BAB I TINJAUAN PUSTAKA
1. Teknik hipotensi terkendali terkendali Merupakan suatu teknik pada anestesi umum dengan menggunakan agen hipotensi kerja cepat untuk menurunkan tekanan darah serta perdarahan saat operasi. Prosedur ini memudahkan operasi sehingga membuat pembuluh darah dan jaringan terlihat serta mengurangi kehilangan darah. Teknik hipotensi adalah suatu teknik yang digunakan pada operasi yang meminimalkan
kehilangan
darah
pada
pembedahan,
dengan
demikian
menurunkan kebutuhan transfusi darah. Prosedur ini dapat diterapkan dengan aman pada kebanyakan pasien, termasuk anak-anak, dan untuk beberapa jenis prosedur operasi. oper asi. Tehnik ini memerlukan kontrol pada tekanan darah yang rendah sehingga tekanan darah sistolik diantara 80-90 mmHg. Definisi lainnya adalah menurunkan Tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure) sampai 50-70 mmHg pada pasien normotensi. normotensi . Prosedur anestesi dengan teknik hipotensi
memiliki tujuan untuk
mengurangi perdarahan di daerah operasi agar memudahkan operator dalam visualisasi lapang operasi. Dengan menaikkan kepala 10-150 sehingga dapat meningkatkan pengeluaran aliran balik vena, menjaga tekanan darah tetap rendah, serta menurunkan perdarahan. Prosedur hipotensi merupakan suatu prosedur yang mungkin saja dapat menyebabkan suatu komplikasi. Batas aman teknik hipotensi tergantung dari pasien. Pasien yang muda dan sehat dapat mentolerasi tekanan darah arteri sampai 80-90 mmHg serta MAP sampai 50-60 mmHg tanpa komplikasi. Sedangkan pada pasien yang menderita hipertensi kronik tidak lebih rendah dari 20-30% nilai normalnya
2. Indikasi teknik hipotensi terkendali
Teknik hipotensi terkendali telah terbukti berguna untuk operasi perbaikan aneurisma cerebral, pengangkatan tumor otak, total hip artroplasty, dan operasi lainnya yang berhubungan dengan resiko kehilanggan darah yang banyak.
1
Penurunan ekstrafasasi darah di perkirakan akan meningkatkan hasil operasi plastik menjadi lebih baik. b aik. Indikasi lainnya lainn ya adalah :
Operasi Telinga, hidung, tenggorokan serta operasi daerah mulut
Gynecology : operasi pelvis radikal
Urology : prostatektomy
3. Kontra indikasi teknik hipotensi terkendali
Teknik hipotensi terkendali tidak dianjurkan pada pasien-pasien yang mempunyai penyakit yang dapat menurunkan perfusi organ seperti : -
anemia
-
hipovolemia
- penyakit jantung koroner ko roner -
insufisienci hepar dan ginjal
- penyakit serebrovaskular serebrov askular -
Penyakit jantung bawaan
-
gagal jantung kongestive
-
hipertensi tidak terkontrol
-
Peningkatan TIK..
4. Cara menjaga hipotensi yang ingin dicapai
Metode utama dari tehknik ini adalah posisi yang benar, tekanan udara positif, dan penggunaaan obat hipotensi. hipoten si. Posisi elevasi el evasi terhadap bagian yang akan dioperasi akan mengurangi tekanan darah pada bagian tersebut. Peningkatan tekanan intratoraks melalui udara bertekanan positif akan menurunkan venous return, cardiac out put, dan mean arterial pressure. Beberapa obat efektif menurunkan tekanan darah: gas anastesi, simpatetik antagonis, calcium channel bloklr, ACE-I. karena onsetnya cepat cep at dan durasinya pendek. pendek .
2
Gambar 1. Tekanan Arteri dan Vena Anestetik volatile dan antagonis adrenergic bekerja baik untuk menekan MAP pada 60-70 mmHg. Elevasi kepala setinggi 15O dapat mengurangi kongesti vena dan penggunaan epinefrin sebagai vasokonstriktor umumnya dapat mempengaruhi kondisi operasi. Metode untuk menurunkan Resistensi Vaskular sistemik 1. Blokade reseptor α adrenergic seperte labetalol dan phentanolamine. 2. Relaksasi otot polos pembuluh darah dengan agen vasodilator langsung seperti nitroprusside, calcium channel blocker, agen inhalasi, purin, dan prostaglandin E1. Cara mekanis untuk meningkatkan potensial kerja agen hipotensi 1. Memposisikan pasien adalah hal penting dalam teknik hipotensi. Elevasi daerah lapang operasi memudahkan drainase vena dari daerah lapang operasi. Hal ini sangat penting untuk mengurangi darah pada daerah lapang operasi. Harus diingat bahwa hal tersebut timbul akibat gaya gravitasi, tekanan darah berubah apabila jarak vertikal dengan jantung berubah. Perubahan tekanan darah adalah 0,77 mmhg tiap cm ada perubahan ketinggian dengan jantung. Teknik hipotensi mengurangi aliran darah perifer. Hal ini perlu diperhatikan pada daerah yang menanggung beban berat, dan pada penonjolan tulang-tulang. Oleh karena itu bantalan khusus perlu disediakan dengan lebih fokus pada daerah seperti occiput, scapula,
3
sacrum, siku dan tumit. Juga harus diperhatikan kontrol tekanan pada daerah orbita terutama pada posisi telungkup. 2. Airway bertekanan Positif Penggunaan ventilasi tekanan positif dengan volume tidal yang tinggi, waktu inspirasi yang lebih panjang , dan peningkatan Positive End Expiratory Pressure akan mengurangi aliran balik vena, yang akan membantu teknik hipotensi. Akan tetapi peningkatan volume tidal pada pemberian ventilasi mekanik juga akan meningkatkan ruang rugi dan meningkatkan tekanan intratoraks sehingga akan mengurangi aliran darah balik otak yang akhirnya menyebabkan peninggian tekanan intrakranial.
