ANALISIS PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG DITINJAU DENGAN TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Oleh : ABDUL HAMID NPM : B2A009001
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat ujian Dan untuk memperoleh gelar Magister Hukum Pada Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Bengkulu
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS BENGKULU BENGKULU 2012
ANALISIS PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG DITINJAU DENGAN TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat ujian dan untuk memperoleh gelar Magister Hukum
Oleh : ABDUL HAMID NPM : B2A009001
Disetujui Oleh: PembimbingUtama
PembimbingPembantu
Dr.ELEKTISON SOMI, S.H.,M.H NIP.19770426 200812 1 001
M.YAMANI KOMAR,S.H., M.Hum NIP.19650310 199203 1 005
Mengetahui : Ketua Program Pascasajana Ilmu Hukum Universitas Bengkulu
Prof. Dr. Herawan S., S.H, M.S. NIP. 19641211 198803 1 001
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Karya tulis tesis saya ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (Sarjana, Magister dan atau Doktor) baik di Universitas Bengkulu Bengkulu (UNIB) maupun diperguruan diperguruan tinggi lainnya; lainnya; 2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan dari Tim Pembimbing; Pembimbing; 3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat saya yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang yang dicantumkan dalam daftar pustaka; 4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah saya peroleh karena karya ini, serta sanksi lain sesuai dengan norma yang berlaku diperguruan tinggi ini.
Bengkulu, 2012 Yang Membuat Pernyataan
ABDUL HAMID . NPM.B2A009001
iii
Ilmu Pengetahuan Bukanlah Tujuan, Melainkan Jalan Untuk Mencapai Tujuan (Syeh Muhammad Abduh)
Kebenaran Itu Berada Di Dalam Hati Hati Namun Untuk Untuk Menyadari Menyadari Dan Menggapai
Kebenaran
Itu
Terkadang
Memerlukan
Langkah
Perjalanan Yang Jauh ( A. Hamid)
Kupersembahkan Kupersembahkan terindah untuk:
Ibu yang selalu mendoakan untuk kesuksesan penulis serta Almarhum Ayah Dewi, istri tercinta yang selalu mendampingi memberikan dorongan dan semangat kepada penulis Ghita Amirah Althaf dan Rashika Nabilah Hamid Anak-Anakku Tersayang Tersayang
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Illahi Rabbi atas taufiq dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Penulisan tesis ini dengan judul Analisi Paraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong ditinjau dengan dengan
Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-
Undangan sebagai sebagai salah satu syarat s yarat untuk mengikuti ujian guna memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum pada Program Pendidikan Magister Program Studi Ilmu Hukum Bidang Kajian Utama Hukum dan Otonomi Daerah,
Program
Pascasarjana Universitas Bengkulu. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada : 1. Bapak Prof Ir. Zainal Muktamar, M.Sc.,Ph.D selaku Rektor Universitas Bengkulu; 2. Bapak M. Abdi,SH.MH selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Bengkulu; 3. Bapak Prof. Dr. Herawan Sauni, SH., MS selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Pascasarjana Universitas Bengkulu; 4. Bapak
Dr. Elektison Somi., SH., MH selaku selaku Pembimbing Pembimbing Utama Utama dalam
penulisan tesis ini; 5. Bapak M.Yamani M.Yamani Komar., SH., M.Hum selaku Pembimbing Pembimbing Pembantu dalam penulisan tesis sini; 6. Para Guru Besar dan segenap Dosen Pascasarjana Universitas Bengkulu;
v
7. Orang tua kandungku Ibu Maiyunah, yang selalu membimbing, memberikan kasih sayang, sayang, teladan dan selalu mendoakan mendoakan anak-anaknya anak-anaknya , 8. Dewi Wahyuni Wahyuni S.Pd. istriku yang setia setia mendampingiku, mendampingiku, tulus memberikan memberikan semangat dan dorongan dorongan untuk penulis penulis 9. Rekan-rekan seperjuangan seperjuangan Program Pascasarjana Pascasarjana Universitas Bengkulu; Bengkulu; 10. Semua pihak yang yang telah membantu dengan memberikan dukungan moril dan materil yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, penulis minta maaf dan mengucapkan terimakasih, Akhirnya semoga amal baik yang telah diberikan kepada penulis oleh pihak-pihak tersebut di atas akan mendapat balasan sesuai dengan amal perbuatannya.
Bengkulu,
Penulis
vi
2012
ABSTRAK
Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong dibentuk dan ditetapkan dalam rangka untuk menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan merupakan penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Oleh karena itu Peraturan Daerah tersebut tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Namun kenyataannya masih dijumpai pertentangan-pertentangan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong. Melalui tesis ini akan dianalisis Peraturan Daerah tersebut dengan teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan. Penelitian hukum ini termasuk penelitian hukum bersifat normative yaitu dengan menggunakan metode pendekatan yuridis formal untuk mengkaji konstruksi hukum dan pendekatan perundang-undangan untuk menelaah konsistensi dan kesesuaian Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi.
Berdasarkan
hasil
penelitian,
dijumpai
permasalahan
dan
bertentangan bertentangan dari aspek teknik penyusunan penyusunan Peraturan Peraturan Perundang-undangan, Perundang-undangan, baik pada aspek Judul, yang belum mencerminkan substansi rumusan materi dalam Peraturan Daerah, aspek pembukaan pembukaan pada konsideran menimbang menimbang belum memuat aspek sosiologis, filosofis dan aspek yuridis, belum memuat Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagai Dasar Hukum. Masih ada memasukkan dasar hukum yang tidak berkaitan secara langsung. Pada batang tubuh tubuh dijumpai materi materi rumusan Pasal-Pasal Pasal-Pasal yang tidak tidak jelas kabur sulit sulit untuk diartikan secara normatif termasuk pada ketentuan pidana memuat rumusan ancaman hukuman yang tidak jelas, oleh karena itu perlu pembenahan secara struktural dan Kultural dalam pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong baik dalam hal teknik penyusunannya dan substansinya sehingga apa yang dikehendaki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Rejang Lebong dalam Peraturan Daerah tersebut dapat terwujud.
vii
ABSTRACT
Rejang Lebong District regulations established and defined in order to implement regional autonomy and the duty of assistance and a further elaboration of legislation higher, taking into account the characteristics of each region. Therefore, the local regulation must not conflict with legislation which is higher. But the fact remains found contradictions in Rejang Lebong District Regulations. Through this thesis will analyze the regional regulation with the preparation technique legislation. Legal research includes the study of law is normative juridical approach to the use of formal methods to assess the legal construction and regulatory approaches to examine the consistency and appropriateness of District Regulations Rejang Lebong with legislation which is higher. Based on research results, problems encountered and contradictory aspects of the technique of preparation of legislation, both on aspects of title, which did not reflect the substance of the material in the formulation of local regulation, aspects of the opening of the preamble to weigh not contain aspects of sociological, philosophical and juridical aspects, not to load the Article 18 paragraph (6) of the Constitution of the Republic of Indonesia in 1945 as the Basic Law. There is still no legal basis to enter directly related. Material found on the torso formulation of Articles that are not clearly blurred difficult to be interpreted normatively include the provision contains a criminal penalty formulation is not clear, therefore it needs a structural reform in the formation of Regulation and Cultural District Rejang Lebong both in terms of engineering formulation and the substance so that what is desired by the District Government of Rejang Lebong in local regulation can be realized.
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................ JUDUL.............................................................. ............................................ ........................ HALAMAN PENGESAHAN............................... PENGESAHAN........................................................ ......................................... ................ PERNYATAAN............................................................................................. HALAMAN PERSEMBAHAN........ PERSEMBAHAN................................. ............................................... .................................... .............. KATA PENGANTAR.............................. PENGANTAR.................................................... ............................................ ................................ .......... ABSTRAK...................................................................................................... ABSTRACT.................................................................................................... DAFTAR ISI.......................................... ISI................................................................ ............................................ ................................... ............. DAFTAR LAMPIRAN................................. LAMPIRAN....................................................... ............................................ ............................ ......
hlm i ii iii iv v vii viii ix xi
BAB
I
PENDAHULUAN.............................. PENDAHULUAN.................................................... ....................................... ................. 1 A. Latar belakang.............................. belakang.................................................... ...................................... ................ 1 B. Rumusan Masalah................................. Masalah....................................................... .............................. ........ 14 C. Tujuan Penelitian................................... Penelitian......................................................... ............................. ....... 14 D. Manfaat Penelitian................................... Penelitian........................................................... ........................... ... 15 E. Keaslian Penelitian...................................... Penelitian............................................................ ........................ 15 F. Kerangka Pemikiran........................................ Pemikiran........................................................... ................... 17 1. Teori norma Hukum.................................... Hukum..................................................... ................. 17 2. Teori Desentralisasi.............................. Desentralisasi.................................................... ........................ .. 23 3. Teori Perundang-Undangan................ Perundang-Undangan...................................... ......................... ... 19
BAB
II
LANDASAN YURIDIS, TAHAPAN DAN TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH.............................. DAERAH.............................. A. Landasan Yuridis Penyusunan Peraturan Daerah............... Daerah............... B. Tahapan Penyusunan Peraturan Daerah............................. Daerah............................. C. Teknik Penyusunan Peraturan Daerah................................ Daerah................................
47 47 59 66 77 77 77 78 80
BAB
III
METODE PENELITIAN............. PENELITIAN................................... ............................................ ........................ .. 1. Jenis Penelitian................................ Penelitian...................................................... ............................. ....... 2. Pendekatan Penelitian................................... Penelitian.................................................. ............... 3. Teknik Pengumpulan Pengumpulan bahan Hukum............................ Hukum............................ 4. Teknik Analisa Bahan Hukum..................................... Hukum.....................................
BAB
IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.......... PEMBAHASAN....................... ............. 82 A. Konstruksi Peraturan Daerah Yang Bertentangan Dengan 83 Teknik Penyusunan Peraturan Daerah................................ Daerah................................ 1. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 5 Tahun 2006 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik dan Tata Cara Pengajuan, Pengajuan, Penyerahan Penyerahan Serta Pelaporan Penggunaan Bantuan Keuangan Partai Politik Di Kabupaten Rejang Lebong............... Lebong............... 83
ix
2.
3. 4.
5.
6.
Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 20 Tahun 2006 tentang Larangan Pelacuran dalam Kabupaten Rejang Lebong........................... Lebong............................................ ................. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 23 Tahun 2006 Tentang KerjaSama Desa.................. Desa.................. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 24 Tahun 2006 tentang Badan Permusyawaratan Desa............................................................................ Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Lebon g Nomor 29 Tahun 2006 tentang Kepala Desa Sebagai Pemangku Kawasan Hutan...................................... Hutan........................................... ..... Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 17 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Lalu Lintas Jalan Di Wilayah Kabupaten Rejang Lebong............. Lebong.............
93 103
109
124
137
B. Sebab-Sebab Tetap Diterapkannya Peraturan Daerah Labupaten Rejang Lebong Yang Bertentangan Dengan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan.......... Perundang-Undangan.......... 164 BAB
V
PENUTUP................................. PENUTUP....................................................... ............................................ ............................. ....... 176 1. Kesimpulan.......................................................................... 176 2. Saran..................................................................................... 177
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………... LAMPIRAN
x
179
DAFTAR LAMPIRAN
1. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 5 Tahun 2006 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik Politik
dan Tata Cara Cara Pengajuan, Pengajuan,
Penyerahan Penyerahan Serta Pelaporan Penggunaan Bantuan Keuangan Partai Politik Di Kabupaten Rejang Lebong. 2. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor
20 Tahun 2006
tentang Larangan Pelacuran dalam Kabupaten Rejang Lebong. 3. Peraturan Tentang
Daerah Kabupaten Rejang Lebong Lebong Nomor 23 Tahun 2006 KerjaSama Desa.
4. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Lebong Nomor
24 Tahun Tahun 2006 2006
tentang Badan Permusyawaratan Desa. 5. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 29 Tahun 2006 tentang Kepala Desa Sebagai Pemangku Kawasan Hutan. 6. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 17 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Lalu Lintas Jalan Di Wilayah Kabupaten Rejang Lebong.
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak
lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan
telah
diubah kembali kembali dengan dengan Undang-Undang Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun Tahun 2004 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah menyebabkan perubahan yang mendasar dalam tata kelola kelola pemerintahan di daerah, daerah, baik baik pemerintahan pemerintahan di tingkat provinsi, kabupaten/kota kabupaten/kota di di Indonesia Indonesia dalam hal kewenangan kewenangan pemerintahan daerah mengurus daerahnya sendiri. Kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur urusan pemerintahan sendiri sebagaimana tertuang dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, secara hirarki merupakan implementasi secara yuridis dari Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 NKRI setelah setelah amandemen kedua, kedua, yang berbunyi: ”Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. pembantuan.”” Tujuan otonomi
daerah pada hakekatnya adalah memberikan
kewenangan kepada daerah untuk mengurus rumah tangga daerahnya sendiri, dengan alasan bahwa Pemerintah Daerah yang lebih mengetahui
1
2
keadaan dan kondisi kondisi di daerah. daerah. Namun Namun demikian tidak semua kewenangan pemerintah pusat diserahkan kepada pemerintah daerah. Kewenangan pemerintah pusat yang tidak diserahkan atau dilimpahkan
kepada
pemerintah daerah berdasar Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah meliputi : Politik Luar Negeri, Pertahanan, Keamanan, Yustisi, Moneter dan Fiskal Nasional dan Urusan Agama. Dengan
adanya
kewenangan
untuk
mengurus
daerah
sendiri
berdasarkan Undang-Undang tentang Pemerintah Pemerintah Daerah, Daerah, mengharuskan mengharuskan pemerintahan
di daerah
membentuk regulasi-regulasi dalam upaya
melaksanakan roda pemerintahan di daerah yaitu dengan melahirkan peraturan daerah-peraturan daerah yang kondisi daerah.
sesuai dengan kebutuhan dan
Kewenangan pemerintahan daerah dalam membentuk
peraturan daerah, mempunyai legitimasi/dasar yang kuat, yakni secara yuridis formal didasari dalam UUD 1945 pada Pasal 18 ayat (6), yang berbunyi: Pemerintahan daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan
lain
untuk
melaksanakan
otonomi
dan
tugas
pembantuan. Kemudian juga diatur di dalam dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerinah Daerah pada Pasal 136 ayat (1), yang berbunyi sebagai berikut: Perda ditetapkan mendapatkan persetujuan bersama bersama DPRD.
oleh Kepala Kepala Daerah Daerah setelah
3
Pemerintahan Daerah yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal Pasal (18) ini bukan saja Gubernur, Gubernur, Bupati dan Walikota, akan akan tetapi termasuk termasuk di dalamnya adalah Dewan Perwakilan Perwakilan
Rakyat Daerah Daerah
(DPRD). Peraturan daerah yang dibentuk oleh Pemerintahan Daerah baik Gubernur, Bupati, Walikota bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pada dasarnya mempunyai fungsi: a.
b. c.
d.
e.
sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana diamanatkan dalam UndangUndang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah; merupakan peraturan pelaksana dari Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi; dalam fungsi ini, Peraturan Daerah tunduk pada ketentuan hierarki peraturan perundang-undangan, perundang-undangan, dengan demikian Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi; sebagai penampung kekhususan dan keragaman daerah serta penyalur aspirasi masyarakat di daerah, namun dalam pengaturannya tetap dalam koridor Negara kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan sebagai alat pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan 1 daerah.
Kemudian, peraturan daerah merupakan fungsi yang bersifat atribusi atribusi maksudanya bahwa Peraturan daerah melekat kewenangan-kewenangan sebagaimana diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Pemerintahan Daerah, terutama terutama dalam Pasal 136 136 yaitu:
1
Dirjen Peraturan perundang undangan, Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah, Penerbit Caplet Project 2008. hlm. 7.
4
a. b.
c. d.
Menyelenggarakan pengaturan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Menyelenggarakan pengaturan sebagai penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan daerah yang dibentuk oleh Pemerintahan Daerah, apabila
dilihat dari hierarki peraturan perundang-undangan atau kedudukannya, maksudnya jenjang tingkatan peraturan perundang-undangan, merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan dan merupakan bagian dari sistem hukum nasional, mengandung makna bahwa Peraturan daerah tidak dapat dipisahkan daris sistem hukum nasional, dimana keberadaan atau keabsahannya Peraturan Daerah jelas ada landasan hukumnya yaitu ditempatkannya Peraturan Daerah secara terhormat dalam Undang-Undang 2
Dasar 1945 setelah amandemen, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian peraturan peraturan daerah daerah secara hierarki hierarki juga diatur secara tegas tegas dalam Pasal 7 ayat (1) Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Perundang-Undangan, dimana dalam Pasal Pasal 7 ayat (1) menyebutkan : Jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2
H.M. Aziz, Dasar Dasar Konstitusional Pemerintah Daerah Dan Pembentukan Peraturan Daerah. Makalah disampaikan pada pendidikan pendidikan dan pelatihan penyusunan perancangan peraturan perundang perundang undangan, bulan Juni tahun 2010 di Jakarta Jakarta Hlm 4.
5
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Permusyawaratan Rakyat; Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undangan; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Undang-
Peraturan daerah daerah dilihat dari jenis dan hierarki sebagaimana sebagaimana tersebut di atas menunjukkan bahwa peraturan daerah kabupaten/kota menduduki strata paling rendah dari peraturan perundang-undangan. Termasuk dalam peraturan daerah berdasarkan Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf a, yaitu yaitu Qanun yang yang berlaku di Daerah Provinsi Provinsi Aceh Darussalam Darussalam dan Perdasus Perdasus serta Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua. Peraturan daerah merupakan penyelenggaraan dari ketentuanketentuan atau penjabaran penjabaran lebih lanjut lanjut dari peraturan yang yang lebih lebih tinggi, hal ini diatur di
dalam Undang-Undang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang tentang
Pemerintahan Daerah dalam
Pasal 136 ayat (3), yang yang berbunyi: Perda
sebagaimana sebagaimana yang dimaksud pada pada ayat ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut
dari peraturan perundang-undangan perundang-undangan
yang lebih tinggi dengan
memperhatikan ciri khas masing masing daerah. Peraturan Daerah bisa juga pelaksanaan dari peraturan menteri, peraturan menteri itu lebih tinggi dari peraturan daerah, oleh karena peraturan
daerah
lingkup
berlakunya
terbatas
pada
daerah
yang
bersangkutan, bersangkutan, sedangkan sedangkan peraturan peraturan menteri ruang berlakunya mencakup seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, Indonesia, maka secara
hierarki,
6
peraturan menteri berada di atas peraturan daerah, meskipun peraturan menteri tidak secara tegas dicantumkan dalam hierarki peraturan perundangundangan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Akan tetapi imflisit diakui sebagai salah satu jenis peraturan perundang undangan. Menteri Kehakiman Kehakiman dan Hak Asasi Asasi Manusia telah Menetapkan Menetapkan di dalam Surat Surat Edaran Edaran
Nomor M.UM.01.06-27 M.UM.01.06-27 yang yang menyatakan menyatakan bahwa
Keputusan Menteri yang bersifat mengatur merupakan salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan, dan secara hierarki terletak diantara 3
Keputusan Presiden dan Peraturan Daerah . Namun demikian hal tersebut untuk saat ini tidak menjadi landasan yang kuat karena Surat Edaran tersebut dikeluarkan tanggal 23 Pebruari 2001 sebelum lahirnya UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan yang sebagaimana telah dicabut dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Selain dari itu peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga resmi
lainnya
tetap
diakui
sebagai
Peraturan
Perundang-undangan
sebagaimana sebagaimana ketentuan dalam dalam Pasal Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Undang-Undang Nomor Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang berbunyi:
3
Maria Farida , Ilmu Perundang-Undangan, Jenis, Fungsi, dan MateriMuatan , Kanisius, yogyakarta 2007. hlm 94
7
“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup Peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, Badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, kepala Desa atau yang setingkat.” setingkat. ” Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 8 ayat ayat (1) di atas, atas, maka dapat dinyatakan bahwa peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga, badan atau komisi
berupa peraturan dimasukkan dalam jenis peraturan perundang-
undangan.
Hal ini
tentu dapat menimbulkan kesulitan menentukan
hierarkinya karena peraturan yang yang dibentuk oleh suatu suatu badan negara negara yang diberikan atribusi kewenangan kewenangan membentuk membentuk peraturan yang mengikat mengikat umum belum secara secara tertulis
dimasukkan dalam hierarki peraturan perundang-
undangan. Lebih lanjut Peraturan Daerah secara yuridis ruang lingkup keberlakuannya keberlakuannya terbatas pada daerah yang yang bersangkutan wilayah tertentu.
dalam suatu
Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota berdasarkan ketentuan Undang-Undang, maka peraturan daerah itu harus jelas dalam pengertian tidak menimbulkan multi tafsir karena merupakan penjabaran dan imflementasi dari peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Peraturan Daerah seharusnya tidak lagi menimbulkan banyak penafsiran
dari kaidah dan ketentuannya, karena
sudah bersifat teknis, jelas dan tinggal diterapkan di lapangan.
8
Tujuan pembentukan Peraturan Daerah sebagaimana disebutkan di atas tidak terlepas terlepas juga dari tugas pemerintah daerah daerah untuk membina membina dan menciptakan kesejahteraan masyarakat daerah. Oleh karena itu Peraturan Daerah yang dibuat haruslah sesuai dengan keadaan dan kondisi masyarakat di mana peraturan daerah tersebut diberlakukan. Peraturan Daerah Provinsi dan dan Peraturan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota harus mengandung mengandung asas-asas asas-asas materi muatan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 138 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yaitu yaitu materi muatan asas : a. b. c. d. e. f. g. h. i.
pengayoman; kemanusiaan; kebangsaan; kekeluargaan; kenusantaraan; bhineka tunggal ika; keadilan kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau keseimbangan keseimbangan ,keserasian ,dan keselarasan. keselarasan.
Namun
demikian,
berdasarkan
pengamatan
sebagaimana
dikemukakan di atas pada kenyataannya sampai saat belum banyak Peraturan Daerah Daerah sesuai yang diharapkan, diharapkan, yang demikian demikian ini ditunjukkan ditunjukkan dengan adanya ribuan peraturan daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang sudah dibatalkan/direvisi oleh Pemerintah Pusat karena menimbulkan menimbulkan permasalahan-permasalahan permasalahan-permasalahan dan bertentangan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan data resmi
9
Departemen Dalam Negeri dari tahun 2002 sampai tahun 2007, Peraturan Daerah yang dibatalkan adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tahun 2002 Tahun 2003 Tahun 2004 Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2007
: : : : : :
19 105 236 136 114 173
Selanjutnya berdasarkan
Peraturan Daerah; Peraturan Daerah; Peraturan Daerah; Peraturan Daerah; Peraturan Daerah; 4 Peraturan Daerah. data dari Kementerian Dalam Negeri
Republik Indonesia Indonesia setelah berlakunya berlakunya Undang-Undang Undang-Undang Nomor Nomor 32 Tahun 2004, jumlah Peraturan Peraturan Daerah yang yang dibatalkan sampai bulan Desember Tahun 2009 sebanyak 1983. Pada tahun 2010 sampai bulan September, 5
Peraturan Daerah yang sudah dibatalkan 328 .
Secara legalitas, dasar hukum pembatalan Peraturan Daerah tersebut termuat di Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dalam Pasal 145 ayat (2), yan g berbunyi ”Perda sebagaimana dimaksud pada ayat ayat (1) yang bertentangan bertentangan dengan kepentingan kepentingan umum dan /atau Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah. Akan tetapi hal ini apabila dilihat dalam hal kesetaraan tidak seimbang, karena pemerintah
secara sepihak mempunyai kewenangan
untuk membatalkan Peraturan Daerah, padahal Peraturan Daerah tersebut
4
Dirjen Peraturan Perundang Undangan, Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah, Penerbit Caplet Project 2008. hlm. vii 5 Andrian Krisnawati,SH.MH. Permasalahan Hukum Dalam Perancangan Peraturan makalah yang disampaikan didalam diklat Penyusunan dan Perancangan Peraturan Daerah , makalah Perundang- Undangan pada bulan September 2010 di Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Jakarta. hlm 33
10
jelas diatur di dalam Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945, dengan jelas menyatakan bahwa pemerintahan daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan lainnya lainnya untuk menyelenggarakan menyelenggarakan otonomi otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak diatur secara jelas (tersurat) bahwa pemerintah pusat diberi kewenangan membatalkan Peraturan Daerah atau peraturan lainnya di daerah. Seharusnya pembatalan Peraturan Daerah oleh peradilan yang netral dalam hal ini Mahkamah Agung melalui Pengujian Judicial (judicial review)
6
karena secara yuridis konstitusional ada dalam Pasal 24A ayat (1) UndangUndang Dasar 1945 yang berbunyi : Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji Peraturan Perundang-undangan di bawah
Undang-Undang
terhadap
Undang-Undang,
dan
mempunyai
wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang. Hal tersebut pun sudah sesuai sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Peraturan Perundang-undangan di bawah berbunyi: ”Dalam hal suatu Peraturan Undang-Undang
diduga
bertentangan
dengan
Undang-Undang,
Pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung”. Berdasarkan pengamatan Penulis masih dijumpai dijumpai Peraturan Daerah Daerah Kabupaten Rejang Lebong, Lebong, yang yang bermasalah atau bertentangan dari aspek aspek sistematika teknik penyusunan Peraturan Daerah Daerah yaitu bermasalah dalam
6
H.M. Aziz, Dasar Aziz, Dasar Dasar Konstitusional .........,Op.cit hlm 9
11
teknik dan metode perumusannya, perumusannya, penggunaan penggunaan bahasa hukum,
logika
hukum dan ketentuan normatifnya maupun dari aspek substansinya yang bertentangan dengan Peraturan Perundang- undangan yang lebih tinggi. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong tersebut antara antara lain yaitu: 1. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 5 Tahun 2006 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik Politik
dan Tata Cara
Pengajuan, Penyerahan serta Pelaporan Penggunaan Bantuan Keuangan Partai Politik Di Kabupaten Rejang Lebong. Lebong. 2. Peraturan Daerah Daerah Kabupaten Kabupaten Rejang Rejang Lebong Nomor 20 Tahun Tahun 2006 tentang Larangan Pelacuran dalam Kabupaten Rejang Lebong. 3. Peraturan Daerah Kabupaten Kabupaten Rejang Rejang Lebong Lebong Nomor 23 Tahun 2006 Tentang
Kerja Sama Desa.
4. Peraturan Daerah Daerah Kabupaten Kabupaten Rejang Rejang Lebong Nomor 24 Tahun Tahun 2006 tentang Badan Permusyawaratan Desa. 5. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 29 Tahun 2006 tentang Kepala Desa Sebagai Pemangku Kawasan Hutan. 6. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 17 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Lalu Lintas Jalan di Wilayah Kabupaten Rejang Lebong. Peraturan Daerah Daerah Rejang Lebong tersebut di atas bermasalah Pada Pada aspek teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, banyak yang belum sesuai dengan teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan,
12
dan pada aspek substansi bertentangn dengan Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi. Padahal tujuan dari diundangkannya UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan dan sebagaimana telah dicabut dan diganti dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan adalah agar ada tatanan yang tertib untuk membentuk Peraturan Perundang-undangan, Perundang-undangan,
baik berkaitan dengan sistem, asas, tata cara
penyiapan dan pembahasan, teknik penyusunan, pemberlakuannya maupun subtansinya agar ada pola, bentuk bentuk suatu ketentuan yang baku mengenai tata cara pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Aspek-aspek di dalam Peraturan Daerah Daerah Kabupaten Kabupaten Rejang Lebong Lebong yang bermasalah atau bertentangan menurut penulis yaitu pada aspek teknik penyusunan dan aspek substansinya. Pada aspek teknik penyusunan permasalahan yang ada, yaitu pada bagian dari dari kerangka Peraturan Peraturan Daerah Daerah baik itu pada pada Judul, Pembukaan Pembukaan Batang tubuh, Penutup, Penutup, Penjelasan maupun pada Lampiran. . Sedangkan pada aspek substansinya masih ditemui
muatan materi
atau isi Peraturan Daerah yang bertentangan dengan asas-asas pembentukan Peraturan Daerah yang yang baik baik
dan substansi substansi materi materi muatan bertentangan
dengan Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Sebagai akibatnya Peraturan Daerah yang bermasalah tersebut tidak efektif dan tidak mencapai sasaran sebagaimana tujuan yang diinginkan oleh
13
pembentuk Peraturan Daerah tersebut. Hal tersebut tersebut sangat merugikan baik dari aspek finansial, tenaga dan waktu yang telah dikeluarkan baik Pemerintah ddaerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di dalam membuat Peraturan Daerah tersebut. Di samping itu banyak berpengaruh terhadap pemerintahan di daerah itu sendiri, akan banyak program dan rencana pemerintah daerah yang seharusnya seharusnya tercapai menjadi terhambat oleh karena banyaknya Peraturan Daerah yang bermasalah. Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut di atas menarik untuk dilakukan pengkajian/penelitian lebih lanjut terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong yang bermasalah atau bertentangan yaitu dari perspektif teknik penyusunannya, yakni dalam persepktif legislatif drafting peraturan daerah yang terkait dengan masalah-masalah teknik dan metode perumusannnya, penggunaan bahasa hukum, logika hukum dan ketentuan normatif dalam peraturan daerah berdasarkan
Peraturan
Perundang
undangan. Pengkajian/penelitian Peraturan daerah ini didasari keinginan adanya Pembentukan Peraturan Daerah yang baik. Berkaitan
dengan
melakukan penelitian dalam sebuah ”ANALISIS LEBONG
hal
tersebut, tersebut,
maka penulis perlu
Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong ke
karya tulis Ilmiah berupa Tesis dengan diberi judul : PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG DITINJAU
DENGAN
TEKNIK
PERATURAN PERUNDANG-UNDANG PERUNDANG-UNDANGAN AN” ”
PENYUSUNAN
14
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah Bagaimanakah
konstruksi
Lebong yang dinyatakan dinyataka n
Peraturan Daerah Kabupaten Rejang
bertentangan bertentan gan
dengan teknik penyusunan
Peraturan Perundang-undangan? Perundang-undangan? 2.
Mengapa
Peraturan Peratur an
Daerah
bertentangan dengan teknik
Kabupaten
Rejang
lebong
yang
Penyusunan Penyusunan Peraturan Perundang
undangan yang ada tetap diterapkan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian penelitian ini adalah : 1.
Tujuan Umum : Untuk memberikan masukan dan sumbangan pemikiran dalam rangka penyusunan penyusunan Peraturan Daerah yang baik berdasarkan peraturan perundang undangan .
2.
