TEORI HERMENEUTIKA
Dosen pembimbing Prof. Dr. Setya Yuwana dan Dr. Suyatno
Oleh Agus Paramuriyanto Danar Takdir Suprayogi
PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA TAHUN AJARAN 2011/ 2012
TEORI HERMENEUTIKA A.
Pengantar Seca Secara ra kodr kodrat ati, i, manu manusi sia a dalam dalam impl implem emen enta tasi siny nya a pada pada
kehi kehidu dupa pan n seha sehari ri-h -har arii tida tidak k dapa dapatt mele melepa pask skan an diri diri dari dari tiga tiga kedu kedudu duka kan n fung fungsi si utam utama, a, yait yaitu: u: pertama: seba sebaga gaii maklu akluk k individu yang harus bertanggungjawab terhadap pengembangan jati jati diri, diri, kedua: sebaga sebagaii makluk makluk sosial sosial yang yang pada pada esensi esensinya nya manusia manusia harus dapat membawaka membawakan n dirinya dirinya ke dalam komunitas komunitas tertentu bergabung dengan individu-individu lainnya, dan ketiga adal adalah ah seba sebaga gaii makl makluk uk Tuha Tuhan n yang yang pada pada gili gilira rann nnya ya bahw bahwa a manusia bukanlah hanya sekedar sebagai makluk individu dan sosi sosial al
melai elaink nkan an
kedu kedudu duka kan n
manu manus sia
fun fungsio gsiona naln lnya ya
secar ecara a ters terseb ebut ut
kohe kohere ren n manu manusi sia a
dal dalam
kedu kedua a
juga juga
haru arus
menyadari bahwa dirinya hadir dalam dunia ini meyakini adanya Al Khalik Khalik yang yang mencip menciptan tanya ya (tesis (tesis/p /pend endapa apatt ini disamp disampaik aikan an dala dalam m
kont kontek eks s
nega negara ra yang yang mewa mewaji jibk bkan an warg wargan anya ya untu untuk k
beragama, bukan pada negara sekuler, komunis, atau liberal). Ketiga kedudukan ini pada peristiwa kehidupan sehari-hari tidak dapat berdiri sendiri. Satu sama lain menyatu secara simultan dalam dalam rangka rangka untuk untuk memper memperole oleh h jatidi jatidirin rinya, ya, sehing sehingga ga layak layak untuk disebut bahwa manusia adalah makluk multidimensional. Menyang angkut
peristiwa
komunikasi
tersebut,
baik
komu komuni nika kasi si inte intern rnal al maup maupun un ekst ekster erna nal, l, komu komuni nika kasi si vert vertik ikal al maupun horisontal, maka manusia tidak dapat dilepaskan dari bebera beberapa pa fakto faktorr yang yang meliba melibatka tkanya nya dalam dalam sebuah sebuah perist peristiwa iwa komuni komunikas kasi. i. Faktor Faktor-fak -faktor tor itu di antara antaranya nya adalah adalah (1) siste sistem m tanda atau bahkan simbol yang digunakannya dan (2) makna yang yang ters tersir irat at di dala dalamn mnya ya.. Agar Agar peri perist stiw iwa a komu komuni nika kasi si dapa dapatt berjalan secara efektif 1), maka kedua unsur pelibat komunikasi
1
—dalam hal ini komunikator dan komunikan—harus memiliki seperangkat konsep pemahaman yang kompleks sehingga tidak terjadi deviasi pamahaman terhadap pesan yang disampaikan oleh komunikator. Dalam hal inilah kemudian kita memerlukan seperangkat teori tentang interpretasi agar pesan itu tidak diterima secara bias. Mengapa hal ini dipandang perlu? Semua itu dikembalikan pada karakter simbol itu sendiri, di mana simbol itu dapat bersifat monointerpretabel dan dapat pula bersifat poliinterpretabel. Pesan yang bersifat distingtif-denotatif dan pesan
yang bersifat konotatif, sehingga dapat
bermacam-macam.
Menyangkut
permasalahan
ditafsirkan mono
dan
poliinterpretabel ini, maka tema ini menjadi penting untuk dipaparkan dan dibahas Terjadinya
pro
dan
kontra
mengenai
keberadaan
hermeneutika selama ini sebenarnya menurut hemat penulis adalah dalam wilayah produk atas pemaknaan, penafsiran terhadap hermeneutika itu sendiri. Padahal kalau kita cermat dari hermeneutika, ia hanyalah sebuah “alat”. Yang namanya sebuah alat sudah suatu keniscayaan memiliki keberagaman fungsi dan makna. Suatu contoh, uang atau duit. Dengan uang orang bisa membangun
masjid,
membantu
sesama
manusia,
bersekolah/kuliah, bahkan dengan uang orang bisa membunuh, dengan uang Yusron bisa naik haji. Jadi alangkah kejamnya kalau hermeneutika, uang atau alat yang lainnya dijadikan sebagai objek kesalahan, tanpa pernah melihat kepada siapa yang menggunakannya
B.