Kunci yang harus diperhatikan pada teknik hipotensi adalah: MAP = Cardiac output x resistensi vascular sistemik
MAP dapat di manipulasi dengan mengurangi baik resistensi vaskular sistemik atau cardiac output, atau keduanya. Teknik hipotensi dengan hanya mengurangi cardiac output tidak ideal dilakukan, karena memelihara aliran darah ke organ sangatlah penting. Resistensi
vaskular
sistemik
dapat
dikurangi
dengan
vasodilatasi
pembuluh darah perifer, sedangkan cardiac output dapat dapat dikurangi dengan menurunkan venous return, heart rate, kontraktilitas miokard atau kombinasi dari ketiganya.
5. Obat Hipotensi
Agen anestesi volatil a. Sevofluran Pada umumnya digunakan pada anak-anak karena induksinya cepat, nyaman dan toleransi terhadap jalan nafas lebih baik dibandingkan inhalasi yang lain. Kombinasi sevofluran dan remifentanil atau sufentanil digunakan untuk mengontrol hipotensi pada anak-anak. Konsentrasi 4% diperlukan untuk mencapai MAP 55-65 mmHg (Degoute et.al., 2003).
4
Studi pada tikus yang mendapat adenosin untuk mengontrol hipotensi didapatkan bahwa sevoflurane 1,0 MAC menurunkan MAP sebesar 36% dan berkurangnya SVR 34% Pada sirkulasi splanchnic, aliran darah portal meningkat 48% menghasilkan peningkatan total liver blood flow hingga 38% (Crawford et.al., 1994).
b. Halothane Halotan menyebabkan vasodilatasi moderat, dimana terjadi penurunan tahanan perifer sistemik sebesar 15-18%. Vasodilatasi pada daerah kulit dan vascular bed splanchnic diimbangi dengan vasokonstriksi pada otot skelet.
Hipotensi pada penggunaan halotan disebabkan karena efek langsung depresi otot jantung. Halotan sering digunakan pada konsentrasi rendah untuk memulai anestesi hipotensi. Studi pada tikus yang mendapat adenosin untuk mengontrol hipotensi didapatkan bahwa halotan 1,0 MAC akan menurunkan MAP sebesar 38% dan SVR berkurang 47%. Index stroke volume meningkat hingga 40% dan perubahan ini menghasilkan peningkatan indeks jantung 35%. Pada sirkulasi splanchnic, aliran darah portal dan hepatic arterial meningkat 90% dan 37% menghasilkan peningkatan total liver blood flow 76% (Crawford et.al., 1994). c. Enflurane Mekanisme dan efek hipotensi pada penggunaan enfluran hampir sama seperti halotan. Enfluran mempunyai efek venodilatasi, sehingga pada anestesi hipotensi hanya diperbolehkan menggunakan konsentrasi 0,25-0,5% (Cote, 1993). d. Isoflurane Isoflurane digunakan secara luas untuk menginduksi hipotensi karena onset kerja cepat, mudah dikontrol dan efek kardiovaskuler cepat pulih setelah obat dihentikan. Isoflurane memiliki efek minimal terhadap kontraktilitas
otot
Keuntungannya
jantung
adalah
pada
konsentrasi
meningkatkan
dosis
inspirasi isofluran
yang tidak
rendah. hanya
menghasilkan efek vasodilatasi dan hipotensi, tetapi juga menekan sistim
5
saraf pusat sehingga meminimalkan reflek vasokonstriksi atau takikardi akibat stimulasi baroreseptor. Isoflurane 2% atau MAC 1,54 menghambat peningkatan aliran darah medula adrenal, norepinephrine dan epinephrine serta penurunan aliran darah organ abdomen sebesar 70% yang diamati pada MAP 60 mmHg (Jordan et.al., 1993). Penelitian Seagard et.al. menemukan isoflurane 2,2% menumpulkan respon baroreceptor terhadap hipotensi dan respon simpatis terhadap stimulus pembedahan dengan menghambat transmisi ganglion dan neuron eferen simpatis. Haraldsted et.al.. mempelajari perbedaan cerebral arteriovenous O2 difference pada 20 pasien yang menjalani pembedahan aneurisma serebral