Tujuan khusus: a. Untuk mengetahui dan memahami
kontruksi
Peraturan Daerah
Kabuapten Rejang Lebong yang dinyatakan bertentangan atau bermasalah dari teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan
15
b. Untuk mengetahui sebab dan alasan tetap diterapkannya Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong yang bertentangan atau bermasalah dari teknik Penyusunan Penyusunan Peraturan Perundang-undangan. Perundang-undangan.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat secara teoritis Secara teoritis penulisan ini diharapkan diharapkan bermanfaat bermanfaat sebagai sebagai bagian dari upaya pengembangan wawasan dan ilmu pengetahuan dalam lingkup Hukum Tata Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Negara khususnya khususnya bagian
pada
Ilmu Perundang-Undangan Perundang-Undangan yang berkaitan dengan dinamika
pembentukan Peraturan Daerah. 2.
Secara Praktis Secara praktis penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan kajian dan kontribusi dalam Pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong dalam perspektif perspektif teknik penyusunan penyusunan peraturan peraturan perundang-undangan dan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan perbandingan dalam upaya Membentuk Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong .
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil hasil penelusuran oleh penulis penulis dari berbagai sumber yakni Perpustakaan
Universitas
Bengkulu,
Perpustakaan
Fakultas
Hukum
16
website, memang sudah ada beberapa Bengkulu dan jaringan internet/ website beberapa karya
tulis ilmiah berbentuk Tesis yang meneliti mengenai Peraturan Daerah, yakni yang ditulis oleh Arief Wirawan dengan judul ”Pertimbangan Perumusan Sanksi Pidana Dalam Peraturan Daerah dan Penerapannnya di Kota Bengkulu,” Bengkulu,” yang substansi penelitian mengenai perumusan sanksi pidana dan penerapan sanksinya di kota Bengkulu. Kemudian Tesis karya Rahmad
Intihan
dengan
judul
”Pengawasan
Peraturan
Daerah
Kabupaten/Kota oleh Pemerintah Provinsi Bengkulu Bengkulu””, dan beberapa tesis lainnya yaang substansi penelitian memfokuskan pada aspek pengawasan pelaksanaan Peraturan Daerah oleh Pemerintah Provinsi Bengkulu. Namun secara substansi, materi karya tulis yang berbentuk tesis tersebut di atas berbeda dengan substansi yang penulis teliti. Para Penulis tesis sebelumnya tidak ada yang membedah, mengkaji dan menganalisis mengenai Peraturan Daerah yang bertentangan atau masalah dalam perspektif pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Begitu juga terhadap objek penelitian dalam beberapa beberapa tesis tersebut yang juga berbeda. Kemudian Kemudian berdasarkan berdasarkan penelusuran melalui melalui jaringan internet atau Website ada juga beberapa beberapa karya tulis
yang lain yang meneliti mengenai mengenai peraturan daerah akan akan tetapi
substansinya berbeda dan objek penelitiannya Peraturan Daerah di luar wilayah Provinsi Bengkulu. Berdasarkan pertimbangan dan alasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Karya Karya Tulis tentang analisis analisis Peraturan Daerah Kabupaten Kabupaten Rejang Rejang
17
Lebong di tinjau ti njau dengan teknik penyusunan penyusunan Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan yang dibuat penulis ini adalah asli.
F. Kerangka Pemikiran I
Teori Norma Hukum
Pemaknaan Norma dapat diartikan sebagai suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungan dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya lingkungannya dan dapat juga diartikan sebagai sebagai suatu ukuran atau atau patokan bagi seseorang dalam bertindak dan bertingkah laku dalam masyarakat, dan norma itu banyak banyak bentuknya, ada norma agama, norma adat, norma moral dan norma lainnya. lainnya. Jadi inti suatu norma adalah segala segala aturan yang harus dipatuhi, akan tetapi tetap ada perbedaan antara norma hukum dan normanorma lainnya. Perbedaannya Perbedaannya
adalah pertama: norma hukum bersifat
heterogen artinya norma hukum datangnya dari luar diri seseorang, artinya dari lembaga yang yang berwenang, berwenang, sedangkan sedangkan norma lainnya bersifat bersifat otonom artinya datang dari diri seseorang untuk melaksanakan tergantung pada kesadarannya contohnya berlaku baik dan sopan, kedua, norma hukum dapat dilekati dengan sanksi pidana maupun sanksi pemaksaan secara pisik, sedangkan sedangkan norma lainnya tidak dapat dapat dilekati dengan dengan sanksi pidana. pidana. dan sanksi pemaksa secara fisik. Ketiga norma hukum dalam hal pelaksanaan sanksinya oleh aparat penegak penegak hukum, polisi, jaksa dan hakim, sedangkan sedangkan
18
norma-norma lainnya lainnya sanksinya berasal berasal dari dirinya sendiri atau dikucilkan dari masyarakat. Menurut
7
Maria Farida, Farida, norma hukum itupun dapat dapat dilihat dari dari
berbagai segi, segi, apabila dilihat dilihat segi alamat alamat yang dituju atau diperuntukkan, diperuntukkan, maka norma hukum
dapat dibedakan antara norma hukum umum dan
norma hukum individu. Artinya norma hukum umum ditujukan kepada semua orang, orang, sedangkan norma hukum hukum individu artinya ditujukan kepada kepada seseorang. seseorang. Kemudian norma hukum dilihat dari hal yang diatur maka norma hukum dibedakan antara norma hukum abstrak dan norma hukum yang konkret. Norma hukum abstrak artinya norma hukum hanya merumuskan perbuatan itu secara abstrak, rumusannya antara lain: .....mencuri....., membunuh dan seterusnya, seterusnya, sedangkan sedangkan norma hukum konkret konkret adalah norma hukum yang melihat perbuatan seseorang
secara nyata,
contoh
rumusannya: ...mencuri mobil merek toyota... ...sibadu membunuh dengan sebuah parang..., dan seterusnya. Kemudian norma hukum itu dapat dilihat dari segi daya lakunya, maka norma hukum dibagi dua yaitu: norma hukum yang berlaku terus dauerhaftig) dan norma hukum yang berlaku sekali-selesai menerus ( dauerhaftig) einmahlig). Norma hukum yang berlaku terus menerus adalah norma (einmahlig). hukum yang berlakunya tidak dibatasi oleh waktu, berlaku terus menerus , 7
Maria Farida indrati, Ilmu Perundang-Undangan, Jenis, Fungsi Dan Materi Kanisius, Yogyakarta, Yogyakarta, 2007,hlm 27 Muatan,Cet,5, Kanisius,
19
sampai peraturan itu dicabut atau diganti. Sedangkan norma hukum yang berlaku sekali-selesai sekali-selesai adalah norma norma hukum yang berlakunya satu satu kali saja dan setelah itu selesai, selesai, biasanya biasanya sifatnya penetapan, contohnya penetapan seseorang diangkat sebagai Pegawai Pegawai Negeri Sipil.
8
Suatu norma hukum dapat pula berupa norma hukum tunggal dan norma hukum hukum berpasangan. berpasangan. Norma hukum tunggal tunggal adalah norma hukum yang berdiri sendiri tidak diikuti suatu norma hukum lainnya isinya merupakan suatu suruhan ( das
Sollen),
sedangkan norma hukum
perpasangan adalah norma hukum yang terdiri atas dua norma hukum yaitu norma hukum primer dan norma hukum sekunder. Menurut D.W.P Ruiter, Sifat norma hukum
dalam peraturan
perundang-undangan perundang-undangan dapat berupa: berupa: (1) Perintah ( gebod); (2) Larangan ( verbod); (3) Pengizinan ( toestemming); dan (4) Pembebasan ( vrijstelling) .
9
Selanjutnya menurut Ruiter sebuah norma norma termasuk norma hukum hukum mengandung unsur-unsur berikut: a. cara keharusan berprilaku (modus van behoren) , disebut operator norma; b. seseorang atau sekelompok orang adresat (norm adresaat) disebut subyek norma;
8 9
Ibid hlm 30 Ibid hlm 37
20
c. perilaku yang yang dirumuskan dirumus kan (normgedrag), disebut objek norma; 10 d. syarat-syaratnya (normcondities) disebut kondisi norma .
Lebih lanjut menurut Hans Kelsen, hukum termasuk dalam sistem norma yang dinamik oleh karena itu hukum selalu dibentuk dan dihapus oleh lembaga otoritas otoritas yang berwenang. berwenang. Hans Kelsen Kelsen mengemukakan mengemukakan teori mengenai jenjang norma hukum ( Stufentheorie) yaitu, bahwa : ”norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber bersumber dan berdasar pada pada norma yang lebih tinggi, tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu norma 11 dasar ( Grundnorm) ” . Kemudian menurut Adolf Merkl Merkl salah seorang seorang murid Hans Kelsen mengemukakan bahwa norma hukum itu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsanlits) dalam arti bahwa suatu norma hukum itu ke atas
bersumber dari norma hukum hukum diatasnya dan dan ke bawah menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma hukum di bawahnya. Apabila norma hukum yang berada di atasnya dicabut atau dihapus, pada dasarnya norma-norma hukum yang berada di bawahnya akan tercabut atau terhapus pula. Norma hukum itu menurut Benyamin Akzin dalam bukunya ” Law state,and internasional legal order” ada dua yaitu: ”norma hukum publik dan norma hukum privat, norma hukum publik bentuk oleh lembaga lembaga negara (penguasa negara, wakil-wakil rakyat), sedangkan norma hukum privat dibentuk selalu sesuai dengan 10 11
Ibid hlm 35 Ibid hlm 141
21
kehendak/keinginan kehendak/keinginan masyarakat, oleh karena hukum privat ini dibentuk oleh masyarakat yang bersangkutan dengan perjanjian, oleh karena karena itu jika dilihat pada aspek aspek struktur lembaga maka norma hukum publik lebih lebih tinggi 12 kedudukannya kedudukannya dibandingkan norma hukum privat ”. Kemudian Teori norma hukum Negara dikemukakan oleh Hans Nawiasky, (die Theorie vom Stufenornung der Rechtsnormen Rechtsnormen ) salah seorang
murid Hans Kelsen, yang menyatakan menyatakan bahwa sesuai sesuai dengan teori Hans Kelsen, maka suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis lapis dan berjenjang jenjang juga berkelompok kelompok. Hans Nawiasky mengelompokkan mengelompokkan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar yaitu; 1. Norms fundamental negara (Staatsfundamentalnorm) yaitu norma fundamental negara yang yang mempunyai mempunyai ciri: a. Bersifat presupposed dan aximatis; b. Norma tertinggi dalam tata susunan norma hukum negara; c. Landasan filosofis bagi bagi pengaturan pengaturan lebih lanjut penyelenggaraan penyelenggaraan negara; dan d. sumber dan dasar bagi pembentukan staagrunggesetz. 2. Aturan dasar negara /aturan pokok negara ( Statsgrundgesetz); yaitu norma/aturan dasar negara yang mempunyai ciri: a. Bersifat benegral dan garis besar; b. Berbentuk norma hukum tunggal; c. Aturan mengenai pembagian kekuasaan negara; d. Aturan mengenal hubungan antara negara dan warga negara; e. Sumber dan dasar bagi pembentukan foermell Gesetz . 3. Undang-Undang formal/formel gesetz gesetz yaitu undang-undang undang-undang formal yang mempunyai ciri-ciri: a. Bersifat spesifik dan rinci; b. Berbentuk norma tunggal atau berpasangan; c. Produk dari kewenangan legislatif; d. Sumber dan dasar bagi pembentukan Verornung Satzung atau peraturan pelaksana. 4. Aturan pelaksana dan aturan otonom ( verordnung & autonome Satzung) yang mempunyai ciri: 12
Ibid hlm 43.
22
a. Bersifat spesifik dan rinci; b. Dibentuk berdasarkan pelimpahan kewenangan pengaturan (delegated legislation) dari undang-undang atau peraturan perundang-undangan di atasnya; c. Merupakan aturan pelaksana dari aturan yang lebih tinggi bersifat 13 imflementatifal .
Di dalam hubungannya terhadap Norma Hukum Negara Indonesia, maka norma hukum yang tertinggi menurut Hamid S. Attamimi adalah norma fundamental negara ( Staatsfundamentalnorm) adalah norma yang tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, tetapi bersifat presupposed
atau ditetapkan terlebih dahulu,
merupakan landasan dasar
filosofis yang mengandung kaidah-kaidah dasar bagi pengaturan negara lebih lanjut,
14
yaitu Pancasila. Sedangkan Sedangkan aturan dasar/pokok negara negara adalah
UUD 1945. Kemudian di bawah bawah aturan dasar/pokok negara itu adalah adalah undang undang undang formal, formal, merupakan norma hukum hukum yang kongkrit dan dan terinci dan dan sudah dapat langsung berlaku di dalam masyarakat, karena norma hukum ini sudah dapat dicantumkan norma-norma yang bersifat sanksi, baik sanksi pidana maupun sanksi pemaksaan. Norma hukum di bawah Undang-Undang Undang-Undang yaitu peraturan peraturan pelaksana dan peraturan peraturan otonom. Peraturan Pelaksana Pelaksana bersumber dari dari kewenangan kewenangan delegasi sedangkan peraturan otonom bersumber dari kewenangan atribusi.
13
Sony Maulana. S. Norma Hukum Dasar Negara, Negara, makalah disampaikan dalam pelatihan jabatan jabatan Fungsional Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan tahun 2010 Kemenkumham Depok, pada tanggal 01 Juni 2010 hlm 5 14 Ibid ..hlm 47
23
Kewenangan atribusi yaitu kewenangan untuk
peraturan perundang
undangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar atau undang-undang kepada suatu lembaga negara /pemerintah. /pemerintah. Kewenangan tersebut melekat melekat terus menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan,
sesuai
dengan
batas-batas
kewenangan delegasi ialah pelimpahan
yang
diberikan.
kewenangan kewenangan
Sedangkan membentuk
peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan perundangundangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, baik pelimpahan dinyatakan dengan tegas maupun tidak. Dimana kewenangan tersebut tidak diberikan tetapi diwakilkan, dan kewenangan kewenangan delegasi itu bersifat sementara sementara dalam artian kewenangan kewenangan ini dapat diselenggarakan sepanjang pelimpahan tersebut masih ada, sebagai contoh di dalam Pasal Pasal 146 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 2004 tentang Pemerintah
Daerah
yang
merumuskan
untuk
melaksanakan peraturan daerah dan atau kuasa peraturan perundang undangan kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah.
15
II . Teori Desentralisasi
Desentralisasi Desentralisasi secara etimologis menurut RDH, koesoemahatmadja , dalam bukunya Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintah Daerah di Indonesia ,
15
Maria Farida Op.Cit hlm 56.
24
menjelaskan istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin yaitu ”de= lepas ”centrum” = pusat. Jadi, berdasarkan peristilahannya desenteralisasi dan ”centrum” adalah melepaskan dari pusat. Berkaitan dengan dengan itu pula dikenal dikenal istilah otonomi yang berasal dari istilah ”outonomie” berasal dari bahasa yunani (autos= sendiri; nomos = undang undang) yang berarti perundang undangan sendiri ( zelfwetgeving) zelfwetgeving).
16
Namun demikian demikian definisi desentraliasi desentraliasi itu sendiri mempunyai mempunyai makna yang beragam dari
pemikiran para sarjana. Person
mendefinisikan
desentralisasi itu sebagai sebagai pembagian kekuasaan antara pemerintahan pemerintahan dari dari
pusat dengan kelompok lain yang masing- masing mempunyai wewenang 17
kedalam suatu daerah tertentu dari suatu negara . Selanjutnya menurut desentalisasi
Rondinelli dan Cheema mendefinisikan
merujuk perspektif yang lebih luas, tetapi tergolong
persepektif administrasi, yaitu
perpindahan, perpindahan, perencanaan, perencanaan, pengambilan
keputusan, atau kewenangan administrasi dari pemerintah pusat ke organisasi bidangnya, unit administrasi daerah semi otonom dan organisasi parasttal, pemerintah daerah atau organisasi-organisasi non pemerintah. Rondenelli dan Chreema Chreema membagi empat empat tipe desentralisasi yaitu yaitu :
18
19
a. desentralisasi yaitu : distribusi wewenang administrasi di dalam struktur pemerintahan ;
16
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD Dan Kepala Daerah PT Alumni Bandung 2008. hlm 21 17 Ibid .hlm 116, 18 Ibid hlm 116. 19 Ibid hlm 117
25
b. delegasi yaitu : mendelegasian otoritas manajemen dan pengambilan keputusan atas fungsi-fungsi tertentu yang sangat spesifik, kepada organisasi-organisasi yang secara langsung tidak di kontrol pemerintah; c. devolusi yaitu: yaitu: penyerahan penyerahan fungsi fungsi dan otoritas dari pemerintah pusat kepada daerah otonom; d. swastanisasi adalah penyerahan beberapa otoritas dalam perencanaan dan tanggung jawab administrasi tertentu kepada organisasi swasta. Amrah Muslimin, membedakan desentralisasi menjadi
Kemudian desentralisasi
politik,
desentralisasi
fungsional,
kebudayaan, Desentralisasi politik adalah
dan
desentralisasi
pelimpahan pelimpah an kewenangan dari
pemerintah pusat, yang menimbulkan hak mengurus kepentingan rumah tangga sendiri sendiri bagi badan-badan badan-badan politik di daerah-daerah, daerah-daerah, yang yang dipilih oleh rakyat dalam daerah tertentu, sedangkan Desentralisasi fungsional adalah pemberian hak dan kewenangan pada golongan-golongan mengurus suatu macam atau golongan kepentingan dalam masyarakat, baik terikat ataupun tidak pada suatu daerah tertentu. tertentu. Selanjutnya Selanjutnya Desentralisasi kebudayaan yaitu memberikan hak pada golongan-golongan golongan-golongan kecil dalam
masyarakat
minoritas menyelenggarakan kebudayaan sendiri (mengatur pendidikan, 20
agama, dan lain lain) . Selanjutnya
Menurut
RDH.Koesoemahatmadja,
lazimnya desentralisasi desentralisasi itu dapat dibagi dibagi ke dalam 2 macam macam :
menyatakan
21
1. Dekonsentrasi (deconcentratie (deconcentratie atau ”ambtelijke decentralisatie”, decentralisatie”, yaitu pelimpahan kekuasaan dari alat al at kelengkapan negara tingkatan lebih atas kepada bawahnya guna melancarkan pekerjaan di dalam 20
Ibid hlm 118 Ibid hlm 119-120
21
26
melaksanakan tugas pemerintahan, misalnya pelimpahan kekuasaan dan wewenang menteri kepada gubernur; 2. Desentralisasi ketatanegaraan ( staatkundige decentralisatie )atau disebut juga desentralisasi politik yaitu pelimpahan kekuasaan perundangan dan pemerintahan ( regelende en besturende bevoegheid ) kepada daerah otonom di dalam lingkungannnya. Di dalam desentralisasi desentralisasi politik ini, rakyat dengan menggunakan menggunakan saluran-saluran tertentu( perwakilan) ikut serta di dalam pemerintahan, dengan batas wilayah daerah masing masing.
Desentralisasi ketatanegaraan ketatanegaraan dapat dibagi lagi dalam 2 macam : 1. Desentralisasi teritorial ( terrioriale decentralisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah masing-masing (otonom); 2. Desentralisasi fungsional ( fungtionale decentralisatie ), ), yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sesuatu atau beberapa kepentingan kepentingan tertentu, didalam desentralisasi desentralisasi semacam itu ini dikehendaki agar kepentingan-kepentingan tertentu tadi di selenggarakan
oleh
golongan
golongan
yang
bersangkutan
22
sendiri.
Landasan konstitusional dari desentralisasi dalam tatanan Pemerintah Indonesia adalah adalah pada ayat (5) dan ayat ayat (6) dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945
yang memberikan kewenangan
pemerintah daerah
menjalankan otonomi seluas luasnya , kecuali urusan pemerintah yang oleh undang undang undang ditentukan sebagai sebagai urusan pemerintah pusat pusat dan pemerintah
22
Ibid hlm 120
27
daerah
berhak menetapkan menetapkan peraturan daerah dan dan peraturan peraturan lain untuk
melaksanakan melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Sejak diberlakukannnya diberlakukannnya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah, banyak terjadi perubahan mendasar pada sistem penyelenggaraan urusan/kewenangan urusan/kewenangan
pemerintah
di
daerah,
dengan
konsekuensi
pemerintah pusat yang telah dilimpahkan
serahkan ke daerah, daerah, dan
atau di
hubungan hubungan hierarki pemerintah kabupaten/kota
terhadap provinsi tidak lagi bersifat hieraki yang yang berjenjang berjenjang tetapi, tetapi tetapi setiap
pemerintah daerah berkedudukan berkedudukan sebagai sebagai daerah daerah otonom. otonom.
23
Akan
tetapi apabila dilihat dari hubungan hubungan hirarki hirarki peraturan perundang-undangan, perundang-undangan, maka Peraturan Daerah Provinsi lebih tinggi
dari Peraturan Daerah
kabupaten/kota, hal ini didasarkan pada BAB II Jenis , hierarki, dan materi muatan Peraturan Peraturan perundang-undang perundang-undangan an dalam Pasal 7 ayat (1) UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan
Perundang-Perundangan, Perundang-Perundangan, dimana dalam Pasal 7 tersebut
Peraturan menentukan
Peraturan Daerah Provinsi pada urutan huruf “f” dan peraturan Daerah Kabupaten/kota Kabupaten/kota dibawahnya yaitu pada urutan huruf “g” . Ini berarti secara eksplisit/tersurat telah menunjukkan bahwa Peraturan Daerah Provinsi lebih tinggi satu tingkat dari Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Hal ini membawa konsekwensi konsekwensi bahwa Peraturan daerah kabupaten/kota tidak boleh bertentang dengan peraturan daerah provinsi. provinsi. 23
Baban Sumandi, Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah , cet. 1 Humaniora, Bandung 2005, hlm 28
28
Penyerahan Penyerahan wewenang wewenang pemerintahan pemerintahan oleh pemerintah pusat pusat kepada pemerintah daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara kesatuan kesatuan Republik Republik Indonesia Indonesia sebagai makna dari pengertian desentralisasi dalam Pasal 1 Butir 7 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, secara yuridis formal mengandung makna bahwa Pemerintahan
daerah berhak membentuk
Peraturan perundang-undangan baik dalam bentuk Peraturan daerah Provinsi,
Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota
dan
dalam upaya untuk
Peraturan
Gubernur,
Peraturan
mengatur dan mengurus daerah
otonom dan menjalankan roda pemerintahan di daerah. Dengan ketentuan bahwa dalam membuat membuat peraturan, organ yang yang lebih rendah rendah harus dan tentu saja tetap berada dalam batas-batas dan rambu yang telah ditetapkan oleh peraturan yang lebih tinggi
24
Di dalam otonomi daerah tidak saja kewenangan desentralisasi saja yang diberikan diberikan , akan akan tetapi juga pemberian kewenangan kewenangan dekonsentrasi sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1 butir 8 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 2004 Tentang Pemerintah Daerah Daerah yang berbunyi : Dekonsentrasi Dekonsentrasi adalah Pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan /atau kepada Instansi Vertikal di wilayah tertentu. Serta dalam Pasal I butir 9 yang berbunyi: tugas pembantuan/Medebewind adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah 24
IC. Van Der Vlies, Hanboek Wetgeving hlm 34 Perundang Undangan ) Dirjen PP ,Jakarta 2005, hlm
( Buku
Pegangan Perancang
29
dan/atau desa,dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
III. Teori Peraturan Perundang-Undangan
Mengenai jenis peraturan perundang-undangan perundang-undangan suatu negara dapat berbeda-beda antara antara yang dikeluarkan dikeluarkan pada satu satu masa tertentu dengan masa yang lain, meskipun secara hirarki tetap ada tingkatan-tingkatan. Perbedaan tersebut terjadi karena sangat ditentukan oleh suatu rezim yang berkuasa saat itu. Rezim Rezim yang berkuasa sangat menentukan urutan tingkatan tingkatan /jenjang suatu peraturan perundang undangan yang ditentukan oleh sistem ketatanegaraan ketatanegaraan suatu negara tersebut, t ersebut, termasuk di negara Indonesia. Sistem ketatanegaraan suatu negara dapat diketahui dari undang undang dasar negara bersangkutan, karena undang-undang undang-undang dasar merupakan bentuk peraturan peraturan perundang-undangan perundang-undangan tertinggi dalam suatu negara, negara, dan secara teoritis teoritis semua peraturan peraturan perundang-undangan perundang-undangan di bawah tingkatnya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dasar tersebut. Menurut
Maria
Farida,
bahwa
Ilmu
perundang-undangan perundang-undangan
berorientasi kepada melakukan perbuatan, dalam hal ini melakukan pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk di dalamnya proses perencanaan perencanaan dan penyusunannya penyusunannya serta serta bersifat normatif dan ke dalam teori perundang-undangan perundang-undangan
yang berorientasi kepada mencari kejelasan dan
30
kejernihan dan dalam pengertian serta kognitif. Sedangkan teori perundangundangan menyangkut dasar-dasar bagi hukum
dibidang perundang-
undangan positif sebagaimana yang diungkapkan. Suatu undang-undang undang-undang dapat dapat saja dirumuskan secara ilmiah dari segi yuridis, tetapi dari segi kemasyarakatan tidak dapat berfungsi sesuai dengan tujuan. Oleh karena orang tidak atau kurang memperhatikan segi-segi non yuridis. oleh karena itu diperlukan gagasan untuk mengembangkan ilmu 25
perundang-undangan . Karena Hukum atau peraturan perundang-undangan itu bersifat dinamis dan erat kaitanya dengan perubahan-perubahan kemajuan dan sosial kultur suatu masyarakat bangsa dan negara. Untuk menguji suatu peraturan perundang-undangan perundang-undangan
bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka ada dua lembaga negara yang mempunyai kewenangan tersebut berdasarkan Undang-Undang dasar 1945, apabila Peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, menjadi kewenangan Hakim di Mahkamah Agung, namun untuk menguji
suatu Undang-Undang bertentangan
Undang-
Undang Dasar 1945, adalah kewenangan Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mengadili mengadili pada tingkat pertama pertama dan terakhir yang putusanya putusanya bersifat final sebagaimana sebagaimana diatur di dalam Pasal 10 Ayat Ayat (10) huruf a UU Nomor Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
25
IC. Van der Vlies, Hanboek wetgeving ( Buku Pegangan Perancang Perundang Undangan ) Dirjen Peraturan Perundang-undangan ,Jakarta 2005 hlm 39
31
Jenis peraturan perundang-undangan perundang-undangan
Negara Indonesia sejak
merdeka 17 Agustus 1945 sampai perubahan /amandemen ke- 4 saat ini, menurut Sri Hariningsih ,
26
telah mengalami perbedaan baik mengenai
jenis dan hirarkinya, oleh karena telah mengalami 5 (lima) kali pergantian Undang-Undang Dasar. Dasar. Yaitu dimulai dari : 1. Masa dibawah Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum perubahan). 2. Masa Republik Indonesia Serikat (Tahun 1949-Tahun 1950). 3. Masa Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950. 4. Masa setelah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli Tahun 1959. 5. Masa Pasca Perubahan UUD 1945 (Amandemen 1 – 1 – IV). IV). Pada masa Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen, tingkatan jenis Peraturan Perundang undangan terdiri dari : a. Undang -Undang Dasar. b. Undang – Undang – Undang. Undang. c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang. d. Peraturan Pemerintah. Meskipun dalam Undang-Undang Dasar 1945
secara tegas disebut
hanya 3 (tiga) saja Jenis Peraturan Perundang-Undangan di bawah UndangUndang Dasar Dasar 1945, dalam prakteknya prakteknya pemerintah mengeluarkan mengeluarkan berbagai jenis produk hukum yang lain yakni :
26
Sri Hariningsih. Jenis Dan Fungsi Serta Materi Muatan Peraturan Perundang Undangan, makalah Disampaikan Tanggal 21 Juni 2010 Pada Pelatihan Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan Angkatan I Tahun 2010, Departemen Hukum Dan Ham RI hlm 5
32
1) Penetapan Presiden; 2) Peraturan Presiden; 3) Penetapan Pemerintah; 4) Maklumat Pemerintah; 5) Maklumat Presiden; dan 6) Pengumuman Pemerintah. Selanjutnya pada masa
Republik Indonesia Serikat (RIS) Jenis
Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan yaitu: a. Undang-Undang Undang-Undang Dasar 1950. b. Undang-Undang c. Undang-Undang Darurat d. Peraturan Pemerintah. Pada masa RIS itu dijumpai pula produk hukum lain oleh pemerintah yaitu: 1) Keputusan Presiden; 2) Peraturan Menteri; 3) Keputusan Menteri. Pada masa
setelah Dekrit Presiden Presiden tanggal tanggal 5 Juli 1959, 1959, jenis
peraturan perundang-undangan perundang-undangan terdiri dari d ari : a.
Undang-Undang.
b.
PERPU.
c.
Peraturan Pemerintah.
33
d.
Penetapan Presiden.
e.
Peraturan Presiden.
f.
Keputusan Presiden.
g.
Peraturan Menteri Dan Keputusan Menteri.
Pada tahun 1966 dikeluarkan Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Tertib Hukum dan Tata Urutan Urutan
Peraturan Perundang-
Undangan Republik Indonesia yaitu : a. UUD 1945. b. TAP MPR. c. Peraturan Pemerintah. d. Keputusan Presiden. e. Peraturan pelaksana lainnya, seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri. Pada masa Pasca Perubahan UUD 1945. Tata urutan atau jenis Peraturan perundang-undangan berdasar TAP MPR Nomor III/MPR/2000 adalah: a. Undang-Undang Undang-Undang Dasar 1945. b. TAP MPR-RI. c. Undang-Undang. d. Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang. Undang-Undang. e. Peraturan Pemerintah f.
Keppres.
34
g. Peraturan Daerah. Dengan
27
ditetapkannya ditetapkannya Tap MPR Nomor III/MPR/2000
banyak
menemui pertentangan/kontroversi pertentangan/kontroversi dalam pelaksanaannya, pelaksanaannya, karena : 1.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diletakkan di bawah Undang-Undang, Undang-Undang, padahal seharusnya seharusnya sejajar, sejajar, karena substansi yang yang diatur memang substansi Undang-Undang. Undang-Undang.
2.
Tidak mencantumkanya Peraturan Menteri, padahal Menteri yang diberi tugas dan tanggung jawab untuk bidang tertentu dalam penyelenggaraan penyelenggar aan pemerintahan, pemerin tahan,
punya wewenang
dan untuk
mengatur hal-hal teknis yang menjadi lingkup tugas dan tanggung jawabnya.
