedu dan mungkin sampai kering air matanya ….. Karena ternyata konsep yang bagus diasalahartikan oleh para penguasa yang menjalaninya …. Mereka harusnya hidup dan bertugas sesuai pembagian kerja masing-masing dengan cara yang benar, tetapi mereka rupanya kompak sekali, pembagian tugas oke, pembagian materi juga oke. Sayangnya dengan jalan yang salah, penyalahguanan kekuasaan, The Power tend to corrupt …. Wujudnya, tiang-tiang Trias Politica itu sama-sama harus berurusan dengan KPK! Percaya? Anda harus yakin (haqqul yakin) wong bukti sudah lebih dari cukup. Legislatif, coba cek, betapa banyak anggota DPR dan DPRD harus keluar masuk gedung KPK, keluar masuk pengadilan, berapa pula yang sudah mendekam di
penjara gara-gara korupsi dengan beragam cara. Eksekutif, coba teliti data-data pemberitaan betapa banyak Gubernur, Bupati dan Sekda yang terjerat kasus hukum terutama korupsi. Yudikatif, wouw jangan tanya lagi, berapa jumlah jaksa dan hakim yang keblinger duit milyaran dan akhirnya masuk ruang persidangan bukan bertugas sebagai jaksa/hakim tapi sebagai terdakwa!. Betul-betul, konsep Trias Politica yang salah arah. Ini namanya Bias Politika. kebangeten betul. Jadi, anda percaya khan, kalau John Locke dan Montesqueiu masih hidup terus berkunjung ke Indonesia jadi heran? Geleng-geleng kepala? Bahkan saking kagetnya mungkin langsung pingsan. Bahkan malah mati, karena konsepnya yang bagus itu didemo pula oleh para koruptor dan antek-anteknya.
Trias politika Gagasan pembentukan badan independen yang menangani masalah pajak dan penerimaan negara lainnya sebenarnya bukan hal baru. Salah satu alasan yang mereka usung adalah fungsi dan tanggung jawab sektor perpajakan yang kian besar, sehingga membutuhkan organisasi yang besar pula. Masalahnya, apakah lembaganya yang perlu dipisahkan atau fungsi-fungsi dalam perpajakan yang perlu dipisahkan? Pembentukan badan tersendiri untuk menampung fungsi dan tugas di bidang perpajakan memang mempunyai sederet alasan untuk membenarkan dan sederat pula untuk menolaknya. Jadi, lupakan perselisihan atau benda pendapat antara Menkeu dan Men-PAN. Itu hal biasa yang sangat wajar. Sekarang, lepas dari jadi tidaknya pembentukan Badan baru, yang lebih penting adalah pemisahan fungsi-fungsi perpajakan. Yaitu fungsi legislatif, fungsi yudikatif dan fungsi eksekutif. Ketiga fungsi ini berada dalam satu tangan, yaitu Ditjen Pajak. Fungsi legislatif adalah fungsi yang melekat pada Dirjen Pajak untuk membuat aturan atau ketentuan pelaksana undang-undang. Dalam praktiknya, ada keputusan Dirjen Pajak yang sifatnya murni aturan pelaksana-hanya penjabaran lebih rinci, namun ada pula yang sifatnya material. Contoh, keputusan yang bersifat material adalah penetapan perkiraan penghasilan neto dan jenis-jenis jasa lain (Pasal 23, ayat 1 angka (2) UU PPh) dengan keputusan Dirjen Pajak. Fungsi yudikatif adalah fungsi di bidang peradilan. Ditjen Pajak juga mempunyai fungsi ini, yaitu dalam hal menolak atau mengabulkan permohonan keberatan wajib pajak atas surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPLB). Keberatan pada dasarnya upaya hukum yang dilakukan WP atas ketidakadilan yang dia terima. Jika pemisahan fungsi tersebut dilakukan, maka konsekuensinya adalah institusi yang mengeluarkan SKPLB harus berbeda dengan institusi yang menangani keberatan. Saat ini, dimana keberatan diajukan kepada institusi atasannya akan membuat konflik interest yang tinggi.
