KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENGHINAAN/PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI INTERNET DI INDONESIA SEBAGAI CYBERCRIME (Kajian Terhadap Perumusan dan Penerapan Pasal 27 Ayat (3) UndangUndang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dari Perspektif Kebebasan Berekspresi) Fajar Amrullah Magister Telekomunikasi, Universitas Mercu Buana E-mail:
[email protected] Dosen : DR Ir Iwan Krisnadi MBA
A. Abstrak B. Pendahuluan Melalui kebijakan hukum pidana guna memberikan jaminan dan perlindungan bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi informasi dari kejahatan siber. Legislatif dan pemerintah merancang dan mensahkan UndangUndang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Keberadaan UndangUndang ini semakin mempertegas keberadaan Indonesia sebagai salah satu negara yang serius dalam melakukan perlawanan terhadap kejahatan siber. Namun Undang-Undang yang relatif lama pembahasannya ini, malah menjadi aturan yang membelenggu pelaksanaan kebebasan berekspresi terutama di dunia maya. Hal ini terjadi karena keberadaan Pasal 27 ayat (3) terkait dengan dijadikannya perbuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik di dunia maya sebagai tindak pidana siber, yang sebenarnya perbuatan penghinaan sudah diatur secara tegas, jelas dan konkrit di dalam KUHPidana dan KUHPerdata. Menghapus Pasal 27 ayat (3) dalam UU ITE adalah pilihan yang perlu dilakukan oleh Pemerintah sebagai bentuk jaminan terhadap pelaksanaan kebebasan berekspresi, dan menerapkan pengembalian keseimbangan kondisi atas tindak pidana penghinaan berupa pemulihan nama baik serta menerapkan ganti kerugian perlu diasosiasikan dalam RUU KUHP terkait dengan pemidanaan terhadap perbuatan penghinaan. Kata kunci: Kebijakan hukum pidana, tindak pidana penghinaan, kebebasan berekspresi, cybercrime
Fenomena kemajuan teknologi informasi dan globalisasi yang berlangsung hampir di semua sektor kehidupan. Perkembangan teknologi dan globalisasi tidak saja terjadi di negara maju, tetapi juga di negara berkembang. Saat ini teknologi informasi memegang peranan yang penting dalam perdagangan dan ekonomi antar negara-negara di dunia, termasuk memperlancar arus informasi. Teknologi informasi diyakini membawa keuntungan yang besar bagi negaranegara di dunia. Setidaknya ada dua keuntungan yang dibawa dengan keberadaan teknologi informasi. Pertama, teknologi informasi mendorong permintaan atas produk-produk teknologi informasi itu sendiri. Kedua, memudahkan transaksi bisnis keuangan di samping bisnis-bisnis lainnya. Kedua keuntungan tersebut di atas menegaskan telah terjadi perubahan pola transaksi dan pola bersosialisasi masyarakat, dari cara yang konvensional ke cara elektonik yang lebih efektif dan efisien. Selain itu, kemajuan teknologi juga mempermudah dan mempercepat komunikasi secara elektronik di dalam satu negara, bahkan juga antar negara. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia dapat diketahui hanya dalam hitungan menit melalui jaringan internet. Transfer uang antar bank dengan mengunakan ecash dari dalam negeri ke luar negeri dapat dilakukan lebih cepat. Perdagangan melalui internet atau yang dikenal dengan electronic commerce (E-Commerce) semakin meningkat. Pembayaran untuk pemesanan barang atau program komputer dapat dilakukan dengan
menggunakan credit card. Artinya kemajuan teknologi menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial berlangsung secara cepat. Perubahan sosial akibat kemajuan teknologi tidak saja membawa dampak positif, tetapi juga nampak negatif berupa lahirnya bentuk-bentuk kejahatan baru menggunakan sarana teknologi informasi. Banyaknya jenis tindak pidana baru yang muncul akibat kemajuan teknologi menimbulkan kerugian yang sangat besar, baik secara materil maupun immateril. Kejahatan baru ini sangat berdampak pada dunia usaha. Banyak yang menganggap bahwa keberadaan KUHP tidak mampu menjangkau kejahatan baru tersebut, sehingga pemerintah menginisiasi lahirnya aturan tentang cybercrime. Kehadiran undang-undang terkait dengan pengaturan cybercrime ini tentu saja sangat dibutuhkan dalam penegakan hukum pidana, terutama kejahatan kejahatan yang memang lahir dari kehadiran teknologi tersebut. Pentingnya keberadaan undang-undang ini didukung dengan kenyataan bahwa kejahatan di dunia maya menempatkan Indonesia sebagai negara peringkat pertama dengan tindak pidana dunia maya terbanyak, mengalahkan Ukraina yang sebelumnya menduduki posisi pertama. Namun dalam tataran praktek, penegakan hukum pidana dengan UU ITE ini ternyata menimbulkan masalah hukum bagi orang-orang yang menggunakan sarana teknologi informasi untuk menyampaikan kritik terhadap pemerintah berupa jeratan hukum pidana maupun jeratan sanksi lainnya. Hal tersebut di atas terjadi karena UU ITE tidak saja mengatur masalah cybercrime sebagaimana yang diatur dalam convention on cybercrime, tetapi juga mengatur perbuatan pidana tradisional berupa penghinaan yang menggunakan media teknologi informasi. Ketentuan tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Dalam praktik pelaksanaan UU ITE, muncul berbagai kasus dengan tuduhan penghinaan/pencemaran nama baik sebagai bentuk pengekangan terhadap kebebasan berekspresi. Berbagai kasus tersebut berujung pada pelaporan ke polisi, tindakan penahanan dan pemenjaraan. Konsekuensi lain yang muncul juga terjadi berupa pengajuan gugatan
