BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses hermeneutik dari waktu ke waktu semakin berkembang mengikuti alur
dialektika manusia yang semakin kompleks dan terbuka di dalam memahami
pesan-pesan ketuhanan. Dalam perkembangannya, hermeneutik memiliki tiga
model, yaitu hermeneutik sebagai cara atau hermeneutik teoritis,
hermeneutik sebagai cara untuk memahami pemahaman atau hermeneutika
filosofis, hermeneutik sebagai cara untuk mengkritisi pemahaman atau
hermeneutik kritis.
Problema hermeneutik dalam kajian agama, lebih- lebih filsafat, makin
bertambah penting mengingat penafsiran ulang terhadap suatu teks. Dalam
proses menerjemahkan tersebut terdapat faktor memahami dan menerangkan
sebuah pesan ke dalam medium bahasa. Inilah sesungguhnya rahim historisitas
yang kemudian melahirkan hermeneutik. Akan tetapi, proses hermeneutik tidak
sekedar memahami, menerjemahkan, dan menjelaskan sebuah pesan. Namun di
balik proses hermeneutik berjubel-jubel elemen lain yang saling berkait,
seperti praanggapan, tradisi, dialektika, bahasa, dan realitas.
Secara historis, penggunaan hermeneutika dapat ditemukan dalam karya-
karya klasik pemikir Yunani kuno, seperti tulisan Aristoteles Peri
Hermenias atau de intepretatione.Minat utama Aristoteles dan pemikir-
pemikir masa tersebut adalah intepretasi terhadap ungkapan-uangkapan, baik
lisan maupun tulisan, yang dilakukan oleh orang yang berbeda-beda. Asumsi
hermeneutika pada masa tersebut bersifat personal, bahwa setiap orang
mempunyai pengalaman-pengalaman mental sendiri-sendiri sehingga berpengaruh
terhadap cara pengungkapan dan gaya bahasa yang berbeda pula. Oleh karena
itu, tujuan hermeneutika pada masa itu antara lain untuk memahami bentuk-
bentuk ekspresi manusiawi dari peristiwa mental manusia.[1]
Dengan berkembangnya diskursus filsafat ke arah postmodernisme,
hermeneutika mulai berperan sebaga salah satu disiplin yang sangat kritis
terhadap metodologi memahami teks dan realitas. Ia tidak lagi sebagai teori
penafsiran, akan tetapi menempatkan diri sebagi kritikus metode penafsiran.
Hermeneutika di sini mulai berubah menjadi "metateori tentang teori
intepretasi".[2]
Oleh karena itu, berdasarkan asumsi diatas, dalam makalah ini penulis
akan membahas tentang Hermeneutika dengan pokok pembahasan; pengertian
Hermeneutik, sejarah munculnya beserta tokoh-tokohnya.
B. Pokok Bahasan
1. Pengertian Hermeneutika
2. Sejarah perkembangan Hermeneutika beserta tokoh-tokohnya
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Hermeneutika
2. Mengetahui sejarah perkembangan Hermeneutika beserta tokoh-tokohnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hermeneutika
Disepanjang sejarahnya, hermeneutik secara sporadis muncul dan
berkembang sebagai teori interpretasi saat ia diperlukan untuk
menerjemahkan literature otoritatif di bawah kondisi-kondisi yang tidak
mengijinkan akses kepadanya, karena alasan ruang dan waktu atau pada
perbedaan bahasa. Dalam hal ini sebuah teks dapat diperdebatkan atau tetap
tersembunyi sehingga memerlukan penjelasan interpretasi agar membuatnya
transparan.[3]
Hermeneutik adalah studi pemahaman, khususnya tugas pemahaman teks.
Kajian hermeneutik berkembang sebagai sebuah usaha untuk menggambarkan
pemahaman teks, lebih spesifik pemahaman historis dan humanistik. Dengan
demikian, hermeneutik mencakup dalam dua fokus perhatian yang berbeda dan
saling berinteraksi yaitu; 1) peristiwa pemahaman teks, 2) persoalan yang
mengarah mengenai apa pemahaman interpretasi itu[4].