Contoh paling nyata kewenangan Ditjen Pajak atas fungsi yudikatif adalah kewenangan untuk menerbitkan Surat Paksa yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sebagaimana ditegaskan dalam Undang -undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Kedua fungsi tersebut seharusnya dipisahkan, sehingga yang ada di tangan Ditjen Pajak adalah fungsi eksekutif. Jika fungsi legislatif dipisahkan maka Ditjen Pajak tidak perlu dipusingkan oleh maraknya permintaan fasilitas dan kemudahan oleh berbagai pihak. Para pejabat di Ditjen Pajak juga tidak akan kambuh sakit kepalanyanya pada akhir tahun karena target penerimaan pajak belum tercapai, misalnya. Tidak seperti saat ini. Akses Ditjen Pajak terhadap transaksi keuangan-khususnya di perbankan-dibatasi habis, namun target penerimaan setiap tahun naik. Ini adalah logika yang amburadul. Bagaimana mungkin dengan lahan yang sama tapi dituntut hasil panen yang naik dari tahun ke tahun. Jika selama ini Ditjen Pajak masih bisa memenuhi, hal itu semata-mata karena kreaktivitas para pimpinan Ditjen Pajak dalam melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi. Namun kedua program tersebut akan mencapai titik maksimal dalam tahun-tahun mendatang, jika tidak ada perluasan akses informasi. Keluhan utama dari Ditjen Pajak saat ini adalah di satu sisi dituntut target penerimaan yang selalu naik dari tahun ke tahun, namun di sisi lain akses terhadap informasi keuangan wajib pajak dibatasi. Repotnya, siapapun Dirjen Pajaknya tidak bisa mengatakan "tidak" terhadap target APBN karena dia sadar betul bahwa dengan memegang tiga fungsi sekaligus di tangannya, orang akan berfikiran Dirjen Pajak adalah seorang Superman.
Dikemukakan oleh James Harrington berabad-abad yang lalu dalam tulisannya yang berjudul Oceana (1656). Lalu, John Locke dalam bukunya yang berjudul Of Civil Government (1690) mengatakan bahwa salah satu cara untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan ialah dengan membuat pemisahan antara kekuasaan legislatif dan eksekutif. Baron de Montesquieu dalam bukunya yang berjudul Spirit of the Laws (1748) menambahkan kekuasaan judikatif sebagai kekuasan ketiga sehingga teori pemisahan kekuasaan lebih terkenal dengan teori trias politica. Dalam pemikiran Montesquieu, pemisahan kekuasaan ketika itu semestinya terjadi diantara raja yang memegang kekuasaan eksekutif, parlemen yang memegang kekuasaan legislatif dan peradilan yang memegang kekuasaan judikatif. Dalam perkembangan selanjutnya, banyak negara di seluruh dunia menggunakan teori trias politica meskipun penerapannya berlainlainan di masing-masing negara. Sementara itu perdebatan tentang teori itu sendiri sebenarnya terus berlanjut sebagai wacana. Para pendukungnya kebanyakan meyakini bahwa pemisahan kekuasaan
berdasarkan trias politica akan dapat melindungi demokrasi dan mencegah kemungkinan tirani kekuasaan. Tetapi sebaliknya para pengritik teori pemisahan kekuasaan menunjukkan bahwa tatanan politik semacam itu ternyata memperlambat proses pemerintahan, terkadang juga bisa menciptakan diktator eksekutif yang cenderung meminggirkan kekuasaan legislatif. Di dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan di banyak negara, penegakan azas-azas demokrasi yang diupayakan dengan pemisahan kekuasaan sesungguhnya tidak ada yang terjadi secara mutlak. Selalu terdapat campuran antara “pemisahan kekuasaan” (separation of powers) dan “penyatuan kekuasaan” fusion of powers). Sebagai buktinya, penyelenggaraan pemerintahan di banyak negara lebih menyerupai garis kontinum antara apa yang disebut sebagai “pemerintahan presidensial” dengan “pemerintahan parlementer”. Pemisahan kekuasaan merupakan ciri yang inheren di dalam sistem presidensial sedangkan penyatuan kekuasaan lebih merupakan ciri sistem parlementer. Dalam kenyataan tidak ada satu pun negara yang menganut salah satu sistem ini secara mutlak. Sebagian literatur juga mengungkapkan bahwa sistem penyatuan kekuasaan (fusion of powers) mengasumsikan bahwa salah satu cabang atau lembaga pemerintahan (biasanya para anggota legislatif yang dipilih oleh rakyat) memiliki kekuasaan tertinggi, sedangkan unsur-unsur pemerintahan