pada pengadilan dan permintaan maaf serta ancaman pengeluaran dari institusi tempat bekerja atau sekolah.Setidaknya tercatat ada 71 kasus pengguna internet yang dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sejak undang-undang tersebut diberlakukan, dan tahun 2014 adalah jumlah kasus tertinggi, yaitu 40 kasus. C. Arti dan Karakteristik Cybercrime Secara terminologi, cybercrime didefenisikan sebagai kejahatan komputer. Mengenai defenisi dari kejahatan komputer sendiri, hingga saat ini belum ada pendapat yang sama dari para sarjana. Bahkan dalam bahasa Inggris, penggunaan istilah kejahatan komputerpun masih belum saragam. Beberapa istilah yang sering dipakai dalam tindak pidana komputer adalah computer misuse, computer abuse, computer fraud, computer-related crime, computer-assisted crime, atau computer crime. Barda Nawawi Arief menyebutkan pengertian cybercrime dengan istilah tindak pidana mayantara yang identik dengan tindak pidana di ruang siber. Secara umum, dapat kita simpulkan bahwa cybercrime merupakan keseluruhan bentuk kejahatan yang ditujukan terhadap komputer, jaringan komputer dan para penggunanya serta bentuk-bentuk kejahatan tradisional berupa tindak pidana pornografi anak yang menggunakan atau dengan bantuan peralatan komputer. Berdasarkan literatur, cybercrime memiliki beberapa karakteristik, yaitu: 1. Perbuatan yang dilakukan secara illegal, tanpa hak atau tidak etis terjadi diruang/wilayah siber, sehingga tidak dapat dipastikan yurisdiksi negara mana yang berlaku terhadapnya; 2. Perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan peralatan apapun yang berhubungan dengan internet; 3. Perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian materiil maupun immateriil yang cenderung lebih besar dibandingkan dengan kejahatan konvensional; 4. Pelakunya adalah orang yang menguasai penggunaan internet dan aplikasinya; 5. Perbuatan tersebut sering dilakukan secara transnasional.
Karakteristik yang disebutkan oleh Abdul Wahid dan M. Labib di atas sejatinya hanya memberikan pembeda antara kejahatan tradisonal dengan cybercrime dalam ruang yang berbeda dan yurisdiksi. Sejatinya cybercrime muncul akibat kemajuan teknologi informasi dan digital, yang memudahkan orang-orang untuk melakukan komunikasi, mendapatkan informasi serta memudahkan bisnis. Disini lain, kemudahan yang diberikan oleh teknologi, menjadikan teknologi sebagai target untuk memperoleh dan menyebarkan gangguan. Dengan demikian, karakteristik dari cybercrime adalah penggunaan /pemanfaatan teknologi informasi/digital untuk melakukan kejahatan dan kejahatan yang didukung oleh teknologi informasi /digital. D. Pengaturan Cybercrime di Indonesia Setelah lahirnya UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagai cyberlaw93 Indonesia mengkasifikasikan cybercrime dalam 7 (tujuh) kategori, yaitu: 1. Illegal content, meliputi; a. Konten yang melanggar kesusilaan (Pasal 27 ayat (1)) 92 Sabartua Tambolon, 2003, Aspek Hukum Nama Domain di Internet, Jakarta, PT. Tata Nusa, hlm. 92-93 Dalam penjelasan umum UU ITE disebut juga dengan dengan law of information technology, virtual world law atau hukum mayantara yaitu hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi b. Konten yang memiliki muatan perjudian (Pasal 27 ayat (2)) c. Konten yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencamaran nama baik (Pasal 27 ayat (3)) d. Menyebarkan berita bohong yang merugikan konsumen Pasal 28 ayat (1)) e. Menyebarkan informasi yang dapat menimbulkan ras kebencian dan permusuhan (Pasal 28 ayat (2)) f. Konten yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi (Pasal 29) 2. Illegal access, meliputi; a. mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun (pasal 30 ayat (1))
b. mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik (Pasal 30 ayat 2)) c. mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan (Pasal 30 ayat (3) 3. Illegal interception, meliputi; a. melakukan penyadapan komputer/sistem elektronik milik orang lain (Pasal 31 ayat (1)) b. melakukan penyadapan informasi elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain (Pasal 31 ayat (2)) 4. Data interference, meliputi; a. mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik (Pasal 32 ayat (1) b. memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak (Pasal 32 ayat (2)) c. membuka informasi elektronik yang bersifat rahasia dan menjadi dapat diakses oleh publik (Pasal 32 ayta (3)