Sejarah Hermeneutika
2
Istilah
Hermeneutika, berasal
hermeneuine
dari
bahasa
Yunani
dan kata benda hermenia yang masing berarti
“menafsirkan” dan “penafsiran” (interpretasi). Dalam bahasa Yunani hermeios mengarah kepada seorang pendeta bijak Delphic. Kata kerja Hermeios dan kata kerja lebih umum hermeneuein dan kata benda hermeneia diasosiasikan pada Dewa Hermes, dari sanalah kata itu berasal. Pada intinya orang Yunani berhutang budi kepada Hermes bahasa dan
tulisan-sebuah mediasi
dengan penemuan
di mana pemahaman
manusia dapat menangkap makna dan menyampaikan kepada orang lain. Hermes “membawa pesan takdir; hermeneuein mengungkap
sesuatu
yang
membawa
pesan,
sejauh
ia
diberitakan bisa menjadi pesan. Tindakan “mengungkap” ini menjadi penjelas “yang tertata” terhadap apa yang sudah dikatakan. Dengan menelusuri akar kata palingt awal dalam Yunani,
orisionilitas
kata
modern
dari
hermenuetika
dan
hermenutis mengasumsikan proses “membawa sesuatu untuk dipahami”, terutama seperti proses ini melibatkan bahasa, karena bahasa merupakan mediasi paling sempurna dalam proses. Ada tiga bentuk makna dasar hermeneuein dan hermeneia yang diasosiasikan dengan Hermes dalam mediasi dan proses membawa
pesan
“agar
dipahami”,
yaitu;
mengatakan,
menjelaskan dan menerjemahkan. Ketiga-tiganya bisa diwakili dalm bentuk kata dalam bahasa Inggris “to interpret” Persoalannya,
kata
latin hermeneutica
belum
muncul
sampai abad ke-17, namun baru muncul pertama kali saat diperkenalkan oleh seorang teolog Strasborg bernama johann Konrad
Danhauer
(1603-1666)
dalam
bukunya
yang
berjudul : Hermeneutica sacra, Sive methodus Eksponendarums
3
Sacrarum Litterarum, yamg menilai bahwa Hermeneutika adalah
syarat
terpenting
bagi
setiap
ilmu
pengetahuan
yang
mendasarkan keabsahannya pada interpretasi teks-teks. Ia secara terbuka mendeskripsikan inspirasinya dari Risalah Peri hermeneias
(de interpretations) Aristoteles, yang
mengklain
bahwa ilmu interpretasi yang baru berlaku tidak lain menjadi pelengkap dari Organon Aristotelian.
C. Teori dan konsep Menurut Gadamer hermeneutik adalah pertemuan dengan Ada (being) yang dapat dipahami dengan bahasa. Karakter linguistik realitas manusia itu sendiri, dan hemeneutika larut ke dalam persoalan-persoalan yang sangat filosofis dari relasi bahasa dengan ada, pemahaman, sejarah, eksistensi, dan realitas. Paul Ricoeur dalam De I’intretation (1965), mendefinisikan hermeneutik yang mengacu balik pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distigtif dan sentral dalam hermeneutika.”yang kita maksudkan dalam hermeneutika adalah teori
tentang
kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis, dengan kata lain, sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi tandatanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks. Istilah Hermeneutika pada masa ini mengandung dua pengertian, yaitu Hermeneutika sebagai seperangkat prinsip metodologis penafsiran dan sebagai penggalian filosofis dari sifat dan kondisi yang tidak bisa dihindari dari kegiatan memahami. Namun berdasarkan bentuk dasar makna hermeneuein dibagi menjadi tiga. Ricard Palmer (2005; 16-33).
4
a.
Hermeneuein sebagai mengatakan ‘‘to say”
Ini berasal dari asal mula hermes dalam memberitahukan kepada manusia. Hermes merupakan utusan dari Tuhan dalam tugasnya untuk memberitahukan kepada manusia. Ini mengasumsikan bahwa utusan di dalam memberikan kata, adalah mengumumkan dan menyatakan sesuatu, funsinya tidak hanya untuk menjelaskan tetapi untuk menyatakan.
b.
Hermeneuein
sebagai
menjelaskan
“to
explain” Hal
yang
paling
esensial
dari
kata-kata
bukanlah
mengatakan saja sesuatu saja, menjelaskan sesuatu, merasionalkannya,
membuat
jelas.
Seseorang
bisamengekspresikan situasi tanpa harus menjelaskan, ekspresi merupakan interpretasi, dan
menjelaskan juga
merupakan bentuk interpretasi.
c.
Hermeneuein
sebagai
menerjemahkan
“To
Translate” Pada dimensi ini menafsirkan bermakna ‘to translate” (menerjemahkan). Menerjemahkan adalah bentuk khusus dari proses interpretasi dasar “membawa sesuatu untuk dipahami”. Dalam konteks ini
seseorang membawa apa
yang asing, jauh dan tidak dapat dipahami ke dalam mediasi bahasa orang itu sendiri. Dan ada enam definisi modern hermeneutik menurut Richard E. Palmer (2005;43-49)
1) Hermeneutika Sebagai Teori Eksegesis Bibel Bentuk pemahaman yang paling awal dari hermeneutika adalah merujuk pada prisnsip-prinsip interpretasi pada Bibel.
5
Lingkungan Protestan merasa sangat butuh terhadap pedoman interpretasi untuk membantu para pendeta dalam menafsirkan kitab suci. Pada hakekatnya hermeneutika ditunjukkan
oleh
hermeutika Bibel, dan yang lainnya mengenai persoalan ruang lingkup hermeneutika. Dalam hal ini hermeneutika
adalah
sistem tafsir untuk mengungkapkan makna “terembunyi” di balik teks. Dalam teologi, hemermeneutika sebagai tafsir historis pesan Bibel. Sejarah hermeneutika Bibel dapat ditelusuri melalui gereja primitif; interpretasi ganda Bibel abad pertengahan; interpretasi mistik; dogma; humanistik, dan sistem lain dari interpretasi. 2)
Hermeneutika sebagai Metodologi Filologis Filologi klasik lahir bersamaan dengan perkembangan
rasionalisme, dan hal tersebut mempengaruhi hermeneutika Bibel. Di situlah muncul kritik historis
dalam teologi dalam
memaknai interpretasi Bibel yang beraliran gramatis dan historis. Keduanya menjelaskan
bahwa
metode interpretasi
yang
diaplikasikan terhadap Bibel, dapat juga diaplikasikan pada buku yang lain. Konsep hermeneutik yang bernuansa Bibel akan berubah ke dalam hermeunetika sebagai kaidah umum dari eksegesis filologi, dangan Bibel salah satunya.
