M.K. Arsitektur Bali 1
TUGAS
TIPOLOGI BANGUNAN PARAHYANGAN
Anggota Kelompok 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tonny Hidayat Clarrisa Vyensa Puri Trisnayati Awitta Putri I Gusti Agung Landevaningrat Ag. A. I. Dharmamega Kelakan Septian Aprilianto
JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS UDAYANA MARET 2015
08-107 14-062 14-086 14-098 14-102 14-106
Bab I Pendahuluan
I.1. Latar Belakang Sebagai manusia yang hidup di dunia modern, hal-hal yang berbau tradisional memang dirasa sulit untuk terus dilestarikan. Apalagi adanya anggapan bahwa sesuatu yang tradisional adalah hal yang ketinggalan zaman. Hal ini semakin menambah tantangan untuk melestarikan adat dan budaya. Arsitektur Tradisional Bali merupakan salah satu kebudayaan daerah Bali yang menjadi sumber kebudayaan nasional Indonesia. Sebagai salah satu sumber kebudayaan, tentu sudah merupakan kewajiban bagi warga negara Indonesia untuk turut serta dalam menjaga dan melestarikan kebudayaan bangsa. Dalam pengertiannya, Arsitektur Tradisional Bali bukan hanya menyangkut bangunan perumahan. Namun seluruh aspek bangunan yang ada dan berdiri serta mengikuti aturanaturan pokok yang sudah ada sejak zaman dahulu di Bali, bukan hanya bangunan perumahan namun bangunan parahyangan juga patut untuk dikenal dan dipelajari. I.2. Tujuan Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah memberikan informasi mengenai bangunan parahyangan. Dengan tujuan khusus untuk mengetahui definisi dan tipologi bangunan Parahyangan; Padmasana, Meru, Bale Kul Kul, Bale Agung
Bab II Pembahasan II.1. PADMASANA II.1.1. PENGERTIAN a. Sejarah
Menurut Lontar “Dwijendra Tattwa”, pelinggih berbentuk Padmasana dikembangkan oleh Danghyang Dwijendra, atau nama (bhiseka) lain beliau: Mpu Nirartha atau Danghyang Nirartha. Berdasarkan wahyu yang diterima beliau di pantai Purancak (Jembrana) ketika pertama kali menginjakkan kaki di Bali setelah menyeberang dari Jawa Timur di abad ke-14, penduduk Bali perlu dianjurkan membangun pelinggih Padmasana. Sebelum kedatangan beliau, agama Hindu di Bali telah berkembang dengan baik di mana penduduk memuja Hyang Widhi terbatas dalam kedudukan-Nya secara horizontal.Ajaran itu diterima dari para Maha Rsi yang datang ke Bali sejak abad ke-8, seperti Rsi Markandeya, Mpu Kuturan, Danghyang Siddimantra, Danghyang Manik Angkeran, Mpu Jiwaya, Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana, dan Mpu Bharadah. Bentuk-bentuk pelinggih sebagai simbol/niyasa ketika itu hanya: meru tumpang tiga, Kemulan rong tiga, bebaturan, dan gedong. Wahyu yang diterima oleh Danghyang Nirartha untuk menganjurkan penduduk Bali menambah bentuk palinggih berupa Padmasana menyempurnakan simbol/niyasa yang mewujudkan Hyang Widhi secara lengkap, baik ditinjau dari konsep horizontal maupun vertikal. Pemujaan Sanghyang Widhi Wasa sebagai Bhatara Siwa berkembang di Bali sejak abad ke-9. Simbol pemujaan yang digunakan adalah Lingga-Yoni. Keadaan ini berlanjut sampai abad ke-13 pada zaman Dinasti Warmadewa. Sejak abad ke-14 pada rezim Dalem Waturenggong (Dinasti Kresna Kepakisan), penggunaan Lingga-Yoni tidak lagi populer, karena pengaruh ajaran Tantri, Bhairawa, dan Dewa-Raja. Lingga-Yoni diganti dengan patung Dewa yang dipuja sehingga cara ini disebut Murti-Puja.Ketika Danghyang Niratha datang di Bali pada pertengahan abad ke14 beliau melihat bahwa cara Murti-Puja diandaikan seperti bunga teratai (Padma) tanpa sari. Maksudnya niyasa pemujaan yang telah ada seperti Meru dan Gedong hanyalah untuk Dewa-Dewa sebagai manifestasi Sanghyang Widhi namun belum ada sebuah niyasa untuk memuja Sanghyang Widhi sebagai Yang Maha Esa, yakni Siwa.
Inilah yang digambarkan sebagai padma tanpa sari. Danghyang Niratha setelah menjadi Bhagawanta (Pendeta Kerajaan) mengajarkan kepada rakyat Bali untuk membangun Padmasana sebagai niyasa Siwa, di samping tetap mengadakan niyasa dengan sistem Murti-Puja. b. Pengertian Padmasana atau (Sanskerta: padmāsana) adalah sebuah tempat untuk bersembahyang dan menaruh sajian bagi umat Hindu, terutama umat Hindu di Indonesia.Kata padmasana berasal dari bahasa Sanskerta, menurut Kamus Jawa Kuna-Indonesia yang disusun oleh Prof. Dr. P.J. Zoetmulder (Penerbit Gramedia, 1995) terdiri dari dua kata yaitu : “padma” artinya bunga teratai dan “asana” artinya sikap duduk. Hal ini juga merupakan sebuah posisi duduk dalam yoga. Padmasana berasal dari Bahasa Kawi, menurut Kamus Kawi-Indonesia yang disusun oleh Prof. Drs. S. Wojowasito (Penerbit CV Pengarang, Malang, 1977) terdiri dari dua kata yaitu: “Padma” artinya bunga teratai, atau bathin, atau pusat. “Sana” artinya sikap duduk, atau tuntunan, atau nasehat, atau perintah.Padmasana berarti tempat duduk dari teratai merah sebagai stana suci Tuhan Yang Maha Esa (I Made Titib, 2001). Berdasarkan dua pendapat ini, bahwa bunga teratai adalah simbol dari tempat duduk dari dewa-dewa dan Hyang Widhi sehingga Padmasana tidak lain dari gambaran alam semesta (makrokosmos) yang merupakan stana dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. c. Filosofi Dalam Lontar “Padma Bhuana“, Mpu Kuturan menyatakan bahwa Bali sebagai Padma Bhuwana. Bunga teratai (padma) dijadikan simbol alam semesta stana Hyang Widhi yang sebenarnya. Dalam Lontar “Dasa Nama Bunga” disebut, bunga teratai adalah rajanya bunga (Raja Kesuma) karena hidup di tiga alam — akarnya menancap di lumpur, batangnya di air, sedangkan daun dan bunganya di atas air (udara). Karenanya, bunga ini adalah simbol Tri Loka atau Tri Bhuwana Stana Hyang Widhi Wasa dan bunga daunnya yang berlapis-lapis sebagai perlambang dari sembilan arah penjuru mata angin alam semesta (I Ketut Wiana, 2004). Posisi padmasana adalah sikap duduk bersila dengan kedua telapak kaki dilipat ke atas, sehingga tampak seperti posisi yang berbentuk lingkaran. Mungkin ini tidak sesuai dengan apa yang terlihat di lapangan, bahkan pada bagian puncak Padmasana tampak berbentuk singhasana berbentuk kursi persegi empat. Hal ini akan terjawab kalau orang memperhatikan pesimpen pancadatu atau pedagingan yang ditanamkan di dasar, di madya, maupun di puncak dari Padmasana (Cudamani, 1998). Isi pedagingan pesimpen itu, terutama pedagingan puncak yang berbentuk padma terbuat dari emas, diletakkan paling atas di atas singhasana yang berbentuk kursi persegi empat ini. Karena ditanam, meskipun terletak di puncak, benda itu tidak terlihat dari luar. Rupanya pedagingan berbentuk padma dari emas inilah yang memberi nama bangunan