5. System interference, meliputi; a. melakukan tindakan apapun yang berakibat terganggunya sistem elektronik atau tidak bekerjanya sistem elektronik sebagaimana mestikanya (Pasal 33) 6. Misuse of device, meliputi; a. menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki; perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33 (Pasal 34 ayat (1)) b. menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki; sandi lewat
Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar Sistem Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33 (Pasal 34 ayat (1)) 7. Computer related forgery, meliputi; a. melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik (Pasal 35) Secara spesifik, terdapat perbedaan pengaturan tentang cybercrime antara UU ITE dengan hasil Convention on Cybercrime. Namun kelahiran UU ITE sebagai cyberlaw di Indonesia, perlu diapresiasi karena globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia, dengan adanya UU ITE ehingga pembangunan Teknologi Informasi dapat dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa. E. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Penghinaan di Indonesia Terkait dengan perbuatan penghinaan, setidaknya hingga saat ini ada 4 (empat) Undang-undang yang mengatur, yaitu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana BAB XII, Pasal 1372 – Pasal 1370 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 36 Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran dan Pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Berikut penulis uraikan tindak pidana penghinaan yang diatur dalam Undang-Undang di Indonesia. 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU No. 1 Tahun 1946) KUHP setidaknya mengklasifikasikan penghinaan dalam 6 (enam)kategori, yaitu: a. Penistaan (Pasal 310 ayat (1) KUHP b. Penistaan dengan surat (Pasal 310 ayat (2) KUHP c. Fitnah (Pasal 311 KUHP) d. Penghinaan Ringan (Pasal 315 KUHP) e. Pengaduan Palsu atau Pengaduan Fitnah (Pasal 317 KUHP)
f.
Perbuatan Fitnah (Pasal 318 KUHP)
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUHPerdata tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan penghinaan itu sendiri, namun dapat ditarik pemaknaan, bahwa penghinaan yang dimaksud dalam KUHPerdata adalah kejahatan penghinaan yang dalam KUHPidana diancam dengan pidana, didalamnya termasuk berbagai bentuk penghinaan, menista dengan tulisan, fitnah, penghinaan ringan dan pengaduan yang bersifat memfitnah. Pada Pasal 1372 KUHPerdata disebutkan bahwa “tuntutan perdata tentang hal penghinaan diajukan untuk memperoleh penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik. Dalam menilai satu sama lain, hakim harus memperhatikan kasar atau tidaknya penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan keadaan.” Tuntutan terhadap penghinaan tidak mensyaratkan bahwa terhadap perkara yang sama, sudah dibuktikan terlebih dahulu pidana penghinaannya, karena menurut Rosa Agustina unsur-unsur penghinaan dalam Pasal 1372 KUHPerdata bisa dilengkapi dengan unsur yang terdapat dalam Pasal 1365, yaitu unsur perbuatan melawan hukum. Namun yang menarik dari tuntutan perdata terhadap penghinaan ini memiliki masa daluwarsa, yaitu 1 (satu) tahun, terhitung mulai dari hari perbuatan termaksud dilakukan oleh tergugat dan diketahui oleh penggugat, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1380 KUHPerdata.
3. Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran Undang-Undang Penyiaran yang sejatinya lahir sebagai bentuk perlindungan yang diberikan oleh pemerintah untuk melaksanakan kemerdekaan menyatakan pendapat, menyampaikan, dan memperoleh informasi, yang telah dijamin oleh UUD 1945 dalam ruang penggunaan frekuensi radio. Undang-Undang ini ternyata juga mengatur tindak pidana penghinaan di
dunia penyiaran. Dalam Pasal 36 ayat (5) dinyatakan bahwa isi siaran dilarang: a. Bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong; b. Menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau c. Mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan. Bagi lembaga penyiaran yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5), maka sesuai dengan ketentuan Pasal 57 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pdana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000.000 (Sepuluh milyar) untuk penyiaran televisi. Dalam penjelasan pasal-demi pasal, tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan siaran yang bersifat fitnah, menghasut dan/atau bohong. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa tidak ada istilah gradasi perbuatan fitnah /penghinaan /pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Penyiaran.
4. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Undang-Undang ITE sebagai pengaturan hukum siber di Indonesia, juga mengklasifikasikan tindak pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagai cybercrime, apabila dilakukan di ruang maya. Terkait dengan tindak pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik ini diatur dalam Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE, yang jika ditulis dalam satu naskah berbunyi; “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” Yang hendak dipidana dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE di atas adalah orang yang sengaja dan tanpa hak membuat dapat
diaksesnya informasi elektronik yang isinya bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Ketentuan ini juga tidak menjelaskan kategori dari penghinaan dan/atau pencemaran nama baik yang dimaksud. Terkait dengan tindak pidana penghinaan, ternyata tidak hanya diatur oleh satu Undang-Undang saja, tetapi diatur oleh 4 (empat) Undang-Undang. Mengutip pendapat Mudzakkir dalam kegiatan “Politik Kodifikasi Rancangan KUHP” pada 28 September 2006 yang diselenggarakan oleh ELSAM menyatakan : “Telah adanya ketentuan yang mengatur mengenai pencemaran nama baik di KUHP dan KUH Perdata, seharusnya menjadi pertimbangan untuk tidak memunculkan delik yang sama dalam Undang-Undang ITE. Pengaturan ulang tersebut dapat menimbulkan duplikasi yang dapat menyulitkan penegakan hukum. Pengulangan pengaturan perbuatan yang dilarang ini bertentangan dengan asas kepastian hukum dan kejelasan rumusan atau asas legalitas.”Penyataan Mudzakkir sebagai pakar pidana di atas sebenarnya memberikan gambaran, bahwa tidaklah perlu adanya pengaturan berlapis terhadap satu kejahatan. Karena jelas bertentangan dengan kepastian hukum dan asas kejelasan rumusan dalam menyusun peraturan perundangundangan. F. Tinjauan Tentang Kebebasan Berekspresi dan Pembatasan Hak Asasi Manusia Dalam Kebijakan Hukum Pidana Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia adalah manusia. Manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum postif, selainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia.106 meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbedabeda, ia tetap mempunyai hak-hak tersebut. Di sinilah letak sifat universal dari hak-hak tersebut. Selain universal, hakhak tersebut juga tidak dapat dicabut (inalienable).107 John Locke dalam bukunya “The Second Treatise of Civil Government and A Letter Concerning Tolerantion” mengajukan sebuah postulasi pemikiran bahwa semua
individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut atau dipreteli oleh negara. Keberadaan Hak Asasi Manusia yang bersumber dari teori hak kodrati ini pada awal-awalnya juga mendapatkan penentangan baik oleh kalangan utilitarian maupun oleh kalangan positivis. Bentham misalnya, ia menyebutkan bahwa hak-hak kodrati adalah omong kosong yang dungu, hak yang kodrati dan tidak bisa dicabut adalah omong kosong yang retorik, atau puncak dari omong kosong yang berbahaya. Di akhir masa perang dunia II, gerakan hakhak kodrati mendapatkan sambutan yang luar biasa. Masyarakat Internasional bersepakat menjadikan hak asasi manusia sebagai suatu tolok ukur pencapaian bersama bagi semua rakyat dan semua bangsa. Hal ini ditandai dengan lahirnya rezim hukum hak asasi manusia yang disiapkan oleh PBB yang kemudian dikenal dengan The International Bill of Human Right. Vasak, seorang ahli hukum dari Perancis mengklasifikasikan perkembangan hak asasi manusia dalam kategori “generasi” untuk menujuk pada substansi dan ruang lingkup hak-hak asasi yang diprioritaskan dalam kurun waktu tertentu. Ia membuat kategori generasi berdasarkan slogan revolusi Perancis yang terkenal itu, yaitu “kebebasan, persamaan dan persaudaraan”. HAM generasi pertama dikenal dengan kebebasan, ini digunakan merujuk pada hak-hak sipil politik, yakni hak-hak asasi manusia klasik. Generasi kedua HAM dikenal dengan persamaan, ini merujuk kepada perlindungan bagi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, dan Generasi ketiga dikenal dengan persaudaraan, ini merujuk atas hak solidaritas/bersama, yang mewaliki hak atas pembangunan, hak atas perdamaian, hak atas sumberdaya alam sendiri, hak atas lingkungan hidup yang baik dan hak atas warisan budaya sendiri. Dalam konsep HAM, dikenal ada konsep kewajiban negara atas HAM. Secara kontekstual ada 3 (tiga) karakteristik penting terkait dengan hal tersebut, yaitu kewajiban untuk menghormati (to respect), kewajiban