menyimpulkan bahwa cerebral blood flow dan oxygen demand/supply ratios dipelihara dengan baik selama induksi hipotensi dengan isofluran <2,5 MAC. Stone et.al., menemukan bahwa isoflurane menyebabkan vasokonstriksi melalui inhibisi produksi basal EDRF atau stimulasi pelepasan faktor vasokonstriksi yang berasal dari endotelium pada konsentrasi rendah dan pada konsentrasi tinggi mempunyai efek vasodilatasi langsung (Abe, 1993). Mazze et.al. menemukan bahwa isofluran mengurangi aliran darah ke ginjal sebesar 49%. Mekanisme ini disebabkan menurunnya redistribusi aliran darah dari ginjal karena berkurangnya SVR dan tahanan vaskuler renal. Tahanan vaskuler renal sebagian besar dipengaruhi tonus arteriole eferen glomerulus, yang ditandai peningkatan fraksi filtrasi sebesar 50% (Lessard, 1991). Blok ganglion simpatik Trimetaphan dan pentolinium menyebabkan hambatan
ganglion
otonom
melalui
mekanisme
inhibisi
kompetitif
asetilkolin. Efek obat ini tidak hanya terbatas pada sistim simpatis karena transmisi kolinergik juga terjadi pada ganglion parasimpatis. Hambatan aliran simpatis yang menyebabkan vasodilatasi relatif lambat dalam onset maupun pemulihan. Durasi hipotensi yang disebabkan trimetaphan relative pendek antara 10 – 15 menit sehingga obat ini lebih sering diberikan secara infus iv 3 – 4 mg/mnt. Hal ini sangat berbeda dengan injeksi tunggal pentolinium 5 – 15
6
mg yang mampu menghasilkan hipotensi selama 45 menit dan proses yang lambat untuk kembali ke nilai normal (Simpson, 1992). Gangguan aliran darah serebral dan medulla spinalis yang disebabkan redistribusi CBF menjauhi area korteks; berkurangnya aliran darah koroner, hati
dan
ginjal,
takikardi;
pelepasan
histamine;
inhibisi
enzim
pseudokolinesterase; potensiasi terhadap pelumpuh otot non depolarisasi dan takifilaksis mengganggu efektivitas penggunaan obat ini dalam mengurangi perdarahan (Mostellar, 2000). Takifilaksis yaitu kebutuhan untuk menaikkan dosis obat untuk menghasilkan efek yang sama lebih nyata dengan trimetaphan dan membuat tekanan arteri yang stabil sulit dicapai sehingga pemberian secara infuse kontinyu lebih baik dibandingkan bolus intermiten. Infus kontinyu dimulai pada dosis 25 ug/kg/menit dan dititrasi sesuai efek.
Penghambat alfa adrenergik
Penghambat alfa adrenergik menghasilkan vasodilatasi melalui mekanisme hambatan kompetitif reseptor adrenergik postsinap dalam sistim simpatis. Efek phentolamine
relative
pendek
antara
20 – 40
dan
reversibel,
sedangkan
phenoxybenzamine bertahan beberapa hari karena obat ini merupakan nitrogen mustard
derivative,
membentuk
kompleks
reseptor
yang
irreversibel.
Phentolamine juga mempunyai efek stimulant miokard (beta adrenergik), meningkatkan
konsumsi
oksigen
dan
denyut
jantung,
sebaliknya
phenoxybenzamine memiliki efek sedasi. Phentolamine 5 – 10 mg digunakan untuk induksi vasodilatasi sedangkan phenoxybenzamine 0,5 – 2,0 mg/kg yang bertahan dalam 10 hari berguna dalam meminimalkan efek katekolamin pada pengangkatan phaeochromocytoma.
Sedangkan
chlorpromazine
dan
droperidol
yang
mempunyai efek mild alpha adrenergik block sering digunakan untuk preparasi pasien sebelum anestesi hipotensi (Simpson, 1992).
Penghambat beta adrenergik
Keuntungan menggunakan antagonis beta adrenergik pada anestesi hipotensi yaitu menurunnya denyut jantung dan curah jantung. Propranolol sering digunakan untuk menghasilkan “rheostatic” hypotension. Terapi oral 3x40 mg/hr
7
bisa digunakan sebagai medikasi pra anestesi, sedangkan dosis 1-2 mg iv dapat digunakan selama anestesi. Penghambat BETA adrenergik ini dapat dipakai sebelum atau selama anestesi untuk menetralkan efek takikardi yang dihasilkan sebagai efek samping anestesi hipotensi oleh obat penghambat ganglion atau vasodilator langsung. Pemberian preparat ini secara oral dinilai lebih baik dibandingkan intravena karena akan menghasilkan konsentrasi plasma tetap selama operasi. Labetalol (kombinasi anatagonis alfa dan beta adrenergik) juga ideal untuk menginduksi hipotensi, tetapi durasi obat ini hanya bertahan selama 30 menit dibandingkan penghambat beta yang berdurasi 90 menit. Di samping itu, efek penghambat beta 5-7 kali lebih poten dibandingkan penghambat alfa (Simpson, 1992).
