TEORI SOSIOLOGI KLASIK
KATA PENGANTAR
Buku ajar Teori Sosiologi Klasik adalah sebagai bahan bacaan atau literatur mata kuliah Teori Sosiologi Klasik di Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung. Dengan adanya buku ini merupakan salah satu jalan dalam mempermudah mahasiswa untuk mendapatkan literatur Teori Sosiologi Klasik.
Sebagai sebuah mata kuliah wajib jurusan, maka telaah dalam buku ini dibuat secara simpel dan universal agar mahasiswa mampu menyerap secara baik semua tema yang dipaparkan dalam buku ajar ini. Dan materi yang menjadi kajian dalam buku ajar ini dibagi dalam delapan bab pokok bahasan
Bab pertama membahas tentang Teori Sosiologi. Salah satu kesulitan yang mungkin timbul bagi para peminat di bidang ilmu sosiologi adalah kurangnya pemahaman tentang pengertian apa yang disebut dengan teori. Bagaimana kedudukan teori sosiologi di dalam usahanya untuk memahami kenyataan-kenyataan sosial. Oleh karena itu pada bab pertama ini akan dijelaskan tentang teori dan teori sosiologi.
Bab kedua membahas tentang Filsafat Sosial sebagai Dasar Teori Sosial. Pokok bahasan yang akan diuraikan pada bab kedua ini adalah lahirnya filsuf-filsuf yang terkenal di era Yunani yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles. Ke tiga tokoh yang menjadi 'sufi' di zamannya ini, akan dibahas secara rinci mulai dari riwayat hidupnya, metode berfikirnya hingga filsafat sosial yang dilahirkannya yang akan menjadi dasar bagi lahirnya teori-teori sosial selanjutnya khususnya teori-teori sosiologi.
Bab ketiga membahas tentang Periode Transisi dan Pemikiran Filsafat Ke Pemikiran Ilmu Pengetahuan. Pokok bahasan pada bab ini menguraikan pemikiran sosial para tokoh masa transisi dari periode filsafat ke ilmu pengetahuan yang ditandai besarnya kekuasaan gereja dalam kehidupan kemasyarakatan dengan salah satu pelopornya adalah Thomas van Aquinas. Bab ini juga menguraikan pemikiran para tokoh sosial masa revolusi industri dan Renaissance dengan tokohnya F. Bacon, N. Machiavelli, Thomas Hobbes, John Lock dan Vico.
Bab keempat membahas Lahirnya Sosiologi Sebagai Ilmu Pengetahuan. Uraian utama pada bab keempat ini adalah menjelaskan sumbangan pemikiran sosial yang berguna bagi lahirnya sosiologi sebagai ilmu pengetahuan. Sumbangan pemikiran itu khususnya dari tokoh Saint Simon, Auguste Compte dan Herbert Spencer. Ke tiga tokoh ini akan diuraikan secara jelas mulai dari riwayat hidup hingga sumbangan pemikiran mereka yang begitu berarti dan berperan dalam melahirkan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan.
Pokok pembahasan yang akan diuraikan pada bab kelima ini adalah sumbangan pemikiran dari Karl Marx terhadap Ilmu Sosiologi. Adapun materi-materi yang akan dibahas adalah sejarah singkat riwayat hidup Karl Marx serta menjelaskan pemikiran Karl Marx tentang materialisme historis, model-model masyarakat,alinasi, kesadaran kelas dan perubahan sosial.
Bab keenam membahas tentang sumbangan pemikiran dari Emile Durkheim terhadap Ilmu Sosiologi. Durkheim dapat dipandang sebagai salah seorang yang meletakkan dasar-dasar sosiologi modern. Pada bab enam ini akan dijelaskan tentang fakta sosial, karakteristik dan metode pengamatan fakta sosial Durkheim. Menjelaskan juga tentang pengertian solidaritas sosial dan membedakan jenis-jenis solidaritas social. Menjelaskan pengertian kesadaran kolektif Durkheim, teori bunuh diri dan jenis-jenis bunuh diri, pengertian anomi, serta pengertian integrasi masyarakat menurut Durkheim.
Bab ketujuh pokok bahasannya adalah menguraikan sumbangan pemikiran Max Weber yang berguna bagi pemikiran dan perkembangan ilmu sosiologi. Materi yang akan dijelaskan diantaranya sejarah singkat riwayat hidup Max Weber, konsepsi tindakan sosial dan tipe-tipe tindakan sosial menurut Weber, pengertian verstehende, serta penjelasan Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme Weber yang cukup menggemparkan dan menjadi bahan pergunjingan yang kontroversial bagi kehidupan ilmiah.
Di penutup bab ini (bab kedelapan) akan dibahas tentang Paradigma Sosiologi. Dalam perkambangan selanjutnya setelah terlepas dari pengaruh filsafat dan psikologi, sosiologi mulai memasuki arena pergulatan pemikiran yang bersifat interen di kalangan teoritisnya sendiri. Pergulatan yang bersifat interen ini hingga sekarang masih saja berlangsung. Perkembangan sosiologi ditandai dan tercermin dari adanya berbagai paradigma di dalamnya. Pada bab kedelapan ini akan dijabarkan tentang pengertian paradigma sosiologi, sebab timbulnya berbagai paradigma sosiologi. menjelaskan 3 paradigma sosiologi yaitu paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, paradigma perilaku sosial serta menjelaskan hubungan antara paradigma yang satu dengan yang lainnya.
Akhirnya penulis berharap agar apa yang telah dipaparkan dalam buku ini dapat dipahami oleh semua pembaca. Untuk itu kritik dan saran dari mana dan dari siapapun jua datangnya dalam usaha penyempurnaan buku ini, penulis sambut dengan senang hati dan ucapan terima kasih.
Bandar Lampung, Juni 2011
Tim Penyusun
SANWACANA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas Taufik dan Hidayah Nyalah penulis dapat menyelesaikan buku ini., yang mana hasilnya masih jauh dari sempurna. Buku yang berada di hadapan para pembaca ini adalah sebagai pelengkap dan sekaligus memperkaya bahan bacaan atau literatur dalam mata kuliah Teori Sosiologi Klasik bagi mahasiswa di Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas lampung khususnya dan di perguruan Tinggi lainnya baik di negeri maupun swasta di Propinsi Lampung ini.
Penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa buku ini tidak akan selesai andaikata tidak ada bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuannya kepada penulis khususnya kepada Hibah Peningkatan Mutu Buku Ajar Universitas Lampung, yang telah memberi bantuan dana untuk proses pembuatan buku ajar ini.
BAB I
TEORI SOSIOLOGI
PENDAHULUAN
Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
Salah satu kesulitan yang mungkin timbul bagi para peminat di bidang ilmu sosiologi adalah kurangnya pemahaman tentang pengertian apa yang disebut dengan teori. Bagaimana kedudukan teori sosiologi di dalam usahanya untuk memahami kenyataan-kemyataan sosial. Kesulitan ini akan lebih mudah teratasi apabila sebelum orang membicarakan teori-teori sosiologi, sudah terlebih dahulu memahami bagaimana pengertian teori dan kedudukannya di dalam usaha untuk memahami kenyataan sosial.
Tujuan khusus mempelajari teori sosiologi adalah menjelaskan batasan yang disebut teori dan teori sosiologi, serta bagaimana mempergunakan teori sosiologi tersebut di dalam usaha memahami atau menganalisa kenyataan sosial.
Untuk itu setelah mengikuti perkuliahan atau mempelajari teori sosiologi, mahasiswa diharapkan dapat :
1. menjelaskan manfaat teori dalam kehidupan sehari-hari.
2. menjelaskan peran teori dalam memecahkan problema teoritis.
3. menggunakan teori sosiologi dalam usaha memahami dan menganalisa kenyataan
sosial.
A. TEORI
Sadar atau tidak, semua orang sebetulnya berteori. Orang yang paling erat hubungannya dengan kegiatan praktek sekalipun, seperti seorang pengacara yang membela perkara dan memperingati hakim supaya tetap berpegang pada fakta, harus menginterpretasikan fakta sehingga relevan baginya. Ini namanya proses berteori.
Berteori dengan jalan memberikan interpretasi itu sangatlah penting, karena perlu untuk menjelaskan peristiwa. Betapapun lingkungan suasana yang kita hadapi itu baik atau buruk, kita harus jelaskan kepada diri kita sendiri dan kepada orang lain, mengapa demikian. Caranya adalah dengan jalan menghubungkan situasi sekarang dengan pengalaman atau keputusan keputusan yang sudah kita berikan dimasa lampau, pengaruh-pengaruh sosial atau tekanan-tekanan dari orang lain, krisis-krisis yang umumnya dihadapi pada waktu itu, atau hambatan-hambatan serta kesempatan-kesempatan yang tersedia dalam lingkungan itu.
Orang tua berusaha menjelaskan mengapa anak-anaknya menanggung suatu akibat tertentu, mahasiswa berusaha menjelaskan kepada dirinya sendiri mengapa mereka tidak lulus walaupun mereka merasa bahwa tidak harus terjadi demikian, guru, polisi, para pemimpin politik menjelaskan kepada dirinya sendiri dan kepada orang lain, mengapa dan apa yang mereka buat.
Merencanakan atau meramalkan masa depan menuntut kita untuk melihat apa yang ada dibelakang fakta, dan berarti itu kita berteori. Tak seorangpun dapat meramalkan masa depan dengan mutlak. Apa yang kita buat adalah membuat dugaan-dugaan dan menyesuaikan perilaku kita sekarang ini dalam hubungannya dengan harapan-harapan. Orang muda yang memilih karir, orang tua yang menyesuaikan diri dengan perilaku anak-anaknya, para langganan yang merencanakan pembelanjaannya yang penting, penjual yang mengembangkan taktik-taktik penjualan, pemimpin politik yang yang berdebat mengenai dilema kebijaksanaan luar negeri, dan mahasiswa yang berspekulasi mengenai kira-kira apa yang diberikan oleh profesor dalam ujian yang akan datang, semua ini menunjukkan kepada kita akan adanya kebutuhan untuk bisa melihat apa yang ada dibalik fakta yang ada sekarang, dan kita berteori.
Ada sikap yang umumnya dikemukakan orang dalam bentuk pertanyaan "apa guna teori" dan mana faktanya. Kalau tidak ada fakta yang kuat, ide seringkali menjadi tidak karuan karena apa artinya teori tanpa fakta. Mahasiswa yang mempelajari sosiologi juga mempersoalkan perlunya mempelajari ide-ide abstrak yang kelihatannya mempunyai hubungan erat dengan dunia nyata. Asumsi bahwa kalau semua fakta diketahui maka orang akan berbicara tentang fakta saja dan teori tidak diperlukan lagi.
Tetapi tidak semua fakta yang kita butuhkan tersedia. Kalaupun faktanya sudah ada, masih harus diinterpretasikan supaya fakta itu mempunyai arti yang sesuai dengan kebutuhan dan rencana kita. Karena arti fakta itu tidak selalu jelas dengan sendirinya, maka teorilah yang dapat membantu kita untuk menginterpretasikan dan menilainya.
Suatu teori yang baik dapat membantu kita untuk memahami fakta, menjelaskan, dan memberikan ramalan yang valid, hal ini sangat perlu dalam suatu perencanaan untuk masa yang akan datang, baik yang berhubungan dengan kehidupan pribadi kita sendiri maupun yang berhubungan dengan perencanaan kebijaksanaan umum.
Para ahli ilmu sosial dan akademisi lainnya kadang-kadang dituduh terlalu menjauhkan diri dari dunia nyata dan hidup dalam menara gading. Teori-teori yang mereka berikan sering tidak praktis dan relevan. Kenyataan kehidupan sehari-hari nampaknya menjadi kabur karena mereka menjelaskannya dengan istilah-istilah tertentu yang hanya dimengerti oleh kelompok-kelompok tertentu saja (jargon).
Meskipun penggunaan istilah khusus yang sangat abstrak itu dapat merugikan, namun para spesialis dalam semua bidang ilmu pengetahuan, mulai dari ahli fisika dan hakim sampai dengan pekerja-pekerja dibengkel mobil dan konstruksi, memiliki perbendaharaan istilah sendiri. Hal ini sangat membantu mereka untuk dapat berkomunikasi secara tepat, memungkinkan mereka untuk dapat mengambil bagian dan mempertegas ide-ide yang bersifat teknis, serta memungkinkan mereka untuk dapat bekerja sama dalam melaksanakan tugas-tugas tertentu. Lebih berguna lagi kiranya, bahwa dengan istilah-istilah itu, batas-batas suatu profesi dapat ditarik, dan meningkatkan status para anggota profesi, serta membedakannya dari mereka yang tidak termasuk dalam profesi itu.
Teori yang dipergunakan orang dalam kehidupan sehari-hari biasanya bersifat implisit, tidak eksplisit. Sering teori-teori dapat kita lihat dalam tradisi dan dalam kebijaksanaan rakyat yang dapat diterima dengan akal sehat. Asumsi-asumsi teoritis yang mendasar itu dapat kita lihat dalam simbol-simbol kepercayaan yang sudah sangat berkambang mengenai kodrat manusia atau masyarakat, seperti misalnya kepercayaan agama yang mengatakan bahwa manusia memiliki satu keistimewaan tertentu yang diperolehnya dari Allah, dan yang membedakan manusia dari binatang-binatang lainnya, atau adannya kepercayaan bahwa dalam jangka waktu yang panjang, orang yang berperilaku baik akan dihargai dan yang berperilaku jahat atau buruk akan disiksa.
Teori-teori implisit itu mewarnai sikap kita pada umumnya terhadap orang lain dan terhadap masyarakat. Kita semua tahu bahwa ada orang yang sinis yang percaya bahwa manusia itu hanya tertarik pada kesejahteraannya sendiri saja, dan ada manusia yang optimis yang terus menerus menerus mencari sifat-sifat yang baik atau yang positif pada orang lain dan sering melihatnya demikian, sedangkan orang lain tidak. Karena banyak dari asumsi-asumsi ini bersifat implisit, maka orang lalu tidak menjadi sadar kalau mereka tidak konsisten.
Bagi kebanyakan orang, teori-teorinya itu mungkin tetap bersifat implisit, tetapi karena pelbagai alasan, orang lain menjadi lebih sadar dimana segi-segi tertentu dari teori-teori mereka yang implisit itu menjadi eksplisit dan tunduk pada analisa objektif atau analisa kritis. Proses ini tidak harus berarti bahwa teori-teori implisit itu akan ditolak, sebaliknya teori-teori itu mungkin mendapat dukungan. Bagaimanapun individu menjadi sadar akan beberapaa dari asumsi-asumsi teoritis yang mendasar dan rela mengujinya secara objektif, paling kurang dalam tingkatan tertentu.
Umumnya kekuatan sesuatu teori terletak pada kemampuannya untuk membawa banyak pemikiran dan informasi mengenai suatu problem khusus. Teori demikian bisa menghasilkan dan mengandung ide-ide yang siap dipakai pada suatu ketika. Sebuah teori mencoba memecahkan sebuah problem teoritis ke dalam empat kategori yaitu .
1. Teori memungkinkan adanya ide-ide tambahan untuk pemecahan beberapa problem teoritis yang ada.
2. Teori memungkinkan adanya model-model dari buah pikiran dan dengan demikian menghasilkan suatu deskripsi skematis. Deskripsi itu dapat dibayangkan sebagai suatu pola dan di dalam pola itu ide-ide tersebut tersusun rapi dan serasi.
3. Model-model memungkinkan adanya teori-teori.
4. Teori memungkinkan adanya hipotesa-hipotesa.
1. Teori Memungkinkan adanya Ide-Ide
Sebuah pendekatan teoritis terhadap suatu ide secara alamiah menyebabkan penciptaan ide-ide lain yang membantu untuk menjelaskan yang satu dan mendefinisikan hubungannya dengan yang lain.Contohnya: kelas sosial bisa dirasakan atau dialami tapi tidak ada arti teoritis dalam batasan itu sendiri. Teori itu baru muncul kalau ide kelas sosial tersebut diletakkan bersama-sama dengan ide-ide tambahan yang ikut menerangkan hal-hal lainnya. Misalnya memahami kelas sosial harus juga memahami arti struktur sosial, hak-hak istimewa, hubungan sosial, kewajiban, otoritas, dan ide-ide lainnya. Jadi, pada prinsipnya sebuah ide bisa dihasilkan dengan menguji sesuatu secara empiris, dan menjabarkan ide ini ke dalam peta ide-ide yang disebut dengan teori.
2. Teori Memungkinkan adanya Model-Model
Teori dan model berbeda, kalau teori menerangkan sesuatu secara langsung, sedangkan model menerangkan sesuatu dengan analogi. Suatu model dari sesuatu hal bukanlah hal itu sendiri tapi suatu yang punya sebuah persamaan dengan hal tersebut. Contohnya pesawat model dan Boeing 747 tidaklah sama, tapi keduanya memiliki kesamaan yaitu terbangnya pesawat model karena dilemparkan, namun bergeraknya sayap-sayapnya di udara, bentuk dan struktur sayap-sayap dan hubungan dengan struktur lainnya adalah analog dengan terbangnya Boeing 747.
3. Model-Model Memungkinkan adanya Teori-teori
Sebuah teori bisa memprediksikan bahwa ada suatu hubungan tertentu antara dua ide tetapi kurang membicarakan hubungan antara ide-ide ini dengan ide-ide lainnya. Dengan menemukan suatu model yang nampaknya mendekati hubungan antara ide-ide yang pertama, bisa dengan analogi bahwa ada ide-ide lain yang memungkinkan terjadinya hubungan itu oleh karena model itu memungkinkan tambahan-tambahan untuk teori tersebut.
4. Teori-Teori Memungkinkan adanya Hipotesa-Hipotesa
Sebuah hipotesa adalah suatu pernyataan mengenai hubungan antara dua atau lebih ide-ide atau kelas-kelas dari suatu hal. Dalam hubungan yang paling kuat antar teori dan hipotesa adalah terjadi secara deduktif, yaitu hipotesa-hipotesa itu mengikuti secara langsung dari generalisasi dan konsep-konsep yang telah ditetapkan dalam sebuah teori. Sebuah teori dapat menghasilkan hipotesa-hipotesa bila teori itu ditetapkan dalam problem teoritis atau empiris tertentu. Contohnya teori solidaritas sosial dan praktek-praktek keagamaan seperti yang dilakukan Emile Durkheim dalam bukunya Suicide, kita bisa membuat hipotesa-hipotesa atau pernyataan-pernyataan mengenai hubungan yang mungkin terjadi antara praktek-praktek agama dan sosial tertentu seperti bunuh diri misalnya
Salah satu cara untuk mengklasifikasikan teori adalah mengikat diri dengan teori-teori itu menurut wilayah-wilayah di mana teori-teori itu mula-mula diajukan atau digunakan untuk berbagai macam keperluan. Cara lain ialah mengelompokkan teori-teori menurut wilayah di mana teori-teori itu dilahirkan dan digunakan secara paling luas.
Ada satu lagi cara untuk mengklasifikasikan teori yang banyak dianjurkan orang akhir-akhir ini, yaitu yang menekankan bahwa untuk mendapatkan teori mengenai sesuatu , sesuatu itu harus pertama-tama didefinisikan secara tepat dan kemudian sesuatu hal itu dapat diperhitungkan.
B. TEORI SOSIOLOGI
Sosiologi adalah disiplin ilmu yang mencoba menjelaskan aspek-aspek kehidupan manusia, maka sosiologi juga peka untuk melakukan pembahasan tentang nilai dan moral yang terlibat dalam berteori. Pada umumnya argumentasi kebebasan nilai dalam teori sosiologi telah berjalan, yang mana agar dapat ditemukan sesuatu dan mengkonsepsikan sesuatu itu, para sosiolog perlu menghilangkan prasangka pribadi mengenai hubungan sosial dalam studinya. Pernyataan ini tidak berarti bahwa dia harus tidak menjadi seorang yang bermoral. Tetapi untuk tujuan deskripsi dan teori ini bila seseorang ingin mengetahui yang sebenarnya maka dia harus mengobservasikan, menguraikan, dan menggunakan teori dengan tidak berat sebelah. Bila kejujuran tidak dipakai sepenuhnya, apa yang dianggap seharusnya terjadi dapat ia nyatakan sebagai sesuatu yang sesungguhnya, dogma akan turut lebur dalam pemikirannya.
Sosiologi sejak awal perkembangannya dipermulaan abad 19 hingga dewasa ini, telah mengalami perubahan yang terus menerus. Ilmu yang oleh Auguste Compte disebut dengan "Sosial Physics" , dikenal dengan nama sosiologi, berkembang terus seiring perubahan yang timbul dalam masyarakat. Adalah Compte, bapak pendiri sosiologi yang mengatakan ada 2 cara untuk mempelajari suatu ilmu pengetahuan yaitu secara dogmatis dan secara historis.
Mempelajari ilmu pengetahuan secara dogmatis akan membawa kita pada pemahaman teori-teori ilmu yang bersangkutan, sedangkan mempelajarinya secara historis memaksa kita menelusuri awal mula, konteks situasi di mana teori itu lahir.
Pernyataan di atas ini sesungguhnya juga berawal dari banyak pendapat para sarjana di lapangan ilmu pengetahuan sosial bahwa tujuan yang fundamental dari ilmu-ilmu sosial termasuk sosiologi adalah menerangkan tentang kenyataan-kenyataan perubahan sosial. Bahkan khusus untuk sosiologi itu sendiri ada yang menyatakan ilmu ini adalah ilmu tentang krisis sosial. Dinyatakan demikian karena pada kenyataannya, sejak awal pertumbuhannya hingga perkembangannya dewasa ini sosiologi cenderung memperoleh bentuk-bentuk baru selaras dengan krisis sosial.
Charles A Ellwood, di dalam bukunya yang terkenal A History of Sosial Philosophy menyebut adanya sebuah teori yang dikenal dengan " the crisis of thought" atau Teori Krisis Pemikiran. Menurut teori ini, orang hanya akan berfikir bila mana timbul persoalan-persoalan, bila mana kebiasaan-kebiasaan lama kita tidak lagi berfungsi dan kita membutuhkan kebiasaan-kebiasaan baru. Sebagaimana akan diterangkan kemudian di dalam buku ini, Charles Ellwood mengambil contoh krisis yang menimbulkan lahirnya pemikiran-pemikiran di lapangan ilmu kemasyarakatan ketika Athena, negara kota di abad Hellenic yang angkuh itu berantakan ketika dikalahkan oleh Sparta, suatu bangsa yang oleh orang Athena dianggap bangsa yang terbelakang.
Jadi jelaslah bahwa sosiologi adalah merupakan refleksi dari keadaan masyarakat yang sedang berubah dan teori-teori yang dihasilkannya merupakan hasil dari keadaan masyarakat itu sendiri. Dan karena pada kenyataannya tiada satupun masyarakat yang tidak mengalami perubahan, maka sosiologi akan terus berkembang di dalam masyarakat. Teori-teorinya akan terus berkembang dengan segala konsekuensinya, yang mungkin akan terlempar dari peredaran atau mungkin juga akan bertahan. Sementara itu pula akan muncul teori-teori baru yang dihasilkan seiring dengan perubahan kemasyarakatan yang terjadi.
Untuk membuktikan hal itu mungkin kita bisa melacaknya jauh ke belakang pada permulaan abad ke 19 dimana terjadi perubahan yang sangat cepat dan hebat di dalam masyarakat akibat terjadinya revolusi industri dan juga terjadinya revolusi sosial di Eropa. Sebuah perubahan yang memperkenalkan kekuasaan masyarakat dan kekuasaan massa. Penemuan-penemuan baru di bidang teknologi pada masa itu telah menghasilkan polarisasi yang sangat hebat antara kaum pemilik modal dengan mereka yang tidak memiliki.
Berkembangnya industri-industri di daerah perkotaan telah mengakibatkan mengalirnya urbanisasi dari daerah pedesaan untuk mencari kehidupan yang lebih baik di perkotaan. Tetapi kemudian kenyataannya menunjukkan telah terjadi semacam penghisapan oleh kaum majikan yakni para pemilik modal yang menguasai indusri-industri tersebut terhadap para buruh yang bekerja di pabrik-pabrik. Perubahan ini kemudian menghasilkan berbagai krisis sosial dengan meningkatnya kriminalitas dan kemiskinan rakyat jelata yang tidak punya modal. Di dalam situasi sedemikian inilah sosiologi mencatat tampilnya teori-teori yang membela kaum buruh yang tertindas yang dipelopori oleh Karl Marx dan kawan-kawannya.
Demikian juga kalau kita ingin mencari bukti-bukti lain, misalnya pada abad pertengahan. Di abad ini tidak terjadi perubahan yang berarti di lapangan kemasyarakatan. Pada abad ini gereja merupakan pendukung kebudayaan, merupakan tenaga yang menyatukan dan menguasai masyarakat. Prinsip-prinsip kemasyarakatan dirumuskan oleh bapa-bapa gereja seperti Santo Agustinus dan dan Thomas van Aquinas sebagai pemuka-pemukanya. Dan sejarah mencatat dalam abad ini praktis tidak ada perhatian tentang masalah-masalah sosial atau dengan kata lain dalam periode ini terjadi perubahan-perubahan yang sangat lambat di lapangan ilmu pengetahuan sosial.