untuk melindungi (to protect) dan kewajiban untuk memenuhi (to fulfil). kewajiban negara untuk menghormati, biasanya diasosiasikan dengan kewajiban dalam bentuk negatif, yaitu negara diharapkan untuk tidak melakukan suatu tindakan-tindakan tertentu, karena tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan berdasarkan pembatasan hukum dan klausula reservasi. Kewajiban melindungi, dimanifestasikan dalam bentuk tindakantindakan aktif yang diperlukan untuk melindungi dan menjamin tiap individu pemegang hak dapat menikmati haknya. Kewajiban ini mencakup perlindungan terhadap kemungkinan pelanggaran hak oleh pihak lain, baik aparatur negara maupun melalui pembentukan ketentuan hukum dan perundang-undangan, serta beragam tindakan lainnya. Sedangkan kewajiban memenuhi, menuntut pemerintah untuk mengambil langkah-langkah positif melalui kebijakan, tindakan administratif, maupun bekerjanya institusi yudisial untuk memastikan tiap individu pemegang hak dapat semaksimal mungkin menikmati hak asasinya. Mengutip pendapat Sudarto yang menyebutkan bahwa kebijakan kriminal dalam arti luas, adalah merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Pada Bagian inilah konsepsi Hak Asasi Manusia haruslah menjadi salah satu pilar dalam perumusan kebijakan kriminal. Artinya perumusan kebijakan kriminal perlu memperhatikan pemberlakuan hak asasi manusia, dengan segala ketentuan dan prinsip-prinsip HAM yang universal.
1. Kebebasan Berekspresi dalam Hak Asasi Manusia Kebebasan berekspresi merupakan salah satu hak asasi manusia yang diatur dalam generasi pertama hak asasi manusia. Sebelum disahkannya Universal Declaration on Human Right, Majelis Umum PBB melalui Resolusi No. 59 (I) terlebih dahulu telah menyatakan bahwa “hak atas informasi merupakan hak asasi manusia fundamental dan ... standar dari semua kebebasan yang dinyatakan ‘suci’ oleh PBB”. Kebebasan berekspresi
merupakan salah satu syarat penting yang memungkinkan berlangsungnya demokrasi dan partipasi publik dalam pembuatan keputusan‐keputusan. Warga negara tidak dapat melaksanakan haknya secara efektif dalam pemungutan suara atau berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan publik apabila mereka tidak memiliki kebebasan untuk mendapatkan informasi dan mengeluarkan pendapatnya serta tidak mampu untuk menyatakan pandangannya secara bebas. Kebebasan berekspresi tidak hanya penting bagi martabat individu, tetapi juga untuk berpartisipasi, pertanggungjawaban, dan demokrasi. Terkait dengan pengertian kebebasan berekspresi itu sendiri, John Locke, menyatakan bahwa kebebasan bereskpresi adalah cara untuk pencarian kebenaran. Kebebasan berekspresi ditempatkan sebagai kebebasan untuk mencari, menyebarluaskan dan menerima informasi serta kemudian membahas apakah mendukung atau mengkritiknyasebagai sebuah proses untuk menghapus miskonsepsi atas fakta dan nilai. Sementara John Stuart Mill mengatakan, kebebasan berekspresi dibutuhkan untuk melindungi warga dari penguasa yang korup dan tiran. Sebab suatu pemerintahan yang demokratis mensyaratkan warganya dapat menilai kinerja pemerintahannya. Dalam memenuhi kebutuhan kontrol dan penilaian itulah warga musti memiliki semua informasi yang diperlukan tentang pemerintahnya. Tidak sebatas itu, syarat berikutnya warga dapat menyebarluaskan informasi tersebut, dan kemudian mendiskusikannya antara satu dengan yang lainnya. kebebasan bereskpresi kemudian menjadi sebuah klaim untuk melawan penguasa yang melarangnya atau pun menghambat pelaksanaanya (kebebasan berekspresi). Lalu, kebebasan bereskpresi memiliki dimensi politik, bahwa kebebasan ini dianggap sebagai elemen esensial bagi keikutsertaan warga dalam kehidupan politik dan juga mendorong gagasan kritis dan perdebatan tentang kehidupan politik bahkan sampai soal kewenangan