yang lain tunduk kepada lembaga ini. Sebaliknya, asumsi pemisahan kekuasaan (separation of powers) mengatakan bahwa setiap lembaga pemerintahan harus terpisah atau independen terhadap lembagalembaga lainnya. Yang dimaksud independent dalam hal ini ialah bahwa masing-masing lembaga harus dipilih secara terpisah atau setidaknya tidak tergantung kepada lembaga lainnya menyangkut eksistensi maupun fungsinya. Dengan demikian, dalam sistem penyatuan kekuasaan seperti yang berlaku di Inggris, legislatif dipilih oleh rakyat dan kemudian lembaga legislatif ini “menciptakan” eksekutif yang melaksanakan kegiatan pemerintahan sehari-hari. Maka sistem parlementer biasanya mengatur bahwa apabila masa jabatan para anggota legislatif berakhir, masa jabatan para eksekutifnya juga berakhir. Sebaliknya, dalam sistem pemisahan kekuasaan seperti yang berlaku di Amerika Serikat, tokoh eksekutif tidak dipilih oleh para anggota legislatif tetapi dipilih dengan cara lain, dalam hal ini pemilihan langsung oleh rakyat, pemilihan oleh konstituen berdasarkan distrik, dan sebagainya. Dalam susunan ketatanegaraan yang seringkali disebut sebagai sistem presidensial ini masa jabatan eksekutif bisa bersamaan atau bisa juga tidak bersamaan dengan masa jabatan legislatif.Tetapi sebenarnya ketika partai yang menguasai eksekutif juga mengontrol legislatif, juga akan terjadi semacam penyatuan kekuasaan yang tentu akan menguntungkan eksekutif. Situasi seperti ini terkadang mengurangi tercapainya tujuan atau kehendak publik bahwa legislatif semestinya lebih demokratis dan “lebih dekat kepada rakyat”, karena dengan begitu forum legislatif tidak ada bedanya dengan “sidang umum konsultatif” yang akan sulit untuk menjamin akuntabilitas pejabat eksekutif. Maka mekanisme kawal dan imbang memang memerlukan evaluasi yang berkesinambungan terhadap sistem yang berlaku. Pada intinya yang harus
diperhatikan ialah bahwa setiap kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan harus dihindari dan legitimasi harus senantiasa dijamin dengan memastikan setiap lembaga untuk saling mengoreksi satu sama lain. Di dalam penerapan sistem ketatanegaraan, praktik pemisahan kekuasaan maupun penyatuan kekuasaan di semua negara cukup banyak variasinya. Seperti telah dikemukakan, sistem pemisahan kekuasaan yang cukup ketat berlaku di Amerika Serikat. Sebaliknya, kecenderungan penyatuan kekuasaan lebih berlaku di Inggris. Dalam sistem ketatanegaraan yang demokratis di India, pemisahan kekuasaan digariskan antara lembaga yang disebut Lok Sabha (majelis rendah), Rajya Sabha (majelis tinggi), dan presiden India yang diberi kekuasaan untuk mengawasi lembagalembaga pemerintah independen termasuk komisi pemilihan umum dan lembaga judikatif. Sementara itu, kepala pemerintahan di India dipegang oleh seorang perdana menteri yang sekaligus berkedudukan sebagai pimpinan partai yang berkuasa dan berhak menunjuk menteri dari para tokoh di partai tersebut. Contoh negara lain yang mengikuti sistem pemisahan kekuasaan ialah New Zealand dan Canada. Di New Zealand, pemerintahan dipimpin oleh seorang perdana menteri seperti halnya yang berlaku di Inggris, tetapi sebagian dari kekuasaan perdana menteri lebih mirip seperti seorang presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Di Canada, secara teoretis terdapat perbedaan yang jelas diantara lembagalembaga pemegang kekuasaan, namun praktik pemerintahan sehari-hari seperti yang biasa berlaku dalam sistem presidensial. Negara yang mengikuti sistem pemisahan kekuasaan biasanya menggunakan sistem pemerintahan presidensial, meskipun teori trias politica sebenarnya tidak menggariskan system semacam itu. Sebuah perkecualian terlihat misalnya di Swiss, di mana lembaga eksekutif dipimpin oleh tujuh orang pejabat presidium yang membentuk sebuah Dewan Federal. Tetapi sebagian pakar berpendapat bahwa Swiss sebenarnya tidak mengikuti sistem pemisahan kekuasaan karena Dewan Federal itu ditunjuk oleh parlemen sedangkan lembaga judikatif tidak punya kekuasaan untuk mengevaluasi penunjukan tersebut. Disamping menunjukkan variasi dalam penerapan sistem penyatuan kekuasaan atau pemisahan kekuasaan, banyak negara yang juga