Secara etimologi kata hermeneutika (hermeneutic) berasal dari Yunani,
hermeneuein yang berarti menerjemahkan atau menafsirkan. Ia merupakan
sebuah proses mengubah sesuatu dari situasi ketidak tahuan menjadi
mengerti. Oleh sebab itu, tugas pokok hermeneutika adalah sebagaimana
menafsirkan sebuah teks klasik dan asing menjadi milik kita yang hidup di
zaman dan tempat berbeda[5]. Istilah hermeneutika juga kerap dihubungkan
dengan tokoh mitologis Yunani, Hermes, yang bertugas menyampaikan tugas
Yupiter kepada manusia. Mitos ini menjelaskan tugas seorang hermes yang
begitu penting, yang bila keliru dapat berakibat fatal. Hermes adalah
seorang duta yang dibebani misi menyampaikan pesan sang dewa. Berhasil atau
tidaknya misi menyampaikan pesan tersebut tergantung pada cara bagaimana
pesan itu disampaikan. Dengan demikian, hermeneutika secara sederhana
diartikan sebagai proses mengubah ketidaktahuan menjadi tahu.[6]
Pada awalnya hermeneutika digunakan oleh para kalangan agamawan. Melihat
hermeneutika dapat menyuguhkan makna dalam teks klasik, maka abad ke-17
kalangan gereja menerapkan telaah hermeneutis untuk membongkar makna teks
Injil. Ketika menemukan kesulitan dalam memahami bahasa dan pesan kitab
suci itu, mereka berkesimpulan bahwa kesulitan itu akan membantu
pemecahannya oleh hermeneutik. Karena itu dalam posisi ini hermeneutik
dianggap sebagai metode untuk memahami teks kitab suci. Fakta ini di
nisbatkan sebagai langkah awal dalam pertumbuhan hermeneutika adalah
gerakan interpretasi atau eksegesis diawal perkembangannya.[7]
Jean Grodin (1994: 20) menjelaskan bahwa dalam sejarahnya hermeneutika
sebagai metode penafsiran dapat dilacak kemunculannya paling tidak sejak
periode pratistik, jika bukan pada filsafat Stoik yang mengembangkan
filsafat aligoris terhadap mitos atau bahkan pada tradisi sastra kuno
Yunani. Meskipun demikian, hermeneutika sebagai metode penafsiran, baru
pada abad tersebut (ke-17). Namun sebelum abad ke-17 belum memperkenalkan
istilah hermeneutika secara definitive dan belum bercorak filosofis.
Tentang istilah hermeneutika sendiri secara historis baru muncul pertama
kali dalam karya Johann Konrad Dannhauer, seorang teolog Jerman, yang
berjudul Hermeneutika Sacra, Shive Methodus Exponendarums Sacrarum yang
ditulis pada tahun 1654. Sebagai seorang teolog, hermeneutika yang dibahas
masih terbatas dalam penafsiran teks-teks Bibel.[8]
Memasuki abad ke-20, kajian hermeneutika semakin berkembang.
Schleiermacher, filusuf yang kelak digelari Bapak hermeneutic modern,
memperluas cakupan hermeneutika tidak hanya dalam bidang sastra dan kitab
suci. Ia melihat bahwa sebagai metode interpretasi, hermeneutika sangat
besar artinya bagi keilmuan dan bisa diadopsi oleh semua kalangan hingga
akhir abad ke-20.
B. Sejarah perkembangan Hermeneutika beserta tokoh-tokohnya
Terdapat sejumlah tokoh yang memberi sumbangan dalam perkembangan
filsafat hermeneutika, di antaranya adalah:
1. Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834).
Schleiermacher, seorang Protestan dan pernah menjadi Rektor di
Universitas Berlin pada tahun 1815-1816, digelar sebagai "the founder
of General Hermeneutics." Gelar tersebut diberikan karena pemikirannya
dianggap telah memberi nuansa baru dalam teori penafsiran.[9] Materi
kuliahnya "universal hermeneutic" menjadi rujukan Gadamer dan
berpangaruh terhadap pemikiran Weber dan Dilthey. Ia dianggap sebagai
filosof Jerman pertama yang terus menerus memikirkan persoalan-
persoalan hermeneutika. Karena itu ia dianggap sebagai Bapak
Hermeneutika modern dan juga pendiri Protestan Liberal.[10]
Schleiemecher menandai lahirnya hermeneutika yang bukan lagi terbatas
kepada idiom filologi maupun eksegesis Bibel, melainkan prinsip-
prinsipnya bisa digunakan sebagai fondasi bagi semua ragam interpretasi
teks.
Schleiermacher mengadakan reorientasi paradigma dari "makna" teks
kepada "pemahaman" teks. Rasionalitas modern seperti dianut oleh mazhab
protestantisme telah mengubah makna literal Bible yang selama ini
dianggap oleh mazhab resmi gereja sebagai "makna historis" menjadi
"pemahaman historis" yang segala sesuatunya merujuk kepada masa silam.