Vasodilator a) Sodium nitroprusside (SNP) Keuntungan utama menggunakan obat ini adalah penurunan tekanan darah yang cepat seimbang dengan pengembalian tekanan darah yang cepat ke nilai normal, sehingga obat ini mampu menghasilkan “dial -a- pressure” hypotension dalam periode yang sangat singkat misalnya saat pengangkatan
meningioma atau pemotongan aneurisma serebral. Penggunaan SNP dianggap kurang memberikan visualisasi yang ideal pada pembedahan kecuali terjadi penurunan MAP hingga 20% (Boezaart et.al., 1995). SNP memberikan distribusi aliran darah serebral yang lebih homogen akibat efek vasodilatasi langsung ke serebral dan mempertahankan aliran darah yang adekuat ke organ vital pada MAP di atas 50 mmHg. Efek vasodilator SNP pasti akan menggeser
kurva
meningkatkan
autoregulasi
tekanan
ke
intrakranial,
kiri
secara dose dependent
sehingga
tidak
digunakan
dan pada
neurosurgery sebelum tulang tengkorak dibuka.
SNP bekerja langsung pada otot polos pembuluh darah menyebabkan dilatasi arteriolar, venodilatasi dan menurunnya curah jantung. Respon ini disebabkan gugus NO yang berdifusi ke dalam otot polos pembuluh darah dan meningkatkan cGMP sehingga menghasilkan relaksasi. SNP memiliki sifat depresi terhadap kontraktilitas miokard yang minimal dengan tetap
8
memelihara aliran darah koroner dan menurunkan kebutuhan oksigen otot jantung. Penggunaan preparat ini berhubungan dengan intoksikasi sianida. Setiap molekul SNP mengandung 5 radikal sianida yang dilepaskan akibat pemecahan obat dalam plasma dan sel darah merah. Jalur metabolik normal pemecahan SNP bersifat non enzimatik yaitu dalam sel darah merah dan plasma. Reaksi intraseluler di katalisasi oleh perubahan haemoglobin menjadi methaemoglobin. Pada akhirnya, lebih dari 98% sianida yang dihasilkan akibat pemecahan SNP terdapat di dalam sel darah merah, sedangkan proporsi yang lebih kecil bergabung dengan methaemoglobin atau vitamin B12. Sebagian besar sianida dimetabolisme di hati oleh enzim rhodanase menjadi thiocyanate yang dikeluarkan melalui urine. Faktor yang membatasi kecepatan metabolisme sianida dipengaruhi gugus sulphydryl dimana pada pemberian sodium thiosulphate akan meningkatkan produksi thiocyanate sehingga
mengurangi
konsentrasi
sianida
dalam
darah.
Penggunaan
thiosulphate tidak mempengaruhi efek hipotensi yang dihasilkan SNP. Dosis
SNP
yang
direkomendasikan
0,2-0,5
ug/kg/menit
dan
ditingkatkan secara bertahap sampai level hipotensi yang diharapakan tercapai, sedangkan dosis maksimum yang dianggap masih aman adalah 1,5 ug/kg/menit, dimana terjadi sedikit peningkatan konsentrasi laktat dalam plasma yang dicerminkan dengan meningkatnya deficit basa arterial -6 sampai -7 mmol/liter yang reversibel setelah penghentian SNP. Pengukuran rutin asam basa selama SNP akan memberikan informasi klinis yang adekuat terjadinya toksisitas sianida. Jika dosis SNP yang diberikan tidak melebihi dosis maksimum maka gejala toksisitas tidak akan terjadi pada pasien dengan fungsi hati dan ginjal yang normal. Kerugian SNP untuk hipotensi kendali anak-anak adalah munculnya reflek takikardi dan potensi terjadinya toksisitas sianida (Degoute et.al., 2003).
b) Nicardipine Nicardipine
termasuk
golongan
antagonis
calcium
channel
dihydropyridine yang mempunyai potensi vasodilatasi arteri dengan efek
9
kronotropik dan inotropik negatif yang minimal (Kimura et.al., 1999). Bernard et.al.. membandingkan penggunaannya dengan nitroprusside untuk pasien dewasa yang menjalanani pembedahan spinal fusion. Pada penelitian ini kedua obat mencapai hipotensi dengan cepat akibat vasodilatasi sistemik. MAP yang stabil mudah dicapai sesuai dengan protokol yang digambarkan. Waktu yang dibutuhkan untuk kembali ke tekanan darah baseline pada kelompok nicardipine 20 menit lebih lama dibandingkan nitroprusside. Hal ini disebabkan mekanisme seluler nitroprusside yang menyebabkan relaksasi pembuluh darah melalui produksi nitric oxide yang memiliki waktu paruh 0,1 detik. Pelepasan donor nitric oxide menyebabkan restorasi tekanan darah yang cepat. Nicardipine akan mempengaruhi tonus otot pembuluh darah yang tergantung kalsium. Pelepasan nicardipine tidak menghasilkan pengembalian ke tekanan darah baseline sampai obat berdifusi keluar dari reseptor dan terjadi keseimbangan kalsium intra dan ekstraseluler. Tetapi pengembalian MAP yang lambat justru memberikan keuntungan karena proses yang bertahap tanpa disertai rebound hypertension yang biasa terlihat pada nitroprusside memberikan lebih banyak waktu untuk pembentukan bekuan darah yang stabil dan mencegah hilangnya darah yang berlebihan paska operasi.