itu sehingga bernama Padmasana — Dewa-dewa dan Ida Sang Hyang Widi bertahta di atasnya. Simbol dari Padmasana menggambarkan tingkatan alam yaitu Tri Loka (bhur, bwah dan swah). Hal ini terlihat dari Bhedawang Nala dengan dua naga (Anantabhoga dan Basuki) melambangkan alam bawah (bhur loka), badannya (padma termasuk singhasana) melambangkan atmosfer bumi (bwah loka). Sedangkan swah loka tidak dilukiskan dalam wujud bangunan tetapi di dalam pesimpen pedagingan yang berwujud padma dan di dalam puja yang dilukiskan dengan “Om Padmasana ya namah dan Om Dewa Pratistha ya namah.”Padma dalam Bahasa Bali artinya bunga teratai, dan Sana artinya duduk. Dewa Siwa digambarkan sebagai Dewa yang duduk di atas bunga teratai. Bunga teratai yang berhelai delapan tepat pula sebagai simbol delapan kemahakuasaan Sanghyang Widhi yang disebut Asta-Aiswarya. Asta-Aiswarya ini juga menguasai delapan penjuru mata angin. Keistimewaan bunga padma adalah: puncak atau mahkotanya bulat, daun bunganya delapan, tangkainya lurus, dan tumbuh hidup di tiga lapisan: lumpur, air, dan udara. Hal-hal ini memenuhi simbol unsur-unsur filsafat Ketuhanan atau Widhi Tattwa, yakni keyakinan, kejujuran, kesucian, keharuman, dan ketulusan. Dengan demikian Padmasana adalah simbol yang menggambarkan kedudukan Hyang Widhi sebagai bunga teratai, atau dapat juga dikatakan bahwa Padmasana sebagai tuntunan batin atau pusat konsentrasi. Bunga teratai dipilih sebagai simbol yang tepat menggambarkan kesucian dan keagungan Hyang Widhi karena memenuhi unsur-unsur:
Helai daun bunganya berjumlah delapan sesuai dengan jumlah manifestasi Hyang Widhi di arah delapan penjuru mata angin sebagai kedudukan Horizontal. : Timur (Purwa) sebagai Iswara, Tenggara (Agneya) sebagai Maheswara, Selatan (Daksina) sebagai Brahma, Barat Daya (Nairiti) sebagai Rudra, Barat (Pascima) sebagai Mahadewa, Barat Laut (Wayabya) sebagai Sangkara, Utara (Uttara) sebagai Wisnu, Timur Laut (Airsanya) sebagai Sambhu. Puncak mahkota berupa sari bunga yang menggambarkan simbol kedudukan Hyang Widhi secara vertikal dalam manifestasi sebagai: Siwa (adasthasana/ dasar), Sadasiwa (madyasana/ tengah) dan Paramasiwa (agrasana/ puncak) Bunga teratai hidup di tiga alam yaitu tanah/lumpur disebut pertiwi, air disebut apah, dan udara disebut akasa.
Bunga teratai merupakan sarana utama dalam upacara-upacara Panca Yadnya dan juga digunakan oleh Pandita-Pandita ketika melakukan surya sewana. d. Fungsi Fungsi utama Padmasana adalah sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa. Di situlah Tuhan dipuja dalam fungsinya sebagai jiwa alam semesta (makrokosmos) dengan segala aspek kemahakuasaanya. Padmasana adalah niyasa atau simbol stana Hyang
Widhi dengan berbagai sebutannya — Sanghyang Siwa Raditya (dalam manifestasi yang terlihat/dirasakan manusia sebagai matahari atau surya) dan Sanghyang Tri Purusa (dalam tiga manifestasi yang manunggal yaitu sebagai Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa). Di Pura Besakih ada Padmasana berjejer tiga, di situ di-stana-kan Parama Siwa (tengah), Sadasiwa (kanan) dan Sang Hyang Siwa (kiri). Memperhatikan makna niyasa tersebut, jelaslah bahwa makna Padmasana adalah niyasa yang digunakan Hindu dari sekte Siwa Sidhanta karena sentral manifestasi Hyang Widhi yang menjadi pujaan utama adalah sebagai Siwa. Danghyang Nirartha yang mengembangkan bentuk niyasa Padmasana adalah pandita dari kelompok Hindu sekte Siwa Sidhanta. Sedangkan Padmasari dan Padmacapah dapat ditempatkan menyendiri yang berfungsi sebagai pengayatan atau penyawangan. II.1.2. TIPOLOGI BANGUNAN
a. Hiasan Padmasana Di bagian dasar Padmasana 1. Bhedawangnala Yaitu ukiran “mpas” (kura-kura besar) yang dililit dua ekor naga. Kura-kura adalah simbol dasar bhuvana dibayangkan sebagai api magma, sedangkan naga adalah simbol Basuki yaitu kekuatan yang mengikat alam semesta. Lontar Kaurawasrama menyebutkan, dasar gunung Mahameru adalah bedawangnala. Dalam bahasa Kawi, bedawangnala terdiri dari dua kata: beda artinya ruang, dan nala artinya api. Jadi bedawangnala artinya ruang yang berisi api atau magma. Lontar Agni Purana (Kurma Awatara) menyebutkan adanya perang yang sengit antara para Dewa dengan para Detya. Dalam perang itu Dewa-Dewa dikalahkan. Para Dewa mohon agar Wisnu menyelamatkan. Bhatara Wisnu kemudian meminta
kedua pihak yang berperang mengaduk lautan susu di mana gunung Mandara sebagai tangkai pengaduk dan Naga Basuki sebagai tali pengaduk. Para Dewa memegang ekor naga dan para Detya memegang kepala naga. Tetapi ketika perputaran dimulai gunung Mandara yang tidak mempunyai dasar tenggelam ke dalam lautan susu. Bhatara Wisnu yang menjelma sebagai seekor kurakura raksasa kemudian muncul untuk menyelamatkan gunung Mandara. Bhedawangnala adalah Bahasa Kawi, di mana ‘bheda” artinya: lain, kelompok, selisih; “wang” artinya: peluang, kesempatan; “nala” artinya: api. Jadi bhedawangnala artinya: suatu kelompok (kesatuan) yang meluangkan adanya api. Api di sini bisa dalam arti nyata sebagai dapur magma inti bumi, dapat juga dalam arti simbol lain yaitu energi kekuatan hidup. Karena letaknya di bawah/ dasar bangunan maka simbol bhedawangnala dapat bermakna sebagai kekuatan bumi ciptaan Hyang Widhi yang perlu dijaga, dan dapat pula bermakna sebagai dasar kehidupan manusia yaitu energi yang senantiasa perlu ditumbuh kembangkan.Oleh karena itu bedawang di Bali dilukiskan sebagai kurakura yang moncongnya menyemburkan api. 2.