28
Dalam Pasal 2 Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Sumber Hukum Dan Dan Tata Tata Urutan Urutan Peraturan Peraturan Perundang-Undangan, Perundang-Undangan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditempatkan berada
di
bawah Undang-Undang. Undang-Undang. Dengan logika seperti ini maka secara teoritis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tidak dapat dapat disetarakan disetarakan kedudukannnya dengan Undang-Undang, meskipun disebut sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang. Dengan Dengan posisi seperti seperti ini jika pemerintah menggunakan PERPU sebagai sebagai pengganti pengganti Undang Undang Undang , maka pemerintah pemerintah dapat dikatakan dikatakan bersalah karena menyimpang menyimpang dari apa
27
Ibid hlm 14 Ibid hlm 8
28
35
yang ditetapkan oleh MPR. Namun bila dalam keadaan mendesak pemerintah tidak menggunakan PERPU sebagai pengganti Undang-Undang, maka pemerintah akan dianggap bersalah karena menyimpang dari ketentuan Pasal 22 UUD 1945.
29
Tap MPR Nomor III/PMR/2000 berdasarkan ketentuan Pasal 4 Tap MPR/I/2003 dinyatakan tidak berlaku jika sudah ada Undang Undang yang mengatur tentang Peraturan Perundang-Undangan
30
. Setelah keluarnya
Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Perundang-Undangan, maka posisi hierarki Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang berdasarkan Tap MPR Nomor III/PMR/2000 sudah sejajarkan dengan Undang Undang Undang Undang . Pada Pasal 7 ayat (1) Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Perundang-Undangan, mengatur tata urutan peraturan perundang-undangan adalah: a. b. c. d. e.
UUD Negara RI Tahun 1945. UU/PERPU. Peraturan Pemerintah. Peraturan Presiden. Peraturan Daerah.
Peraturan Daerah Daerah berdasarkan berdasarkan Undang-Undang Undang-Undang Nomor Nomor 10 Tahun 2004 jelas merupakan bagian dari Peraturan Perundang undangan. undangan. Peraturan
29
Maqdir Ismail , Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan Di Peraturan Perundang Indonesia Jurnal Legislasi Indoneisia, vol 4 no 2 juni 2007. Dirjen Peraturan undangan departemen Hukum dan dan HAM RI hlm 78 30 Sri hariningsih, Op.Cit hlm 9
36
Daerah tersebut berdasarkan Pasal 7 ayat ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 meliputi : a. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama gubernur; b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota; c. Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya. Namun demikian dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 masih juga menimbulkan kontroversi karena : 1. Tidak dimasukkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam jenis dan hirarki Peraturan Perundang-Undangan. 2. Tidak dicantumkannnya Peraturan Menteri atau peraturan setingkat Peraturan Menteri yang kewenangan mengaturnya diberikan Undang-Undang. Undang-Undang. 3. Dikelompokkanya
”Peraturan Desa ” sebagai Peraturan
Daerah. Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka Peraturan Desa/peraturan setingkat tidak termasuk ”Peraturan Daerah ” karena di di dalam Pasal 1 angka 10 UndangUndangUndang Nomor 32 Tahun Tahun 2004 mendefinisikan Peraturan Daerah adalah Peraturan Daerah
Provinsi dan/atau
Peraturan
Daerah
Kabupaten/Kota. Kabupaten/Kota. Di dalam Undang-Undang tersebut tidak tidak menyebutkan menyebutkan dan
tidak mendefinisikan
secara tertulis Peraturan Desa/Peraturan
37
setingkat masuk dalam Peraturan Peraturan Daerah. Daerah. Dengan demikian demikian secara formal berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dapat ditafsirkan bahwa Peraturan Desa tidak termasuk dalam lingkup Peraturan
Daerah. Di sini muncul perbedaan, pada satu sisi
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 secara jelas menyatakan bahwa Peraturan Desa adalah termasuk Peraturan Daerah, sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak menyatakan bahwa Peraturan Desa termasuk pada Peraturan Daerah, maka hal ini tentu dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda bahkan menimbulkan problematika tersendiri. Dalam hal hal Peraturan Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan yang sederajad yang yang mengatur bidang-bidang khusus, maka peraturan perundang-undangan perundang-undangan yang mengatur bidang umum yang berkaitan dengan bidang khsusus tersebut 31
dikesampingkan dikesampingkan ( lex specialis derpgat lex generalis )
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 diakuinya diakuinya Peraturan-Peraturan yang lain sebagaimana tersebut pada penjelasan dari Pasal 7 ayat (4) yang berbunyi: Peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,nMahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksaa Keuangan,nBank Indonesia,nMenteri,nKepala Badan,nLembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah Undangundang.Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi,nGubernur. dewan Perwakilan 31
Suhariyono AR (hand-Book/modu)l Pembentukan (perancangan) Peraturan Perundang-undangan, Makalah disampaikan dalam diklat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan tanggal 15 Mei 2009 di BPSDM Cinere Gandul, Jakarta hlm 3.
38
Rakyat Daerah setingkat.
Kabupaten/Kota.Bupati/Walikota
Kepala
Desa
atau
Akan tetapi di dalam penjelasan Pasal 7 ayat (4) tersebut diatas, peraturan peraturan peraturan lainnya lainnya ini hirarkinya dalam
tidak jelas dibidang tata urutannya atau atau
peraturan perundang undangan, sehingga masih
menimbulkan kontroversi . Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan
Perundang-Undangan,
yang
mencabut
dan
Mengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka beberapa permasalahan yang disebutkan di atas sudah tidak menjadi permasalahan lagi. Di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Perundang-Undangan,
tidak memasukkan lagi
Peraturan Desa sebagai Peraturan Daerah Daerah yang berarti tidak ada perbedaan perbedaan dengan ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang yang tidak memasukkan memasukkan Peraturan Desa dalam Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan. Kemudian Dimasukkannya kembali Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat ke dalam Jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan pada urutan kedua di bawah UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan
jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan
sebagaimana yang diuraikan di atas terlihat jelas bahwa jenis dan hirarki suatu Peraturan Perundang-undang Perundang-undangan an tidak statis akan tetapi dinamis dinamis selalu
39
berubah tergantung dan sangat dipengaruhi politik pemerintahan yang sedang berkuasa saat itu. Setiap Peraturan Perundang-Undangan Perundang-Undangan berisikan Pasal-Pasal yang tersusun dari beberapa kata, frase yang membentuk kalimat-kalimat. Yang mengandung makna perintah, perintah,
larangan, larangan, kewajiban, biasa disebut disebut norma
norma hukum. Norma-norma hukum yang termuat termuat di dalam suatu Peraturan Peraturan Perundang-undangan. Perundang-undangan. Norma-norma Norma-norma tersebut terkait dengan materi muatan, jenis dan macam peraturan. Materi muatan adalah materi yang dituangkan ke dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan fungsi dan macamnya.
32
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan diatur di dalam BAB III Pasal 10 sampai Pasal 15 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Pembentukan Peraturan Peraturan Perundang-undangan. Perundang-undangan. Materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang berisi: a. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan UndangUndang; c. Pengesahan Pengesahan perjanjian internasional tertentu; d. Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau e. Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
32
Ibid hlm.15
40
Materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) sama dengan dengan materi Undang-Undang. Undang-Undang. Materi muatan Peraturan Pemerintah (PP) adalah berisi berisi materi untuk menjalankan menjalankan Undang-Undang Undang-Undang sebagaimana sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan Presiden Presiden (PERPRES) berisi materi yang yang diperintah oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. Materi Peraturan Daerah (PERDA) adalah seluruh materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas
pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Materi yang dimuat di dalam Peraturan Perundang-undangan harus juga mempunyai landasan atau alasan mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang pembuatan peraturan perundang-undangan tersebut, yaitu : 1.
Landasan Filosofis, Landasan Filosofis Memuat pandangan hidup kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang luhur yang meliputi suasana kebatinan serta watak dari Bangsa Indonesia yang termaktub dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945,
33
haruslah termuat dalam
Produk Peraturan Perundang-undangan, Perundang-undangan, juga harus berlandaskan pada
kebenaran,
cita
rasa
keadilan
serta
ditujukan
untuk
kesejahteraan masyarakat, kelestarian ekosistem dan supremasi 33
.Materi Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Asasi Manusia Republik Republik Indonesia Nomor M.HH-01.PP.01 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Penyusunan Naskah Naskah Akademik Akademik Rancangan Rancangan Peraturan Perundang-Undangan hlm 7 BPHN . Jakarta Jakarta 2009
41
hukum.
Bangsa Indonesia telah sepakat bahwa Pancasila adalah
sumber dari segala sumber sumber hukum, karena pancasila pancasila mengandung mengandung nilai-nilai fundamental dari hukum Dasar Negara Indonesia. Oleh karena itu substansi Peraturan Perundang-undangan harus memuat dan mencerminkan unsur filosofis tersebut. 2.
Landasan Sosiologis Peraturan Perundang-undangan juga harus mencerminkan, Memuat landasan atau alasan sosiologis-futuristik tentang sejauh mana tingkah laku sosial sejalan dengan arah pembentukan suatu peraturan 34
Perundang-undangan .
Sebab
Keberlakuan
suatu
Peraturan
Perundang-undangan akan efektif apabila muncul dari harapan , aspirasi masyarakat dan sesuai dengan konteks kebutuhan sosial masyarakat, sebab pada kenyataannya masyarakat itu sudah mempunyai norma-norma sosial dan pranata sosial yaitu sistem norma-norma sosial dan hubungan hubungan yang menyatukan nilainilai dan prosedur-prosedur tertentu dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat.
35
Apabila Peraturan Perundang-undangan
tidak mendasari pada kenyataan sosial masyarakat yang ada, dapat menyebabkan menyebabkan
peraturan perundang-undangan perundang-undangan yang dilahirkan itu
tidak menjadi efektif.
34
Ibid hlm7 Soerjono Soekanto, sosiologi suatu suatu pengantar. Hlm 218. CV Rajawali, Jakarta Jakarta 1986
35
42
3.
Landasan Yuridis Landasan yuridis merupakan landasan hukum tertulis yang menjadi alasan suatu Peraturan Perundang-undangan itu dibentuk. Suatu Peraturan Perundang-undangan sudah tentu mempunyai dasar hukum yang lebih tinggi atau sumber hukum yang di atasnya sampai pada sumber hukum yang tertinggi, maka Peraturan Perundangundangan dibuat kepastian hukum
harus menjunjung menjunjung tinggi nilai nilai supremasi supremasi dan serta tindak bertentang dengan Peraturan
Perundang-undangan Perundang-undangan lainnya lainnya baik yang sederajat atau atau lebih tinggi tinggi sebagai sumbernya. Kemudian yang tak terpisahkan dan berkaitan dengan Peraturan Perundang-Undangan adalah mengenai Bahasa Peraturan perundangundangan.
Bahasa Peraturan Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan pada dasarnya dasarnya tunduk
kepada kaidah Tata Bahasa Indonesia, baik mengenai pembentukan kata, penyusunan penyusunan kalimat, kalimat,
teknik penulisan, penulisan, maupun pengejaannya, pengejaannya, namun
demikian bahasa
Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan berdasarkan berdasarkan ketentuan
dalam
Undang-Undang
lampiran
Nomor
12
Tahun
2011
tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa: bahasa Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan pada pada dasarnya dasarnya
tunduk pada pada kaidah kaidah tata
Bahasa Indonesia, baik pembentukan pembentukan kata, penyusunan penyusunan kalimat, penulisan,
teknik
maupun pengejaannya, pengejaannya, namun namun bahasa bahasa Peraturan Perundang-
Undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau
43
kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum baik dalam perumusan maupun cara 36
penulisan. . Di samping itu bahasa Peraturan Perundang-undangan tidak sama dengan bahasa Indonesia. Tidak sama dengan dalam arti untuk hal tertentu/istilah tertentu mempunyai ciri/terminologi tersendiri baik dalam 37
perumusan maupun cara penulisan. . Bahasa Peraturan Peraturan Perundang-Undangan Perundang-Undangan mempunyai ciri-ciri: a. Lugas dan pasti untuk menghindari kesamaan arti atau kerancuan; b. Bercorak hemat hanya hanya kata yang diperlukan diperlukan yang dipakai; dipakai; c. Objektif dan menekan rasa subjektif (tidak emosi dalam mengungkapkan mengungkapkan tujuan atau maksud); d. Membakukan makna kata, ungkapan atau istilah yang digunakan secara konsisten; e. Memberikan definisi atau batasan pengertian secara cermat; f. Penulisan kata yang bermakna tunggal atau jamak selalu dirumuskan dalam bentuk tunggal; dan g. Penulisan huruf awal dari kata, frasa atau istilah yang sudah didefinisikan atau diberikan batasan pengertian, nama jabatan, nama profesi, nama institusi/lembaga pemerintah/ketatanegaraan, dan jenis Peraturan Perundang-undangan atau rancangan Peraturan Perundang-undangan dalam rumuan norma ditulis dengan huruf 38 kapital. Peranan bahasa sangat dibutuhkan di dalam merumuskan suatu norma terutama bahasa hukum, karena bahasa hukum atau bahasa perundangundangan merupakan sarana sarana di dalam merumuskan merumuskan gagasan-gagasan gagasan-gagasan dalam
36
Angka 242 Lampiran II Undang Undang – Undang Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan 37 Kementerian Hukum dan HAM RI, Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah, Cappler Project jakarta cet.ke I. hlm 69 38 Angka 243 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
44
bentuk tulisan, baik gagasan tersebut berasal dari dirinya maupun berasal 39
dari kebijakan-kebijakan yang datangnya dari penyelenggara penyelenggara negara . Bahasa Hukum dalam Peraturan Perundang-undangan terdiri dari kalimat-kalimat yang merupakan gabungan beberapa frase atau kata yang bertujuan untuk merumuskan norma hukum secara baik, maka pemilihan frasa atau kata-kata yang yang tepat haruslah menjadi menjadi
perhatian yang yang sangat sangat
penting, karena apabila kata-kata tidak tepat di dalam merumuskan norma hukum, maka akan menimbulkan interpretasi yang yang berbeda berbeda bagi pengguna pengguna peraturan, bahkan bahkan dapat mengaburkan mengaburkan pengertian, pengertian, pada akhirnya akhirnya kepastian hukum yang diinginkan Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan tidak tercapai. Untuk menghindari terjadinya
salah penafsiran dan kaburnya
pengertian, maka yang harus diperhatikan dalam penulisan dan merumuskan norma hukum secara jelas yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Tulislah kalimat secara singkat; Letakkan setiap bagian kalimat pada urutan yang logis; Hindari penggunaan frasa dan klausula yang rancu; Uraikan kondisi yang komplek; Gunakan kalimat aktif sejauh memungkinkan; memungkinkan; Gunakan klausula kata kerja dan kata sifat dari pada kata benda; Gunakan kata positif walaupun anda ingin menjelaskan yang sifatnya negatif; 8. Gunakan struktur yang paralel; 9. Hindari kemaknagandaan dalam kata dan kalimat; 10.Pilihlah 10.Pilihlah perbendaharaan kata secara cermat; 11.Hindari 11.Hindari Penggunaan kata benda yang sambung menyambung; 12.Kurangi 12.Kurangi kata-kata yang tumpang tindih dan asing (tak ada hubungannya); 40 13.Gunakan 13.Gunakan model/format yang tepat. 39 40
Suhariyono. AR Op Cit hlm 7 Kementerian Hukum dan HAM RI, Panduan....Op.Cit hlm 67
45
Bahasa
Peraturan
Perundang-undangan
selalu
beriringan
dan
menunjukkan cirinya terkait dengan materi muatan, norma, jenis dan macam Peraturan Perundang-undangan. Bahasa, materi muatan, norma, jenis dan macam Peraturan Perundang-undangan, sangat terkait satu sama
lain dan kelima variabel variabel tersebut merupakan
satu kesatuan kesatuan yang yang akan
menunjukkan jenis dan macam Peraturan Perundang-undangan yang diinginkan oleh pembentuk pembentuk atau perancang perancang peraturan perundang-undangan. perundang-undangan. Asas-asas yang sangat terkait dengan kelima variabel di atas adalah asas ”kesesuaian
antar
jenis
dan
materi
muatan”,
” asas
dapat
dilaksanakan” dilaksanakan” dan asas kejelasan rumusan . Jika ketiga asas ini dipenuhi
dengan memperhatikan kelima variabel tersebut, setidak- tidaknya peraturan yang dibentuk oleh pembentuk peraturan perundang-undangan akan mudah 41
dilaksanakan dilaksanakan dan ditegakkan . Hal
yang
penting terkait dengan bahasa peraturan perundang-
undangan di dalam dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan harus: harus: 1. secermat mungkin memilih kata-kata atau ungkapan agar tidak menimbulkan pengertian ganda; 2. secermat mungkin menyesuaikan penyusunan kalimat dan katakata yang akan disusunnya kedalam kalimat norma sesuai kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar;
41
Suhariyono.AR Op.Cit hlm 10
46
3. secermat mungkin mengatur yang memang harus dilaksanakan, dengan menghindari pengaturan delegasian karena hal ini akan mengakibatkan mengakibatkan peraturan yang dibuatnya tidak biasa dilaksanaka dil aksanakan n karena menunggu peraturan pelaksanannya pelaksanannya dibuat.
BAB II LANDASAN YURIDIS, TAHAPAN DAN TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH
A.
LANDASAN YURIDIS PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH
Peraturan Daerah merupakan bagian dari Peraturan Perundangundangan yang yang mempunyai landasan yuridis di dalam pembentukannya, pembentukann ya, yaitu landasan landasan yuridis yuridis konstitusional konstitusional
yang kuat, sebagaimana sebagaimana diatur di
dalam Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945. di dalam Pasal tersebut menyebutkan menyebutkan bahwa:
Pemerintahan Daerah berhak menetapkan menetapkan
Peraturan Daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Sedangkan
Landasan Landasan Secara Secara Yuridis di bawah Undang-
Undang Dasar 1945, diatur di dalam Pasal 136 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 2004 tentang Pemerintahan D aerah yang menyebutkan ” Peraturan Daerah ditetapkan
oleh Kepala Daerah
setelah mendapatkan
persetujuan Bersama DPRD” dan di dalam Pasal 1 angka 7 dan angka 8 Undang Undang Undang Nomor 12 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Perundang-Undangan, yang menyatakan bahwa Peraturan daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan PerundangUndangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
47
48
Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Selanjutnya di dalam Undang-Undang Undang-Undang Nomor 32 Tahun Tahun 2004 Tentang Tentang Pemerintahan Pemerintahan Daerah dalam Pasal 136 ayat ayat (2) juga memuat ketentuan ketentuan bahwa Peraturan Daerah
dibentuk
dalam rangka penyelenggaraan penyelenggaraan otonomi daerah
provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan.
42
Ini berarti bahwa
Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan otonomi daerah berhak, berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan Peraturan Perundangundangan, dan untuk melaksanakan hak dan kewenangan tersebut Pemerintah
Daerah
harus
dilengkapi
dengan
atribut/kewenangan
membentuk Peraturan Perundang-undangan berupa Peraturan Daerah dan peraturan
lain
dibawahnya
untuk
mengimplementasikan
Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi dan melaksanakan otonomi daerah tersebut. Dari uraian di atas menunjukkan bahwa Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi dapat memberikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada Sebagai
contoh
kewenangannya
Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan yang lebih rendah suatu kepada
Undang-Undang Peraturan
Daerah,
yang atau
43
.
mendelegasikan Peraturan
Daerah
mendelegasikan kepada Kepala daerah untuk menetapkan Peraturan Kepala
42
Isi Pasal 136 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang tentang Pemerintahan
Daerah 43
angka 198 Lampiran UU nomor nomor 12 Tahun 2011 Perundang-Undangan
tentang Pembentukan Pembentukan Peraturan
49
Daerah untuk melaksanakan Peraturan Daerah tersebut, Namun pengaturan pendelegasian pendelegasian kewenangan tersebut tersebut harus menyebutkan dengan dengan tegas ruang 44
lingkup materi yang diatur dan dan jenis Peraturan Perundang undangan undangan . Dalam hal ini maka Peraturan Daerah yang dibentuk oleh Pemerintahan Daerah tersebut haruslah menjadi Peraturan Daerah yang baik, dalam arti materi muatan yang diatur memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan menyatakan bahwa Peraturan Daerah dibentuk dalam rangka rangka penyelenggaraan Otonomi Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota dan tugas pembantuan
45
. Oleh karena materi muatan muatan itu Peraturan Daerah
yang
merupakan penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing masing, maka Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau Peraturan Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana sebagaimana di tegaskan di dalam Pasal 136 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Berkaitan dengan
Peraturan Daerah, ada juga Peraturan Peraturan Daerah Daerah
yang bersifat khusus yaitu yang biasa disebut Qanun Aceh dan Qanun Kabupaten/Kota yang lahir berdasarkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewah Aceh sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darusalam, yang kemudian diganti dengan 44 45
Ibid . angka 166. Pasal 136 ayat (2) Undang Undang Nomor Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
50
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Aceh dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
46
Lahirnya Peraturan Daerah yang bersifat khusus ini tidak
bertentangan dengan Peraturan Daerah pada umumnya hanya mempunyai ciri khas tertentu, namun tingkatan atau hirarkinya sama derajadnya dengan Peraturan Daerah lain baik pada tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota. Peraturan Daerah yang bersifat khusus ini juga mempunyai landasan konstitusional
Negara
Indonesia,
di
mana
negara
mengakui
dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang
47
.
Pemahaman mengenai Kedudukan Qanun, Peraturan Daerah Khusus(Perdasus), dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) bertalian erat dengan bagaimana memahami Peraturan Daerah sebagai bagian dari sistem hukum nasional yang tercermin dalam konstruksi jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan. Yang dimaksud dengan jenis adalah macam ( Peraturan perundang-undangan), sedangkan hirarki adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh 46
Wahidudin Adam. Peraturan Daerah Yang bersifat Khusus (qanun, Perdasi,Perdasus), Makalah disampaikan dalam Pendidikan Pelatihan Tenaga Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan tingkat Pertama Angkatan III Tahun 2009 pada Tanggal 24 Juli di Badan Pengembangan SDM Kementerian Hukum dan HAM RI, Jakarta 2009. 47 Ibid Hlm 3
51
bertentangan dengan Peraturan-Perundang-undangan yang lebih tinggi, karena suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah bersumber dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Jenis dan hirarki Peraturan Perundang-Undangan diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yaitu: a. Undang-Undang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Mejelis Permusyawaratan Permusyawaratan Rakyat c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf “f ” dinyatakan bahwa termasuk dalam Jenis Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Daerah Provinsi Nangroe Aceh Darusalam dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus)
serta Peraturan Daerah
Provinsi (Perdasi) yang berlaku di
provinsi dan Provinsi Papua Papua Barat. Demikian juga penjelasan penjelasan huruf g yang menjelaskan bahwa termasuk dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Qanun yang yang berlaku di Kabupaten/Kota Kabupaten/Kota Di Provinsi Aceh. Berdasarkan ketentuan tersebut tersebut di atas, jelas bahwa bahwa Qanun Qanun Aceh dan Qanun Kabupaten /Kota merupakan peraturan sejenis Peraturan Daerah yang khusus berlaku di Aceh. Begitu juga dengan Perdasus dan Perdasi
52
merupakan Peraturan Perundang-Undangan yang sejenis Peraturan Daerah yang berlaku berlaku khusus di Provinsi Papua Papua dan Provinsi Papua Barat. Berdasarkan uraian diatas, Qanun, Perdasus dan Perdasi merupakan Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan yang sejenis dan setingkat dengan Peraturan Daerah yang umumnya, sebagai bagian integral dari sistem hukum nasional dan hirarki Peraturan Perundang-undangan. Perundang-undangan. Dengan demikian sesuai dengan asas hirarki Peraturan Perundang-undangan maka Qanun, Perdasus dan Perdasi tidak boleh bertentang dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, kecuali diatur lain oleh Peraturan Perundang-undangan yang berifat khusus dapat menyampingkan Peraturan Perundang-undangan yang bersifat umum ( lex specialis derogat lex generalis ). Materi atau substansi Peraturan Daerah adalah seluruh materi dalam rangka menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung kondisi khsusus daerah serta menjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang- undangan yang lebih tinggi. Di dalam
48
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah beberapa Pasal mengatur mengenai materi muatan Peraturan Daerah. Ketentuan yang menjadi Landasan bagi Pengaturan materi muatan Peraturan Daerah adalah Pasal 10 yang terdiri dari 5 (lima) ayat sebagai berikut :
48
Rumusan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang -undangan
53
(1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-undang ditentukan manjadi urusan Pemerintah. (2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. (3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah sebagaimana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 1. Politik luar negeri; 2. Pertahanan; 3. Keamanan; 4. Yustisi; 5. Moneter dan fiskal nasional; dan 6. Agama. (4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat pemerintah atau Wakil Pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada Pemerintahan Daerah dan/atau Pemerintahan Desa. (5) Dalam urusan pemerintah yang menjadi kewenangan pemerintah, diluar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah dapat: a. Menyelenggarakan Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintah; b. Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada gubernur selaku wakil Pemerintahan; dan c. Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintah daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan. Ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut merupakan aturan aturan umum mengenai mengenai materi muatan Peraturan Daerah. Daerah. Pasal 10 ayat (1) menentukan bahwa Pemerintah Daerah memiliki kewenangan yang sangat luas, kecuali kewenangan yang menyangkut urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama yang ditetapkan sebagai kewenangan Pemerintah Pusat.
54
Selain materi muatan tersebut, di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga terdapat ketentuan yang menyebutkan secara tegas hal-hal 49
perlu diatur dalam suatu Peraturan Daerah, antara lain sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
16. 17. 18. 19. 20. 21.
Pembentukan Peraturan Daerah Propinsi Pembentukan Peraturan Daerah kabupaten/Kota Pembentukan kecamatan; Pembentukan kelurahan; Perubahan/penyesuaian Perubahan/penyesuaian status desa menjadi kelurahan; Penetapan susunan organisasi perangkat daerah; Penetapan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP Daerah) rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM Daerah); Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah; Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah; Pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; Hasil Pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; Insentif dan/atau kemudahan kepada masyarakat dan/atau investor dalam meningkatkan perekonomian daerah; Penetapan pembentukan, penggabungan, penggabungan, pelepasan kepemilikan, dan/atau pembubaran BUMD; Tata cara penyusunan rencana kerja dan anggaran satuan kerja perangkat daerah serta tata cara penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran satuan kerja perangkat daerah; Tata ruang; Penyusunan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengawasan, dan pertanggungjawaban keuangan daerah; Kawasan perkotaan; desa dan pembangunan kawasan pedesaan; Syarat lanjutan dan tata cara pemilihan kepala desa; Tugas dan kewajiban kepala desa dalam mempimpin penyelenggraaan penyelenggraaan pemerinahan desa :dan Syarat dan tata cara penetapan anggota dan pimpinan badan permusyawaratan desa.
Sehubungan Sehubungan dengan dengan dengan dengan
hal tersebut, tersebut, Materi muatan muatan Qonun, Qonun,
Perdasus dan Perdasi yang kedudukannya sama dengan Peraturan Daerah
49
Wahiddudin Adam, Op.Cit. Hlm 10.
55
pada umumnya materi muatan Peraturan Daerah secara umum ditambah dengan materi muatan yang diperintahkan oleh masing-masing Undangundang tentang Pemerintah Daerah Khusus tersebut. Untuk Daerah Pemerintahan Aceh Aceh diatur dengan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 telah ditentukan materi Muatan Qanun Aceh yakni antara lain : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Bendera daerah, lambang daerah, dan himne Aceh; Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan S yari’at Islam: Kewenangan dan hukum acara mahkamah syari’at; Majelis Permusyawaratan Ulama; Wali Nanggroe; Lembaga adat, pemberdayaan adat, dan adat istiadat; Mukim dan gampong; Pembagian urusan pemerintahan yang berkaitan dengan syari’at Islam antara pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota; 9. Pelaksanaan Pelaksanaan keistimewaan Aceh yang antara lain meliputi: a. Penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama; b. Penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam; c. Penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syari’at Islam; d. Peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh; dan e. Penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji sesuai dengan peraturan perundang-undangan; perundang-undangan; dan 10. Kewenangan Pemerintah Aceh tentang pelaksanaan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006. Kemudian di dalam Undang-Undang Undang-Undan g
Nomor 21 Tahun 2001 juga
ditentukan materi muatan Perdasus yakni antara lain mengenai: 1. Lambang Daerah; 2. Usaha-usaha perekonomian yang memanfaatkan sumber daya alam;
56
3. Pengembangan Pengembangan suku-suku terisolasi, terpencil, dan terabaikan; dan 4. Pelaksanaan pengawasan sosial (pengawasan yang dilakukan masyarakat terhadap pelaksanaan tugas MRP. DPRD, Gubernur dan Perangkatnya dalam bentuk petisi, kritik, protes, saran dan 50 usul).
Dari uraian di atas, materi muatan Peraturan Daerah Daerah yang bersifat khusus pada prinsifnya adalah sama dengan materi muatan Peraturan Daerah sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 selama tidak diatur lain oleh Undang-Undang Otonomi Khusus daerah terkait. Berkaitan dengan uraian di atas, materi muatan Peraturan Daerah harus pula mengandung asas materi muatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 138 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang substansinya sama seperti yang termuat dalam Pasal 6 (lebih rinci dalam penjelasan Pasal 6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yakni asas: 1. Pengayoman. Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat 2. Kemanusiaan. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. 3. Kebangsaan. Setiap Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak Bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. 50
Ibid Hlm 12
57
4. Kekeluargaan. Setiap Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. 5. Kenusantaraan. Setiap Materi Materi muatan Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan senantiasa senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 6. Bhinneka Tunggal Ika. Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara 7. Keadilan Setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara. 8. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Setiap Materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. 9. Ketertiban dan kepastian hukum. Setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. 10.Keseimbanga 10.Keseimbangan, n, Keserasian, dan Keselarasan. Setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara. 11.asas-asas 11.asas-asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundangundangan yang bersangkutan, antara lain: a. Dalam Hukum Pidana, misalnya asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah. b. Dalam Hukum Perdata, misalnya dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.
58
Sehubungan Sehubungan
dengan hal tersebut,
di dalam Pasal 137 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa Peraturan
Daerah dibentuk dibentuk berdasarkan berdasarkan pada asas asas pembentukan pembentukan
peraturan perundang-undangan, sebagaimana juga diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Perundang-Undangan,
menyatakan menyatakan
bahwa
membentuk
Peraturan
Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang meliputi: a. Kejelasan tujuan; Dalam penjelasan penjelasan Pasal 5 huruf (a) (a) menyatakan bahwa bahwa Kejelasan Tujuan adalah adalah bahwa setiap setiap pembentukan pembentukan Peraturan Perundangundangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat Dalam penjelasan penjelasan Pasal 5 huruf (b) menyatakan bahwa setiap jenis peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat lembaga/pejabat yang tidak berwenang. c. Kesesuaian Kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Dalam Penjelasan Pasal 5 huruf (c) menyatakan Maksudnya bahwa dalam dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan harus benar benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang Undangan. d. Dapat dilaksanakan Dalam penjelasan Pasal 5 huruf (d) menyatakan bahwa maksud dari dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis sosiologis, maupun yuridis e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan. Dalam penjelasan Pasal 5 huruf (e) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan asas kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan yang dibuat karena
59
memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. f. Kejelasan rumusan Dalam penjelasan Pasal 5 huruf (f) menyatakan kejelasan rumusan Adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-Undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-Undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaanya. g. Keterbukaan Dalam penjelasan Pasal 5 huruf (g) menyatakan maksud keterbukaan Adalah bahwa dalam proses pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan 51 dalam proses pembuatan Peraturan perundang-Undangan Di dalam pembentukan Peraturan Daerah harus mengikuti kaidah kaidah yang sebagaimana diatur di dalam dalam Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan terutama yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana dijelaskan di atas.