Sebaliknya pada akhir abad pertengahan, terjadi perubahan-perubahan yang sangat cepat di dalam masyarakat. Tumbuhnya nasionalisme yang mendesak feodalisme, berkembangnya perdagangan dan tumbuhnya borjuis yang kemudian menjadi semakin berpengaruh. Di dalam perode ini terjadi pertentangan yang memenuhi dunia dan pertengahan yakni pertentangan antara raja dan paus untuk saling berebut kekuasaan. Juga periode ini ditandai tumbuh dan berkembangnya kota-kota dan mengalirnya penduduk desa ke kota yang kemudian menghasilkan perubahan-perubahan terhadap tradisi adat kebiasaan dan moral yang kemudian mulai menghilangnya yang mengikat masyarakat. Timbullah dari keadaan ini pemikiran-pemikiran yang reflektif dan diskusi-diskusi tentang apa yang disebut dengan problem-problem sosial. Abad inilah yang mungkin dikenal dengan periode Renaissance, dimana muncul kembali pemikiran-pemikiran Yunani dan Romawi abad ke 4 sebelum masehi, yaitu periode Plato dan Aristoteles, ahli-ahli sejarah seperti Herodotus, Tucydides, Polybos, dan juga Cicero yang dalam ilmu pengetahuan diklasifikasikan sebagai ahli teori kemasyarakatan dari abad Hellenic.
Abad Hellenic ini, seperti halnya abad modern sekarang ini adalah suatu masa transisi yang mana terjadi disorganisasi sosial yaitu ketika rejim Negara kota membuka jalan bagi tumbuhnya suatu negara kekaisaran sesudah penaklukan Alexander atas negara-negara Yunani.
Dari uraian terdahulu, kembali kita melihat hubungan antara krisis dengan munculnya teori-teori sosial sebagaimana dinyatakan oleh Teori Krisis Pemikiran. Sehingga dapatlah dinyatakan pula bahwa suatu ilmu sosial sesungguhnya pada suatu waktu dan tempat tertentu, menggambarkan usaha para pemikir untuk dapat memahami keadaan masyarakat di mana mereka hidup, terutama keadaan yang timbul dari keadaan yang berubah baik untuk kepentingan para pemikir itu sendiri maupun untuk kepentingan masyarakat.
RINGKASAN
Suatu teori yang baik dapat membantu kita untuk memahami fakta, menjelaskan, dan memberikan ramalan yang valid, hal ini sangat perlu dalam suatu perencanaan untuk masa yang akan datang, baik yang berhubungan dengan kehidupan pribadi kita sendiri maupun yang berhubungan dengan perencanaan kebujaksanaan umum.
Umumnya kekuatan suatu teori terletak pada kemampuannya untuk membawa banyak pemikiran dan informasi mengenai satu problem khusus atau seperangkat problem dan dengan demikian melampaui pemikiran yang tidak sistematis dalam detail dan ketepatan untuk pembentukan kosep yang berikutnya. Teori yang demikian itu bisa menghasilkan dan mengandung ide-ide yang siap pakai pada suatu ketika.
Sebuah teori mencoba memecahkan sebuah problem teoritis ke dalam empat kategori yaitu
Teori memungkinkan adanya ide-ide tambahan untuk pemecahan beberapa problem teoritis yang ada.
Teori memungkinkan adanya model-model dari buah pikiran dan dengan demikian menghasilkan suatu deskripsi skematis. Deskripsi itu dapat dibayangkan sebagai suatu pola dan di dalam pola itu ide-ide tersebut tersusun rapi dan serasi.
Model-model memungkinkan adanya teori-teori.
Teori memungkinkan adanya hipotesa-hipotesa.
Sosiologi adalah merupakan refleksi dari keadaan masyarakat yang sedang berubah dan teori-teori yang dihasilkannya merupakan hasil dari keadaan masyarakat itu sendiri. Dan karena pada kenyataannya tiada satupun masyarakat yang tidak mengalami perubahan , maka sosiologi akan terus berkembang di dalam masyarakat. Teori-teorinya akan terus berkembang dengan segala konsekuensinya, yang mungkin akan terlempar dari peredaran atau mungkin juga akan bertahan. Sementara itu pula akan muncul teori-teori baru yang dihasilkan seiring dengan perubahan kemasyarakatan yang terjadi.
LATIHAN
Jelaskan manfaat teori!
Sebuah teori memecahkan problem toritis ke dalam 4 kategori, sebutkan dan jelaskan!
Para ahli ilmu sosial dan akademisi lainya kadang-kadang dituduh terlalu menjauhkan diri dari dunia nyata dan hidup dalam menara gading, apa maksudnya?
Jelaskan latar belakang munculnya teori sosiologi dalam masyarakat!
TUGAS
Buatlah makalah sebagai tugas kelompok dengan mengkaji secara sosiologis sebuah fenomena sosial yang ada di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Johnson, D.P., 1994. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Gramedia. Jakarta.
M. Siahaan, Hotman. 1986.Pengantar Ke Arah Sejarah dan Teori Sosilogi. Erlangga. Jakarta.
BAB II
FILSAFAT SOSIAL SEBAGAI DASAR TEORI SOSIAL
PENDAHULUAN
Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
Alam pikiran mengenai masyarakat sesungguhnya sama tuanya dengan alam pikiran ilmiah itu sendiri. Masyarakat selalu dikenal dalam pengalaman dan masyarakat selalu menghadapkan manusia pada persoalan-persoalan yang diikhtiarkan oleh manusia itu untuk menjawabnya. Karena dia selalu menghadapkan manusia pada persoalan-persoalan dan masalah-masalah praktis inilah sebabnya masyarakat menjadi buah pikiran.
Dalam alam pemikiran mengenai masyarakat tercerminlah masyarakat itu sendiri sebagai yang dialami, yang dalam perkembangannya melahirkan dua hal yaitu perkembangan dari kenyataan sosial yaitu masyarakat itu sendiri dan perkembangan pemikiran ilmiah. Dan karena pengetahuan yang paling tua adalah filsafat, maka di dalam filsafat itu pastilah dibicarakan tentang masyarakat. Dan karena filsafat lahir di alam pikiran Yunani maka yang pertama-tama perlu dibicarakan adalah alam pikiran Yunani.
Pokok bahasan yang akan diuraikan pada bab dua ini adalah lahirnya filsuf-filsuf yang terkenal di era Yunani yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles. Ke tiga tokoh yang menjadi 'sufi' di zamannya ini, akan dibahas secara rinci mulai dari riwayat hidupnya, metode berfikirnya hingga filsafat sosial yang dilahirkannya yang akan menjadi dasar bagi lahirnya teori-teori sosial selanjutnya khususnya teori-teori sosiologi.
Setelah mempelajari uraian pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan mampu
1. Menjelaskan tentang riwayat hidup, metode berfikir dan filsafat sosial Socrates.
2. Menjelaskan tentang riwayat hidup, metode berfikir dan filsafat sosial Plato.
3. Menjelaskan tentang riwayat hidup, metode berfikir dan filsafat sosial Aristoteles.
4. Membandingkan metode berfikir dan filsafat sosial Socrates dengan Plato.
5. Membandingkan metode berfikir dan filsafat sosial Aristoteles dengan Plato/Socrates.
A. SOCRATES
1. Riwayat Hidup
Sufi terbesar ini lahir kira-kira 470 SM, dan meninggal pada tahun 399 SM. Dia berasal dari keluarga terpandang. Ayahnya seorang seniman patung, dan banyak memberikan inspirasi pada cara berpikir Socrates. Dia juga merupakan seorang prajurit pada angkatan perang Athena.
Pada suatu ketika, ia mendapat panggilan suci (devine commision) untuk menunjukkan kearah mana kebenaran harus dikembangkan dan bagaimana menghilangkan kebodohan sesama warga Negara Athena. Sebagai prajurit dalam perang Peloponesus dia pergi dari satu barak ke barak yang lain, dan kepada setiap orang yang dijumpainya dia selalu menanyakan pendapanya mengenai masalah-masalah sosial dan politik. Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut akhirnya ia mengetahui bahwa ia sesungguhnya tidak mengetahui apa-apa, seperti orang lainpun tadak mengetahui apa-apa pula. Oleh karena itu dia berpendapat bahwa yang diperlukan adalah sesuatu penyelidikan yang dapat dipercaya. Dengan penyelidikan itu dicarilah hakekat kehidupan sosial politik yang kemudian melahirkan pemikiran filsafatnya.
Ketika pada suatu hari Oracle Delphy menyatakan bahwa Socrates adalah seorang yang paling bijaksana di Athena, maka dia menjawab: "Hanya satu hal saja yang saya ketahui, ialah bahwa saya tidak tahu apa-apa". Dari pernyataan inilah Socrates memberi dasar metode berpikir filsafatnya.
2. Metode Berfikir
Socrates adalah orang pertama yang menggunakan cara berpikir untuk meragukan sesuatu dan mengutamakan pentingnya definisi mengenai sesuatu. Ia berpendapat bahwa langkah pertama untuk mendapatkan pengetahuan adalah dengan lebih dahulu menjelaskan idea-idea dan konsepsi-konsepsi. Definisi yang tepat mengenai istilah-istilah dan konsepsi-konsepsi adalah paling sulit di dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Akan tetapi definisi ini justru harus difahami lebih dahulu untuk dapat menemukan kebenaran. Secara singkat Socrates berpendapat bahwa definisi adalah merupakan langkah pertama di dalam ilmu pengetahuan. Dari sudut ini Socrates dapat disebut sebagai orang yang pertama menunjukkan perlunya logika sebagai dasar bagi ilmu pengetahuan dan filsafat.
3. Filsafat Sosial
Kita mengenal pemikiran Socrates hanya melalui tulisan-tulisan Plato muridnya, dalam bentuk drama timbal cakap. Akan tetapi sesuatu yang tidak perlu diragukan sebagai ajaran Socrates adalah pernyataan bahwa 'kecerdasan adalah merupakan dasar dari semua keutamaan', di dalam adat kebiasaan, di dalam lembaga-lembaga sosial dan di dalam hubungan sosial manusia maupun di dalam kehidupan pribadi. Menurut Socrates tabiat yang baik adalah sinonim dari kecerdasan, pengetahuan menjadikan seseorang bijaksana.
Seseorang yang adil misalnya, harus mengetahui hukum dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi, Socrates menyatakan bahwa disamping hukum-hukum manusia terdapat juga hukum Tuhan; dan keadaan adalah kebijakan yang mengalir dari pengetahuan tentang hukum Tuhan. Socrates mengajarkan bahwa kebajikan dalah sesuatu yang dapat dicapai dengan kecerdasan manusia. Apabila kita hendak membangun masyarakat dengan berhasil, maka kita harus membangun dengan landasan ilmu pengetahuan.
Kritik yang pertama terhadap pemikiran Socrates adalah bahwa ia terlalu intelektualistik. Kenyataannya, orang-orang cerdik pandai, sekalipun mereka banyak mengetahui kebenaran akan tetapi mereka banyak pula melakukan kesalahan. Tentang hal ini Socrates menjawab, bahwa mereka memang tidak akan dapat mengetahui benar bagimana mereka dapat mencapainya. Akan tetapi bilamana suatu pengetahuan dilaksanakan, orang tidak akan melakukan kesalahan yang lebih jauh.
B. PLATO
1. Riwayat Hidup
Plato dilahirkan kira-kira 427 SM. Dan meninggal pada tahun 347 SM. Ia berasal dari keluarga bangsawan Athena yang sangat memuliakan kaumnya.
Sesudah Socrates meninggal, Plato merantau ke berbagai negeri seperti Mesir, Asia, Sisilia dan Italia bagian selatan, dimana dia kemudian berkenalan dengan pemikiran Phythagoras. Pada tahun 387 SM, ia kembali ke Athena dan mendirikan suatu sekolah yang terkenal dengan nama 'Academia' yang karena banyak menarik pemuda-pemuda terpelajar Yunani, dapat disebut sebagai Universitas pertama di Eropa
Terdapat tiga buah bukunya yang paling terkenal yaitu :
1. The Republic.
The Republic merupakan usaha pertamanya yang besar untuk menggambarkan suatu masyarakat ideal di mana keadilan dapat diwujudkan.
2. The Laws yang merupakan buku yang membuat garis besar konstitusi sosial politik.
3. The Statesman (Negarawan) yang membuat suatu diskusi tentang konstitusi politik.
2. Metode Berfikir
Dia mengembangkan metoda dialektika Socrates, dengan memulainya dan menguji konsep-konsep pikiran. Kita dapat mengenal 'manusia' misalnya, melalui cara mengenal pengertian umum tentang manusia, inilah yang disebut dengan 'Platonic idealism', yang sebagai suatu metoda berpikir biasa disebut 'Conseptualism', suatu doktrin yang mengajarkan bahwa kebenaran harus diperoleh dengan menguji atau membuktikan konsep-konsep. Metoda berpikir Plato ini (dan juga Socrates), bertolak belakang dengan metoda yang dipergunakan oleh ilmu-ilmu pengetahuan modern. Plato berpendapat bahwa kebenaran universal tidak dapat dicapai melalui pengertian-pengertian tentang gejala-gejala yang nampak.
Plato adalah pencipta ajaran 'serbacita' (ideenleer), karena itu filsafatnya disebut 'idealisme'. Diapun beranggapan bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan atas gejala-gejala yang nampak, adalah bersifat relatif. Kebajikan tidak mungkin ada tanpa memiliki pengetahuan dan pengetahuan tidak dapat hanya terbatas pada pengamatan saja. Sebab pengetahuan itu dilahirkan oleh 'alam bukan benda', melainkan alam sebacita. Contohnya cita atau konsep tentang kuda yang memiliki semua sifat kuda dalam bentuk yang murni, tidak dapat diamati di dunia ini. Kuda kita lihat berbeda satu sama lain dalam bentuk, warna, dan sifatnya. Kuda dalam bentuk yang murni dan sempurna ada di idealisme pikiran manusia, sedangkan dalam kenyataannya kuda dikenali dalam keadaan yang kurang sempurna di dunia ini.
Jadi serbacita itu adalah pengertian-pengertian yang sudah ada pada saat manusia lahir. Mencari pengetahuan berarti menimbulkan kembali ingatan-ingatan dan tata tertib dari kerinduan jiwa kita akan dunia sebacita, dimana jiwa kita dahulu berada.
3. Filsafat Sosial
The Republic sebenarnya bernilai sebagai tulisan tentang etika sosial, mengenai masyarakat ideal, The Republic itu sebagai tulisan pertama dan terbesar yang bersifat sosiologis. Plato menganggap bahwa masyarakat ideal adalah merupakan perluasan dari konsep tentang individu manusia.
Menurut Plato manusia pada dasarnya memiliki tiga sifat tingkatan kegiatan yaitu
The Appetites or the senses (nafsu atau perasaan-perasaan)
The Spirit or the will (semangat atau kehendak-kehendak)
Inteligence, reason, and judgment (kecedasan atau akal)
Berdasarkan tiga elemen aktivita individu tresebut plato kemudian menyusun suatu masyarakat ideal di dalam tiga lapisan atau kelas yaitu :
Mereka yang mengabdikan hidupnya untuk memperoleh pemuasan nafsu dan perasaannya.
Mereka yang mengabdikan hidupnya untuk memperoleh penghormatan dan perbedaan sebagai manifestasi dari pada spirit or will
Mereka yang mempersembahkan hidupnya untuk pemeliharaan akal atau kecerdasan untuk mengajar kebenaran.
Berdasarkan tiga lapisan sosial Plato kemudian merumuskan tiga kegiatan lapisan sosial. Ketiga aktivita lapisan sosial itu adalah :
Mereka yang mengabdikan hidupnya bagi pemenuhan nafsu dan perasaan, bertugas untuk menghidupi atau memelihara masyarakat. Mereka ini adalah kelas pekerja (manual work), yang meliputi pekerja-pekerja di sektor pertanian dan industri yang harus mendukung dan menghidupi dua kelas yang lain. Kepada kelas inilah didalam masyarakat ideal Plato, diberi hak-hak yang penuh dan istimewa sebagai seorang warga negara yang diperolehkan memiliki kekayaan pribadi, oleh karena berfungsi menyediakan atau memprodusir barang-barang kebutuhan hidup seluruh anggota masyarakat.
Mereka yang hidupnya diabdikan untuk memperoleh penghormatan dan perbedaan sebagai manifestasi dari spirit or the will bertugas untuk melindungi masyarakat dari serangan yang datang dari luar maupun dari dalam masyarakat itu sendiri. Mereka ini adalah kelas militer (a citizen soldier class). Mereka inilah warga negara dalam pengertian yang sesungguhnya. Mereka adalah gambaran dari masyarakat komunis yang sempurna dan tidak memiliki kehidupan yang bebas dan ganjaran mereka satu-satunya adalah penghormatan yang diberikan masyarakat dan kemenangan-kemenangan perang.
Mereka yang mempersembahkan hidupnya untuk memelihara akal atau kecerdasan bertugas untuk memerintah dan memimpin masyarakat disebut sebagai kelas penguasa (magistrates or guardian class). Kelas ini terutama diangkat dari kelas militer melalui seleksi dalam kemampuan dan kecerdasan otaknya. Mereka tidak hanya menjadi filosof dan negarawan, tetapi lebih dari itu juga seorang guru.
Meskipun Plato membagi masyarakat ke dalam 3 kelas sosial, tetapi tidak berarti bahwa pembagian tersebut merupakan lapisan yang tertutup setiap orang mempunyai kesempatan yang sama di dalam masyarakat.Plato menghendaki masyarakat yang ideal itu yakni aristokratis di bawah kaum intelek di mana kekuasaan dan pengawasan akan dipegang oleh kelas yang berpendidikan dan berkecerdasan tinggi.
Yang terpenting bagi studi sosiologi dalam buku Plato The Republic adalah konsepsinya tentang keadilan (justice). Hanya di dalam masyarakat tertentu, Kata Plato, keadilan dapat direalisir. Orang yang adil hanya dapat ada di dalam masyarakat adil. Dengan demikian konsepsi Plato tentang keadilan adalah merupakan konsepsi sosial.
Dalam bukunya 'The Laws' Plato hanya memuat garis besar konstitusi politik. Di dalam buku ini tahap perkembangan sosial. Plato mengemukakan perkembangan masyarakat melalui lima tahap yaitu :
Tahap kehidupan masyarakat yang terisolir di dalam masyarakat pemburu dan yang hidup di padang-padang rumput.
Masyarakat yang Patriarchal di mana keluarga-keluarga tersusun ke dalam ikatan-ikatan klan dan suku-suku, tetapi masyarakat ini masih hidup di padang-padang sebagai masyarakat pemburu dan penggembala.
Masyarakat petani yang sudah mulai mendiami desa-desa pertanian
Masyarakat yang hidup di kota-kota perdagangan
Masyarakat yang hidup di kota yang mapan seperti Sparta atau Athena
Plato adalah pencipta pertama dari pada ide tentang komunisme, dia hanya membatasi komunismenya pada dua lapisan atas dalam masyarakat. Menurut pendapatnya terdapat banyak persamaan antara ide komunisme Plato dengan komunisme Rusia, yaitu :
Keduanya membenci perdagangan dan ekonomi uang
Keduanya menaruh perhatian pada persoalan hak milik sebagai satu-satunya sumber semua kejahatan dan kebusukan
Keduanya menghendaki hapusnya kemakmuran dan hak milik perseorangan
Keduanya menghendaki pengawasan kolektif bagi anak-anak
Keduanya menghendaki pengawasan semua ilmu pengetahuan dan ideologi bagi kepentingan negara
Keduanya memiliki ajaran dogmatis yang menghendaki agama negara terhadap mana semua aktivitas harus di-subordinasikan kepadanya.
Plato adalah pencipta pertama tentang kesamaan sosial yang mutlak antara wanita dan laki-laki, dan perlunya pengawasan terhadap perkawinan. Disamping itu Plato adalah orang pertama yang menghargai ilmu pengetahuan dalam masyarakat. Ia menunjukkan bahwa tidak saja perlu adanya leadership yang cakap tetapi ia menunjukkan pula keuntungan sosial dari pada pemerintah oleh orang-orang bijaksana (para cendekiawan). Fasisme modern barang kali merupakan suatu bentuk modern berdasarkan konsep plato. Hanya saja berbeda dari komunisme Rusia Plato sebaliknya mengatakan bahwa setiap masyarakat harus selalu terdapat susunan-susunan kelas yang bersifat natural.
Plato menekankan adanya perbedaan-perbedaan antara individu-individu dan kelas-kelas sosial ciptaannya terlampau kaku. Perbedaan antara kelas-kelas tersebut lebih bersifat gradual dari pada bersifat kualitatif.
C. ARISTOTELES
1. Riwayat Hidup
Filsuf ini dilahirkan pada tahun 384 SM, di Stagira, dan meninggal pada tahun 332 SM, pada usia 62 tahun. Ibu Aristoteles adalah seorang ahli kesehatan dari Raja Amyntas II, dan ayahnya juga seorang ahli kesehatan, penjinak binatang, dan pecinta alam yang pada akhirnya mempengaruhi pemikiran Aristoteles yang bersifat naturalistik.
Setelah kematian ayahnya, Aristoteles pergi ke Athena pada usia 18 tahun untuk belajar di academy dibawah asuhan Plato. Plato mengakui bahwa Aristoteles adalah muridnya yang paling brilliant, karena ia mampu mengembangkan pikirannya sendiri. Pada kematian Plato, Aristoteles memiliki hak terbesar untuk memimpin Academia, sekalipun demikian pimpinan jatuh ketangan kemenakan Plato. Aristoteles merasa perlu untuk meninggalkan Athena, ia akhirnya mengungsi ke istana Hermias. Di sini ia berdiam selama tiga tahun, kemudian ia menikahi anak angkat Hermias yang cantik, bernama Pythias.
Tahun 342 SM Aristoteles dipanggil ke istana raja Philip II dari Mecodonia untuk menjadi guru dari puteranya Alexander yang masih berusia 13 tahun. Sesuia dengan ide-ide pendidikannya sendiri, Aristoteles tidak mendidik Alexander sebagai murid privat, melainkan mendidiknya dalam satu sekolah bagi anak bangsawan Mecedonia. Setelah Alexander diangkat menjadi raja, Alexander memberikan bantuan kepada Aristoteles untuk membeli buku-buku guna mendirikan suatu perpustakaan dan sebuah museum serta mengumpulkan informasi-informasi ilmiah. Itulah sebabnya Aristoteles dapat mengumpulkan 158 konstitusi dari berbagai negara kota di jamannya. Hal itu pula yang menyebabkan dia mampu melakukan studi induktif yang luas berbagai masyarakat Yunani dan non Yunani.
Pada usianya yang ke 50 tahun Aristoteles kembali lagi ke Athena dengan membawa serta perpustakaan dan museumnya. Kemudian dipanggil ke istana raja Philip II dari Mecodonia untuk menjadi guru dari puteranya Alexander Banyak diantara tulisan aristoteles merupakan catatan muridnya, cara yang demikian merupakan dasar yang baik bagi pembentukan pemikiran, karena muridnya merupakan kumpulan ingatan yang hidup. Kemudian Aristoteles menyingkir ke Calcis sampai ia meninggal. Pikiran Aristoteles bersifat ensiklopedis, adalah merupakan pembangunan banyak ilmu pengetahuan dan disiplin filsafat.
2. Metode Berfikir
Aristoteles berbicara tentang filsafat dan dunia realita. Pemikiran Aristoteles adalah objektif dan dan realitas, teorinya dibangun berlandaskan fakta-fakta, ia menemukan sember kebenaran pada pengalaman. Aristoteles merupakan orang pertama yang menggunakan metoda historis dalam mempelajari kenyataan sosial. Dia adalah pembangun logika, yaitu suatu ilmu tentang cara berpikir yang benar, ilmu pengetahuan menurutnya adalah bangunan pengetahuan yang masuk akal. Jelaslah bahwa Aristoteles tidak pernah memimpikan untuk memisahkan penyelidikannya tentang 'apa yang ada' dan 'apa yang seharusnya ada'.