Afiliasi suatu teks kepada masa silam itu menyebabkan kehadirannya di
masa kini menjadi sebentuk kecurigaan; mengapa teks yang merespon
kejadian masa lalu harus menjadi jawaban problem kekinian?! Tidak kah
lebih baik jika teks masa silam itu dienyahkan karena realitas yang
terus berubah dari waktu ke waktu?[11]
Schleiermacher menjadikan persoalan hermeneutis sebagai persoalan
universal dan mengajukan teori pemahaman yang filosofis untuk
mengatasinya. Ia merubah makan hermeneutika dari sekedar kajian teks
Bibel menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat. Dalam
pandangan Schleiermacher, tradisi hermeneutika filologis dan
hermeneutika teologis bisa berinteraksi, yang membuka kemungkinan untuk
mengembangkan teori umum mengenai pemahaman dan penafsiran. Paul
Ricoeur berpendapat hermeneutika lahir dengan usaha untuk menaikkan
penafsiran Bibel dan filologis ke tingkat ilmiah, yang tidak terbatas
kepada metode yang khusus. Dengan mensubordinasikan kaidah-kaidah dalam
tafsir Bibel dan filologis kepada problem penafsiran yang umum, maka
teori penafsiran Schleiermacher disebut juga dengan hermeneutika
universal (universal hermeneutics).[12]
Schleirmacher telah menumbuhkan asas seni pemahaman teks; pemahaman
yang selalu terkait mengikuti perkembangan dari setiap orang dan dari
satu zaman ke zaman yang lain. Jarak pemisah antara zaman produksi teks
dengan zaman pemahaman kekinian sedemikian meluas dan membentang,
sehingga diperlukan ilmu yang mencegah kekeliruan pemahaman. Atas dasar
itu, Schleirmacher meletakkan kaidah pemahaman teks yang terbatas pada
dua aspek utama yaitu: aspek kebahasaan (penafsiran tata bahasa) dan
aspek kemampuan menembus karakter psikis pengarang (penafsiran
psikologi). Kedua aspek itu saling melengkapi satu dengan lainnya.
Tugas kaedah hermeneutik Schleirmacher-ian itu adalah untuk sejauh
mungkin memahami teks seperti yang dipahami pengarangnya dan bahkan
lebih baik dari apa yang dipahami oleh si pengarang (merekonstruksi
pikiran pengarang). Tugas itulah yang kemudian dikenal dengan
"Hermeneutical Circle".[13]
Jadi, bukan saja setiap unit, tata bahasa harus dipahami dalam
konteks keseluruhan ucapan, tetapi ucapan juga harus dipahami dari
konteks keseluruhan mental pengarang (the part whole principle). Jika
tugas tersebut dilakukan oleh seorang interpreter maka Schleirmacher
menyimpulkan sesorang penafsir akan bisa memahami teks sebaik atau
bahkan lebih baik daripada pengarangnya sendiri, dan memahami pengarang
teks tersebut lebih baik daripada pengarang sendiri.[14]
2. Wilhelm Dilthey (1833-1911)
Wilhelm adalah penulis biografi Scleiermacher dan salah satu
pemikir filsafat besar pada akhir abad ke-19. Dia melihat hermeneutika
adalah inti disiplin yang dapat digunakan sebagai fondasi bagi
geisteswissenschaften (yaitu, semua disiplin yang memfokuskan pada
pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia).[15] Wilhelm Dilthey adalah
seorang filosof, kritikus sastra, dan sejarawan asal Jerman.
Bagi filosof yang pakar metodologi ilmu-ilmu sosial ini,
hermeneutika adalah "tehnik memahami ekspresi tentang kehidupan yang
tersusun dalam bentuk tulisan". Oleh karena itu ia menekankan pada
peristiwa dan karya-karya sejarah yang merupakan ekspresi dari
pengalaman hidup di masa lalu. Untuk memahami pengalaman tersebut
intepreter harus memiliki kesamaan yang intens dengan pengarang. Bentuk
kesamaan dimaksud merujuk kepada sisi psikologis Schleiermacher.
Pada bagian awal pemikirannya, Dilthey berusaha membumikan
kritiknya ke dalam sebuah transformasi psikologis. Namun karena
psikologi bukan merupakan disiplin historis, usaha-usahanya ia
hentikan.[16] Ia menolak asumsi Schleiermacher bahwa setiap kerja
pengarang bersumber dari prinsip-prinsip yang implisit dalam pikiran
pengarang. Ia anggap asumsi ini anti-historis sebab ia tidak
mempertimbangkan pengaruh eksternal dalam perkembangan pikiran
pengarang. Selain itu Dilthey juga mencoba mengangkat hermeneutika
menjadi suatu disiplin ilmu yang memisahkan ilmu pengetahuan sosial dan
ilmu pengetahuan alam dan mengembangkannya menjadi metode-metode dan
aturan-aturan yang menentukan obyektifitas dan validitas setiap ilmu.