Nicardipine
dibandingkan
menghasilkan
nitroprusside.
reflek
Meningkatnya
takikardi reflek
yang
minimal
takikardi
akan
membutuhkan infus vasoaktif tambahan yang pada akhirnya meningkatkan biaya per pasien. Dari segi biaya, nitroprusside lebih ekonomis dibandingkan nicardipine, tetapi reflek takikardi yang ditimbulkan menyebabkan pasien membutuhkan infuse vasoaktif tambahan berupa esmolol, sehingga nicardipine dinilai lebih cost-effective. Di samping itu, penggunaan rutin nicardipine pada hipotensi
kendali mengurangi jumlah unit darah yang dibutuhkan sebesar 4-5 unit autologous blood atau biaya sekitar $206.00/unit (Hersey et.al., 1997).
Penelitian lain yang mendukung yaitu Bernard et.al. menyimpulkan bahwa hipotensi kendali pada pasien dewasa sehat lebih aman dan mudah dicapai
10
dengan infus nicardipine dibandingkan nitroprusside untuk spinal fusion karena MAP baseline tercapai kembali secara bertahap dan lebih hemat. Penurunan tekanan darah dan meningkatnya denyut jantung pada anestesi isofluran lebih lama, tetapi klirens nicardipine lebih besar. Perbedaan ini menunjukkan bahwa nicardipine meningkatkan ikatan reseptor target dengan isofluran sehingga aktifitas simpatis medulla adrenal meningkat secara intensif. Waktu paruh nicardipine dengan anestesi sevofluran dan enfluran berkisar 22-45 menit, tetapi meningkat 2 kali lipat dengan isofluran. Hal ini disebabkan meningkatnya aliran darah hepar dengan isofluran (Nishiyama et.al., 1997).
c) Trinitroglycerin (TNG) Metabolisme nitroglycerin melibatkan pemecahan trinitrate yang terjadi di hepar menjadi dimono-nitrate dan terakhir glycerol. Proses ini menyebabkan aktivitas vasodilator molekul nitrat berkurang karena ukuran molekul juga berkurang. TNG menghasilkan penurunan tekanan arteri yang stabil dengan efek yang lebih besar pada tekanan sistolik dibandingkan tekanan diastolik untuk mempertahankan aliran darah. Pemulihan dari nitroglycerin membutuhkan waktu 10-20 menit, berbeda dengan SNP yang membutuhkan waktu 2 – 4 menit, sehingga kurang ideal digunakan pada pembedahan yang membutuhkan hipotensi yang ekstrim. Efek vasodilatasi TNG lebih dominan pada sistim kapasitansi vena sehingga tekanan diastolik dipertahankan lebih besar dan perfusi arteri koroner lebih baik dibandingkan SNP. Efek ini menguntungkan pada pasien yang memiliki gangguan sirkulasi serebral atau miokard (Simpson, 1992).
6. Manajemen anestesi dan monitoring Sebelum operasi
1. Seorang ahli anestesi harus menguasai teknik hipotensi secara keseluruhan 2. Evaluasi pasien
11
3. Studi menunjukkan bahwa pasien dengan Hb minimal 10 gr/dl aman untuk dilakukan teknik hipotensi 4. Analisa gas darah sebelum dan sesudah operasi dibutuhkan sebagai acuan selama operasi dan sesudah operasi berlangsung. 5. Premedikasi meliputi anxiolitik, analgesic, alpha blocker, beta blocker dan obat anti hipertensi dapat membantu selama melakukan anestesi dengan teknik hipotensi. Selama operasi
1. Mengurangi stress selama fase induksi 2. Jika menggunakan obat hipotensi intravena, line kedua harus terpasang. Monitoring sangat berperan untuk keselamatan pasien selama anestesi dengan teknik hipotensi
Monitoring tekanan darah dengan prosedur invasive sering di rekomendasikan karena dapat memonitor tekanan darah denyut demi denyut, dan juga dapat mempermudah akses untuk pemeriksaan analisa gas darah dan hemoglobin.
EKG : terutama lead V5 dan segmen ST untuk mendeteksi adanya anemia.
Saturasi Oksigen harus di monitor karena adanya risiko hipoksemia akibat ketidak sesuaian antara ventilasi dan perfusi.
End Tidal CO2 : Untuk mencegah hipercarbia dan hipokapnia. Harus di ingat bahwa hubungan antara End Tial CO2 dan PaCO2 berubah akibat adanya hipotensi. Oleh karena itu analisa gas darah harus diperiksa secara intermiten untuk memastikan PaCO2 dalam batas yang diinginkan.