3)
Hermeneutika sebagai Pemahaman Ilmu linguistik: Terhadap
pemahaman,
hermeneutika
Schleiermacher
sebagai memiliki
ilmu distingsi
dan
seni
tersendiri
tentang pemahamannya. Konsepsi hermeneutika diimplikasikan sebagai sebuah kritik radikal dari sudut pandang filologi, karena ia berusaha melebihi konsep hermeneutika sebagai sejumlah kaidah
dan
berupaya
membuat
hermeneutika
menjadi
6
”sistematis-koheren”,
yakni
sebuah
ilmu
yang
berusaha
mendeskripsikan kondisi-kondisi pemahaman dalam berbagai aneka dialog. Hasilnya bukan ”hermeneutika filologi”, tetapi ”hermeneutika umum” (allgemeine hermeneutik) yang prinsipprinsipnya dapat digunakan sebagai fondasi bagi semua ragam interpretasi teks, yaitu sebuah hermeneutika yang menandai permulaan ”hermeneutika non-disipliner” yang sangat signifikan. Untuk dapat disebut sebagai ilmu, maka suatu kajian itu hendaknya
memiliki
berbagai
persyaratan
dan
prinsip,
sedangkan untuk mempermudah pendekatan terhadapnya maka ilmu harus juga memiliki berbagai macam ciri yang menjadi esensi dari sistem ilmu itu sendiri. Terdapat sedikitnya empat persyaratan
utama
untuk
sebuah
ilmu,
yaitu:
(1)
harus
bersistem, (2) memiliki metode (3) objektif, dan (4) harus memiliki tujuan secara jelas dan dapat memberi manfaat bagi umat manusia. Di samping itu ilmu juga harus memiliki berbagai macam prinsip, di antaranya adalah faktualitas, intelektualitas, konsistensi, kontinuitas, dinamis, dan netralitas, sedangkan untuk memperkuatnya, maka ilmu memiliki berbagai ciri, yaitu empiris, analitis, instrumental dan verifikatif. Selanjutnya, dilihat
dari segi bentuknya, ilmu harus
merujuk pada sekumpulan pendapat atau pengetahuan yang disusun secara sistematis, diperoleh melalui proses metodologis dari observasi, eksperimen dan empiri secara objektif tentang alam semesta. Untuk itu, maka ilmu adalah pengetahuan teratur dan terbuktikan, yang secara rasional dan metodis muncul dari data
yang
diperoleh
dari
pengamatan,
percobaan
dan
pengalaman, sedangkan konsep-konsep sederhana, dan kaitankaitan cerapan menjadi rumusan generalisasi, teori, kaidah, asas, dan penjelasan-penjelasan menjadi konsepsi yang menyeluruh
7
atas
sistem
konseptualnya.
Lantas
bagaimana
dengan
hermeneutika? Hermeneutika dalam posisinya sebagai ilmu tidak dapat dilepaskan dimaksud
dari di
berbagai
atas.
prinsip
dan
persyaratan
seperti
itu,
dalam
kaitannya
dengan
Untuk
pemahaman terhadap hermeneutika sebagai disiplin, maka berikut ada pentingnya dipaparkan posisi hermeneutika lengkap dengan sistemnya sesuai dengan sistem ilmu yang harus dipatuhi, sedangkan untuk pendekatannya digunakan ancangan secara historiografis.
4)
Hermeneutika
sebagai
Fondasi
Metodologi
bagi
Geisteswissenschaften
Hermeneutika dalam hal ini adalah inti disiplin yang dapat melayani
sebagai fondasi bagi Geisteswissenschaften atau
disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia. Hermeneutika ini merupakan disiplin yang memfokuskan pada interpretasi , dan khususnya terhadap interpretasi objek yang senantiasa bersifat historis. filsafat besar pada akhir abad ke-19, Wilhelm Dilthey, sekaligus sebagai seorang penulis biografi Schleiermacher, yang menyatakan bahwa hermeneutika adalah ”inti” dari disiplin ilmu yang dapat
memberikan pelayanan
sebagai
pondasi
bagi
geisteswissenschaften (yaitu semua disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia). Dalam menafsirkan ekspresi hidup manusia, apakah itu berupa
karya
sastra,
hukum,
maupun
kitab
suci
harus
memerlukan metode pemahaman tersendiri, yaitu tindakan pemahaman
secara
historis.
Dilthey
memfokuskan
pada
herhemeneutika sebagai kajian interpretatif terhadap objek yang
8
senantiasa
memiliki
dimensi
historis
yang
kemudian
diformulasikan dengan dasar-dasar humanis menjadi sebuah metodologi humanistik yang nyata bagi geisteswissenschaften.
5)
Hermeneutka sebagai Fenomenologi Eksistensi dan Pemahaman Eksistensial. Hermeneutika dalam konteks ini tidak mengacu pada ilmu
atau
kaidah
interpretasi
teks
namun
penejelasan
fenomenologisnya tentang keberadaan manusia itu sendiri. Gadamer dalam pendapatnya menyatakan bahwa
karakter
linguitik realitas manusia itu sendiri dan hermeneutika larut ke dalam persoalan-pesoalan yang sangat filosofi dari relasi bahasa dengan ada, pemahaman, sejarah, eksistensi, dan realitas. Martin Heidegger, dalam menyingkapi persoalan ontologis meminjam metode fenomenologis dari gurunya, Edmund Husserl, dan menggunakan studi fenomenologi terhadap cara berada keseharian manusia di dunia. Dia menyebut analisisnya yang dipresentasikan dalam karya Being And Time(1927), sebagai “hermeneutika dasein”.
6) Hermeneutika sebagai Sitem Interpretasi dalam konteks ini hermeneutika mempunyai makna proses penguraian yang beranjak dari isi dan maknayang nampak ke arah makna terpendam dan tersembunyi. Objek interpretasinya biasanya berupa teks dalam pengertian yang luas , bisa berupa simbol dalam mimpi atau mitos dari simbol masyarakat atau sastra. Freudian menggiring kita kearah ketidakpastian terhadap apa yang telah kita ketahui, antara mitos dan kenyataan, bahkan agama kita sendiri bisa kita curigai atau berkurangnya rasa kepercayaan kita terhadap apa yang kita yakini.