Naga Lontar Siwagama dan lontar Sri Purana Tattwa menyebutkan bahwa setelah bumi diciptakan oleh Bhatara Siwa dan Bhatari Uma lengkap dengan segala isinya maka pada suatu ketika terjadilah bencana, di mana tumbuh-tumbuhan mati, air menyurut dan udara mengandung penyakit. Sanghyang Trimurti bermaksud menyelamatkan manusia. Brahma berwujud sebagai Naga Anantabhoga yang berwarna merah berada di dalam inti bumi; Wisnu berwujud sebagai Naga Basuki yang berwarna hitam berada dalam laut, dan Iswara berwujud sebagai Naga Taksaka yang berwarna putih bersayap berada di udara. Agar bumi ini tidak gonjang-ganjing maka diikat oleh dua ekor naga yakni: naga basuki dan naga anantaboga. Saptapetala disimbolkan dengan kura-kura, sehingga terbentuklah patung kura-kura yang dililit dua naga di dasar padmasana, yang disebut ‘bedawang-nala’ (beda = ruang-ruang; wang = yang ada; nala = api = inti bumi atau ‘ratala’). Naga basuki dan anantaboga adalah simbol kemakmuran dan kesejahteraan.Jadi makna padmasana yang berdasar bedawang nala adalah: keajegan bumi sebagai tempat kehidupan, atas karunia Sanghyang Widhi yang berwujud: Parama siwa, Sada siwa dan Siwa. Padma = teratai; sana = sikap duduk. Jadi padmasana adalah tempat/ kedudukan suci Sanghyang Widhi yang melindungi bumi/ kehidupan kita.
Di bagian tengah Padmasana; 1. Garuda Wisnu Diletakkan di bagian tengah belakang, adalah simbol Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai pemelihara.Simbol garuda-wisnu adalah simbol garuda (putra Sang Winata) yang membawa tirta amerta kamandalu, anugerah dari wisnu. Itu
berarti juga sebagai simbol kesejahteraan dan kesehatan serta umur panjang bagi penyungsung garuda-wisnu.Di lontar Adi Parwa diceritakan sebagai berikut: Sang Kadru dan Sang Winata adalah istri-istri dari Bhagawan Kasyapa, Sang Kadru berputra naga yang ribuan banyaknya dan Sang Winata berputra Sang Aruna dan Sang Garuda. Pada suatu ketika keduanya membicarakan Uchaisrawa (kuda putih) yang keluar dari pemuteran gunung Mandaragiri. Sang Kadru mengatakan warna kuda itu hitam, sedangkan Sang Winata mengatakan kuda itu putih. Karena sama-sama teguh mempertahankan pendapat akhirnya mereka sepakat untuk bertaruh, bahwa siapa yang kalah akan mejadi budak dari yang menang. Para naga putra Sang Kadru tahu bahwa warna kuda itu putih. Untuk memenangkan ibunya para naga menyemprotkan bisa ke Uchaiswara sehingga berwarna hitam. Sang Winata kalah lalu menjadi budak Sang Kadru. Anak Sang Winata, yakni Garuda, ingin membebaskan ibunya dari perbudakan. Garuda kemudian bertanya kepada para naga, bagaimana cara membebaskan ibunya. Sang Naga memberi tahu agar ia mencari Tirta Amertha. Sang Garuda mencari tirta itu ke Sorga sampai berperang melawan para Dewa namun tidak berhasil. Bhatara Wisnu yang iba pada nasib Garuda bersedia memberikan Tirta Amertha, namun dengan syarat agar Garuda mau menjadi kendaraan Bhatara Wisnu. Garuda bersedia, dan bersama Wisnu terbang mencari Tirta Amertha. 2. Angsa Angsa diletakkan di bagian atas belakang, adalah simbol Sanghyang Saraswati. Hiasan Angsa, sebagai kendaraan Bhatari Saraswati,bermakna sebagai: pengetahuan, ketelitian, kewaspadaan, ketenangan dan kesucian. Angsa adalah simbol ketenangan dan warna putih bulunya adalah simbul kesucian, ketelitian memilih makanan walaupun mulutnya masuk ke lumpur yang busuk pun lumpur tersebut tidak termakan, jadi angsa merupakan simbul kebijaksanaan memilih yang baik, di samping itu pula simbol kewaspadaan sebab baik siang maupun malam seolah-olah angsa tidak penah tidur. Di lontar Indik Tetandingan disebutkan sayap angsa yang terkembang adalah simbul Ongkara: kedua sayapnya melukiskan ardha candra (bulan sabit), badannya yang bulat lukisan windhu, leher dan kepalanya yang mendongak ke atas adalah simbul nada. Di bagian Atas (sari) Padmasana; 1. Acintya Pada bagian kepala (sari) terdapat singhasana yang diapit naga tatsaka yang terbuat dari paras yang diukir sesuai bentuknya. Pada belakangnya terdapat ulon yang bagian tengahnya terdapat ukiran lukisan Sang Hyang Acintya atau Sang Hyang Taya sebagai simbol perwujudan Ida Sang Hyang Widhi. Lukisan ini menggambarkan sikap
