Transformasi Menuju Akuntansi Hijau* Andreas Lako Guru Besar Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Soegijapranata, Semarang; Pengurus Pusat IAI-KAPd Seksi Corporate Governance dan CSR Email:
[email protected]
Dalam tiga dekade terakhir, masyarakat global dihadapkan pada dua kondisi dilematis dalam membangun tata dunia baru. Di satu sisi, muncul berbagai inisiatif politik dan gerakan global dari para pemimpin negara, korporasi dan masyarakat dunia untuk membangun kolaborasi global dalam rangka mengintegrasikan berbagai kepentingan politik, ekonomi, perdagangan, keamanan dan lainnya ke dalam satu visi, misi dan tujuan yang sama dalam upaya membangun tata dunia baru yang lebih aman, damai dan sejahtera. Namun di sisi lain, dunia juga dihadapkan pada realitas yang mengkuatirkan, yaitu bumi tempat dimana manusia berada dan membangun peradaban kehidupan sedang mengalami multikrisis yang serius. Bumi sedang mengalami "sakit parah" akibat perbuatan manusia. Perilaku hidup manusia yang tidak ramah lingkungan telah menyebabkan pemanasan global, perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang parah sehingga menimbulkan berbagai bencana lingkungan dan sosial yang serius pula. Karena itu, muncul pula berbagai agenda aksi global untuk menyelamatkan bumi dan kehidupan semesta alam agar tetap sehat dan lestari. Apa pemicu dan pemacu bumi sakit serius? Berbagai hasil analisis menunjukkan faktor penyebabnya sangat kompleks. Kapitalisme, industrialisasi, ketidakadilan, kemiskinan, konsumerisme, perdagangan bebas, transformasi produksi, perkembangan teknologi, ketamakan, dan transformasi peradaban kehidupan manusia dituding menjadi faktor penyebabnya (Gore, 2013). Akuntansi dan para akuntan pun dituding turut berkontribusi terhadap sakitnya bumi dan terjadinya multikrisis lingkungan selama ini (Maunders dan Burritt, 1991; Gray dan Bebbington, 2001). Alasannya, informasi akuntansi yang dihasilkan dari proses akuntansi dan diproduksi oleh para akuntan dinilai telah menyesatkan dan mendorong perilaku tamak dan serakah dari para pemangku kepentingan (stakeholders) sehingga menimbulkan multikrisis sosial dan lingkungan yang kian parah. Proses akuntansi dinilai mengabaikan pengakuan, pengukuran nilai, pencatatan, peringkasan, pelaporan dan pengungkapan Artikel ini merupakan pengembangan dari artikel “Transformasi Menuju Akuntansi Hijau” yang diterbitkan majalah CPA Indonesia, edisi 7 Juni 2016, hlm 52-54 *
informasi terkait obyek-obyek, peristiwa-peristiwa atau transaksi-transaksi sosial dan lingkungan dalam proses akuntansi dari suatu entitas. Prinsip-prinsip akuntansi berterima umum (PABU) dan standar akuntansi keuangan konvensional yang menjadi rujukan dalam praktik-praktik akuntansi di dunia umumnya mengabaikan faktor-faktor lingkungan dan sosial. Akibatnya, informasi akuntansi yang disajikan kepada para pemangku kepentingan atau pemakai (users) menjadi tidak lengkap, tidak akurat dan bahkan menyesatkan. Pengabaian dan ketiadaan informasi akuntansi hijau juga menyebabkan perilaku serakah, tamak dan tidak peduli lingkungan baik pada level kebijakan politik pemerintahan dan level dunia bisnis, maupun pada level kehidupan rumah tangga pada masyarakat luas (Greenham, 2010; Lako, 2015). Karena itu, dalam satu dekade terakhir muncul desakan dari berbagai pihak agar paradigma akuntansi konvensional yang lebih menekankan pada aspek-aspek Akuntansi Keuangan segera direformasi dan ditransformasikan ke Akuntansi Hijau (Green Accounting). Tujuannya, agar proses akuntansi, yaitu pengakuan, pengukuran nilai, pencatatan, peringkasan, pelaporan dan pengungkapan informasi akuntansi, dapat mengintegrasikan aspek-aspek keuangan, sosial dan lingkungan secara terpadu dalam satu paket pelaporan sehingga bisa menghasilkan informasi akuntansi keuangan, sosial dan lingkungan secara utuh dan terintegrasi. Proses akuntansi dan pelaporan secara terpadu tersebut tentu saja akan meningkatkan relevansi, reliabilitas dan kebermanfaatan informasi akuntansi bagi para pihak dalam penilaian dan pengambilan keputusan ekonomi dan nonekonomi yang lebih ramah terhadap lingkungan dan masyarakat.
