23
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tidak ada seorang pun yang bisa lolos dari pemeriksaan pajak, semua wajib pajak memiliki peluang yang sama untuk diperiksa. Belakangan ini kita melihat banyak pemberitaan tentang temuan kasus korupsi pajak, termasuk kasus penyelundupan pajak (Tax evasion), yang nilainya tidak tanggung-tanggung. Hal seperti ini juga banyak terjadi di negara-negara lain, baik di negara maju, apalagi di negara berkembang. Hal ini bisa terjadi karena di satu sisi sistem perpajakan kita terus mengalami penyempurnaan, tetapi selama peluang kolusi antara wajib pajak dan pemeriksa pajak masih terbuka, wajib pajak yang nakal akan selalu mencari cara untuk menghindari pajak. Hal ini juga menjadi faktor pemicu yang bisa mendorong Wajib Pajak untuk mencoba "mengakali" pembukuannya.
Untuk kepentingan budgetair, otoritas pajak mengemban tugas berat meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan serta meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Akibatnya, sektor pajak menjadi sektor yang paling sering merefisi peraturan perpajakan untuk mendukung suksesnya kepentingan tersebut. Tetapi di sisi lain kita tahu pula akan, kepentingan wajib pajak mengurangi beban pajak demi efisiensi, yang jelas bertentangan dengan misi budgetair. Disinilah dituntut kesadaran para wajib pajak untuk bersikap jujur dan transparan dalam melaporkan semua hasil usahanya, sehingga kondisi yang dipertentangkan, yang menjadi dispute antara wajib pajak dan aparat pajak, bisa dihilangkan. Selama cara-cara yang ditempuh oleh wajib pajak menyusutkan penerimaan negara atau berada di luar koridor undang-undang perpajakan, aparatur perpajakan akan makin intensif melakukan pemeriksaan.
Menurut pasal 1 Angka 25 UU Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan undang-undang perpajakan.
Pada umumnya, yang menjadi objek pemeriksaan pajak adalah Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) yang disampaikan oleh wajib pajak. Pengisian surat pemberitahuan sendiri didasarkan pada pembukuan yang diselenggarakan oleh wajib pajak. Oleh sebab itu, sangat penting bagi wajib pajak untuk merapikan dan memutakhirkan pembukuannya agar lebih mudah ketika menghadapi pemeriksaan. Pelaksanaan pembukuan di Indonesia didasarkan pada Standar Akuntansi Keuangan, namun untuk tujuan perpajakan perlu diadakan beberapa penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan ketentuan perpajakan.
1.2 Tujuan
Memahami kriteria pemeriksaan pajak secara rutin dan khusus.
Memahami ruang lingkup pemeriksaan pajak.
Memahami strategi umum yang harus dilaksanakan dalam menghadapi pemeriksaan pajak.
1.3 Rumusan Masalah
Bagaimana kriteria pemeriksaan rutin dan pemeriksaan khusus?
Apa yang membedakan antara pemeriksaan kantor dan pemeriksaan lapangan?
Apa saja yang terdapat dalam ruang lingkup pemeriksaan pajak?
Apa saja yang menjadi ketentuan undang-undang dalam ruang lingkup pemeriksaan dengan tujuan lain?