Suhu : Suhu inti tubuh penting untuk di monitor karena suhu tubuh cepat menurun jika terjadi vasodilatasi pembuluh darah. Hipotermia dapat menurunkan tingkat efektivitas dari vasodilator sehingga membutuhkan dosis yang lebih banyak akibat kompensasi timbulnya vasokonstriksi.
Kehilangan darah: Respon fisiologis terhadap kehilangan darah dapat hilang pada kondisi anestesi dengan teknik hipotensi. Oleh karena itu
12
kehilangan darah harus secara teliti di perkirakan dengan menimbang jumlah kasa dan jumlah darah di botol suction. Terapi cairan yang sesuai sangat penting pada anestesi dengan teknik hipotensi. Tujuan hipotensi adalah menurunkan MAP sambil memantau adekuatnya aliran darah ke organ-organ vital. Oleh karena itu kebutuhan cairan preoperative harus dianalisa dan dikoreksi. Dalam waktu yang sama kebutuhan cairan pemeliharaan harus diberikan. Kehilangan darah harus diganti dengan jumlah yang sama dengan koloid atau tiga sampai empat kali lipat dengan kristaloid. Jika perdarahan melebihi batas toleransi (20-25% dari estimasi volume darah pasien), maka transfusi darah harus diberikan. Teknik hipotensi harus dimulai saat dibutuhkan. Setelah hipotensi dimulai dibutuhkan level pemantauan tekanan darah untuk meminimalisir perdarahan dengan cara menentukan dosis obat hipotensi, baik itu secara manual atau menggunakan infuse. Hipotensi hharus digunakan untuk mengurangi perdarahan dan hanya untuk operasi yang dimana teknik hipotensi ini bermanfaat untuk membatasi kehilangan darah. Setelah operasi.
Penanganan post operasi yang adekuat dengan fasilitas resusitasi sangat dibutuhkan. Perhatian setelah operasi diberikan pada airway, oksigenasi, analgesi, monitoring , posisi, perdarahan dan keseimbangan cairan.
7. Komplikasi
Gangguan perfusi organ utama : •
thrombosis Cerebral
•
Hemiplegia
• Nekrosis hepar masif •
kebutaan
•
Retinal artery thrombosis
•
Ischemic optic neuropathy
Komplikasi operasi •
Reactionary hemorrhage
•
Hematoma formation
13
Peningkatan tekanan intrakranial yang dihasilkan oleh nitroglycerin lebih besar dibandingkan SNP. Dosis TNG biasanya dimulai 0,2-0,5 ug/kg/menit dan ditingkatkan bertahap hingga level hipotensi yang diharapkan tercapai. TNG tidak menimbulkan takifilaksis, toksisitas dan rebound hypertension seperti SNP (Mostellar, 2000).
14
BAB II LAPORAN KASUS
1. Identitas
Nama
: Ny. HL
Jenis Kelamin
: Perempuan
No. Rekam Medis
: 211-96-65
Ruangan
: Bedah Thorax
Usia
: 38 Tahun
Diagnosa
: OMSK
Tindakan
: Mastoidektomi
2. Anamnesis
(Kunjungan Pra Anestesia pada Minggu, 20 Juli 2014) 2.1.Kebiasaan Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok. 2.2.Alergi Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat, makanan maupun udara. 2.3.Riwayat Penyakit Pasien menyangkal memiliki riwayat asma, penyakit jantung, ginjal, hepar, hipertensi, diabetes mellitus dan kecelakaan/trauma. 2.4.Riwayat Operasi Pasien sebelumnya pernah operasi SC dengan anestesi spinal, tidak terdapat masalah. 2.5.Keadaan Saat Ini Pasien tidak sedang demam, batuk maupun flu. 2.6.Kajian Sistemik Pasien tidak memiliki riwayat pingsan, stroke, kejang maupun muntah. Riwayat gigi, pasien tidak memiliki gigi palsu maupun gigi yang goyang.
15
3. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum :
Kesadaran
:
Berat Badan
: 63 kg
Tanda Vital:
TB
: 160 cm
TD
: 110/80 mmHg
RR
: 20 x/menit
N
: 72 x/ menit
S
: 36,4
Kepala dan Leher: Normochepal, Konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (/-)
Thorax o
: Jantung Inspeksi
: Ictus cordis (-)
Palpasi:
: Icuts cordis teraba
Perkusi
:
batas atas kiri: SIC II LPS sinistra
batas atas kanan:SIC II LPS Dekstra
batas bawah kiri : SIC V LMC Sinistra
batas bawah kanan: SIC IV LPS Dextra
Auskultasi o
: Si-S2 reguler, gallop (-). Murmur (-)
Paru Inspeksi :Dinding dada simetris pada saat statis dan dinamis serta tidak ditemukan retraksi dan ketertinggalan gerak. Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri dan tidak terdapat ketertinggalan gerak. Perkusi : Sonor kedua lapang paru. Auskultasi: Tidak terdengar suara rhonkhi pada kedua pulmo. Tidak terdengar suara wheezing.
Abdomen Inspeksi
: Perut datar, simetris
Auskultasi : BU (+) Perkusi
: Timpani
16
Palpasi
: Nyeri tekan (-)
Ekstremitas Jejas (-), bekas trauma (-), massa (-), sianosis (-), turgor kulit cukup, akral hangat.