Transformasi menuju Akuntansi Hijau Transformasi menuju Akuntansi Hijau dirasakan kian mendesak di Indonesia karena negeri ini juga sedang menghadapi fenomena pemanasan global, perubahan iklim, kerusakan dan bencana lingkungan, krisis energi dan krisis sosial yang makin serius. Hal ini penting karena akuntansi juga dituding turut memicu dan memacu terjadinya kompleksitas krisis tersebut. Alasannya, karena informasi akuntansi keuangan yang dihasilkan dalam proses akuntansi selama ini dinilai tidak menyajikan informasi akuntansi sosial dan lingkungan yang memadai dan akurat, dan bahkan cenderung salah kaprah. Akibatnya, selain menyesatkan para pihak dalam penilaian dan pengambilan keputusan, ketiadaan informasi akuntansi sosial dan lingkungan tersebut juga telah menyebabkan para pihak stakeholder berperilaku serakah dan tamak dalam memaksimalkan nilai laba dan ekuitas pemilik serta aset mereka. Mereka mengeksploitasi sumberdaya alam dan merusak lingkungan serta mengekploitasi sumberdaya ekonomi masyarakat secara serakah dan tamak demi mewujudkan hasrat ekonomi mereka. Akuntansi konvensional juga dinilai telah gagal dalam mengembangkan rerangka konseptual dan standar akuntansi hijau untuk mendasari praktik akuntansi dan tatakelola keuangan yang etis dan ramah lingkungan (Lako, 2016a,b).
Selain itu, reformasi dan tranformasi akuntansi konservatif menuju Akuntansi Hijau juga kian penting dan mendesak karena dalam beberapa tahun terakhir kepedulian dari pemerintah untuk mengaplikasikan konsep Ekonomi Hijau (Green Economy) dalam model Pembangunan Berkelanjutan nasional makin serius. Demikian pula kepedulian dunia bisnis terhadap gerakan “tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR)” yang bersifat sukarela, tanggung jawab sosial dan lingkungan perseroan (TJSLP) yang bersifat wajib, dan bisnis hijau (green business) serta tatakelola korporasi hijau juga makin meningkat. Meningkatnya kesadaran dan kepedulian tersebut tentu saja membawa konsekuensi serius bagi entitas korporasi berupa pengorbanan sumberdaya ekonomik (aset) dan daya-upaya (efforts) untuk melaksanakannya. Selama ini, secara akuntansi pengorbanan sumberdaya ekonomi (costs) dan daya-upaya (efforts) untuk melaksanakan CSR, TJSLP, green business, green corporation dan green governance umumnya diperlakukan sebagai beban atau biaya periodik (expense) yang mengurangi aset dan laba serta nilai ekuitas pemilik. Itu sebabnya, banyak pelaku usaha yang telah melaksanakan CSR dan menerapkan prinsip-prinsip green business dalam tatakelola korporasi dan praktik bisnisnya meminta insentif pajak dan kompensasi lainnya dari pemerintah. Namun di sisi lain, perlakuan akuntansi tersebut menimbulkan beragam komplikasi permasalahan yang serius bagi negara dan masyarakat konsumen. Karena diperlakukan sebagai biaya periodik yang mengurangi laba maka pajak penghasilan badan (PPh Badan) yang dibayarkan korporasi kepada negara menjadi jauh lebih rendah. Saya mencermati, banyak korporasi secara agresif menggunakan pendekatan CSR, TJSLP dan green business sebagai strategi untuk penghindaran pajak (tax avoidance). Selain itu, biaya-biaya untuk melaksanakan CSR, TJSLP dan green business pada akhirnya juga diperhitungkan dalam komponen penentuan harga jual produk atau jasa (pricing strategy) yang akan dibebankan kepada masyarakat pembeli atau konsumen. Jadi, masyarakat konsumenlah yang sesungguhnya menanggung biaya CSR, TJSLP dan green business korporasi. Sementara pada sisi yang lain, korporasi juga mendapatkan banyak manfaat ekonomi dan nonekonomi dari pengorbanan sumberdaya ekonomi untuk melaksanakan CSR, TJSLP dan green business tersebut. Manfaat tersebut antara lain menurunnya risiko sosial (social risk), risiko lingkungan (environment risk), risiko politik (political risk), risiko pasar (market risk), risiko bisnis (business risk) dan risiko keuangan (financial risk) sehingga memudahkan akses bisnis, investasi dan kredit. Juga meningkatkan reputasi dan nama baik perusahaan serta apresiasi para stakeholder sehingga meningkatkan pangsa pasar, penjualan, pendapatan dan nilai perusahaan. Pada akhirnya, semua manfaat ekonomi dan nonekonomi tersebut akan meningkatkan pendapatan, laba, ekuitas dan aset, meningkatkan harga saham dan nilai pasar perusahaan, serta mendorong pertumbuhan bisnis dan keberlanjutan korporasi dalam jangka panjang. Singkatnya, perusahaan atau entitas korporasi sesungguhnya mendapat manfaat berlipat ganda dari pengorbanan sumberdaya ekonomi dan nonekonomi untuk melaksanakan TSJLP, CSR dan green business.
