1
STUDI PEMIKIRAN EKONOMI MONZER KAHF
Netta Agusti, M.E.Sy
IAIN Imam Bonjol Padang
Email:
[email protected]
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk mendiskusikan bagaimana bentuk pemikiran tokoh ekonomi kontemporer Monzer Kahf terhadap ekonomi Islam. Tulisan ini memberikan gambaran bagaimana pembahasan teori Kahf terhadap sistem ekonomi yang bekerja berdasarkan ajaran Islam. Asumsi dasar dari teori yang dibangun Kahf merupakan kritik atas economic man yang berlaku pada ekonomi konvensional, Kahf memberikan sebuah bentuk pemikiran sebagai pengganti konsep ini yang dikenal dengan konsep Islamic man. Atas dasar itu Kahf membangun teori konsumsi dan produksi, ajaran perintah zakat, larangan riba serta gagasan al-qirad sebagai alternatif terhadap sistem berbunga.
Keywords: Pemikiran, Ekonomi Islam, Monzer Kahf
Pendahuluan
Konsep manusia ekonomi (economic man) bagi para pemikir Islam, membuat pelaku ekonomi menghilangkan tanggung jawab sosial dalam pertimbangan pilihannya. Dengan demikian, ada jebakan dari ilmu ekonomi konvensional yang sekularis yaitu mendorong manusia untuk memenuhi kepentingan diri sendiri lewat maksimumisasi kekayaan dan konsumsi sebagai alat utama untuk melakukan filterarisasi, motivasi dan resktrukrisasi (Athoillah dan Anees, 2013: 196). Sejalan dengan ajaran Islam tentang pemberdayaan akal pikiran dengan tetap berpegang teguh terhadap nilai-nilai agama, konsep dan teori ekonomi dalam Islam pada hakikatnya merupakan respon para cendikiawan Muslim terhadap berbagai tantangan ekonomi pada waktu-waktu tertentu, yang juga berarti pemikiran ekonomi Islam sesuai dengan ajaran Islam itu sendiri.
M Dawam Rahardjo dalam tulisannya yang berjudul "Orientasi Pembangunan di Dunia Islam" menjelaskan bahwa Ekonomi Islam jika dinilai pengertiannya berdasarkan hubungan ekonomi modern dengan ajaran Islam dapat didefenisikan sebagai ilmu ekonomi dalam sorotan prinsip-prinsip Islam dengan membawa ilmu ekonomi modern dalam keselarasan dengan syariah (hukum Islam). Defenisi ini mengandaikan bahwa defenisi ilmu pengetahuan ekonomi itu diterima sebagai pengertian yang universal namun tidak demikian dalam kenyataannya (Rahardjo, 1985: 79-80).
Kegiatan ekonomi menurut Islam bukanlah kegiatan yang dikendalikan oleh hasrat dan pengalaman manusia saja, melainkan harus pula dituntun oleh pedoman-pedoman dasar syariah. Sebagai cabang dari ilmu-ilmu sosial, maka ekonomi Islam tidak bebas dari nilai-nilai moral. Dengan kata lain, aspek normatifnya lebih menonjol dari aspek positifnya, bahkan aspek normatif itu bersifat instrumental dalam menganalisa gejala-gejala perekonomian yang nyata berlaku serta dipakai untuk arah tindakan sesuai dengan tujuan Islam.
Sebagai salah satu pemikir ekonomi Islam modern, Monzer Kahf dalam salah satu pandangannya menolak bahkan mengecam konsep economic man pada ekonomi konvensional dengan mengajukan konsep pembanding yang dikenal dengan Islamic man, dimana konsep ini dianggap dapat memperbaiki konsep manusia ekonomi rasional (economic man) yang berkembang. Disamping itu, rasionaliti dalam ekonomi Islam senantiasa memperhatikan maslahah untuk diri sendiri, keluarga serta masyarakat.
Dalam bukunya "The Islamic Economy" Kahf mendefenisikan Islam secara ekonometris. ia melihat bahwa kepustakaan ekonomi Islam selama ini dinilainya sebagai gambaran deskriptif mengenai sistem ekonomi Islam. Kahf mencoba mengambarkan bagaimana suatu perekonomian itu dapat bekerja, berdasarkan variabel-variabel pokok yang ditentukan oleh ajaran Islam sehingga sistem ekonomi dalam mencapai tujuan-tujuan pokoknya dalam kondisi seimbang, khususnya dalam menghindari akses-akses yang bisa terjadi dalam sistem ekonomi kapitalis (Rahardjo, 1985: 83).