3. Filsafat Sosial
a. Ajaran Tentang Asal mula Masyarakat
Ada dua bentuk asosiasi manusia yang bersifat dasar dan essensial, yaitu asosiasi antara laki-laki dan wanita untuk mendapatkan keturunan, dan asosiasi antara penguasa dan yang dikuasai. Kedua asosiasi ini bersifat naturalistic (tidak disengaja). Negara berasal dari perkumpulan kampung/dusun, sedangkan dusun berasal dari kumpulan keluarga yang terbentuk secara alamiah. Ciri-ciri negara : merdeka penuh (full independent), memenuhi kebutuhan sendiri (self sufficiency) dan memiliki pemerintahan sendiri (self government). Negara adalah suatu 'natural group', dan manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon). Masyarakat manusia memiliki dasar kultur dan dasarnya yang alamiah.
b. Ajaran Tentang Organisasi Sosial
Aristoteles membagi ilmu tentang keluarga kedalam empat bagian :
1. Tentang hubungan antara tuan dengan budaknya.
2. Tentang hubungan antara suami dengan istri.
3. Tentang hubungan antara orangtua dengan anaknya.
4. Tentang ilmu atau seni keuangan.
c. Ajaran Tentang Organisasi Politik
Aristoteles mengemukakan pembagian fungsi pemerintahan kedalam fungsi legislatif, eksekutif, dan judikatif, dengan maksud agar terdapat pengawasan satu sama lain. Ada enam bentuk fundamental daripada negara, yaitu : pemerintahan oleh seseorang disebut 'Monarki' apabila baik dan 'Tyrani' apabila buruk. Pemerintahan oleh sejumlah orang disebut 'Aristokrasi' apabila baik dan 'Oligarkhi' apabila buruk, pemerintahan oleh banyak orang disebut 'Demokrasi' dalam bentuk baik maupun korup.
d. Ajaran Tentang Sosial Development
Aristoteles mengemukakan bahwa monarki adalah merupakan bentuk pemerintahan yang paling tua dan primitif, yang bersumber langsung dari kekuasaan laki-laki dalam keluarga patriarchal. Aristokrasi adalah bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh kaum bangsawan yang memerintah untuk orang banyak. Dalam pikiran Aristoteles sebab-sebab daripada revolusi adalah bersifat psikologis dan karenanya dapat dicegah.
e. Ajaran Tentang Etika Sosial
Aristoteles menyatakan bahwa negara adalah suatu asosiasi yang tidak semata-mata bertujuan untuk menyelenggarakan perlindungan bersama atau mengusahakan kemakmuran komersial. Ada tiga kesejahteraan atau kehidupan individu yang bahagia menurut Aristoteles, yaitu :
5. External goods, or wealth (kekayaan).
6. Good of the body, or health (kesejahteraan).
7. Goods of the soul, or intelligence and character (kecerdasan atau karakter).
Sistem sosial yang baik menurut Aristoteles adalah suatu sistem dimana setiap orang dapat berbuat sebaik-baiknya dan hidup bahagia. Dengan demikian idealisme Aristoteles tentang masyarakat adalah merupakan idealisme seimbang antara kemakmuran material, kesehatan fisik, kecerdasan yang tersebar, dan karakter yang merata.
f. Ajaran Tentang Social Progress
Aristoteles memiliki pengajaran tentang perbaikan sosial, yaitu ajaran tentang bagaimana membangun atau memelihara suatu masyarakat yang ideal yaitu melalui pendidikan.Ada tiga jalan yang dapat membuat manusia menjadi baik dan bijaksana, yaitu : Alam, habit dan akal atau pikiran.
Pendidikan mengandung dua hal, yaitu : 'habituasi' atau apa yang disebut dengan latihan membiasakan diri, dan pendidikan kekuatan-kekuatan rasional, yakni akal atau pikiran. Yang harus diperhatikan di dalam setiap pendidikan adalah meningkatkan karakter atau moral warga negara, karena karakter yang lebih tinggi akan menghasilkan tertib sosial yang tinggi pula.
RINGKASAN
Socrates, Plato dan Aristoteles adalah pemikir-pemikir sosial yang muncul di zamannya yaitu di abad Yunani. Sebagai 'sufi' bagi masyarakat Yunani ketika terjadi krisis besar dimasyarakatnya itu, dimana kebenaran dan keadilan sulit didapat, yang ada hanya ketidakpastian. Khususnya krisis terbesar ketika negara kecil Sparta mengalahkan Athena yang begitu kuat sehingga membuat shock masyarakatnya. Persoalan yang dialami masyarakat Yunani yang serba dalam ketidakjelasan dan ketidakpastian akhirnya melahirkan filsafat sosial dari Socrates bahwa' kecerdasan sumber keutamaan'. Dengan kecerdasan atau ilmu pengetahuan maka kebajikan akan tercapai sehingga membangun masyarakat pun akan berhasil baik. Metode berfikir dan filsafat sosial Socrates selanjutnya dikembangkan oleh muridnya yaitu Plato yang terkenal dengan ajaran 'idealismenya'. Dengan menguraikan sketsa masyarakat idealnya yang merupakan pengembangan sifat-sifat manusia dalam buku 'The Republic'nya. Plato adalah pencipta pertama ide tentang komunisme. Aristoteles sebagai murid Plato ternyata mampu mengembangkan arah pikirannya sendiri berbeda dengan gurunya. Dengan membangun teori di atas landasan fakta-fakta meskipun masih spekulatif, serta metode berfikir induktif berbeda dengan teori Plato/Socrates yang dibangun berdasarkan dunia idea saja serta bersifat deduktif. Filsafat sosial Aristoteles yang terkenal adalah bahwa manusia menurut kodratnya adalah mahluk sosial (man is naturally a political animal) atau "Zoon politicon". Oleh karena itu, Aristoteles di pandang sebagai pelopor dalam ilmu-ilmu pengetahuan sosial. Meskipun demikian, baik Aristoteles maupun Plato dan Socrates sebagai filsuf besar yang namanya menembus zaman sekalipun, tetap juga tidak luput dari berbagai kesalahan sebagaimana lazimnya kehidupan dunia ilmu pengetahuan.
LATIHAN
1. Jelaskan kritik sosial yang diberikan pada filsafat sosial Socrates!
2. Jelaskan perbedaan metode berfikir antara Plato dengan Aristoteles !
3. Coba jelaskan kembali menurut anda tentang "zoon politicon" yang dikemukakan oleh Aristoteles !
4. Jelaskan 6 persamaan antara ide komunisme Plato dengan komunisme Rusia!
5. Mengapa sekolah yang didirikan oleh Aristoteles lebih dikenal dengan nama Parepatetic school !
TUGAS
Buatlah makalah yang berisikan rangkuman kritik-kritik yang diberikan oleh para ahli terhadap metode berfikir maupun filsafat sosial dari Socrates, Plato dan Aristoteles, berdasarkan sumber rujukan yang diberikan dan yang anda ketahui. Selanjutnya akan didiskusikan di kelas!
DAFTAR PUSTAKA
Bouman, P.J., 1956. Ilmu Masyarakat Umum. Terjemahan Sujono. Cetakan ke delapan. Yayasan Pembangunan. Jakarta.
De Haan, J. Bierens, 1953. Sosiologi Perkembangan dan Metode. Terjemahan Adnan Syamni. Yayasan Pembangunan. Jakrta.
Johnson, D.P., 1994. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Gramedia. Jakarta.
M. Siahaan, Hotman. 1986.Pengantar Ke Arah Sejarah dan Teori Sosilogi. Erlangga. Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Radjawali. Jakarta
.-----------------------, 1985. Pengantar Konsep dan Teori Sosiologis. Unila Press. Lampung
BAB III
PERIODE TRANSISI DARI PEMIKIRAN FILSAFAT KE PEMIKIRAN ILMU PENGETAHUAN
PENDAHULUAN
Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
Pokok bahasan pada bab ini menguraikan pemikiran sosial para tokoh masa transisi dari periode filsafat ke ilmu pengetahuan yang ditandai besarnya kekuasaan gereja dalam kehidupan kemasyarakatan dengan salah satu pelopornya adalah Thomas van Aquinas. Bab ini juga menguraikan pemikiran para tokoh sosial masa revolusi industri dan Renaissance dengan tokohnya F. Bacon, Niccolo Machiavelli, Thomas Hobbes, John Lock dan Vico.
Setelah mempelajari uraian pokok bahasan tadi, mahasiswa diharapkan mampu :
menjelaskan pemikiran sosial tokoh masa transisi abad pertengahan yang dikenal dengan sebutan abad Scholastik yang salah satu tokohnya yaitu Thomas Van Aquinas.
menjelaskan pemikiran sosial tokoh-tokoh masa revolusi industri dan Renaissance yaitu F. Bacon, N. Machiavelli, Thomas Hobbes, J.Locke dan Vico.
A. Campur Tangan Lembaga Agama dalam Urusan Pemerintahan
Dalam perkembangan teori-teori selanjutnya periode akhir Yunani tidak begitu besar peranannya dalam pemikiran teori sosial, dibandingkan dengan periode abad pertengahan atau apa yang dikenal dengan abad Scholastik.
Pada abad Scholastik pertumbuhan sosial terasa tersendat-sendat karena besarnya kekuasaan gereja dalam kehidupan kemasyarakatan. Abad ini adalah suatu abad di mana agama kristen berkembang pesat, di mana bapak-bapak gereja tidak saja di lapangan kebudayaan, melainkan juga di lapangan politik. Bahkan di sebut abad Scholastik adalah karena pemikiran filsafat pada masa itu menyusun ajaran gereja dalam suatu sistem ilmiah. Pengaruh Aristoteles sangat besar dalam periode ini, terutama pada pemikiran tokoh Sholastik, Thomas Van Aquinas.
Thomas Van Aquinas
a. Riwayat Hidup
Thomas Van Aquinas dilahirkan di daerah Napoli pada tahun 1225. Dia berasal dari keturunan bangsawan dan mengenyam pendidikan di universitas Napoli. Aquinas belajar filsafat di University of Cologne, kemudian pada tahun 1245 Ia melanjutkan pendidikannya di University of Paris. Seusai studi, Aquinas kemudian menjadi maha guru di universitas tersebut. Aquinas memperoleh gelar kehormatan dengan sebutan 'Doctor Angelicus' oleh mahasiswanya. Di antara tulisan-tulisannya yang paling terkenal yaitu 'a Commentary on Aristotle' dan juga 'Summa Theologica'. Aquinas meninggal pada tahun 1247.
b. Metode Berpikir
Aquinas membedakan dua sumber kebenaran yaitu "Wahyu" dan "Akal". Dengan wahyu dimaksudkan adalah yang bersumber dari Al-Kitab dan tradisis-tradisi Gereja. Metode berpikirnya menunjukkan bagaimana dia berusaha untuk menyelaraskan kedua sumber pengetahuan tersebut, sekalipun dia lebih menitik beratkan kepada sumber wahyu. Menggunakan akal pikiran secara benar dan menginterpretasikan ajaran Aristoteles secara benar, akan membawa kepada kesimpulan yang sama sebagai mana diberikan oleh wahyu sebagai sumber pengetahuan, kata Aquinas.
c. Filsafat Sosial Aquinas
Asal mula negara karena adanya kebutuhan sosial. Aquinas menambahkan bahwa wewenang (authority) negara, tidak hanya bersifat natural, tetapi juga bersumber dari Tuhan.
Hukum menurut Aquinas dibagi dalam 4 bagian, yakni:
1. Eternal Law (hukum abadi)
adalah hukum yang keseluruhannya berakar dalam jiwa Tuhan.
2. Natural Law (hukum alam)
sekedar manusia sebagai makhluk yang berpikir yang menjadi bagian daripadanya.
3. Human Law (hukum manusia atau hukum positif)
merupakan pelaksanaan dari hukum alam berhubung dengan syarat-syarat khusus
yang diperlukan oleh keadaan di dunia.
4. Divine Law (hukum Tuhan)
mengisi kekurangan-kekurangan dari pikiran manusia dan membimbing dengan
wahyu-wahyu Nya kearah alam baka, dengan cara yang tak mungkin salah.
Wahyu merupakan sumber utama dari hukum ini dan tugas gereja untuk
menginterprestasikan wahyu ini. Keadilan merupakan penerapan teologi.
B. Pengaruh Revolusi Industri Terhadap Perkembangan Pemikiran Sosial
Abad pertengahan sekalipun mendapat perhatian besar secara historis dan sosiologis, tetapi tidak memiliki hasil pikiran yang orisinil. Abad yang kemudian menjelang sesudah abad pertengahan ini adalah abad rasional serta empiris yang percaya pada kemajuan dan kekuasaan akal. Yang kemudian menjadi abad yang meletakkan dasar ke arah nasib ilmu pengetahuan selanjutnya Abad ini adalah abad Aufklarungyang berkembang di Ingris dan Perancis akhir abad ke 18 dengan tokoh-tokoh diantaranya F. Bacon, N.Machiavelli, Thomas Hobbes, John Locke dan Giambattista Vico.
1. Francis Bacon
Empirisme yang menjadi metode berfikir utama di dalam awal pertumbuhan modern di abad Renaissance sebenarnya bermula di tanah Inggris. Negara ini terkenal sebagai pemula pemikiran baru itu melalui tokoh yang bernama Francis Bacon (1561-1628), seorang pemikir yang gelisah. Tokoh ini berasal dari Verulam. Ungkapan yang sangat terkenal dari orang ini adalah bahwa bagi dia, tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk menguasai alam, pengetahuan adalah kekuasaan, katanya kita dapat menguasai alam jika kita mengetahui undang-undang yang mengatur perkembangan alam. Dan usaha ini hanya bisa berhasil melalui pengamatan-pengamatan yang sistematis. Metode berfikir yamg paling tepat untuk pengamatan ini adalah melalui metode berfikir induktif.
2. Niccolo Machiavelli
Machiavelli dilahirkan di Florence pada tahun 1469 dan wafat tahun 1527. Machiavelli adalah seorang realis yang menganjurkan politik kekuasaan praktis dengan tidak memakai dasar-dasar kesusilaaan atau alam metafisika. Machiavelli dapat disebut sebagai wakil dari paham baru yaitu paham Negara kebangsaan, dan pemahaman pemisahan gereja dengan Negara, di mana di dalam paham ini terjelma suatu kecondongan alam pikiran yang hendak memisahkan antara alam rohaniah dengan alam pikiran duniawi. Dalam tulisan yang terkenal "The Prince" Machiavelli mengatakan bahwa negara, setelah bebas dari kekuasaan gereja, hendaklah berakar pada rakyat bangsa, pada kesadaran kebangsaan.
Menurut Machiavelli tujuan dari Negara adalah untuk memperoleh kekuasaan, tidak perduli bagaimana caranya dapat memperoleh kekuasaan tersebur, apakah akan melanggar moral atau tidak. Politik tidak perlu dihubungkan dengan moral.
Machiavelli mengemukakan 5 cara bagi negara untuk memperbesar kekuasaan :
1. Meningkatkan jumlah penduduk. Besarnya jumlah penduduk adalah merupakan
sumber kekuasaan. Untuk meningkatkan jumlah penduduk dapat dilakukan melalui
peningkatan kelahiran.
2. Memperluas perdagangan dan komersialisasi.
3. Mengadakan perjanjian atau persekuutuan yang menguntungkan dengan negara lain.
4. Membangun tentara yang kuat (termasuk tentara sewaaan)
5. Diplomasi. Menurut Machiavelli Negara harus pandai melalukan diplomasi. Sebab
suatu diplomasi apabila dilakukan secara berhasil, akan merupakan kekuatan yang
lebih besar dari kekuatuan tentara.
Dengan metode yang diajarkan oleh Machiavelli ini, maka dia dapat disebut sebagai bapak dari militerisme modern, dan merupakan orang yang pertama kali sekali mengajarkan pentingnya suatu ekspansi politik perdagangan dan politik imperialisme perdagangan. Dan lebih dari semua itu, Machiavellli adalah perumus dari politik amoral, terutama dalam usaha memperoleh kekuasaan. Sebab menurutnya, barang siapa mempunyai kekuasaan akan mempunyai hukum dan barang siapa yang tidak mempunyai kekuasaan dia tidak akan pernah mempunyai hukum.
3. Thomas Hobbes
a. Riwayat Hidup
Lahir pada tahun 1588 dan meninggal pada tahun 1679. Ia merupakan anak seorang pendeta gereja Inggris yang mendapat pendidikan dari perguruan Magdalena dan kemudian di Oxford, kemudian menjadi seorang Kepala Sekolah Gereja.
b. Metode Berpikir
Metode berpikir yang dikembangkan oleh Hobbes sebenarnya terbatas pada prinsip-prinsip hukum alam dan matematika. Cara berpikir sarjana ini adalah bersifat materialistic dan mekanistik. Teorinya yang bersifat egoistic itu terkenal dengan ungkapan "Belium Omnium Comtra Omnes" artinya ; perang antara semua melawan semua. Manusia menurut Hobbes pada dasarnya hidup dalam keadaan soliter, miskin, jahat brutal dan keji.
Tiga faktor yang mengakibatkan terjadinya pergulatan yang terus-menerus antara manusia, yaitu:
Persaingan diantara manusia untuk memuaskan nafsu-nafsunya.
Ketakutan dari tiap orang terhadap orang lain
Kerinduan manusia yang bersifat alamiah untuk memperoleh pujian serta rasa kekaguman sebagai makhluk yang lebih superior dibandingkan dengan makhluk yang lain, atau kecintaan manusia untuk memperoleh keagungan.
Demikianlah, Hobbes menganggap egoisme manusialah yang mendorong manusia untuk mempertahankan serta memperbaiki hidupnya.
c. Filsafat Sosial Hobbes
Masyarakat menurut Hobbes terbentuk dari adanya perjanjian diantara menusia, sedangkan negara terbentuk diatas perjanjian diantara kekuasaan dan ketaatan. Manusia menyerahkan segenap kekuasaan dan hak nya kepada negara dan negara kemudian menjadi Leviathan yang berkuasa mutlak, dan tidak dapat di bagi-bagi kepada seseorang atau kepada suatu perwakilan. Kekuasaan haruslah ditangan satu orang, dan kekuasaannya meliputi seluruh lapangan hidup.
Hobbes adalah orang pertama yang menganjurkan sesuatu sistem pemerintahan negara yang totaliter. Apabila negara bersifat monarki, maka kekuasaan raja adalah bersifat suci, sedangkan bila kedaulatan negara tersebut bersifat demokrasi, maka suara rakyat adalah suara Tuhan.
Hobbes memandang bahwa kehidupan sosial dan kehidupan politik bersifat statis dan tidak memperhitungkan faktor histories, serta tidak memiliki ajaran tentang perkembangan dan kemajuan sosial. Di atas semua itu, Hobbes tidak memberi tempat mengenai pentingnya etika dalam pemikirannya tentang kehidupan politik dan kehidupan masyarakat, padahal ajaran tentang etika merupakan ide dasar dari ilmu pengetahuan sosial.
4. Giambattista Vico
a. Riwayat Hidup
Dilahirkan tahun 1668 dan meninggal tahun 1744. Ia berasal dari keluarga sangat miskin di Napoli. Teorinya yang sangat terkenal yakni mengenai perkembangan masyarakat. Vico menulis buku berjudul "The Principle of A New Science" pada tahun 1725, sebuah buku tentang filsafat sejarah dan memuat teori tentang perkembangan sosial.
b. Filsafat Sosial
Vico memandang manusia sebagai makhluk sosial. Ia juga menyetujui pendapat bahwa rasa takut yang melingkupi diri manusialah yang kemudian melahirkan agama, kemudian agama melahirkan kebajikan serta ajaran-ajaran moral.
Teorinya mengatakan bahwa sejarah perkembangan umat manusia pada dasarnya adalah sama, dari masa lalu maupun masa yang kemudian. Perkembangan sosial itu dimulai dari keadaan manusia yang bersifat biadab menuju kepada keadaan manusia yang menganut agama kemudian perkembangan manusia yang menganut ajaran-ajaran moral, lalu masyarakat yang memiliki hukum, masyarakat bernegara, lalu masyarakat menjadi terorganisir
c. Ajaran Perkembangan Sosial
Ada tiga tahap perkembangan sosial/kemasyarakatan, yaitu :
1. The age of gods
Masa ini adalah suatu masa didalam kehidupan sosial yang mulai mengenal tentang Tuhan atau berbagai Tuhan. Rasa takut menciptakan suatu dunia mengenai adanya Tuhan. Masa ini disebut sebagai masa mitologis. Bentuk pemerintahan didalam masa ini adalah Theokratis. Vico berusaha untuk menunjukkan bahwa bentuk pemerintahan yang mula-mula sekali adalah pemerintahan yang didominasi oleh kelas rohaniawan, karena itu bersifat theokratis.
2. The age of heros, or of demigods, or of great men apotheosized
Masa ini ditandai oleh berkembangnya kepala-kepala keluarga yang bersifat patrialchal menjadi pemimpin atau penguasa masyarakat. Abad kepahlawanan ini adalah abad dimana sisa-sisa kebiadaban manusia masih terasa. Kepala keluarga tersebut kemudian bersama-sama membentuk pemerintahan di dalam masyarakat yang lebih luas. Bentuk pemerintahan ini bersifat aristokratis.
Tahap kedua ini juga ditandai oleh perkembangan perbudakan , sekalipun didalam masa ini ada juga budak yang mampu membebaskan diri dan mempertahankan hak-hak mereka didalam pertarungan antara kaum bangsawan dan rakyat jelata.
3. the age of men
Masa ini adalah masa dimana manusia sudah mulai menemukan dirinya. Bahasa juga sudah mulai berkembang ke dalam wujud tulisan. Hak-hak sipil dan politik mulai diperluas, bentuk pemerintahannya demokrasi dan monarki. Agama juga mulai memanusiawi dan tujuannya diarahkan kepada pengembangan moral. Vico menyebut masa ini sebagai masa pemerintahan bebas atau pemerintahan Republik. Selanjutnya Vico menambahkan bahwa masa ini mengandung pula benih-benih keruntuhan. Agama telah dipengaruhi oleh pemikiran yang bersifat skeptis. Masyarakat telah dikorupsi oleh kemewahan sehingga muncul pertentangan antara golongan kaya dan golongan miskin. Sementara itu pemerintahan telah menjurus menjadi korup. Keadaan yang demikian ini akan ditaklukkan oleh dua kekuatan, yaitu musuh yang datang dari luar atau tenggelam kedalam bentuknya yang barbar.
5. John Locke
a. Riwayat Hidup
Dilahirkan pada tahun 1632 dan meninggal tahun 1704. Ia memperoleh pendidikan di Gereja Kristen, Oxford, dan pernah menjadi anggota Gereja Inggris pada masa restorasi. Locke seorang penganut aliran Liberal di dalam bidang politik dan agama. Seorang yang sangat mempertahankan kebebasan individual. Pada dasarnya ia adalah seorang pemikir metafisis. Dia sangat menaruh perhatian yang sangat besar terhadap masalah-masalah filsafat yang meliputi teori-teori ilmu pengetahuan, sebagai mana terbukti dari tulisannya yang terkenal "Essay Concerning Human Understanding".
b. Filsafat Sosial Locke
Locke dapat dipandang sebagai salah satu pemuka di dalam menggunakan metode psikologi didalam ilmu sosial. Dasar ajaran filsafat sosial mengemukakan bahwa semua pengetahuan manusia diperoleh melalui pengamatan serta pemahaman terhadap kenyataan-kenyataan. Secara umum Locke menganut metode berfikir induktif, sekalipun ia juga menganut metode deduktif.
Manusia menurut Locke adalah makhluk sosial yang mendambakan perdamaian, kemauan baik dan tolong-menolong. Locke mengemukakan adanya hak-hak alamiah yang dimiliki manusia, yaitu hak untuk hidup, kemerdekaan, dan hak milik pribadi.
Pemerintah dibentuk adalah untuk melindungi hak-hak yang bersifat alamiah ini. Negara diperlukan karena kelemahan dan kejahatan kebanyakan orang. "Negara diciptakan karena adanya perjanjian sosial diantara rakyat." Tujuan dari negara adalah melindungi hak milik, hak hidup, serta kebebasan yang merupakan hak azasi manusia.
Locke adalah ahli pikir yang terkenal dengan kekuasaan membuat undang-undang dengan yang menjalankan undang-undang. Apabila undang-undang dipegang oleh masyarakat seluruhnya sedangkan pemerintah menjalankannya, maka negara itu dalah negara yang bersifat demokrasi. Apabila kekuasaan perundang-undangan diserahkan kepada satu orang atau beberapa orang, maka ia disebut dengan monarki atau aristokrasi. Demikianlah uraian tentang J. Locke yang buah pikirannya menandai abadAufklarung, terutama tentang pentingnya 'kesatuan' di dalam membentuk negara dan 'pembatasan kekuasaan pemerintahan'. Ajaran Locke ini sangat berakar di Amerika.
RINGKASAN
Abad pertengahan adalah abad di mana kekuasan gereja di bawah Paus mempunyai wewenang besar terhadap kebudayaan dan politik Tumbuhnya kekuasaan gereja itu ditopang oleh ahli-ahli pikir yang berlatar belakang gereja dengan pemikiran yang tidak orisinil. Thomas Aquinas misalnya, hanya berusaha untuk memadukan filsafat sosial Aristoteles dengan filsafat Kristen. Abad yang kemudian menjelang sesudah abad pertengahan adalah abad Aufklarung yang berkembang di akhir abad ke 18 yang muncul pada masa revolusi di Inggris dan Perancis. Abad Aufklarung adalah abad permulaan dari pikiran yang bersifat positivistis, yang percaya pada kemajuan dan kekuasan akal. Dan pemikiran-pemikiran mereka mempunyai kaitan langsung terhadap sosiologi dalam pertumbuhannya sebagai ilmu yang langsung bertumpu pada persoalan-persoalan kemasyarakatan. F. Bacon, Machiavelli, Thomas Hobbes, J. Locke serta G. Vico adalah tokoh-tokoh yang lahir pada abad itu.
LATIHAN
1. Bagaimakah Francis Bacon memandang pengetahuan dan metode apa yang digunakannya ?
2. Bagaimanakah pendapat Hobbes mengenai terbentuknya suatu masyarakat dan negara ?
3. Jelaskan kaitan antara wewenang (authority) negara dengan agama menurut Aquinas ?
4. Jelaskan teori tentang perkembangan sosial yang dikemukakan oleh Vico ?
5. Jelaskan teori tentang asal mula masyarakat dan negara yang dikemukakan oleh John Locke ?
6. Sebutkan faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya pergulatan di antara manusia menurut Hobbes ?
TUGAS
Buatlah makalah tentang berbagai persoalan ekonomi, sosial, maupun politik yang terjadi di masyarakat kita dengan menggunakan konsep pemikiran dari Nicccolo Machiavelli!