tari dari dewa Siwa yang disebut dengan Siwa Natyaraja dalam menciptakan alam semesta. Acintya diletakkan di bagian atas depan, adalah simbol Hyang Widhi yang tidak dapat dilihat, dipikirkan wujudnya, di raba, namun vibrasinya dapat dirasakan. Sehingga kekuasaan-Nya’ sungguh mutlak dan luar biasa. Acintiya artinya tidak dapat dibayangkan. Namun niyasa Acintiya dilukiskan sebagai tubuh manusia telanjang dengan api di setiap sendinya serta kaki kanan yang terangkat, kepala tanpa bentuk wajah, dan sikap tangan dewa pratistha. Niyasa itu bermakna: tubuh manusia yang telanjang kiasan dari ciptaan Sanghyang Widhi yang utama; api di setiap sendi adalah simbol energi kehidupan; kaki kanan yang terangkat adalah simbol rotasi alam dan kehidupan yang aktif; kepala tanpa bentuk wajah adalah simbol dari keberadaan yang tidak dapat dibayangkan; sikap tangan dewa pratistha adalah simbol kecintaan Sanghyang Widhi pada hasilhasil ciptaan-Nya. Hiasan Lainnya Hiasan lainnya dapat berupa karang gajah, karang boma, karang bun, karang paksi, dll. yang semuanya bermakna sebagai simbol keaneka ragaman alam semesta. Kesimpulan arti simbolis dari semua bentuk Padmasana adalah: Stana Hyang Widhi yang dengan kekuatan-Nya telah menciptakan manusia sebagai mahluk utama dan alam semesta sebagai pendukung kehidupan, senantiasa perlu dijaga kelanggengan hidupnya.Kesimpulan: kelak bila ada dana, baik sekali membangun padmasana, walaupun sudah ada sapta petala, karena simbol-simbol seperti: garuda, angsa, acintya, tidak ada di padmasari. b. Bentuk-bentuk Padmasana Dilihat dari bentuk bangunan Padmasana, dibedakan adanya lima jenis Padmasana, yaitu: 1. Padma Anglayang, memakai dasar bhedawangnala, bertingkat tujuh dan di puncaknya ada tiga ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa stana Trimurti 2. Padma Agung, memakai dasar bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada dua ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa Ardanareswari yaitu kekuatan/ kesaktian Hyang Widhi sebagi pencipta segala yang berbeda misalnya: lelakiperempuan, siang-malam, kiri (pengiwa) – kanan (penengen), dst. 3. Padmasana, memakai bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada satu ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa Sanghyang Tunggal yaitu Hyang Widhi Yang Maha Esa
4. Padmasari, tidak memakai dasar bhedawangnala, bertingkat tiga dan di puncaknya ada satu ruang. Digunakan hanya untuk niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa 5. Padma capah, tidak memakai dasar bhedawangnala, bertingkat dua dan di puncaknya ada satu ruang. Digunakan untuk niyasa stana Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Baruna (Dewa lautan) Nama
Rong (ruang)
Pepalihan
Keterangan
Padmasana Nglayang
3 (tiga)
7 (tujuh)
menggunakan Bedawang Nala
Padma Agung
2 (dua)
5 (lima)
menggunakan Bedawang Nala
Padmasana
1
5 (lima)
menggunakan Bedawang Nala
Padmasari
1
3 (tiga) yaitu:
tanpa Bedawang Nala
Padmacapah
1
palih (bawah)
palih Sancak (tengah)
palih Sari (atas)
Taman
2 (dua) yaitu:
tanpa Bedawang Nala
palih (bawah)
Taman
palih (atas)
Capah
berikut Gambar Padmasana dan Ulap-Ulapnya : 1. Padma Angelayang
2. Padma Agung
3. Padmasana
4. Padmasari
Padmasari dan Padmacapah dapat ditempatkan menyendiri dan berfungsi sebagai pengayatan/penyawangan. Mengenai pedagingan kedua padmasana ini hanya pada dasar dan puncak saja. Sedangkan padmasana yang mempergunakan Bedawang Nala berisi pedagingan pada Dasar, Madya, dan Puncak.
Pemilihan bentuk kelima jenis Padmasana itu berdasar pertimbangan kemampuan penyungsung melaksanakan upacara, baik ketika mendirikannya maupun pada setiap hari piodalannya. Oleh karena itu, dipertimbangkan juga jumlah penyungsungnya. Makin banyak penyungsungnya makin “utama” bentuk padmasana, sesuai dengan urutan di atas. c. Letak Padmasana Berdasarkan lokasi (menurut pengider- ider) terbagi menjadi 9 jenis berdasarkan lontar Wariga Catur Wisana sari, Letak Padmasana menurut arah mata angin (pengider-ider bhuwana) ada sembilan macam yaitu: Nama
Bertempat di
Menghadap ke
Padma Kencana Timur
timur (purwa)
barat (pascima)
Padmasana
selatan (daksina)
utara (uttara)
Padmasana Sari
barat (pascima)
timur (purwa)
Padmasana Lingga
utara (uttara)
selatan (daksina)
Padma Asta Sedhana
tenggara (agneya)
barat laut (wayabya)
Padma Noja
barat daya (nairity)
timur laut (airsanya)
Padma Karo
barat laut (wayabya)
tenggara (agneya)
Padma Saji
timur laut (airsanya)
barat daya (nairity)
Padma Kurung
tengah(madya)
tengah
Pura pintu (pemedal)
keluar/masuk
Pemilihan letak Padmasana berdasar pertimbangan letak Pura dan konsep “hulu – teben”. Dalam membangun Padmasana, jika memakai Timur sebagai hulu, tidak masalah karena di mana-mana arah timur selalu sama. Tetapi jika memakai Gunung sebagai hulu maka ada perbedaan hulu teben. Misalnya: Di daerah Den Bukit (Buleleng) di mana hulunya (Gunung) adalah arah selatan maka sesuai letaknya dibangun Padmasana. Sebaliknya di selatan “bukit” (Gunung) mulai dari Pancasari ke Bali selatan di mana hulunya adalah arah utara maka sesuai letaknya dibangun Padma lingga. Di daerah Karangasem bagian timur di mana hulunya (Gunung) ada di bagian barat, maka sesuai letaknya dibangun Padma sari.