militer. Kaitan kebebasan bereskpresi dengan demokrasi kemudian diakui dalam hukum internasional hak asasi manusia yang menyatakan bahwa kebebasan berekspresi merupakan pra‐ syarat bagi perwujudan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang pada akhirnya sangat esensial bagi pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Kebebasan berekspresi juga menjadi pintu bagi dinikmatinya kebebasan berkumpul, berserikat dan pelaksanaan hak untuk memilih. Kebebasan berekspresi mencakup hak atas informasi, opini dan ide dalam segala bentuknya yang disebarkan melalui media apapun, dan merupakan pondasi utama. Lengkapnya diatur dalam Pasal 19 DUHAM. “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; hak ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada suatu pendapat tanpa ada intervensi, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keteranganketerangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah. “ Ketentuan tersebut kemudian dipertegas kembali oleh International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR). Pada Pasal 19 ayat (2) ICPPR menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.” Cakupan perlindungan hak atas kebebasan berekspresi sebagaimana ditegaskan dalam Kovenan, Komentar Umum No. 34 menyebutkan: “Pasal 19 Ayat (1) mensyaratkan perlindungan terhadap hak berpendapat tanpa ikut campur negara. Ini adalah hak yang tidak boleh dikurangi untuk alasan apapun, Termasuk hak untuk merubah
pendapat kapan pun dan karena apapun yang dipilih oleh seseorang. Tidak boleh ada orang yang hak-haknya dikurangi menurut Kovenan ini karena pendapat aktual atau dugaan tentang pendapatnya. Semua pendapat dilindungi, termasuk pendapat yang bersifat politik, ilmiah, historis, moral atau agama. Tidak sesuai dengan Ayat (1) untuk memidanakan pendapat. Semua bentuk gangguan, intimidasi, stigmatisasi seseorang, termasuk penangkapan, penahanan, persidangan dan pemenjaraan karena pendapat mereka termasuk pelanggaran Pasal 19 Ayat (1).” “… mensyaratkan negara pihak untuk menjamin kebebasan berekpresi, termasuk hak untuk mencari, menerima dan berbagi informasi dan gagasan tentang semua hal tanpa terkecuali. Yang termasuk dalam hak ini di antaranya hak untuk mengekspresikan dan menerima segala bentuk komunikasi gagasan atau pendapat yang dapat dibagikan ke orang lain, tetapi harus sesuai dengan ketentuan pasal 19, Ayat (3), dan Pasal 20. Termasuk diskursus politik, pendapat tentang seseorang, dan urusan kemasyarakatan, termasuk diskusi tentang HAM, jurnalistik, seni dan budaya, pengajaran, dan ajaran agama. Juga dapat termasuk iklan komersial. Cakupan Ayat (2) juga mencakup gagasan yang dianggap sangat tidak sopan, meskipun ekspresi tersebut dapat dibatasi sesuai dengan “…melindungi semua bentuk ekpresi dan cara menyebarluasannya. Termasuk berbicara, tulisan dan isyarat, dan komunikasi non verbal. Seperti gambar atau lukisan dan benda-benda seni lainnya. Cara berekpresi termasuk buku, surat kabar, pamflet, poster, spanduk, pakaian dan masukan hukum. Termasuk juga bentuk ekpresi audiovisual, atau berbasis elektronik atau internet.” Merujuk pada batasan instrumentasi di atas, kebebasan berekspresi setidaknya mencakup tiga jenis ekpresi yaitu: a. Kebebasan untuk mencari informasi; b.
kebebasan untuk menerima informasi; dan c. kebebasan untuk memberi informasi termasuk di dalamnya menyatakan pendapat. Kebebasan berekspresi juga melindungi semua informasi atau ide apapun termasuk dalam hal ini fakta, komentar kritis, atau pun ide/gagasan. Jadi termasuk gagasan yang bersifat sangat subjektif dan opini pribadi, berita atau pun informasi yang relatif netral, iklan komersial, seni, komentar yang lebih bersifat politis/kritis serta pornografi, dan lainlain. Kebebasan berekspresi juga melindungi semua bentuk komunikasi baik lisan, tertulis, cetak, media seni serta media apa pun yang menjadi pilihan seseorang. Perlindungan tersebut ditujukan pada semua bentuk media: radio, televisi, film, musik, grafis, fotografi, media seni, dan lain-lain, termasuk kebebasan untuk melintas batas negara.