Bagaimana strategi umum yang harus dilaksanakan dalam menghadapi pemeriksaan pajak?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem perpajakan Indonesia menganut self assessment system yang berdasarkan sistem tersebut Wajib Pajak diberikan kepercayaan yang besar untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya. Self assessment system berjalan dengan baik apabila Wajib Pajak melaksanakan seluruh kewajiban perpajakannya dengan tingkat kepatuhan yang tinggi dan disertai dengan mekanisme pengawasan dan penegakan hukum yang optimal oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Sebagai salah satu mekanisme pengawasan terhadap self assessment system, Direktur Jenderal Pajak diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan. Hal ini diatur dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Undang-Undang KUP) yang menyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dalam rangka melaksanakan pemeriksaan yang efektif perlu ditetapkan rencana dan strategi pemeriksaan secara spesifik, dapat diukur, dapat dicapai, relevan, batasan waktu, dan perbaikan terus menerus yang diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak, penerimaan dari kegiatan pemeriksaan, dan kualitas pemeriksaan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efektivitas pemeriksaan diperlukan rumusan strategi pemeriksaan yang tepat dan sistematis. Dengan demikian sumber daya pemeriksaan yang dimiliki oleh DJP dapat dioptimalkan untuk mencapai rencana pemeriksaan yang telah ditetapkan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kriteria Pemeriksaan
Pada tingkat kebijakan, kriteria pemeriksaan dibagi dua:
Pemeriksaan rutin, dan
Pemeriksaan khusus
Dalam SE-28/PJ/2013 menjelaskan keduanya seperti ini: Pemeriksaan Rutin, merupakan pemeriksaan yang dilakukan sehubungan dengan pemenuhan hak dan/atau pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Pemeriksaan Khusus atau pemeriksaan berdasarkan analisis risiko (risk based audit), merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan hasil analisis risiko secara manual atau secara komputerisasi menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Pada tingkat praktek, pemeriksaan rutin itu adalah pemeriksaan yang tidak memerlukan analisis risiko. UP2 cukup mengusulkan pemeriksaan rutin ke Kanwil DJP, kemudian Kanwil DJP menyetujui atau menolak usulan pemeriksaan rutin. Tetapi ternyata sejak SE-28/PJ/2013 pemeriksaan pun ada skala prioritas. Dimana Kepala UP2 diberikan kewenangan untuk melakukan prioritas berdasarkan beban kerja dan potensi pajak. Sedangkan untuk melihat potensi pajak harus ada perhitungan. Artinya, untuk mengusulkan pemeriksaan rutin yang menggunakan skala prioritas, maka kepala UP2 juga harus melakukan analisis risiko juga dengan analisis risiko versinya masing-masing kepala UP2.
Menurut SE-28/PJ/2013 Wajib Pajak akan dilakukan pemeriksaan dengan kriteria pemeriksaan rutin jika:
Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh yang menyatakan lebih bayar restitusi.
Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar restitusi.
Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh atau SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang KUP.
Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi.
Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal 17D Undang-Undang KUP.
Wajib Pajak menyampaikan SPT yang menyatakan rugi.
Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi atau pembubaran usaha, atau Wajib Pajak orang pribadi akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
Wajib Pajak melakukan: perubahan tahun buku, perubahan metode pembukuan; dan/atau penilaian kembali aktiva tetap.
3.2 Ruang Lingkup
Ruang lingkup pemeriksaan bisa juga disebut audit scope. Hanya saja, ruang lingkup pemeriksaan pajak terkait dengan kewajiban SPT yang disampaikan Wajib Pajak. Sedangkan kewajiban SPT tersebut terkait dengan periode tertentu.
Ruang lingkup pemeriksaan:
Satu atau beberapa bulan (masa), yaitu ruang lingkup untuk menguji kewajiban pemungutan dan pemotongan. Termasuk kewajiban pemotongan dan pemungutan adalah PPN, PPnBM, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, dan PPh Pasal 4 (2).
Bagian tahun pajak, yaitu ruang lingkup untuk menguji kewajiban PPh Badan atau PPh OP. Bagian tahun pajak artinya tidak 12 bulan penuh. Bisa 1 sampai dengan 11 bulan. Saat terutang PPh Badan dan PPh OP adalah pada akhir tahun. Dan periode pajak yang dihitung tahunan. Sehingga ruang lingkup pemeriksaan juga satu tahun atau bagian tahun. Contoh bagian tahun pajak adalah bulan April sebuah perusahaan dibubarkan dan dilikuidasi bulan Agustus. Maka pemeriksaan tahun tersebut disebut bagian tahun pajak karena periode yang dihitung adalah Januari sampai dengan Agustus.
3.3 Jenis Pemeriksaan Pajak
Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013. Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor.
Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013. Terhadap Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dilakukan dengan Pemeriksaan Kantor, dalam hal permohonan pengembalian kelebihan pembayaran tersebut diajukan oleh Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan:
laporan keuangan Wajib Pajak untuk Tahun Pajak yang diperiksa diaudit oleh akuntan publik atau laporan keuangan salah satu Tahun Pajak dari 2 (dua) Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak yang diperiksa telah diaudit oleh akuntan publik, dengan pendapat wajar tanpa pengecualian; dan
Wajib Pajak tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, penyidikan, atau penuntutan tindak pidana perpajakan, dan/atau Wajib Pajak dalam 5 (lima) tahun terakhir tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Pasal 5 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013. Terhadap Pemeriksaan dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf e, penentuan jenis pemeriksaannya diatur oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 5 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013. Terhadap Pemeriksaan dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf f dan huruf g dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan.
Pasal 5 ayat (5) Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013. Dalam hal Pemeriksaan Kantor ditemukan indikasi transaksi yang terkait dengan transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan, pelaksanaan Pemeriksaan Kantor diubah menjadi Pemeriksaan Lapangan.