9
Recoeur mengatakan bahwa ada dua makna sindrom yang sangat berbeda dari hermeneutika pada masa modern : pertama yang
dipresentasikan
harmonis
berkaitan
oleh
demitologisasi
dengan
symbol
bulltmann,
dalam
usaha
yang untuk
memperoleh makna tersembunya didalamnya kedua, berusaha untuk menghilangkan symbol sebagai representasi kesemuan realitas. Ia menghancurkan topeng dan ilusi dalam upaya rasiona yang sunggu-sungguh pada model “demistifikasi”.
Fokus Ganda Hermeneutika a. Konsep Pemahaman
Dalam konteks ini teori pemahaman sangat relevan bagi hermeneutika ketika pengalaman hidup, peristiwa pemahaman, dijadikan sebagai pijakan. Berpikir diorinetasikan kepada fakta, sebuah peristiwa di dalam semua kekonkritannya, daripada sekedar
gagasan,
ia menjadi
fenomenologi
dari peristiwa
pemahaman. Fenomena pemahaman ini tidak boleh dipahami secar sempit dan doktrinal, namun demikian ia harus terbuka bagi semua bidang yang lain di mana ia dapat menyumbangkan sesuatu penangkapan yang utuh tentang apa dan bagaimana pemahaman
terjadi,
seperti
epistimologi,
ontologi,
teori
pembelajaran, analisis logika, dan sebagainya. b. Problem Hermeneutis Hermeneutik harus melangkah lebih jauh lagi dalam tindakan kompleks pemahaman ini. Hermeneutik harus dapat memformulasikan teori linguistik dan pemahamn historis seperti fungsi dalam interpretasi teks. Interpretasi yang luas
dalam
problem hermeneutik ini berusaha melihat peristiwa pemahaman teks sebagai hal yang selalu mencakup momen dalam kaitannya dalam konteks sekarang.
10
D. Tokoh-tokoh Besar Hermeneuistik 1. Hermeneutik Daniel Schleiermacher Schleiermacher
adalah
seorang
salah
satu
raksasa
intelektual di jamannya. Namun kendati beliau tidak pernah menulis suatu traktat yang sistematik tentang hermeneutik dan hanya meninggalkan beberapa catatan kecil kompedium kuliah, Schleiermacher telah meletakkan dasar hermenautika modern. Rekonsepsinya
tentang
hermeneutika,
yang
terbit
dari
refleksinya sebagai ahli eksegetika dan filologi, dipengaruhi oleh Plato, dan dinalar dalam konteks sistem idealisme Schelling, Fichte, dan Hegel. Schleiermacher melihat dua masalah universal dalam hermeneutika, yakni perjumpaan dengan sesuatu yang asing dan kemungkinan salah paham manakala kita harus memahami pikiran atau sejumlah pikiran lewat kata-kata. Arah baru yang dibicarakan oleh Schleiermacher adalah tekanan pada pemahaman terhadap hal yang dikatakan dalam suatu
dialogia.
Proses
komparatif
dan
divinatorik
yang
merupakan penetrasi ke dalam struktur kalimat dan struktur pikiran pencipta hingga mengerti keaslian yang berasal dari dalam karya, yaitu proses hermeneutika. Hermeneutika adalah kegiatan mendengarkan yang penetratif tersebut dan disinilah hakikat hermeneutika harus dikaji dan dipelajari. Bagi mengalami
Schleiermacher, kembali
proses
pemahaman
tidak
kejiwaan
pencipta
lain
adalah
teks.
Kita
berangkat dari ungkapan yang sudah pasti dan selesai serta meniti kembali kenyataan kejiwaan yang menjadi pangkal tolak ungkapan tersebut.
11
Semakin tegaslah Schleiermacher bahwa objek operasi hermeneutika terdapat di dalam dua bidang, yakni bahasa dan pikiran. Schleiermacher mengatakan bahwa pemahaman adalah suatu teknologi, bukan proses mekanikal, bukan ilmu, untuk menyusun kembali pikiran/pemikiran orang lain. Schleiermacher melihat gaya bukan sebagai masalah hiasan. Gaya menandai kesatuan pikiran dan bahasa, kesatuan umum dan khusus di dalam proyek seorang pencipta. Pemikiran Schleiermacher bergeser dari konsepsi hermeneutika yang terpusat pada bahasa ke konsepsi hermeneutika yang terpusat pada
masalah
kejiwaan,
masalah
menentukan
atau
merekonstruksi suatu proses mental yang yang hakikatnya tidak lagi
bersifat
kebahasaan.
Ia
melampaui
diskusi
tentang
bangunan aturan-aturan. Minatnya pada Schleiermacher,
masalah kejiwaan adalah prestasi khas
tetapi
ia
cenderung
mengaburkan
unsur
kesejahteraan dan unsur pentingnya bahasa dalam analisis arti.
Proyek Hermeneutika Umum Schleiermacher a. Interpretasi Gramatis Diawali dengan menempatkan pernyataan berdasarkan aturan objektif dan umum. Interpretasi gramatis melihat karya dalam kaitannya dengan bahasa, baik dalam struktur kalimat maupun interaksi bagian-bagian karya, dan juga untuk karya lain dari tipe literatur yang sama. Maka dari itu kita dapat melihat prinsip-prinsip bagian dan keseluruhan karya bekerja dalam interpretasi gramatis. b. Interpretasi Psikologis Pendekatan Psikologis menggunakan koparatif dan firasat dalam dalam memahami pengarang.
Dalam menggunakan
12
metode firasat
diharapkan seseorang dapat keluar dari diri
sendiri dan mentransfer formasikan dirinya ke dalam diri pengarang supaya ia dapat menangkap secara langsung proses mental pengarang. Ini tidak hanya untuk memahami pengarang dari sudut pandang psikologis, tapi juga untuk mendapatkan maksud mengarang dari dalam teks.