DAFTAR PUSTAKA
De Haan, J. Bierens. 1953. Sosiologi Perkembangan dan Metode. Terjemahan Adnan Syamni. Yayasan Pembangunan.Jakarta.
Laeyendecker,L., 1994. Tata, Perubahan dan Ketimpangan. Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi. Gramedia. Jakarta.
M. Siahaan, Hotman, 1986. Pengantar Ke Arah Sejarah Dan Teori Sosiologi. Erlangga. Jakarta.
BAB IV
LAHIRNYA SOSIOLOGI SEBAGAI SUATU ILMU PENGETAHUAN
PENDAHULUAN
Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
Uraian utama pada bab empat ini adalah menjelaskan sumbangan pemikiran sosial yang berguna bagi lahirnya sosiologi sebagai ilmu pengetahuan. Sumbangan pemikiran itu khususnya dari tokoh Saint Simon, Auguste Compte dan Herbert Spencer. Ke tiga tokoh ini akan diuraikan secara jelas mulai dari riwayat hidup hingga sumbangan pemikiran mereka yang begitu berarti dan berperan dalam melahirkan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan.
Setelah mempelajari bab ini mahasiswa diharapkan mampu :
1. menjelaskan riwayat hidup dan sumbangan pemikiran Saint Simon terhadap
sosiologi.
2. menjelaskan riwayat hidup dan sumbangan pemikiran A. Compte terhadap sosiologi.
3. menjelaskan riwayat hidup dan sumbangan pemikiran H. Spencer terhadap sosiologi.
A. Saint Simon
1. Riwayat Hidup
Saint Simon dilahirkan dari keluarga bangsawan pada tahun 1760. Simon adalah seorang amatir dan avontunis di bidang ilmu pengetahuan. Selain itu, beliau juga seorang ahli tehnik matematik sekaligus seorang pemikir agama.
Buku-buku karyanya antara lain:
An Introductie on to the Scientific Work of the Nineteenth Century (1808)
Memoir upon the Science of Man (1813)
Treatise on Universal Gravitation (1814)
Monograph yang berjudul The Reconstruction of European Society (1816)
Industry (1817)
New Cristiany (1825)
2. Sumbangan Pemikiran Terhadap Sosiologi
Saint Simon berusaha untuk menggunakan metoda ilmu alam di dalam mempelajari masyarakat. Simon juga menyatakan bahwa dalam mempelajari masyarakat harus secara menyeluruh, sebab semua gejala sosial adalah saling berhubungan satu sama lain, dan oleh sebab itu pula sejarah perkembangan masyarakat sebenarnya menunjukan suatu kesamaan.
Menurut Simon, semua ilmu pengetahuan haruslah bersifat positif yang dicapai melalui metoda-metoda pengamatan, eksperimentasi dan generalisasi sebagaimana yang digunakan dalam ilmu alam.
a. Ajaran tentang Perkembangan Sosial
Saint Simon menggunakan 2 prinsip untuk menerangkan perkembangan sosial :
1. Adanya perkembangan yang terus menerus dan meluas dari masyarakat
2. Hukum tentang kemajuan pengetahuan manusia
Menurut Simon, dua prinsip tersebut yang mampu merubah masyarakat. Simon mengatakan bahwa adanya kesejajaran (paralelisme) antara perkembangan individu dengan masyarakat yang kemudian diterangkannya dalam dua cara berfikir manusia, yaitu:
Cara berfikir Sintesis
Cara berfikir Analisis
Masyarakat yang berpola pikir sintesis akan bersifat konstruktif atau organis, dan pada masyarakat yang berfikir analisis akan membawa pemikiran yang kritis. Simon mengambil contoh masyarakat periode kritis adalah pada masa Yunani sampai kelahiran Socrates, kemudian masa reformasi Eropa pada abad pertengahan sampai terjadinya Revolusi Perancis yang merupakan awal dari periode konstruktif atau organis.
Saint Simon mengatakan bahwa bentuk pengetahuan manusia berkembang mulai dari tingkatannya yang spekulatif atau theologies menuju tingkatannya yang semakin konkrit, atau bersifat positif atau ilmiah. Ini berarti bahwa kita harus memandang masyarakat secara keseluruhan yang berkembang dari tingkatannya yang berdasarkan pemikiran yang spekulatif atau theologies, menuju masyarakat yang diorganisir berdasarkan pemikiran yang bersifat positif atau ilmiah.
b. Ajaran tentang Organisasi Politik
Simon mengemukakan tiga bentuk lembaga perundang-undangan yaitu:
Invitation, yang bertugas untuk merumuskan hukum-hukum
Examination, yang bertugas menyusun kebijaksanaan
Execution, yang bertugas untuk menetapkan hukum-hukum serta kebijaksanaan tersebut dalam kenyataan sehari-hari
B. Auguste Comte
1. Riwayat Hidup
Auguste Comte lahir di Perancis pada tahun 1798. Comte adalah anak keluarga monarki Katolik yang terdidik dalam lingkungan psikologi dan kedokteran pada Polytechnique. Kemudian, Comte mengajar filsafat positivistic dan mendirikan masyarakat positivis. Dalam tradisi filsafat pencerahan, beliau berpengalaman pada katalis politik Perancis sebagaimana pasca penolakan revolusi, permulaan revolusi industri, dan konflik yang meningkat antara ilmu dan agama.
Buku-buku karyanya antara lain:
A Course of Positive Philosophy (1830-1862)
A General view of Positivism (1848)
Subjective Synthetis (1856)
Comte sangat dikenal sebagai seorang yang telah memberikan nama Sosiologi. Sosiologi baru disebut sebagai ilmu pada abad 19. Dan usaha untuk membangunnya sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri barulah pada jaman Auguste Compte. Dalam konteks kemasyarakatan Comte, dapat dipahami bahwa tujuan utama sosiologi nya adalah mengeliminasi konstruksi masyarakat modern secara revolusioner (seperti menghentikan disorganisasi moral). Comte tertarik dengan organisasi masyarakat dalam konteks humanisme positivistik filsafatnya.
2. Sumbangan Pemikiran Terhadap Sosiologi
Sejak melakukan fondasi terhadap masyarakat, gagasan sosiologinya menekan pada tuntunan moral. Comte berupaya mengembangkan "fisika sosial" yang akan melahirkan hukum-hukum sosial dan reorganisasi sosial, sesuai dengan sistem nilai yang dikemukakan oleh Comte yang banyak bernilai dan sebagai hal yang sangat natural.
Dalam hal ini, dikatakan Comte bahwa tugas sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan positif adalah mengkaji dan memahami sistem ini secara menyeluruh untuk memberikan sumbangan bagi pemecahan ilmiah terhadap masalah-masalah sosial.
3. Metodologi Auguste Comte
Menurut Comte, alam semesta diatur oleh hukum-hukum alam yang tak terlihat (invisible natural) sejalan dengan evolusi dan perkembangan alam pikiran atau nilai-nilai sosial yang dominan. Comte menyatakan bahwa proses evolusi ini terjadi melalui tiga tahapan utama yang disebut dengan hukum tentang perkembangan intelegensi manusia (the law of the three stages), yaitu: tahapan theologies atau fiktif, tahapan metafisis atau abstrak, dan tahapan scientifik atau positivistik sebagai proses peradaban dan pengaruh faktor-faktor tertentu, seperti kebosanan, harapan hidup, sifat-sifat populasi, dan lain sebagainya. Dengan adanya ketiga tahapan tersebut, dapat mengubah tatanan naluri yang rendah menuju tatanan yang lebih tinggi yang mengarah pada penekanan yang bersifat intelektual menuju tahapanpositif, yaitu tahapan yang paling ilmiah dan keutuhan moralitas. Dalam setiap tahap perkembangan intelegensi manusia terdapat pula bagian-bagian yang merupakan sub-ordinat.
Tahap tingkatan pemikiran yang bersifat theological atau fictitious dapat dibagi dalam tiga sub ordinat yaitu: fetishism, polytheism, dan monotheism. Fetishism adalah tingkatan pemikiran yang menganggap bahwa semua gejala yang terjadi dan bergerak dibawah pengaruh kekuatan supernatural atau kekuatan gaib. Oleh para ahli agama sebagai perkembangan agama pada tingkat animisme. Proses evolusi manusia berkembang ke tahap Polytheism yaitu tingkatan pemikiran bahwa segala sesuatu yang ada di alam dikendalikan oleh dewa-dewa. Perkembangan selanjutnya ke tingkat pemikiran yang Monotheism yang menganggap hanya ada satu Tuhan yang mengendalikan alam ini.
Tingkat pemikiran manusia kedua adalah the methaphysical or abstract stage yaitu tingkat pemikiran yang menganggap bahwa alam semesta ini segala sesuatunya diatur oleh hukum-hukum alam. Tahap ini adalah tahap transisi manusia untuk sampai ke tahap ketiga dari tingkatan pemikiran manusia yaitu the positive or scientific stage, yaitu suatu tingkatan pemikiran yang menganggap semua gejala alam dengan segala isinya hanya dapat diterangkan serta dipahami melalui kenyataan-kenyataan obyektif/positif. Arti cara berfikir positif adalah suatu cara berfikir bahwa untuk memahami semua gejala alam haruslah melalui pengamatan/observasi terhadap gejala itu sendiri tanpa melihat kekuatan-kekuatan yang abstrak di luar kenyataan itu.
Metode positif ini, mengembangkan penggunaan observasi (penelitian), percobaan (eksperiment), serta perbandingan untuk memahami keseluruhan statistika dan dinamika sosial. Metode-metode tersebut memberikan gambaran terhadap hukum-hukum sosial melalui eksperimentasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, sebagaimana halnya evolusi masyarakat secara umum. Dengan ini, Comte menyebutkan sebagai metodologi yang mengarah pada pengembangan yang lebih luas terhadap model teorinya yang didasarkan organik dan natural, yaitu pada asumsi-asumsi organik dan natural.
4. Tipologi Masyarakat Compte
Auguste Comte membagi masyarakat atas dua bagian utama yaitu model masyarakat statis (sosial statics)yang menggambarkan struktur sosial kelembagaan masyarakat dan prinsip perubahan sosial yang meliputi sifat-sifat sosial (agama seni, keluarga, kekayaan, dan organisasi sosial), dan sifat kemanusian (naluri emosi, perilaku, dan inteligensi). Dan model masyarakat dinamis (sosial dynamics) yang menggambarkan struktur sosial kelembagaan masyarakat dan prinsip perubahan sosial yang terdiri atas hukum-hukum perubahan sosial, dan faktor yang berhubungan dengan tingkat kebosanan masyarakat, usia harapan hidup, perkembangan penduduk, dan tingkat perkembangan intelektual. Comte memandang bagian-bagian ini sebagai suatu kesatuan yang berkembang melalui tiga macam tahapan perkembangan intelektual menuju positivisme. Tipologi Comte ini lebih menggambarkan unsur-unsur pokok dan beberapa proses dalam sistem sosial sehingga dapat mengantisipasi pekerjaan selanjutnya oleh golongan struktur fungsional, bahkan konflik para ahli teori sosiologi.
Dari uraian di atas, kita dapat melihat bahwa pandangan-pandangan Comte itu tidak sederhana dan karya-karyanya yang menggambarkan dasar-dasar, baik bagi sosiologi maupun teori sosiologi, dan mengandung unsur-unsur yang signifikan yang masih relevan dengan masalah-masalah sosiologi yang ada dalam masyarakat modern saat ini. Dengan mengonseptualisasikan masyarakat seperti yang dilakukan Comte, dimana Comte telah meletakan dasar pengembangan sebuah ilmu tentang kemayarakatan. Meskipun sebenarnya Compte tidak pernah menyebut nama sosiologi, sebab semua ajaran sosial tentang apa yang kita sebut dengan sosiologi pada dewasa ini, oleh Compte disebut dengan 'sosial physics'. Namun, sejarah telah menyebut bahwa Auguste Compte adalah pendiri sosiologi.
C. Herbert Spencer
1. Riwayat Hidup
Herbert Spencer adalah seorang bangsawan Inggris yang dilahirkan dari keluarga pembangkang(nonconformist dissenter). Spencer menerima pendidikan klasik dirumahnya dan bekerja sebagai seorang juru gambar, kemudian menjadi editor pada majalah "The Economist". Pandangan Spencer tentang masyarakat tampaknya dipengaruhi oleh Revolusi Industri dan ekspansi ekonomi, dari perspektif teori evolusi Darwin. Teorinya sangat banyak berhubungan dengan tipe evolusi organik, seperti halnya teori Comte tentang pembagian masyarakat menjadi masyarakat statis dan dinamis. Karya-karya utama Spencer antaranya:
1. Sosial Statics (1850)
2. First Principle (1862)
3. The Study of Sociology (1873)
Perhatian utama Spencer adalah melacak atau menemukan proses evolusi sosial melalui masyarakat secara historis dan sosiologis. Dalam penerapan prinsip-prinsip evolusi biologis terhadap masyarakat merupakan sesuatu yang tidak begitu mengejutkan. Dengan demikian, analogi organik yang diterapkan pada masyarakat secara langsung dalam kerangka evolusi. Memahami evolusi organik seperti ini menjadi penting untuk kontrol yang lebih besar terhadap masyarakat yang mengakibatkan korelasi yang lebih dekat antara kebutuhan-kebutuhan individual dan masyarakat. Seperti juga Comte, Spencer juga menjelaskan tentang teori organik, evolusi, dan dasar-dasar teori praktis kemasyarakatan yang didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang tertinggi.
Dalam hal sosiologi, Spencer memandang masyarakat sebagai suatu kesatuan dan perkembangan yang utuh, menggambarkan lebih dari sejumlah bagiannya dan bukunya subjek yang menghilangkan bagian-bagian itu. Hubungan-hubungannya sama dengan hubungan-hubungan fungsional dan menopang dalam organisme biologis. Dalam hal ini, Spencer merupakan seorang pelopor dari paham fungsionalis strukturalis kontemporer.
2. Sumbangan Pemikiran Terhadap Sosiologi
Dalam tradisi Victorian, Spencer memandang bahwa alam semesta berada dalam keadaan yang terus-menerus mengalami evolusi dan perubahan (dissolusion). Spencer menganggap bahwa inilah tugas sosiologi untuk melacak proses-proses ini seperti yang mereka terapkan dalam masyarakat.
Spencer memandang masyarakat sebagai suatu kesatuan yang utuh dan berkembang sesuai dengan hokum-hukum evolusi alam. Sistem organik ini terdiri atas subsistem inner dan outer dan secara terus-menerus berkembang jauh dari tingkat-tingkat baru sebagaimana ia berkembang dari masyarakat primitif menuju masyarakat yang modern dan industri. Tugas utama sosiologi adalah memahami proses-proses ini secara lebih mendalam supaya tercipta sebuah masyarakat yang harmonis.
3. Metodologi Herbert Spencer
Metodologi yang digunakan Spencer hampir sama dengan metodologi Comte, yaitu observasi empirik, metode perbandingan, serta sejarah deduktif dan induktif. Metode-metode ini digunakan untuk menjelaskan atau melacak proses evolusi sosial.
4. Tipologi Masyarakat Spencer
Tipologi utama Spencer adalah pembagian masyarakat menjadi masyarakat statis dan masyarakat dinamis. Spencer menguraikan secara rinci sifat-sifat ideal dua tipe masyarakat tersebut. Spencer menggambarkan masyarakat berdasarkan kepatuhan individu, kekakuan yang tinggi, cara hidup yang teratur, dan ketentuan distribusi penghargaan serta bentuk sentralisasi yang tinggi dari pemerintah. Masyarakat industri dipandang sebagai kondisi yang memungkinkan individu memperoleh status yang lebih tinggi karena lebih sedikitnya peraturan, adanya disentralisasi, dan penghargaan yang menyebar dalam kontrak sosial. Tipe-tipe sosial ini pada dasarnya menggambarkan tingkatan-tingkatan evolusi dari primitif sampai modern.
RINGKASAN
Dari bahasan-bahasan diatas, setelah dikaji kembali ada sejumlah persamaan mendasar antara pemikiran Saint Simon, A. Compte dan H. Spencer yaitu :
Memberikan reaksi terhadap masalah-masalah politik dan ekonomi pada masanya di dalam tradisi pencerahan. Fokus kajian mereka adalah memahami bagaimana hukum-hukum alam berlaku dalam masyarakat sebagaimana yang telah berkembang dalam memberikan dasar-dasar ilmiah bagi kontrol sosial, dan kebahagiaan masyarakat.
Memandang bahwa masyarakat diatur oleh hukum-hukum alam.
Memandang masyarakat sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkembang terus melalui serangkaian tahapan-tahapan menuju masyarakat yang lebih positif dan industri.
Menjelaskan susunan masyarakat yang terdiri dari masyarakat statis dan dinamis serta masyarakat yang sintesis dan analitis.
Menekankan pada observasi empiris dan metode komperatif sebagai metode-metode yang sesuai.
Menggaris bawahi tipe-tipe masyarakat pada tahapan tertentu dari evolusi sebagai tipologi-tipologi dasar mereka.
LATIHAN
Menurut Saint Simon, terdapat adanya kesejajaran antara perkembangan individu dengan masyarakat. Dari pernyataan tersebut, hal apakah yang dapat menjadi penyebab kesejajaran tersebut, serta adakah pengaruh terhadap perkembangan masyarakat di dalamnya?
Menurut Auguste Comte, tipologi yang Comte kemukakan menggambarkan masyarakat yang bagaimana dan jelaskan apa yang dimaksud dengan masyarakat statis dan masyarakat dinamis?
Dalam teori yang dikemukakan oleh Herbert Spencer, apa yang menjadi bahasan utama dalam sosiologi?
Apa yang membedakan teori yang dikemukakan oleh Saint Simon, Auguste Comte, dan Herbert Spencer dalam perspektif sosial masyarakat?
TUGAS
Buatlah rangkuman pemikiran sosiologi dari Saint Simon, A.Compte dan Herbert Spencer, berdasarkan literatur rujukan yang diberikan. Kemudian jelaskan persamaan dan perbedaan dari pemikiran sosiologis ke tiga tokoh tersebut. Selanjutnya akan didiskusikan di kelas!
DAFTAR PUSTAKA
De Haan, J. Bierens, 1953. Sosiologi Perkembangan dan Metode. Terjemahan Adnan Syamni. Yayasan Pembangunan. Jakarta.
Johnson, Paul D, 1994. Teori Sosiologi Klasik dan Modern I. Gramedia. Jakarta
Kinloch, Graham. 2005. Perkembangan Dan Paradigma Utama Teori Sosiologi. Pustaka Setia. Bandung
Laeyendecker, L., 1994. Tata Perubahan dan Ketimpangan. Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi. Gramedia. Jakarta.
M. Siahaan, Hotman. 1986. Pengantar Ke Arah Sejarah Dan Teori Sosiologi. Erlangga. Jakarta
Soekanto, Soerjono, 1986. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali. Jakarta.
Veeger, K.J., 1986. Realitas Sosial. Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Gramedia. Jakarta.
BAB V
SUMBANGAN PEMIKIRAN SOSIOLOGI DARI KARL MARX
PENDAHULUAN
Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
Pokok bahasan yang akan diuraikan pada bab lima ini adalah sumbangan pemikiran dari Karl Marx terhadap ilmu sosiologi. Adapun materi-materi yang akan dibahas adalah sejarah singkat riwayat hidup Karl Marx serta menjelaskan pemikiran Karl Marx tentang materialisme historis, model-model masyarakat,alinasi, kesadaran kelas dan perubahan sosial.
Setelah mengetahui materi pokok bahasan pada bab lima, mahasiswa diharapkan mampu :
menjelaskan konsep materialisme historisnya Karl Marx.
menjelaskan model-model masyarakat Karl Marx.
menjelaskan konsep alienasi dan membedakan macam-macam alienasi Karl Marx.
menjelaskan perjuangan kelas dan analisa dialektika perubahan sosial Karl Marx.
mengkaji fenomena masyarakat saat ini dengan menggunakan teori Karl Marx
A. Riwayat Hidup Marx
Jika secara spontan orang ditanya tentang Karl Marx, biasanya jawaban yang muncul akan berkisar pada Marx sebagai seorang kakek tua berjenggot dengan wajah angker yang ide-idenya perlu dicurigai dan dihindari. Ia akan dipahami sebagai seorang lelaki dari Jerman yang adalah filsuf, ahli ekonomi, dan teoritikus sosial yang mempelopori gagasan mengenai materialisme dialektis dan materialisme historis. Selanjutnya ia akan dipandang sebagai seorang penganjur perjuangan kelas dan revolusi komunis; seorang atheis pejuang gagasan "diktator proletariat" dan "masyarakat tanpa kelas"; atau seorang anti-kapitalis yang membenci kaum borjuis sambil menunjukkan ketakterpisahan antara politik dan ekonomi.
Mengingat adanya kesulitan teknis menemukan sumber-sumber biografis Marx pada masa awal hidupnya, di sini catatan mengenai hal itu akan disampaikan secara sekilas saja. Marx lahir di Trier (kini di Jerman), pada tanggal 5 Mei 1818. Ayahnya Henrich Marx dan ibunya Henrietta berasal dari keluarga rabbi Yahudi. Ayahnya Henrich Marx, adalah seorang pengacara di negara Prusia, ssebelum negara itu pada tahun 1867 menjadi bagian dari konfederasi Jerman.
Usia delapan belas tahun, sesudah memperlajari hukum selam setahun di Universitas Bonn, Marx pindah ke Universitas Berlin. Selama masa studinya di Berlin, Marx amat dipengaruhi oleh filsafat idealisme George Hegel (1770-1831). Di sini ia juga behubungan dan amat dipengaruhi dengan kaum "Hegelian Muda". Mereka ini bermaksud.menerapkan gagasan Hegel guna melawan agama sebagai lembaga yang tak ramah(organized religion) dan pemerintah Prusia yang dirasakan sebagai otoritarian. Pada tahun 1841, di usianya yang ke-23, Marx meriah gelar doktor dalam bidang filsafat. Perjalanan hidupnya setelah itu adalah perjalanan yang penuh kesulitan dan tantangan.
Setelah menyelesaikan disertasi doktornya di Universitas Berlin, Marx menerima tawaran untuk menulis dalam surat kabar borjuis liberal, bernama Rheinishe Zeitung di Cologne. Kemudian ia menjadi pimpinan surat kabar ini walaupun pada akhirnya harus ditutup oleh pemerintah karena dianggap terlalu kritis.
Setelah itu ia pun pindah ke Paris. Di Paris inilah Marx menikah dengan Jenny pada tanggal 19 Juni 1843. Di sini pula ia bertemu dengan Friedrich Engels. Pada tahun 1845 ia dan keluarganya berpindah ke Brussels. Kemudian tahun 1846 Marx bersama teman kerjanya Friedrich Engels (sekaligus teman dekat sampai Marx meninggal) mengikuti Communist League suatu organisasi revolusioner yang bermarkas di London.
Dua tahun kemudian (1848) dia diusir karena pemerintah Belgia takut bahwa Marx akan mendorong revolusi di situ. Marx pun kembali ke Paris, lalu ke Rhineland, namun di sana ia juga berbenturan dengan penguasa setempat. Akhirnya pada tahun 1849 Marx pindah ke London. Ia tinggal dan berkarya di kota itu sampai meninggalnya, pada tanggal 14 Maret 1883.
B. Alam Berpikir Marx
Sebagai seorang ahli sosial sekaligus filosof yang juga menguasai ilmu ekonomi, Marx dalam melihat masalah kemasyarakatan memiliki pusat perhatian pada tingkat struktur sosial dan bukan pada tingkat kenyataan sosial budaya. Marx dalam hal ini lebih memusatkan perhatiannya pada cara orang menyesuaikan diri dengan lingkungan fisiknya. Dia juga melihat hubungan-hubungan sosial yang muncul dari penyesuaian ini dan tunduknya aspek-aspek kenyataan sosial dan budaya pada asas ekonomi.
Bagi Marx, kunci untuk memahami kenyataan sosial tidak ditemukan dalam ide-ide abstrak, tetapi dalam pabrik-pabrik atau dalam tambang batu bara. Di mana para pekerja menjalankan tugas yang di luar batas kemanusiaan dan berbahaya, untuk menghindarkan diri dari mati kelaparan dan berbagai penderitaan kaum buruh, inilah kenyataan sosial. Kenyataan sosial bukan impian naif dan idealistik yang dibuat oleh ilmu pengetahuan, teknologi dan pertumbuhan industri untuk meningkatkan kerjasama dan meningkatkan kesejahteraan dalam bidang materil semua orang.
Karl Marx dalam pemikiran filosofisnya banyak dipengaruhi oleh George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) dan Ludwig Feurbach (1804-1872), keduanya filsuf Jerman. Kalau Hegel dalam pemikirannya lebih bersifat idealistik, Feurbach lebih bersifat materialistik, humanistik dan inderawi. Namun, pada akhirnya pengaruh kedua tokoh ini hanya akan menjadi titik tolak bagi Marx untuk sampai ke pemikiran-pemikirannya sendiri.