Demikian seterusnya. Pemilihan letak Padmasana juga ditentukan oleh lokasi tanah pekarangan, misalnya untuk perumahan di kota-kota besar di mana sulit memilih letak tanah sesuai dengan konsep hulu – teben seperti di Bali, maka jika membangun Padmasana silahkan memilih alternatif yang terbaik di antara kesembilan jenis lokasi seperti tersebut di atas. d. Gambar
II.2. MERU II.2.1 PENGERTIAN Kata Meru adalah nama sebuah gunung di India (Gunung Mahameru) dan diyakini sebagai tempat suci (Sang Hyang Widhi). Meru yang sebenarnya tempatnya di Swargaloka. Sedangkan di Bali Meru adalah bangunan atau pelinggih suci tempat mensthanakan/menaruh para Dewa. Meru dalam bentuk bangunan atau pelinggih terdiri dari tiga bagian yaitu bagian dasar, badan dan atap. Khusus untuk bagian atapnya bertingkat-tingkat, semakin ke atas bentuknya semakin kecil menyerupai sebuah gunung. Jumlah tingkatan atapnya selalu ganjil yaitu 1, 3, 5, 7, 9 dan 11. Pada umumnya bagian atap ini terbuat dari ijuk. Bagian dasar Meru pada umumnya terbuat dari batu alam atau batu buatan yang berbentuk bujur sangkar. Sedangkan badan Meru pada umumnya terbuat dari bahan kayu kecuali beberapa Meru di Pura Besakih, badan Meru terbuat dari batu padas atau bata dan biasanya ukurannya jauh lebih besar daripada Meru yang memakai badan dari bahan kayu. Meru seperti halnya candi atau prasada adalah simbol dari alam semesta yang terdiri dari tiga bagian yaitu Bhurloka, Bhuvahloka dan Svahloka. Menurut lontar Andhabhuwana tingkatan atap Meru merupakan simbol lapisan alam besar (Macrocosmos) dari bawah ke atas adalah Sakala, Niskala, Sunya, Taya, Nirbana, Moksa, Suksmataya Turyanta, Acintyataya dan Cayem, ada sebelas tingkat banyaknya. Atap Meru juga merupakan simbolis dari penglukunan Dasaksara (peredaran sepuluh huruf suci yang dikaitkan dengan dewa-dewa Dikpala/Dewata Nawa Sanga), yaitu : Sa (Iswara), Ba (Brahma), Ta (Mahadewa), A (Wisnu), I (Siwa/Zenit), Na (Mahesora), Ma (Rudra), Si (Sankara), Va (Sambhu), Ya (Siwa/Nadir). Kesepuluh dewa-dewa tersebut adalah manifestasi dari Dewa Siwa sebagai penguasa alam semesta, diantaranya sebagai pelindung kiblat (mata angin). Dewa Wisnu di sebelah utara, Dewa Sambu di timur laut, Dewa Iswara di timur , Dewa Mahesora di tenggara, Dewa Brahma di Selatan, Dewa Rudra di barat daya, Dewa Mahadewa di barat dan Dewa Sankara di barat laut. Seperti halnya fungsi prasada/kitab, maka Meru juga mempunyai fungsi sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi atau manifestasi-Nya dan Meru sebagai tempat pemujaan Dewa Pitara atau Atmasiddhadevata (roh suci leluhur). Perbedaan fungsi bangunan Meru dapat diketahui dari pedagingan (isi yang ditanamkan pada waktu upacara melaspas meru atau peresmian Meru tersebut), puja atau stava (mantram pemujaan) yang dipakai pada waktu upacara piodalan dan dari segi bentuk bangunannya. Pada umumnya untuk Sang Hyang Widhi atau manifestasinya-Nya dibuat lebih besar dan kadang-kadang badan meru dibuat dari bahan batu bata. Pada dasar Meru ada juga yang mempergunakan ukiran dengan relief
bedawangnala (empas) dan dibelit oleh satu atau dua ekor naga seperti halnya terdapat pada bangunan candi atau Padmasana. Contoh bangunan/pelinggih Meru hampir terdapat pada setiap pura besar di Bali (penyungsungan jagat), misalnya pura Besakih, Uluwatu, Taman Ayun, Batukaru dan sebagainya. II.2.2. TIPOLOGI BANGUNAN Meru adalah salah satu bentuk niyasa berupa bangunan suci stana Ida Bhatara (manifestasi Ida Sanghyang Widhi Wasa) yang dalam tradisi beragama Hindu di Bali disebut pelinggih. Bangunan meru terdiri dari tiga bagian, yaitu: 1. Bagian pertama adalah pondamen atau bebaturan dibuat dari bahan batu, semen, paras, batu-bata, dengan ornamen yang disebut karang gajah, karang paksi, dan karang bun. 2. Bagian kedua, di atas bebaturan ada gedong yang biasanya dibuat dari bahan kayu atau pasangan batu. 3. Bagian ketiga atap atau kereb yang bertumpang-tumpang, dibuat dari bahan kayu dan ijuk. Terkadang atap bertumpang ini dibuat pula dari bahan seng, genting, atau semen-beton. Di dalam gedong disimpan simbol-simbol Ida Bhatara berupa patung dari bahan kayu, jinah bolong atau bahan lainnya yang bermutu tinggi, dan tidak jarang dibuat dari logam mulia murni atau hanya dilapisi emas/ perak. Meru yang pertama kali dikenalkan di Bali oleh Mpu Kuturan pada abad ke-11 adalah meru dengan atap bertumpang 3 (tiga). Namun sejak kedatangan Danghyang Nirartha pada abad ke-14, jumlah tumpang atap meru berkembang menjadi: 1, 3, 5, 7, 9, dan 11. Ada juga meru yang beratap tumpang 2 (dua). Baik Mpu Kuturan maupun Danghyang Nirartha sama-sama memandang meru sebagai simbol Mahameru, yakni pegunungan Himalaya di India. Himalaya diyakini sebagai kawasan yang paling suci di dunia, karena sebagai sumber mata air bagi tujuh sungai suci (sapta Gangga): 1. Gangga 2. Sindhu 3. Saraswati 4. Yamuna 5. Godawari 6. Narmada 7. Sarayu. Di lembah sungai-sungai suci itulah Weda diwahyukan secara bertahap kepada para Maha-Rsi: Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista, dan Kanwa.