2. Hermeneutik wilhelm Dilthey Dalam
hidupnya dilthey
dalam hermeneuistik sebagai
memiliki
pemikiran-pemikiran
fondasi gesteswissenschften
yakni: a. Pengalaman Pengalaman hidup dimaknai sebagai suatu unit yang secara bersamaan diyakini mempunyai makna yang umum. Dengan kata lain suatu pengalaman melukis yang penuh makna, misalnya mencakup banyak perjumpaan dengan pangalamnpengalaman lain yang dipisahkan oleh waktu namun tetap saja disebut sebagai sebuah pengalaman. b. Ekspresi Bagi
Dilthey
ekspresi
terutama
bukan
merupakan
pembentukan perasaan seseorang, namun lebih sebuah ekspresi hidup, sebuah ekpresi mengacu pada ide, hukum, bentuk sosial, bahasa
dan
segala
sesuatu
yang
merefleksikan
produk
kehidupan dalam manusia. c. Karya seni sebagai Obyektivikasi Pengalaman Hidup Karya seni tidak hanya menunjuk pada pengarangnya secara keseluruhann namun menunjuk pada hidup (kehidupan itu sendiri). d. Pemahaman
13
Pemahaman
merupakan
proses
jiwa
yang
dapat
memperluas pengalaman hidup manusia. Pemahaman memiliki manfaat membebaskan dari teorisasi rasional. Pemahaman bukan hanya merupakan tindakan pemikiran, namun merupakan proses transposisi dan pengalaman dunia kembali. Ia merupakan pengoperasian pikiran-pikiran kosong yang mencapai tranposisi pra-reflekif dari seseorang kepada orang lain.
3. Heidegger Menurut
heidegger,
Hermeneutika
dialogis
adalah
interpretasi dengan asumsi bahwa pemahaman yang benar akan dapat dicapai malalui dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan. Artinya, pikiran penafsir juga menceburkan diri kedalam pembangkitan kembali makna teks. Dengan demikian, proses pemahaman adalah proses peleburan antara sekurangkurangnya dua horizon. Pengarang dan konteks historis dari teks dipertimbangkan dalam proses itu bersama dengan prasangkaprasangka penafsir seperti tradisi, kepentingan praktis bahasa dan budaya. Tokoh dari teori ini adalah murid Martin Heidegger sendiri, seorang filosof kelahiran Marbug bernama Hans-Georg Gadamer (1900-2002). Karier puncak Gadamer pada tahun 1960 ketika ia manulis karya yang cukup monumental berjudul Wahrheit und Methode (kebenaran
dan metode) yang kemudian menjadi
rujukan kajian Hermeneutika kontemporer sampai saat ini. (ilmu tuhan blogspot) Kontribusinya terhadap seni berasal dari hakikat seni bukan terletak pada nilai keterampilan manusia, namun justru pada pengungkapannya. Menafsirkan karya seni berarti beralih ke dalam ruang yang terbuka di mana karya tersebut telah
14
ditegakkan. Kebenaran seni bukanlah harmonisasi dangkal dengan sesuatu yang sudah ada (yakni pandangan tradisional akan kebenaran sebagai hal yang benar).
4.
Gadamer dalam Kritiknya
Hermeneutika kritus adalah interpretasi dengan pemahaman yang ditentukan oleh kepentingan social (social interest) yang melibatkan
kepentingan
kekuasaan (power
interest) sang
interpreter. Secara metodologis, teori ini dibangun di atas klaim bahwa setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias-bias dan unsure-unsur kepentingan politik, ekonomi, social, termasuk bias strata kelas, suku, dan gender. Artinya, dengan menggunakan metode ini, konsekkuensinya kita harus curiga dan waspada (kritis) terhadp bentuk tafsir , pengetahuan atau jargon-jargon yang dipakai dalam sains dan agama. Tokoh dari teori ini adalah Jurgen Habermas (1929-) seorang filosof
Jerman
yang
juga
Gadamer, ia
juga
fundamental
Hermeneutika.
belajar
menempatkan
politik. bahasa
Sebab,
Sejalan
dengan
sebagai
unsure
analisis
suatu
fakta
dilakukan melalui hubungan simbol-simbol sebagai simbol dari fakta. Hanya saja Hermeneutika dialogis Gadamer dianggapnya kurang memiliki kesadaran social yang kritis. Kalau menurut Gadamer, pemahaman
didahului dengan pra-penilaian (pre-
judgement), maka bagi Habermas pemahaman didahului oleh
kepentingan. Artinya teori ini lebih mengedepankan refleksi kritis penafsir dan menolak kehadiran prasangka dan tradisi. Sehingga untuk memahami suatu teks, seorang penafsir harus mampu mengambil jarak
atau melangkah keluar dari
tradisi
dan
prasangka.
15
5.
Suwardi
Endra
Surana
(Tokoh
Hermeneutika
sekarang) Hermeneutika menurut Suwardi berarti tafsiran. Dalam studi sastra juga mengenal hermeneutik sebagai tafsir sastra. Suwardi mengemukakan enam pokok dalam menafsirkan sastra yang harus diperhatikan yaitu; a) Penafsiran yang bertolak dari pendapat, bahwa teks sastra sudah jelas. Isyarat-isyarat dan susunan-susunan teks membuka kesempatan untuk
menemukan
diperlukan
dalam
bagi pembaca yang kompeten
arti
yang
penafsiran.
tepat. Tanpa
Penghayatan penghayatan,
penafsiran akan dangkal. b) Penafsiran yang berusaha menyusun kembali arti historik. Penafsir dapat berpedoman pada maksud si pengarang seperti tampak pada teks sendiri atau di luar teks. Penafsiran juga dapat disusun denga “cakrawala harapan” pada pembaca pada waktu itu. Penafsir dapat menyususn kembali pandangan sosio budaya masyarakat terhadap sastra yang hidup dalam batin mereka. Penafsir juga bisa menghubungkan dengan aspek sejarah suatu teks. Contoh; berhubungan dengan masalah politik. c) Penafsiran hermeneutik baru yang diwakili oleh Gadamer berusaha memadukan masa silam dengan masa kini. Penafsir sadar bahwa ia berdiri ditengah-tengah arus sejarah
baik
penerima
maupun
penafsiran;
cara
ia
mengerti sebuah teks turut dihasilkan sebuah tradisi. Penafsiran ditentukan oleh indifidu dan masyarakatnya. Dalam hal ini proses penafsiran sambil “melebur cakrawala masa silam dan masa kini”. Sasaran terakhir adalah agar
16
penafsir memahami teks dan menerapkannya yang baku dan lepas dari keterkaitan waktu pada situasi itu sendiri. d)
Penafsiran yang bertolak pada pandangannya sendiri
mengenai
sastra.