Sedikit banyak dalam ingatan orang Marx lebih dikenal sebagai pengikut Hegelian. Marx sendiri menggunakan inti model analisa dialektik Hegel. (lihat gambar).
1.
3. 2.
Penjelasan pengertian dasarnya dalam analisa dialektika berintikan :
Pandangan mengenai pertentangan antara tesis dan antitesis serta titik temu keduanya yang akhirnya akan membentuk sintesa baru; kemudian ini menjadi tesis baru, dan dalam pertentangan dengan tesis baru itu, muncul suatu antitesis baru, dan akhirnya kedua tesis yang saling bertentangan ini tergabung dalam satu sintesa baru yang lebih tinggi tingkatannya.
Meskipun model ini agak abstrak, mungkin dapat digambarkan dalam satu hal yang terdapat dalam tradisi masyarakat kita sendiri dengan adanya pertentangan antara ide-ide yang digunakan untuk membenarkan pelbagai bentuk pelapisan sosial dan ide-ide mengenai persamaan. Namun, sulit untuk membayangkan suatu dilema dasar seperti itu yang dapat dipertemukan sepenuhnya.
Menurut kebanyakan ahli selain alam pikirnya, Marx dalam berkarya dan menelurkan karya-karyanya berpijak pada tiga "sila dasar":
1. Teori Materialisme Historis
Materialisme Historis Marx menjelaskan sejarah dengan memposisikan material manusia sebagai dasar sejarah dan memandang produksi mental, intelektual seseorang dan kehidupan budaya sebagai efeknya.
2. Teori Perjuangan Kelas
Menurut hasil analisa dan pengamatan Antoni Gidden terhadap teori Perjuangan Kelas Marx bahwa di dunia ini di belahan manapun masyarakat terbagi menjadi dua golongan besar, yaitu Golongan Borjuis (pemilik modal) dan Golongan Proletar (kaum buruh, tani).
3. Teori Nilai Lebih
Konsep ini menjelaskan keuntungan kaum kapitalis dan eksloitasi buruh. Marx mendefinisikan nilai lebih sebagai perbedaan antara nilai upah yang diterima buruh dan nilai dari apa yang mereka hasilkan. Artinya, perbedaan antara upah yang harus dibayar kaum kapitalis kepada buruh dan produk hasil kerja kaum buruh yang bisa dijual kaum kapitalis untuk kepentingan kaum kapitalis.
C. Karya-Karya Karl Marx
Berikut adalah beberapa karya Marx semasa hidupnya:
1. Economic and Philosophical Manusript.
Tulisan ini terinspisrasi karena Marx banyak mengenal tulisan-tulisan ahli ekonomi politik seperti Adam Smith dan David Ricardo. Marx dalam hal ini mengambil isu individualisme pendekatan ini dengan mengatakan bahwa deengan individualisme manusia dikesampingkan.
2. The German Ideology
Karya ini merupakan hasil pemikirannya dengan Engles. Karya ini mengenai suatu interpretasi komprehensif tentang perubahan dan perkembangan sejarah sebagai alternatif terhadap interpretasi Hegel mengenai sejarah.
3. The Class Strruggles in France dan The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte.
Kedua esai ini menerapkan metode materialis historisnya Marx dengan berusaha untuk mengungkapkan kondisi-kondisi sosial dan material yang mendasar yang terdapat di bawah permukaan perjuangan-perjuangan ideologis yang dinyatakan hanya dengan kondisi-kondisi sosial dan materil.
4. The Communist Manifesto
Sebuah tulisan yang ditugaskan kepada Marx oleh organisasi Communist League setelah perdebatan antara Marx dan Weikting dalam organisasi itu mengenai waktu yang tepat untuk revolusi proletariat. Dan ini merupakan pernyataan yang akan menjadi program teoretis untuk organisasi itu.
5. Das Kapital
Dalam Das Kapital Marx mengembangkan dan mensistematisasi sebagian besar ide-ide yang sudah diuraikan sebelumnya secaara singkat dari karya-karya sebelumnya
D. Materialisme Historis Marx
Dari karya 'The Comunist Manifesto', dan 'Das Kapital', Marx sangat terkenal dengan dialektika materialis dan dialektika historisnya. Baginya, kekuatan yang mendorong manusia dalam sejarah adalah cara manusia berhubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, yang dalam perjuangannya yang abadi untuk merengut kehidupan dari alam. Tindakan historis yang pertama adalah membina kehidupan material itu sendiri. Keinginan untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum, tempat tinggal serta sandang adalah tujuan manusia yang utama pada awalnya. Namun demikian, perjuangan manusia tidaklah terhenti pada saat kebutuhannya yang paling utama terpenuhi atau tercapai, manusia memang sesungguhnya binatang yang tetap tidak akan terpuaskan. Ketika kebutuhan-kebutuhan pokok telah terpenuhi, pemenuhan kebutuhan itu justru menyebabkan timbulnya kebutuhan-kebutuhan baru, yang mengawali terbentuknya kelas-kelas yang saling bertentangan. Menurut Marx, semua periode sejarah ditandai oleh perjuangan kelas yang berbeda satu sama lain sesuai dengan periode sejarahnya. Meskipun gejala historis merupakan hasil dari saling mempengaruhi antar berbagai komponen, sesungguhnya hanya faktor 'ekonomi' yang merupakan independent variabelnya. Perkembangan politik ,hukum, filsafat, kesusasteraan dan kesenian semuanya bertopang pada faktor ekonomi.
E. Teori Alienasi
Selain teori Perjuangan Kelas dan beberapa hal di atas ada sebuah teori Marx yang menjelaskan dampak dari produktifitas manusia terhadap keterasingan manusia itu sendiri. Teori ini lebih dikenal dengan Teori Alienasi.
Alienasi atau keterasingan merupakan masalah yang menjadi menarik untuk dikaji ketika orang mulai sadar bahwa lama kelamaan barang-barang yang diproduksi manusia makin menjadi otonom, bahkan seakan-akan menguasai manusia. Menurut Marx alienasi ada dan dijumpai orang di mana-mana dalam segala bidang dan dalam semua lembaga di mana manusia memasukinya. Tetapi alienasi yang paling penting adalah alienasi yang dijumpai di tempat orang bekerja, karena manusia menurut Marx adalah'homo faber' artinya manusia sebagai pekerja/pencipta. Alienasi dalam bidang kerja ada empat aspek yaitu :
a. Manusia diasingkan dari produk hasil pekerjaannya.
b. Terasing dari kegiatan produksi.
c. Terasing dari sifat sosialnya sendiri.
d. Terasing dari rekan-rekannya atau masyarakatnya.
Demikianlah, sesungguhnya Marx telah mengemukakan bagaimana manusia teralienasi adalah merupakan manusia yang sebenarnya hidup di dalam dunianya yang tidak terhayati oleh dirinya sendiri.
F. Kesadaran Kelas dan Perjuangan Kelas
Teori kelas dari Marx berdasarkan pemikiran bahwa "sejarah dari segala bentuk masyarakat dari dahulu hingga sekarang adalah sejarah pertikaian antara golongan'. Menurut pandangannya, sejak masyarakat manusia mulai dari bentuknya yang primitif secara relatif tidak berbeda satu sama lain, namun tetap mempunyai perbedaan-perbedaan fundamental antara golongan yang bertikai di dalam mengejar kepentingannya masing-masing. Bagi Marx, dasar dari sistem stratifikasi adalah tergantung dari hubungan kelompok-kelompok manusia terhadap sarana produksi. Yang disebut kelas dalam hal ini adalah suatu kelompok orang-orang yang mempunyai fungsi dan tujuan yang sama dalam organisasi produksi.
Kelas-kelas yang memiliki kesadaran diri, memerlukan sejumlah kondisi tertentu untuk menjamin kelangsungannya, yaitu mereka memerlukan adanya suatu jaringan komukasi ddi antara mereka, pemusatan massa rakyat serta kesadaran akan adanya musuh bersama dan adanya bentuk organsisasi yang rapi. Organisasi ini dapat berupa serikat-serikat buruh atau serikat-serikat kerja lainnya untuk mendesak upah yang lebih tinggi, perbaikan kodisi kerja, dan sebagainya. Akhirnya organisasi kelas buruh ini akan menjadi cukup kuat bagi mereka untuk menghancurkan seluruh struktur sosial kapitalis dan menggantikan dengan struktur sosial yang menghargai kebutuhan dan kepentingan umat manusia seluruhnya yang diwakili oleh kelas proletar.
G. Analisa Dialektika Perubahan Sosial
Cara analisa dialektik merupakan inti model bagaimana konflik kelas mengakibatkan perubahan sosial. Umumnya analisa dialektik meliputi suatu pandangan tentang mansyarakat yang terdiri dari kekuatan-kekuatan yang berlawanan yang sewaktu-sewaktu menjadi seimbang. Dalam pandangan Marx, kontradiksi yang paling penting adalah antara kekuatan-kekuatan produksi materil dan hubungan-hubungan produksi, dan antara kepntingan-kepentingan kelas yang berbeda. Karena kontradiksi inilah, setiap tahap sejarah dalam perkembangan masyarakat dapat dilihat sebagai tahap yang mempersiapkan jalan untuk kehancuran akhirnya sendiri, dengan masing-masing tahap baru yang menolak tahap sebelumnya di mana secara paradoks memasuki awalnya. Namun gerak sejarah yang bersifat dialektik itu tidak terlepas dari kemauan atau usaha manusia. Manusialah yang menciptakan sejarahnya sendiri, meskipun kegiatan kreatifnya ditentukan dan terikat oleh lingkungan materil dan sosial yang ada. Khusus dalam 'The Communist Manifesto', Marx mendesak kaum buruh untuk mempergunakan moment yang tepat dalam sejarah yang ditimbulkan oleh munculnya krisis ekonomi, untuk mengubah masyarakat melalui kegiatan revolusioner mereka sendiri.
RINGKASAN
Adalah suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran Karl Marx dalam perkembangan sosiologi telah memberikan warna baru. Bahkan dalam perkembangannya kelak, sosiologi modern telah menampilkan lagi ajaran-ajarannya yang dikenal dengan Neo Marxian yang mewarnai suatu aliran dalam sosiologi yaitu pendekatan konflik. Juga dapat dicatat secara sosiologis adalah jasa Marx untuk menampilkan pendapatnya bahwa kesadaran manusia dan kesadaran golongan (kelas menurut Marx) senatiasa ditentukan pula oleh keadaan masyarakat di mana kesadaran itu hidup dan berkembang.
Kebesaran Marx tidak terlepas pula dari kesilapan. Dia terlampau menekankan faktor ekonomi sebagai satu-satunya faktor yang paling penting menggerakkan sejarah. Dalam kenyataannya, berbagai faktor lain seperti faktor geografis dan dorongan-dorongan biologis yang inherent dalam diri manusia, lebih dahulu mengemuka dan bekerja dibandingkan dengan faktor ekonomis. Demikian juga faktor-faktor intelegensi, pengalaman, ide-ide religi, tata hukum bahkan seni memberikan aktifitas yang ditujukan kepada apa yang disebut dengan tujuan-tujuan ideal. Sebagaimana banyak kita temukan di dalam kehidupan masyarakat primitif, di mana seluruh aktifitas di lapangan sedemikian itu, merupakan faktor yang lebih dahulu di jalankan sebelum melaksanakan aktifitas ekonomi.
LATIHAN
Jelaskan maksud dari teori perjuangan kelas Karl Marx!
Apa yang dimaksud dengan alienasi, serta sebutkan 4 aspek manusia sebagai homo faberteralinasi dalam pekerjaannya!
Jelaskan maksud konsep pemikiran Marx tentang materialisme historis!
4 Sebutkan dan jelaskan 3 sila dasar menurut para ahli sebagai pijakan Marx dalam
Berkarya!
5. Jelaskan kritik utama yang diberikan terhadap teori Karl Marx!
TUGAS
Carilah serta kumpulkan dari surat-surat kabar atau media massa lainnya, 2 artikel yang menyangkut persoalan-persoalan yang berkaitan dengan dunia kerja, khususnya dalam dunia industri di Indonesia.
Analisakan persoalan-persoalan itu dengan menggunakan teori Karl Marx yang telah kamu pelajari!
DAFTAR PUSTAKA
De Haan, J. Bierens, 1953. Sosiologi Perkembangan dan Metode. Terjemahan Adnan Syamni. Yayasan Pembangunan. Jakarta.
Giddens, Anthony, 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber. UI Press. Jakarta.
Laeyendecker, L., 1994. Tata, Perubahan dan Ketimpangan. Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi. Gramedia. Jakarta.
Lavine, T.Z., 2002.Dari Socrates Ke Sartre: Petualangan Filsafat, Jendela. Yogyakarta
M. Siahaan, Hotman, 1986. Pengantar Ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Erlangga. Jakarta.
P. Johnson, Doyle, 1994. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Dindonesiakan : Robert M.Z. Lawang. Gramedia. Jakarta
Wardaya, Baskara T., 2003. Marx Muda: Marx Muda Berwajah Manusiawi. Buku Baik.Yogyakarta.
Ramli, Andi Muawiyah. 2000. Peta Pemikiran Karl Marx. LKLS. Yogyakarta.
Suseno, Frans Magnis. 2000. Pemikiran Karl Marx. Gramedia. Jakarta.
BAB VI
SUMBANGAN PEMIKIRAN SOSIOLOGI DARI EMILE DURKHEIM
PENDAHULUAN
Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
Pokok bahasan yang akan diuraikan pada bab keenam ini adalah sumbangan pemikiran dari Emile Durkheim. Durkheim dapat dipandang sebagai salah seorang yang meletakkan dasar-dasar sosiologi modern. Durkheim adalah seorang ahli sosiologi yang sangat luas bidang perhatiannya. Ia menulis tentang metode-metode sosiologi, tentang pengetahuan dan sosiologi agama, tentang pembagian kerja dan bunuh diri, tentang pendidikan dan moral, dan tentang sosialisme. Hubungan dengan masalah-masalah sosial selau tampak dalam karyanya.
Durkheim sebagi tokoh klasik utama yang pendekatan teoritisnya menekankan tingkat analisa struktur sosial serta memperhatikan proses sosial yang meningkatkan integrasi dan solidaritas dalam masyarakat. Sosidaritas sosial dan integrasi mungkin dilihat sebagai suatu contoh dari fakta sosial yang berada diluar individu dan tidak dapat dijelaskan menurut karakteristik individu. Untuk memahami tingkat dan tipe solidaritas sosial yang terdapat dalam masyarakat, perlu menganalisa stuktur sosialnya.
Tekanan Durkheim pada tingkat analisa struktur sosial adalah pada analisa mengenai
hasil-hasil tindakan sosial yang obyektif terlepas dari motif-motif subyektif, serta minatnya pada penelitian mengenai dasar-dasar keteraturan sosial, merupakan elemen-elemen utama dalam teori fungsional masa kini.
Setelah mempelajari pokok bahasan di bab enam ini, mahasiswa diharapkan mampu :
menjelaskan fakta sosial, karakteristik dan metode pengamatan fakta sosial Durkheim.
menjelaskan pengertian solidaritas sosial dan membedakan jenis-jenis solidaritas sosial menurut Durkheim.
menjelaskan pengertian kesadaran kolektif Durkheim
menjelaskan teori bunuh diri dan jenis-jenis bunuh diri menurut Durkheim.
menjelaskan pengertian anomi Durkheim
menjelaskan pengertian integrasi masyarakat menurut Durkheim
mengkaji fenomena masyarakat saat ini dengan menggunakan teori Durkheim
A. Riwayat Hidup
Sosiolog besar ini dilahirkan di Epinal di propinsi Lorraine di Perancis Timur pada 15 April 1858 dan meninggal tahun 1917. Durkheim bolehlah disebut sebagai sosiolog Perancis pertama yang sepanjang hidupnya menempuh jenjang ilmu sosiologi yang paling akademis. Dialah yang memperbaiki metode berfikir sosiologi yang tidak hanya berdasarkan pemikiran-pemikiran logika filosofis tetapi sosiologi akan menjadi suatu ilmu pengetahuan yang yang benar katanya apabila mengangkat gejala sosial sebagai fakta-fakta yang dapat diobservasi.Tonggak sejarah yang pentng dicapai ketika Durkheim mendirikan L'Anee Sociologique, jurnal ilmiah pertama untuk sosiologi. Jurnal itu meningkatkan pengertian serta penghargaan terhadap disiplin sosiologi yang mengalami perkembangan pesat.
B. Fakta Sosial Durkheim
1. Pengertian Fakta Sosial
Fakta sosial didefinisikan oleh Durkheim sebagai cara-cara bertindak, berfikir, dan merasa yang ada diluar individu dan yang memiliki daya paksa atas dirinya. Dalam arti lain, yang dimaksudkan adalah pengalaman umum manusia. Pengertian fakta sosial meliputi suatu spectrum gejala-gejala sosial. Yang terdapat bukan saja cara-cara bertindak dan berfikir melainkan juga cara-cara berada, yaitu fakta-fakta sosial morfologis, seperti bentuk permukiman, pola jalan-jalan, pembagian tanah, dan sebagainya.
Fakta sosial menurut Durkheim terdiri atas dua macam :
1. Dalam bentuk material. Yaitu barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap, dan diobservasi. Fakta sosial yang berbentuk material ini adalah bagian dari dunia nyata. Contohnya arsitektur dan norma hukum.
2. Dalam bentuk non material. Yaitu sesuatu yang dianggap nyata. Fakta sosial jenis ini merupakan fenomena yang bersifat inter subjective yang hanya dapat muncul dari dalam kesadaran manusia. Contohnya adalah egoisme, altruisme, dan opini.
2. Karakteristik Fakta Sosial
Bagaimana gejala sosial itu benar-benar dapat dibedakan dari gejala yang benar-benar individual (psikologis) Durkheim mengemukakan dengan tegas tiga karakteristik fakta sosial, yaitu :
1. Gejala sosial bersifat eksternal terhadap individu. Individu sejak awalnya mengkonfrontasikan fakta sosial itu sebagai suatu kenyataan eksternal. Hampir setiap orang sudah mengalami hidup dalam satu situasi sosial yang baru, mungkin sebagai anggota baru dari suatu organisasi, dan pernah merasakan adanya norma serta kebiasaan yang sedang diamati yang tidak ditangkap/ dimengertinya secara penuh. Dalam situasi serupa itu, kebiasaan dan norma ini jelas dilihat sebagai sesuatu yang eksternal.
2. Fakta itu memaksa individu. Individu dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dengan cara tertentu dipengaruhi oleh pelbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya. Seperti Durkheim katakan : Tipe perilaku atau berfikir ini mempunyai kekuatan memaksa yang karenanya kereka memaksa individu terlepas dari kemauan individu itu sendiri. Ini tidak berarti bahwa individu itu harus mengalami paksaan fakta sosial dengan cara yang negatif atau membatasi atau memaksa seseorang untuk berprilaku yang bertentangan dengan kemauannya kalau sosialisasi itu berhasil, sehingga perintahnya akan kelihatan sebagai hal yang biasa, sama sekali tidak bertentangan dengan kemauan individu.
3. Fakta itu bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam suatu masyarakat.
Dengan kata lain, fakta sosial itu merupakan milik bersama bukan sifat individu perorangan. Sifat umumnya ini bukan sekedar hasil dari penjumlahan beberapa fakta individu. Fakta sosial benar-benar bersifat kolektif, dan pengaruhnya terhadap individu merupakan hasil dari sifat kolektifnya ini.
3. Metode Pengamatan Fakta Sosial
Durkheim dalam bukunya yang berjudul "The Rules Of Sosiological Method" memberikan dasar-dasar metodologi dalam sosiologi. Salah satu prinsip dasar yang ditekankan Durkheim adalah bahwa fakta sosial harus dijelaskan dalam hubungannya dengan fakta sosial lainnya. Ini adalah asas pokok yang mutlak. Kemungkinan lain yang besar untuk menjelaskan fakta sosial adalah menghubungkannya dengan gejala individu (seperti kemauan, kesadaran, kepentingan pribadi individu, dan seterusnya) seperti yang dikemukakan oleh ahli ekonomi klasik dan oleh Spencer.
Prinsip dasar yang kedua (dan salah satu yang fundamental dalam fungsionalisme modern) adalah bahwa asal-usul suatu gejala sosial dan fungsi-fungsinya merupakan dua masalah yang terpisah. Seperti ditulis Durkheim "Lalu apabila penjelasan mengenai suatu gejala sosial diberikan kita harus memisahkan sebab yang mengakibatkannya (efficient cause) yang menghasilkan gejala itu, dan fungsi yang dijalankannya. Sesudah menentukan bahwa penjelasan tentang fakta sosial harus dicari di dalam fakta sosial lainnya, Durkheim memberikan strategi tentang perbandingan terkendali sebagai metoda yang paling cocok untuk mengembangkan penjelasan kausal dalam sosiologi.
Metoda perbandingan Durkheim lebih ketat dan terbatas. Pada intinya, metoda perbandingan terkendali itu meliputi klasifikasi silang dari fakta sosial tertentu untuk menentukan sejauh mana mereka berhubungan. Kalau korelasi antara dua himpunan fakta sosial dapat ditunjukkan sebagai valid dalam pelbagai macam keadaan, hal ini memberi satu petunjuk penting bahwa tipe fakta itu mungkin berhubungan secara kausal. Artinya, variasi dalam nilai dari satu tipe variable mungkin merupakan sebab dari variasi dalam nilai variable yang kedua.
C. Solidaritas Sosial Durkheim
Solidaritas menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.
Sumber utama bagi analisa Durkheim mengenai tipe-tipe yang berbeda dalam solidaritas dan sumber struktur sosialnya diperoleh dari bukunya "The Devision Of Labour In Society". Tipe/jenis solidaritas yang dijelaskan Durkheim tersebut yaitu:
a. Solidaritas mekanik.
Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu kesadaran kolektif bersama, yang
menunjuk pada totalitas kepercayaan dan sentimen bersama yang rata-rata ada
pada warga masyarakat yang sama itu. Indikator yang paling jelas untuk
solidaritas mekanik adalah ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum yang
bersifat menekan itu (repressive). Ciri khas yang penting dari solidaritas mekanik
adalah bahwa silidaritas itu didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang
tinggi dalam kepercayaan, sentimen, dan sebagainya. Homogenitas serupa itu
hanya mungkin kalau pembagian kerja bersifat sangat minim.
b. Solidaritas organik.
Solidaritas organik didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi.
Saling ketergantungan itu bertambah sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi
dalam pembagian pekerjaan, yang memungkinkan dan juga menggairahkan
bertambahnya perbedaan dikalangan individu. Durkheim mempertahankan bahwa
kuatnya solidaritas organik itu ditandai oleh pentingnya hukum yang bersifat
memulihkan dari pada yang bersifat represif. Dalam sistem organik, kemarahan
kolektif yang timbul karena perilaku menyimpang menjadi kecil kemungkinannya,
karena kesadaran koleftif itu tidak begitu kuat.
Selain itu, Durkheim juga membandingkan sifat pokok dari masyarakat yang didasarkan pada solidaritas mekanik dengan sifat masyarakat yang didasarkan pada solidaritas organik.
Perbandingan tersebut yaitu :
Solidaritas Mekanik
Solidaritas Organik
- Pembagian kerja rendah
- Kesadaran kolektif rendah
- Hukum represif dominan
- Individualitas rendah
- Konsensus terhadap pola-pola normatif itu penting
- Peranan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang
- Saling ketergantungan itu rendah
- Bersifat primitif atau pedesaan
- Pembagian kerja tinggi
- Kesadaran kolektif lemah
- Hukum restitutif dominan
- Individualitas tinggi
- Konsensus terhadap nilai abstrak dan umum itu penting
- Badan kontrol sosial yang menghukum orang yang menyimpang
- Saling ketergantungan yang tinggi
- Bersifat industrial-perkotaan
D. Kesadaran Kolektif
Kesadaran kolektif dapat memberikan dasar moral yang tidak bersifat kontraktual yang mendasari hubungan kontraktual. Dalam benak Durkheim, kesadaran kolektif yang mendasar ini diabaikan oleh ahli teori seperti Spencer, yang melihat dasar fundamental dari keteraturan sosial ini dalam hubungan-hubungan yang bersifat kontraktual. Kesadaran kolektif juga ada dalam bentuk yang lebih terbatas dalam pelbagai kelompok khusus dalam masyarakat.
Durkheim juga menekankan pentingnya kesadaran kolektif bersama yang mungkin ada dalam pelbagai kelompok pekerjaan dan profesi. Keserupaan dalam kegiatan dan kepentingan pekerjaan memperlihatkan suatu homogenitas internal yang memungkinkan berkembangnya kebiasaan, kepercayaan, perasaan, dan prinsip moral dan kode etik bersama. Akibatnya, anggota kelompok ini dibimbing dan dipaksa untuk berprilaku sama seperti anggota satu suku bangsa primitif dengan pembagian kerja yang rendah yang dibimbing dan dipaksa oleh kesadaran kolektif yang kuat. Durkheim merasa bahwa solidaritas mekanik dalam pelbagai kelompok pekerjaan dan profesi harus menjadi semakin penting begitu pembagian pekerjaan meluas, sebagi satu alat perantara yang penting antara individu dan masyarakat secara keseluruhannya.