Bagi Dilthey hermeneutika universal memerlukan prinsip-prinsip
epistemologi yang mendukung pengembangan ilmu-ilmu sosial.[17]
Menurutnya, dalam tindakan pemahaman historis, yang harus berperan
adalah pengetahuan pribadi mengenai apa yang dimaksudkan manusia. Jika
Kant menulis Crituque of Pure Reason, ia mencurahkan pemikiran untuk
gagasan Crtique of Historical Reason.[18]
Wilhelm Dilthey mengawalinya dengan memilah-milah ilmu menjadi dua
disiplin: ilmu alam dan ilmu sosial-humaniora. Yang pertama menjadikan
alam sebagai obyek penelitiannya, yang kedua manusia. Oleh karena obyek
dari ilmu alam berada di luar subyek, ia diposisikan sebagai sesuatu
yang datang kepada subyek, sebaliknya karena obyek ilmu sosial-
humaniora berada di dalam subyek itu sendiri, keduanya seolah tak
terpisah. Yang membedakan kedua disiplin ilmu ini menurut Dilthey bukan
obyeknya semata, tapi juga orientasi dari subyek pengetahuan, yakni
"sikapnya" terhadap obyek. Dengan demikian, perbedaan kedua disiplin
ilmu tersebut bersifat epistemologis, bukan ontologis. Secara
epistemologis, Dilthey menganggap disiplin ilmu alam menggunakan
penjelasan (Erklaren), yakni menjelaskan hukum alam menurut penyebabnya
dengan menggunakan teori. Sebab, pengalaman dengan teori terpisah.
Sedang disiplin ilmu sosial-humaniora mengunakan pemahaman (Verstehen),
dengan tujuan untuk menemukan makna obyek, karena di dalam pemahaman,
terjadi pencampuran antara pengalaman dan pemahaman teoritis. Dilthey
menganggap makna obyektif yang perlu dipahami dari ilmu humaniora
adalah makna teks dalam konteks kesejarahaannya. Sehingga, hermeneutika
menurut Dilthey bertujuan untuk memahami teks sebagai ekspresi sejarah,
bukan ekspresi mental penggagas. Karena itu, yang perlu direkonstruksi
dari teks menurut Dilthey, adalah makna dari peristiwa sejarah yang
mendorong lahirnya teks.
Dilthey menjadihan hermeneutika sebagai komponen utama bagi fondasi
ilmu humaniora (Geistesswissenchaften). Ambisi ini menyebabkan Dilthey
telah meluaskan penggunaan hermeneutika ke dalam segala disiplin ilmu
humaniora. Jadi, dalam pandangan Dilthey, teori hermeneutika telah
berada jauh di atas persoalan bahasa.[19]
3. Martin Heidegger (1889-1976)
Latar belakang intelektualitas Heidegger berada dibawah pengaruh
fisika, metafisika dan etika Aristotle yang di interpretasikan oleh
Husserl dengan metode fenomenologinya. Pendiri fenomenologi, Edmund
Husserl, adalah guru dan sekaligus kawan yang paling dihormati dan
disegani oleh Heidegger. Pemikiran Heidegger sangat kental dengan
nuansa fenomenologis, meskipun akhirnya Heidegger mengambil jalan
menikung dari prinsip fenomenologi yang dibangun Husserl. Fenomenologi
Husserl lebih bersifat epistemologis karena menyangkut pengetahuan
tentang dunia, sementara fenomenologi Heidegger lebih sebagai ontologi
karena menyangkut kenyataan itu sendiri. Heidegger menekankan, bahwa
fakta keberadaan merupakan persoalan yang lebih fundamental ketimbang
kesadaran dan pengetahuan manusia, sementara Husserl cenderung
memandang fakta keberadaan sebagai sebuah datum keberadaan. Heidegger
tidak memenjara realitas dalam kesadaran subjektif, melainkan pada
akhirnya realitas sendiri yang menelanjangi dirinya di hadapan subjek.
Bagi Heidegger, realitas tidak mungkin dipaksa untuk menyingkapkan
diri. Realitas, mau tidak mau, harus ditunggu agar ia menyingkapkan
diri.
Heidegger mengembangkan hermeneutika sebagai interpretasi yang
berdimensi ontologis. Dalam pandangan Heidegger, pemahaman (verstehen)
bukanlah sebuah metode. Menurutnya pemahaman lebih dari sekedar metode.