Kesakralan dan kesucian bentuk pelinggih meru yang ditanamkan oleh Mpu Kuturan dan Danghyang Nirartha juga mengacu pada Atharwa-Weda yang berisi dalil-dalil matematika. Matematika dalam Atharwa-Weda adalah bahasa universal Sanghyang Widhi ketika mencipta alam semesta. Bahasa universal adalah bahasa yang dimengerti oleh semua mahluk yang mempunyai kecerdasan tinggi. Bahasa universal bagi umat manusia, terlihat pada jumlah Sukta dalam Atharwa-Weda, jumlah mantra dalam Yayur-Weda-Putih dan Yayur-Weda-Hitam, serta jumlah Dewa-Dewa. Bagi semua mahluk (manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan) bahasa universalnya adalah siklus peredaran bumi, bulan, dan bintang, yang semuanya menggunakan matematika yang cermat dan terstruktur. Selain menanamkan kesakralan dan kesucian secara matematis, kedua Maha Rsi itu juga mengisyaratkan agar umat Hindu-Bali selalu berbhakti ke hadapan Sanghyang Widhi, antara lain melalui niyasa pelinggih meru. Matematika yang digunakan oleh Mpu Kuturan dalam menetapkan jumlah tumpang dari atap meru adalah angka 3 (tiga), karena benda-benda angkasa ciptaan Sanghyang Widhi yang menjaga kehidupan mahluk di bumi adalah trilingga (tiga kedudukan Siwa), yakni: matahari, bulan, dan bintang. Kemudian dari keyakinan ini berkembanglah ajaran beliau tentang keTuhanan dan kehidupan, yakni: trimurti, tri-kahyangan, tri-mandala, trihitakarana, trikaya parisudha, dan lain-lain (Lontar Tutur Kuturan). Matematika yang digunakan oleh Danghyang Nirartha dalam menetapkan jumlah tumpang dari atap meru, adalah sebagai berikut: 1. Jumlah tumpang atap meru yang tertinggi adalah 11 (sebelas). Angka 11 dipandang sebagai angka yang paling keramat, mengandung misteri dan merupakan pilihan utama, karena: a. Jumlah hari peredaran bumi mengelilingi matahari (surya pramana) dalam setahun = 365,24; dan jumlah hari peredaran bulan mengelilingi bumi (candra pramana) dalam setahun = 354,37 Selisihnya = 10,87 dibulatkan = 11 hari. (Lontar Breghu Tattwa). Angka 11 ini digunakan dalam sistem kalender “Saka-Bali”: Surya-Chandra Pramana untuk menentukan pengrepeting sasih dalam menghitung tibanya hari tahun baru, yakni pada: penanggal ping pisan sasih kadasa (tanggal satu bulan ke-sepuluh). b. Larangan bagi umat Hindu membunuh lembu (sapi putih kendaraan suci Siwa), diwahyukan 20 kali dalam Rg-Weda, 5 kali dalam Yayur-Weda, 2 kali dalam Sama-Weda, dan 11 kali dalam Atharwa-Weda. Bila secara matematis angka-angka itu dijumlahkan: 20 + 5 + 2 + 11 = 38. Jumlah digit angka 38 adalah 3 + 8 = 11. Bahkan bila digit angka 20, angka 5, angka 2 dan angka 11 dijumlahkan hasilnya = 2 + 0 + 5 + 2 + 1 + 1 = 11
c. Hyang Guru Siwa (Sanghyang Widhi) dengan ke-mahakuasaan-Nya (wibhu-sakti) menciptakan semesta dari diri-Nya, dengan cara berubah (uta-prota) dari Nirguna Brahman menjadi Saguna Brahman melalui 7 (tujuh) tahapan: a. parama-siwa b. sada-siwa c. sada-rudra d. mahadewa e. ishwara f. wisnu g. brahma. Di agama Hindu-Bali, ketujuh tahapan ini dinamakan sapta ongkara. Ketika Hyang Guru Siwa uta-prota, beliau duduk di atas 4 (empat) helai bunga padma sebagai landasan kekuatan yang disebut sadu-sakti. Wibhusakti dan Sadu-sakti disebut Prabhu-sakti, berjumlah: 7 + 4 = 11. Prabhu-sakti merupakan kekuatan yang menyebabkan getaran-getaran magis di semesta. Bagi orang yang tingkat kerohaniannya tinggi melihat Prabhu-sakti bercahaya, bening bagaikan kristal (Lontar Wrhaspati Tattwa) d. Dalam Ilmu Matematika modern, angka 11 adalah bilangan prima kembar. 2. Meru dengan atap bertumpang ganjil. a. Selain bilangan prima kembar seperti yang disebutkan di atas, ada bilangan prima lain, yaitu bilangan-bilangan yang dapat habis dibagi hanya oleh bilangan itu sendiri, seperti: 1, 2, 3, 5, 7, 11, dst b. Kekeramatan angka-angka 1, 3, 5, 7 Angka 1 adalah simbol ke-Esaan Sanghyang Widhi yang disebut Sanghyang Tunggal (Nirguna Brahman), dengan aksara suci-Nya: Ongkara; Angka 3 adalah simbol proses perubahan-Nya dari Nirguna Brahman menjadi Saguna Brahman: Parama-Siwa, Sada-Siwa, dan Siwa dengan aksara suci-Nya: Ang, Ung, Mang; Angka 5 adalah simbol manifestasi-Nya yang lebih luas sebagai Saguna Brahman: Sadiyojata, Bhamadewa, Tat-Purusha, Aghora, dan Isana dengan aksara suci-Nya: Sa, Bha, Ta, A, I. Angka 7 dipandang sakral dan suci, karena menjadi simbol: Sapta Ongkara, Sapta Gangga (tujuh sungai suci di India), Sapta-Petala, dan Sapta Cakra. Sapta Ongkara dan Sapta Gangga sudah dijelaskan di atas; Sapta Petala menurut Lontar Agni Purana dan Kaurawasrama adalah tujuh lapisan bumi, bernama: patala, witala, nitala, sutala, tatala, satala, ratala. Lapisan yang paling dalam adalah patala, atau magma. Sapta Cakra berada di tubuh manusia mulai dari: muladara (dubur), swadistana (kelamin), manipura (pusar), anahatta (jantung), wisudhi (pangkal tenggorokan), ajnya (sela-sela alis), dan sahasrara (ubun-ubun).
Ketujuh Cakra itu dinamakan Kundalini. Yoga Kundalini digunakan oleh Ida Pedanda di saat nyurya-sewana setiap hari, dan Kundalini yang sudah dibangkitkan akan berguna menjaga kesucian dan kesehatan tubuh. c. Angka 9 bukan bilangan prima karena dapat dibagi (habis) dengan bilangan lain, yaitu 3, tetapi ia menjadi istimewa dan dipilih oleh Danghyang Nirartha (ada di Lontar Bhuwana Kosa) karena: i. Jumlah pengider-ider Dewata Nawa Sangga adalah 9. No .
Arah
Dewa
Warna dan Senjata
Aksara
1.
Timur (Purwa)
Ishwara
Putih (Sweta), Bajra
Sang
2.
Tenggara ((Agneya)
Mahesora
Merah-muda (Dumbra), Dupa
Nang
3.
Selatan (Daksina)
Brahma
Merah (Rakta), Gada
Bang
4.
Barat Daya (Nairity)
Rudra
Oranye (Rajata), Kadgamoksala
Mang
5.
Barat (Pascima)
Mahadewa
Kuning (Pita), Nagapasha
Tang
6.
Barat Laut (Wayabya)
Sangkara
Hijau (Syama), Dwaja-angkus
Sing
7.
Utara (Uttara)
Wisnu
Hitam (Kresna), Cakra
Ang
8.
Timur Laut (Airsaniya)
Sambhu
Abu-abu (Biru), Trisula
Wang
9.
Tengah-Tengah (Madya)
Tri Purusha
Campuran Padma
(Sarwaswarna), Ing, Yang
ii.