Ada beberapa wacana pemikiran Kahf yang akan didiskusikan pada tulisan ini, yakni: 1) bagaimana pemikiran Kahf mengenai Islamic man, 2) rasionalisme Islam, 3) Negara, 4) konsep dan metodologi ekonomi Islam, 4) teori konsumsi, serta 5) makro moneter. Harapannya, melalui pembahasan teoritis, analisis yang ada dalam tulisan yang sangat singkat ini dapat mendukung argumen di atas.
Studi Pemikiran Ekonomi Monzer Kahf
Biografi Singkat Monzer Kahf
Monzer Kahf dilahirkan di Damaskus, Syria pada tahun 1940. Kahf menerima gelar B.A (setara S1) di bidang Bisnis dari universitas Damaskus pada tahun 1962 serta memperoleh penghargaan langsung dari Presiden Syria sebagai lulusan terbaik. Pada tahun 1975, Kahf meraih gelar Ph.D untuk ilmu ekonomi spesialisasi ekonomi International dari University of Utah, Salt Lake City, USA. Selain itu, Khaf juga pernah mengikuti kuliah informal yaitu, training and knowledge of Islamic Jurisprudence (Fiqh) and Islamic Studies di Syria. Sejak tahun 1968, ia telah menjadi akuntan publik yang bersertifikat. Pada tahun 2005, Monzer Kahf menjadi seorang guru besar ekonomi Islam dan perbankan di The Garduate Programe of Islamic Economics and Banking, Universitas Yarmouk di Jordan.
Lebih dari 34 tahun Kahf mengabdikan dirinya di bidang pendidikan. Ia pernah menjadi asisten dosen di fakultas ekonomi University of Utah, Salt Lake City (1971-1975). Kahf juga pernah aktif sebagai instruktur di School of Business, University of Damascus (1962-1963). Pada tahun 1984, Kahf memutuskan untuk memutuskan bergabung dengan Islamic Development Bank dan sejak 1995 ia menjadi ahli ekonomi (Islam) senior di IDB.
Monzer Kahf termasuk orang pertama yang mengaktualisasi analisis pengunaan beberapa institusi Islam (seperti zakat) terhadap agregat ekonomi, seperti simpanan investasi, konsumsi dan pendapatan. Hal ini dapat di lihat dalam bukunya yang berjudul "The Islamic Economy: Analytical of The Functioning of The Islamic Economic System" yang diterbitkan pada tahun 1978. Pada waktu itu, kebanyakan karya-karya mengenai ekonomi Islam masih mendiskusikan masalah prinsip dan garis besar ekonomi Islam. Pemikiran yang utama dan penting Kahf adalah pandangannya terhadap ekonomi sebagai bagian tertentu dari agama. Karena baginya, agama dengan pengertian yang dihadapkan pada kepercayaan dan prilaku manusia, perilaku ekonomi pastinya menjadi salah satu aspek dari agama (Amalia, 2010: 307). Adapun hasil karya Kahf yang lain adalah : A Contribution to the Theory of Consumer Behavior in an Islamic Society ( Kairo : 1984), Principles of Islamic Financing : A Survey, (with Taqiullah Khan IDB:1992), Zakah Management in Some Muslim Societies (IDB: 1993), The Calculation of Zakah for Muslim in North Amerika, (Ed. 3, Indiana: 1996), Financing Development in Islam (IDB: 1996), The Demand Side or Consumer Behaviour In Islamic Perspective (Bakhtiar, 2015: http://junartibakhtiar.wordpress.com/2015/02/16/monzer-khaf/).