Sebabnya pemahaman telah wujud terlebih dahulu (pre-reflective
understanding) sebelum merefleksikan sesuatu. Heidegger menamakan pra-
pemahaman tersebut sebagai Dasein, yang secara harfiah berarti disana-
wujud.[20]
Apa yang ditulis Heidegger sebagai hermeneutika tidak bisa dipahami
dalam pengertian pemahaman yang subjektif. Hermeneutika juga bukan
hanya sebuah metode pengungkapan realitas. Hermeneutika adalah hakikat
keberadaan manusia yang menyingkap selubung Ada (Sein). Ia tidak berada
dalam pengertian subjek-objek, di mana pemahaman tentang objek
berangkat dari persepsi kategoris dalam diri subjek. Subjek tidak
memahami sejauh objek tidak mengungkapkan diri. Subjek tergantung
kepada pengungkapan objek. Dan sebetulnya term subjek dan objek di sini
tidak tepat, sebab Dasein adalah seinde yang memiliki kemampuan yang
lain. Dikatakan Dasein karena cara beradanya berbeda dengan benda-benda
lain (seinde) yang ada begitu saja. Dasein berarti mengada di sana.
Terdapat nuansa aktifitas dari Dasein. Dasein adalah satu-satunya
seinde yang secara ontologis mampu keluar dari dirinya sendiri
(Existenz) guna menguakkan adanya sendiri dan adanya seinde lainnya.
Sekalipun Heidegger masih tidak mengidentikkan antara manusia yang
menginterpretasi atau berpikir dan yang diintrepretasi atau yang
dipikirkan, tetapi ia tidak bisa dipisahkan sama sekali.
Intensionalitas Husserl tidak dibuang sama sekali, tapi digunakan dalam
pengertian yang lain, yaitu bahwa faktisitaslah yang menjadi anutan
kesadaran. Bukan kita yang menunjuk benda, tapi benda itu sendiri yang
menunjukkan dirinya. Interpretasi manusia dibaca dalam pengertian
ontologis karena ia merupakan hakekat manusia itu sendiri. Berpikir
(menginterpretasi) adalah Dasein itu sendiri. Berpikir, dalam
pengertian Heidegger, bukan menggambarkan, bukan memvisualisasikan
sesuatu di depan mata, bukan merefleksi, melainkan bertanya dan meminta
keterangan, mendengarkan dengan penuh rasa hormat suara Ada, menunggu
dengan bertanya dan mendengarkan Ada.
Heidegger menghubungkan kajian tentang makna kesejarahan dengan
makna kehidupan. Teks tidak cukup dikaji dengan kamus dan grammar, ia
memerlukan pemahaman terhadap kehidupan, situasi pengarang dan
audiennya. Hermeneutikanya tercermin dalam karyanya Being and Time.
Dasein (suatu keberadaan atau eksistensi yang berhubungan dengan orang
dan obyek) itu sendiri sudah merupakan pemahaman, dan interpretasi yang
essensial dan terus menerus.[21]
Martin Heidegger mencoba memahami teks dengan metode
eksistensialis. Ia menganggap teks sebagai suatu "ketegangan" dan
"tarik-menarik" antara kejelasan dan ketertutupan, antara ada dan tidak
ada. Eksistensi, menurut Heidegger, bukanlah eksistensi yang terbagi
antara wujud transendent dan horisontal. Semakin dalam kesadaran
manusia terhadap eksistensinya, maka sedalam itu pula lah pemahamannya
atas teks; karena itu, teks tidak lagi mengungkapkan pengalaman
historis yang terkait dengan suatu peristiwa. Dengan pengalaman
eksistensialnya itulah manusia bisa meresapi wujudnya dan cara dia
bereksistensi sebagai unsur penegas dalam proses memahami suatu
teks.[22]
Heidegger mencoba memberikan pengertian lain kepada bahasa dan
tidak hanya berkutat pada pengertian bahasa sebagai alat komunikasi
saja. Bahasa merupakan artikulasi eksistensial pemahaman. Bahasa
kemudian juga bermakna ontologis. Antara keberadaan, kemunculan, dan
bahasa, saling mengandalkan. Bersama pikiran, bahasa adalah juga ciri
keberadaan manusia. Dalam bahasa, Ada pengejawantah. Oleh karenanya,
interpretasi merupakan kegiatan membantu terlaksananya peristiwa
bahasa, karena teks mempunyai fungsi hermeneutik sebagai tempat
pengejawantahan Ada itu sendiri.
Hermeneutika Heidegger telah mengubah konteks dan konsepsi lama
tentang hermeneutika yang berpusat pada analisa filologi interpretasi
teks. Heidegger tidak berbicara pada skema subjek-objek, klaim
objektivitas, melainkan melampaui itu semua dengan mengangkat
hermeneutika pada tataran ontologis.