E. Teori Bunuh Diri (Suicide)
Selain konsepsinya tentang solidaritas mekanis organis, Durkheim sangat terkenal dengan studinya tentang kecenderungan orang untuk melakukan bunuh diri. Dalam bukunya yang kedua, Suicidedikemukakan dengan jelas hubungan antara pengaruh integrasi social terhadap kecenderungan untuk melakukan bunuh diri. Durkheim dengan tegas menolak anggapan lama bahwa penyebab bunuh diri yang disebabkan oleh penyakit kejiwaan sebagaimana teori-teori psikologi mengatakannya. Dia juga menolak anggapan Gabriel Tarde bahwa bunuh diri akibat imitasi. Durkheim juga menolak teori yang menghubungkan bunuh diri dengan alkoholisme. Durkheim menolak teori bunuh diri karena kemiskinan, kenyataan orang-orang lapisan atas tingkat bunuh dirinya lebih tinggi dibandingkan orang-orang dari lapisan atas. Dari hasil penelitiannya Negara-negara miskin seperti Italia dan Spanyol justru memiliki angka bunuh diri yang lebih rendah dibandingkan dengan Negara-negara Eropa yang lebih makmur seperti Perancis dan Jerman.
Menurut Durkheim peristiwa-peristiwa bunuh diri sebenarnya kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang karena itu dapat dijadikan sara penelitian dengan menghubungkannya dengan derajat integrasi sosial dari suatu kehidupan masyarakat. Untuk membuktikan teorinya, Durkheim memusatkan perhatiannya pada 3 macam kesatuan sosial yang pokok dalam masyarakat, yaitu kesatuan agama, keluarga dan kesatuan politik.
Dalam kesatuan agama, Durkheim membuat kesimpulan bahwa penganut-penganut agama Protestan mempunyai kecenderungan lebih besar untuk melakukan bunuh diri dibandingkan dengan penganut agama Katholik.Hal ini dikarenakan perbedaan derajat integrasi sosial di antara penganut agama Katolik dengan Protestan. Penganut agama Protestan memperoleh kebebasan yang jauh lebih besar untuk mencari sendiri hakekat ajaran-ajaran kitab suci. Pada agama Katolik tafsir agama lebih ditentukan oleh para pater. Oleh karena itu kepercayaan bersama dari penganut Protestan menjadi berkurang, hingga sekarang ini terdapat banyak gereja (sekte-sekte). Integrasi yang rendah dari penganut agama protestan itulah yang menyebabkan angka laju bunuh diri dari penganut ajaran ini lebih besar dibandingkan dengan penganut ajaran Katolik.
Dalam kesatuan keluarga, Durkheim menunjukkan bahwa angka laju bunuh diri lebih banyak terdapat pada orang-orang yang tidak kawin daripada mereka yang sudah kawin. Kesatuan keluarga yang lebih besar umumnya terintegrasi mengikat anggota-anggotanya untuk saling membantu.
Dalam kesatuan politik, Durkeim menyebutkan bahwa dalam keadaan damai, golongan militer ummunya lebih besar kecenderungan bunuh dirinya dibandingkan golongan masyarakat sipil. Sedangkan dalam suasana perang, golongan militer justru lebih sedikit melakukan bunuh diri bila dibandingkan golongan sipil karena mereka lebih terintegrasi dengan baik (disiplin keras). Dalam situasi perang justru kecenderungan bunuh diri lebih rendah dibandingkan situasi damai. Dalam masa revolusi/pergolakan politik, anggota-anggota masyarakat justru lebih terintgrasi dalam menghadapi musuh-musuhnya.
Durkheim mendefinisikan bunuh diri sebagai setiap kematian yang merupakan akibat langsung atau tidak langsung dari suatu perbuatan positif atau negatif oleh korban itu sendiri, yang mengetahui bahwa perbuatan itu akan berakibat seperti itu. Definisi itu terlampau luas, sebab didalamnya juga termasuk kematian para prajurit yang mengajukan dirinya untuk melaksanakan tugas yang sukar, ataupun kematian seorang ayah yang ingin menyelamatkan anaknya dari arus kencang yang bergolak. Hal ini akan berakibat negatif dalam penalaran seperti yang akan ternyata kemudian.
Durkheim membagi bunuh diri dalam beberapa jenis yaitu :
- Bunuh diri egoistis (egoistic suicide) Yaitu yang merupakan akibat dari kurangnya integrasi dalam kelompok. Misalnya, lebih banyak orang Protestan yang bunuh diri dari pada orang Katolik. Sebab orang Katolik lebih terikat pada komunitas keagamaan sedangkan dalam Protestan terdapat anjuran yang kuat untuk bertanggung jawab secara individual. Kenyataan ini dinyatakan secara tepat sekali di dalam rumusan bahwa seorang Protestan dipaksa untuk bebas.
- Bunuh diri anomi (anomie suicide). Anomi adalah suatu situasi dimana terjadi suatu keadaan tanpa aturan, dimana kesadaran kolektif tidak berfungsi. Jenis bunuh diri ini terjadi dalam waktu krisis dan bukannya krisis ekonomi saja. Bunuh diri ini juga terjadi bilamana sekonyong-konyong terjadi kemajuan yang tidak terduga.
- Altruistic Suicide, adalah bunuh diri karena merasa dirinya menjadi beban masyarakat. Bunuh diri ini sifatnya tidak menuntut hak, sebaliknya memandang bunuh diri itu sebagai suatu kewajiban yang dibebankan oleh masyarakat. Contoh : Harakiri orang jepang.
- Bunuh diri Fatalistik. Merupakan lawan dari bunuh diri anomi, dan yang timbul dari pengaturan kelakuan secara berlebih-lebihan, misalnya dalam rezim yang sangat keras dan otoriter.
]
F. Anomi Durkheim
Anomi adalah suatu situasi di mana terjadi suatu keadaan tanpa aturan, di mana 'colective conciousness(kesadaran kelompok)' tidak berfungsi. Suatu situasi di mana aturan-aturan dalam masyarakat tidak berlaku/berfungsi lagi sehingga orang merasa kehilangan arah dalam kehidupan sosialnya. Contohnya krisis yang sering terjadi di dalam perdagangan dan industri, terhadap spesialisasi yang jauh di dalam ilmu pengetahuan yang merugikan kesatuan dalam ilmu pengetahuan sendiri, terhadap sengketa antara modal dan kerja. Durkheim menamakan situasi ini situasi pembagian kerja anomis.
Sebaliknya, menurut pendapat Comte bahwa disintegrasi itu timbul pada saat pembagian kerja melewati suatu batas kritis. Disintegrasi ini hanya dapat dibendung oleh negara yang harus mengadakan tindakan yang mengatur. Durkheim berpendapat bahwa pandangan ini tidak benar. Aturan-aturan hanya timbul apabila terdapat interaksi yang cukup banyak dan cukup lama, kalau interaksi seperti itu tidak ada, maka terjadi anomi, yaitu sama sekali tidak ada aturan, atau aturan-aturan yang ada tidak sesuai dengan taraf perkembangan pembagian kerja. Karena itu, anomi tidak boleh diberantas dengan mengurangi pembagian kerja, tetapi dengan menghilangkan sebab-sebab anomi itu.
G. Integrasi Masyarakat menurut Durkheim
Didalam karya besarnya yang pertama Durkheim membahas masalah pembagian kerja. Durkheim merumuskan masalahnya : Apakah peningkatan pembagian kerja harus dipandang sebagai kewajiban moral yang tidak boleh dihindari oleh manusia? Ia mencoba merumuskan jawabannya atas dasar suatu analisa obyektif terhadap fakta-fakta. Menurut penglihatannya, fungsi pembagian kerja itu ialah peningkatan solidaritas. Antara kawan-kawan dan didalam keluarga ketidaksamaan menciptakan suatu ikatan : justru karena individu mempunyai kualitas yang berbeda maka terdapatlah ketertiban, keselarasan, dan solidaritas. Karena individu melakukan berbagai kegiatan, maka mereka menjadi tergantung satu sama lain dan karenanya terikat satu sama lain. Karena ketertiban, keselarasan, dan solidaritas merupakan keperluan umum atau syarat-syarat hidup yang merupakan keharusan bagi organisme sosial, maka hipotesa bahwa pembagian kerja adalah syarat hidup bagi masyarakat modern dapat dibenarkan.
RINGKASAN
Durkheim adalah akademisi yang sangat mapan dan berpengaruh. Dia berhasil dalam melembagakan sosiologi sebagai satu disiplin akademi yang sah. Sebelum Durkheim, sosiologi merupakan bidang yang belum jelas perbedaannya dengan filsafat menurut ide-ide teoritisnya, juga tidak jelas perbedaannya dengan sejarah atau psikologi menurut isi dan metoda-metodanya. Pendiriannya mengenai kenyataan gejala sosial yang berbeda dengan gejala individu, analisanya mengenai tipe struktur sosial yang berbeda dan mengenai dasar soilidaritas sosial serta integrasinya yang berbeda-beda. Perhatiannya untuk menelusuri fungsi sosial dari gejala sosial yang terlepas dari maksud dan motivasi yang sadar dari individu, pemecahan sosilogisnya mengenai gejala penyimpangan, bunuh diri dan individualisme, serta studi statistiknya yang cermat mengenai angka bunuh diri sebagai contoh bagaimana menganalisa gejala sosial secara empiris, dalam semua bidang ini Durkeim memberikan sumbangan penting terhadap perkembangan perspektif sosilogi modern. Pengaruhnya mungkin sangat menyolok dalam aliran fungsionalisme sosiologi modern.
LATIHAN
1. Menurut Durkheim fakta sosial terbagi menjadi dua macam. sebutkan dan jelaskan!
2. Durkheim mengemukankan dengan tegas tiga karakteristik fakta sosial. Sebutkan dan jelaskan tiga karakteristik fakta sosial tersebut !
3. Dalam bukunya yang berjudul "The Rules of Sosiological Method", Dukheim menjelaskan metode pengamatan fakta sosial. Dengan cara apa fakta sosial tersebut dijelaskan ?
4. Jelaskan perbedaan antara solidaritas mekanik dengan solidaritas organik !
5. Apa yang dimaksud dengan bunuh diri, dan sebutkan jenis-jenis bunuh diri menurut Durkheim !
TUGAS
Saat ini cukup banyak peristiwa-peristiwa bunuh diri yang terjadi di masyarakat. Cari dan kumpulkan 3 berita tentang bunuh diri yang terdapat di surat kabar atau media massa lainnya!
Berikan analisa anda terhadap persoalan-persoalan bunuh diri tersebut dengan menggunakan teori "Suicidenya" E. Durkheim!
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik dan A.C. Van Der Leeden (Penyunting). 1986. Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
De Haan, J. Bierens, 1953. Sosiologi Perkembangan dan Metode. Terjemahan Adnan
Syamni. Yayasan Pembangunan. Jakarta.
Gidden, Anthony, 1985. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, UI Press. Jakarta.
Johnson, D.P., 1994. Teori Sosiologi Klasik dan Modern I. Gramedia. Jakarta.
Laeyendecker, 1994. Tata Perubahan dan Ketimpangan. Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi. Gramedia. Jakarta.
M. Siahaan, Hotman. 1986. Pengantar Ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Erlangga. Jakarta.
Ritzer, George. 1991. Sosiologi Ilmu Paradigma Ganda, Rajawali. Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 1985. Emile Durkheim. Aturan-Aturan Metode Sosiologis. Seri Pengenalan Sosiologi 2. Rajawali. Jakarta.
Veeger, K.J., 1986. Realitas Sosial. Gramedia. Jakarta.
BAB VII
SUMBANGAN PEMIKIRAN SOSIOLOGI DARI MAX WEBER
PENDAHULUAN
Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
Pokok bahasan pada bab ketujuh ini adalah menguraikan sumbangan pemikiran Max Weber yang berguna bagi pemikiran dan perkembangan ilmu sosiologi. Materi yang akan dijelaskan diantaranya sejarah singkat riwayat hidup Max Weber, konsepsi tindakan sosial dan tipe-tipe tindakan sosial menurut Weber, pengertian verstehende, serta penjelasan etika protestan dan spirit kapitalisme Weber yang cukup menggemparkan dan menjadi bahan pergunjingan yang kontroversial bagi kehidupan ilmiah.
Setelah mempelajari bab ini mahasiswa diharapkan dapat:
1. Menjelaskan pemikiran Max Weber tentang tindakan sosial dan tipe-tipe tindakan
sosial.
2. Menjelaskan pemikiran Max Weber tentang verstehen.
3. Menjelaskan pemikiran Max Weber tentang etika protestan dan spirit kapitalisme.
A.` Riwayat Hidup
Max Weber dilahirkan sebagai anak tertua dari tujuh bersaudara pada 21 April 1864 di Erfurt, Thuringia wilayah Jerman Timur. Weber meninggal pada 14 Juni 1920. Sosiologi lahir dalam konteks latar belakang sosial masyarakat Jerman di mana dia berada, suatu masyarakat yang berada dalam masa transisi yang pesat dan penuh dengan kontradiksi internal. Selagi Weber hidup, Jerman mengalami transisi dari suatu masyarakat yang sangat bersifat agraris ke masyarakat yang sangat bersifat industri dan perkotaan. Transisi ini disertai oleh rasionalisasi yang semakin bertambah dalam semua bidang kehidupan politik dan ekonomi. Seperti Durkheim, Weber juga aktif menerbitkan jurnal ilmu sosial di Jerman yaitu Archiv fur Sozialwissenschaften dan menjadi editornya. Jurnal ini menjadi jurnal sosial yang terkemuka di Jerman. Diantara sekian banyak karyanya yang ditulis, adalah antara lain :
1. Wirtschaft und Gessellschaft (Economy and Society) 1920
2. Gessamelter Aufsatze zur Religionssoziologie (diterjemahkan Ephraim Fischoff dengan judul Sociology of Religion) 1921
3. The Protestan Ethic and The Spiritof Capitalism 1904
4. The Theory of Sosial and Economic Organization (terjemahan Talcott Parsons, 1947)
5. From Max Weber; Essay in Sociology (terjemahan dan diedit H.H. Gerth and c. Wright Mills, 1946)
B. Tindakan Sosial Weber
Max Weber sangat tertarik pada maslah-masalah sosiologis yang luas mengenai struktur sosial dan masyarakat. Oleh karena itu ia mendefinisikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang berusaha memperoleh pemahaman interpretative mengenai tindakan sosial agar dengan demikian bisa sampai ke suatu penjelasan kausal mengenai arah dan akibat-akibatnya.
Atau bisa diartikan sosiologi sebagi ilmu tentang perilaku sosial. Kata " keprilakuan " yang dipakai oleh Weber untuk perbuatan-perbuatan yang bagi si pelaku mempunyai arti subyektif. Dimana si pelaku hendak mencapai suatu tujuan atau didorong motivasi. Artinya, yang menjadi inti dari sosilogi Weber bukanlah bentuk-bentuk substansial dari kehidupan masyarakat maupun nilai obyektif dari tindakan, melainkan semata-mata arti yang nyata dari tindakan perseorangan yang timbul dari alasan-alasan subyektif. Adanya kemungkinan untuk memahami tindakan seseorang inilah yang membedakan sosiologi dari ilmu pengetahuan alam, yang menerangkan peristiwa-peristiwa tetapi tidak memahami perbuatan obyek-obyek.
Kegagalan teoritisasi sosial memperhitungkan arti-arti subyektif individu serta orientasinya, dapat membuatnya memasukkan perspektif dan nilainya sendiri dalam memahami perilaku orang lain. Pelaku individual mengarahkan kelakuannya pada penetapan-penetapan atau harapan-harapan tertentu yang berupa kebiasaan umum atau dituntut dengan tegas atau bahkan dibekukan oleh Undang-Undang.
Adapun beberapa klasifikasi perilaku sosial yang dibedakan menjadi 4 tipe, yakni :
1. .Kelakuan yang diarahkan secara rasional kepada tercapainya suatu tujuan.
2. Kelakuan yang berorientasi kepada suatu nilai, suatu keindahan (nilai estetis),
kemerdekaan(nilai politik), persaudaraan (nilai keagamaan) dan lain-lain.
3. Kelakuan yang menerima orientasinya dari perasaan atau emosi seseorang atau
disebut kelakuan afektif atau emosional.
4. Kelakuan yang menerima arahnya dari tradisi atau tradisional.
Keempat tipe kelakuan tersebut sebagai tipe-tipe murni yang berarti bahwa konstruksi-konstruksi konseptual dari Weber untuk memahami dan menafsirkan realitas empiris yang beraneka ragam.
Tekanan yang diberikan Weber bersama dengan kaum historis Jerman berlawanan dengan strategi idealistik yang hanya menginterpretasi perilaku individu atu perkembangan sejarah suatu masyarakat menurut asumsi-asumsi apriori yang luas. Tekanan yang bersifat empirik ini juga sejalan dengan positifisme, tetapi itu tidak berarti menghilangkan aspek-aspek subyektif dan hanya memperhatikan aspek-aspek obyektif yang nyata.
Tindakan sosial itu harus dimengerti dalam hubungannya dengan arti subyektif yang terkandung di dalamnya, orang perlu mengembangkan suatu metode untuk mengetahui arti subyektif ini secara obyektif dan analistis. Namun bagi Weber, konsep rasionalitas merupakan kunci bagi suatu analisa obyektif mengenai arti-arti subyektif dan juga merupakan dasar perbandingan mengenai jenis-jenis tindakan sosial yang berbeda.
Asumsi yang mendasari adalah pendekatan "obyektif" hanya berhubungan dengan gejala yang dapat diamati (benda fisik/ perilaku nyata), sedangkan pendekatan "subyektif" berusaha untuk memperhatikan juga gejala-gejala yang sukar ditangkap dan tidak dapat diamati seperti , perasaan individu, pikirannya dan motif-motifnya. Cara lain untuk melihat perbedaan antara obyektif dan subyektif dalam hubungannya dengan hal di mana pengalaman subyektif pribadi seseorang dimiliki bersama oleh suatu kelompok sosial.
Weber juga memberikan 4 tipe ideal dari tindakan sosial dalm sosiologinya, yaitu:
a. Rasionalitas instrumental (zweck rationalitat)
Merupakan tindakan sosial yang melandaskan diri kepada pertimbangan-
pertimbangan manusia yang rasional ketika menghadapi lingkungan
eksternalnya.
b. Rasionalitas yang berorientasi nilai (Wert rationalitat)
Merupakan tindakan sosial yang rasional, namun yang menyandarkan diri
kepada suatu nilai-nilai absolut tertentu.
c. Tindakan tradisional
Merupakan tindakan sosial yang didorong dan berorientasi kepada teradisi masa
lampau.
d. Tindakan afektif
Merupakan suatu tindakan sosial yang timbul karena dorongan atau motivasi
yang sifatnya emosional.
Pola perilaku khusus yang sama sesuai dengan kategori-kategori tindakan sosial yang berbeda dalam situasi-situasi yang berbeda, tergantung pada orientasi subyektif dari indifidu yang terlibat. Tindakan sosial dapat dimengerti hanya menurut arti subyektif dan pola-pola motifasional yang berkaitan. Untuk tindakan rasional arti subyektif dapat ditangkap dengan skema alat tujuan (means-ends schema).
C. Verstehende Weber
Aspek pemikiran Weber yang paling terkenal adalah yang mencerminkan tradisi idealis yaitu tekanannya pada verstehen (pemahaman subyektif) sebagai metode untuk memperoleh pemahaman yang paling valid mengenai arti-arti subyektif tindakan sosial atau disebut dengan introspeksi, yaitu memberikan seseorang pemahaman akan motifnya sendiri atau arti-arti subyektif dalam tindakan-tindakan orang lain.
Dengan kata lain verstehende adalah suatu metode pendekatan yang berusaha untuk mengerti makna yang mendasari dan mengitari peristiwa sosial dan historis. Pendekatan ini bertolak dari gagasan bahwa setiap situasi sosial didukung oleh jaringan makna yang dibuat oleh para aktor yang terlibat di dalamnya.
D. Tindakan Sosial dan Struktur Sosial
Tulisan-tulisan Weber secara metodologis menekankan pentingnya arti-arti subyektif dan pola-pola motivasional, karya substansifnya meliputi suatu analisa struktural dan fungsional. Hal ini dapat dilihat tentang stratifikasi yang memiliki 3 dimensi, studinya mengenai dominasi birokratik dan pengaruhnya dalam masyarakat modern. Serta ramalannya yang berhubungan dengan konsekuensi-konsekuensi jangka panjang dari pengaruh etika Protestan.
Struktur sosial dalam perspektif Weber sebagai suatu istilah yang bersifat probabilistic dan bukan sebagai kenyataan empirik yang terlepas dari individu-individu. Suatu keteraturan sosial akan diarahkan ke suatu kepercayaan akan validitas keteraturan itu. Realitas akhir yang menjadi dasar satuan-satuan sosial yang lebih besar adalah tindakan sosial individu dengan arti-arti subyektifnya.
Karena orientasi subyektif individu mencakup kesadaran (tepat atau tidak) akan tindakan yang mungkin dan reaksi yang mungkin dari orang lain, maka probabilitas-probabilitas ini mempunyai pengaruh yang benar-benar terhadap tindakan sosial, baik sebagai sesuatu yang bersifat memaksa maupun sebagai alat untuk mempermudah satu jenis tindakan daripada lainnya.
E. Stratifikasi: Ekonomi, Budaya, dan Politik
Weber mengakui pentingnya stratifikasi ekonomi sebagai dasar yang fundamental untuk kelas. Bagi Weber, kelas sosial terdiri dari semua mereka yang memiliki kesempatan hidup yang sama dalam bidang ekonomi, yaitu:
Sejumlah orang sama-sama memiliki suatu komponen tertentu yang merupkan sumber dalam kesempatan hidup mereka.
Komponen ini secara eksklusif tercermin dalam kepentingan ekonomi berupa kepemilikan benda-benda dan kesempata-kesempatan untuk memperolh pendapatan.
Kondisi-kondisi komoditi atau pasar tenaga kerja.
Bahwa kelas sosial berlandaskan pada dasar stratifikasi yang bersifat impersonal dan obyektif. Bagi Weber, kekuasaan adalah kemampuan untuk melaksanakan kehendak seseorang meskipun mendapat tantangan dari orang lain. Partai politik merupakan organisasi dimana perjuangan untuk memperoleh atau menggunakan kekuasaan dinyatakan paling jelas ditingkat organisasi rasional. Struktur kekuasaan tidak harus setara dengan struktur otoritas.
F. Tipe Otoritas dan Bentuk Organisasi Sosial
Hubungan sosial dalam tipe keteraturan menujukkan keanekaragaman yang berbeda-beda. Weber mengidentifikasikan beberapa tipe yang berbeda, sehingga muncul organisasi dalam suatu struktur otoritas yang mapan, artinya suatu struktur dimana individu-individu diangkat, bertanggung jawab untuk mendukung keteraturan sosial. Kalau hubungan itu bersifat asosiatif (rasional) dan bukan komunal (emosional), meliputi sifat administratif, maka hubungan itu menunjukkan pada "Organisasi yang Berbadan Hukum".
Namun bagi Weber yang utama adalah pada landasan keteraturan sosial yang absah. Artinya bahwa keteraturan sosial dan pola-pola dominasi yang berhubungan dengan itu diterima sebagai yang benar, baik oleh mereka yang tunduk pada suatu dominasi maupun mereka yang dominan. Weber mengidentifikasikan 3 dasar legitimasi yang utama dalam hubungan otoritas, ketiganya dibuat berdasarkan tipologi tindakan sosial. Masing-masing tipe berhubungan dengan tipe struktur adminstratifnya sendiri dan dinamika sosialnya sendiri yang khusus. Tipe-tipe itu adalah :
1. Otoritas Tradisional
Tipe ini berlandaskan pada kepercayaan yang mapan pada tradisi yang sudah ada. Hubungan antar tokoh pemilik otoritas dengan bawahannya adalah pribadi. Weber membedakan 3 otoritas tradisional yaitu ; gerontokrasi, patriakalisme, dan patrimodialisme. Pengawasan dalam gerontokrasi berada pada tangan orang-orang tua dalam suatu kelompok, dalam patriarkalisme ada pada satuan kekerabatan individu tertentu pewaris, dan dalam sistem otoritas patrimodial pengawasan oleh staf administrasi yang ada hubungan pribadi dengan pemimipinnya.
2. Otoritas Karismatik
Otoritas ini didasarkan pada mutu luar biasa yang dimiliki pemimpin sebagai pribadi. Menurut Weber, istilah 'kharisma' akan diterapkan pada mutu tertentu yang terdapat pada kepribadian seorang, yang berbeda dengan orang biasa yang dianugerahi kelebihan. Kepatuhan para pengikut tergantung pada identifikasi emosional pemimpin itu sebagai pribadi. Orientasi kepemimpinan kharismatik biasanya menantang status-quo kebalikan dari kepemimpinan tradisional.
3. Otoritas Legal-Rasional
Otoritas yag didasarkan pada komitmen terhadap seperangkat aturan yang diundangkan secara resmi dan diatur secara impersonal. Tipe ini erat kaitannya dengan rasionalitas instrumental. Jiadi, peraturan berhubungan dengan posisi baik sebagai atasan atau bawahan.