Jumlah butir-butir ganitri (japa-mala) 108, sehingga bila digit angka 108 dijumlahkan: 1 + 0 + 8 = 9. Selain itu bila 108 dibagi 2 hasilnya = 54, di mana jumlah digit angkanya: 5 + 4 = 9. Seterusnya bila 54 dibagi 2 hasilnya = 27 jumlah digit angkanya: 2 + 7 = 9. Aksara suci dari angka 9 adalah: Sa, Bha, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa Dengan demikian Danghyang Nirartha, mengajarkan kepada pemeluk Hindu-Bali bahwa jenis meru menurut jumlah tumpang atapnya ada 6, yaitu: 1, 3, 5, 7, 9, 11 3. Meru yang atapnya bertumpang 2 Ada meru yang atapnya bertumpang 2 (dua), digunakan secara khusus, letaknya tidak berjajar dengan meru-meru yang lain yang atapnya bertumpang ganjil. Angka 2 digunakan karena di samping merupakan bilangan prima yang sakral, juga sebagai simbol ardanareswari atau rwa bhineda (Lontar Bhuwana-Kosa). Aksara suci-Nya: Ang, Ah
GAMBAR
II.3. Bale Kul kul
II.3.1. Definisi Umum Bale kulkul merupakan linggih Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Iswara (dalam ilmu yoga yaitu Paratma yang ada di kerongkongan, berfungsi untuk mengeluarkan suara). merupakan suatu bangunan bale yang tinggi sebagai menara dengan kulkul atau kentongan yang bergantung di atasnya sehingga dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi masyarakat Bali. Kul-kul digantung di bangunan yang tinggi dimaksudkan untuk menyampaikan informasi jarak jauh dan agar mudah dilihat.Biasanya ditemukan pada pura, puri, dan banjar.Letaknya di sudut depan dari halaman pertama. Fungsi dari kentongan berkaitan dengan pelaksanaan upacara seperti ketika nedunang batara dan ketika nyimpen.Fungsi yang lain adalah sebagai tanda bahwa pertemuan antara krama pura akan segera dimulai yang membicarakan berbagai masalah tentang pura seperti : persiapan piodalan, rencana perbaikan pura, bencana, kematian, perkawinan, dan lain-lainnya.Dengan suara tertentu dari kulkul yang dipukul memanggil anggota banjar atau warga sekitar pura untuk datang atau menuju ke tempat yang ditentukan Kulkul atau kentongannya umumnya terbuat dari kayu atau bambu, dan benda peninggalan para leluhur. Di setiap organisasi tradisional di Bali, terdapat setidaknya
sebuah kulkul. Selain di Bali, Kulkul yang lazimnya disebut dengan kentongan, terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia. Untuk itu, kulkul dijadikan alat komunikasi tradisional oleh masyarakat Indonesia.
II.3.2. Fungsi Kulkul mempunyai fungsi yang berkaitan erat dengan kegiatan banjar. Berikut merupakan beberapa fungsi dari kulkul: 1. Tanda Pertemuan Rutin Masyarakat Bali biasanya melakukan pertemuan rutin sebulan sekali pada setiap banjar untuk melakukan evaluasi dan membahas kegiatan apa yang akan dilakukan karma banjar. 2. Tanda Pengerahan Tenaga Kerja Pengerahan tenaga kerja terbagi menjadi dua sifat, yaitu terencana sepertigotong royong membersihkan desa, mempersiapkan upacara di pura, dan mencuci barang-barang suci. Sedangkan mendadak umumnya seperti menanggulangi kejadian yang tiba-tiba menimpa banjar yang dapat berupa kebakaran, banjir, orang mengamuk, dan pencuri.Bunyi kulkul terdengar cepat dan panjang sekaligus sebagai isyarat supaya warga segera datang atau berjagajaga karena ada bahaya mengancam. 3. Tanda Gejala Alam Di samping sebagai tanda pertemuan rutin dan pengerahan tenaga kerja, kulkul seringkali digunakan ketika terjadi gejala alam seperti gerhana bulan yang akan disambut oleh seluruh banjar. Masyarakat Bali berkeyakinan bahwa gerhana bulan terjadi karena bulan dimangsa oleh Kalarau. Bunyi kulkul yang menggema di seluruh Bali akan menghilangkan konsentrasi Kalarau, sehingga ia akan melepaskan bulan kembali.
II.3.3. Ritual pembuatan Dalam hari bali, dikenal dengan istilah "ala ayuning dewasa" yang artinya dewasa atau hari yang baik dan kurang baik.Kedua hal ini sulit dipisahkan bahkan selalu berdampingan.Pada awal hingga akhir pembuatan kulkul pun para pembuatnya harus melakukan tahap-tahap upacara guna mencari dewasa yang baik dan menghindari dewasa yang kurang baik. Proses pembuatan sebuah kulkul dari kayu biasa hingga menjadi sebuah alat bunyian bernilai sakral dan keramat mengalami banyak rangkaian upacara, dimulai dari mencari bahan, menebang kayu sampai kepada proses pembuatannya.Pada tahap melepaskan sebuah kulkul juga harus melalui sebuah upacara.Apabila tahapan upacara sudah dilaksanakan maka kulkul telah memiliki kekuatan magis dan dianggap sebagai benda suci serta keramat.
Nilai sakral sebuah kulkul ini didukung sepenuhnya oleh agama Hindu Bali yang diyakini masyarakat Bali secara umum, terutama berada pada kulkul yang tersimpan di Pura-pura besar di Bali yang dianggap sebagai wujud nyata beryadnya sehingga apabila terjadi penyimpangan dalam penggunaannya maka segera upacara penyucian dilakukan.
II.3.4. Jenis Ada empat jenis kulkul yang dikenal oleh masyarakat yaitu Kulkul Dewa, Kulkul Bhuta, Kulkul Manusia, dan Kulkul Hiasan.
Bali,
1. Kulkul Dewa Kulkul Dewa adalah kulkul yang digunakan saat upacara Dewa Yadnya.Kulkul Dewa dibunyikan ketika memanggil para dewa. Ritme yang dibunyikan sangat lambat dengan dua nada yaitu ‘tung.... tit.... tung.... tit.... tung.... tit’ dan seterusnya. 2. Kulkul Bhuta Kulkul Bhuta adalah kulkul yang digunakan saat upacara Bhuta Yadnya. Kulkul Bhuta dibunyikan apabila akan memanggil para Bhuta Kala guna menetralisir alam semesta sehingga keadaan alam menjadi aman dan tenteram. 3. Kulkul Manusa Kulkul Manusa adalah kulkul yang digunakan untuk kegiatan manusia, baik itu rutin maupun mendadak.Kulkul Manusa terbagi atas tiga jenis yaituKulkul Tempekan, Kulkul Sekeha-sekeha, dan Kulkul Siskamling.Bunyi ritme kulkul manusa untuk kegiatan yang rutin ialah lambat dan pendek, sedangkan pada kegiatan mandadak, terdengar cepat dan panjang. 4. Kulkul Hiasan Diberi nama kulkul hiasan karena kulkul ini diberi hiasan-hiasan untuk menambah keindahannya. Biasanya kulkul ini sering dijadikan oleh-oleh atau buah tangan.Para wisatawan yang datang ke pulau Bali menganggap kulkul sebagai sebuah barang antik.
II.3.5. Peranan Sebuah kulkul dapat dikatakan bukan saja merupakan alat tradisional, melainkan suatu media komunikasi tradisional yang menjembatani komunikasi masyarakat Bali, baik antara manusia dengan Dewa, manusia dengan penguasa alam, maupun manusia dengan sesamanya. Selain itu, kulkul juga diyakini mampu membentuk rasa persatuan dan kesatuan di dalam kehidupan masyarakat Bali.Dengan demikian, peranan kulkul sebagai media komunikasi tradisional masyarakat Bali sangatlah besar.Kulkul berperan untuk menyampaikan simbol-simbol atau kode-kode
yang dapat dimaknai secara langsung seperti ritme pukulan maupun nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya, seperti rasa persatuan dan kesatuan, kepada seluruh masyarakat Bali.