Islamic Man
Konsep Islamic man dianggap dapat memperbaiki konsep manusia ekonomi rasional (economic man) yang dikenal pada ekonomi konvensional. Dimana kritik-kritik terhadap rasionalitas dalam ekonomi konvensional tersebut antara lain: a) Terlalu demanding, karena menganggap setiap agen ekonomi pasti memiliki informasi lengkap; b) Tidak mengambarkan tingkah laku manusia yang sesungguhnya, yaitu apa yang diasumsikan oleh ekonomi konvensional tidak mewakili perilaku manusia yang sebenarnya dan mengabaikan emosi dan perasaan; c) Pilihan perlu konsisten. Individu diandaikan rasional jika memilih pilihannya yang senantiasa konsisten dan mengabaikan perbedaan cita rasa individu; d) Terlalu materialistik. Teori ilmu ekonomi konvensional menganggap manusia senantiasa ingin mencapai keuntugan material yang lebih tinggi sedangkan sebenarnya ada batasan dalam kehendak manusia. Dalam kenyataannya keinginan manusia tidak hanya dibatasi oleh budget constrain/level of income, tingkat harga, atau tingkat modal yang dipunya, tetapi juga oleh hukum, peraturan perundangan, tradisi, nilai-nilai/ajaran agama, nilai moral, dan tanggung jawab sosial (Athoillah dan Anees, 2013: 197).
Menurut Kahf, orang Islam tidak harus orang Muslim. Tetapi selama orang tersebut berkeinginan untuk menerima paradigma Islam maka ia dapat disebut sebagai Islamic Man. Maka segala keputusan yang ia buat pastinya akan berbeda dengan orang yang menjalankan ekonomi konvensional. Adapun tiga pilar tersebut adalah: Pertama, Segala sesuatu adalah mutlak milik Allah; umat manusia adalah sebagai khalifah-Nya (memiliki hak/bertanggung jawab). Kedua, Tuhan itu satu, hanya hukum Allah yang dapat diberlakukan. Ketiga, Kerja adalah kebajikan, kemasalahatan adalah sifat buru, oleh karena itu diperlukan sikap memperbaiki diri sendiri. Singkatnya Islamic man adalah individu yang berusaha memaksimumkan al-falah dibanding memaksimumkan kepentingan diri sendiri. Dasar kekhasan Islamic Man ini karena ajaran Islam mengarahkan orientasi yang tidak melulu duniawi, melainkan juga ukhrawi (Amalia, 2010: 276).
Untuk merumuskan konsep Islamic Man, Monzer Kahf mengajukan sejumlah asas rasionalisme Islam berikut (Athoillah dan Anees, 2013: 198-199) :
Konsep kesuksesan. Kesuksesan dalam kehidupan muslim diukur dengan moral agama islam, bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas seseorang, semakin tinggi pula kesuksesan yang dicapai. Kebajikan dan ketakwaan kepada Allah SWT merupakan kunci dalam moralitas Islam (Hendrie Anto, 2003: 123).
Jangka waktu perilaku konsumen. Dalam pandangan Islam kehidupan di dunia hanya sementara dan masih ada kehidupan kekal di akhirat, maka dalam mencapai kepuasan perlu ada keseimbangan pada kedua tempo waktu tersebut, demi mencapai kesuksesan yang hakiki.
Konsep kekayaan. Kekayaan dalam konsep Islam adalah amanah dari Allah SWT dan sebagai alat bagi individu untuk mencapai kesuksesan di akhirat nanti, sedangkan menurut pandangan konvensional kekayaan adalah hak individu dan merupakan pengukur tahap pencapaian mereka di dunia.
Konsep barang yang selalu berkaitan dengan nilai-nilai moral. Dalam al-Qur'an dinyatakan dua bentuk barang yaitu al-tayyibat (barangan yang baik, bersih dan suci serta berfaedah) dan barang al-rizq (pemberian Allah, hadiah, atau anugerah dari langit) yang bisa mengandung halal dan haram. Menurut ekonomi Islam barang dibagi pada tiga kategori, yaitu daruriyyat (primer), hajiyyat (sekunder) dan tahsiniyyat (tersier).
Etika konsumen. Islam tidak melarang individu dalam menggunakan barang untuk mencapai kepuasan selama individu tersebut tidak mengkonsumsi barang yang haram dan berbahaya atau merusak (Hendrie Anto, 2003: 123).
Islamic Man dianggap perilakunya rasional jika konsisten dengan prinsip-prinsip Islam yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang seimbang. Singkatnya Islamic Man adalah personal yang menjadikan nilai-nilai Islam dalam penggunaan rasionalitasnya pada kegiatan ekonomi. Nilai Islam yang dimaksud adalah orientasi maslahah yang dikendalikan oleh keyakinan tauhid dan keinginan mendapatkan kebahagian di dunia dan akhirat.