Hal
ini
sering
dilakukan
dengan
presentasi bahwa kita bisa menunjukkan arti teks yang pokok. Contoh; peneliti menafsirkan dari aspek feminis kary-karya NH.
Dhini, Isma Sawitri
dan
sebagainya.
Penafsiran terfokus pada gerakan wanita dalam rangka emansipasi, peneliti dapat pula memahami karya-karya pengarang wanita yang bernafaskan emansipasi. e) Penafsiran yang berpangkal pada
suatu problematik
tertentu misalkan dari aspek politik, psikologis, sosiologis, moral, dan senagainya. Harmeneutik ini beranggapan penafsiran karya sastra bersifat parsial, hanya bagian tertentu saja yang sejalan dengan isu strategis. Namun hal ini dilakukan ketika seseorang harus menjadi pembicara pada suatu temu ilmiah yang tematik. f) Penafsiran yang tak langsung berusaha agar memadahi sebuah teks diartikan, melainkan henya ingin menunjukkan kemungkinan-kemungkinan yang tercantum di dalam teks, sehingga Pendekatan
pembaca yang
sendiri
dapat
berpedoman
pada
menafsirkannya. pembaca
ini
dinamakan estetik reseptif. Pengarang memepergunakan aspek retorik, stilistika, struktural, tetapi tetap ada juga bidang-bidang yang dibiarkan kosong; peristiwa-peristiwa yang tidak diceritakan secara lengkap, tokoh tidak diajukan secara utuh, dan diajukan teka-teki tetapi tidak dijawab. Hal-hal kosong ini dapat mengaktifkan pembaca
17
E.
Contoh Analisis Hermeneutika Dalam memahami makna yang terdapat pada sajak Abdul
Wachid B.S yang berjudul “Ingat kamu, nun” penulis Abdul Wachid B.S ingin memberikan sebuah kolaborasi antara puisipuisi modern dengan puisi sufistik yang bersangkutan dengan relegiusitas makna mendalam, dan membuka segi simbol yang tak jelas, pembaca dituntut untuk
memahami dan mencari
pengertian dan hakekat nun sebenarnya, berikut teks sajak yang dianalisi “Ingat kamu, nun”.
Ingat kamu, nun Ingat kamu, nun Jauh jarak tak jua tertempuh Seperti dari bumi ke langit tujuh Wajah langit cerah bagai baju birumu Menjadikan aku selalu diharu biru
Ingat kamu, nun Jauh dari alam mimpi dibangun dini hari Lalu kubuka jendela, ku buka pintu Ku basuhkan air sumber dengan kasih sayang Seperti mengingat wajahmu Pada jam-jam tahajut itu Air suci membawa kesembuhan hati Ingat kamu, nun Jauh sekaligus dekat Diluar ruang-waktu sekaligus Selalu di dalam taman yang bernama hati Kamu menggedor-gedor kesadaranku Kamu mengikut kabut disubuh putih Kemudian kamu menjelma matahari pagi Menerobos cela-cela jendela Kamarku, menjadikan dunia aku Selalu diharu-biru Ingat kamu, nun Dari awal hingga ke ujung jalan waktu Kamu menguntit langkah kakiku Kadang menarik-narik bajuku dari belakang
18
Kadang menghalang-halangi pandanganku ke depan Bahkan kamu menjegalku Sekedar agar aku terjatuh Lau bersimpuh didepan Mu Ingat kamu,nun Jarak tempuh mana lagi akan Kucari-cari: kamu menghilang Kamu hanya meninggalkan jejak-jejak keindahan : kupu-kupu putih yang Kemudian lenyap dibalik Perumpung bunga -Yogyakarta, Januari 2009-
Puisi
ini mengatakan bahwa adanya keterkaitan antara
kata-katanya yakni: Nun Jauh - dekat Bumi - langit ke tujuh Diluar - di dalam Awal jalan – ujung jalan Depan – belakang Menarik-narik – menghala-halangi Terjatuh – bersimpuh dari beberapa kata tersebut diatas sudah bisa diraba-raba , kemana arah pemaknaan nun, namun pemaknaan ini tidak boleh lepas dari puisi keseluruhan. Kemudian dari proses penterjemahan dalam memahami puisi “Ingat kamu, nun” di atas, sesungguhnya banyak sekali makna
yang menarik untuk dipecahkan, pengarang dalam
sajaknya berperan sebagai hamba yang mencari
ke Agungan
Tuhan-Nya. Pencarian itu dimulai dari diksi yang menyimpan rahasia
besar
dibalik
simbol,
atau
makna
Nun
sendiri,
19
sebagaimana telah di tulis di dalam Al-Qur’an pada surat AlQolam, berangkat dari huruf tersebut penulis Abdul Wachid B.S mengambil satu huruf yang cukup menarik dan mempunyai rahasia besar akan kebesaran Allah. Dalam puisinya yang lain dalam satu antologi puisi berjudul “Yang” terdapat satu sajak yang membicara tentang huruf nun yang berjudul “Di ujung nun”. … Di ujung nun Jalan bercabang dua … Di ujung nun Jalan mengapa menjelma dua? Di atasnya ada satu titik takdir -Yogyakarta, Januari 2009Kemudian penterjemahan menurut kami dari segi bahasa, penggambaran, pengibaratan, ini semua merujuk pada halhal yang religius, sehingga kami mengaitkan penafsiran puisi ini dengan tafsiran Al Qur’an, dan akan rahasia dalam huruf nun di dalam Al-Qur’an pada surat Al-Qolam membawa pengarang dalam sebuah pemikiran hakikat logika yang dicapai seoarang hamba kepada Tuhannya untuk mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah; (ن = Nuun) kemudian dilanjutkan dengan ayat
َ ْ وا kedua (ن َ روُ ُسط ْ َ يَ وَ ِمَقل َ = Demi qolam dan apa yang mereka tulis). Ada
sekelompok
aliran dalam Islam yang menafsirkan
bahwa nun hanya Allah yang tahu, dan nun adalah singgasana Tuhan yang terdapat jauh di atas sana. Kalau penafsiran ini benar tentu saja tempat dan kedudukan bagi Tuhan itu menduduki dan