II.4. Bale Agung
Bale Agung Pura Desa Lan Puseh Desa Pakraman
Denpasar Pada setiap desa pakraman atau desa adat terdapat pura kahyangan tiga, yaitu : pura puseh, pura desa, dan pura dalem. Tiap-tiap pura desa memiliki bangunan bernama Bale Agung.Bangunan Bale Agung berbentuk bale panjang dengan dasar bangunannya yang agak tinggi dan atapnya disangga beberapa buah tiang.Berfungsi sebagai tempat pesamuhan atau rapat dan berkumpulnya para dewa, pratima, atau Ida Bhatara sungsungan(bisa kita katakan dewa yang kita sungsung oleh karma desa tersebut).
Bale agung berkaitan ketika berlangsungnya upacara ngusaba dan setelah upacara mekiyis atau melasti (upacara penyucian pratima dari batara). Pada saat upacara melasti, pratima-pratima atau Ida Bhatara sungsungan dari berbagai pura di wilayah desa tersebut dikumpulkan untuk kemudian dimandikan atau disucikan di laut.Setelah itu pratima-pratima tersebut distanakan di Bale Agung selama satu malam.Mereka dipertemukan untuk singgah dan rapat secara alam niskala sebelum pratima-pratima tersebut dibawa kembali ke pura asalnya.
II.5. Menjangan Saluang Sanggah Merajan dan Pura Paibon biasanya memiliki sebuah Pelinggih yang dinamakan Menjangan Saluang. Yang di beberapa daerah tertentu disebut dengan Sanggah lantang karena bentuknya yang panjang. Ciri utamanya adalah bahwa di Pelinggih ini terdapat sebuah kepala menjangan. Berbagai pura lainpun ada juga yang memiliki Pelinggih ini tetapi bentuknya sedikit berbeda, yaitu bentuknya tidak panjang dan bersaka tiga. Mungkin karena sakanya hanya tiga atau kurang satu dari yang lazim, maka Pelinggih ini diberi nama Sakaluang. (Sudhardana, 2006 : 120-121) Menjangan Saluang yang bentuknya panjang (lantang) terdiri dari tiga rong besar, dimana sebuah rong besar terbagi lagi dalam 6 rong kecil-kecil, sehingga secara keseluruhan menjadi rong 9. Bentuk seperti ini rupanya memang dimaksudkan untuk menunujukkan adanya 3 kelompok besar masyarakat, dimana salah satu diantaranya terdiri dari 6 Sub Sekte Agama. Riwayat singkatnya dapat disampaikan sebagai berikut. Ketika pada 1001 M Mpu Kuturan datang ke Bali, beliau melihat adanya 9 Sekte Agama, yang diperkirakan dapat memecah belah persatuan umat. Karena itu, maka beliau berusaha untuk mempersatukan 3 Kelompok Besar dengan 6 Sub Sekte Agama itu, dengan cara mengadakan pertemuan atau Pesamuhan Agung di desa Bedulu (samuan Tiga). Pesamuhan Agung termaksud dihadiri oleh seluruh unsure masyarakat Bali ketika itu, yaitu: 1. Unsur masyarakat yang berasal dari Jawa dan beragama Siwa. 2. Unsur masyarakat yang beragama Buddha Mahayana (Mpu Kuturan dan para pengikutnya). 3. Unsur masyarakat bali aga yang mewakili 6 Sub Sekte Agama: Sambu, Brahma, Indra, Visnu, Bayu, Kala. Tetapi menurut R. Goris (sekte-sekte di Bali) sekte-sekte itu ada 9, yaitu : Bhairawa, Buddha, Sogata, Brahmana, Ganapati, Rsi, Pasupati, Sora (Surya), Siwa Sidhanta dan Waisnawa. Apapun nama-nama Sekte tersebut yang penting adanya kesepakatan bahwa ke 6 batang Sub/Sub Sekte termaksud telah mempersatukan dirinya kedalam satu paham yang dinamakan Trimurti, yaitu bahwa Tuhan itu hanya satu, namun mempunyai tiga fungsi yaitu sebagai Pencipta (Brahma), Sebagai Pemelihara (Visnu), dan sebagai Pelebur (Siwa). Paham termaksud sekarang dikenal dengan nama Agama Hindu. Untuk menghormati Mpu Kuturan yang telah berjasa mempersatukan umat berbagai Sekte di Bali, maka didirikanlah Pelinggih menjangan Saluang sebagai manifestasi dari bersatunya umat yang tadinya terpecah belah, menjadi pengikut satu aliran baru bernama Trimurti atau sebagai penganut Agama Hindu. Lebih lanjut bentuk Menjangan Saluang pun terlihat sebagai penggambaran atas ke 3 unsur masyarakat dan 6 Sub Sekte diatas: 1. Dilihat dari depan, rong paling kanan, mewakili unsur masyarakat yang berasal dari Jawa dan beragama Siwa. 2. Rong sebelah kirinya, dengan lambang kepala menjangan, mewakili golongan masyarakat pengikut Mpu Kuturan yang beragama Buddha Mahayana. Rong paling kiri masih dilihat dari depan yang terbagi lagi dalam 6 ruang-ruang kecil, mewakili 6 Sekte Agama dari unsure Bali Aga. Disamping mempersatukan 9 Sekte dan Sub Sekte Agama,
maka Pelinggih Menjangan Saluang dipandang sebagai suatu penyatuan pikiran, pandangan dan keinginan keluarga, jadi sebagai lambang persatuan dan kesatuan serta kerukunan rumah tangga dan keluarga. (Suhardana, 2006 : 121-123) Busana yang digunakan atau Wastra yang digunakan dalam pelinggih menjang saluang yaitu: kain berwarna putih kuning. Makna warna kain putih sebagai simbol kesucian. Banten yang di haturkan dalam piodalannya: Banten Tegteg Daksina, cang meraka dan Ajuman.
Bab IV Daftar Pustaka
https://www.facebook.com/notes/hindu-bali/pengertian-padmasana-dan-aturan-pembuatanpadmasana-secara-detail/342289322460387 http://stitidharma.org/padmasana/ http://stitidharma.org/padmasana-rewriting-version/ http://www.babadbali.com/canangsari/hkt-padmasana.htm http://bali-airport.com/detail/wisata/meru http://stitidharma.org/meru/ http://ayudewi18.blogspot.com/2014/01/mengkaji-pelinggih-dalam-merajan-gede.html http://id.wikipedia.com/wiki/Candi_Bentar/ http://komangputra.com/struktur-makna-pura-di-bali-berdasarkan-asta-kosala-kosali/