melihat pentingnya lembaga-lembaga lain di luar lembaga yang dirumuskan dalam ajaran trias politica. Dalam literatur internasional, lembaga-lembaga itu biasanya dirujuk dengan istilah generik sebagai lembaga keempat (the fourth branches) dari system ketatanegaraan. Ada yang menyebutkan bahwa lembaga keempat itu adalah birokrasi yang berperan mengatur pelaksanaan pelayanan umum, pers atau media yang menjadi lembaga pembentuk opini publik, mekanisme pemilihan langsung sebagai wujud dari suara masyarakat yang mekanismenya bisa berbentuk referendum, pemilu, atau usulan inisiatif kolektif, dan di beberapa negara tertentu semisal Cina terdapat lembaga yang disebut Kaoshi Yuan yang berperan sebagai wujud dari warisan sistem kekaisaran. Untuk mencegah agar tidak ada sebuah lembaga politik yang kekuasaannya mutlak dan pada saat yang sama mendorong lembagalembaga untuk bekerjasama, sistem tata-pemerintahan yang menganut
pemisahan kekuasaan menciptakan sebuah mekanisme kawal dan imbang, sebagaimana dulu dibayangkan oleh Montesquieu. Kekuasaan presiden, misalnya, akan dibatasi dengan mekanisme pengesahan undang-undang, dijaminnya hak angket atau hak interpelasi dari DPR, dan sebagainya. Sebaliknya, DPR tidak mungkin begitu saja melakukan intervensi kepada kebijakan presiden sebagai kepala eksekutif atau memecat presiden secara semena-mena karena bagaimanapun juga presiden adalah tokoh pilihan rakyat. Untuk konteks Indonesia, secara teoretis kebebasan lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif juga telah dijamin oleh UUD 1945 amandemen yang menetapkan bahwa tokoh di kedua lembaga ini dipilih langsung oleh rakyat dan juga harus bertanggungjawab kepada rakyat. Yang barangkali masih menjadi masalah di Indonesia ialah kebebasan yang menyangkut kekuasaan judikatif dan pertanggungjawaban lembaga ini kepada rakyat. Di negara-negara maju, hakim agung biasanya juga dipilih langsung oleh rakyat sedangkan pencalonannya didasarkan pada kompetensi dan kemampuannya dalam masalah-masalah hukum. Ketentuan di Amerika Serikat mengenai proses peradilan yang memberi tempat terhormat kepada juri, sekelompok pengadil yang diambil dari tokoh-tokoh masyarakat, juga mendorong pertanggungjawaban yang luas kepada publik. Tetapi di Indonesia pemilihan hakim agung masih terlalu mengedepankan unsur kemampuan teknis sedangkan masalah integritas dan akuntabilitas kepada publik masih dinomorduakan. Penentuan jaksa agung juga masih menjadi kewenangan sepenuhnya dari lembaga eksekutif, dalam hal ini presiden. Amandemen konstitusi memang juga mulai mengarah kepada penempatan lembaga judikatif dalam posisi yang lebih penting. Ditetapkannya Mahkamah Konstitusi yang dapat menjadi rujukan legal dalam persoalan-persoalan hokum ketatanegaraan merupakan sebuah langkah maju bagi peran lembaga legislatif. Tetapi semenjak reformasi politik di Indonesia setelah pergantian dari rejim Orde Baru, reformasi lembaga judikatif tampaknya merupakan salah satu agenda yang masih tertinggal. Masih meluasnya penyalahgunaan kekuasaan dan mekanisme peradilan bagi para koruptor yang tidak jelas merupakan bukti betapa tertinggalnya reformasi di bidang hukum dan peradilan ini. Pola yang dikembangan dalam mekanisme kawal dan imbang di tingkat daerah juga menunjukkan banyak variasi di pelbagai negara. Di Amerika Serikat, misalnya, pemerintahan di tingkat negara bagian (states) serupa dengan pembagian antara kekuasaan eksekutif, legislatif dan judikatif di tingkat federal. Tetapi di tingkat lokal (county), tatanan kawal dan imbang yang diterapkan sangat variatif. Karena lembaga-lembaga judikatif seringkali merupakan bagian dari pemerintah negara bagian atau pemerintah kota tertentu, maka tugas para hakim seringkali tidak mengikuti batas-batas geografis. Yang menarik ialah bahwa di banyak pemerintah negara bagian atau pemerintah lokal di Amerika Serikat otoritas eksekutif dan otoritas peradilan terpisah secara jelas dan rakyat diberi kesempatan untuk secara langsung memilih para jaksa agung daerah (district attorney di tingkat lokal atau attorney-general di tingkat negara bagian). Di beberapa negara bagian, para hakim agung dipilih secara langsung. Bahkan tokoh-tokoh penegak hukum tertentu di