haruslah memiliki pennafsiran yang paling
tinggi. Kita sudah pasti tidak akan dapat menjelaskan huruf nun tersebut mempunyai makna apa Wallahu a’lam karena nun
20
adalah esensi yang sangat rahasia dari rahasia Allah dan keagungan Allah, dan bahkan keagungan seluruh makhluk-Nya. seluruh keagungan Tuhan yang digambarkan dengan nun atau dalam arti harfiah kamus bahasa Indonesia berarti yang paling. Dalam penafsiran adalah kemahaberkuasaan (Kamiliyah) dan kebesaran ( Jalaliah). Oleh sebab itu sifat-sifat ini kerahasiaan ini menunjukkan betapa agung kedudukan-Nya. Secara`
konteks
interen
puisi
“Ingat
kamu,
nun”
berhubungan dengan sajak “di ujung nun” yang masih dalam satu antologi puisinya Abdul Wackid B.S Di ujung nun Jalan bercabang dua Bila yang satu naik, bila yang satu turun Lalu langkah kaki bertemu dimana? Jalan mengapa menjelma dua? Di atasnya ada satu titik takdir Matahari: di mana cinta tak harus berakhir Yogyakarta, Januari 2009 Tingkat penggambaran antara dua cabang yang menuju jalan dimana pengarang menggunakan kalimat “Bila yang satu naik, bila yang satu turun” ketetapan apa yang dilakukan oleh manusia dimuka bumi akan menghantarkan perbuatannya atau tingkatan keimanan dan ibadah yang menentukan kelak dialam baqo’ akan diketahui dia berada di atas atau dibawah, esensi ini
sama
dengan
penegasan
Allah,
segala
amal
akan
diperhitungkan, yang digambarkan melalui diksi naik dan turun hal ini sama dengan surga dan neraka, dan satu titik tersebut akan menentukan apakah seorang akan ada di bawah atau di atas, dan dibalik itu pengarang mencoba memperjelas dimana jalan yang akan dipilih oleh seoarang hamba yang akan menuntunnya ke dalam sebuah titik dimana Allah ada di sana.
21
Dalam puisi Abdul Wachid B.S yang berjudul “Ingat kamu, nun” juga ditemukan sajak yang lain atau dengan kata lain sajak “Ingat kamu, nun” berkontektual dengan sajak “Nun” karya Fakhrunnas M.A Jabbar dalam antologi puisinya yang berjudul “Airmata Barzanji” secara tidak langsung.
Nun Inilah kait nun dari julang langit yang jauh Nun bukit mana dari julang langit yang jauh Nun dari kata apa dari ujung langit yang jauh Nun dari ayat mana dari julang langit yang jauh Inilah lingkaran nun yang tak pernah bersentuh ujungnya Nun dari ayat dan kitab suci Dari Zabur Dari Taurat Dari Injil Dari Al-Qur’an Nun di sana dari Air Lembah Eufrat Nun di sana dari Makkah dan Madinah mandi cahaya. Pekanbaru, 1981 Fakhrunnas M.A Jabbar Dari pandangan perspektif tersebut, maka pemaknaan sebuah sajak “Ingat kamu, nun” karya Abdul Wachid B.S harus didasarkan dengan pemaknaan-pemaknaan secara menyeluruh, sebelum
mencari
pandangan
filosofis
dalam
pandangan
pengarang. Pengambilan simbol nun dalam sajak tersebut merupakan hal yang pertama yang harus diketahui baik arti atau makna, didalam kamus bahasa Indonesia sendiri diksi “Nun” berarti: sana, di sana, atau nama huruf ke-25 dalam abjad Arab. Sebuah gambaran pencarian yang harus di jalani oleh seorang hamba untuk mencapai maqon kedekatan dengan Tuhannya seperti di tulis dalam sajaknya pada bait pertama baris tiga
22
“Seperti dari bumi ke langit tujuh”. Sedangkan untuk mencari kedekatan tersebut penggarang menggambarkan cara untuk mendekatkan diri dengan Tuhan yakni dengan cara bangun ditengah malam untuk sholat tahajud dimana disana seorang hamba mempunyai kedekatan dengan Tuhannya sehingga hati seorang hamba bisa mencapai tingkatam maqom yang dekat atau benar-benar mendialogkan pikirannya dengan Tuhan. Kedekatan
hamba
dengan
Tuhan
inilah
yang
coba
digambarkan oleh Abdul Wachid B.S lewat sajaknya pada bait kedua baris ke empat “Selalu didalam taman yang bernama hati” bahwa konsep kedekatan Tuhan di ukur dimana segala tingkah laku perbuatan adalah dari kedekatan hati ( ma’rifat ) dan dimana Tuhan berada dihati seoarang hamba, dalam hadis kudsi dijelaskan juga seoarang hamba jika berniat mendekatkan diri kepada Tuhannya maka Tuhan akan dekat dengan hamba tersebut, dan juga sebaliknya jika seoarang hamba jauh dari Tuhan jauh keyakinan
pula
Tuhan dengan hamba
kedudukan
dimana
seorang
tersebut, ang
sebuah
mencoba
mendekatkan diri melalui ibadahnya, seoarang hamba akan benar-benar
merasakan
kesejukan
dalam
hatinya
dengan
keyakinannya Allah selalu menjadi kekasih dan tempat dimana meminta segala pertolongan. Dengan menginterpretasi dan mencari makna dalam puisi “Ingat kamu, nun” diatas maka, akan ditemukan sebuah perpaduan
kenyataan
seoarang
hamba
yang
megalami
perjalanan kehidupan yang semula tidak ada kemudian di ciptakan oleh Allah dimuka bumi dan juga akan dimatikan lagi oleh Allah. Semua perjalanan kehidupan itu di ditulis dalam sajak “Iangat kamu nun” yang ditulis “Dari awal hingga ke ujung jalanan waktu” dan didalam perjalanan hidup manusia adalah
23