Mallampati Skor
:
3 jari pasien
Bukaan mulut
: 3 jari pasien
Jarak mento-hyoid : 2 jari pasien
Jarak tiro-hyoid
: 2 jari pasien
4. Pemeriksaan Laboratorium Hb :12,4 g/dl
Na/Cl : -
Ht : 40,1 %
SGOT : 19 U/L
Leukosit : 7,3
ribu/mm3
SGPT : 15 U/L
Trombosit : 357 ribu/mm3
Ureum : 25 mg/dl
GDP : 93 mg/dl
Kreatinin : 0,9 mg/dl
PT : 13,5 detik
APTT : 31,1 detik
BT : 4 menit
Kalium : 4,3
CT : 8 menit
5. Pemeriksaan Penunjang
Rontgen Thorax dbn Rontgen Mastoid: mastoiditis kronis dekstra dengan suspek cholesteatom.
6. Kesan ASA (Th e Am er ican Society of A nesthesi ologi st )
Kesan ASA 1 (Pasien normal yang sehat)
7. Rencana Anestesi A. General anestesi dengan ETT non kinking dengan epidural
1.
Premedikasi :
Midazolam (0,05-0,1mg/kgBB) BB : 63 kg 0,05 x 63 = 3,15 mg
17
0,1 x 63 = 6,3 mg → 4 mg Sediaan 5cc: 1mg/cc → 4 cc
Fentanyl (1-3 µg/kgBB) 1x63 = 63 µg 3x 63 = 189 µg → 100 µg
Sediaan 2cc : 50 µg/cc → 4 cc
2.
Induksi :
Propofol (2-2,5 mg/kgBB) 2 x 63 = 126 mg 2,5 x 63 = 189 mg → 130 mg
Sediaan 20 cc: 10 mg/ml → 13 cc
3.
Pelumpuh Otot :
Atracurium (0,5-0,6 mg/kgBB) 0,5 x 63 = 31,5 mg 0,6 x 63 = 37,8 mg → 40 mg Sediaan 2,5cc: 10 mg/ml → 3 cc
Rumatan (0,1 mg/kgBB) 0,1 x 53 = 5,3 mg 5 mg = 0,5 cc
4. Ventilasi positif O2 4 L/menit Oksigen yang harus diberikan 63 X 6 = 378 378 X 12 = 4536 ml 4 L
5. Pemasangan ETT Dewasa wanita digunakan ETT biasa dengan cuff ukuran 7,0
18
6. Maintenance :
N2O & O2 serta sevofluran 1,5 Vol% BMR O2 : 3-5 ml/kgBB 3 x 53 = 159 ml 5 x 53 = 265 ml → 300 ml
N2O : O2 = 1 : 3 = 1 L : 3 L
7. Medikasi Teknik Hipotensi Selain menggunakan agen anestesi (IV maupun gas), juga digunakan obat dari golongan alfa-adrenergik yaitu Catapres.
Catapres (1-2 mcg/kgBB) 53 mcg -106 mcg 60 mcg
8. Monitoring :
Pemantauan adekuatnya jalan nafas dan ventilasi selama anestesia : Pengamatan tanda klinis (kualitatif) seperti pergerakan dada, observasi reservoir breathing bag , serta pastikan stabilitas ETT tetap terjaga.
Pemantauan adekuat tidaknya oksigenasi selama anestesia : Pemantauan dibantu dengan pemasangan pulse oximetri untuk mengetahui saturasi O2.
Pemantauan adekuat tidaknya fungsi sirkulasi pasien : -
Pemantauan tekanan darah arterial dan denyut jantung
-
Pemantauan EKG secara kontinu mulai dari sebelum induksi anestesi.
-
Setiap pasien yang mendapat anestesi, selain dari metode pemantauan (monitor), bisa dilakukan perabaan denyut nadi atau auskultasi bunyi jantung.
19
Pemantauan tekanan darah selama operasi berlangsung pada tekanan sistolik berada pada kisaran
Jam
TD
MAP
09.10
130/80
70
09.25
110/60
70
09.40
95/50
65
09.55
89/54
55
10.10
100/65
55
10.25
88/58
50
10.40
90/50
60
10.55
95/54
61
11.10
93/45
68
11.25
98/47
61
11.40
100/54
65
11.55
100/55
66
12.10
105/55
67
12.25
104/56
66
12.40
100/50
60
12.55
90/50
13.10
89/55
13.25
95/55
13.40
94/60
13.55
97/58
14.10
100/60
Pemantauan kebutuhan cairan pasien selama anestesia -
Input : berupa Infus
-
Output : Perdarahan, urin. -
Maintenance : (4x10)+(2x10)+(1x43) = 94 ml Operasi : 54x6 = 324 ml
20
-
Puasa : 94x6 = 564 Jam I : ½ Puasa + Maintenance + Operasi 282+94+324 = 700 ml
-
Jam II : ¼ Puasa + Maintenance + Operasi 141+94+324 = 559 ml
-
Jam III : ¼ Puasa + Maintenance + Operasi 141+94+324 = 559 ml
Kebutuhan cairan selama operasi 700+559+559= 1818 ml Cairan yang diberikan selama anestesi : RL jumlah ± 2000 cc Cairan yang keluar selama operasi
o
-
Urin ± 300 ml
-
Perdarahan ± 150 ml
-
Total jumlah cairan keluar ± 450 ml
Hasil pemantauan dicatat di atas rekam medis anestesi pasien.