Rasionalisme Islam
Dalam ilmu ekonomi konvensional, rasionaliti merupakan suatu konsep yang penting karena paradigmanya berdasar pada asumsi bahwa tindakan individu adalah rasional. Roger Leroy Miller Rasionalitas mendefenisikan bahwa rasionalisme sebagai tindakan manusia yang memaksimumkan kepuasan atau keuntungan berdasarkan pada keperluan (need) dan keinginan-keinginan (want) yang kesemuanya digerakkan oleh akal yang sehat (Athoillah dan Anees, 2013: 193).
Rasionalisme Islam adalah salah satu istilah yang paling bebas digunakan dalam ekonomi, karena segala sesuatu dapat dirasionalisasikan sekali kita mengacuhnya kepada beberapa perangkat aksioma yang relevan (Nur Chamid, 2011: 388-389). Kahf menyebutkan bahwasanya perilaku ekonomi manusia di bawah budaya Islam di dominasi oleh 3 prinsip:
Kepercayaan akan hari akhir
Islam menggabungkan kepercayaan akan hari pengadilan dan kehidupan akhirat dengan kepercayaan kepada Allah. Kehidupan sebelum kematian dan kehidupan setelah kematian memiliki hubungan urutan yang dekat. Hal ini mempunyai 2 pengaruh bagi konsumen: Pertama, hasil pemilihan suatu tindakan disusun atas 2 hal yaitu akibat tindakan di kehidupan sekarang, dan akibatnya di kehidupan akhirat nanti. Kedua, jumlah alternative pemakaian pendapatan seseorang dinaikan dengan pemasukan dari semua keuntungan yang akan didapat di akhirat nanti. Contoh: qard hasan (memberikan pinjaman tanpa tambahan biaya). Mungkin bagi kapitalis adalah suatu hal yang keuntungannya adalah nol atau negatif, tapi bagi Islam hal itu memiliki utility positif (Nur Chamid, 2011: 388-389).
Konsep Kesuksesan, dalam Islam kesuksesan itu dipandang dari segi "taat kepada Allah" dan pelarangan akan penimbunan harta.
Konsep Kekayaan, harta adalah karunia Allah, oleh karena itu harta harus digunakan untuk kepentingan dan pemenuhan kebutuhan manusia.
Rasionalisme dalam Islam dinyatakan sebagai alternative yang konsisten dengan nilai-nilai Islam. Hal ini dapat terlihat rasional apabila mengkonsumsi suatu barang tidak semata-mata bertujuan memaksimumkan kepuasan, tetapi selalu memperhatikan apakah barang itu halal atau haram, israf atau tabzir, memudaratkan masyarakat atau tidak dan lain-lain. Pada konsep rasionalisme ini seseorang tidak dibolehkan untuk matearilistik dan senantiasa memperhatikan anjuran syariat untuk berbuat kebajikan untuk masyarakat dan peduli kepada masyarakat sekitar. Ia ikhlas mengorbankan kesenangannya untuk menyenangkan orang lain. Motifnya dalam berbuat kebajikan kepada orang lain, baik dalam bentuk berderma, bersedekah, meyantuni anak yatim, maupun mengeluarkan zakat harta, dan sebagainya, tidak dilandasi motif ekonomi sebagaimana dalam doctrine of sosial reposibility, tetapi semata-mata berharap keridhaan Allah SWT.
Tentang Negara
Menurut Kahf, Negara adalah pembuat rencana dan pengawas. Kahf menyebutkan 3 objek dari kebijakan Negara:
Maksimalisasi tingkat penggunaan sumber daya alam
Ini adalah tujuan pembangunan. Tujuan ini berarti mencakup secara utuh dan menyeluruh sumber-sumber alam dan manusia yang bersangkutan. Tidak memanfaatkan sumber-sumber yang ada di bumi berarti tidak bersyukur dan tidak taat kepada-Nya.
Meminimalisir terjadinya gap distribusi
Ini merupakan tujuan utama kebijakan ekonomi di Negara Islam. Tujuan ini tidak hanya diambil dari al-Qur'an dan Sunnah yang berkaitan dengan perilaku konsumtif seperti larangan bermewah-mewahan, tetapi juga diambil dari dua prinsip utama Islam, yaitu kesamaan harga diri dan persaudaraan dan prinsip tidak dikehendakinya pemusatan harta dan penghasilan.
Membuat peraturan bagi pelaku ekonomi untuk menjamin ditaatinya peraturan pemerintah. Salah satu bagian integral dari kesatuan politik umat Muslim adalah Lembaga Hisbah. Peranannya adalah melaksanakan yang benar dan meninggalkan yang salah.
