Terperanjat Disadari bahwa isu ini sangat sensitif untuk dikemukakan di udara terbuka demokr asi kita saat ini. Setelah SBY mengintervensi berbagai kekuatan melalui berbagai pengaruhnya, sepertinya negara bakal kehilangan kekuatan check and balancenya. Simak saja dua peristiwa politis yang membuat kita terperanjat berikut ini. Pertama, tiba-tiba Taufik Kiemas menjadi Ketua MPR setelah melalui loby-loby pol itik yang cantik (TV One, 2 Okt 09) dan SBY menyempatkan diri untuk pulang dari pertemuan G-20 demi menghadiri pelantikannya. Kendatipun sebenarnya kepulanganny a lebih disebabkan oleh gempa padang, namun pertemuan keduanya menyiratkan simbo lisasi afiliasi politis yang mengkhawatirkan pola relasi antara MPR dengan Presi den. Faktor dukungan Partai Demokrat juga turut berpengaruh. Kedua, Tumpak Hatorangan sekarang menjadi Ketua KPK bersama Waluyo dan Mas Achma d Santosa (Pakar Hukum Lingkungan) setelah melalui proses panjang. Terpilihnya k etiga orang tersebut melalui seleksi ketat Tim Lima diikuti kontroversi di seput ar legalitas Perpu yang memandatkan kepada Presiden untuk menunjuk langsung Ketu a KPK. Keterlibatan Presiden dalam mengatur KPK yang notabene memiliki kewenanga n hukum dipertanyakan banyak kalangan. Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi menilai, adanya pimpinan KPK yang dipilih Presi den membuat lembaga itu kian terkooptasi kepentingan pemerintah. Pemberantasan k orupsi menjadi kian jauh dari tujuannya karena independensi KPK kian menipis (Ko mpas, 7 Oktober 2009). Sehari setelahnya, di Harian yang sama, Inspektorat Penga wasan Umum Mabes Polri menyatakan Susno Duaji dinyatakan tidak bersalah atas pen yalahgunaan wewenang terhadap pemeriksaan Bibit-Chandra kendatipun sebelumnya di a diduga terlibat dalam kasus Bank Century. Amandemen Kekuasaan Hebatnya, kompetensi peradilan formal (pidana) dilewati oleh Mabes Polri. Penyel esaian kasus pidana tidak melalui peradilan. Kapolri bersikukuh tidak mau menona ktifkan Susno. Alih-alih menyerahkan penyelesaian ke ranah yuridis, Kapolri lebi h memilih melindungi korpsnya (le esprit de corps). Masih begitu mudahnyakah oto ritas yudikatif di negeri ini diintervensi eksekutif? Disinyalir barisan sakit h ati korban KPK dan sebagian anggota DPR yang risau akan gerakan KPK berada dibal ik semua ini. Amandemen UUD 1945 pada pasal 2 telah menjadikan negara kita tidak menganut lagi pendistribusian kekuasaan (distribution of power) di bawah kendali MPR. Dulu ki ta memiliki MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang bercokol di puncak hierark i yang membawahi sekaligus mendistribusikan kekuasaan kepada lembaga-lembaga lai nnya (Presiden, DPR, MA). Sekarang tidak lagi, karena Presiden sudah dipilih lan gsung oleh rakyat dan proses pemberhentiannya lebih sulit karena mesti atas peng ajuan DPR yang di-acc MK(Jimly:2009;505). Artinya MPR dalam hal impeachment ini berbagi tanggung jawab dengan DPR dan MK Kewenangan MPR kita telah dilemahkan sehingga lembaga-lembaga negara semacam Pre siden, DPR, MA, dan MK memiliki otoritas yang memungkinkan membangun pola hubung an saling mengendalikan (check and balance) lebih proporsional (Jimly : 2009; 50 4) Kekuatan yang hampir setara inilah yang dikenal dengan separation of power (p emisahan kekuasaan) sebagaimana dimaksud oleh Montesquieu dengan Trias politika. Sebagai misal, jika DPR dan Presiden memproduksi UU yang bertentangan dengan kon stitusi maka dapat dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum oleh MK. Sementara i tu kekuasaan kehakiman yang dipegang oleh MA tidak dapat diganggu gugat oleh Pre siden maupun DPR sebagai legislatif. Namun kewenangan MA untuk uji menguji perat uran sedikit dibawah MK. MA hanya menguji peraturan dibawah UU, sedangkan MK bis a judicial review, yaitu menguji UU terhadap Konstitusi. Quasi Trias Politica
Titles you can't find anywhere else
Try Scribd FREE for 30 days to access over 125 million titles without ads or interruptions! Start Free Trial Cancel Anytime.
Titles you can't find anywhere else
Try Scribd FREE for 30 days to access over 125 million titles without ads or interruptions! Start Free Trial Cancel Anytime.
Azas pemisahan kekuasaan sudah sedemikian jelas. Seharusnya legislatif, eksekuti f dan yudikatif mulai dari hierarki lapis pertama hingga terbawah tidak lagi sal ing mencampuri urusan karena hanya akan menurunkan derajat independensi. Interve nsi presiden mungkin bermaksud baik demi memperlancar pemberantasan korupsi agar tidak dikontaminasi oleh kepentingan legislatif (DPR). Sehingga dengan kewenang annya dibuatlah Perpu. Tapi haruskah kita selalu menggantungkan semuanya pada pe ran presiden? Dimanakah kemandirian itu? Atau jangan-jangan kita membutuhkan kem bali demokrasi terpimpinnya Sukarno (Wertheim :2008: 143) demi mengatasi berbaga i kebuntuan? Sejarah membuktikan bahwa Negeri ini selalu mencoba berdamai dengan polarisasi d an lebih memilih mencari jalan ketiga (Third Way) mengingatkan jalan yang ditemp uh Gidden (2000). Lalu apa coba? Presidensial bukan, Parlementer juga tidak. Sep aration of power nggak, distribution of power juga never. Semuanya serba quasi ( semu). Banyak teman bilang asal tidak semu dalam pemberantasan korupsi dan penci ptaan keadilan social, quasi yang wajar sepertinya masih bisa ditolerir. Apa bol eh buat, meski gawat kita lewat? (tom)