Otoritas legal-rasional diwujudkan dalam organisasi birokratis. Analisa Weber yang sangat terkenal mengenai birokratis adalah membandingkan birokrasi dalam bentuk-bentuk administrasi tradisional kuno yang didasarkan pada keluarga dan hubungan pribadi. Weber melihat birokrasi sebagai suatu bentuk organisasi yang paling efisien, sistematis, dan dapat diramalkan. Dalam masyarakatnya sendiri, yang dikuasai ketika sedang berada dibawah birokrasi militer dan birokrasi politik Prusia, ketika melihat perkembangan administrasi industri dan administrasi politik nasional di negara-negara Barat lainnya, ia mendapat kesan bahwa perkembangan dunia modern ditandai oleh semakin besarnya pengaruh birokrasi.
Salah satu alasan pokok mengapa bentuk organisasi birokratis itu memiliki efisiensi adalah karena organisasi itu memiliki cara yang secara sistematis menghubungkan kepentingan individu dengan tenaga pendorong dengan pelaksana fungsi-fungsi organisasi. Ini dilihat dari dari pelaksanaan fungsi organisasi yang secara khusus menjadi kegiatan yang utama bagi pekerjaan pegawai birokrasi.
Dalam mengembangkan dan meningkatkan bentuk organisasi birokratis, orang orang membangun bagi dirinya suatu "Kandang Besi" dimana pada suatu saat mereka sadar bahwa mereka tidak bisa keluar lagi dari situ. Proses ini tidak hanya ada pada masyarakat kapitalis tetapi juga masyarakat sosialis. Menurut Weber bahwa kelak akan muncul seorang pemimpin karismatik yang akan membuat dobrakan dari cengkraman mesin birokratis yang tanpa jiwa itu dan tidak memberi tempat kepada perasaan dan cita-cita manusia.
G. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme
Analisa Weber dalam bukunya 'The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism" memiliki pengaruh ide-ide yang bersifat independen dalam perubahan sejarah. Weber hidup di Eropa Barat yang sedang menjurus ke arah pertumbuhan kapitalisme modern. Hal ini yang mendorongnya untuk mencari sebab hubungan antara tingkah laku agama dan ekonomi, terutama di masyarakat Eropa Barat yang mayoritas beragama Protestan.
Adapun karakteristik dari sifat Spirit Kapitalisme Modern menurut Weber, yaitu:
1. Adanya usaha-usaha ekonomi yang diorganisir dan dikelola secara rasional diatas landasan-landasan dan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan berkembangnya pemilikan atau kekayaan pribadi.
2. Berkembangnya produksi untuk pasar.
3. Produksi untuk massa dan melalui massa.
4. Produksi untuk uang.
5. Adanya Anthusiasme, etos dan efisiensi yang maksimal uang menuntut.
Bahwa kapitalisme modern merupakan bersumber didalam agama Protestan, yang hal ini merupakanWirischaflsethik. Spirit kapitalisme modern adalah Protestanisme yaitu merupakan aturan-aturan agama protestan tentang watak dan perilaku penganut-penganutnya didalam kehidupan sehari-hari.
Weber menunjukkan bahwa spirit protestan didalam etika praktis sehari-hari. Menurut Weber etika protestan mewujudkan diri sebagai suatu pengertian tertentu tentang Tuhan, dimana Tuhan dianggap sebagai Yang Maha Esa, Maha Pencipta, dan Penguasa Dunia. Akibat konsepsi mengenai Tuhan tersebut, maka penganut agama protestan menganggap kesenangan adalah merupakan sesuatu yang tidak baik, sebaliknya untuk mengagungkan Tuhan orang harus berhemat.
Inti dari spirit kapitalisme modern adalah menganggap bahwa bekerja keras adalah merupakan callingatau suatu panggilan suci bagi kehidupan manusia. Spirit protestan juga menganut paham bahwa membuat atau mencari uang dengan jujur merupakan aktivitas yang tidak berdosa. Itulah pembuktianpertama secara analitis dari Weber tentang hubungan antara spirit kapitalisme modern identik dengan spirit protestan, bahwa agama berpengaruh pada faktor ekonomi.
Pembuktian kedua ditunjukkan Weber bahwa sejak zaman reformasi, negara-negara yang menganut agama protestan sebagai mayoritas adalah negara-negara yang lebih maju ekonominya.
Pembuktian ketiga Weber ditunjukkan bahwa di Jerman, penduduknya yang menganut agama protestan secara ekonomi lebih kaya dibanding dengan penganut agama non protestan.
Demikian Weber secara bertahap menunjukkan bahwa setiap sekte dalam protestan itu nyatanya memiliki kecenderungan yang sama dalam menunjang kehadiran Kapitalisme Modern, sehingga dengan demikian ia memperkuat pendapatnya dengan menstudi semua penganut Protestan di negara-negara Jerman, Inggris, Belanda, Amerika, dan lain-lain sebagaimana ajaran agama itu mendorong kehadiran kapitalisme.
RINGKASAN
Weber menaruh perhatian yang besar pada struktur sosial yang besar dan perubahan sejarah. Gambaran dasarnya mengenai kenyataan sosial yang dpusatkan pada tindakan individu yang dapat dimengerti hanya dalam arti-arti subyrktif yang dicerminkannya. Hal ini berbeda dengan pusat perhatian Durkheim pada fakta sosial yang mengatasi individu. Dalam perspektif Weber, pelbagai kategori struktur sosial didefinisikan dengan istilah-istilah yang bersifat probabilistik, tidak sebagai fakta obyektif, dan strategi analisa tipe ideal diberikan untuk memungkinkan suatu analisa perbandingan mengenai tipe-tipe struktur sosial yang berbeda atau tipe orientasi budaya yang berbeda. Analisa Weber mengenai etika protestan serta pengaruhnya dalam meningkatkan pertumbuhan kapitalisme menunjukkan pengertiannya mengenai pentingnya kepercayaan agama serta nilai dalam membentuk motivasional individu serta tindakan ekonominya. Selain itu juga, Weber telah memberikan corak tersendiri dengan verstehende soziologienya, yang dalam perkembangan selanjutnya banyak dijadikan model dalam analisa-analisa sosiologi oleh sosiolog-sosiolog modern masa kini.
LATIHAN
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan verstehende sociologie Weber!
2. Inti dari sosiologi Weber adalah tindakan sosial, jelaskan maksudnya serta sebutkan
tipe-tipe tindakan sosial Weber!
3. Sebutkan dan jelaskan 3 tipe otoritas yang dibuat berdaarkan tipologi tindakan sosial
Weber!
4. Jelaskan 3 pembuktian analitis yang dilakukan Weber yang menjelaskan hubungan
antara spirit kapitalisme modern dengan spirit protestan!
6. Sebutkan 5 karakteristik dari spirit kapitalisme modern menurut Weber!
TUGAS
1. Buatlah makalah tentang rangkuman kritik-kritik yang diberikan oleh para ahli
sosiologi terhadap karya-karya Weber, khususnya pada karyanya yang paling
kontroversial yang berjudul "The Protestant Ethic andThe Spirit of Capitalism".
2. Carilah rujukannya sesuai dengan rujukan pustaka yang telah diberikan.
3. Diskusikan di kelas !
DAFTAR PUSTAKA
De Haan, J.Bierens, 1953. Sosiologi Perkembangan dan Metode. Terjemahan Adnan Sjamni. Yayasan Pembangunan Jakarta.
Johnson, D.P., 1994. Teori Sosiologi Klasik dan Modern I. Gramedia. Jakarta
Giddens, Anthony. 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. UI Press. Jakarta
Laeyendecker, L., 1994. Tata, Perubahan, dan Ketimpangan. Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi. Gramedia. Jakarta.
M. Siahaan, Hotman, 1986. Pengantar ke arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Erlangga.
Jakarta.
Soekanto,Soerjono, 2002. Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
----------------------, 1985. Max Weber. Konsep-Konsep Dasar Dalam Sosiologi. Seri Pengenalan Sosiologi I. Rajawali. Jakarta.
Veeger, K.J., 1986. Realitas Sosial. Gramedia. Jakarta.
BAB VIII
PARADIGMA SOSIOLOGI
PENDAHULUAN
Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
Sosiologi lahir di tengah-tengah persaingan pengaruh antara filsafat dan psikologi, oleh karena itu tak mengherankan kalau pengaruh kedua cabang ilmu ini masih saja terasa sampai saat ini. Emile Durkheim adalah orang pertama yang mencoba melepaskan sosiologi dari dominasi kedua kekuatan yang mempengaruhinya itu. Durkheim terutama berusaha melepaskan sosiologi dari alam filsafat positif Auguste Comte untuk kemudian meletakkan sosiologi ke atas dunia empiris. Dua karyanya yang besar dan berpengaruh itu semula disusunnya dalam rangka usaha untuk melepaskan sosiologi dari pengaruh filsafat filsafat Comte dan Herbert Spencer. Masing-masing adalah Suicide (1951) dan The Rule of Sociological Method (1964).
Suicide adalah hasil karya Durkheim yang didasarkan atas hasil penelitian empiris terhadap gejala bunuh diri sebagai suatu fenomena sosial. Sedangkan The Rule Of Sosiological Method berintikan konsep-konsep dasar tentang metode yang dapat dipakai untuk melakukan penelitian empiris dalam lapangan sosiologi,
Auguste Comte mendapat kehormatan sebagai bapak sosiologi melalui karya filsafat positifnya. Ia merupakan orang pertama yang mengusulkan pemberian nama sosiologi terhadap keseluruhan pengetahuan manusia tentang kehidupan bermasyarakat. Namun demikian, Durkheim menempati posisi yang sangat penting pula dalam mengembangkan sosiologi modern sebagai disiplin yang berdiri sendiri. Peranan Durkheim yang terpenting terletak pada usahanya dalam merumuskan objek studi sosiologi.
Durkheim adalah orang pertama yang menunjukkan fakta sosial (social fact) sebagai pokok persoalan yang harus dipelajari oleh disiplin sosiologi. Fakta sosial dinyatakannya sebagai barang sesuatu yang berbeda dari dunia ide yang menjadi sasaran penyelidikan dari filsafat. Menurut Durkheim, fakta sosial tak dapat dipelajari dan difahami hanya dengan melalui kegiatan mental murni atau melalui proses mental yang disebut pemikiran spekulatif.
Untuk memahaminya diperlukan suatu kegiatan penelitian empiris, sama halnya dengan ilmu pengetahuan alam dalam mempelajari objek studinya. Dengan menerangkan tentang obyek penyelidikan sosiologi inilah Durkheim berusaha untuk melepaskan sosiologi dari pengaruh filsafat positif Comte dan Spencer yang mengarahkan sosiologi kepada dunia ide, yang hanya dapat dipahami melalui pemikiran spekulatif. Dengan meletakkan fakta sosial sebagai sasaran yang harus dipelajari oleh sosiologi, berarti menempatkan sosiologi sebagai suatu disiplin yang bersifat empiris dan berdiri sendiri terlepas dari pengaruh filsafat.
Dalam perkambangan selanjutnya setelah terlepas dari pengaruh filsafat dan psikologi, sosiologi mulai memasuki arena pergulatan pemikiran yang bersifat interen di kalangan teoritisnya sendiri. Pergulatan yang bersifat interen ini hingga sekarang masih saja berlangsung. Perkembangan sosiologi ditandai dan tercermin dari adanya berbagai paradigma di dalamnya.
Setelah mengikuti perkuliahan dan mempelajari tentang paradigma sosiologi, mahasiswa diharapkan dapat :
1. menjelaskan pengertian paradigma sosiologi
2. menjelaskan sebab timbulnya berbagai paradigma sosiologi
3. menjelaskan 3 paradigma sosiologi yaitu paradigma fakta sosial, paradigma definisi
sosial, paradigma perilaku sosial.
4. menjelaskan hubungan antara paradigma yang satu dengan yang lainnya.
A. Latar Belakang Munculnya Paradigma Sosiologi
Istilah paradigma ini pertama kali diperkenal oleh Thomas Kuhn dalam karyanya The Structure of Scientific Revolution (1962), intinya menyatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan bukanlah terjadi secara kumulatif tetapi secara revolusi. Ia berpendapat bahwa sementara kumulatif memainkan peranan dalam perkembangan ilmu pengetahuan, maka sebenarnya perubahan utama dan penting dalam ilmu pengetahuan itu terjadi sebagai akibat dari revolusi.
Model perkembangan ilmu pengetahuan menurut Kuhn adalah sebagai berikut :
Parad I – Normal Science – Anomalies – Crisis – Revolusi – Parad II
Kuhn melihat bahwa ilmu pengetahuan pada waktu tertentu didominasi oleh satu paradigma tertentu, yakni suatu pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (Subject matter) dari suatu cabang ilmu.
Normal Science adalah suatu periode akumulasi ilmu pengetahuan, di mana para ilmuwan bekerja dan mengembangkan paradigma yang sedang berpengaruh. Namun para ilmuwan tidak dapat mengelakkan pertentangan dengan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi (anomalies) karena tidak mampunya paradigma I memberikan penjelasan secara memadai terhadap persoalan yang timbul. Selama penyimpangan memuncak, suatu krisis akan timbul dan paradigma itu sendiri mulai disangsikan validitasnya. Bila krisis sudah sedemikian seriusnya maka suatu revolusi terjadi dan paradigma yang baru akan muncul sebagai yang mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh paradigma sebelumnya. Jadi dalam perode revolusi telah terjadi suatu perubahan yang besar dalam ilmu pengetahuan. Paradigma yang lama telah mulai menurun pengaruhnya, digantikan oleh paradigma baru yang lebih dominan.
Dalam perkembangan selanjutnya Masterman mencoba mereduksi konsep paradigma Kuhn menjadi tiga tipe, yakni ; Paradigma metafisik (metaphisical paradigm), paradigma sosiologis (Sosiological paradigm) dan paradigma konstrak (costruct paradigm). Robert Friedrichs adalah orang pertama yang mencoba merumuskan pengertian Paradigma ini sebagai upaya menganalisa perkembangan sosiologi, ia merumumuskan paradigma " sebagai suatu pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) yang semestinya dipelajarinya. (a fundamental image a discipline has of its subject matter).
Lebih jauh George Ritzer, dengan mensintesakan pengertian paradigma yang dikemukakan oleh Kuhn, Masterman dan Friedrichs, secara lebih jelas bahwa paradigma adalah pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan (discipline).
Persoalannya sekarang adalah mengapa terjadi perbedaan antar komunitas atau sub-komunitas dalam suatu cabang ilmu, khususnya dalam Sosiologi, George Ritzer mengungkapkan tiga faktor, yakni :
1. Karena dari semula pandangan filsafat yang mendasari pemikiran ilmuwan tentang
apa yang semestinya menjadi subtansi itu berbeda, dengan kata lain diantara
komunitas-komunitas ilmuwan itu terdapat perbedaan pandangan yang mendasar
tentang pokok persoalan apa yang semestinya dipelajari.
2. Sebagai konsekuensi logis dari pandangan filsafat yang berbeda itu maka teori-teori
yang dibangun dan dikembangkan oleh masing-masing komunitas itu berbeda, pada
masing-masing komunitas ilmuwan berusaha bukan saja mempertahankan kebenaran
teorinya tetapi juga berusaha melancarkan kecaman terhadap kelemahan teori dari
komunitas ilmuwan lain.
3. Metode yang dipergunakan untuk memahami substansi ilmu itu juga berbeda.
Ritzer menilai bahwa sosiologi itu terdiri atas kelipatan beberapa paradigma (multiple paradigm), pergulatan pemikiran sedemikian itu dijelaskan dalam uraian tentang masing masing paradigma dibawah ini.
B. Paradigma Fakta Sosial
Exemplar paradigma fakta sosial ini diambil dari kedua karya Durkheim. Durkheim meletakkan landasan paradigma fakta social melalui karyanya The Rules of Sociological Method (1895) dan Sucide (1897). Durkheim melihat sosiologi yang baru lahir itu dalam upaya untuk memperoleh kedudukan sebagai cabang ilmu social yang berdiri sendiri, tengah berada dalam ancaman bahaya kekuatan pengaruh dua cabang ilmu yang telah berdiri kokoh yakni filsafat dan psikologi. Menurut Durkheim, riset empiris adalah yang membedakan antara sosiologi dengan filsafat. Kenyataan tentang hidup bermasyarakat nyata adalah sebagai obyek studi sosiologi menurut Durkheim, bukan ide keteraturan masyarakat (social order) yang lebih bernilai filosofis.
Fakta sosial menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi, fakta sosial dinyatakan sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Barang sesuatu menjadi objek penyelidikan dari seluruh ilmu pengetahuan. Menurut Durkheim fakta sosial tidak dapat dipelajari melalui introspeksi, fakta sosial harus diteliti dalam dunia nyata. Lebih jauh Durkheim menyebutkan fakta sosial terdiri atas dua macam :
1. Dalam bentuk material, yaitu barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap dan
diobservasi. Fakta sosial yang berbentuk material ini adalah bagian dari dunia nyata
(external world) contohnya arsitektur dan norma hukum.
2. Dalam bentuk non material, yaitu sesuatu yang dianggap nyata (external), fakta sosial
jenis ini merupakan fenomena yang bersifat inter subjective yang hanya dapat muncul
dari dalam kesadaran manusia, contohnya egoisme, altrusisme dan opini.
Fakta Sosial yang berbentuk material lebih mudah difahami, misalnya norma hukum jelas merupakan barang sesuatu yang nyata ada dan berpengaruh terhadap kehidupan individu, begitu pula arsitektur.
Dalam paradigma ini pokok persoalan yang menjadi pusat perhatian adalah fakta-fakta sosial yang pada garis besarnya terdiri atas dua tipe, masing-masing struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social institution). Norma-norma dan pola nilai ini biasa disebut dengan pranata, sedangkan jaringan hubungan sosial dimana interaksi sosial berproses dan menjadi terorganisir serta melalui mana posisi-posisi sosial dari individu dan sub kelompok dapat dibedakan, sering diartikan sebagai struktur sosial. Dengan demikian struktur sosial dan pranata sosial inilah yang menjadi pokok persoalan persoalan penyelidikan sosiologi menurut paradigma fakta sosial.
Ada empat teori yang tergabung dalam paradigma fakta sosial ini seperti teori fungsionalisme structural, teori konflik, teori system dan teori sosiologi makro, dimana dua teori yang paling dominan didalamnya yakni (1) Teori Fungsionalisme Struktural dan (2) Teori Konflik.
Metode observasi tidak cocok untuk studi fakta social. Fakta social tidak dapat diamati secara langsung, hanya dapat dipelajari melalui pemahaman (interpretative understanding). Penganut paradigma fakta sosial cenderung mempergunakan metode kuesioner dan interview dalam penelitian empiris mereka. Namun, penggunaan metode kuesioner dan interview oleh para penganut paradigma fakta social ini mengandung ironi karena kedua metode ini tidak mampu menyajikan secara sungguh-sungguh bersifat fakta social. Informasi yang dikumpulkan melalui kuesioner dan interview banyak mengandung unsure subyektifitas dari si informan.
1. Teori Fungsionalisme Struktural
Teori Fungsionalisme Struktural menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep utamanya adalah fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest dan keseimbangan. Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, adalah fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya kalu tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya.
Secara ekstrim penganut teori ini beranggapan bahwa semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi sutu masyarakat. Perubahan dapat terjadi secara perlahan-lahan dalam masyarakat. Kalau terjadi konflik, penganut teori Fungsionalisme Struktural memusatkan perhatiannya kepada masalah bagaimana cara menyelesaikannya sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan Robert K. Merton sebagai penganut teori ini berpendapat bahwa objek analisa sosiologi adalah fakta sosial seperti; peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian sosial.
Penganut teori fungsional menganggap segala pranata sosial yang ada dalam suatu masyarakat tertentu serba fungsional dalam artian positif dan negative. Merton mengistilahkan 'fungsional dan disfungsional'. Contohnya; perbudakan dalam sistem sosial Amerika Serikat lama khususnya bagian selatan. Perbudakan jelas fungsional bagi masyarakat Amerika Serikat kulit putih. Karena sistem tersebut dapat menyediakan tenaga buruh yang murah, memajukan ekonomi pertanian kapas serta menjadi sumber status sosial terhadap kulit putih. Tetapi sebaliknya, perbudakan bersifat disfungsi. Sistem perbudakan membuat orang sangat tergantung kepada sistem ekonomi agraris sehingga tidak siap untuk memasuli industrialisasi.
Dari pendapat Merton tentang fungsi, maka ada konsep barunya yaitu mengenai sifat dari fungsi. Merton membedakan atas fungsi manifest dan fungsi latent. Fungsi manifest adalah fingsi yang diharapkan(intended) atau fungsional. Fungsi manifest dari institusi perbudakan di atas adalah untuk meningkatkan produktifitas di Amerika Selatan. Sedangkan fungsi latent adalah sebaliknya yaitu fungsi yang tidak diharapkan, sepanjang menyangkut contoh di atas fungsai latentnya adalah menyediakan kelas rendah yang luas.
Penganut Teori Fungsionalisme Struktural sering dituduh mengabaikan variabel konflik dan perubahan sosial dalam teori-teori mereka. Karena terlalu memberikan tekanan pada keteraturan (order) dalam masyarakat dan mengabaikan konflik dan perubahan sosial, mengakibatkan golongan fungsional ini dinilai sebagai secara ideologis sebagai konservatif. Bahkan ada yang menilai golongan fungsional ini sebagai agen teoritis dari status quo.
Hal penting yang dapat disimpulkan bahwa masyarakat menurut kacamata teori fungsional senantiasa berada dalam keadaaan berubah secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara keseimbangan. Setiap peristiwa dan setiap struktur yang ada, fungsional bagi sistem sosial itu. Demikian pula dengan institusi yang ada, diperlukan oleh sistem sosial itu, bahkan kemiskinan serta kepincangan sosial sekalipun. Masyarakat dilihat dalam kondisi dinamika dalam keseimbangan.
2. Teori Konflik
Teori Konflik dibangun dalam rangka untuk menentang secara langsung terhadap teori fungsionalisme structural. Tokoh utama teori ini adalah Ralp Dahrendorf. Proposisi yang dikemukakan oleh penganut Teori Konfik bertentangan dengan proposisi yang dikemukakan oleh penganut Teori Fungsionalisme Struktural. Perbedaan proposisi tersebut akan dijelaskan sebagai berikut :
Menurut teori Fungsionalisme Struktural :
1. Masyarakat berada pada kondisi statis atau tepatnya bergerak dalam kondisi
keseimbangan
2. Setiap elemen atau setiap institusi memberikan dukungan terhadap stabilitas.
3. Anggota masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai dan
moralitas umum.
4. Konsep-konsep utamanya adalah fungsi, disfungsi, fungsi latent, fungsi manifest, dan
keseimbangan (equilibrium)
Menurut Teori Konflik :
1. Masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh
pertentangan yang terus menerus di antara unsur-unsurnya.
2. Setiap elemen memberikan sumbangan terhadap desintegrasi social.
3. Keteraturan dalam masyarakat hanyalah disebabkan karena adanya tekanan atau
pemaksaan dari atas oleh golongan yang berkuasa.
4. Konsep-konsep sentral Teori Konflik adalah wewenang dan posisi, keduanya
merupakan fakta sosial. Distribusi kekuasaan dan wewenang secara tidak merata
tanpa terkecuali menjadi faktor yang menentukan konflik sosial secara sistematis.
Perbedaan wewenang adalah suatu tanda dari adanya berbagai posisi dalam
masyarakat.
Menurut Dahrendorf kekuasaan dan wewenang senantiasa menempatkan individu pada posisi atas dan bawah dalam setiap struktur. Karena wewenang itu adalah sah, maka setiap individu yang tidak tunduk terhadap wewenang yang ada akan terkena sanksi. Dengan demikian masyarakat disebut sebagai Dahrendorf sebagai persekutuan yang terkoordinasi secara paksa (imferatively coordinated associations).
Oleh karena kekuasaan selalu memisahkan dengan tegas antara penguasa dengan yang dikuasai, maka dalam masyarakat selalu terdapat dua golongan yang saling bertentangan. Pertentangan itu terjadi dalam situasi di mana golongan yang berkuasa berusaha mempertahankan status quo sedangkan golonganyang dikuasai berusaha untuk mengadakan perubahan-perubahan. Pertentangan kepentingan ini selalu ada di setiap waktu dan dalam setiap struktur.
Menurut Dahrendorf terdapat mata rantai antara konflik dan perubahan sosial. Konflik menurutnya memimpin ke arah perubahan dan pembangunan. Dalam situasi konflik, golongan yang terlibat melakukan tindakan-tindakan untuk mengadakan perubahan dalam struktur sosial. Kalau konflik itu terjadi secara hebat maka perubahan yang timbul akan bersifat radikal. Begitu pula kalau konflik itu disertai oleh penggunaan kekerasan maka perubahan struktural akan efektif.
Pierre van Berghe (1963) mengemukakan empat fungsi konflik;
1. Sebagai alat untuk memelihara solidaritas.
2. Membantu menciptakan ikatan aliansi dengan kelompok lain.
3. Mengaktifkan peranan individu yang semula terisolasi.
4. Fungsi komunikasi.Sebelum konflik, kelompok tertentu mungkin tidak mengetahuai
posisi lawan. Tapi dengan adanya konflik, posisi dan batas antara kelompok menjadi
lebih jelas. Individu dan kelompok tahu secara pasti di mana mereka berada dan
karena itu dapat mengambil keputusan lebih baik untuk bertindak dengan lebih
tepat.