Untuk mencapai ketiga kebijakan di atas, Negara mengunakan kebijakan fiscal dan moneter, alat produksi dan distribusi serta kekuatan hukum (Haneef, 2006: 109) Islamic Man dan Negara, keduanya harus bekerja sama dalam rangka pencapaian tujuan (Amalia, 2010: 308)
Konsep dan Metedologi Ekonomi Islam
Meskipun semua agama berbicara tentang masalah-masalah ekonomi, namun agama-agama itu berada pandangannya tentang kegiatan-kegiatan ekonomi. Beberapa agama tertentu melihat kegiatan-kegiatan ekonomi manusia hanya sebagai kebutuhan hidup yang seharusnya dilakukan sebatas memenuhi kebutuhan makan dan minumnya semata-mata, (sembari beranggapan bahwa kegiatan ekonomi yang melampaui batas tersebut merupakan orentasi yang keliru terhadap sumber-sumber manusiawi atau merupakan sejenis kejahatan). Dengan demikian, agama-agama seperti itu beranggapan bahwa orang-orang yang tidak terlalu terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi lebih dekat dengan tuhan. Sebab, harta itu sendiri merupakan kejahatan.
Sementara Islam menganggap kegiatan-kegiatan ekonomi manusia sebagai salah satu aspek dari pelaksanaan tangung jawabnya di bumi (dunia) ini. Orang semakin yang banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi dan bisa semakin baik, selama kehidupannya tetap menjaga keseimbangannya. Kesalehan bukan fungsi positif dari ketidakproduktifan ekonomi. Semakin saleh kehidupan seseorang, justru seharusnya dia semakin produktif. Harta itu sendiri baik dan keinginan untuk memperolehnya merupakan tujuan yang sah dari prilaku manusia. Karena pekerjaan yang secara ekonomi produktif pada dasarnya mempunyai nilai keagamaan, disamping nilai-nilai lainnya.
Ekonomi Islam dibatasi oleh hukum dagang Islam, tetapi ini bukan satu-satunya pembatasan mengenai kajian ekonomi itu. Sistem sosial Islam dan aturan-aturan keagamaan mempunyai banyak pengaruh, atau bahkan lebih banyak terhadap cakupan ekonomi dibandingkan dengan sistem hukumnya.
Kajian tentang sejarah sangat penting bagi ekonomi. Karena sejarah adalah laboratorium umat manusia, dan ekonomi, sebagai salah satu ilmu sosial, perlu kembali kepada sejarah agar dapat melaksanakan eksperimen-eksperimennya dan menurunkan kecenderungan-kecenderungan jangka panjang dalam berbagai perubahan-perubahan ekonominya. Sejarah memberikan dua aspek utama kepada ekonomi, yaitu sejarah pemikiran ekonomi dan sejarah unit-unit ekonomi seperti individu-individu dan badan-badan usaha atau ilmu ekonomi.
Namun perlu di sadari bahwa kedua metode ini pada dasarnya diaplikasikan dalam kajian terhadap aturan-aturan dan prinsip-prinsip sistem ekonomi Islam, meskipun hanya sedikit yang bisa diaplikasikan dalam kajian terhadap makro ekonomi dan keseimbangan umum dalam sistem ekonomi semacam itu, atau bahkan dalam kajian terhadap teori-teori konsumsi dan produksi. Sebab dalam kedua bidang diperlukan beberapa jenis analisis matematik tertentu (Nur Chamid, 2011: 387-388).
Teori Konsumsi dan Implikasinya terhadap Teori Produksi
Islam tidak melarang individu dalam menggunakan barang untuk mencapai kepuasan selama individu tersebut tidak mengkonsumsi barang yang haram dan berbahaya atau merusak. Islam melarang mengkonsumsi barang untuk israf (pembaziran) dan tabzir (spending in the wrong way) seperti suap, berjudi dan lainnya.