Lain-lain :
Inj. Ondancentron 4 mg
Inj. Ketorolac 30 mg
Inj. Asam Tranexamat 500 mg
8. Recovery Room (Al drette Score )
Kesadaran
:2
Pernafasan
:1
Tekanan darah
:1
Aktivitas
:2
21
Warna kulit/SpO2 : 2
TOTAL
:8
Nilai
2
1
0
Kesadaran
Sadar, orientasi baik
Dapat
Tidak
dibangunkan
dibangunkan
Warna
Merah muda (pink), Pucat
atau Sianosis,
tanpa O2, SaO2 > kehitaman, 92%
dapat
dengan
perlu O2, SaO2 tetap <
O2 agar SaO2 > 90% 90%
Aktivitas
4
ekstremitas 2
bergerak
ekstremitas Tak
bergerak
ada
ekstremitas bergerak
Respirasi
Dapat nafas dalam, Nafas batuk
Kardiovaskular
TD berubah < 20%
dangkal, Apnu
atau
sesak nafas
obstruksi
Berubah 20-30%
Berubah > 50%
9. Tindak Lanjut
Observasi tanda-tanda vitalpost operasi
O2 nasal kanul 3 LPM
Ketorolac 3x30 mg (iv)
Ondansentron 3x4 mg (iv)
Diet bertahap
Lain-lain sesuai THT
22
BAB III PEMBAHASAN
Perempuan usia 38 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalankan operasi Mastoidektomi pada tanggal 21 Juli 2014 dengan diagnosis pre operatif yaitu OMSK. Rencana pre-operatif adalah dengan pemberian maintenance cairan sesuai berat badan serta dipuasakan selama 6-8 jam sebelum operasi yang bertujuan untuk memperkecil kemungkinan adanya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah saat dilakukan anestesi. Pada operasi untuk pasien ini, metode anestesi yang dipilih adalah anestesi umum dengan intubasi dan teknik hipotensi. Indikasi dilakukannya teknik hipotensi pada kasus ini adalah lokasi operasi berada di telinga, tujuan teknik hipotensi dilakukan pada operasi ini bertujuan untuk meningkatkan lapang pandang / visualisasi dari operator serta mengurangi perdarahan pada pasien. Obat hipotensi yang digunkan pada operasi ini adalah agen anestesi gas, dan obat penurun tekanan darah golongan alfa-blocker. Catapres merupakan agen a2adrenergik blocker. Catapres akan menempati reseptor a2 di susunan saraf pusat yang mengakibatkan penurunan kerja simpatis yang menyebabkan penurunan resistensi primer dan jantung sehingga terjadilah penurunan tekanan darah. Obat ini diberikan secara bolus iv dengan durasi kerja 3-7 jam. Gas anestesi yang digunakan adalah isoflurane dengan memblok ganglion simpatik trimetaphan dan pentolinium menyebabkan hambatan ganglion otonom melalui mekanisme inhibisi kompetitif asetilkolin. Selain itu isofluran mengurangi aliran darah ke ginjal sebesar 49%. Mekanisme ini disebabkan menurunnya redistribusi aliran darah dari ginjal karena berkurangnya SVR dan tahanan vaskuler renal. Tekanan darah awal pasien adalah 130/85 mmHg dengan MAP 65 sebelum dilakukan premedikasi pada pasien, setelah diberikan premedikasi, induksi dan pelumpuh otot terjadi sedikit penurunan tekanan darah pada pasien. Lalu diberikan catapress iv sebanyak 35mcg, dengan tujuan menurunkan tekanan darah hingga tekanan darah sistolik antara 90-80 mmHg atau MAP 50-70 mmHg sesuai dengan batas aman dari teknik hipotensi.
23
Pada operasi ini dilakukan teknik hipotensi dengan monitoring tekanan darah pada kisaran tekanan sistolik 100-80 mmHg dengan MAP 50-70 mmHg. Pada pukul 11.55 terjadi peningkatan tekanan darah pasien dengan MAP pasien 66-67 mmHg, maka dilakukan kembali penambahan dosis obat hipotensinya. Adanya peningkatan tekanan darah pada pasien diakibatkan karena durasi kerja obat pada masing-masing individu berbeda. Pada pasien ini yaitu pada jam ke-3. Setelah prosedur selesai, gas anestesi isofluran diturunkan perlahan agar pasien mudah dibangunkan. Setelah itu lakukan bagging untuk memancing pasien agar dapat bernafas normal. Jika pasien sudah dapat bernapas normal dilakukan ekstubasi lalu disungkup hingga pasien sadar dan dapat membuka mata.
24