4. Hans-Georg Gadamer (1900-1998)
Gadamer menegaskan bahwa pemahaman adalah persoalan ontologis. Ia
tidak menganggap hermeneutika sebagai metode, sebab baginya pemahaman
yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis bukan
metodologis. Artinya kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode tapi
melalui dialektika, dimana lebih banyak pertanyaan dapat diajukan. Dan
ini disebut filsafat praktis.[23] Gadamer melontarkan konsep
"pengalaman" historis dan dialektis, di mana pengetahuan bukan
merupakan bias persepsi semata tetapi merupakan kejadian, peristiwa,
perjumpaan.[24] Gadamer menegaskan makna bukanlah dihasilkan oleh
interioritas individu tetapi dari wawasan-wawasan sejarah yang saling
terkait yang mengkondisikan pengalaman individu. Gadamer mempertahankan
dimensi sejarah hidup pembaca.[25]
Filsafat hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada
asas hermeneutis, dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial
manusia. Ia menolak segala bentuk kepastian dan meneruskan
eksistensialisme Heidegger dengan titik tekan logika dialektik antara
aku (pembaca) dan teks/karya. Dialektika itu mesti difahami secara
eksistensialis, karena hakikatnya memahami teks itu sama dengan
pemahaman kita atas diri dan wujud kita sendiri. Pada saat kita membaca
suatu karya agung, ketika itu kita lantas menghadirkan pengalaman-
pengalaman hidup kita di masa silam, sehingga melahirkan keseimbangan
pemahaman atas diri kita sendiri. Proses dialektika memahami karya seni
berdiri atas asas pertanyaan yang diajukan karya itu kepada kita;
pertanyaan yang menjadi sebab karya itu ada.[26]
Dia umpamakan pemahaman manusia sebagai interpretasi-teks. Dalam
proses memahami teks selalu didahului oleh pra-pemahaman sang pembaca
dan kepentingannya untuk berpatisipasi dalam makna teks. Kita mendekati
teks selalu dengan seperangkat pertanyaan atau dengan potensi kandungan
makna dalam teks. Melalui horizon ekspektasi inilah kita memasuki
proses pemahaman yang terkondisikan oleh realitas sejarah. Hermeneutika
dalam pengertian Gadamer adalah interpretasi teks sesuai dengan konteks
ruang dan waktu interpreter. Inilah yang ia sebut dengan effective
historical consciousness yang struktur utamanya adalah bahasa.[27]
Menurut Gadamer, pemahaman bukanlah salah satu daya psikologis yang
dimiliki manusia, namun pemahaman adalah kita. Oleh sebab itu, ilmu
tanpa pra-duga adalah tidak terjadi. Kita gagal memahami hermeneutic
circle, jika kita berusaha keluar dari lingkaran tersebut. Menurut
Gadamer, ketika kita berusaha memahami sebuah teks kita akan berhadapan
dengan koherensi relatif dari ruang lingkup makna. Jadi, sebenarnya ada
dua metode yang perlu dihindari ketika memahami sesuatu. Pertama, sikap
reduktif ketika dengan seenaknya memasukkan konsep kita sendiri dengan
berlebih-lebihan ke dalam ruang lingkup budaya, sehingga menafikan
kekhususan maknanya; kedua, sikap self-effacement ketika kita menafikan
kepentingan kita sendiri dengan berusaha masuk ke dalam kacamata orang
lain. Kedua metode tersebut tidak menyelesaikan persoalan ilmu yang
objektif karena masih terjerat dengan dikotomisasi antara subjek atau
objek, padahal kondisi primordial kita melampaui hubungan antara subjek
dan objek.[28]
Gadamer merumuskan hermeneutika filosofisnya dengan bertolak pada
empat kunci heremeneutis: Pertama, kesadaran terhadap "situasi
hermeneutik". Pembaca perlu menyadari bahwa situasi ini membatasi
kemampuan melihat seseorang dalam membaca teks. Kedua, situasi
hermeneutika ini kemudian membentuk "pra-pemahaman" pada diri pembaca
yang tentu mempengaruhi pembaca dalam mendialogkan teks dengan konteks.
Kendati ini merupakan syarat dalam membaca teks, menurut Gadamer,
pembaca harus selalu merevisinya agar pembacaannya terhindar dari
kesalahan. Ketiga, setelah itu pembaca harus menggabungkan antara dua
horizon, horizon pembaca dan horizon teks. Keduanya harus
dikomunikasikan agar ketegangan antara dua horizon yang mungkin berbeda
bisa diatasi. Pembaca harus terbuka pada horizon teks dan membiarkan
teks memasuki horizon pembaca. Sebab, teks dengan horizonnya pasti
mempunyai sesuatu yang akan dikatakan pada pembaca. Interaksi antara
dua horizon inilah yang oleh Gadamer disebut "lingkaran hermeneutik".