Jenis pemeriksaan pajak membagi pemeriksaan menjadi dua, yaitu :
Pemeriksaan Kantor merupakan pemeriksaan yang secara risiko lebih rendah. Sedangkan Pemeriksaan Lapangan untuk pemeriksaan yang cakupannya luas, kompleks, dan memiliki risiko tinggi. Inilah salah satu alasan kenapa pemeriksaan transfer pricing harus Pemeriksaan Lapangan karena dianggap memiliki risiko tinggi. Pada saat Pemeriksaan Kantor pemeriksa melakukan pengujian pengujian transfer pricing maka jenis pemeriksaan diubah menjadi jenis Pemeriksaan Lapangan (SE-28/PJ/2013).
persyaratan Pemeriksaan Kantor yaitu:
Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, atau melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tetapi memilih menghitung pajak terutang dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto;
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, atau Wajib Pajak badan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Surat yang dikirim ke alamat Wajib Pajak tidak pernah kembali pos (kempos).
Terdapat nomor telepon atau faksimili dan dapat dihubungi.
Pernah berkomunikasi atau konsultasi dengan petugas Account Representative di Kantor Pelayanan Pajak.
Hasil kunjungan petugas Account Representative dapat menggambarkan dengan jelas kegiatan usaha dan proses bisnis Wajib Pajak;
Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan yang restitusi tepat waktu; dan
Hasil Pemeriksaan Pajak sebelumnya tidak mendapatkan koreksi atau mendapatkan koreksi atas pos peredaran usaha dan/atau pembelian tetapi tidak bernilai material (koreksi di bawah 5% dari peredaran usaha dan/atau pembelian)
Dengan kebijakan tersebut DJP menganggap bahwa Wajib Pajak yang sering berkomunikasi dengan petugas Account Representative (AR) memiliki risiko rendah sampai Wajib Pajak tersebut diperiksa dan hasil pemeriksaan terbukti ada koreksi peredaran usaha dan/atau pembelian diatas 5%. Wajib Pajak yang tidak bisa dihubungi AR, tidak jelas alamatnya, dilakukan visit tetapi Wajib Pajak justru menolak maka Wajib Pajak seperti ini dianggp memiliki risiko menengah sampai tinggi. Apalagi jika Wajib Pajak memiliki alamat berpindah-pindah ditambah tidak ada pegawai Wajib Pajak atau Wajib Pajak itu sendiri yang dapat dihubungi maka DJP harus menggap Wajib Pajak seperti ini memiliki risiko tinggi dan perlu adanya pemeriksaan lapangan.
3.4 Standar Pemeriksaan Pajak
Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013. Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus dilaksanakan sesuai dengan standar Pemeriksaan.
Standar pemeriksaan adalah capaian minimum yang harus dicapai dalam melaksanakan pemeriksaan. Standar pemeriksaan lebih lanjut diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-23/PJ/2013 tentang Standar Pemeriksaan dibagi tiga:
Standar umum.
Standar pelaksanaan.
Standar pelaporan hasil pemeriksaan.
Standar umum Pemeriksaan merupakan standar yang bersifat pribadi dan berkaitan dengan persyaratan Pemeriksa Pajak. Peraturan menteri keuangan dan peraturan direktur jenderal pajak memberikan syarat minimal pemeriksa pajak sebagai berikut:
Telah mendapat pendidikan dan pelatihan teknis yang cukup serta memiliki keterampilan sebagai Pemeriksa Pajak.Persyaratan ini merupakan syarat kompetensi untuk dapat menjadi seorang Pemeriksa Pajak, baik sebagai individu maupun sebagai tim Pemeriksa Pajak (kompetensi kolektif). Pemeriksa Pajak harus memiliki pengetahuan dan keahlian yang memadai dibidang perpajakan, akuntansi, dan Pemeriksaan. Pemeriksa Pajak diharuskan memiliki pengetahuan umum tentang lingkungan dan proses bisnis Wajib Pajak, termasuk di antaranya adalah kemampuan menerapkan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku. Pemeriksa Pajak harus memiliki keterampilan berkomunikasi secara jelas dan efektif, baik secara lisan maupun tulisan. Pemeriksa Pajak harus memelihara dan meningkatkan keahlian dan kompetensinya melalui pendidikan berkelanjutan. Pendidikan dimaksud dapat berupa diklat-diklat, kursus singkat, maupun seminar, baik yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pajak, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, maupun oleh instansi lainnya, di dalam negeri maupun di luar negeri.