B. TAHAPAN PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH
Pembentukan Peraturan Daerah dimulai
tahapan-tahapan tahapan-tahapan yaitu
mulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan,
51
Rumusan Penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
60
pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluaan sebagaimana 52
dimaksudkan di dalam Pasal Pasal 1 angka 1 . Pada tahap tahap perencanaan perencanaan Pembentukan Pembentukan Peraturan Daerah dilakukan dilakukan dalam suatu Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda baik itu Prolegda Provinsi dan Prolegda Kabupaten/kota. Kabupaten/kota.
53
Program Legislasi Daerah adalah instrumen perencanaan program pembentukan
Peraturan
Daerah
Provinsi
atau
Peraturan
Daerah
Kabupaten/Kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.
54
Prolegda Provinsi dilaksanakan oleh DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi, begitu juga Prolegda Kabupaten/Kota disusun oleh DPRD Kabupaten/Kota dengan Pemerintah Daerah Kabutaen/Kota. Program Legislasi daerah dimaksudkan untuk menjaga agar produk Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan daerah tetap berada berada dalam kesatuan kesatuan sistem hukum nasional, daerah
55
diarahkan
karena arah arah dari pemberian otonomi yang yang luas kepada untuk
mempercepat mempercepat
terwujudnya
kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Prolegda ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun berdasarkan skala prioritas Pembentukan Rancangan Peraturan Daerah
52
Ibid, Pasal 1 angka 1 Pasal 32 dan dan pasal 39 UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan 54 Ibid .Pasal 1 angka 9. 55 Wahiduddin Adam, Sinergis Pengaturan Undang Undang Nomor 10 tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dalam pembentukan Peraturan Daerah .. Makalah disampaikan dalam Diklat Tenaga Fungsional Fungsional Perancang Peraturan Perundang Undangan Kementerian Hukum dan HAM angkatan ke I .di Badan Pengembangan SDM, Cinere Gandul bulan Mei Tahun 2009. 53
61
Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Di samping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Indonesia.
56
Dengan demikian maka maka fungsi fungsi prolegda dikaitkan dengan dengan tujuan otonomi daerah adalah : 1. Memberikan gambaran objektif tentang kondisi umum mengenai permasalahan permasalahan pembentukan Peraturan Daerah; 2. Menetapkan sekala prioritas penyusunan Rancangan Peraturan Daerah untuk jangka panjang, menengah atau jangka pendek sebagai pedoman bersama dalam pembentukan peraturan daerah; 3. Menyelenggarakan sinergi antar lembaga yang berwenang membentuk peraturan daerah; 4. Mempercepat proses pembentukan peraturan daerah dengan mempokuyskan kegiatan penyusuanan Rancangan Peraturan Daerah menurut skala priorotas yang ditetapkan; 5. Menjadi pengendali kegiatan pembentukan Peraturan daerah antar 57 lembaga yang berwenang.
Pada Program Legislasi ini pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dilaksanakan oleh Badan Legislasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR. DPR. DPD dan DPRD dan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan
56
Penjelasan Umum Undang Undang nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah angka 1 huruf a. 57 Cahyani Suryandari, Tata Cara Dan Proses Penyusunan Peraturan Daerah. Makalah disampaikan dalam Diklat Tenaga Fungsional Fungsional Perancang Peraturan Perundang Undangan Kementerian Hukum dan HAM angkatan ke I .di Badan Pengembangan SDM, Cinere Gandul bulan Mei Tahun 2009.
62
Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Badan Legislasi mempunyai tugas yaitu : 1.
2. 3. 4.
5.
6.
7. 8.
Menyusun Rancangan Program Legislasi Daerah yang memuat daftar urutan dan prioritas rancangan peraturan daerah beserta alasannya untuk setiap tahun anggaran dilingkungan DPRD; Koordinasi untuk penyusunan program legislasi daerah antara DPRD dan Pemerintah Daerah; Menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah usul DPRD DPRD berdasarkan berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan; Melakukan pengharmonisasian, pengharmonisasian, pembulatan, dan memantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah yang diajukan anggota, komisi dan/atau gabungan komisi sebelum Rancangan Peraturan Daerah tersebut disampaikan kepada pimpianan DPRD; Memberikan pertimbangan terhadap Rancangan Peraturan Daerah yang diajukan oleh anggota, anggota, komisi, dan/atau dan/atau gabungan gabungan komisi di luar prioritas rancangan daerah tahun berjalan atau di luar Rancangan Peraturan Daerah yang terdaftar dalam prolegda; Mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap pembahasan materi muatan Rancangan Peraturan Daerah melalui koordinasi dengan komisi dan/atau penilaian khusus; Memberikan masukan kepada pimpinan DPRD atas Rancangan Peraturan Daerah yang ditugaskan di tugaskan oleh badan musyawarah;dan Membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah di bidang 58 Perundang-undangan Perundang-undangan pada akhir masa keanggotaan DPRD. Selanjutnya tahapan persiapan pembentukan Peraturan Daerah. Pada
tahap ini Rancangan Peraturan Daerah yang untuk untuk selanjutnya selanjutnya disingkat Raperda dapat berasal dari DPRD Provinsi atau Gubernur, dan DPRD Kabupaten/Kota
atau Bupati/Walikota, Bupati/Walikota, sebagaimana ketentuan Pasal 56 56
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan
dan Pasal 140 Undang-Undang Undang-Und ang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah Daerah . 58
Ibid , Cahyani Suryandari Hlm 3
63
Raperda yang merupakan inisiatif DPRD diatur diatur juga dalam Pasal 141 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang tertulis: (1) Rancangan perda dapat disampaikan oleh anggota, gabungan komisi, atau kelengkapan DRPD yang khusus menangani bidang legislasi. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD. Selanjutnya Selanjutn ya ketentuan yang mengatur mengenai Raperda yang berasal dari DPRD Provinsi atau Gubernur diatur dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 12 Tahun Tahun 2011 mengharuskan mengharuskan disertai penjelasan atau keterangan keterangan dan/atau Naskah Akademik. Naskah
Akademik Rancangan Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi dilakukan sesuai dengan Teknik Penyusunan Naskah 59
Akademik
Pembentukan
yang termuat dalam lampiran I Undang-Undang Peraturan
Perundang-Undangan.
Dalam
tentang
Penyusunan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sama dengan ketentuan Penyusunan Peraturan Daerah Provinsi Kemudian
60
apabila
dalam
satu
sidang,
Gubernur
Atau
Bupati/Walikota dan DPRD menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah, mengenai materi yang sama, maka yang dibahas adalah Rancangan Peraturan Daerah yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan Rancangan 59
Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun Tahun 2011. Tentang Tentang Pembentukan Peraturan Pwrundang-Undangan 60 Ibid Pasal l 63
64
Peraturan Daerah yang disampaikan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
61
Selanjutnya Raperda
baik yang berasal dari Pemerintah Daerah maupun DPRD disebarluaskan. Raperda yang berasal dari DPRD dilaksanakan oleh sekretariat DPRD, sedangkan
Raperda
yang
berasal
dilaksanakan dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah. Kemudian
tahap
dari
Gubernur,
Bupati/Walikota
62
selanjutnya
Raperda
Provinsi
yang
telah
disosialisasikan tersebut dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana ketentuan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang berbunyi: (1) (2) (3)
(4)
Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan oleh DPRD Provinsi bersama Gubernur; Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan, Tingkat-tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan kelengkapan DPRD provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi diatur dengan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi. Dalam hal pembahasan pembahasan Rancangan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/kota,
ketentuannya secara mutatis dan mutandis sama sama dengan Raperda Provinsi sebagaimana ketentuan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
61
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Ibid Pasal 62 dan Isi pasal 31 dan Undang-Undang Nomor Pemerintahan Daerah. Pasal 140 ayat (2) 62 Pasal 93 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
65
Setelah melalui masa pembahasan, Rancangan Peraturan Daerah yang telah disetujui bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ke Gubernur atau Bupati/Walikota
untuk
ditetapkan menjadi Peraturan Daerah. Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
63
Rancangan Rancangan Peraturan Peraturan Daerah Daerah tersebut
ditetapkan oleh Gubernur Gubernur atau Bupati/Walikota
dengan membubuhkan
tanda tangan. Dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh hari) sejak Rancangan Rancangan Peraturan Daerah disetujui bersama,
apabila
Rancangan
Peraturan Daerah tidak ditandatangani oleh Kepala Daerah dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak disetujui bersama, maka Rancangan Peraturan Daerah
tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib
diundangkan dalam Lembaran Daerah.
64
Tahapan selanjutnya dalam proses pembentukan Peraturan Daerah, setelah ditanda tangani oleh Gubernur atau Bupati/Walikota yaitu tahap pengundangan dan penyebarluasan. Peraturan Daerah harus di Undangkan dalam
Lembaran Daerah, hal ini berkaitan dengan kekuatan mengikat
Peraturan Daerah dan mulai berlakunya Peraturan Daerah.
65
Kemudian
Peraturan Daerah yang telah di Undangkan di dalam Lembaran Daerah oleh Sekretaris Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota, Dewan Perwakilan Rakyat 63
Ibid Pasal 78 ayat (2). Ibid Pasal 79 ayat (2) 65 Ibid Pasal 87 64
66
Daerah
dan
Pemerintah
Daerah
Provinsi
Atau
Kabupate/Kota
menyebarluaskan Peraturan Daerah yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah
66
guna diketahui oleh seluruh warga masyarakat.
C TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH Dalam Pembentukan Peraturan Daerah yang baik, diperlukan berbagai persyaratan yang berkaitan sistem, asas, tata cara penyiapan dan pembahasan, teknik penyusunan maupun pengundangan, agar tidak terjadi 67
tumpang tindih . Mengenai Teknik penyusunan Peraturan Daerah diatur di dalam Pasal Pasal 64 Undang-Undang Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang yang berbunyi: berbunyi: (1) Penyusunan rancangan peraturan peratur an perundang-undangan perundang -undangan dilakukan sesuai teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan. (2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan penyusunan Peraturan Perundangundangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran II yang yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari UndangUndang ini. (3) Ketentuan mengenai perubahan terhadap teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.
Dari ketentuan di atas jelas jelas bahwa penyusunan penyusunan rancangan rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Kabupaten/Kota harus mengikuti kaidah-kaidah ketentuan dalam dalam lampiran dalam Undang-Undang Undang-Undang Nomor Nomor 12 Tahun Tahun 2011 tentang Teknik Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
66
Ibid , Pasal 94 Ibid Penjelasan I umum….
67
67
Tujuan
dari diaturnya teknik
penyusunan Peraturan Perundang-
undangan itu adalah agar adanya cara cara dan metode yang yang pasti, baku, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat Peraturan Perundang-undangan. Dalam pembentukan d dan an penyusunan Peraturan Peraturan Daerah, selain harus mempunyai
landasan
konstitusional,
landasan
yuridis,
dan
teknik
penyusunan, penyusunan, perlu memperhatikan juga menerapkan dan prinsip prinsip pembentukan Peraturan Daerah yaitu : 1.
Pancasila sebagai sebagai dasar filosofis f ilosofis dan sumber dari segala sumber hukum, sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan idiologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan tidak boleh
bertentangan
dengan
nilai-nilai
yang
terkandung
dalam
68
Pancasila. ; 2.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum dasar negara yang tertulis dalam Peraturan Perundangundangan.
3.
Tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi,
sesuai
hierarki
Peraturan
Perundang-undangan
sebagaimana di atur di dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang68
Lihat, Penjelasan Perundang-Undangan
Pasal 2 UU nomor 12/ 2011
tentang Pembentukan Peraturan
68
Undang Nomor 12 Tahun 2011, dimana Peraturan Daerah berada pada urutan terbawah dalam hirarki Peraturan Perundang-undangan. Perundang-undangan. 4.
Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan dengan kepentingan kepentingan umum, maksudnya Peraturan Daerah tidak boleh terganggunya terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum, dan terganggunya ketentraman/ketertiban ketentraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat destruktif.
69
Peraturan Daerah harus memperhatikan keseimbangan berbagai kepentingan dengan senantiasa mengutamakan kepentingan umum . 5.
Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Daerah lainnya (tumpang tindih).
6.
Peraturan Daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan ,
7.
Peraturan Daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan
menampung kondisi khusus daerah atau
karakteristik daerah daerah dan penjabaran penjabaran lebih lebih lanjut Peraturan PerundangUndangan yang lebih Tinggi, Dengan
Memperhatikan
70
prinsip-prinsip
tersebut
di
atas
maka
pembentukan Peraturan Daerah mempunyai panduan/arah yang jelas. Karena sudah ada rambu rambu yang menjadi alasan dan dasar dibentuknya Peraturan Daerah.
69
Penjelasan Pasal 136 ayat 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 70 Op Cit, Pasal 14 Undang Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011. tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
69
Pada dasarnya
Peraturan
Daerah
itu
berdasarkan sistematika
Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan mempunyai rangka atau bagian bagian yang terdiri dari: A.
JUDUL
B.
PEMBUKAAN 1. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa 2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan 3. Konsideran Menimbang 4. Dasar Hukum 5. Diktum
C.
BATANG TUBUH 1. Ketentuan Umum 2. Ketentuan Pidana (jika diperlukan) 3. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan) 4. Ketentuan Penutup
D.
PENUTUP
E.
PENJELASAN (jika diperlukan)
F.
LAMPIRAN (jika diperlukan) Berdasarkan
71
sistematika penyusunan penyusunan peraturan tersebut di atas
maka yang perlu dipahami dengan sistematika Penyusunan Peraturan daerah yaitu :
71
Ibid lampiran II.
70
A. Judul
Didalam pemberian judul suatu Peraturan Daerah, Judul harus singkat, jelas, mencerminkan norma norma yang diatur. Judul Judul harus memuat memuat keterangan jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan dan nama Peraturan Daerah. B. Pembukaan
Pembukaan Peraturan Daerah terdiri atas: Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Jabatan Pembentuk Peraturan Daerah, Konsideran, Dasar Hukum, dan Diktum.
72
Pada Konsideran menimbang menunjukkan latar belakang urgensinya dibuat suatu Peraturan Daerah yang harus disusun sedemikian rupa untuk
setiap pertimbangan yang satu dengan
pertimbangan berikutnya tidak boleh berdiri sendiri-sendiri maknanya, tetapi alur pikirannya harus berkesinambungan secara renten, yang memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan Peraturan Daerah, pokok-pokok pikiran pada konsideran Peraturan Daerah
memuat unsur unsur filosofis,
unsur yuridis dan unsur sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya. Unsur filosofis : Peraturan Daerah menggambarakan bahwa peraturan
72
yang
dibentuk
Ibid lampiran II angka 14
mempertimbangkan
pandangan
hidup,
71
kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari pancasila dan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam segala aspek. Sedangkan Unsur Yuridis Yuridi s menggambarkan
bahwa peraturan peratur an yang
dibentuk
hukum
untuk
mengatasi
permasalahan
atau
mengisi
kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
73
Selanjutnya pada dasar hukum suatu Peraturan Daerah , harus memuat dasar kewenangan pembuatan Peraturan Daerah dan Peraturan Perundang-undangan
yang
memerintahkan
pembuatan
Peraturan
Daerah. Dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah adalah Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan Peraturan Perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum adalah Undang-Undang tentang Pembentukan Daerah dan Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah
74
. Hanya
Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi yang memerintahkan secara langsung Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Perundang- undangan , yang yang dimuat di dalam dasar hukum . Sedangkan 73
Ibid. Lampiran II angka 19 Ibid Lampiran II angka 39
74
72
Peraturan Perundang-Undangan yang akan dicabut dengan peraturan perundang-undangan yang dibentuk atau belum resmi berlaku tidak boleh menjadi dasar hukum Peraturan Daerah. Apabila jumlah Peraturan Perundang-undangan yang dijadikan dasar hukum lebih dari satu, disusun secara kronologis berdasarkan saat pengundangan atau 75
penetapannya . Selanjutnya pada bagian Pembukaan Peraturan Daerah yaitu Diktum, yang terdiri dari: Kata memutuskan, kata menetapkan dan jenis dan nama peraturan perundang-undangan, yang semuanya ditulis dengan huruf kapital tanpa spasi di antara suku kata dan diakhiri dengan tanda titik dua (:) serta diletakkan ditengah marjin.
C.
76
Batang Tubuh
Pada Batang Tubuh Peraturan Daerah memuat semua substansi Peraturan Daerah
yang dirumuskan
dalam
pasal-pasal pasal-pasal
yang
dikelompokkan dari ketentuan umum, Materi yang diatur, Ketentuan Pidana, (jika diperlukan), Ketentuan Peralihan (jika diperlukan) dan ketentuan Penutup. Pada Ketentaun Umum memuat batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi; dan/atau hal-hal lain bersifat umum yang berlaku bagi pasal 75
76
Ibid angka 42 dan 43 Ibid Lampiran II angka 54
73
atau
beberapa
pasal
berikutnya
antara
lain
ketentuan
yang
mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri 77
dalam pasal atau bab . Sedangkan Materi pokok yang diatur di dalam batang tubuh suatu Peraturan Daerah adalah ditempatkan langsung setelah bab ketentuan umum, jika tidak ada pengelompokan bab, materi pokok yang diatur diletakkan setelah pasal-pasal ketentuan umum. Peraturan Daerah boleh memuat ketentuan Pidana, akan tetapi dibatasi sebagai berikut : a. Lamanya pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan. b. Banyaknya Banyaknya denda paling banyak Rp.50.000.000,(lima Rp.50.000.000,(lima puluh juta 78
rupiah).
c. Ketentuan Pidana tidak boleh berlaku surut. d. Dalam merumuskan ketentuan pidana perlu diperhatikan asasasas umum ketentuan pidana yang terdapat dalam buku kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena Ketentuan dalam Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan lain, kecuali oleh Undang-Undang ditentukan lain (Pasal 103 Kitab UndangUndang Hukum Pidana).
77
79
Ibid Lampiran II angka 98 Pasal 143 ayat (2) Undang Undang Undang n Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
78
Daerah 79
Op.Cit Lampiran II angka 113.
74
e. Rumusan Ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang memuat norma tersebut.
80
f. Peraturan Daerah dapat memuat ketentuan pidana selain di atas yaitu dengan mengacu pada peraturan Perundang-Undangan lainnya. Selanjutnya bagian dari batang tubuh suatu Peraturan Peraturan daerah daerah adalah Ketentuan peralihan. Ketentuan peralihan memuat penyesuaian terhadap Peraturan daerah yang sudah ada berdasarkan Peraturan daerah yang lama terhadap peraturan daerah yang baru yang bertujuan untuk: a.
Menghindari terjadinya kekosongan hukum;
b.
Menjamin kepastian hukum;
c.
Memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan peraturan daerah ; dan
d.
Mengatur hal-hal yang bersifat transsisional atau bersifat sementara.
D. Ketentuan Penutup
Ketentuan penutup ditempatkan pada bagian terakhir , jika tidak ada ada pengelompokkan pengelompokkan bab, ketentuan ketentuan penutup ditempatkan dalam pasal – – pasal pasal terakhir. Pada umumya Ketentuan Penutup ketentuan mengenai :
80
Ibid Lampiran II angka 118.
memuat
75
a.
Penunjukan organ atau alat perlengkapan yang melaksanakan Peraturan Daerah;
E.
b.
Nama singkatan Peraturan Daerah;
c.
Status Peraturan Daerah yang sudah ada; dan
d.
Saat mulai berlaku Peraturan Daerah,
Penutup
Penutup merupakan bagian akhir peraturan daerah yang yang memuat: a. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan daerah dalam lembaran Daerah; b. Rumusan perintah Pengundangan dan penempatan Peraturan Kepala Daerah dalam Berita Daerah; c. Penandatanganan penetapan; d. Pengundangan; dan e. Akhir bagian penutup. Di dalam
81
bagian penutup peraturan daerah pada
bagian
penandatanganan penandatanganan penetapan peraturan daerah memuat m emuat : a. tempat dan tanda tangan penetapan; b. nama jabatan; c. tanda tangan pejabat; dan d. nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar dan pangkat dan ditulis dengan hurup kapital 81
Kemenkum dan HAM, Panduan praktis memahami Cappler Project.Jakarta 2008.
82
Perancanangan
peraturan daerah,
76
F. Penjelasan (jika diperlukan)
Penjelasan Peraturan Daerah sebagai tafsiran resmi pembentuk peraturan daerah daerah atas norma tertentu tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena karena itu penjelasan penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma. Oleh karena itu, hindari membuat rumusan norma di dalam bagian penjelasan. Dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Dan judul penjelasan harus sama dengan judul Peraturan Daerah.
83
G. Lampiran (jika diperlukan)
Dalam hal
peraturan memerlukan lampiran, hal tersebut tersebut harus harus
dinyatakan dalam batang tubuh dan pernyataan bahwa lampiran tersebut merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan yang bersangkutan. Pada akhir lampiran harus dicantumkan nama dan tanda tangan pejabat yang mengesahkan/menetapkan peraturan yang bersangkutan.
82
angka 160-173 Ibid Lampiran II angka Ibid lampiran II angka 176-178 84 Ibid. Lampiran II angka 192 83
84
BAB III METODE PENELITIAN
1.
Jenis Penelitian
Jenis Penelitian ini adalah adalah termasuk jenis penelitian penelitian hukum normatif atau juga disebut juga penelitian
hukum yuridis yuridis normatif, karena yang yang
menjadi objek kajian dalam penelitian ini adalah bertujuan menganalisa beberapa Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong yang bertentangan atau bermasalah
dalam perspektif teknik penyusunannya penyusunannya Peraturan-
Perundang- undangan. 2.
Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian
ini adalah
pendekatan pendekatan yuridis formal, sebagai sebagai pendekatan pendekatan kajian ilmu hukum untuk untuk mengkaji konstruksi hukum terhadap Peraturan Daerah kabupaten Rejang Lebong. Pendekatan lain dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan ( Statute Approach), untuk menelaah konsistensi dan kesesuaian antara suatu peraturan perundang-undangan yang satu dengan peraturan perundang-undangan yang lain dan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi.
85
85
Peter Mahmud Marzuki. Marzuki. Penelitian Hukum ,Kencana ,Kencana Prenada Media Group, cet3, Juni 2007, Jakarta. Jakarta. Hlm 141-142.
77
78
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
3.
Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas kekuatan mengikat
86
.
Bahan hukum primer berupa produk hukum yang berupa peraturan perundang undangan, yaitu : 1.
Undang-Undang Dasar 1945.
2.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
3.
Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
4.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Pemerintahan Aceh
5.
Undang-Undang Noor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Khusus Bagi Provinsi Papua.
6.
Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
7.
PERPRES Nomor 61 Tahun Tahun 2005 2005 tentang Tata Cara Cara Penyusunan Penyusunan dan Pengelolaaan Pengelolaaan Prolegnas.
8.
PERPRES Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tentang Tata Cara Mempersiapkan Mempersiapkan RUU. Rancangan PERPU RPP.Perpres.
86
Ibid hlm 141-142.
79
9.
PERPRES Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahaan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-Undangan; Perundang-Undangan;
10. PERMEN Hukum dan HAM Nomor M.01-HU.03.02 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-Undangan; 11. PERMEN Hukum dan dan HAM Nomor Nomor M.HH-01.PP.01.01 M.HH-01.PP.01.01 Tahun Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-Undangan; 12. PERMEN Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah. 13. PERMEN Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah 14. PERMEN Dalam Dalam Negeri Negeri Nomor 17 Tahun Tahun 2006 tentang Lembaran Daerah dan Berita Daerah; 15. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong
Nomor 5 Tahun
2006 tentang Bantuan Keuangan Keuangan Kepada Kepada Partai Politik dan Tata Cara Pengajuan, Penyerahan Serta Pelaporan Penggunaan Bantuan Keuangan Partai Politik Di Kabupaten Rejang Lebong 16. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong
Nomor 20 Tahun 2006
tentang Larangan Pelacuran dalam Kabupaten Rejang Lebong 17. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Tentang KerjaSama Desa.
Nomor 23 Tahun 2006
80
18. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong
Nomor 24 Tahun 2006
tentang Badan Permusyawaratan Desa 19. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong
Nomor 29 Tahun
2006 tentang Kepala Desa Sebagai Pemangku Kawasan Hutan 20. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong
Nomor 17 Tahun 2007
tentang Penyelenggaraan Lalu Lintas Jalan Di Wilayah Kabupaten Rejang Lebong 21. Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan lainnya yang terkait dengan substansi. Kemudian memberikan
bahan
penjelasan
hukum
sekunder
yaitu
bahan-bahan
yang
dan mendukung bahan hukum primer
yang
meliputi teori-teori, prinsip-prinsip dasar ilmu hukum, hukum, asas- asas hukum, norma-norma hukum,
doktrin-doktrin
Teknik Penyusunan
Peraturan perundang-undanga perundang-undangan, n, pendapat dan dan pandangan para ahli hukum yang berkaitan berkaitan dengan analisis peraturan peraturan daerah serta bahan hukum hukum tertier berupa kamus hukum, jurnal, dan hasil kajian yang berkaitan dengan objek penelitian.
4.
Teknis Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan hukum menggunakan metode yuridis analitis dengan cara interpretasi
87
yaitu metoda atau cara yang digunakan secara sistematis
untuk menganalisa menganalisa terhadap bahan hukum, baik bahan bahan 87
hukum primer, primer,
Sunaryo Hartono, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 20. Alumni Bandung 1994. hlm 22
81
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Penganalisaan dilakukan baik dengan penafsiran gramatikal yaitu analisa berdasarkan ragam bahasa,kalimat dan pemaknaan huruf dan kata, penafsiran-penafsiran historis yaitu penafsiran yang mendasari, berdasarkan latar belakang alasan di bentuknya suatu peraturan perunang-undangan, penafsiran-penafsiran sistematis
dan
penafsiran
dengan
perbandingan
hukum
yakni
membandingkan suatu peraturan perundang-undangan dengan perundangan yang lain baik yang sederajat maupun yang hirarkinya lebih tinggi, kemudian bahan-bahan hukum tersebut setelah dianalisa secara yuridis disusun secara sistematis dan dihubungkan berdasar kerangka teori, konsepkonsep hukum, pandangan hukum dan Peraturan Perundang- undangan, untuk kemudian diambil kesimpulan atas tujuan yang yang diinginkan.
82
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Konstruksi Peraturan Daerah Yang Bertentangan
Dengan Teknik
Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Daerah adalah salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Peraturan
Daerah itu merupakan penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri-ciri kas masing-masing daerah serta Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan kementingan umum dan atau bertentangan dengan undangan yang lebih tinggi.
88
Peraturan Perundang-
Oleh karena itu Peraturan Daerah tidak boleh
bertentangan pada asas-asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan dengan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi yang menjadi dasar dan sumbernya. Untuk menilai suatu Peraturan Daerah, apakah bertentangan dari teknik penyusunannya penyusunannya karena bertentangan dengan Peraturan Perundang- undangan yang lebih tinggi, maka diperlukan pedoman pedoman yang baku baku dan metode yang yang pasti dan standar untuk menilainya menilainya yaitu dengan berdasarkan berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
88
Pasal 136 ayat (3) dan (ayat (ayat (4) Undang Undang nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daearah.
83
Berdasarakan Kenyataannya Kenyataann ya Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong masih banyak yang bertentangan berten tangan dan bermasalah bermasal ah dari aspek teknik penyusunan Peraturan Daerah. Permasalahan-permasalahan Permasalahan-permasalahan yang ada pada beberapa Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong tersebut adalah sebagai berikut :
1. PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG NOMOR
5
TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK
DAN
PELAPORAN
TATA
PENGAJUAN,
PENGGUNAAN
BANTUAN
PENYERAHAN
SERTA
KEUANGAN
PARTAI
POLITIK DI KABUPATEN REJANG LEBONG 1.1. Pembukaan Pada Pembukaan konsideran menimbang bagian terakhir tertulis: ”bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2005 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai politik perlu ditetapkan dengan Peraturan daerah”. Sebaiknya :
Rumusan yang digunakan adalah: bahwa untuk
melaksanakan melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun
2005 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai politik perlu membentuk Paraturan Daerah tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik dan Tata Pengajuan, Penyerahan Serta Pelaporan Penggunaan Bantuan Keuangan Partai Politik
84
Penjelasan :
Konsideran tersebut tidak tepat kerena tidak memuat tentang judul ”ditetapkan” diganti dengan Peraturan Daerah tersebut. Kata/frasa ”ditetapkan kata/frase ”membentuk ”membentuk ”, ”, untuk menghindari kerancuan k erancuan, karena Peraturan Daerah itu merupakan merupakan suatu bentuk suatu
Peraturan ( Regelling) bukanlah
keputusan penetapan ( Beschikking). Selanjutanya mengganti
imbuhan pasif di pada frase ”ditetapkan” ditetapkan” menjadi imbuhan aktif me pada kata ”menetapkan”,
89
sebaiknya hindari penggunaan kata-kata
pasif . kemudian tidak tida k perlu memasukan kata/frasa “di kabupaten Rejang Lebong
90
karena Peraturan daerah tersebut sudah menunjukkan
Peraturan daerah Rejang Lebong dan ruang lingkup Peraturan Daerah tersebut Hanya mempunyai yuridiksi Daerah Kabupaten Rejang Lebong. 1.2. Dasar hukum
Pada Dasar Hukum
Pembukaan
terdapat ketidakkonsistenan
penulisan Frase ”Lembaran Negara Republik Indonesia”. Yang masih disingkat ”Lembaran ”Lembaran Negara” Terutama pada dasar hukum angka 1,2,4,6,dan7.