Namun, sangat disayangkan akuntansi justru tidak mengakui dan mengukur nilai kebermanfaatan tersebut. Karena itu, sebagai bagian dari entitas korporasi, akuntansi mau tak mau harus segera merespon secara bijak sejumlah permasalahan serius tersebut dengan mereformasi paradigma akuntansi, prinsip-prinsip akuntansi berterima (PABU), dan standar akuntansi yang mendasari praktik akuntansi menuju ke paradigma Akuntansi Hijau atau akuntansi yang lebih ramah terhadap lingkungan dan masyarakat. Pertanyaannya, aspek-aspek akuntansi apa saja yang perlu direformasi dan ditransformasikan, serta bagaimana caranya? Menurut hemat saya, reformasinya perlu difokuskan pada tiga aspek utama berikut yaitu Definisi Akuntansi Hijau, Prinsip-prinsip Akuntansi Hijau dan Rerangka Konseptual Akuntansi Hijau. Apabila ketiga aspek tersebut telah direformasi dan ditransformasikan maka langkah selanjutnya adalah mereformasi standar akuntansi konvensional.
1. Definisi Akuntansi Hijau Akuntansi Hijau merupakan paradigma baru dalam akuntansi yang menganjurkan bahwa fokus dari proses akuntansi tidak hanya tertuju pada transaksi-transaksi, peristiwa-peristiwa atau obyek keuangan, tapi juga pada obyek-obyek, transaksi-transaksi atau peristiwa-peristiwa sosial dan lingkungan. Pemahaman tersebut merujuk pada teori atau model triplebottom line of business yang digagas Elkington (1997, 2001).
Secara konseptual, Akuntansi Hijau dapat didefinisikan sebagai: “Suatu
proses pengakuan, pengukuran nilai, pencatatan, peringkasan, pelaporan dan pengungkapan informasi terhadap transaksi-transaksi, peristiwaperistiwa dan atau obyek-obyek keuangan, sosial dan lingkungan secara terintegrasi yang berguna bagi para pemakai dalam penilaian dan pengambilan keputusan ekonomi, manajerial dan lainnya. “
Berdasarkan teori triple bottomline Elkington, Akuntansi Hijau memiliki tiga pilar dasar. Pilar pertama adalah akuntansi lingkungan (planet accounting), yaitu proses akuntansi yang mengakui, mengukur, mencatat, meringkas dan melaporkan transaksi-transaksi, peristiwa-peristiwa atau obyek lingkungan untuk menghasilkan informasi akuntansi lingkungan. Pilar kedua adalah akuntansi sosial (people accounting) yaitu proses akuntansi yang mengakui, mengukur nilai, mencatat, meringkas dan melaporkan informasi akuntansi terkait transaksi-transaksi atau peristiwaperistiwa sosial-masyarakat dari suatu entitas untuk menghasilkan informasi akuntansi sosial. Pilar ketiga adalah akuntansi keuangan (profit accounting) yaitu proses akuntansi yang mengakui, mengukur nilai, mencatat, meringkas dan melaporkan transaksitransaksi atau peristiwa-peristiwa keuangan dari suatu entitas untuk menghasilkan informasi akuntansi keuangan. Dengan kata lain, pilar dasar (bottom-line) dari informasi akuntansi adalah informasi akuntansi lingkungan, sosial dan keuangan. Ketiga pilar dasar informasi
tersebut saling terintegrasi satu sama lain (Deegan, 2013). Dengan demikian, secara konseptual Akuntansi Hijau dapat didefinisikan sebagai berikut: “Suatu proses pengakuan, pengukuran nilai, pencatatan,
peringkasan, pelaporan dan pengungkapan informasi berkenaan dengan transaksi-transaksi, peristiwa-peristiwa dan atau obyek-obyek keuangan, sosial dan lingkungan secara terpadu dalam proses akuntansi agar dapat menghasilkan informasi akuntansi yang terpadu, utuh dan relevan yang dapat berguna bagi para pemakai dalam penilaian dan pengambilan keputusan ekonomi dan nonekonomi.”