Kesimpulan penting yang dapat diambil adalah bahwa teori konflik ini ternyata terlalu mengabaikan keteraturan dan stabilitas yang memang ada dalam masyarakat disamping konflik itu sendiri. Masyarakat selalu dipandang dalam kondisi konflik. Mengabaikan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku umum yang menjamin terciptanya keseimbangan dalam masyarakat. Masyarakat seperti tidak pernah aman dari pertikaian dan pertentangan. Seperti membenarkan Hobbes yang mengatakan : bellum omnium contra omnes (perang antara semua melawan semua).
C. Paradigma Definisi Sosial
Max Weber sebagai tokoh paradigma ini mengartikan sosiologi sebagai suatu studi tentang tindakan sosial antar hubungan sosial. Yang dimaksud tindakan sosial itu adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Sebaliknya tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati atau objek fisik semata tanpa dihubungkannya dengan tindakan orang lain bukan merupakan tindakan sosial. Tindakan seseorang melempar batu ke sungai bukan tindakan social. Tapi tindakan tersebut dapat berubah menjadi tindakan social kalau dengan melemparkan batu tersebut menimbulkan reaksi dari orang lain seperti mengganggu seseorang yang sedang memancing.
Secara definitif Weber merumuskan Sosiologi sebagai ilmu yang berusaha untuk menafsirkan dan memahami (interpretative understanding) tindakan sosial serta antar hubungan sosial untuk sampai kepada penjelasan kausal. Dalam definisi ini terkandung dua konsep dasarnya. Pertama konsep tindakan sosial, kedua konsep tentang penafsiran dan pemahaman.Konsep terakhir ini ini menyangkut metode untuk menerangkan yang pertama.
Konsep pertama tentang tindakan sosial yang dimaksud Weber dapat berupa tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tidakan yang bersifat 'membatin' atau bersifat subyektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu. Atau merupakan tindakan perulangan dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang serupa. Atau berupa persetujuan pasif dalam situasi tertentu.
Bertolak dari konsep dasar tentang tindakan sosial dan antar hubungan sosial sosial itu Weber mengemukakan lima ciri pokok yang menjadi sasaran penelitian sosiologi yaitu :
1. Tindakan manusia, yang menurut si aktor mengandung makna yang subyektif. Ini
meliputi berbagai tindakan nyata.
2. Tindakan nyata dan yang bersifat, membatin sepenuhnya dan bersifat subyektif.
3. Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja
diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam.
4. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu.
5. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu.
Untuk mempelajari tindakan sosial itu Weber menganjurkan melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding), atau menurut terminology Weber disebut dengan verstehen. Bila seseorang hanya berusaha meneliti perilaku (behavior) saja, dia tidak akan meyakini bahwa perbuatan itu mempunyai arti subyektif dan diarakan kepada orang lain. Maka yang perlu dipahami adalah motif dari tindakan tersebut. Menurut Weber ada 2 cara memahami motif tindakan yaitu : 1) kesungguhan, 2) mengenangkan dan menyelami pengalaman si actor. Peneliti menempatkan dirinya dalam posisi si actor serta mencoba memahami sesuatu yang dipahami si actor.
Atas dasar rasionalitas tindakan sosial, Weber membedakannya dalam empat tipe, dimana semakin rasional tindakan sosial itu semakin mudah dipahami, empat tipe itu adalah :
a. Zwerk rational, yakni tindakan sosial murni,. Dalam tindakan ini aktor tidak hanya sekedar menilai cara yang terbaik untuk mencapai tujuannya tapi juga menentukan nilai dari tujuan itu sendiri.
b. Werktrational action, dalam tindakan tipe ini aktor tidak dapat menilai apakah cara-cara yang dipilinya itu merupakan yang paling tepat untuk mencapai tujuan yang lain. Dalam tindakan ini memang antara tujuan dan cara-cara mencapainya cenderung menjadi sukar untuk dibedakan, namun tindakan ini rasional karena pilihan terhadap cara-cara sudah menentukan tujuan yang diinginkan.
c. Affectual action, adalah tindakan yang dibuat-buat, dipengaruhi oleh perasaan emosi dan kepura-puraan si aktor. Tindakan ini sukar dipahami kurang atau tidak rasional.
d.Traditional action, tindakan yang didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan dalam mengerjakan sesuatu di masa lalu saja.
Kedua tipe tindakan yang terakhir sering hanya merupakan tanggapan secara otomatis terhadap rangsangan dari luar. Karena itu tidak termasuk dalam jenis tindakan yang penuh arti yang menjadi sasaran penelitian sosiologi.
Konsep kedua dari Weber adalah konsep tentang antar hubungan social (social relationship). Hubungan sosial didefinsikan sebagai tindakan yang beberapa orang aktor yang berbeda-beda, sejauh tindakan itu mengandung makna dan dihubungkan serta diarahkan kepada tindakan orang lain. Tidak semua kehidupan kolektif memnuhi syarat sebagai antar hubungan sosial, dimana tidak ada saling penyesuaian (mutual orientation) antara orang yang satu dengan yang lain meskipun ada sekumpulan orang yang diketemukan bersamaan.
Ada tiga teori yang termasuk ke dalam paradigma definisi sosial ini, yakni : Teori aksi (action theory), teori interaksionisme simbolik (symbolic interactionism) dan teori fhenomenologi (fhenomenology). Ketiga teori ini mempunyai kesamaan ide dasarnya yang berpandangan bahwa manusia adalah aktor yang aktif dan kreatif dari realitas sosialnya. Artinya tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan sebagainya yang kesemuanya itu tercakup dalam fakta sosial. Manusia mempunyai cukup banyak kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol dari fakta sosial.
Di sini pula terletak perbedaan yang sebenarnya antara paradigma definisi sosial dengan paradigma fakta sosial. Paradigma fakta sosial menganggap bahwa perilaku manusia dikontrol oleh berbagai norma, nilai-nilai serta sekian alat pengendalian sosial lainnya. Sedangkan paradigma perilaku sosial (social behavior) adalah bahwa yang terakhir ini melihat tingkahlaku manusia senantiasa dikendalikan oleh kemungkinan penggunaan kekuasaan atau kemungkinan penggunaaan kekuatan (re-enforcement).
Penganut paradigma Definisi Sosial cenderung menggunakan metode observasi dalam penelitian mereka. Alasannya adalah untuk dapat memahami realitas intrasubjective dan intersubjective dari tindakan sosial dan interaksi sosial. Namun kelemahan teknik observasi adalah ketika kehadiran peneliti di tengah-tengah kelompok yang diselidiki akan mempengaruhi tingkah laku subyek yang diselidiki itu. Lagipula tidak semua tingkah laku dapat diamati, seperti tingkah laku seksual misalnya.
1. Teori Aksi (Action Theory)
Tokoh-tokoh Teori Aksi di antaranya Florian Znaniecki, The Method of Sociology (1934) dan Social Actions(1936), Robert Mac Iver, Sociology: Its Structure and Changes (1931), Talcot Parsons; The Structure of Social Action (1937).
Beberapa asumsi dasar fundamental dari Teori Aksi dikemukakan Hinkle dengan merujuk karya Mac Iver, Znaniecki dan Parson sebagai berikut ;
a. Tidakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek dan dari situasi
ekternal dalam posisinya sebagai obyek.
b. Sebagai subyek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan–tujuan
tertentu, jadi tindakan manusia bukan tanpa tujuan.
c. Dalam bertindak manusia menggunakan cara, teknik, prosedur, metode serta
perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut.
d. Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tak dapat diubah
dengan sendirinya.
e. Manusia memilih, menilai dan mengevaluasi terhadap tindakan yang akan, sedang
dan yang telah dilakukannya.
f. Ukuran-ukuran, aturan-aturan atau prinsip-prinsip moral diharapkan timbul pada saat
pengambilan keputusan.
g. Studi mengenai antar hubungan social memerlukan pemakaian teknik penemuan
yang bersifat subjektif seperti metode verstehen, imajinasi, sympathetic
reconstruction atau seakan-akan mengalami sendiri (vicarious experience).
Kesimpulan utama yang dapat diambil adalah bahwa tindakan sosial merupakan suatu proses dimana aktor terlibat dalam pengambilan keputusan-keputusan subyektif tentang sarana dan cara untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dipilih, yang kesemua itu dibatasi kemungkinan-kemungkinannya oleh sistem kebudayaan dalam bentuk norma-norma, ide-de dan nilai-nilai sosial. Di dalam menghadapi yang yang bersifat kendala baginya itu, aktor mempunyai sesuatu di dalam dirinya berupa kemauan bebas.
2. Teori Interaksionisme Simbolik
Tokoh-tokoh teori Interaksionisme Simbolik adalah John Dewey, Charles Horton Cooley, G.H. Mead. Ide dasar teori ini bersifat menentang behaviorisme radikal yang dipelopori oelh JB Watson. Hal ini tercermin dari gagasan tokoh sentral teori ini yakni G.H. Mead yang bermaksud untuk membedakan teori interaksionisme simbolik dengan teori behavioralisme radikal.
Behaviorisme Radikal berpendirian bahwa perilaku individu adalah sesuatu yang dapat diamati. Mempelajari tinglahlaku (behavior) manusia secara obyektif dari luar. Penganut behaviorisme cenderung melihat perilaku manusia itu seperti perilaku binatang dalam arti hanya semata-mata merupakan hasil rangsangan dari luar.
Mead dari Interaksionisme Simbolik, mempelajari tindakan sosial dengan mempergunakan teknik intropeksi untuk dapat mengetahui sesuatu yang melatarbrlakangi tindakan sosial tu dari sudut aktor dengan pengggunaan bahasa serta kemampuan belajar yang tidak dimiliki oleh binatang.
Menurut teori Interaksionisme Simbolik , fakta sosial bukanlah sesuatu yang mengendalikan dan memaksa tindakan manusia. Fakta sosial ditempatkan dalam kerangka simbol-simbol interaksi manusia. Teori ini menolak pandangan paradigma fakta sosial dan paradigma perilaku sosial ( social behavior) yang tidak mengakui arti penting kedudukan individu. Padahal kenyataannya manusia mampu menciptakan dunianya sendiri.
Bagi paradigma fakta sosial, individu dipandangnya sebagai orang yang terlalu mudah dikendalikan oleh kekuatan yang berasal dari luar dirinya sendiri seperti kultur, norma, dan peranan-peranan sosial. Sehingga pandangan ini cenderung mengingkari kenyataan bahwa manusia mempunyai kepribadian sendiri. Sedangkan paradigma perilaku sosial melihat tingkah laku.
Beberapa asumsi tori Interaksionisme Simbolik menurut Arnold Rose :
1. Manusia hidup dalam suatu lingkungan simbol-simbol. Manusia memberikan
tanggapan terhadap simbol-simbol melalui proses belajar dan bergaul dalam
masyarakat. Kemampuan manusia berkomunikasi, belajar, serta memahami simbol-
simbol itu merupakan kemampuan yang membedakan manusia dengan binatang.
2. Melalui simbol-simbol manusia berkemampaun menstimulir orang lain dengan cara
yang mungkin berbeda dari stimuli yang diterimanya dari orang lain.
3. Melalui komunikasi simbol-simbol dapat dipelajari sejumlah besar arti dan nilai-nilai,
dan karena itu dapat dipelajari cara-cara tindakan orang lain.
4. Terdapat satuan-satuan kelompok yang mempunyai simbol-smbol yang sama., atau
akan ada simbol kelompok.
5. Berfikir merupakan proses pencarian kemungkinan yang bersifat simbolis dan untuk
mempelajari tindakan-tindakan yang akan datang, menaksir keuntungan dan kerugian
relative menurut individual, di mana satu diantaranya dipilih untuk dilakukan.
Kesimpulan utama dari teori Interksionisme Simbolik bahwa kehidupan bermasyarakat terbentuk melalui proses interaksi dan komunikasi antara individu dan antar kelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahaminya melalui proses belajar. Tindakan seseorang dalam proses interkasi bukan semata-mata tanggapan yang bersifat langsung terhadap stimulus yang datang dari lingkungannya, tetapi melalui proses belajar.
3. Teori Fenomenologi (Phenomenological Sociology)
Ada empat unsur pokok dari teori Fenomenologi Yaitu :
1. Perhatian terhadap aktor dengan memahami makna tindakan aktor yang ditujukan
kepada dirinya sendiri.
2. Memusatkan perhatian kepada kenyataan yang penting atau pokok dan kepada sikap
yang wajar atau alamiah (natural attitude). Teori ini jelas bukan bermaksud fakta
sosial secara langsung. Tetapi proses terbentuknya fakta sosial itulah yang menjadi
pusat perhatiannya. Artinya bagaimana individu ikut serta dalam proses
pembentukan dan pemeliharaan fakta-fakta sosial yang memaksa mereka itu.
3. Memusatkan perhatian kepada masalah makro. Maksudnya mempelajari proses
pembentukan dan pemeliharaan hubungan sosial pada tingkat interaksi tatap muka
untuk memahaminya dalam hubungannya dengan situasi tertentu.
4. Memperhatikan pertumbuhan, perubahan dan proses tindakan. Berusaha memahami
bagaimana keteraturan dalam masyarakat diciptakan dan dipelihara dalam pergaulan
sehari-hari. Norma-norma dan aturan-aturan yang mengendalikan tindakan manusia
dan yang memantapkan struktur sosial dinilai sebagai hasil interpretasi si aktor
terhadap kejadian-kejadian yang dialaminya.
D. Paradigma Perilaku Sosial
Tokoh pendekatan behaviorisme ini adalah B.F. Skinner yang memegang peranan penting dalam pengembangan sosiologi behavior. Skinner mengkritik obyek studi paradigma fakta sosial dan definisi sosial bersifat mistis tidak konkrit relistis. Obyek studi sosiologi yang konkrit realistis adalah perilaku manusia yang nampak serta kemungkinan perulangannya (behavior of man and contingencies of reinforcement).
Paradigma perilaku sosial memusatkan perhatiaannya kepada hubungan antara individu dengan lingkungannya, dimana lingkungan itu terdiri atas : a) bermacam-macam obyek social dan b) bermacam-macam obyek non sosial. Prinsip yang menguasai antar hubungan individu dengan obyek sosial adalah sama dengan prinsip yang menguasai hubungan antara individu dengan obyek non sosial. Pokok persoalan sosiologi menurut paradigma ini adalah tingkah laku individu yang berlangsung dalam hubungannya dengan faktor-faktor lingkungan yang menghasilkan akibat-akibat atau perubahan dalam faktor lingkungan menimbulkan perubahan terhadap tingkahlaku.
Bagi paradigma perilaku sosial individu kurang sekali memiliki kebebasan. Tanggapan yang diberikan ditentukan oleh sifat dasar stimulus yang datang dari luar dirinya. Jadi tingkah laku manusia lebih bersifat mekanik. Beda dengan paradigma definisi sosial yang menganggap aktor adalah dinamis dan mempunyai kekuatan kreatif di dalam proses interaksinya. Ada dua teori yang termasuk ke dalam paradigma Perilaku Sosial, yakni Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange.
Paradigma ini lebih banyak menggunakan metode eksprimen dalam penelitiannya. Keutamaan metode eksprimen ini adalah memberikan kemungkinan terhadap penelitian untuk mengontrol dengan ketat obyek dan kondisi di sekitarnya. Metode ini memungkinkan pula untuk membuat penilaian dan pengukuran dengan tingkat ketepatan yang tinggi terhadap efek dari perubahan-perubahan tingkahlaku aktor yang ditimbulkan dengan sengaja di dalam eksprimen. Walaupun eksprimen merupakan suatu metode penelitian langsung yang agak baik terhadap tingkahlaku aktor, namun peneliti masih dituntut untuk mengamati perilaku lanjut aktor yang sedang diteliti.
1. Teori Behavioral Sociology
Teori ini memusatkan perhatiannya kepada hubungan antara akibat dari tingkah laku yang terjadi di dalam lingkungan aktor dengan tingkah laku aktor. Akibat tingkah laku diperlakukan sebagai variabel independen. Ini berarti teori ini berusaha menerangkan tingkah laku yang terjadi melalui akibat-akibat yang meengikutinya. Konsep dasar teori ini yang menjadi pemahamannya adalah "reinforcement" yang dapat diartikan sebagai ganjaran (reward). Tak ada sesuatu yang melekat dalam objek yang dapat menimbulkan ganjaran. Sesuatu ganjaran yang tak membawa pengaruh terhadap aktor tidak akan diulang. Contohnya tentang makanan sebagai ganjaran yang umum dalam masyarakat. Tetapi bila sedang tidak lapar maka makan tidak akan diulang. Bila si aktor telah kehabisan makanan, maka ia akan lapar dan makanan akan berfungsi sebagai pemaksa.
2. Teori Exchange
Tokoh utama teori ini adalah George Homan, teori ini dibangun dengan maksud sebagai reaksi terhadap paradigma fakta sosial, yang menyerang ide Durkheim secara langsung dari tiga jurusan, yakni :
a) pandangan tentang emergence. Selama berlangsung interaksi timbul fenomena baru
yang tidak perlu proposisi baru pula untuk menerangkan sifat fenomena baru yang
timbul tersebut.
b) pandangan tentang psikologi. Sosiologi dewasa ini sudah berdiri sendiri lepas dari
pengaruh psikologi.
c. Metode penjelasan Durkheim. Fakta sosial tertentu selalu menjadi penyebab
fakta sosial yang lain yang perlu dijelaskan melalui pendekatan perilaku
(behavioral), yang bersifat psikologi.
Keseluruhan materi Teori Exchange secara garis besarnya dapat dikembalikan pada 5 proposisi George Homan yaitu :
1. Jika tingkahlaku tingkahlaku atau kejadian yang sudah lewat dalam konteks stimulus
dan situasi tertentu memperoleh ganjaran, maka besar kemungkinan tingkahlaku atau
kejadian yang mempunyai hubungan dan stimulus dan situasi yang sama akan terjadi
atau dilakukan.
2. Menyangkut frekuensi ganjaran yang diterima. Makin sering dalam peristiwa tertentu
tingkahlaku seseorang memberikan ganjaran terhadap tingkahlaku orang lain, makin
sering pula orang lain itu mengulang tingkahlakunya itu.
3. Memberikan arti atau nilai pada tingkahlaku yang di arahkan oleh orang lain terhadap
aktor. Makin bernilai bagi seseorang sesuatu tingkahlaku orang lain yang ditujukan
kepadanya makin besar kemungkinan atau makin sering ia akan mengulangi
tingkahlakunya itu.
4. Makin sering orang menerima ganjaran atas tindakannya dari orang lain, makin
berkurang nilai dari setiap tindakan yang dilakukan berikutnya.
5. Makin dirugikan seseorang dalam dalam hubungannya dengan orang lain, makin
besar kemungkinan orang tersebut akan mengembangkan emosi.
RINGKASAN
Paradigma adalah pandangan fundamental tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter)disiplin tertentu. Paradigma adalah kesatuan konsensus yang terluas dalam satu disiplin yang membedakan antara komunitas ilmuwan (sub komunitas) yang satu dengan yang lain. Ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan paradigmatik dalam sosiologi ; 1) perbedaan pandangan pandangan filsafat yang mendasari pemikiran masing-masing sosiolog tentang pokok persoalan yang semestinya dipelajari sosilogi. 2) Akibat logis yang pertama, maka teori-teori yang dibangun dan dikembangkan masing-masing komunitas ilmuwan berbeda. 3) Metode yang dipakai untuk memahami dan menerangkan substansi disiplin inipun berbeda. Atas dasar perbedaan pandangan mengenai apa yang semestinya dipelajari dalam sosiologi itulah terdapat tiga paradigma sosiologi dewasa ini yaitu, paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial dan paradigma perilaku sosial.
Paradigma Fakta Sosial menempatkan fakta sosial menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi. Bahwa fakta sosial tidak dapat dipelajari dengan introspeksi melainkan harus diteliti secara empiris. Dalam penelitiannya penganut paradigma ini cenderung menggunakan metode interview dan kuesioner. Exemplar paradigma fakta social adalah karya Durkheim Suicide dan The Rule of Sociological Method.Dalam paradigma ini pokok persoalan yang menjadi pusat perhatian adalah fakta-fakta sosial yang pada garis besarnya terdiri atas dua tipe, masing-masing struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social institution). Teori yang tergabung dalam paradigma ini adalah teori fungsionalisme structural, teori konflik, teori system, dan sosiologi makro.
Paradigma Definisi Sosial menempatkan pokok persoalan sosiologi adalah proses pendefinisian sosial dan akibat-akibat dari suatu aksi serta interaksi sosial. Exemplar paradigma ini adalah karya Max Weber tentang tindakan sosial (social action) Paradigma Definisi Sosial secara pasti memandang manusia sebagai orang yang aktif menciptakan kehidupan sosialnya sendiri. Ada tiga teori yang termasuk dalam paradigma ini yaitu : teori aksi sosial, teori interaksionisme simbolik dan teori fenomenologi. Metode yang umum digunakan penganut paradigma definisi sosial ialah observasi.
Paradigma Perilaku Sosial menempatkan pokok persoalan sosiologi ialah perilaku dan perulangannya. Bagi paradigma ini perilaku sosial individu kurang sekali memiliki kebebasan. Ada dua toeri yang termasuk dalam paradigma ini yaitu teori sosiologi behavioral dan teori pertukaran (exchange theory). Paradigma Perilaku Sosial lebih banyak menggunakan metode eksprimen dalam penelitiannya.
LATIHAN
1. Jelaskan model perkembangan ilmu pengetahuan menurut Thomas Kuhn!
2. Sebutkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan paradigmatik dalam
sosiologi!
3. Jelaskan Paradigma Fakta Sosial melalui eksemplar, teori-teori serta metode yang
dipergunakan.
4. Jelaskan perbedaan proposisi yang dikemukakan penganut teori struktural fungsional
dengan proposisi yang dikemukakan oleh penganut teori konflik sehingga
menimbulkan pertentangan!
5. Sebutkan dan jelaskan 4 tipe tindakan sosial menurut Weber!
6. Tokoh pendekatan behaviorisme B.F. Skinner mengkritik obyek studi paradigma
fakta sosial dan definisi sosial bersifat mistis tidak konkrit relistis, Jelaskan
maksudnya!
TUGAS
Buatlah makalah individu yang isinya mengkaji sebuah fenomena social yang adaa dalam masyarakat dengan menggunakan pisau analisa teori sosiologi yang kamu pahami!
DAFTAR PUSTAKA
Johnson, D.P., 1994. Teori Sosiologi Klasik dan Modern I. Gramedia. Jakarta.
Laeyendecker, 1994. Tata Perubahan dan Ketimpangan. Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi. Gramedia. Jakarta.
M. Siahaan, Hotman. 1986. Pengantar Ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Erlangga. Jakarta.
Ritzer, George. 1991. Sosiologi Ilmu Paradigma Ganda, Rajawali. Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 1985. Emile Durkheim. Aturan-Aturan Metode Sosiologis. Seri Pengenalan Sosiologi 2. Rajawali. Jakarta.
----------------------, 1985. Max Weber. Konsep-Konsep Dasar Dalam Sosiologi. Seri Pengenalan Sosiologi I. Rajawali. Jakarta.
Veeger, K.J., 1986. Realitas Sosial. Gramedia. Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik dan A.C. Van Der Leeden (Penyunting). 1986. Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Bouman, P.J., 1956. Ilmu Masyarakat Umum. Terjemahan Sujono. Cetakan ke delapan. Yayasan Pembangunan. Jakarta.
De Haan, J. Bierens, 1953. Sosiologi Perkembangan dan Metode. Terjemahan Adnan Syamni. Yayasan Pembangunan. Jakarta.
Giddens, Anthony, 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber. UI Press. Jakarta.
Kinloch, Graham. 2005. Perkembangan Dan Paradigma Utama Teori Sosiologi. Pustaka Setia. Bandung
Laeyendecker, 1994. Tata Perubahan dan Ketimpangan. Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi. Gramedia. Jakarta.
Lavine, T.Z., 2002.Dari Socrates Ke Sartre: Petualangan Filsafat, Jendela. Yogyakarta
M. Siahaan, Hotman. 1986. Pengantar Ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Erlangga. Jakarta.
P. Johnson, Doyle, 1994. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Dindonesiakan : Robert M.Z. Lawang. Gramedia. Jakarta
Ramli, Andi Muawiyah. 2000. Peta Pemikiran Karl Marx. LKLS. Yogyakarta.
Ritzer, George. 1991. Sosiologi Ilmu Paradigma Ganda, Rajawali. Jakarta.
Soekanto,Soerjono, 2002. Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 1985. Emile Durkheim. Aturan-Aturan Metode Sosiologis. Seri Pengenalan Sosiologi 2. Rajawali. Jakarta.
.-----------------------, 1985. Pengantar Konsep dan Teori Sosiologis. Unila Press. Lampung
----------------------, 1985. Max Weber. Konsep-Konsep Dasar Dalam Sosiologi. Seri Pengenalan Sosiologi I. Rajawali. Jakarta.
Suseno, Frans Magnis. 2000. Pemikiran Karl Marx. Gramedia. Jakarta.