89
Lampiran II BAB I angka angka 23 contoh 2 Konsideran Konsideran Peraturan Daerah Daerah provinsi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Menggunakan kata membentuk pada konsideran untuk Perda yang diperintahkan oleh UndangUndang, Peraturan Pemerintah dengan menunjuk pasal pasal atau beberapa pasal pasal dari Undang- Undang atau peraturan Pemerintah yang memerintahkan Pembentukannnya. 90 Ibid Lampiran II Bab II Bentuk Rancangan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, Kabupaten/Kota,
85
Sebaiknya:
Konsisten menulis frasa ””Lembaran Lembaran Negara Republik
91 Indonesia”. Indonesia”.
Penjelasan:
Kemudian pada dasar hukum juga tidak memasukkan Pasal 18 ayat (6) Undang Undang Undang Dasar
Negara Republik Republik Indonesia Indonesia Tahun Tahun 1945,
Pada hal dalam Pasal 18 Ayat (6) tersebut merupakan landasan Konstitusional Pembentukan Peraturan Daerah. Seharusnya Pasal 18 ayat (6) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dicantumkan
dan jadikan bagian
pertama dasar hukum di dalam
pembentukan Peraturan Daerah sebagaimana ketentuan pada angka 39 Lampiran II Undang- Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan. Kemudian baru UndangUndang tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang tentang Pembentukan Wilayah tersebut. Peraturan Perundang-Undangan yang digunakan sebagai dasar hukum hanya Peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
92
kemudian Dasar hukum
dibahwa Undang-Undang Dasar cukup cukup di tulis jenis dan nama nama Peraturan Perundang Undangan Undangan tanpa mencantumkan mencantumkan frasa Republik indonesia. 1.3. Diktum Pada Diktum Tertulis:
91
Ibid lampiran II.angka 40 Ibid Lampiran II angka 41 93 Ibid Lampiran II angka 45 92
93
86
Menetapkan :
PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG
TENTANG BANTUAN KEUANGAN
KEPADA PARTAI POLITIK DAN TATA PENGAJUAN,
PENYERAHAN
PELAPORAN
PENGGUNAAN
CARA SERTA
BANTUAN
KEUANGAN PARTAI POLITIK DI KABUPATEN REJANG LEBONG. Sebaiknya :
pada diktum tersebut tidak
memasukan nama ”KABUPATEN ”KABUPATEN
pada angka REJANG LEBONG” LEBONG” lagi sebagaimana contoh ketentuan pada 59 pada lampiran II Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, penulisannya menjadi : Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG BANTUAN KEUANGAN KEPADA TATA
CARA
PARTAI POLITIK DAN
PENGAJUAN,
PENYERAHAN
SERTA PELAPORAN PENGGUNAAN BANTUAN KEUANGAN PARTAI POLITIK 1.4. Batang Tubuh 1.4.1. Dalam
Pasal
2 ayat (3) tertulis kata : ”... sesuai peraturanperaturan-
perundang- undangan yang berlaku.”
87
Sebaiknya :
Rumusan yang benar adalah : ”...sesuai Peraturan PerundangUndangan .” Penjelasan :
Tidak perlu kata-kata kata-kata
”yang berlaku”, berlaku ”, karena
yang
menjadi dasar dasar hukum Peraturan Daerah Daerah adalah sudah pasti pasti yang masih berlaku karena mempunyai kekuatan hukum mengikat, sedangkan Peraturan Perundang-undangan Perundang- undangan yang akan dicabut dengan peraturan yang akan dibentuk atau peraturan perundangundangan yang sudah diundangan tetapi belum resmi berlaku tidak
dicantumkan sebagai dasar hukum
94
karena tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
1.4.2.
Pasal 3 terdapat kata pada ”...pasal ”...pasal 2 diatas”. Sebaiknya :
tertulis”...Pasal tertulis”...Pasal 2 ”. Kemudian tertulis
”...Peraturan Perundang Perundang-undangan -undangan yang
berlaku,” Sebaiknya :
Hilangkan kata atau frase ”yang berlaku”. Selanjutnya dalam Pasal 3 ayat (2) tertulis :
94
Ibid Lampiran II angka 42
88
” Besaran Bantuan keuangan kepada Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong
Tentang APBD yang
selanjutnya diatur dengan Keputusan Bupati.” Bupati .” Sebaiknya :
Rumusan yang tepat adalah ”Besaran ”Besaran bantuan keuangan kepada Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Daerah Kabupaten Kabupaten Rejang Lebong Tentang APBD”. Penjelasan :
Rumusan Pasal 3 ayat (2)
ini tidak tepat karena karena Peraturan Peraturan
daerah memang harus jelas tidak multi tafsir akan tetapi sifat Pengaturan dan Objeknya masih bersifat umum, kepada masyarakat
luas,
Sedangkan
Keputusan/ Beischikking
yang
Putusan biasanya
Bupati
berupa
objeknya,
bersifat
konkrit, individual dan final. Jadi tidak tepat pendelegasian wewenang bupati tersebut, sebaiknya tetap diatur dengan Peraturan Daerah Daerah apabila apabila memang ingin ingin didelegasikan didelegasikan karena bersifat teknis didelegasikan kepada aturan yang lebih rendah dari Peraturan Daerah. diatur dengan Peraturan Bupati bukan Keputusan Bupati.
89
1.4.3.
Pasal
9 tertulis :
...sebagaimana dimaksud pada Pasal 8. Sebaiknya :
...sebagaimana ...sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Penjelasan :
untuk teknik pengacuan untuk Pasal digunakan kata dalam sedangkan untuk ayat digunakan pada. Untuk konsistensi penulisan. 1.4.4.
Pada BAB VII Tertulis : KETENTUAN LAIN-LAIN Sebaiknya :
KETENTUAN PENUTUP. Penjelasan :
Karena Materi salah satunya memberikan kewenangan untuk membuat peraturan pelaksanaan yaitu dalam Pasal 13 ayat (1). Dari Peraturan daerah tersebut. Di dalam sistematika Teknik Penyusunan Peraturan Perundang- undangan tidak dikenal Ketentuan lain-lain yang ada adalah ketentuan penutup dan Penutup. Ketentuan Penutup biasanya memuat ketentuan mengenai penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan peraturan perundang-undangan, nama singkatan Peraturan perundang-Undangan, status Peraturan Perundang-
90
undangan yang sudah ada dan saat mulai berlakunya Peraturan 95
Perundang-undangan.
Kemudian dalam Pasal Pasal 13 ayat ayat (1) tertulis : Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai pelaksanaannya akan ditetapkan oleh Keputusan Bupati Rejang Lebong. Sebaiknya :
Rumusan yang tepat Pasal 13 ayat (1) : Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaanya pelaksanaanya diatur dengan “Peraturan Bupati Rejang Lebong” Penjelasan :
Peraturan
Perundang-undangan
yang
lebih
tinggi
dapat
mendelegasikan mendelegasikan kewenangannnya kewenangannnya lebih lanjut lanjut kepada Peraturan Perundang undangan yang lebih rendah
96
. Termasuk dalam hal
ini Peraturan Daerah yang dapat mendelasikan kewenangnannya kewenangnannya kepada peraturan yang lebih rendah. Akan tetapi dalam hal ini pendelegasian kewenangan di dalam Pasal 13 ayat (1) Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong tersebut tersebut tidak tepat, karena pendelegasian Peraturan Daerah tersebut ””Kepada Kepada Keputusan Bupati ”, yang seharusnya dilihat dari substansi materi Muatannya Kepada ””Peraturan Peraturan Bupati ”. sebagaimana 95
Ibid lampiran II angka 137. Ibid lampiran II angka 198
96
91
ketentuan angka 201 lampiran II Undang-Undang Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan. 1.4.5.
Penutup Pada BAB IX Tertulis Tertulis : KETENTUAN PENUTUP Sebaiknya :
Di tulis “PENUTUP “PENUTUP””. Penjelasan :
Disebabkan karena materi dari BAB IX Peraturan Daerah Rejang Lebong tersebut pengundangan pengundangan
mengenai
rumusan perintah
dan penempatan Peraturan Daerah dalam
Lembaran Daerah Kabupaten Rejang Lebong.
Penutup Pada
suatu Peraturan Daerah merupakan bagian akhir suatu Peraturan Perundang-undangan
yang
memuat:
rumusan
perintah
pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam lembaran Negara Republik indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah Provinsi, Lembaran Daerah Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi, Berita daerah kabupaten/Kota, Penandatanganan pengesahan atau penetapan peraturan Perundang-undangan, Pengundangan atau penetapan Peraturan Perundang-undangan dan akhir bagian penutup. Sedangkan
Penggunaan
Ketentuan
Penutup
sebagaimana
92
dijelaskan sebelumnya biasanya memuat ketentuan ketentuan mengenai mengenai penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan peraturan perundang-undangan, nama singkatan Peraturan perundang-Undangan, status Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada dan saat mulai berlakunya Peraturan Perundangundangan
97
Selanjutnya
pada Bab IX Penutup dalam Pasal 14 ayat (2)
tertulis : Agar setiap orang dapat Mengetahuinya... Mengetahuinya... Sebaiknya :
Rumusan yang Benar :”Agar setiap orang mengetahuinya...” Penjelasan : ”dapat”. karena apabila menggunakan Tidak menggunakan kata ”dapat”.
kata ”dapat” , akan menyebabkan kerancuan dan maknanya dapat”, mengandung arti diskresi, kebolehan berbeda. berbeda. Kata ”dapat”,
kepada yang dituju, baik itu lembaga, atau seseorang. Apabila dapat” dimasukkan kata ”dapat”
dalam
Pasal 14 ayat (2) ini
bermakna bahwa setiap orang boleh saja menolak dari ketentuan yang diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong ini dengan alasan belum mengetahuinya. Karena setiap orang mempunyai alasan untuk tidak mematuhi dengan alasan tidak dapat Mengetahuinya atau, belum dapat mengetahuinya.
97
Ibid lampiran II angka 164
93
Makna kata atau frase ”dapat ” pada ayat (2) tersebut secara normatif menimbulkan ketidakpastian keberlakuan Peraturan Daerah tersebut tersebut terhadap setiap orang, oleh karena itu harus harus di apat” pada hilangkan penggunaan kata ”dapat”
Pengundangan
Peraturan Daerah.
2. PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG NOMOR 20 TAHUN
2006
TENTANG
LARANGAN
PELACURAN
DALAM
KABUPATEN REJANG LEBONG 2.1. Judul Pada aspek judul tertulis : ”Larangan Pelacuran Dalam Kabupaten Rejang Lebong” Lebong” Sebaiknya :
Rumusan judul :”Larangan Pelacuran” Penjelasan :
Tidak perlu kata
”Dalam Kabupaten Rejang Lebong ”. Karena
Peraturan Daerah tersebut merupakan Peraturan Daerah Kabupaten Rejang
Lebong
yang
keberlakuannnya
dan
kekuatan
mengikatnya terbatas hanya di wilayah Rejang lebong. 2.2.
Pembukaan Pada Konsideran Menimbang huruf c tertulis :
hukum
94
”bahwa untuk memuhi kepentingan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b di atas, perlu diatur dan ditetapkan peraturan daerah mengenai Larangan Pelacuran dalam Kabupaten Rejang Lebong”. Sebaiknya :
Rumusan konsideran ditulis : ”bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu membentuk Peraturan Daerah tentang larangan Pelacuran” Penjelasan :
Rumusan konsideran jangan ditulis huruf a, b. harus di tulis huruf a, huruf
b.
sosiologis,
Kemudian konsideran landasan
filosofis
sebaiknya memuat landasan dan
landasan
yuridis.
Tidak
menggunakan kata atau frase yang pasif yaitu ””ditetapkan ”, melainkan ditetapkan”, gunakan kata membentuk karena Peraturan Daerah itu dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Rejang Lebong dan Bupati Rejang Lebong. Disamping itu Peraturan Daerah dilihat dari sifatnya adalah pengaturan secara umum( regelling), bukan merupakan penetapan( beschikking). Sedangkan penggunaan kata/ frasa ditetapkan lebih tepat digunakan untuk konsideran pada Peraturan Bupati, bukan Peraturan Daerah.
98
98
Ibid lihat contoh Lampiran II angka 24
95
2.3. Dasar Hukum Pada dasar hukum mengingat tertulis :”..Lembaran Negara tahun... dan tambahan ”...Lembaran Negara...” pada dasar hukum pada angka 1 sampai angka 14. Sebaiknya;
Penulisan yang tepat adalah :... Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun...”dan
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Tahun....” Kemudian pada dasar hukum angka 8 tertulis” Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 108, tambahan Lembaran Negara Nomor 4548) Sebaiknya :
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
96
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 4493) yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lebaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 nomor 108; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548); Penjelasan :
Pada Dasar Hukum Hukum Peraturan Daerah ini ini belum juga dimasukkan Pasal Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Indonesia Tahun Tahun 1945, seharusnya ia menjadi dasar hukum yang pertama dalam 99
Peraturan daerah ini . Selanjutnya pada
Penulisan Kata ”Negara
Republik Indonseia” tidak boleh dihilangkan. Penulisannya harus lengkap termasuk juga penulisan Nomor dan Tahunnya ketika di undangkan. undangkan.
Dasar hukum memuat : Dasar kewenangan kewenangan pembuatan
Peraturan Perundang-Undangan Perundang-Undangan Tingkat Tingkat Daerah, Peraturan PerundangPerundangundangan yang memerintahkan pembentukan pembentukan peraturan tersebut, tersebut, dan Undang-Undang yang menjadi dasar Pembentukan Daerah yang bersangkutan bersangkutan serta dasar hukum hanya peraturan peraturan perundang-undangan perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi. Kemudian apabila Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan mengalami lebih dari satu satu kali perubahan, perubahan, harus ditulis seluruhnya secara lengkap.
99
Ibid Lihat Lampiran II angka 39
97
2.4.
Diktum Tertulis kata : M E M U T U S K A N: Sebaiknya :
”MEMUTUSKAN” di tulis seluruhya dengan huruf kapital
Kata
tanpa spasi diantara suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua (:) serta diletakkan di tengah marjin.
100
Selanjutnya pula pada diktum Tertulis : Menetapkan Menetapkan :
PERATURAN
DAERAH KABUPATEN REJANG
LEBONG TENTANG LARANGAN PELACURAN DALAM KABUPATEN REJANG LEBONG Sebaiknya :
Menetapkan Menetapkan :
PERATURAN DAERAH TENTANG LARANGAN PELACURAN
Penjelasan:
Pada diktum menetapkan, nama yang tercantum dalam judul dicantumkan lagi setelah kata menetapkan dan didahului dengan pencantuman jenis peraturan tanpa frasa Provinsi/kabupaten/kota, serta ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan anda baca titik.
100
101
Ibid Lampiran II angka 54 Ibid lampiran II angka 59.
101
98
2.5. Batang Tubuh. 2.5.1. Pasal 4 ayat (2) tertulis ”... sesuai dengan Ketentuan Peraturan yang berlaku.” Sebaiknya :
Rumusan ditulis : ”...sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan”. 2.5.2. Pasal
5 ayat (2)
tertulis: ”Pemerintah Daerah Mempunyai
Kewenangan untuk mengadakan razia..”. Sebaiknya :
Rumusan yang lebih baik : ”Pemerintah Daerah berwenang untuk mengadakan razia...” Penjelasan :
Dalam rumusan norma untuk kata/istilah tertentu harus menggunakan pilihan kata yang telah ditetapkan walaupun dalam Bahasa Indonesia artinya sama. Kata ”Mempunyai Kewenangan”, apabila di pilah, maka kata/frasa ”mempunyai” mengandung arti memiliki sesuatu atau mempunyai sesuatu dan lebih
mendekati
makna
berhak,
sedangkan
kata/frasa
”kewenangan” diartikan kekuasaan, maka apabila digabungkan dapat mengandung makna bahwa ”mempunyai kewenangan” itu adalah mempunyai hak atau memiliki hak, sedangkan maksud dari mempunyai kewenangan yang dikehendaki dalam pasal
99
tersebut adalah ”Kewajiban yang harus dilaksanakan” Lembaga Lembaga Pemerintah Daerah. Oleh karena itu Kata/frasa ”Mempuyai Kewenangan”
secara
tata
kalimat
lebih
baik
ditulis
”berwenang” karena mengandung makna kewajiban yang harus dilaksanakan. 2.5.3. Pasal Pasal 6 ayat ayat (1) tertulis tertulis : ”setiap anggota masyarakat mempunyai kewajiban untuk...” Sebaiknya:
Rumusan kalimat yang tepat adalah ”setiap anggota masyarakat berkewajiban untuk...” karena makna ”mempunyai” seolah mengandung
makna
”hak”
sedangkan
kata
”kewajiban”
mengandung makna untuk melakukan sesuatu, sebagaimana yang dijelaskan diatas, sehingga kata/fr asa
”mempunyai
kewajiban” mengandung makna kewajiban itu itu adalah hak setiap orang, padahal makna yang dikehendaki dalam Pasal tersebut adalah bahwa setiap
anggota masyarakat untuk
melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh Peraturan Daerah. Demikian
juga dalam Pasal 8 tertulis : bagi anak-anak yang
melakukan ...sebaiknya cukup kata Bagi anak yang melakukan . 2.5.4 Pasal 10 ayat (1) tertulis ”Selain oleh pejabat Penyidik Umum. Penyidikan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud Peraturan Daerah ini dapat juga dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri
100
Sipil (PPNS) dilingkungan Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong yang pengangkatannya ditetapkan sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan Perundang-U ndangan yang berlaku”. Sebaiknya :
Pasal 10 ayat (1) tertulis ”Selain oleh pejabat Penyidik Umum. Penyidikan atas tindak pidana sebagimana dimaksud peraturan daerah ini dapat dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dilingkungan Pemerintah Kabupaten K abupaten Rejang Lebong”. Penjelasan :
Tidak perlu penambahan Kata/frasa ”yang ”yang pengangkatannya di tetapkan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku”. Karena ketentuan Pengangkatan Pengangkatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil sudah pasti pasti ada dasar hukumnya, hukumnya, atau Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan yang mengaturnya. mengaturnya. Penghilangan Penghilangan Kalimat ”pengangkatannya
di
tetapkan
sesuai
dengan
Peraturan
Perundang-undangan Perundang-u ndangan yang berlaku ” dalam Pasal 10 Ayat (1) Tidak mengubah isi dan makna Pasal tersebut, bahkan rumusan Pasal tersebut menjadi baku dan efektif. 2.6. Ketentuan Penutup 2.6.1. Pasal 11 tertulis:
101
”Hal-Hal ”Hal-Hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut oleh Bupati” Sebaiknya :
”Hal-Hal ”Hal-Hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati” Penjelasan :
Rumusan kata/frasa ”diatur menimbulkan
lebih lanjut oleh Bupati”.dapat
ketidakpastian, karena produk hukum yang
dikeluarkan oleh Bupati dapat berupa: Peraturan Bupati, Peraturan Kepala Daerah, Keputusan Bupati, Instruksi Bupati dan yang lainnya. Oleh karena itu harus ditulis jelas pendelegasian wewenang dari Peraturan Daerah tersebut oleh Bupati. Kemudian sebaiknya Tidak digunakan pasal-pasal Delegasi blanko seperti seperti tersebut pada Pasal Pasal 11 diatas, karena karena objek materi muatannnya menyangkut masyarakat umum. Sebaiknya materi muatan teknis pelaksanaan suatu ketentuan tetap diatur di dalam Peraturan Daerah juga. Apabila sangat teknis, maka pendelegasian kewenangan oleh suatu Peraturan Daerah ke Peraturan Bupati bukan pada keputusan bupati
102
karena masih mengenai objeknya pengaturan berkaitan berkait an dengan masyarakat umum. 2.6.2. Pasal 12 tertulis: ”Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan
peraturan
ini
dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Rejang Lebong” Sebaiknya:
Rumusan
kalimatnya : ”Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Rejang Lebong” Penjelasan :
Hilangkan kata/frasa
”dapat”. dapat”.
Karena akan
membuat
Peraturan Daerah itu tidak mempunyai kepastian hukum, sebagaimana telah dijelaskan pada uraian sebelumnya di atas. Memang bisa dimaklumi salah tulis tertulis kata ”dapat ”dapat”, namun dari aspek kebenaran Formil, maka kata ”Dapat” Dapat” bisa mengandung arti lain ketika sudah tertulis di dalam suatu Peraturan Daerah yang sudah diundangkan dan bisa terjadi permasalahan hukum diperadilan ketika ada pelanggaran Peraturan Daerah penutupnya.
yang ada kata ”Dapat” Dapat” pada ketentuan
103
3.
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KABUPATEN REJANG REJANG LEBONG LEBONG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG
KERJASAMA DESA.
3.1. Pembukaan 3.1.1 Konsideran Pada konsideran hurup a tertulis : ”...maka Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 41 Tahun 2002 tentang Kerja sama antara Desa perlu dicabut.” Sebaiknya :
Rumusan tersebut tidak perlu dimuat dimuat dalam konsideran konsideran , karena telah di muat dalam BAB XI Ketentuan Peralihan Pasal 14 . Kemudian konsideran konsideran huruf b tertulis: ”bahwa untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diatas, maka perlu ditetapkan kembali dengan Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong.” Sebaiknya :
Rumusannya adalah : ” bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a perlu membentuk membentuk Peraturan Daerah tentang tentang Kerjasama Kerjasama Desa. Penjelasan:
Peraturan Daerah tersebut diatas. Belum memuat landasan sosiologis dan
landasan filosofis, hanya memuat landasan
104
yuridis saja sebagaimana tertulis pada konsideran menimbang huruf a. Sebaiknya Peraturan daerah bukan merupakan pendelegasian wewenang Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi untuk membentuknya maka sebaikny selain memuat landasan yuridis, juga harus memuat landasan filosofis dan landasan sosiologis. Karena ketiga landasan tersebut merupakan sebab yang melatar belakangi lahirnya Suatu Peraturan Daerah, bukan hanya landasan yuridis saja sebagai implementasi peraturan perundang undangan yang lebih tinggi. Karena materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan penyelenggaraan otonomi daerah dan dan tugas pembantuan pembantuan dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
102
Yang dimaksud kondisi khusus daerah adalah kondisi yang meliputi lingkungan hidup daerah termasuk juga manusia dan norma norma yang berlaku di masyarakat dalam wilayah tertentu. Ini adalah landasan sosiologis yaitu kondisi nyata masyarakat
yang
harus
dimasukkan
dalam
konsideran
menimbang suatu Peraturan daerah. Kemudian Peraturan daerah tersebut juga harus memuat landasan filosofis, yaitu landasan yang berkaitan dengan
102
Ibid Pasal 14 .
105
masalah keadilan, pemerataan dan tanggung jawab .kepada masyarakat. 3.1.2 Dasar Hukum Pada dasar hukum , mengingat : belum juga dimasukkannnya Pasal 18 ayat (6) Undang Undang Dasar 1945 sebagai dasar hukum konstitusional pada Peraturan Daerah. Sebaiknya :
Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 tetap dimasukkan sebagai dasar hukum di urutan pertama pada konsideran Mengingat pada Peraturan Daerah . Penjelasan :
Sebagaimana pada penjelasan-penjelasan sebelumnya bahwa Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945 adalah landasan konstitusional yang memberikan kewenangan/hak kewenangan/hak
kepada
Daerah Provinsi, Provinsi, kabupaten /kota untuk menetapkan Peraturan Daerah. Pada dasar hukum hukum mengingat angka angka 1 sampai sampai 9 masih tertulis ” Lembaran Negara...” Sebaiknya:
Rumusan ”Lembaran Negara” ditulis lengkap Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun....”
106
Penjelasan :
Penulisan Dasar Hukum Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum hanya peraturan perundangundangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi dan dasar hukum peraturan daerah daerah hanya memuat dasar kewenangan kewenangan 3.1.3
Diktum Pada diktum menetapkan tertulis: PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG TENTANG KERJA SAMA DESA Sebaiknya :
Rumusan Diktum menetapkan
adalah :
PERATURAN
DAERAH TENTANG KERJA SAMA DESA. Penjelasan:
Penulisan Diktum memuat memuat kembali nama yang yang tercantum alam judul
setelah
pencantuman
kata
jenis
menetapkan
peraturan
tanpa
dan
didahului
menyebutkan
dengan nama
Provinsi/Kabupaten/Kota, serta ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik. 3.2.
Batang Tubuh
3.2.1 Ketentuan umum Dalam Bab I mengenai Ketentuan Ketentuan Umum dalam Pasal Pasal 1 angka
107
10 terdapat rumusan Alokasi Alokasi dana Desa dan angka angka 11 rumusan anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Sebaiknya:
Rumuan Angka 10 dan angka 11 Pada Bab 1 dihilangkan saja. Penjelasan :
Di dalam ketentuan umum berisi batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi; dan/atau hal hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang yang mencerminkan mencerminkan asas, asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab .
103
Sedang angka 10 dan angka 11 dalam Bab I Pasal 1 ketentuan umum pada Peraturan Daerah tentang Kerja sama Desa tidak termuat dalam materi pokok yang diatur di dalam Pasal-Pasal dalam batang tubuh tubuh Peraturan Daerah Daerah tentang Kerja sama Desa. Desa. Oleh karena itu sebaiknya dihilangkan saja. 3.2.2
Dalam BAB II Ruang lingkup Pasal Pasal 2 ayat (3) tertulis” Untuk pelaksanaan kerja sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dapat dibentuk Badan kerja sama.” Sebaiknya :
103
Ibid Lampiran II angka 98 .
108
Rumusan
Pasal Pasal 2 ayat (3) adalah” untuk pelaksanaan kerja
sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat Membentuk Badan Kerjasama.” Penjelasan:
Rumusan
pengacuan pengacuan untuk, sebelum Pasal gunakan kata
”dalam” dan untuk ayat gunakan Kata
pada”, untuk ”pada”,
konsistensi sebagaimana dijelaskan pada uraian sebelumnya. Juga gunakan kata aktif menggantikan kata pasif sehingga Kata ”dibentuk ” menjadi ”Membentuk ”Membentuk ”. ”. 3.3. Penutup
Pada BAB XII PENUTUP tertulis Rumusan : Agar setiap Orang dapat mengetahuinya. Sebaiknya :
Rumusan yang yang benar memerintahkan
adalah : agar setiap Orang mengetahuinya, mengetahui nya,
pengundangan
Peraturan
Daerah
ini
dengan
penempatannya dalam Lebaran Daerah. Penjelasan:
Sebagaimana Sebagaimana ketentuan
yang telah diuraikan
sebelumnya di atas,
hilangkan Kata/Frasa ”Dapat” karena penggunaan kata ”dapat” akan menimbulkan kerancuan kerancuan dan ketidaktegasan ketidaktegasan makna Peraturan Daerah. Daerah.
109
4.
PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA. 4.1. Judul Pada Judul tidak ada permasalahan karena judul sesuai dengan materi atau substansi dari Paraturan Daerah, judul sudah mencerminkan materi dari Peraturan daerah . 4.2. Pembukaan. 4.2.1. Konsideran Pada konsideran hurup a tertulis : ”...maka Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 36 Tahun 2002 2002 tentang Badan Perwakilan Perwakilan Desa, Desa, perlu dicabut.” Sebaiknya :
Rumusan tersebut tidak perlu perlu dimuat dalam dalam konsideran konsideran , akan tetapi dimasukkan pada bab ketentuan Peralihan. Kemudian konsideran konsideran huruf b tertulis: ”bahwa untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a di atas, maka perlu ditetapkan kembali dengan Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong.” Sebaiknya :
Rumusannya adalah : ” bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
110
huruf a
perlu membentuk membentuk Peraturan Daerah tentang Badan
Permusyawaratan Permusyawaratan Desa” Desa”. Penjelasan:
Peraturan Daerah tersebut di atas. Belum memuat landasan sosiologis dan
landasan filosofis, hanya memuat landasan
yuridis saja sebagaimana tertulis pada konsideran menimbang huruf a. Sebaiknya Peraturan Daerah yang baik yang merupakan perwujudan dari nilai nilai kearipan lokal yang diangkat menjadi peraturan daerah selain memuat landasan yuridis, juga harus memuat landasan filosofis dan landasan sosiologis. Karena ketiga landasan tersebut merupakan sebab atau keharusan yang melatar belakangi lahirnya Suatu Peraturan daerah, bukan hanya landasan yuridis saja sebagai implementasi peraturan perundang undangan yang lebih tinggi. Karena materi muatan Peraturan Daerah
adalah
seluruh
materi
muatan
dalam
rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan perundang-undangan yang lebih tinggi. Yang dimaksud kondisi khusus daerah adalah kondisi yang meliputi lingkungan hidup daerah termasuk juga manusia dan norma-norma yang berlaku di masyarakat dalam wilayah tertentu. Ini adalah landasan sosiologis yaitu kondisi nyata
111
masyarakat
yang
harus
dimasukkan
dalam
konsideran
menimbang suatu Peraturan Peraturan daerah. daerah. Jadi Landasan Landasan Sosiologis sebagai sebab dibentuknya Peraturan Daerah Tentang Badan Permusyawaratan Permusyawaratan Desa. Kemudian Peraturan Daerah tersebut juga harus memuat landasan filosofis, yaitu landasan yang berkaitan dengan masalah keadilan, pemerataan dan tanggung jawab .kepada masyarakat. 4.2.2
Dasar Hukum Pada dasar dasar hukum, hukum, mengingat : belum juga dimasukkannnya dimasukkannnya Pasal 18 ayat (6) Undang Undang Dasar 1945 sebagai dasar hukum konstitusional pada Peraturan Daerah. Sebaiknya :
Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 tetap dimasukkan sebagai dasar hukum di urutan pertama pada konsideran Mengingat pada Peraturan Daerah . Penjelasan :
Sebagaimana pada penjelasan terdahulu bahwa Pasal 18 ayat a yat (6) Undang-Undang Dasar 1945 adalah landasan konstitusional yang memberikan memberik an kewenangan/hak kewenangan/h ak
kepada Daerah provinsi,
kabupaten /kota untuk menetapkan Peraturan Daerah. Daerah.
112
Pada dasar hukum hukum mengingat angka angka 1 sampai sampai 9 masih tertulis ” Lembaran Negara nomor.....” Sebaiknya:
Rumusan
”Lembaran Negara” ditulis lengkap ”Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun....” Penjelasan :
Penulisan Dasar Hukum Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum, hanya peraturan perundangundangan yang tingkatannya tingkatannya sama atau lebih tinggi . 4.2.3. Diktum Pada diktum menetapkan tertulis: PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA Sebaiknya :
Rumusan Diktum menetapkan
adalah :
DAERAH
PERMUSYAWARATAN
TENTANG
BADAN
PERATURAN
DESA. Penjelasan:
Penulisan Diktum memuat memuat kembali nama yang yang tercantum alam judul
setelah
pencantuman
kata
jenis
menetapkan
peraturan
tanpa
dan
didahului
menyebutkan
dengan nama
Provinsi/Kabupaten/Kota, Provinsi/Kabupaten/Kota, serta ditulis seluruhnya dengan huruf
113
kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik .
104
4.3. Batang Tubuh 4.3.1 Di dalam BAB I KETENTUAN UMUM Pada Pasal 1 angka 9 tertulis:”Alokasi Dana Desa adalah dana yang dialokasikan oleh Pemerintah Kabupaten untuk desa, yang bersumber dari bagian dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten” Sebaiknya:
Pasal 1 angka 9 tersebut tidak dimasukkan atau dihilangkan dalam BAB I Penjelasan:
Ketentuan umum itu berisi Batasan atau definisi, singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan, hal-hal lain yang bersifat umum
yang berlaku bagi Pasal-(pasal) berikutnya
antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan tujuan. kemudian kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atau istilah istil ah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal(-pasal) selanjutnya. Sedangkan Pasal 1 angka 9 tersebut tidak termasuk pada ketentuan ketentuan tersebut diatas dan tidak ada mencerminkan dari substansi materi muatan dalam batang tubuh atau atau pada pasal-pasal pasal-pasal selanjutnya dalam dalam Peraturan
104
Ibid Lampiran II angka 59.
114
Daerah Rejang Lebong tentang Badan Musyawarah Desa. Oleh karena itu maka Pasal 1 angka 9 dalam ketetntuan umum tersebut harus dihilangkan. Kemudian pada Pasal 1 angka 11 tertulis: Peraturan Desa adalah Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Badan Permusyawaratan Desa bersama Kepala Desa Sebaiknya :
Rumusan Pasal 1 angka 11 tersebut diganti menjadi : Peraturan kepala Desa adalah Peraturan yang dibuat oleh Badan Permusyawaratan Permusyawaratan desa bersama Kepala Desa. Penjelasan:
Berdasarkan Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pada Pasal 7 menyebutkan bahwa Peraturan daerah termasuk Peraturan Desa akan tetapi Undang Undang nomor 10 tahun 2004 tersebut telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dimana di batang tubuhnya tidak lagi memasukan Peraturan Desa sebagai bagian dari Peraturan Daerah. Maka sebaiknya Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Lebong tentang
Badan
Musyawarah Desa direvisi Kembali Menyesuaikan dengan aturan hukum yang lebih tinggi. Namun demikian Peraturan
115
Desa yang sudah ada sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tersebut tetap diakui keberadaannya. 4.3.2
Dalam Peraturan
Pasal 3 Desa
berbunyi
bersama
” BPD berfungsi menetapkan
kepala
Desa,
menampung
dan
menyalurkan aspirasi asp irasi masyarakat” Sebaiknya
Rumusan Pasal 3 ini dihapuskan dan diganti dengan Peraturan /Keputusan Kepala Desa saja Penjelasan :
Peraturan Desa
yang termasuk pada
Daerah, berdasarkan
bagian dari Peraturan
ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf
a
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sudah dicabut tidak berlaku lagi dan diganti dengan Undang-Undang Nomor Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan. Di dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang tidak lagi Memasukkan Memasukkan Peraturan Desa Desa kedalam Jenis, Jenis, hirarki Peraturan
Perundang-Undangan.,
Sehingga
Pengaturan
Mengenai Pemerintahan Desa cukup dengan Peraturan Kepala Desa saja. Meskipun Sebelum ditetapkannnya Peraturan Kepala
116
Desa, di musyawarahkan terlebih dahulu dengan Badan Musyawarah Desa. 4.3.3 Pada Pasal 4 tertulis: BPD mempunyai mempunyai tugas dan wewenang: a.
membahas rancangan Peraturan Desa bersama kepala desa;
b.
melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa;
Sebaiknya:
Rumusan Pasal 4 tersebut: a.
membahas rancangan Peraturan Kepala Desa.
membahas
dihapuskan
saja
yang
benar
adalah
:”BPD
berwenang...” Penjelasan :
Pada BAB II mengatur tentang Kedudukan, Kedudukan, Fungsi, Fungsi, wewenang, hak dan Kewajiban, tidak menjelaskan atau tidak tertulis Kata/frase ”Tugas”. Apabila memang memerlukan tugas pada BPD, maka sebaiknya Frase Tugas dimasukkan dalam judul BAB II. Disamping itu rumusan rumusan yang baik harus Wewenang dulu baru tugas, karena tugas dan wewenang itu berbeda, pada pasal 4 tersebut tidak dijelaskan mana yang dimaksud dengan tugas dan mana yang dimaksud dengan wewenang. Wewenang dapat diartikan kekuasaan yang ada pada BPD sedangkan Tugas sebenarnya
adalah
serangkaian
kegiatan
kegiatan
yang
117
dilaksanakan
untuk
mengimplementasikan
dari
suatu
wewenang. 4.3.4
Dalam Pasal 5 dan Pasal 6 tertulis Kata/frase ”mempunyai hak” Sebaiknya :
Rumusan kata yang tepat adalah ”berhak” Penjelasan:
Dalam rumusan norma, untuk kata/istilah tertentu harus menggunakan pilihan kata yang telah ditetapkan walaupun dalam Bahasa Indonesia artinya sama misalnya: mempunyai hak di tulis berhak, mempunyai wewenang di tuli berwenang, dan mempunyai kewajiban di tulis wajib.
105
. kemudian penulisan
tersebut harus konsisten, walaupun Bahasa Indonesia variasinya banyak dengan arti yang sama. 4.3.5. Dalam Pasal 7 dan Pasal 8 tertulis
kata/frase ”Mempunyai
kewajiban.” Sebaiknya ;
rumusan kata yang tepat : ”berkewajiban”. Penjelasan:
penulisan tersebut harus konsisten, walaupun Bahasa Indonesia variasinya banyak dengan arti yang sama, sebagaimana di jelaskan di atas. 105
. ______,Panduan praktis memahami perancangan peraturan daerah , cappler project hlm 71 Jakarta, 2008
118
4.3.5. Pasal 9 ayat (3) huruf a tertulis: ”Pendidikan
sekurang-
kurangnya...” Sebaiknya:
Rumusan yang tepat adalah : Pendidikan serendah rendahnya...” Penjelasan:
Rumusan Pendidikan tidak tepat menggunakan kata sekurangkurangnya
karena padanan kata sekurang-kurangnya sekurang-kurangnya adalah
selebih-lebihnya, sehingga tidak tepat. Untuk pendidikan digunakan kata/frasa rendah dan tinggi.maka untuk menyatakan pendidikan minimal atau yang paling rendah menggunakan kata “serendah“serendah-rendahnya” atau untuk menyatakan pendidikan paling tinggi “setinggi-tingginya. “setinggi-tingginya. 4.3.6. Pada Pasal 13 ayat ayat (3) tertulis kata : ”dalam hal tertentu rapat BPD dinyatakan sah ...” Sebaiknya:
Dalam rumusan Kata/ frasa ”dalam hal tertentu ” sebaiknya di jelaskan
kriterai dalam pengertian” atau diuraikan kriteria-
dalam Tertentu” Penjelasan :
Apabila rumusan ”dalam hal tertentu ” tidak diuraikan, maka akan
menimbulkan
multi
tafsir
yang
berbeda,
dan
penggunaannya bisa di salah tafsirkan karena makna ”Dalam
119
Hal tertentu” kriterianya tidak ada dan tidak di buat , baik itu di dalam ketentuan umum maupun di dalam penjelaan Peraturan Daerah tersebut. 4.3.7. Pasal 19 ayat (3) tertulis:” Anggota BPD yang diberhentikan harus mendapatkan persetujuan 2/3 jumlah anggota BPD” Sebaiknya :
Rumusan yang tepat : Anggota BPD yang diusulkan untuk di berhentikan harus mendapat persetujuan 2/3 anggota BPD” Penjelasan :
Kata /frasa Anggota BPD yang diberhentikan” menunjukan makna sudah berhenti berhenti atau pemberhentian itu sudah sudah terjadi, jika sudah berhenti berhenti tidak perlu lagi lagi persetujuan persetujuan 2/3 anggota anggota BPD. Dalam hal ini oleh Bupati, Padahal maksud dari ayat tersebut adalah dalam tahap pengusulan, dimana ketentuannya harus disetujui terlebih dahulu oleh 2/3 anggota BPD. Maka oleh karena itu belum terjadi pemberhentian gunakan usulkan”
untuk
menunjukkan
makna
belum
kata ”di terjadi
pemberhentian. 4.4.
Ketentuan Pidana 4.4.1. Dalam Pasal 24 ayat (1) tertulis;” Tindakan Penyidikan terhadap anggota dan pimpinan BPD, dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Bupati:
120
Sebaiknya :
Rumusan pasal 24 ayat (1) tersebut dihilangkan. Penjelasan :
Dasar hukum atau landasan pendelegasian wewenang dari Peraturan
Perundang-undangan
yang
lebih
tinggi
yang
mengharuskan anggota dan pimpinan BPD sebelum disidik terlebih dahulu adanya adanya persetujuan persetujuan tertulis dari Bupati tidak ada dasarnya, baik itu dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Acara Pidana , Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal
tersebut bertentangan bertentangan asas materi muatan muatan Peraturan PerundangPerundangundangan ,
106
bahkan bertentangan bertent angan dengan Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945 yang berbunyi: ”setiap Orang berhak atas perlakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Oleh karena itu Pasal 24 ayat (1) Peraturan Daerah Rejang Lebong tentang Badan Perwakilan Desa tidak perlu di muat dalam Peraturan Daerah atau dihilangkan saja. 4.4.2. Di dalam Pasal 25 ayat (1) tertulis:” Ketentuan lebih lanjut mengenai BPD ditetapkan dengan Peraturan Desa. Sebaiknya:
Rumusan Pasal ini di hilangkan saja. 106
Pasal 6 ayat (1) huruf h Undang Undang Nomor Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
121
Penjelasan:
karena ketentuan mengenai BPD masih masih bersifat umum .tetap .tetap dimasukkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten
Rejang
Lebong . Apabila tetap di delegasikan ke Peraturan Desa, disamping Peraturan Desa Tidak menjadi bagian dari Peraturan Daerah lagi, maka akan menimbulkan perbedaan rumusan pengaturan mengenai BPD di tiap tiap Desa dalam Wilayah Kabupaten Rejang Lebong sedangkan desa tidak masuk daerah yang otonom dalam pemerintahannya. pemerintahannya. Kemudian dalam dalam Pasal 25 ayat ayat (2) huruf c sampai huruf huruf e harus dihapuskan karena sudah dimasukkan dalam Peraturan Daerah saja, tidak tepat apabila dimasukkan dalam Peraturan Desa. Karena sudah sudah dimuat dalam Peraturan Peraturan Daerah. Disamping itu berdasarkan ketentuan dalam Pasal 7 Undang-Undang Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, tidak
dimasukkanya lagi Peraturan Peraturan Desa Desa sebagai sebagai
Bagian dari Hirarki, Jenis Peraturan Perundang-undangan, namun demikian keberadaannya Peraturan Desa yang sudah ada tetap diakui selagi tidak bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan .
122
4.4. Ketentuan peralihan 4.5.1.
Dalam
Pasal 28 , tidak dimasukkannya dimasukkannya Peraturan Daerah
Nomor 36 Tahun 2002 tentang Badan Perwakilan Perwakil an Desa, yang dijadikan dasar pertimbangan dalam pembukaan Peraturan Daerah. Sebaiknya :
Rumusan Peraturan Daerah Daerah Nomor 36 Tahun Tahun 2002 dimasukkan dimasukkan dalam salah satu pasal dalam Pasal 28 Perda Nomor 24 tahun 2006. Tentang Tentang Badan Permusyawaratan Permusyawaratan Desa. 4.5. 2 Di Dalam
Pasal 29 ayat (1) tertulis :” pada saat berlakunya
Peraturan Daerah ini maka semua ketentuan yang bertentangan dengan Peraturan Daerah ini dinyatakan tidak berl aku” Sebaiknya:
Rumusan yang tepat adalah : ”pada saat berlakunya Peraturan daerah ini, maka
semua ketentuan dalam Peraturan Daerah
yang bertentangan dengan Peraturan Daerah ini dinyatakan tidak berlaku”. Penjelasan:
Untuk menyatakan menyatakan suatu suatu ketentuan-ketentuan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan bertentang
dengan
dinyatakan suatu
tidak
Peraturan
berlaku
lagi
jika
Perundang-undangan,
haruslah peraturan perundang-undangan yang sederajad atau
123
lebih rendah. Kekuatan hukum Peraturan Perundang-Undangan Perundang-Undangan adalah sesuai dengan hierarki.
107
Secara normatif pun tidak
Mungkin Peraturan Daerah menyatakan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi tidak berlaku jika bertentang dengan Peraturan Daerah. Peraturan Daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Perundang-undangan Perundang-u ndangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan memperhati kan ciri khas masing-masing Daerah.
108
4.6.3. Dalam Pasal 29 ayat (2) tertulis:”Hal-hal tertulis:”Hal-hal belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Bupati sepanjang mengenai pelaksanaannya. pelaksanaannya. Sebaiknya:
Rumusan yang tepat : Hal-hal yang berkaitan dengan teknis pelaksanan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati Penjelasan :
Untuk mendelegasikan Peraturan Daerah Kepada peraturan dibawahnya dalam suatu Kabupaten, yang paling tepat adalah dengan
Peraturan
Bupati
terutama
yang
masih
bersifat
Pengaturan/regelling, bukan Keputusan/beschiking. Sebaiknya tidak Perlu pendelegasian lagi dari Peraturan daerah ke tingkat yang lebih rendah atau biasa disebut delegasi blanko, karena 107
ayat (2) Ibid Pasal 7 ayat Pasal 136 ayat (3) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Sinar Grafika Jakarta 2005 108
124
Peraturan Daerah yang baik itu harus berdasarkan asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yaitu Kejelasan tujuan, dan kejelasan rumusan
109
. Kecuali memang
yang bersifat teknis pelaksanaan.
5. PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG NOMOR 29 TAHUN 2006 TENTANG KEPALA DESA SEBAGAI PEMANGKU KAWASAN HUTAN. 5.1.
Judul. Pada aspek judul mengenai tidak ada permasalahan karena judul sudah memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan dan nama peraturan daerah.
5.2 Pembukaan 5.2.1. Konsideran Pada Konsideran menimbang Hurup b tertulis bahwa hutan adalah sebagai salah satu penentu sistem penyanggah kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, oleh karena itu keberadaannnya harus dipertahanankan dipertahanankan secara optimal, Sebaiknya:
Rumusan Konsisderan Konsisderan huruf b tersebut dihilangkan saja karena karena sudah termuat dalam konsideran huruf a.
109
Op.Cit Pasal 5
125
Penjelasan :
Di dalam memuat dasar penulisan penulisan konsideran, konsideran, disamping memuat memuat dasar filosofis dan sosiologis, juga memuat landasan yuridis,
110
di
dalam pertimbangan Peraturan Daerah ini belum memuat alasan yuridisnya, oleh karena itu harus memuat alasan aspek yuridisnya , karena konsideran itu merupakan
uraian singkat yang yang menjadi
pertimbangan dan alasan didalam pembentukan Peraturan Daerah. Disamping itu karena pokok pikiran lebih dari satu, maka setiap pokok
pikiran
dirumuskan
dalam
merupakan satu kesatuan pengertian.
rangkaian
kalimat
yang
111
Kemudian pada konsideran menimbang huruf d tertulis: ”bahwa untuk melaksanakan sebagaimana dimaksud pada huruf a,b dan c di atas, perlu ditetapkan dengan Peraturan Daerah”; Sebaiknya:
Rumusan yang tepat : bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dengan huruf a, huruf b , dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Daerah
tentang Kepala Desa Sebagai Pemangku Kawasan Hutan;
112
Penjelasan:
Dalam
penulisan
konsideran
menimbang,
khususnya
pada
konsideran menimbang pada pokok pikiran bagian terakhir harus 110
Ibid lampiran II angka 19 Ibid lampiran II angka 21 112 Ibid Lampiran II angka 23 111
126
memuat tentang judul dari peraturan daerah agar lengkap, jelas dan diakhiri dengan tanda baca titik koma. 5.2.2
Dasar Hukum Pada dasar hukum mengingat : belum juga dimasukkannya dimasukkann ya Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Dasar Hukum Konstitusional pada Peraturan Daerah. Sebaiknya :
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Indonesia 1945 tetap dimasukkan sebagai dasar hukum diurutan pertama pada konsideran Mengingat pada Peraturan Daerah . Penjelasan :
Sebagaimana pada penjelasan terdahulu bahwa Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945 adalah landasan konstitusional yang memberikan kewenangan/hak kewenangan/hak kepada Daerah Provinsi, Kabupaten /Kota untuk menetapkan Peraturan Daerah. Daerah.
113
Kemudian pada dasar hukum mengingat angka 1 sampai 13 masih tertulis ” Lembaran Negara nomor....” Sebaiknya:
Rumusan ”Lembaran Negara” Negara” ditulis lengkap menjadi “(Lembaran “(Lembaran Negara
Republik
Indonesia
Tahun....Nomor....,
Lembaran Negara Tahun...Nomor....)”
113
Ibid Lampiran II angka 39
Tambahan
127
Penjelasan :
Penulisan dasar hukum
Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan
yang
digunakan sebagai dasar hukum Peraturan Daerah, adalah dasar kewenangan
pembentukan
Undang-Undang Undang-Undang tentang
Peraturan
Perundang-undangan,
Pembentukan Daerah dan Undang-
Undang tentang tentang Pemerintahan Pemerintahan Daerah serta Peraturan Perundangundangan yang tingkatannnya sama atau lebih tinggi yang memerintahkan secara jelas atau mendelegasikan kepada Peraturan Daerah. Peraturan Perundang-undangan meskipun lebih tinggi dari Peraturan Daerah, apabila tidak secara jelas memerintahkan atau mendelegasikan kewenangannnya kepada Peraturan Daerah, maka tidak
dimasukkan sebagai dasar hukum
pada pembukaan
Peraturan Daerah. 5.2.3. Diktum Pada diktum Menetapkan Menetapkan tertulis: PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG TENTANG
KEPALA
DESA
SEBAGAI
PEMANGKU
KAWASAN HUTAN Sebaiknya:
Rumusan yang tepat: PERATURAN DAERAH TENTANG KEPALA DESA SEBAGAI PEMANGKU KAWASAN HUTAN
128
Penjelasan:
kan lagi kata/Frasa ”KABUPATEN REJANG tidak perlu memasuk kan LEBONG”114. 5.3. Batang Tubuh 5.3.1 Ketentuan Umum Pada Ketentuan Ketentuan Umum Pasal 1 angka angka 13 tertulis: Badan Perwakilan Desa (BPD) adalah badan yang dibentuk untuk mengawasi mengawasi jalannya j alannya pemerintahan ditingkat desa Sebaiknya:
Badan Perwakilan Desa untuk selanjutnya disingkat BPD adalah Badan yang dibentuk untuk mengawasi jalannya pemerintahan di tingkat desa Penjelasan :
Untuk
penulisan selanjutnya di dalam Pasal cukup ditulis
kata/ frasa frasa ”BPD”. ”BPD”. tidak perlu diuraikan lagi Badan Perwakilan Desa. Hal ini untuk konsistensi dalam hal penulisan. 5.3.2
Pasal 6 tertulis: (2) Kewajiban Kepala Desa adalah: Sebaiknya :
Rumusan yang tepat : Kepala Desa berkewajiban :
114
Ibid lampiran II angka 59
129
Penjelasan:
Tidak perlu ditulis ”ayat (2)” Karena Pasal 6 hanya satu ayat, Kemudian rumusan Frasa yang baku dalam suatu kalimat adalah, Subjek Predikat Objek dan Keterangan (SPOK), bukan PSOK sehingga Penulisan yang tepat ””Kepala Kepala Desa berkewajiban, bukan Kewajiban kepala desa adalah. 5.3.3. Pada Pasal Pasal 7 ayat (2) dan ayat ayat (3) tertulis mengenai tugas Badan Perwakilan Desa dan tugas camat yang berkaitan dengan pengamanan hutan. Sebaiknya :
Rumusan Pasal 7 ayat (2) dan ayat( 3) tersebut dihapuskan saja, karena Substansi Substansi dari Peraturan Peraturan Daerah ini adalah tentang Kepala Desa Sebagai Pemangku Pemangku Kawasan Kawasan Hutan, Hutan, tidak tepat tepat atau tidak sesuai dengan Judul Peraturan Daerah. 5.3.4. Pada Pasal 8 dan Pasal 10 tertulis: ”Kepala Desa dan camat mempunyai wewenang”... Sebaiknya :
Rumusan yang tepat adalah ”Kepala Desa berwenang”...,. Penjelasan:
Untuk konsistensi penulisan Kata/Frasa ”Mempunyai Wewenang” di tulis ”Berwenang”, Kata ”mempuyai hak” di tulis ”Berhak”
130
5.3.5. Pada BAB
VIII
tentang
PENYIDIK dalam Pasal 15
tertulis: ”Kepala desa dan camat sebagai penanggung jawab pengamanan hutan diwilayahnya, diikutsertakan pula sebagai penyidik dalam kasus-kasus kehutanan ditingkat desa dan kecamatan dan Pasal 16 tertulis :”Pe :”Penyidik nyidik ditingkat desa dan kecamatan (kepala desa dan camat) memberitahu dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, untuk diproses sesuai
dengan Peraturan Perundang-
undangan.” Sebaiknya:
Rumusan Pasal 15 dan Pasal 16 di hapuskan Penjelasan:
Kepala Desa Bukanlah Pegawai Negeri Sipil dan tidak ada satupun Undang-Undang
yang
mendelegasikan
kepada
Kepala
Desa
sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil atau yang biasa di singkat PPNS. Untuk menjadi PPNS, syaratnya harus Pegawai Negeri Sipil, memiliki memiliki golongan golongan tertentu, pangkat tertentu dan dan
harus
sudah mengikuti Pendidikan dan latihan tertentu di bidang penyelidikan. Harus diangkat terlebih dahulu oleh kementerian yang berwenang dalam pengangkatan PPNS, yang saat ini kewenangan tersebut berada di kementerian Hukum dan HAM RI. Disamping itu PPNS memiliki harus memiliki Kartu Anggota
131
sebagai PPNS yang dikeluarkan oleh Instansi berwenang dan memiliki jangka waktu keberlakuan kartu anggota dan bisa di perpanjang. Jadi Kepala Desa tidak bisa dijadikan Penyidik, Pro Yustisia. Penyidik tertutama dalam dalam penegakan penegakan hukum / Pro
adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang Undang-Undang untuk melakukan penyidikan
115
.
5.4. KETENTUAN PIDANA 5.4.1 Dalam BAB IX IX tertulis
SANKSI seharusnya KETENTUAN
PIDANA .Selanjutnya dalam Pasal 17 tertulis:”barang siapa yang dengan sengaja merusak hutan, maka akan diberikan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan perundang-undangan yang berlaku ”; Sebaiknya:
Rumusan .Pasal 17 harus jelas dan konktit Penjelasan:
Apa yang dimaksud dimaksud dengan dengan Merusak hutan, hutan, apa kriteria kriteria merusak hutan, dan apa bentuk bentuk sanksi dalam peraturan daerah ini harus dirinci sehingga tidak kabur. Apakah bentuk tindak pidana kejahatan atau tindak tindak Pidana pelanggaran dan dan sanksinya apa denda denda atau kurungan.
115
Isi BAB I Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
132
5.4.2. Pada Pasal 18 tertulis: ”setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam Peraturan Daerah ini, mewajibkan kepada pelanggar untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat pencemaran dan atau kerusakan hutan. Sebaiknya:
Rumusan pasal 18 harus jelas dan konkrit Penjelasan:
Didalam Peraturan Daerah ini tidak menjelaskan mengenai hal hal yang melanggar hukum hukum dalam Peraturan Daerah tentang Kepala desa sebagai pemanggku kawasan hutan secara jelas dan rinci, hanya ada frasa mengenai Merusak Hutan dalam Pasal 17, sedangkan pengertian merusak hutan itu sendiri tidak dijelaskan secara
jelas
batasan
mengenai
merusak
itu
sejauh
mana
pengertiannya didalam Peraturan Daerah ini. Seharusnya dalam pembuatan mengenai sanksi pidana Pelanggaran harus jelas apakah pelanggaran adminsitrasi, dan denda atau atau kurungan , harus dibuat secara jelas dan rinci rumusan-rumusan, baik mengenai ketentuanketentuan, unsur-unsur atau dalil-dalil yang menyatakan itu suatu pelanggaran atau bukan pelanggaran melaui pasal-pasal yang materi muatannnya jelas rumusannya. Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau norma
133
116
perintah
.
Kemudian
rumusan
ketentuan
pidana
harus
menyebutkan secara tegas norma larangan atau norma perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang memuat norma tersebut.
117
Juga ketentuan pidana yang berlaku
bagi subyek subyek tertentu, subyek itu dirumuskan dirumuskan secara tegas, tegas, misalnya orang asing, pegawai pegawai negeri, saksi, saksi, atau setiap orang orang untuk yang berlaku bagi siapapun
118
. Sehingga di dalam menerapannya baik di
pengadilan atau di luar pengadilan tidak menimbulkan kesulitan. 5.4.3. Pada Pasal 19 Tertulis: ”Bagi pemegang pemegang izin dibidang kehutanan diberi sanksi administrasi apabila melanggar ketentuan yang telah ditetapkan. Sebaiknya :
Rumusan Pasal 19 ini harus jelas memuat ketentuan-ketentuannya. ketentuan-ketentuannya. Penjelasan:
Pada Pasal 19 tidak memuat bentuk bentuk sanksi sanksi administrasi, padahal padahal sanksi administasi itu banyak banyak macamnya, bisa mencabutan mencabutan izin yang diberikan, Penutupan usaha, dan denda. Oleh Karena itu Bentuk sanksi administrasi yang dikenakan harus jelas kualifikasi dan rumusannnya. Kemudian ketentuan ketentuan yang mengenai pelanggaran pun harus dirumuskan dengan jelas pula di dalam Pasal-Pasal dalam Peraturan Daerah ini. 116
OP.Cit lampiran II angka 112 angka 118. Ibid lampiran II angka 118 angka 119 Ibid lampiran II angka 117
134
5.5. KETENTUAN PERALIHAN 5.5.1. Pada Pasal 20 tertulis: Dengan ditetapkannnya Peraturan daerah ini, maka segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku sepanjang belum diatur dalam peraturan ini. Sebaiknya:
Rumusan yang baik adalah: dengan ditetapkannya Peraturan Daerah ini, maka segala ketentuan dalam Peraturan Daerah yang ada masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini. Penjelasan:
Rumusan Pasal 20 tersebut diatas , apabila diartikan mengandung makna bahwa apabila ketentuan-ketentuan yang ada dalam peraturan Perundang-undangan Perundang- undangan
yang sudah ada diatur didalam peraturan
daerah ini, maka Peraturan Perundang-undangan tersebut tidak berlaku, padahal yang termasuk dalam Peraturan PerundangUndangan adalah bisa Undang-Undang Undang-Undang
Dasar Negara Republik
Indonesia. Ketetapan MPR, Undang-Undang/Peratura Undang-Undang/Peraturan n Pemerintah Pemerintah Pengganti
Undang-Undang,
Peraturan
Pemerintah,
Peraturan
Presiden, dan Peraturan Daerah Provinsi yang kedudukannnya lebih tinggi dari Peraturan Daerah Kabupaten. Secara hirarki kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hieraki
135
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
119
. Berdasarkan ketentuan
tersebut jelaslah bahwa Peraturan Daerah Kabupaten tidak boleh dan tidak bisa membatalkan Peraturan Perundang-undangan di atasnya yang secara hierarki lebih tinggi. Ketentuan Peralihan sebenarnya memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk : menghindari terjadinya kekosongan hukum, menjamin kepastian hukum, memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan, Perundang-undangan,
dan
mengatur
hal-hal
yang
bersifat
120
transisional atau bersifat sementara 5.6. KETENTUAN PENUTUP 5.6.1. Pada Pasal 21 tertulis :
Hal-hal yang yang belum diatur dalam Peraturan Daerah
tentang ini, ini,
sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Bupati Sebaiknya:
Rumusan Pasal Pasal 21 yang baik adalah adalah : Hal-hal yang yang belum diatur dalam
Peraturan
Daerah
ini,
sepanjang
mengenai
pelaksanaannya pelaksanaannya diatur lebih lanjut lanjut dengan Peraturan Bupati. 119
Ibid Pasal 7 ayat (1) dan ayat(2) Ibid Lampiran II angka 127
120
teknis
136
Penjelasan:
Sebagaimana penjelasan-penjelasan penjelasan-penjelasan sebelumnya bahwa untuk aturan yang bersifat pengaturan yang merupakan pendelegasian dari suatu Peraturan Daerah kepada aturan di bawahnya yang menyangkut objeknya yang masih bersifat umum
menggunakan menggunakan Peraturan
Bupati/Walikota. Bukan Keputusan Bupati/Walikota. 5.6.2 Pada Penutup tertulis t ertulis : ”Disahkan di curup” Sebaiknya:
Rumusan yang tepat adalah : ”Ditetapkan di Curup” Penjelasan:
Untuk
Undang-Undang Undang- Undang
digunakan
kata/Frasa
”Disahkan”
sebagaimana sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan , Sedangkan
rumusan
Penutup
pada
Peraturan 121
Kabupaten/Kota menggunakan Kata” ditetapkan”
. Hal ini demi
konsistensi sesuai Peraturan Perundang-undangan. Perundang-undangan.
121
Daerah
Ibid Lampiran II Bab II Bentuk Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
137
6. PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG NOMOR 17 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARAAN LALU LINTAS JALAN DI WILAYAH KABUPATEN REJANG LEBONG.
6.1.Judul Pada Judul tertulis: PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG TENTANG PENYELENGGARAAN LALU LINTAS JALAN DI WILAYAH KABUPATEN REJANG LEBONG” Seharusnya:
PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN LALU LINTAS JALAN Penjelasan :
Rumusan
yang baik dan efektif tidak menyebutkan nama Daerah
Kabupaten lagi, karena sudah pasti bahwa Peraturan Daerah tersebut adalah Peraturan Daerah Rejang Lebong. 6.2.Pembukaan 6.2.1. Konsideran Pada konsideran menimbang huruf c tertulis: ”bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan b di atas perlu ditetapkan dengan Peraturan Daerah”
138
Sebaiknya:
”bahwa berdasarkan pertimbangan Rumusan yang tepat adalah ::”bahwa sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, dan huruf b, perlu
membentuk Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan lalu lintas jalan”. Penjelasan:
Untuk pengacuan beberapa abjad diatas maka kata “Huruf ” harus ditulis di depan sitiap abjat dan sebaiknya gunakan kalimat aktif bukan kalimat atau kata pasif “ me” bukan “di” .Kemudian Jika Perda yang di bentuk tersebut merupakan perintah pembentukan dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi gunakan kata “...Membentuk Peraturan Daerah usulan
inisiatif
dari
tentang... ”. Jika merupakan
Pemerintahan
Kabupaten
Gunakan
“
...Menetapkan Peraturan Daerah tentang...” 6.2.2 Dasar Hukum Pada dasar hukum , mengingat : belum juga dimasukkannya Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Dasar Hukum Konstitusional pada Peraturan Daerah. Sebaiknya :
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Indonesia 1945 tetap dimasukkan sebagai dasar hukum diurutan pertama pada konsideran Mengingat pada Peraturan Daerah .