Kahf mengembangkan pemikirannya tentang konsumsi dengan memperkenalkan Final Spending (FS) sebagai variable standar dalam melihat kepuasan maksimum yang diperoleh konsumen muslim. Salah satunya dimulai dengan melihat adanya asumsi bahwa secara khusus institusi zakat diasumsikan sebagai sebuah bagian dari struktur sosio-ekonomi. Kahf berasumsi bahwa zakat merupakan keharusan bagi muzakki. Oleh karena itu, meskipun zakat sebagai spending yang memberikan keuntungan, namun karena sifat dari zakat yang tetap, maka diasumsikan di luar final spending (Amalia, 2010: 311). Adapun final spending bagi seorang individu dalam analisa Kahf sebagai berikut :
Fs = (Y-S) + (S-SZ)
Fs = (Y-SY) + (SYT-ZSY), atau Fs = Y(I-ZS)
Keterangan :
Fs
Final Spending
s
Persentasi Y yang ditabung
Y
Pendapatan
z
Persentasi zakat
S
Total tabungan, Semakin Tinggi s, maka semakin kecil FS
Teori Produksi
Menurut Kahf tingkat keshalehan seseorang mempunyai korelasi positif terhadap tingkat produksi yang dilakukannya. Jika seseorang semakin meningkat nilai keshalehannya maka nilai produktifitasnya juga semakin meningkat, begitu juga sebaliknya jika keshalehan seseorang itu dalam tahap degradasi maka akan berpengaruh pula pada pencapaian nilai produktifitas yang menurun (Nur Chamid, 2011: 390).
Adapun aspek-aspek teori produksi menurut kahf sebagai berikut:
Motif-motif produksi yaitu pengambilan mamfaat setiap partikel dari alam semesta adalah tujuan ideologi umat Islam.
Tujuan-tujuan produksi yaitu sebagai upaya manusia untuk meningkatkan kondisi materialnya sekaligus moralnya dan sebagai sarana untuk mencapai tujuannya di hari kiamat kelak. Hal ini mempunyai tiga implikasi penting. Pertama, produk-produk yang menjauhkan manusia dari nilai-nilai moral dilarang. Kedua, aspek sosial produksi ditekankan dan secara ketat dikaitkan dengan proses produksi. Ketiga, masalah ekonomi timbul karena kemalasan dan kealpaan manusia dalam usahanya untuk mengambil manfaat sebesar-besarnya dari anugrah Allah baik dari sumber manusiawi maupun dari sumber alami.
Tujuan badan usaha dalam proses maksimalisasi keuntungan dengan mengatasnamakan badan usaha tidak boleh melanggar aturan permainan dalam ekonomi Islam.
Faktor-faktor produksi.
Modal sebagai kerja yang diakumulasikan.
Hak milik sebagai akibat wajar.
Makro Moneter
Zakat
Menurut Kahf, tujuan utama dari zakat adalah untuk mencapai keadilan sosial ekonomi. Zakat merupakan transfer sederhana dari bagian dengan ukuran tertentu harta si kaya untuk dialokasikan kepada si miskin. Zakat merupakan salah satu ciri dari sistem ekonomi Islam, karena zakat merupakan salah satu implementasi azas keadilan dalam sistem ekonomi Islam. Zakat berpengaruh terhadap sejumlah variabel mikro dan makroekonomi, sepeti meningkatnya investasi, agregat produksi dan konsumsi, pertumbuhan ekonomi, penurunan tingkat kemiskinan masyarakat, dan lain sebagainya (Kahf dan Al-Yafai, 2015: 201-202).
Dalam kaitan antara kewajiban zakat dan penggunaan barang-barang mewah, Kahf menyatakan bahwa zakat itu tidak diberlakukan terhadap barang-barang keperluan hidup yang tidak mewah, sedangkan dalam kasus tabungan-tabungan yang diinvestasikan dalam kegiatan produktif, penghasilannya diseimbangkan dengan kewajiban pembayaran zakat. Penimbunan harta, menurut Kahf, merupakan suatu kejahatan. Sebagai contoh, ia mengemukakan penggunaan logam-logam mulia (seperti emas dan perak) untuk perlengkapan atau alat-alat rumah tangga, dianggap perbuatan dosa dalam Islam, yang akan mendapatkan adzab di akhirat kelak. Di samping itu, penimbunan harta akan mengakibatkan harta menjadi tidak produktif dan tidak bisa dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.