hakekatnya untuk beribadah kepada Allah, disinilah tingkat ketakwaan seorang hamba diuji oleh Allah melalui cobaan jegalan, tarikan, halangan dan berbagai tantangan kehidupan didunia lainnya yang kesemuanya itu tak lain untuk mengetahui seberapa besar tingkat kesabaran dan ketakwaannya seoarang hamba. Hal itu ditulis disajak “Ingat kamu, nun” di bait empat baris ke enam “Bahkan kamu menjegalku sekedar aku terjatuh lalu bersimpuh dihadapan-MU” Setelah seorang hamba melewati ujian dari Allah maka disinalah sang penulis puisi Abdul Wachid B.S melanjutkan dengan “Ingat kamu, nun jarak tempuh mana lagi akan kucari cari” di mana seorang hamba yang mencari kedekatan dan mencari
maqom
mairifatullah
melalui
segala
kebesaran,
keagungan, kekuasaan, dan maha kasihsayang-Nya, segala keindahan tersebut diciptakan-Nya dimuka bumi ini supaya manusia menegetahui kekuasaan-Nya . Dalam kajian hermeneutika yang menafsirkan sajak puisi Abdul wachid B.S dapat digambarkan dengan seorang hamba yang mencari maqom ma’rifat atau usaha seorang hamba untuk mencoba mendekatkan diri kepada Tuhannya melalui berbagai upaya yang dapat dilakukan, diantaranya memelalui tawakal, sabar, dan puncaknya yakni takwa. Hal tersebut ditulis di dalam sajak Abdul Wachid B.S yang berjudul “Ingat kamu, nun” ditulis pada bait ke empat baris ke empat “Kadang menarik-narik bajuku dari belakang/ kadang menghalang-halangi pandanganku kedepan/ nahkan kamu menjegalku/ sekedar agar akau terjatuh/ lalu bersimpuh dihadapan Mu”. Secara pandangan persepektif Islam sajak “Ingat kamu, nun” karya
Abdul
Wachid
B.S
mengadung
berbagai
banyak
pemaknaan, berangkat dari Al-Qur’an surat Al-Qolam disana
24
sudah ditulis bawah “nun” adalah sebuah kerahasiaan Allah, tidak banyak juga di jelaskan esensi nun itu sendiri didalam AlQur’an, baik segi arti maupun makna. Dari pandangan orangorang sufi menganggap bahwa di sana merupakan sebuah kerahasiaan kekuasaan
besar
yang
Allah,
dan
dimiliki
Maha
Allah,
Indah
kebesaran
Allah
dengan
akan segala
kerahasiaannya yang telah diciptakan, Wallahu a’lam. Berangakat dari kerasiaan “nun” di dalam Al-Qur’an penulis Abdul
Wachid B.S
mencoba
menerapkan konsep spiritual
“manunggaling kaula gusti” yang seolah seoarang hamba yang mencari Tuhannya dengan susah payah dan meski melewati jarak
yang
cukup
jauh dan juga
melelahkan untuk
bisa
menemukan “nun”, “Kebesaran Tuhannya”. Dan diteruskan dibait ketiga baris ke empat Abdul wachid B.S menggambarkan tempat yang dicari oleh seorang hamba tersebut sebetulnya berada didalam hatinya sendiri “Jauh sekaligus dekat/ di luar ruang sekaligus/ selalu didalam taman yang bernama hati”.
F. Simpulan Hermeneutika adalah suatu proses interpretasi dengan menggunakan
3
langkah,
yaitu:
mengatakan”to
say”,
menjelaskan “to explain”, dan merterjemahkan “to translate”. Hermeneutika memberi tekanan pada historisitas, tidak hanya pada manusia saja tetapi juga pada bahasa dan makna. Hermeneutiknya meliputi baik objek maupun subjek sejarah, peristiwa
dan
sejarawannya,
interpreter
dan
yang
diinterpretasikan.
25
Hermeneutika dalam perjalanan historis memiliki sejarah yang cukup panjang, paling tidak dapat dipetakan dalam enam posisi, yaitu: a.
Hermeneutika sebagai teori eksegesis Bibel,
b.
Hermeneutika sebagai metode dalam kajian filologi,
c.
Hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik,
d.
Hermeneutika sebagai fondasi metodologis dalam
geisteswissenschaften, e.
Hermeneutika
sebagai
pendekatan
metodologis
dasein dan pemahaman eksistensial, dan f.
Hermeneutika sebagai sistem interpretasi dalam
menemukan makna dan ikonoklasme. Fokus
ganda
hermeneutika
dikonsentarsikan
pada
peristiwa pemahaman dan aneka problematika yang lebih diintensitaskan pada analisis bahasa secara fungsional yang dapat memberikan sumbangan ke bidang ilmu linguistik. Namun
dalam
hermeneutika
yang terpenting adalah
interpretasi bukanlah apresiasi. Dalam tindakan apresiasi itu merupakan tindakan tindak lanjutan dari proses interpretasi.
DAFTAR PUSTAKA Palmer, Richard E, 2003. Hermeneutics Interpretation Theory In Schlemacher, Dilthey
Musnur
Hery
dan
Heidegger
Damanhuri
And
Gadamer , .Terj.
Muhamed,
Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, Cet III. Endraswara,
Suwardi.
2003.
Metodologi
Penelitian
Satra,
Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi.
26
Hadi W M, Abdul. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas: Esai-esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa, Matahari.
Raharjo,
Mudjia,
2008.
Dasar-dasar
Hermeneutika
antara
Intersionalisme dan Gadamerian, Jogjakarta. Ar-Ruzmedia.
Grondin, Jean,
2007.
sejarah
Hermeneutik, Jogjakarta, Ar-
Ruzmedia. Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/religionstudies/2177230-enam-pengertian-modernhermeneutika/#ixzz1bOj16Htq. Sumber;http://edhudaebillah.blogspot.com/2011/03/sejarah-dan-perkembanganhermeneutika.html
27