139
Penjelasan :
Sebagaimana pada penjelasan terdahulu bahwa Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang dasar 1945 adalah landasan konstitusional yang memberikan kewenangan/hak kewenangan/hak
kepada Daerah provinsi, kabupaten
/kota untuk menetapkan Peraturan Daerah. Pada
122
dasar hukum mengingat angka 1 sampai angka 13 masih
tertulis ” ....Lembaran ....Lembaran Negara nomor.....” Sebaiknya:
Rumusanya
”....Lembaran ”....Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Nomor....Tahun.... Nomor....Tahun.... ,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor.... Tahun....” Tahun.... ” Penjelasan :
Penulisan Dasar Hukum
Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan
yang
digunakan sebagai dasar hukum Peraturan Daerah, adalah dasar kewenangan kewenangan pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UndangUndang Tentang Tentang Pembentukan Daerah dan Undang-Undang Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah
serta peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan yang yang
tingkatannnya sama atau lebih tinggi yang memerintahkan secara jelas atau mendelegasikan kepada Peraturan Daerah. Peraturan Perundang-undangan meskipun lebih tinggi dari Peraturan Daerah, apabila tidak secara jelas memerintahkan atau mendelegasikan
122
Ibid Lampiran II angka 39
140
kewenangannnya kepada Peraturan Daerah, maka tidak boleh dimasukkan sebagai dasar hukum pada pembukaan Peraturan Daerah. 6.2.3. Diktum Pada diktum Menetapkan tertulis: Menetapkan :PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG LALU
TENTANG LINTAS
PENYELENGGARAAN
JALAN
DI
WILAYAH
KABUPATEN REJANG LEBONG” Seharusnya :
Rumusan yang tepat adalah : Menetapkan: Menetapkan: PERATURAN
DAERAH
TENTANG
PENYELENGGARAAN PENYELENGGARAAN LALU LINTAS JALAN” Penjelasan:
Rumusan Jenis dan nama yang tercantum dalam judul Peraturan Daerah dicantumkan lagi setelah kata menetapkan tanpa frasa Provinsi, Kabupaten/Kota, serta ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik.
123
6.3. Batang Tubuh 6.3.1. di dalam dalam Pasal 3 ayat ayat (3), Pasal 4 ayat (3), Pasal Pasal 5 ayat (2) tertulis: ”...sebagaimana dimaksud ayat ......
123
. Ibid Lampiran II angka 59 Ibid
141
Seharusnya
Rumusan yang tepat adalah ”...sebagaimana dimaksud pada ayat .... Penjelasan:
Sebagaimana ketentuan di dalam dalam Undang-Undang Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan , untuk penulisan Pengacuan gunakan kata/ frasa kata/ frasa ”Dalam ” untuk pengacuan sebelum kata
“Pasal” rasa :”Pada” untuk Pasal ”, dan Gunakan kata/f rasa
“ayat””. Hal ini menunjukkan bahwa pengacuan di depan kata/frasa “ayat Makna bahwa Frasa/Kata ”dalam”, pada kata dalam Pasal masih banyak berisi ayat- ayat atau bagian lainnya yang bisa saja berbeda substansi ayat yang satu dengan ayat yang lain, sedangkan Penggunaan Kata/Frasa ”Pada di depan Ayat Mengandung makna bahwa pengacuan itu langsung pada ayat tersebut. 6.3.2.di dalam dalam Pasal 3, Pasal4, Pasal4, Pasal 5, Pasal 7 Pasal 8, 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 13 pada bagian ayat a yat ayatnya tertulis: ”....diatur lebih lanjut dengan Keputusan Bupati: Sebaiknya: Rumusan yang tepat adalah”..... diatur dengan Peraturan Bupati.” Penjelasan: Dalam hal pendelegasian wewenang dari suatu Peraturan Daerah Kabupaten ke peraturan dibawahnya, jika memang dalam hal yang
142
bersifat mengenai pengaturan lebih lanjut, gunakan kata Peraturan Bupati, tidak menggunakan kata Keputusan Bupati, karena yang beischiking adalah yang bersifat keputusan, namanya Keputusan/ beischiking
yang bersifat individual, konkrit dan final. Sedangkan untuk pengatur masyarakat yang masih bersifat umum belum menjurus kepada orang atau badan hukum tertentu gunakan kata ”Peraturan” bukan ”Keputusan”. 6.3.3.Dalam Pasal Pasal 25 ayat (1) mengenai ketentuan ketentuan Pidana tertulis: (1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) huruf a,b,c dan d diancam dengan hukuman kurungan dan/atau denda sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 20 ayat (2) huruf e dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda sebanyak-banyaknya sebanyak-banyaknya Rp.1.000.000,(satu juta rupiah) Seharusnya:
Rumusan Pasal mengenai pelanggaran adalah
dalam Pasal 21
bukan Pasal 20 Penjelasan:
Dalam merumuskan Ketentuan Pidana harus jelas rumusannya tidak boleh kabur
Pengertiannnya. Pengertiannnya. Kemudian di dalam
merumuskan ketentuan ketentuan pidana harus harus menyebutkan menyebutkan secara tegas tegas
143
norma larangan atau norma pemerintah yang dilanggar dan menyebutkan Pasal atau beberapa Pasal yang memuat norma 124
tersebut.
.Selanjutnya
rumusan ketentuan pidana harus
menyatakan secara tegas pula kualifikasi pidana yang dijatuhkan 125
bersifat kumulatif, alternatif atau kumulatif alternatif. Rumusan Pasal 21 ayat (1) huruf a,
Jadi
hurub b, huruf c, dan
huruf d dirumuskan mengenai ancaman hukuman kurungan dan/atau dendanya. Kemudian untuk
penentuaan penentuaan
lamanya
pidana atau banyaknya denda perlu dipertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam masyarakat serta kesalahan pelaku.
126
Untuk rumusan sanksi kurungan pada
Peraturan Daerah Daerah sebaiknya tidak menggunakan kata ”sebanyak rumusan banyaknya” akan tetapi menggunakan ru Paling”, musan kata “Paling” untuk menyatakan pengertian maksimum, dalam menentukan ancaman pidana atau batasan waktu, dan gunakan kata/frasa paling singkat 127
waktu
atau paling lama untuk menyatakan jangka
. Kemudian di dalam penentuan sanksi pidana dalam
suatu Peraturan Daerah tidak hanya
batas hukuman kurungan
paling lama dan denda paling banyak saja, akan lebih baik juga memuat ketentuan sanksi pidana kurungan paling singkat dan
124
Ibid lampiran II angka 120. Ibid lampiran II angka 122 126 Ibid lampiran II angka 114. 127 Ibid lampiran II angka 255-256 125
144
sanksi pidana denda paling sedikit agar tuntutan hukuman pidana yang dijatuhkan menjadi efektif. 6.4. Ketentuan Penutup 6.4.1.Dalam Pasal 26 tertulis : Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan keputusan Bupati. Sebaiknya:
Rumusan yang tepat adalah: adalah: Hal-hal Hal-hal yang yang belum belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati . Penjelasan:
Untuk pendelegasian suatu kewenangan kepada aturan yang lebih rendah, maka harus tepat. Untuk mendelegasikan kewenangan Peraturan Daerah kepada Peraturan di bawahnya sepanjang masih bersifat pengaturan Maka gunakan Peraturan Gubernur,
Bupati/walikota.
Bukan
keputusan
Gubernur,
Bupati/Walikota. Jika Pendelegasian dari suatu peraturan Daerah untuk menunjuk sesuatu yang sudah final, individual dan beschikking baik itu keputusan konkrit maka gunakan Penetapan/ beschikking
Guberur, Keputusan Bupati atau Keputusan Walikota. Karena keputusan yang dikeluarkan oleh Gubernur, Bupati/Walikota
145
adalah suatu penetapan penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau pejabat Tata Usaha Negara berdasarkan Peraturan Perundang-undangan., yang bersifat konkrit, indivudual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata
128
. Oleh karena itu tidaklah tepat apabila
ada aturan yang didelegasikan yang bersifat pengaturan yang objeknya bukan seseorang atau badan hukum diatur di dalam suatu penetapan/beschikking. Akan teapi yang tepat adalah dengan memasukkannya dalam Peraturan Bupati apabila hal itu merupakan pelimpahan atau delegasi dari Peraturan Daerah Kabupaten. 6.4.2.Dalam Pasal 27 pada bagian terakhir rumusan kata tertulis: Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan Pengundangan Peraturan Daerah ini dengan Penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Rejang Lebong. Sebaiknya:
Rumusan yang yang tepat perintah Pengundangan dan penempatan Peraturan Daerah dalam Lembaran Daerah yang tepat adalah: Agar
setiap
orang
mengetahuinya,
memerintahkan
Pengundangan Pengundangan Peraturan Daerah ini dengan Penempantannya Penempantannya
128
Isi pasal 1Butir 3 Undang Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
146
dalam Lembaran Daerah Kabupaten Rejang Lebong.
129
Penjelaan:
Untuk tidak menimbulkan salah penafsiran dalam perintah Pengundangan Peraturan daerah hindari penggunaan Kata ”Dapat” dalam kalimat bagian akhir Pengundangan, Kata atau frasa ”dapat” pada kalimat tersebut membuat kalimat menjadi tidak baku dan bertentangan dengan kaidah tata bahasa Indonesia yang baku. Seharusnya tidak menggunakan kata atau frasa yang artinya tidak menentu atau konteknya dalam kalimat yang tidak jelas.
130
. Penggunaan kata atau frasa ”dapat”
mengandung arti suatu diskresi/kewenangan tertentu yang melekat
kepada yang dituju baik pada pada lembaga, institusi,
jabatan atau yang lainnya. Apabila penggunaan kata ”dapat” dalam suatu
kalimat tertentu yang tidak tepat
akan
mengaburkan makna atau keinginan yang dituju oleh Peraturan Daerah menjadi tidak tercapai. 6.4.3.Pada rumusan penandatangan pengesahan Peraturan Daerah tertulis: Disahkan di curup
Pada tanggal 8 Obtober 2007
129
Ibid Lampiran II angka 162.contoh rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Daerah Daerah atau Berita Daerah. Daerah. 130 Ibid Lampiran II angka 246.
147
Sebaiknya :
Rumusan yang tepat adalah : Ditetapkan di Curup
Pada tanggal 8 Oktober 2007 Penjelasan:
Untuk konsistensi di dalam penulisan
rumusan pengesahan pengesahan
atau penetapan Peraturan Daerah gunakan kata ’”ditetapkan” ”bukan disahkan ” . rumusan yang diletakkan sebelah kanan
tempat dan tanggal penetapan 131
. Sesuai dengan ketentuan
BAB IV huruf L Bentuk rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Pada Lampiran II Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011.
131
Ibid Lampiran II angka 165.
148
MATRIK ANALISIS PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG YANG BERTENTANGAN DENGAN TEKNIS PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
No 1
Peraturan Daerah PERATURAN DAERAH NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK DAN TATA PENGAJUAN ,PENYERAHAN SERTA PELAPORAN PENGGUNAAN BANTUAN KEUANGAN PARTAI POLITIK DI KABUPATEN REJANG LEBONG
Tertulis konsideran menimbang
Seharusnya konsideran menimbang
keterangan Judul perda perda bahwa untuk bahwa untuk dimasukakan melaksanakan Peraturan melaksanakan pada Pemerintah Nomor 29 Peraturan Pemerintah permbukaan Tahun 2005 tentang Nomor 29 Tahun 2005 konsideran Bantuan Keuangan tentang Bantuan menimbang kepada Partai Politik perlu Keuangan kepada agar substansi ditetapkan dengan Partai Politik perlu perda jelas Peraturan daerah membentuk Peraturan Daerah tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik dan tata Pengajuan, penyerahan serta Pelaporan bantuan Keuangan Partai politik Pada Dasar hukum Pada Dasar hukum
(Lembaran Negara Tahun.....Nomor....)
Tidak memasukan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 sebagai dasar hukum.
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun..... Nomor......,Tambahan lembaran Negara Tahun .......Nomor......) memasukan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 sebagai dasar hukum
Diktum:
Diktum:
.... Kabupaten Lebong...
Rejang
Di hapus/tidak masukkan
di
Sesuai Ketentuan angka 39 lampiran II Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011
149
Pasal 2
Pasal 2
...sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku Pasal 3
...sesuai Peraturan Perundang-undangan
KETENTUAN LAINLAIN Pasal 13 ayat (1)
KETENTUAN PENUTUP Pasal 13 ayat (1)
...akan ditetapkan oleh keputusan Bupati Rejang Lebong Pada Penutup
...diatur dengan Peraturan Bupati Rejang Lebong Pada Penutup
Kata berlaku hapus
Yang di
Untuk pengacuan ...pada Pasal 2 diatas. ...dalam Pasal 2 Pasal sebelumnya, gunakan kata Dalam di depan Pasal dan untuk di depan ayat gunakan kata pada Pasal 3 Pasal 3 Hilangkan kata-kata yang ......sesuai dengan Peraturan ......sesuai dengan berlaku karena perundang-undangan yang Peraturan Perundang- kata tersebut berlaku. undangan. memuat kalimat menjadi tidak baku Pasal 3 ayat (2) Pada pasal 3 ayat (2) Pengaturan yang bersifat Besaran bantuan keuangan Besaran bantuan umum gunakan kepada Partai politik keuangan kepada Perda dan sebagaimana dimaksud Partai Politik bersifat khusus, pada ayat (1) pasal ini di sebagaimana dimaksud individual dan tetapkan dengan Peraturan pada ayat (1) final gunakan Daerah Kabupaten Rejang ditetapkan dengan Keputusan. Lebong Tentang APBD Peraturan Daerah yang selanjutnya di atur Kabupaten Rejang dengan Keputusan Bupati. Lebong tentang APBD. Pasal 9 Pasal 9 ....sebagaimana dimaksud ....sebagaimana pada Pasal 8 dimaksud dalam Pasal 8 BAB VII BAB VII
KETENTUAN PENUTUP Pasal 14 ayat (2)
Pasal 3
PENUTUP Pasal 14 ayat (2)
Hilangkan
150
2
PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTAG LARANGAN PELACURAN DALAM KABUPATEN REJANG LEBONG
Agar setiap orang dapat mengetahuinya....
Agar setiap orang mengetahuinya....
Pada Judul LARANGAN PELACURAN DALAM KABUPATEN REJANG LEBONG
Pada Judul LARANGAN PELACURAN
Konsideran Hurup c
Konsideran hurup c
bahwa untuk memenuhi kepentingan sebagaimana dimaksud huruf a dan b di atas, perlu diatur dan ditetapkan Peraturan Daerah mengenai Larangan Pelacuran Dalam Kabupaten Rejang Lebong
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu membentuk Peraturan Daerah tentang larangan Pelacuran
Dasar hukum angka 1 s/d 14
Dasar hukum angka 1 s/d 14
...(Lembaran Tahun...)
kata”dapat” karena akan menimbulkan ketidak pastian makna isi Pasal. Tidak perlu memasukkan nama Kabupaten
Negara
Dasar hukum Tidak ada Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 Dasar hukum angka 8 Undang undang nomo 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 yang telah ditetapkan dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2005 menjadi Undangundang ( Lembaran Negara
...(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun...nomor..... dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun....nomor...dan) Dasar hukum Memasukkan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 Dasar dukum angka 8 Penulisan Lembaran Undang-Undang Negara Nomor 32 Tahun Republik 2004 tentang Indonesia dan Pemerintahan Daerah tambahan ( Lembaran Negara lembaran Republik Indonesia Negara Tahun 2004 Nomor Republik 125; Tambahan Indonesia harus Lembaran Negara di tulis lengkap Republik Indonesia beserta Nomor 4437) nomornya.tidak sebagaimana telah boleh di
151
Tahun 2005 nomor 108, Tambahan lembaran Negara Nomor 4548)
Diktum M E M UT U S K A N
Diktum Menetapkan
diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah ( lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 4493) yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548) Diktum MEMUTUSKAN
Diktum menetapkan
PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG TENTANG LARANGAN PELACURAN DALAM KABUPATEN REJANG LEBONG Pasal 4 ayat (2)
PERATURAN DAERAH TENTANG LARANGAN PELACURAN
....sesuai dengan Ketentuan Peraturan yang berlaku Pasal 5 ayat (2)
....sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Pasal 5 ayat (2)
Pemerintah Daerah Mempunyai Kewenangan untuk mengadakan razia....
Pemerintah Daerah berwenang mengadakan razia....
Pasal 6 ayat (1)
Pasal 6 ayat (1)
Setiap anggota masyarakat mempunyai kewajiban untuk....
Setiap anggota masyarakat berkewajiban untuk.....
Pasal 4 ayat (2)
potong-potong atau di dipenggal.
harus huruf kapital dan tidak boleh di beri spaci antar huruf Tidak memasukkan nama Kabupaten
152
Pasal 10 ayat (1)
Pasal 10 ayat (1)
Selain oleh pejabat Penyidik Umum Penyidikan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud Peraturan Daerah ini dapat juga dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dilingkungan Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong yang pengangkatannnya ditetapkan sesuai dengan Peraturan Perundangundangan yang berlaku
Selain oleh Pejabat Penyidik Umum Penyidikan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud Peraturan Daerah ini dapat dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil ( PPNS) dilingkungan Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong. Pasal 11
Pasal 11 Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut oleh Bupati
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaanya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
Pasal 12
Pasal 12
Agar setiap orang mengetahuinya.....
3
PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG KERJA SAMA DESA
dapat
Agar setiap orang mengetahuinya....
Konsideran huruf a
Konsideran huruf a
.....maka Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong Nomor 41 Tahun 2002 tentang Kerja sama antara desa perlu dicabut
Rumusan tersebut tidak perlu di muat
Konsideran huruf b
Konsideran huruf b
bahwa untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diatas, maka perlu ditetapkan kembali dengan Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a perlu membentuk Peraturan Daerah tentang kerjasama Desa.
Menghilang kan kata Dapat, untuk mempertegas dan menghilang kan kerancuan makna. Sudah di muat dalam BAB XI ketentuan Peralihan Pasal 14
153
Dasar Hukum
Dasar hukum
Belum memasukkan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945
Memasukkan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 Dasar Hukum angka 1- 9
Dasar Hukum angka 1- 9 (Lembaran Negara Tahun....nomor.....Tambahan Lembaran Negara Tahun.....Nomor.....)
(Lembaran Negara Republik Indonesia.... Tahun......Nomor.... Tambahan Lembaran Negara Tahun.....Nomor.....)
Diktum menetapkan
Diktum menetapkan
PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG TENTANG KERJA SAMA DESA
PERATURAN DAERAH TENTANG KERJA SAMA DESA
Pasal 1 angka 10
Pasal 1 angka 10 dan angka 11 sebaiknya di hapuskan/tidak di muat dalam perda
Alokasi dana Desa adalah dana yang dialokasikan oleh Pemerintah Kabupaten untuk desa, yang bersumber dari bagian dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima kabupaten. Pasal 1 Angka 11:Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa selanjutnya disingkat APB Desa adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan desa yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa, yang di tetapkan dengan Peraturan Desa Pasal 2 ayat (3) ....dalam ayat (2) .....dapat dibentuk Kerja sama Desa
Badan
Penutup : Agar setiap orang mengetahuinya....
dapat
Pasal 2 ayat (3) ......Pada ayat (2) .....dapat membentuk Badan Kerja sama Desa Penutup setiap orang mengetahuinya.....
Tidak perlu memasukkan nama daerah
Ketentua umum tersebut tidak termuat dalam materi pokok yang diatur dalam pasal pasal selanjutnya.
154
4 .
PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATA N DESA
Konsideran Huruf a
Konsideran huruf a
...maka peraturan daerah Kabupaten Rejang lebong Nomor 36 Tahun 2002 tentang Badan Perwakilan Desa, perlu di cabut
rumusan tersebut tidak perlu dimuat dalam konsideran , akan tetapi dimasukkan pada bab ketentuan Peralihan Konsideran huruf b
Konsideran huruf b bahwa untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a di atas, maka perlu ditetapkan kembali dengan Peraturan daerah Kabupaten Rejang Lebong
Dasar hukum belum memasukkan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945
Konsideran tersebut baru bahwa berdasarkan memasukkan pertimbangan unsur yuridis sebagaimana seharus dimaksud pada huruf memasukkan a perlu membentuk unsur filosofis Peraturaan Daerah dan unsur tentang Badan sosilogis Permusyawaratan Desa Memasukkan Pasal 18 ayat(6) sebagai dasar hukum bagian pertama
Pasal tersebut merupakan landasan konstitusional pembentukan PERDA Dasar hukum 1-9 Dasar hukum Penulisan Lembaran ....(Lembaran Negara Tahun ....(Lembaran Negara Negara .....Nomor..... Tambahan Republik Indonesia Republik Lembaran Negara Tahun....Nomor.....,T Indonesia tidak Tahun......Nomor....) am-bahan lembarana boleh dihilang Negara Republik harus lengkap Indonesia Tahun..... Nomor.....) Diktum Diktum Tidak perlu menyebutkan PERATURAN DAERAH PERATURAN nama propinsi, KABUPATEN REJANG DAERAH kabupaten/ LEBONG TENTANG TENTANG BADAN kota, serta BADAN PERMUSYAWARA penulisannya PERMUSYAWARATAN TAN DESA. huruf kapital DESA dan diakhiri dengan tanda titik Pasal 1 angka 9 Pasal 1 angka 9 Tidak termasuk dalam pasalAlokasi dana desa adalah Dihilangkan saja dari pasal dana yang dialokasikan oleh Pasal 1 selanjutnya dan pemerintah Kabupaten untuk tidak desa, yang bersumber dari mencerminkan bagian dan perimbangan substansi materi keuangan pusat dan daerah muatan dalam
155
yang diterima oleh kabupaten. Pasal 1 angka 11
batang tubuh. Pasal 1 ayat 11
Peraturan Desa adalah Peraturan Perundangundangan yang dibuat oleh Badan Permusyawaratan Desa bersama Kepala Desa
Peraturan Kepala desa adalah keputusan yang dibuat oleh Badan Permusyawaratan Desa bersama Kepala Desa.
Pasal 3
Pasal 3
BPD berfungsi menetapkan Peraturan Desa bersama kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat
BPD berfungsi menetapkan Peraturan kepala Desa bersama kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat
Pasal 4
Pasal 4
BPD mempunyai tugas dan wewenang
BPD bertugas dan berwenang
Pasal 5
Pasal 5
BPD mempunyai hak
BPD berhak
Pasal 6
Pasal 6
Anggota BPD mempunyai hak
Anggota BPD berhak
Pasal 7
Pasal 7
Anggota BPD mempunyai Kewajiban
Anggota berkewajiban
BPD
Pasal 8 ayat (1)
Pasal 8 ayat (1)
BPD Mempunyai Kewajiban menyampaikan....
BPD berkewajiban menyampaikan....
Di dalam UU NO 10 tahun 2004 Peraturan desa Masuk dalam bagian dari Peraturan daerah, namun UU tersebut sudah di cabut dengan UU nomor 12 Tahun 2011, Peraturan Desa Tidak termasuk dalam hirarki Peraturan perundang Undangan.
Gunakan kalimat aktif dan kata/frasa yang baku dan konsisten
156
Pasal 9 ayat (3) huruf a Pendidikan kurangnya....
sekurang-
Pasal 13 ayat (3) Dalam hal tertentu rapat BPD dinyatakan sah....
Pasal 19 ayat (3) Anggota BPD yang diberhentikan harus mendapatkan persetujuan 2/3 jumlah anggota BPD
Pasal 24 ayat (1) Tindakan Penyidikan terhadap anggota dan pimpinan, dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Bupati.
Pasal 25 ayat (1)
Pasal 9 huruf a
ayat (3)
Ukuran Pendidikan yang ada : Pendidikan serendah- rendah, rendahnya menengah dan tinggi Pasal 13 ayat (3) Bila tidak di uraikan atau Rumusan kata/frasa dijelaskan maka Dalam hal tertentu makna hal seharusnya di tertentu tersebut jelaskan menimbulkan atau diuraikan kriterianya multi tafsir. Pasal 19 ayat (3) Tafsir di berhentikan Anggota BPD yang bmakna sudah diusulkan untuk terjadi diberhentikan harus rpemberhen tian mendapatkan ,sedangkan persetujuan 2/3 maksud pasal jumlah anggota BPD 19 tersebut masih dalam proses. Pasal 24 ayat (1) Tidak ada pendelegasian Dihilangkan/di hapus wewenang dari saja. UU kepada Bupati mengenai persetujuan tertulis dari bupati terlebih dahulu dalam penyidikan anggota dan Pimpianan BPD
Ketentuan lebih lanjut mengenai BPD ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Rumusan pasal tersebut karena mengenai BPD masih bersifat umum, tetap diatur didalam perda Kabupaten Rejang Lebong.
Ketentuan Peralihan
KetentuanPeralihan
Tidak dimasukkannnya penghapusan Perda Nomor 36 tahun 2002 tentang Badan Perwakilan Desa.
Seharusnya Memasukkan dalam ketentuan peralihan mengenai pencabutan Perda Nomor 36
Rumusan mengenai Pencabutan Peraturan Daerah tidak dimasukkan dalam
157
Tahun Tahun 2002 tentang Badan Perwakilan Desa.
5
PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG NOMOR 29 TAHUN 2006 TENTANG KEPALA DESA SEBAGAI PEMANGKU KAWASAN HUTAN
Pasal 29
Pasal 29
Pada saat berlakunya Peraturan Daerah ini maka semua ketentuan yang bertentangan dengan Peraturan Daerah ini dinyatakan tidak berlaku
Pada saat berlakunya Peraturan Daerah ini, maka semua ketentuan dalam Peraturan Daerah yang bertentangan dengan Peraturan Daerah ini dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 29 ayat (2)
Pasal 29 ayat (2)
Hal-hal belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Bupati sepanjang mengenai pelaksanaanya.
Hal-hal yang berkaita dengan teknis pelaksanaan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati
Konsideran huruf b
konsideran huruf b tersebut dihilangkan saja
Hutan adalah sebagai salah satu penentu sistem penyanggah kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, oleh karean itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal
konsideran. menimbang pada Peraturan daerah, melainkan dalam ketentuan peralihan.
Tidak tepat menggunakan kata/frasa Keputusan Bupati karena substansinya masih bersifat pengaturan,mak a gunakan kata/Frasa Peraturan Bupati Konsideran huruf b sudah termasuk dalam rumusan konsideran huruf a. Sebaiknya rumusan konsideran cukup 3 (tiga) alinia saja yang mengandung unsur sosiologis, filosofis dan yuridis serta setiap pokok pikiran dirumuskan
158
dalam rangkaian kalimat satu kesatuan pemikiran Konsideran huruf d
Konsideran huruf d
bahwa untuk melaksanakan sebagaimana pada huruf a,b dan c di atas, perlu ditetapkan dengan Peraturan Daerah;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dengan huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Kepala Desa sebagai Pemangku Kawasan hutan;
Dasar Hukum
Dasar Hukum
Belum memuat Pasal 18 ayat (6) sebagai Dasar Hukum
Memasukkan Pasal 18 Ayat (6) UUD 1945 sebagai dasar Hukum
Dasar hukum angka 1-13
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun...... Nomor.............., Tambahan Lembaran Tahun............Nomor. ..)
(Lembaran Negara Tahun.......Nomor.......).
Diktum menetapkan
Diktum menetapkan
PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG TENTANG KEPALA DESA SEBAGAI PEMANGKU KAWASAN HUTAN
PERATURAN DAERAH TENTANG KEPALA DESA SEBAGAI PEMANGKU KAWASAN HUTAN
Gunakan kalimat aktif di tetapkan menjadi menetapkan, dan juga substansi/materi Peraturan Daerah tetap di tulis
Pasal tersebut adalah dasar hukum secara konstitusional yang mendelegasi kan kewenangan kepada daerah otonomi untuk menetapkan peraturan daerah
Tidak perlu memasukan nama kabupaten
159
Pasal 1 angka 13
Untuk penulisan Badan Perwakilan desa Badan Perwakilan telanjutnya (BPD) adalah badan yang Desa untuk dalam pasaldibentuk untuk mengawasi selanjutnya disingkat pasal jalannnya pemerintahan BPD adalah Badan selanjutnya ditingkat desa. yang dibentuk untuk cukup ditulis mengawasi jalannnya kata/frasa BPD pemerintahan di tingkat desa. Pasal 6 Pasal 6 Tidak perlu di tulis ayat (2). (2)Kewajiban kepala desa.. Kepala Desa Konsisten berkewajiban.... menggunakan rumusan subjek – predikatpredikatobjekketerangan (SPOK) Pasal 7 ayat ayat (2) dan ayat (3) Pasal 7 ayat (2) dan Substansi Perda ayat (3) adalah tertulis mengenai tugas mengenai. Badan Perwakilan Desa. dan harus dihilangkan kepala Desa tugas Camat yang berkaitan atau di hapuskan saja. bukan tugas dengan Pengamanan hutan. BPD dan tugas camat. Pasal 8 dan Pasal 10 Pasal 8 dan pasal 10 Untuk konsistensi kata Kepala Desa dan camat Kepala desa mempunyai mempunyai wewenang.... Berwenang... wewenang di tulis berwenang, kata mempunyai hak di tulis berhak. Pasal 15 Pasal 15 Tidak ada pendelegasian Kepala Desa dan Camat Dihapus. dari UU sebagai penanggung jawab (KUHAP) pengamanan hutan kepada Perda diwilayahnya, dikut sertakan yang mengatur pula sebagai penyidik dalam Kepala Desa kasus-kasus kehutanan sebagai ditingkat desa dan penyidik atau kecamatan. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Pasal 16 Pasal 16 Penyididk ditingkat desa dan kecamatan (kepala desa dan camat) memberitahu dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil
Pasal 1 angka 13
Dihapus
160
penyidikannya kepada penuntut umum, untuk diproses sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pasal 17
Pasal 17
Barang siapa yang dengan sengaja merusak hutan, maka akan diberikan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Harus lebih jelas dan konkrit.
Pasal 18
Pasal 18
Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam peraturan. daerah ini, mewajibkan kepada pelanggar untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat pencemaran dan atau kerusakan hutan. Pasal 19 Bagi pemegang izin dibidang kehutanan diberi sanksi administrasi apabila melanggar ketentuan yang telah di tetapkan. Pasal 20 Dengan ditetapkannnya Peraturan daerah ini, maka segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang masih ada masih tetap berlaku sepanjang belum diatur dalam peraturan ini
harus konkrit
jelas
Harus jelas definisi merusak, kriterai merusak hutan agar tafsinta jelas tidak kabur
Perbuatan melanggar dan hukum harus jelas rumusannnya dan harus di muat di dalam Perda tersebut.