Pelarangan Riba dan Bunga
Ada dua corak transaksi yang tidak dikenal dalam ekonomi Islam, yaitu bunga pinjaman dan kelebihan kuantitas dalam pertukaran komoditas yang sama. Alasan larangan terhadap riba dalam Islam sangat jelas. Pertama, bunga/riba meningkatkan kecenderungan dikuasainya kekayaan oleh segolongan kecil orang saja; dalam prosesnya dia cenderung untuk menghilangkan keprihatinan seseorang terhadap sesamanya. Kedua, Islam tidak membolehkan laba yang di dapat dari kegiatan ekonomi kecuali kalau ada kemungkinan untuk merugi darinya. Ketiga, dalam Islam kekayaan haruslah diperoleh dari kegiatan pribadi dan kerja keras, dan tidak dari sikap mementingkan diri sendiri untuk mendapatkan laba sebanyak mungkin (Askari et.al, 1985: 46-47).
Al-Qirad sebagai Suatu Sistem Alternatif
Kegiatan penabungan dan penyimpanan deposito di bank saja secara ekonomi merupakan kegiatan negative. Kegiatan yang benar-benar produktif, dari sudut pandang ekonomi adalah penggunaan tabungan-tabungan ini dalam proses produksi dalam pengertian modal, tanah atau buruh. Dan kegiatan ini seharusnya mendapatkan imbalan atau hadiah, dan demikian pulalah dalam Islam. Kegiatan yang disebut belakangan itu, dalam buku-buku keislaman dikenal dengan dua istilah yaitu : al-Qirad dan al-Mudarabah.
al-Qirad adalah sejenis kerja sama antara para pemilik asset moneter dan para pengusaha. al-Qirad merupakan mekanisme Islam untuk menggunakan asset-aset moneter dalam kegiatan produktif dengan mentransformasikan asset-aset tersebut menjadi factor-faktor produksi. Secara teoritis, al-Qirad memiliki landasan ganda: yaitu ketetapan kepemilikan dan prinsip kerja sama (kooperasi). Ketetapan kepemilikan berarti bahwa muqarid berhak penuh untuk menuntut asset-aset moneternya dan kenaikan yang timbul dari pertumbuhan asset-aset tersebut oleh si pengusaha. Sedangkan prinsip kerja sama berarti bahwa kedua belah pihak yang sama-sama memiliki berbagai unsur yang membentuk proyek dan bunga di dalamnya.
Sebagai pengganti pasar uang, ekonomi Islam menampilkan pasar al-Qirad, Pasar ini sama dengan pasar barang (stock market), yang juga boleh ada dalam ekonomi Islam. Pasar ini terikat dengan pelaksanaan al-Qirad, dan harganya pun ditentukan berdasarkan bagi untung.
Kesimpulan
Kunci utama yang harus dipertahankan pada Ekonomi Islam sebagai suatu suatu disiplin ilmu sosial adalah menjaga keutuhan hakikat dan kebenarannya. Sistem ekonomi Islam mengombinasikan antara etika dan ekonomi sebagai dasar mikronya, dimana lebih menonjolkan aspek normatifnya daripada aspek postifnya. Sebagai salah satu tokoh ekonomi modern (kontemporer) Kahf banyak memberikan pemikiran terhadap bagaimana ekonomi Islam itu. Beranjak dari asumsi dasar tentang Islamic Man dan Negara, Khaf membangun teori-teori ekonomi yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam dan berbagai masalah yang semuanya disoroti dalam pandangan Islam.
Referensi
Achmad, Amrullah et al. 1985. Islamisasi Ekonomi; Suatu Sketsa Evaluasi dan Prospek Gerakan Perekonomian Islam. Yogyakarta: Bidang Penerbitan PLP2M
Amalia, Euis. 2005. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik Hingga Kontemporer. Jakarta: Pustaka Asatrus
Anto, M.B. Hendrie. 2003. Pengantar Ekonomika Mikro Islami. Yogyakarta: Ekonisia
Athoillah, M. Anton dan Bambang Q Anees. 2013. Filsafat Ekonomi Islam. Surabaya: Sahifa
Chamid, Nur. 2010. Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Pustaka Pelajar
Haneef, Mohamed Aslam. 2006. Pemikiran Ekonomi Kontemporer. Surabaya: Airlangga University Press
Karim, Adiwarman. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Kahf , Monzer dan Samira Al Yafai. 2015. Social Security and Zakah in Theory and Practice, International Journal of Economics, Management and Accounting 23, No. 2
Junarti Bakhtiar. Monzer Kahf. Http://junartibakhtiar.wordpress.com/2015/02/16/monzer-kahf/. Yang diakses tanggal 31 Mei 2015