tingkat lokal seperti sheriff, school boards, atau park commisioners, juga dipilih secara langsung. Seperti dijelaskan sebelumnya, proses peradilan di Amerika Serikat juga mengedepankan peran para anggota juri yang dipilih secara acak dari unsur-unsur masyarakat, sebagai salah satu cara penting untuk mencegah keputusan yang sewenang-wenang dari para pejabat eksekutif maupun para hakim. Di negara Asia yang sama-sama menggunakan pola dua tingkatan pemerintahan daerah seperti di Korea Selatan, pola kawal dan imbang yang diterapkan juga sangat khas. Pemerintah provinsi di Korea Selatan bertugas mengkoordinasikan pemerintahan di tingkat distrik atau kota, yang di bawahnya terdapat satuan-satuan wilayah lebih kecil yang disebut Eup atau Myon. Yang menarik dalam hal ini ialah bahwa pembagian kekuasaan diantara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif di tingkat lokal dijabarkan dengan tegas seperti tampak dalam Tabel 1. Tabel 1. Pola Pembagian Kekuasaan Eksekutif-Legislatif di Tingkat Lokal Dewan Lokal Kepala Daerah • Mengesahkan peraturan daerah • Menyidik pelaksanaan pemerintahan • Menilai dan memutuskan usulan anggaran • Mengumumkan peraturan daerah • Menggunakan hak veto • Merumuskan usulan anggaran • Mengusulkan rancangan peraturan daerah • Menyetujui penutupan rekening tertentu • Memanggil kepala daerah dan pejabat daerah dalam pertemuan dengar-pendapat dewan • Menghadiri pertemuan dengan dewan • Meminta diadakannya sidang khusus oleh dewan • Menunjuk staff administratif bagi dewan lokal Sumber: UNESCAP (United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific), 2006 Dalam sistem kawal dan imbang yang dikembangan di Korea Selatan
tersebut, dewan lokal tidak boleh melakukan intervensi terhadap kewenangan yang didelegasikan oleh pemerintah pusat, yang proporsinya sekitar 50 persen dari seluruh kewenangan pemerintah daerah. Tetapi sebaliknya kepala daerah punya hak veto untuk menolak keputusan dewan lokal dalam situasi tertentu. Dalam hal ini tampak bahwa dari segi desentralisasi pemerintahan daerah di Korea Selatan masih termasuk konservatif karena tidak semua urusan diserahkan penuh ke daerah. Namun mekanisme kawal dan imbang antara eksekutif dan legislatif yang didukung dengan kemungkinan untuk melakukan dengar-pendapat di tingkat lokal sudah berjalan dengan relatif baik. Untuk mengembangkan model kawal dan imbang yang baik, perlu diperhatikan bahwa sesungguhnya tidak ada rumusan kaku yang harus diikuti. Variasi di banyak negara menunjukkan bahwa konteks budaya politik dan perkembangan sistem demokrasi lokal yang berkembang di suatu negara akan sangat menentukan model yang dibuat. Pada dasarnya, pembedaan yang alami antara bentuk lembaga eksekutif dan legislatif tidak mungkin dilakukan secara kaku. Peraturan (legislasi) yang disahkan harus bisa dilaksanakan (dieksekusi) dan setiap tindakan dari eksekutif senantiasa membutuhkan peraturan-peraturan baru. Yang harus dipastikan ialah bahwa setiap peraturan yang dilaksanakan itu harus bisa menjamin peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat. b. Perkembangan Mekanisme Kawal dan Imbang dalam Pemerintahan Daerah di Indonesia Pada masa pemerintahan Orde Baru, sebenarnya hampir tidak ada sistem yang menjamin adanya mekanisme kawal dan imbang yang sehat karena rejim pemerintahan sebagian besar dikuasai oleh eksekutif dengan unsur militer sebagai pendukung utamanya. Sentralisasi kekuasaan oleh Orde Baru ketika itu bukan saja meminggirkan legislatif di tingkat pusat tetapi juga mengakibatkan penetrasi pemerintah pusat yang berlebihan kepada struktur pemerintahan daerah. Untuk pertama kalinya, UU No.5 tahun 1974 menggariskan tiga azas yang menentukan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yaitu: azas dekonsentrasi, azas desentralisasi dan azas tugas pembantuan. Mula-mula, azas dekonsentrasi dimaksudkan agar para pejabat daerah tetap bertanggungjawab kepada pemerintah pusat dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan. Selain itu azas dekonsentrasi juga dimaksudkan agar peran pemerintah pusat dalam membina pemerintah daerah tetap dapat dilaksanakan.