Keempat, langkah selanjutnya adalah menerapkan "makna yang berarti"
dari teks, bukan makna obyektif teks. Bertolak pada asumsi bahwa
manusia tidak bisa lepas dari tradisi dimana dia hidup, maka setiap
pembaca menurutnya tentu tidak bisa menghilangkan tradisinya begitu
saja ketika hendak membaca sebuah teks.
5. Jurgen Habermas (1929)
Habermas sebagai penggagas hermeneutika kritis menempatkan sesuatu
yang berada di luar teks sebagai problem hermeneutiknya. Sesuatu yang
dimaksud adalah dimensi ideologis penafsir dan teks, sehingga dia
mengandaikan teks bukan sebagai medium pemahaman, melainkan sebagai
medium dominasi dan kekuasaan. Di dalam teks tersimpan kepentingan
pengguna teks. Karena itu, selain horizon penafsir, teks harus
ditempatkan dalam ranah yang harus dicurigai. Menurut Habermas, teks
bukanlah media netral, melainkan media dominasi. Karena itu, ia harus
selalu dicurigai.
Bagi Habermas pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan
horizon pemahaman adalah kepentingan sosial (social interest) yang
melibatkan kepentingan kekuasaan (power interest) sang
interpereter.[29]
6. Paul Richour (1913-2005)
Paul Richour mendefinisikan hermeneutika yang mengacu balik pada
fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif dan sentral dalam
hermeneutika. Hermeneutika adalah proses penguraian yang beranjak dari
isi dan makna yang nampak ke arah makna terpendam dan tersembunyi.
Objek interpretasi, yaitu teks dalam pengertian yang luas, bisa berupa
simbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam masyarakat
atau sastra. Hermeneutika harus terkait dengan teks simbolik yang
memiliki multi makna (multiple meaning); ia dapat membentuk kesatuan
semantik yang memiliki makna permukaan yang betul-betul koheren dan
sekaligus mempunyai signifikansi lebih dalam. Hermeneutika adalah
sistem di mana signifikansi mendalam diketahui di bawah kandungan yang
nampak.[30]
Konsep yang utama dalam pandangan Ricoeur adalah bahwa begitu makna
obyektif diekspresikan dari niat subyektif sang pengarang, maka
berbagai interpretasi yang dapat diterima menjadi mungkin. Makna tidak
diambil hanya menurut pandangan hidup (worldview) pengarang, tapi juga
menurut pengertian pandangan hidup pembacanya.[31] Sederhananya,
hermeneutika adalah ilmu penafsiran teks atau teori tafsir.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan Hermeneutika Secara etimologi kata hermeneutika
(hermeneutic) berasal dari Yunani, hermeneuein yang berarti menerjemahkan
atau menafsirkan. Ia merupakan sebuah proses mengubah sesuatu dari situasi
ketidak tahuan menjadi mengerti. Oleh sebab itu, tugas pokok hermeneutika
adalah sebagaimana menafsirkan sebuah teks klasik dan asing menjadi milik
kita yang hidup di zaman dan tempat berbeda.
Menurut Schleirmacher meletakkan kaidah pemahaman teks pada dua aspek
utama yaitu: aspek kebahasaan (penafsiran tata bahasa) dan aspek kemampuan
menembus karakter psikis pengarang (penafsiran psikologi). Sehingga dalam
hermeneutika Schleimacher ini diharapkan mampu memahami teks seperti halnya
pengaragnya, dan memahami pengarang lebih dari dirinya sendiri.
Menurut Dilthey hermeneutika bertujuan untuk memahami teks sebagai
ekspresi sejarah, bukan ekspresi mental penggagas. Karena itu, yang perlu
direkonstruksi dari teks menurut Dilthey, adalah makna dari peristiwa
sejarah yang mendorong lahirnya teks.
Hermeneutika Heidegger telah mengubah konteks dan konsepsi lama tentang
hermeneutika yang berpusat pada analisa filologi interpretasi teks.
Heidegger tidak berbicara pada skema subjek-objek, klaim objektivitas,
melainkan melampaui itu semua dengan mengangkat hermeneutika pada tataran
ontologis.
Filsafat hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada
asas hermeneutis, dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia.
Ia menolak segala bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme
Heidegger dengan titik tekan logika dialektik antara aku (pembaca) dan
teks/karya.
Habermas sebagai penggagas hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang
berada di luar teks sebagai problem hermeneutiknya. Sesuatu yang dimaksud
adalah dimensi ideologis penafsir dan teks, sehingga dia mengandaikan teks
bukan sebagai medium pemahaman, melainkan sebagai medium dominasi dan
kekuasaan.