2. Prinsip-Prinsip Akuntansi Hijau Secara umum, ada empat prinsip utama yang mendasari Akuntansi Hijau (Lako,2016b). Pertama, pengorbanan sumberdaya ekonomi dari suatu entitas untuk melaksanakan ekonomi hijau, bisnis hijau, CSR dan TJSLP dapat diakui sebagai pengorbanan investasi apabila pengorbanan tersebut dinilai dapat memberikan manfaat ekonomi (tangible benefits) dan nonekonomi (intangible benefits) yang cukup pasti bagi entitas korporasi di masa sekarang maupun di masa datang. Kedua, prinsip matching antara cost-benefit dan antara effort-accomplishment terhadap pengorbanan sumberdaya ekonomi untuk ekonomi hijau, bisnis hijau dan CSR/TJSLP tidak hanya diberlakukan pada periode akuntansi yang sama tapi juga untuk periode-periode selanjutnya apabila pengorbanan tersebut dinilai memiliki potensi manfaat ekonomi dan nonekonomi yang cukup pasti di masa datang (prinsip aset/investasi). Ketiga, proses akuntansi yaitu pengakuan, pengukuran nilai, pencatatan, peringkasan, pelaporan dan pengungkapan informasi akuntansi harus memadukan informasi keuangan, sosial dan lingkungan secara terintegrasi dengan tujuan untuk memberikan informasi akuntansi yang utuh, relevan dan reliabel kepada para pemakai dalam penilaian dan pengambilan keputusan ekonomi dan nonekonomi. Keempat, tujuan umum dari Akuntansi Hijau adalah menyediakan informasi akuntansi keuangan, sosial dan lingkungan yang terintegrasi dan relevan, reliabel serta berguna untuk membantu para pemangku kepentingan (stakeholders) dan para pemakai lainnya dalam menilai kinerja dan nilai korporasi, risiko dan prospek pertumbuhan korporasi, kualitas manajemen dalam pengelolaan entitas korporasi, dan keberlanjutan korporasi sebelum mengambil keputusan-keputusan ekonomi dan nonekonomi yang bersifat strategis, taktis dan oprasional.
3. Rerangka Konseptual Akuntansi Hijau Secara umum, rerangka konseptual (conceptual framework) Akuntansi Hijau berisi hal-hal umum dan khusus berikut: 1) tujuan, sasaran, manfaat dan para pemakai dari Akuntansi Hijau, 2) asumsi-asumsi dan konsep-konsep dasar yang mendasari Akuntansi Hijau; 3) karakteristik kualitatif informasi Akuntansi Hijau, 4) pengakuan Akuntansi Hijau; 5) Elemen-elemen Laporan Akuntansi Hijau; dan 6) pengukuran nilai dan pelaporan informasi Akuntansi Hijau. Selain itu, rerangka konseptual Akuntansi Hijau juga perlu menjelaskan definisidefinisi kunci (key definitions) dan karakteristik Akuntansi Hijau, serta metodologi akuntansi untuk menilai isu-isu responsibilitas, transparansi, akuntabilitas dan sustainabilitas suatu entitas korporasi.
Referensi
Deegan, C. 2013. The Accountant will have a central role in saving the planet... Really A reflection on ‘green accounting and green eyeshades twenty years later’. Critical Perspectives on Accounting. Vol. 24.pp 448-458 Elkington, J. 1997. Cannibals with Forks: The Tripple Bottom Line of 21st Century Business. Capstone, Oxford Elkington, J. 2001. The Chrysalis Economy: How Citizen CEOs and Corporations can Fuse Values and Value Creation. Capstone Publishing Ltd. United Kingdom. Gore, A. The Future: Six Drivers of Global Change. Random House. New York Gray, R. dan J. Bebbington. 2001. Accounting for the Environment. Second Edition. Sage Publishing Ltd. London Greenham, T. Green Accounting: A Conceptual Framework. International Journal of Green Economics. Vol.4, Issue4, hlm 333-345 Lako, A. 2014. Menghijaukan Akuntansi dan Akuntan. CPA Indonesia. edisi 7 Juni 2014, hlm 52-54 Lako, A. 2015. Green Economy: Menghijaukan Ekonomi, Bisnis & Akuntansi. Penerbit Erlangga. Jakarta Lako, A. 2016a. Transformasi Menuju Akuntansi Hijau. Desain Konsep dan Praktik. Paper disajikan dalam Simposium Nasional Akuntansi (SNA) ke-19 Lampung untuk sesi Corporate Governance, CSR & Green Accounting IAI-KAPd pada 26 Agustus 2016
Lako, A. 2016b. Konstruksi Teori Akuntansi Hijau dan Strategi Pendidikan Akuntansi. Paper disajikan dalam Seminar Nasional dan Kolaborasi Riset IAI-KAPd sesi Corporate Governance & CSR. Universitas Negeri Surakarta, 12-13 November 2016 Maunders, K.T. & R.L. Burritt. 1991. Accounting and Ecological Crisis. Accounting, Auditing, & Accountability Journal. Vol. 4. No.3.pp 9-26