Pasal 19
Bentuk sanksi administrasi itu Rumusan bentuk banyak: bisa bentuk sanksi harus pencabutan izin, jelas dan rinci penutupan termasuk kriteria usaha , denda sanksi juga harus jelas diatur. Pasal 20 Peraturan perundangDengan undangan yang ditetapkannnya lebih tinggi dari Peraturan Daerah ini, perda itu maka segala banyak , tidak Peraturan Paerah dapat yang ada masih tetap dibatalkan oleh berlaku sepanjang perda. tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini
Pasal 21
Pasal 21
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan daerah ini, sepanjang mengenai teknis pelaksanaanya di atur lebih
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan daerah ini, sepanjang mengenai
161
lanjut dengan Bupati
Keputusan
Ketentuan penutup Pasal 22 Disahkan di Curup
6
PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG NOMOR 17 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGRAAN LALU LINTAS JALAN DI WILAYAH KABUPATEN REJANG LEBONG
teknis pelaksanaanya di atur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati Bupati Ketentuan penutup Pasal 22 Ditetapkan di Curup
Judul
Judul
PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG TENTANG PENYELENGGRAAN LALU LINTAS JALAN DI WILAYAH KABUPATEN REJANG LEBONG
PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARA AN LALU LINTAS JALAN DI
Konsideran
Konsideran
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan b di atas perlu ditetapkan dengan Peraturan Daerah
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang penyelenggaraan lalu Lintas jalan memasukan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 sebagai dasar hukum;
Tidak memasukan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 sebagai dasar hukum;
Dasar hukum (Lembaran Negara angka 1sampai angka13 : Lembaran Negara tahun....Nomor.....
Dasar hukum (Lembaran Negara angka 1sampai angka13 : Lembaran Negara Republik Indonesia
Untuk konsistensi: peraturan daerah gunakan fkata/frasa “ditetapkan”. Nama kabupaten tidak perlu di sebutkan
Sesuai Ketentuan angka 39 lampiran II Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan.
162
Tambahan Lembaran Negara Nomor......)
Diktum menetapkan PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG TENTANG PENYELELNGGARAAN LALU LINTAS JALAN DI WILAYAH KABUPATEN REJANG LEBONG Pasal 3 ayat (3), pasal 4 ayat (3), pasal 5 ayat (2) : ...sebagaimana ayat.....
Tahun....Nomor..... Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor......) Diktum menetapkan PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARA AN LALU LINTAS JALAN Pasal 3 ayat (3), Pasal 4 ayat (3), pasal 5 ayat (2) :
dimaksud
Pasal 3, pasal 4, Pasal 5, pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 11 dan Pasal 13 : ......diatur lebih lanjut dengan keputusan bupati Pasal 25 ayat (1)
.....sebagaimana dimaksud pada ayat....
Pengacuan Pasal gunakan kata/frasa “Dalam” di depan Pasal dan pengacuan ayat gunakan kata kata “Pada” di depan ayat
Pasal 3, pasal 4, Pasal 5, pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 11 dan Pasal 13 : ......diatur dengan Peraturan bupati Pasal 25 ayat (1)
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) huruf a,b,c dan d diancam diancam dengan hukuman kurungan dan/atau denda sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku. Pasal 26
Rumusan pasal mengenai pelanggaran dalam Pasal 21 bukan Pasal 20
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan keputusan Bupati.
Hal- hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis Pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
Pasal 26
rumusan Pasal ini masih kabur apakah bentuk hukuman pelanggaran bersifat kumulatif atau alternatif,
163
Pasal 27
Pasal 27
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan Penempatannya dalam Lembaran daerah Kabupaten Rejang Lebong
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan Pengundangan Peraturan Daerah ini dengan Penempatannya dalam Lembaran daerah Kabupaten Rejang Lebong
Bab V
Bab V
Ketentuan Penutup Disahkan di Curup
PENUTUP Ditetapkan di Curup
Untuk konsistensi : Kata di sahkan untuk Undang Undang sedangkan kata Di tetapkan untuk PERPU.PP, PERPRES dan PERDA
164
B. SEBAB-SEBAB KABUPATEN
TETAP REJANG
DITERAPKANNYA LEBONG
YANG
PERATURAN
BERTENTANGAN
DENGAN TEHNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN
Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong yang
bertentangan bertent angan
atau bermasalah dari aspek tehnik Penyusunan Peraturan Perundangundangan masih
tetap diterapkan atau diberlakukan. Adalah menjadi
penting untuk mengetahui mengapa Peraturan Daerah yang bertentangan, bermasalah tersebut masih diterapkan dan belum diupayakan untuk diadakan perubahan atau revisi oleh pemerintah Kabupaten Rejang lebong. Pertentangan atau permasalahan permasalahan yang ditemukan yakni pertentangan dari aspek judul, judul, pertentangan atau bermasalah bermasalah dari aspek pembukaan pembukaan yang yang meliputi frase Dengan Rahmat Tuhan Tuhan Yang maha Esa, Esa, jabatan pembentuk peraturan
perundang-undangan,
konsideran,
dasar
hukum,
diktum,
pertentangan dari batang tubuh meliputi permasalahan atau permasalahan pada ketentuan umum, materi pokok pokok yang yang diatur,
ketentuan pidana,
ketentuan peralihan dan ketentuan penutup dan permasalahan pada bagian penutup. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menyebutkan bahwa materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan
165
Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota, Kabupaten/Kota, berisi materi muatan muatan dalam dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain dari itu, Peraturan Daerah juga dilarang bertentangan dengan dengan kepentingan umum umum dan/atau Peraturan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
132
Berkaitan dengan hal tersebut,
maka semua Peraturan Daerah tak terkecuali Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi. Untuk menghindari pertentangan yang timbul di dalam teknik penyusunan penyusunan Peraturan Daerah, maka maka yang menjadi
dasar hukum hukum secara secara
yuridis formal di dalam hal teknik penyusunan Peraturan PerundangUndangan adalah Pasal 64 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Perundang-Undangan, yang tertulis t ertulis sebagai berikut: (1) Penyusunan Penyusunan
Rancangan Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan dilakukan
sesuai dengan tehnik Penyusunan Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan (2) Ketentuan
mengenai teknik penyusunan Peraturan Perundang-
undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari UndangUndang ini.
132
Isi Pasal 136 ayat 4 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Daerah .
166
(3)
Ketentuan
mengenai
perubahan
terhadap
teknik
penyusunan
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden. Berkaitan
dengan itu, maka di dalam
pembentukan Peraturan
Daerah Kabupaten Rejang Lebong, maka ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 menjadi dasar yang harus dipedomani mengatakan Bahwa lampiran II dari Undang-Undang tersebut
yang
jelas
merupakan
bagian yang tidak terpisahkan. Hal tersebut menjelaskan bahwa kedudukan Lampiran II dari Undang-Undang Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah adalah menjadi satu kesatuan dengan Undang-Undang ini dan mempunyai kedudukan yang sama dengan Undang-undangnya. Maka di dalam pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong, Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 haruslah menjadi menjadi acuan, pedoman pedoman dan landasan secara secara yuridis di di dalam teknik penyusunan Peraturan Daerah. Secara normatif teknik penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong tidak tidak boleh bertentangan bertentangan dengan ketentuan ketentuan dalam lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undanganan. Namun kenyataannya setelah dianalisis ditemui pertentangan/ permasalahan dari aspek teknik penyusuanan Peraturan Daerah sebagaimana yang ditentukan di dalam Peraturan PerundangUndangan .
167
Selanjutnya yang perlu diketahui adalah bagaimana akibat hukum dari penerapan Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong yang bermasalah dari aspek tehnik penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan mengapa masih tetap diterapkan. Peraturan Daerah Daerah Kabupaten Kabupaten Rejang Lebong yang yang sudah ditetapkan dengan ditandatangani oleh Bupati Kabupaten Rejang Lebong secara Hukum Administrasi Negara adalah sah menjadi menjadi
salah satu Peraturan Peraturan
Perundang-Undangan, karena telah ditandatangani oleh Bupati. Bupati berdasarkan Peraturan Perundang-undangan memiliki kewenangan atribusi yang melekat pada jabatan tersebut yang salah satunya adalah menetapkan Peraturan Daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD
133
, Peraturan Daerah kabupaten Rejang lebong
itu secara formal formal menjadi Sah dalam dalam hal ini bila telah ditandatangani ditandatangani oleh Bupati Rejang Lebong sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dalam Pasal 80 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Perundang-Undangan sebagaimana tertulis; ”Ketentuan mengenai penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dan Pasal 79 berlaku secara mutatis dan mutandis terhadap penetapan Peraturan Daerah kabupaten/Kota.”
Pada Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2)
tertulis : “(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaiamana dimaksud dalam Pasal 78 ditetapkan oleh Gubernur dengan membubuhkan 133
Isi pasal 136 ayat (1) Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
168
tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah provinsi tersebut disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur” (2) Dalam Hal Rancangan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaiamana sebagaiamana dimaksud pada ayat (1) tidak di tanda tangani oleh Gubrnur dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetujui bersama, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut sah menjadi Peraturan Daerah provinsi dan wajib diundangkan. “ Pasal tersebut diatas berarti mengandung makna bahwa Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang ditetapkan oleh Gubernur dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Rancangan Peraturan Peraturan Daerah Provinsi Provinsi tersebut disetujui disetujui oleh DPRD Provinsi dan Gubernur. Berlaku juga ketentuan ketentuan
tersebut
terhadap Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang telah di tanda tangani oleh Bupati/walikota, dan juga Rancangan Rancangan Peraturan Daerah Daerah Provinsi tersebut setelah lebih dari 30 (tiga (tiga puluh) hari hari belum juga di tanda tangani tangani oleh gubernur, sejak Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetujui bersama, rancangan rancangan Peraturan daerah tersebut tersebut sah menjadi Peraturan daerah 134
Provinsi.
ketentuan aturan tersebut secara mutatis dan mutandis berlaku
juga juga dengan dengan Peraturan Daerah Daerah Kabupaten/Kota. Kabupaten/Kota. Peraturan Daerah baik itu Peraturan Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota yang telah ditetapkan oleb Gubernur, Bupati/Walikota secara yuridis sah menjadi Peraturan Perundang-Undangan, Kemudian harus diundangkan di dalam Lembaran Daerah sebagaimana ketentuan yang mengaturnya, yaitu 134
Isi Pasal 79 ayat (2) Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
169
dalam Pasal 1 butir 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Perundang-Undangan, yang yang menyatakan menyatakan
bahwa
pengundangan pengundangan adalah penempatan penempatan Peraturan Perundang-undanga Perundang-undangan n dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah. Fungsi Pengundangan adalah agar setiap orang mengetahuinya,
135
artinya suatu Peraturan Perundang-undangan mempunyai kekuatan Hukum Mengikat, maksudnya meskipun meskipun suatu Peraturan Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan itu secara materil belum diketahui oleh masyarakat, tetap masyarakat dianggap mengetahuinya. Dengan demikian diundangkannya Peraturan Perundangundangan
dalam
lembaran
resmi,
setiap
orang
dianggap
telah
mengetahuinya dan Peraturan Perundang-undangan tersebut telah memiliki kekuatan hukum mengikat secara umum.
Ketika suatu Peraturan
Perundang-Undangan tersebut telah diundangkan, tidak ada alasan bagi seseorang yang terkait dengan suatu Peraturan Perundang-undangan untuk mengelak atau menolak suatu Peraturan Perundang-Undangan dengan alasan tidak mengetahuinya, meskipun dalam hal berhubungan kebenaran materil hal tersebut tersebut masih dapat diperdebatkan.
135
Ibid Pasal 81
170
Terhadap
Peraturan
Daerah
Kabupeten
Rejang
Lebong
yang
bermasalah dari aspek teknik penyusunan penyusunan Peraturan Peraturan Perundang-undangan, Perundang-undangan, dari aspek keberlakuannnya tidak ada pengaruh karena Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong tersebut sah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang yaitu Bupati
Rejang Lebong Lebong dan telah di undangkan dalam
Lembaran Daerah Kabupaten Kabupaten Rejang Lebong, Lebong, artinya
Peraturan Daerah Daerah
tersebut tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Meskipun secara teknik terdapat permasalahan-permasalahan dari aspek tehnik perumusan terhadap undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Secara substansi bisa saja ketentuan Dalam peraturan Daerah tersebut bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih t inggi. Di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Perundang-Undangan, menyatakan
bahwa
apabila
tidak ada Pasal atau Ayat yang suatu
Peraturan
Perundang-Undangan
bertentangan dalam teknik penyusunan Peraturan perundang-undangan dinyatakan batal, tidak sah, atau dinyatakan tidak berlaku. Kemudian di dalam Undang-Undang tersebut tidak memuat ketentuan sanksi terhadap Peraturan Perundangan yang bertentangan
dengan teknik penyusunan
penyusunan peraturan perundang undangan. Namun demikian Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong yang bertentangan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan tetap menjadi permasalahan karena secara Subtansi Peraturan
171
daerah tersebut sudah Bertentangan dengan kaidah-kaidah atau ketentuan ketentuan yang seharusnya dipedomani
dalam pembentukan pembentukan Peraturan
Daerah Kabupaten Rejang Lebong sebagaimana diatur di dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan. Sanksinya adalah apabila substansinya bertentangan dengan Peraturan
perundang-undangan
yang
lebih
tinggi
,
maka
dapat
dikesampingkan dikesampingkan dan diuji materil pada Mahkamah Agung sebagaimana sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang
tersebut Pasal 9 ayat (2) yang
berbunyi :;”Dalam suatu Peraturan Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan di bawah Undangundang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Secara toritis bahwa suatu peraturan Perundang-undangan apabila substansinya bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang lebih
tinggi,
maka
peraturan
yang
lebih
rendah
tersebut
dapat
dikesampingkan. Dapat di kalahkan karena Peraturan Perundang undangan yang lebih rendah merupakan penjabaran atau tindak lanjut dari peraturan perundang-undangan perundang-undangan yang lebih tinggi dan tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undang Perundang-undangan an yang lebih tinggi. Kekuatan hukum suatu Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan
sesuai dengan hierarki dari Peraturan
Perundang-undangan itu sendiri sebagaimana ketentuan yang mengatur hal tersebut di dalam Pasal Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Perundang-Undangan.
172
Dalam hal Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong yang bermasalah secara materil, materi muatan yang meliputi asas atau norma normanya dalam
Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong tersebut
apabila bertentangan
dengan Peraturan perundang-undangan perundang-undangan yang yang lebih lebih
tinggi maka dapat dikalahkan/dikesampingkan. dikalahkan/dikesampingkan. Karena kekuatan hukumnya dibawah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
136
Namun
demikian secara formil apabila bertentangan dengan Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi, maka keberlakuanPeraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong tersebut tetap Sah karena ditetapkan oleh Lembaga berwenang dalam hal ini ditetapkan Bupati dan telah diundangkan dalam Lembaran Daerah Kabupaten Rejang Lebong. Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong yang bermasalah dalam aspek teknik Penyusunan, tidak dapat dibiarkan saja, karena hal ini bertentangan dari tujuan yang diinginkan oleh Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. ini didasarkan pada pemikiran bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. hukum. Sebagai Sebagai negara hukum,
segala aspek
kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional.
137
Oleh karena itu Peraturan Daerah Kabupaten
Rejang Lebong tidak boleh bertentangan baik dari aspek substansi materi maupun dalam aspek tehnik penyusunannya. 136
Ibid isi Pasal 7 ayat (2) Ibid , isi Penjelasan umum
137
173
Selain dari dari itu apabila Peraturan Daerah Daerah Kabupaten Kabupaten Rejang Lebong bermasalah dari aspek teknik Penyusunan Peraturan perundang – undangan, undangan, maka tujuan yang diinginkan baik dari asas, materi muatan dari Peraturan Daerah tersebut tidak terarah tidak memenuhi sasaran, bahkan tidak mampu memenuhi apa yang diinginkan dari pembentuk Peraturan Daerah tersebut. Oleh karena itu di dalam pembentukan Peraturan Daerah haruslah sesuai dengan ketentuan dan norma-norma yang telah diatur di dalam undang undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. perundang-undangan. Hal lainnya yang perlu untuk diperhatikan adalah terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong yang bertentangan /bermasalah, masih tetap diterapkan dan diperlakukan dan sampai saat ini belum diperbaiki atau direvisi. Masih diterapkannya Peraturan Daerah yang bermasalah dari aspek teknik penyusunan penyusunan Peraturan Daerah dapat disebabkan disebabkan oleh : 1.
Lemahnya sumber daya manusia di daerah yang bertugas dan berkaitan langsung dalam dalam menangani penyusunan penyusunan Peraturan Daerah.; Daerah.;
2.
Lemahnya pembinaan dan sosialisasi dari pusat ke daerah mengenai Peraturan Perundang-Undangan; Perundang-Undangan;
3.
Kurangnya keterlibatan masyarakat dalam penyusunan Peraturan 138
Daerah.
138
DWI ANDAYANI BS. Permasalahan Hukum dalam perancangan Peraturan Daerah. Di sampaikan pada Diklat” Penyusunan Peraturan PerundangPerundang -Undangan “ di Badan Pengembangan Sumber Sumber Daya Manusia Manusia Kementerian Kementerian Hukum dan Hak Asasi Asasi manusia .pada tanggal 10 bulan Desember Tahun 2010.
174
Berkaitan dengan dengan hal tersebut diatas, Sebenarnya Sebenarnya Lemahnya Sumber Sumber Daya Manusia di daerah sebagai menyebab tetap diterapkannya Peraturan Daerah yang bertentang atau bermasalah pada angka 1 (satu)Tidak tepat karena banyak SDM yang mampu, akan tetapi belum dimanfaatkan secara Optimal, kurangya koordinasi dan kerja sama dengan Para Akademis dan peneliti dan pemerhati pemerhati masalah Hukum. Hukum. Begitu juga penyebab Kurangnya Kurangnya Keterlibatan masyarakat dalam Penyusunan Peraturan Daerah pada angka 3 (tiga) diatas sebagai salah satu penyebab tetap diterapkannya Peraturan Daerah yang yang bermasalah, adalah
kurang tepat, karena karena masyarakat masyarakat itu
banyak dan masyarakat yang mana, yang lebih tepat adalah para pemerhati masalah hukum dan kalangan para ahli dan peneliti yang berkaitan dengan Perundang-undangan. Untuk Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong yang bertentangan bertent angan atau bermasalah
namun masih diterapkan, berdasarkan penelitian
penyebabnya selain sama dengan apa yang diuraikan di atas, akan tetapi juga disebabkan oleh : 1. ketidak tahuan bahwa Peraturan Daerah tersebut bermasalah, 2. menganggap bahwa Peraturan Daerah yang bermasalah tersebut tidak membatalkan Keberlakuannya Keberlakuannya 3. kurangnya dilibatkannya Para Peneliti, para ahli hukum dari kalangan akademisi Universitas Bengkulu dan Para perancang
peraturan
175
perundang-undangan/legar drafater dari kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bengkulu. 4. Keterbatasan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang dialokasikan untuk pembentukan Peraturan Daerah. Kurangnya Anggaran di daerah ini menjadi Faktor utama penyebab lahirnya Peraturan daerah yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Leading sector Bidang Hukum yang menangani dalam Pembentukan Rancangan Peraturan daerah, telah berupaya memasukkan usulan anggaran yang representatif dalam pembentukan daerah yang digunakan untuk untuk penelitian Hukum di dalam pembuatan Naskah akademik Raperda yang melibatkan para ahli dan kalangan akademisi dan perancang Peraturan Perundang Undangan, namun usulan tersebut tidak diakomodasikan diakomodasikan dalam Perda Anggaran Daerah. akibatnya akibatnya Rancangan Peraturan Daerah Daerah tersebut tidak melalui kajian akademisi dan tidak melibatkan Pakar, ahli hukum dan legal drafter, sehingga
Peraturan Daerah tersebut secara formal banyak
Bertentangan dengan
teknik Penyusunan Penyusunan Peraturan perundang-
undangan dan secara subtansi bertentangan dengan Peraturan Perundangundangan
yang
lebih
tinggi.
BAB V PENUTUP
1.
Kesimpulan.
Berdasarkan rumusan permasalahan dalam penelitian dan hasil penelitian serta pembahasan pembahasan dapat di tarik kesimpulan sebagai sebagai berikut: 1. Bahwa konstruksi Peraturan Daerah Kabupaten Rejang Lebong yang bertentangan dengan teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan terjadi pada sistem Penyusunan dan perumusan kata/frasa, kalimat pada bagian
judul,
pembukaan,
jabatan
pembentuk
peraturan
daerah,
konsideran, dasar hukum, diktum, batang tubuh, ketentuan umum, materi yang diatur, rumusan ketentuan pidana, ketentuan peralihan,
dan
ketentuan penutup, serta pertentangan pada penutup, bahkan secara substansi Peraturan Daerah tersebut dalam
Pasal-Pasal
tertentu
bermasalah dari materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. 2. Bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Rejang lebong yang bertentangan dengan
teknik
Penyusunan
Peraturan
Perundang-undangan
tetap
diterapkan karena secara legal formal Peraturan Daerah tetap sah karena dibentuk, ditetapkan oleh lembaga yang berwenang dan telah diundangkan dalam Lembaran Daerah, namun secara substansi ketentuan – ketentuan ketentuan bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi
176
177
batal demi hukum.
Masih diterapkannya diterapkannya
Peraturan Daerah yang
bermasalah tersebut disebabkan beberapa faktor antara lain Sumber Daya Manusia (SDM) aparatur yang menjadi ujung tombak / leading sector pembentuk Peraturan Daerah yang menguasai teknik perancangan Peraturan Daerah/legal drafter masih masih rendah, rendah, perhatian Para pemerhati dan peneliti
tingkat kesadaran dan
masalah Perundang-undangan Perundang-undangan
dalam Pembentukan Peraturan Daerah masih rendah serta kurangnya Anggaran yang dialokasikan dalam pembentukan Peraturan Daerah .
2. SARAN Berdasarkan rumusan permasalahan dalam penelitian dan hasil penelitian serta pembahasan pembahasan dapat d tarik suatu saran sebagai sebagai berikut: 1. Perlunya
pengkajian/analisis pengkajian/analisis lebih lanjut terhadap Peraturan Daerah
Kabupaten Rejang Lebong, baik dari aspek yuridis, sosiologis, filosofis, dan teknik penyusunan serta substansi materi muatan peraturan daerah, agar setelah menjadi Peraturan Daerah, menjadi Peraturan Daerah yang efektif, tidak menimbulkan pertentangan dan permasalahan baik dari aspek Teknik Penyusunan, Penyusunan, formil dan materil materil serta memenuhi memenuhi kebutuhan kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat. Karena tujuan dari dibentuknya Peraturan Daerah tidak hanya untuk kepastian hukum/ rech matigheid saja akan tetapi juga agar masyarakat tahu dan harus dilaksanakan dengan tujuan dooel matigheid bagi masyarakat . untuk kemanfaatan/ dooel
178
2. Dalam
Perancangan
Peraturan
Daerah
Kbupaten
Rejang
lebong
melibatkan peran serta masyarakat luas terutama para pemerhati masalah hukum, Peneliti hukum, para ahli hukum dari Akademisi dan para perancang
Peraturan
perundang
Undangan/ legal
drafter ,
karena
masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan Perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam ketentuan ketentuan Pasal 96, Pasal Pasal 98 dan Pasal Pasal 99 Undang-Undang Nomor 12 Tahun Tahun 2011 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Perundang-Undangan
agar Peraturan Daerah yang telah diundangkan tersebut nantinya tidak bermasalah.
DAFTAR PUSTAKA a. Buku-Buku
---------------, Panduan Praktis Memahami Perancangan Praturan Daerah , Cappler Project, Jakarta, 2008. AA.Oka Mahendra , Permasalahan dan Kebijakan Penegakan Hukum , (artikel) Jurnal Legislati, vol 1 no 4 Jakarta 2004; AA.Oka Mahendra, Reformasi pembangunan hukum dalam perspektif peraturan Perundang Undangan , Dep Hukum dan HAM, Jakarta. 2006. Ade Saptomo, Pokok-Pokok Metodologi Penelitian Empiris Murni Sebuah Alternatif , Universitas Trisakti, Jakarta, 2009; Metodologi Penelitian Hukum cet 5, raja Grafindo Persada, Bambang Sunggono, Metodologi Jakarta, 2005.
Dydiet Hardjito, Pemecahan Masalah Yang Analitik Otonomi Daerah Dalam Kerangka NKRI , Predana, Jakarta 2003. Harun Alrasid, Naskah UUD 1945, Sesuadah Empat Kali Diubah Oleh MPR. Universitas Indonesia (UI Pres) Jakarta, 2007. L.C Van der Vlies, Handboek Wetgeving(Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang Undangan), Undangan), Alih Bahasa Linus Doludjawa, Dirjen PP Jakarta, 2005. Jimly Asshiddigie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia , Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007. Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD Dan Kepala Daerah, Alumni Bandung, ed. kedua cet. pertama Bandung, 2008. MA.Loth, Recht Taal Een Kleine Metthodologie(Bahasa dan hukum sebuah metodologi kecil, alih bahasa Linus Doludjawa), Dirjen PP Jakarta, 2007. Machmud Aziz, Jenis Dan Hirarki Peraturan Perundang Undangan Menirut UUD RI Dan UU Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan (artikel) , Jurnal Legislati, vol 1 no 4 Dirjen PP Jakarta, 2004.
179
180
Machmud Aziz, Landasan Formil Dan Materil Konstitusional Peraturan Perundang Undangan (Artikel) Jurnal Legislasi Indonesia, Dirjen PP. Jakarta, 2009. Marbun, Deno Kamelus, Dimensi Dimensi Pemikiran Hukum Adminitrasi Negara; UII Pres Yogyakarta, 2001. Undangan Jenis,Fungsi Dan Materi Muatan , Maria farida, Ilmu Perundang – Undangan Kanisius cet. ke 5 Yogyakarta, 2007.
Otje Salman dan Susanto, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan Dan Membuka Kembali , Refika Aditama, Bandung, 2007. -----------Peningkatan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan Perundang-Undangan, (artikel Jurnal Vol 4 no 2) Dirjen PP Jakarta, 2006. , Penelitian Hukum , ed,1 cet 3 ,Kencana Prenada Media Peter Mahmud Marzuki , group, Jakarta, 2007.
Sadu Wasistono dan ondo Riyani , Etika Hubunganm Legislatif eksekutif , Fokus Ed Revisi Bandung, 2003. Sobandi,sedarmayati Sobandi,sedarmayati DKK, Desentralisasi Desentralisasi Dan Tuntutan Tuntutan Penataan Kelembagaan Kelembagaan Daerah, Humaniora, Bandung, 2005. Suharyono Ar, Bahasa Peraturan Perundang Undangan (artikel), Jurnal Legislati, vol 1 no 4 Dirjen PP ,Jakarta, 2004. Sunaryo Hartono. Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke -20 . Alumni Bandung,1991. Bandung,1991. Syprianus Aristeus, Hukum Nasional Pasca Amandemen UUD 1945. Wahidudin Adam, Fasilitasi perancangan Peraturan Daerah dalam rangka Pelaksanaan Kebijakan dan Standarisasi Teknis di Bidang Peraturan perundang undangan (artikel), Jurnal Legislati, vol 1 no 4, Dirjen PP, Jakarta, 2004.
181
Jurnal, Majalah dan makalah-Makalah :
Aisyah Lailiyah, Peran Naskah Akademik Dalam Penyususnan Rancangan Peraturan Perundang Undangan. Makalah yang disampaikan dalam pelatihan jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan tahun 2010 Kemenkumham Depok, Jakarta, 2010. Cahayani Suryandari, Tata Cara Dan Prosese Penyusuanan Peraturan Daerah , makalah disampaikan dalam Diklat Fungsional Perancang Peraturan Perundang Undangan BPSDM, Jakarta, 2010. Konstitusional Pemerintahan Daerah Daerah Dan Pembentukan Pembentukan HM. Aziz, Dasar Dasar Konstitusional Peraturan Daerah, Makalah disampaikan dalam diklat perancang peraturan perundang-undangan perundang-undangan di BPSDM, Jakarta, 2010.
HM. Aziz, Metamorfosa Konstitusi Indonesia Dan Dampaknya Terhadap Pembentukan Dan Pengujian Peraturan Perundang – Undangan Undangan , sebuah makalah yang disampaikan dalam pelatihan jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan Perundang-undangan Kemenkumham Depok, pada bulan Juni 2010. Machmud Azaz, Metamorfosis Konstitusi Indonesia Dan Dampaknya Terhadap Pembentukan Dan Pengujuan Peraturan Perundang-Undangan , makalah disampaikan dalam Diklat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan Perundang-Undangan di BPSDM, Jakarta, 2010. Made.karmini, Fungsi Pengundangan dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan, makalah disampaikan dalam Diklat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan Perundang-Undangan di BPSDM, Jakarta, 2010. Maria Farida, Peraturan Perundang-Undangan Dalam Sistem Hukum Di Indonesia, makalah disampaikan dalam Diklat Fungsional Perancang Peraturan Perundang Undangan di BPSDM, Jakarta, 2010. Purwanto, Penalaran hukum . makalah disampaikan dalam Diklat Fungsional Perancang Peraturan Perundang Undangan BPSDM, Jakarta, 2010. Sadikin. Naskah Akademik Dan Kualitas Pembentukan Peraturan Perundang Undangan, makalah disampaikan dalam Diklat Fungsional Perancang Peraturan Perundang Perundang Undangan Undangan di BPSDM, Jakarta, Jakarta, 2010. Sony Maulana.S, Norma Hukum dasar Negara, makalah yang disampaikan dalam Diklat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham Depok, Jakarta, 2010.
182
Suharyono, Bahasa Peraturan Perundang Undangan, makalah disampaikan dalam Diklat Fungsional Perancang Peraturan Perundang Undangan di BPSDM, Jakarta, 2010. Suharyono. AR, (Hand-Book/Modul) Pembentukan (Perancangan) Peraturan Perundang Undangan ,makalah disampaikan dalam Diklat Fungsional Perancang Peraturan Peraturan Perundang-Undangan Perundang-Undangan di BPSDM, Jakarta, 2010. Wahiduddin Adam, Sinergi Pengaturan Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dalam Pembentukan Peraturan Daerah , makalah disampaikan dalam Diklat Fungsional Perancang Peraturan Perundang Undangan Undangan di BPSDM, Jakarta, 2010. Zafrullah Salim, Pengundangan Dan Penempatan Peraturan Perundang Undangan Dalam Lembaran Negara Dan Berita Negara , sebuah makalah disampaikan dalam Diklat Fungsional Perancang Peraturan Perundang Undangan Undangan di BPSDM, Jakarta, bulan Juni 2010. 2010.