Selanjutnya menurut Paul Richour Hermeneutika adalah proses penguraian
yang beranjak dari isi dan makna yang nampak ke arah makna terpendam dan
tersembunyi. Sederhananya, hermeneutika adalah ilmu penafsiran teks atau
teori tafsir.
DAFTAR PUSTAKA
Armas, Adnin, 2006. Filsafat Hermeneutika Menggugat Metode Tafsir al-Qurán,
dalam Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran, IKPM cabang Kairo
Bleicher, Josep, 2003. Contemporery Hermeneutics, Hermeneutics as Method,
Philosophy, and Critique, London: Routhledge & Keegan Paul
Raharjo, Mudjia,2008. Dasar-Dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme dan
Gadamerian, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Richard E. Palmer, 2005. Hermeneutics Interpretation Theory in
Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer diterjemahkan oleh
Masnuri Hery dan Damanhuri dengan judul Hermeneutika; Teori Baru
Mengenai Interpretasi . Cet. II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Saenong, Ilham B. 2002, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-
Qur'an menurut Hasan Hanafi, Jakarta, Teraju
Salahuddin, Henry, Studi Analitis Kritis Terhadap Filsafat Hermeneutik
Alquran, dalam Blog pada WordPress.com.
Sibawaihi, 2007. Hermeneutika Al-Qur'an Fazlur Rahman, Yogyakarta:
Jalasutra
Sumaryono, E, 2003. Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta:
kanisius
Umiarso, Hasan Hanafi; 2011. Pendekatan Hermeneuti Dalam Menghidupkan
Tuhan, Sebuah Bungan Rampai, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Zarkasyi, Hamid Fahmy, 2006. Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup,
dalam Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran Islam Kontemporer, IKPM
cabang Kairo
-----------------------
[1] M.Amin Abdullah, dalam Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan,
Metodologi Tafsir Al-Qur'an menurut Hasan Hanafi, ( Jakarta, TERAJU, 2002)
hlm: xxi
[2] Ibid
[3] Josep Bleicher, Contemporery Hermeneutics, Hermeneutics as Method,
Philosophy, and Critique, (London: Routhledge & Keegan Paul, 2003), h. 5-6
[4] Hery, Musnur et al, Richard E. Palmer, Interpretation Theory In
Scheimacher, Dilthey, Heidger dan Gadamer, terj. Hermeneutika Teori Baru
Mengenai Interpretasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, h. 08
[5] Umiarso, Hasan Hanafi; Pendekatan Hermeneuti Dalam Menghidupkan Tuhan,
Sebuah Bungan Rampai, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011, h. 193
[6] Sumaryono, E, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta:
kanisius, 2003, h. 24-25
[7] Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur'an Fazlur Rahman, Yogyakarta: Jalasutra,
2007, h. 7
[8] Mudjia Raharjo,. Dasar-Dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme dan
Gadamerian, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008, h. 54
[9] Adnin Armas, Filsafat Hermeneutika Menggugat Metode Tafsir al-Qurán,
dalam Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran, IKPM cabang Kairo, 2006, hal. 1.
[10] Hamid Fahmy Zarkasyi, Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup,
dalam Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran Islam Kontemporer, IKPM cabang
Kairo, 2006), h. 7.
[11] Henry Salahuddin, Studi Analitis Kritis Terhadap Filsafat Hermeneutik
Alquran, dalam Blog pada WordPress.com.
[12] Adnin Armas, Filsafat Hermeneutika., loc. cit.
[13] Henry Salahuddin, loc. cit.
[14] Adnin Armas, Dampak Hermeneutik, op. cit., h. 74.
[15] Richard E. Palmer, op.cit., h. 45.
[16] Ibid., h. 45-46.
[17] Hamid Fahmy Zarkasyi, op. cit ,h. 8.
[18] Richard E. Palmer, op.cit., h. 45.
[19] Adnin Armas, Filsafat Hermeneutika, op. cit., h. 4.
[20] Richard E. Palmer, op.cit., h. 46.
[21] Hamid Fahmy Zarkasyi, loc. cit.
[22] Henry Salahuddin, loc. cit.
[23] Hamid Fahmy Zarkasyi, loc. cit.
[24] Richard E. Palmer, op.cit., h. 231-232.
[25] Adnin Armas, Filsafat Hermeneutika, loc. cit.
[26] Henry Salahuddin, loc. cit.
[27] Hamid Fahmy Zarkasyi, op. cit., h. 8-9.
[28] Adnin Armas, Filsafat Hermeneutika, op. cit., h. 5.
[29] Hamid Fahmy Zarkasyi, op. cit., h. 9.
[30] Richard E. Palmer, op.cit., h. 47-48.
[31] Hamid Fahmy Zarkasyi, loc. cit.