2. Pembatasan Kebebasan Berekspresi Kebebasan berekspresi dipahami sebagai sebuah kebebasan yang dinamis. Kebebasan itu dapat menjadi meluas, dan dalam situasi yang khusus ia dapat juga mengerucut sedemikian kecilnya. Makanya kebebasan berekspresi bukanlah kebebasan yang tak terbatas.126 Harus ada langkah-langkah yang perlu diambil untuk memastikan agar kebebasan berekspresi tidak merugikan hak dan kebebasan orang lain. Persoalannya adalah di mana batas itu, siapa yang menetapkan dan apa konsekuensi yang harus ditanggung bila pembatasan itu tidak dilaksanakan, juga tentunya landasan apa yang paling sah untuk menetapkan pembatasan. John Stuard Mill dalam On Liberty telah memberikan kata kunci yaitu penghasutan (instigation) sebagai pembatas dari pelaksanaan atas kebebasan berekspresi. Diakuinya ada bahaya dalam kebebasan berkatakata. Kurang lebih Mill mengatakan “setiap pendapat menjadi kehilangan kekebalan atau impunitasnya ketika materinya disajikan dengan tujuan sebagai anjuran positif untuk melakukan kejahatan.” Berdasarkan pendapat Mill di atas, maka
pembatasan kebebasan berekspresi dapat dilakukan, apabila kebebasan itu dimaksudkan untuk merangsang dilakukannya tindakan kejahatan yang membahayakan jiwa. Pasal 19 ICCPR sendiri mengakui bahwa kebebasan berekspresi mengakibatkan kewajiban dan tanggung jawab khusus, sehingga dikenakan pembatasan dengan diberikan syarat musti ditetapkan berdasarkan hukum, serta sesuai dengan kebutuhan untuk menghormati hak atau nama baik orang lain dan melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan atau moral masyarakat. Hak imunitas kebebasan berekspresi akan luluh apabila materinya berisikan propaganda yang merangsang perang, serta segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras, atau agama, yang ditujukan sebagai hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan sehingga harus dilarang oleh hukum. Lalu bagaimana dengan undang-undang yang mengatur pencemaran nama baik? Pengaturan itu bisa sah, namun perlu dicatat bahwa banyak negara yang tidak sepakat dengan penjatuhan pidana pemenjaraan terhadap pencemaran nama baik. Negara bisa saja mengambil langkah-langkah yang terbaik sehingga nilai-nilai moral yang berlaku bisa tetap terjaga dengan baik, tanpa harus menjatuhkan pemidanaan terhadap orang yang melakukan pencemaran nama baik. Terkait dengan pembatasan pelaksanan kebebasan berekspresi, klausul mengenai pembatasan ini muncul dari tugas dan tanggung jawab khusus yang melekat pada pelaksanaan kebebasan tersebut. Dari pelbagai instrumen HAM internasional hanya ICCPR dan CRC yang berbicara tentang pembatasan ini. Terdapat tiga syarat yang ditetapkan dalam Pasal 18 dan 19 ICCPR yang harus terpenuhi sebelum pembatasan terhadap hak atas kebebasan berekspresi dilakukan, yakni: Pertama, harus diatur menurut hukum; Kedua, harus untuk suatu tujuan yang sah/memiliki legitimasi; Ketiga, harus dianggap perlu
untuk dilakukan (proporsional). Terkait dengan syarat yang kedua, pembatasan hanya dapat dilakukan untuk tujuan “melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan dasar orang lain” atau untuk “menghormati hak dan reputasi orang lain atau untuk melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum, atau kesehatan atau moral masyarakat. Pada praktiknya, pembatasan dengan tujuan untuk “melindungi ketertiban umum” merupakan alasan yang paling banyak digunakan oleh Pemerintah untuk membatasi pelaksanaan kebebasan berekspresi. Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa menjelaskan, bahwa pembatasan dengan tujuan untuk melindungi ketertiban umum harus didasarkan pada 2 (dua) hal, yaitu; pertama, tuduhan-tuduhan yang konkrit tentang bagaimana pelaksanaan kebebasan berekspresi si tertuduh mengancam ketertiban umum, dan kedua, bahwa pembatasan tersebut diperlukan untuk melindungi ketertiban umum Pelapor khusus PBB menyebutkan bahwa kebebasan berekspresi bisa saja termasuk pandangan dan pendapat yang menyerang, mengganggu. Apalagi Dewan HAM telah menyatakan dalam Resolusi 12/16, pembatasan seharusnya tidak pernah diterapkan di antara lain pada pembahsan kebijakan pemerintah dan debat politik; laporan tentang hak asasi manusia, kegiatan pemerintah dan korupsi di pemerintahan. Selain dalam hukum internasional sebagaimana dijelaskan di atas, pembatasan terhadap HAM dalam hukum Nasional dapat kita temukan dalam UUD 1945, Pasal 28 J menyatakan: (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang‐undang dengan maksud semata‐mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai‐nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis Ketentuan tentang pembatasan juga diatur dalam Pasal 70 UU No.39 Tahun 1999 Tentang HAM menyatakan: “Dalam menjalankan hak dan kewajibannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang‐undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis” Sementara itu, Pasal 73 UU 39 Tahun 1999 menyatakan: “Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang‐undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan Undang‐undang, semata‐mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.” G. Kesimpulan Keberadaan tindak pidana Penghinaan/pencemaran nama baik di internet yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE diawali atas keinginan Legislatif untuk memasukkan semua jenis perbuatan yang dilarang baik yang ada di dalam KUHP maupun dalam Undang-Undang Khusus yang perbuatannya dapat terjadi dengan menggunakan atau melalui sistem komputer sebagai cybercrime. Dalam pembahasan di Panitia Kerja RUU ITE perbuatan penghinaan, fitnah, penyiaran berita bohong berpotensi terjadi menggunakan internet, dan
aturan-aturan hukum tradisional tidak mampu untuk menjangkau kejahatan tersebut. Penghinaan di internet bukanlah merupakan norma hukum baru, melainkan hanya mempertegas norma hukum tindak pidana penghinaan yang diatur dalam BAB XVI KUHP ke dalam Undang-Undang baru dengan adanya unsur tambahan khusus yaitu perkembangan di bidang elektronik. Hak untuk berekspresi dan menyatakan pendapat termasuk dengan menggunakan sarana internet merupakan hak asasi manusia yang dijamin dan dilindungi sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 19 Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, serta UUD RI 1945. Namun dalam pelaksanaannya dapat dilakukan pembatasan, dengan syarat yang ketat. Pembatasan tersebut dapat dilakukan terkait dengan pornografi anak, penyebaran kebencian, hasutan publik untuk melakukan genosida, dan advokasi nasional, ras atau agama yang bisa memicu hasutan diskriminasi, kekerasan atau permusuhan (hate speech). Terkait dengan pengaturan tindak pidana penghinaan/pencemaran nama baik di internet (Pasal 27 ayat (3) UU ITE) dikaitkan dengan pembatasan kebebasan berekspresi tidak dapat ditemukan adanya alasan pembatasan yang sah, karena ketentuan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE memiliki rumusan yang tidak jelas dan multitafsir, pasal tersebut juga tidak jelas unsur mana yang menjadi bestanddeel delict-nya, dan tidak jelas reputasi siapa yang dilindungi, apakah individu, korporasi, pemerintah atau negara. Ketidakjelasan pembatasan yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE mempertegas bahwa ketentuan ini dapat dikategorikan sebagai bentuk pembatasan yang tidak sah atas kebebasan berek H. Daftar Pustaka
Abdul kadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti. Abdul Wahid dan M. Labib, 2005, Kejahatan Mayantara (Cybercrime), Bandung, Refika Aditama.
Adami Chazawi dan Ardi Ferdian, 2015, Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik: Penyerangan Terhadap Kepentingan Hukum PemanfaatanTeknologi Informasi dan Transaksi Elektronik, Malang, Media Nusa Creative. Ade Arie Sam Indradi, 2006, Carding-Modus Operandi, Penyidikan dan Penindakan, Jakarta, Grafika Indah. Agus Raharjo, 2002, Cybercrime: Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, Bandung, Citra Aditya Bakti. Alexander, Larry, 2005, Is There a Right to Freedom of Expression, New York, Cambridge University Press. Aloysius Wisnubroto, 1999, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Yogyakarta, Universitas Atmajaya. Anggara, et. al, 2016, Menimbang Ulang Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, Jakarta, ICJR. Amponsah, Peter N. 2004, Libel Law, Political Criticism, and Defamation of Public Figures: The United States, Europe, and Australia, New York, LFB Scholarly Publishing LLC. Arief Amrullah, 2015, Politik Hukum Pidana: Perlindungan Korban Kejahatan di Bidang Perbankan Dalam Perspektif Bank Sebagai Pelaku (Officer), Edisi Revisi, Yogyakarta, Genta Publishing 201. Article 19, 2009, Prinsip-Prinsip Camden tentang Kebebasan Berekspresi dan Kesetaraan, Jakata, Artikel 19 dan AJI. _________, 2004, Memorandum on Indonesian Criminal and Civil Defamation Provisions, London, Article 19. B. Arief Sidharta (Penerjemah). 2009. Meuwissen tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum. Bandung. PT Rafika Aditama. Bambang Sugono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001. Barda Nawawi Arief, 2013, Kapita Selekta Hukum Pidana, cetakan ke-3, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti. _________, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta, Kencana Prenada Media Group. _________, 2006, Tindak Pidana Mayantara: Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia, Jakarta, Rajagrafindo Persada. _________, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. _________, 2000, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana
Penjara, cetakan ke-3, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Budi Suhariyanto, 2013, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime) Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya, Depok, PT. Rajagrafindo Persada. Charles J. Glasser Jr. Esq (ed), 2013, International Libel and Privacy Handbook: A Global Reference for Journalist, Publishers, Webmasters, and Lawyers, Third Edition, New Jersey, Bloomberg Press. Didik M. Arif, Mansur dan Elisataris Ghultom, 2005, Cyber Law: Aspek Hukum Teknologi Informasi, Bandung, Refika Aditama Departemen Pendidikan Nasional, 2009, Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Bandung, Mizan Media Utama. Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Jakarta, Depkominfo.