Menggunakan keterampilannya secara cermat dan seksama. Dalam pelaksanaan Pemeriksaan dan penyusunan LHP, Pemeriksa Pajak harus menggunakan keterampilannya secara profesional, cermat dan seksama, objektif, dan independen, serta selalu menjaga integritas. Pemeriksa Pajak dianggap telah menggunakan keterampilannya secara cermat dan seksama apabila dalam melaksanakan Pemeriksaan didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Jujur dan bersih dari tindakan-tindakan tercela serta senantiasa mengutamakan kepentingan negara. Pemeriksa Pajak dituntut untuk selalu jujur dan bersih dari tindakan tercela serta mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi ataupun golongan. Pemeriksa Pajak harus tunduk pada kode etik yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Dalam semua hal yang berkaitan dengan Pemeriksaan, Pemeriksa Pajak harus bersikap independen, yaitu tidak mudah dipengaruhi oleh keadaan, kondisi, perbuatan dan/atau Wajib Pajak yang diperiksanya.
Taat terhadap berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pelaksanaan Pemeriksaan harus didahului dengan persiapan yang baik sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, yang paling sedikit meliputi kegiatan mengumpulkan dan mempelajari data Wajib Pajak, menyusun rencana Pemeriksaan (audit plan), dan menyusun program Pemeriksaan (audit program), serta mendapat pengawasan yang seksama. Pemeriksaan dilaksanakan dengan melakukan pengujian berdasarkan metode dan teknik Pemeriksaan sesuai dengan program Pemeriksaan (audit program) yang telah disusun. Temuan hasil Pemeriksaan harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pemeriksaan dilakukan oleh suatu tim Pemeriksa Pajak yang terdiri dari seorang supervisor, seorang ketua tim, dan seorang atau lebih anggota tim, dan dalam keadaan tertentu ketua tim dapat merangkap sebagai anggota tim. Apabila diperlukan, Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dilakukan secara bersama-sama dengan tim pemeriksa dari instansi lain.
Kegiatan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus didokumentasikan dalam bentuk KKP (Kertas Kerja Pemeriksaan). KKP wajib disusun oleh Pemeriksa Pajak dan berfungsi sebagai:
bukti bahwa Pemeriksaan telah dilaksanakan sesuai standar pelaksanaan Pemeriksaan;
bahan dalam melakukan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dengan Wajib Pajak mengenai temuan hasil Pemeriksaan;
dasar pembuatan LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan);
sumber data atau informasi bagi penyelesaian keberatan atau banding yang diajukan oleh Wajib Pajak; dan
referensi untuk Pemeriksaan berikutnya.
Kegiatan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus dilaporkan dalam bentuk LHP yang disusun sesuai standar pelaporan hasil Pemeriksaan. LHP disusun secara ringkas dan jelas, memuat ruang lingkup atau pos-pos yang diperiksa sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, memuat simpulan Pemeriksa Pajak yang didukung temuan yang kuat tentang ada atau tidak adanya penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan, dan memuat pula pengungkapan informasi lain yang terkait dengan Pemeriksaan. LHP untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sekurang-kurangnya memuat:
Penugasan pemeriksaan;
Identitas wajib pajak;
Pembukuan atau pencatatan wajib pajak;
Pemenuhan kewajiban perpajakan;
Data/informasi yang tersedia;
Buku dan dokumen yang dipinjam;
Materi yang diperiksa;
Uraian hasil pemeriksaan;
Ikhtisar hasil pemeriksaan;
Penghitungan pajak terutang; dan
Simpulan dan usul pemeriksa pajak.
KEWAJIBAN PEMERIKSA
HAK WAJIB PAJAK
menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan kepada Wajib Pajak dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor;
meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan;
memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan SP2 kepada Wajib Pajak pada waktu melakukan Pemeriksaan;
meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan SP2;
memperlihatkan surat yang berisi perubahan tim Pemeriksa Pajak kepada Wajib Pajak apabila susunan keanggotaan tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan;
meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan surat yang berisi perubahan tim Pemeriksa Pajak apabila susunan keanggotaan tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan;
melakukan pertemuan dengan Wajib Pajak dalam rangka memberikan penjelasan mengenai:
1. alasan dan tujuan Pemeriksaan;
2. hak dan kewajiban Wajib Pajak selama dan setelah pelaksanaan Pemeriksaan;
3. hak Wajib Pajak mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan dalam hal terdapat hasil Pemeriksaan yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan; dan
4. kewajiban dari Wajib Pajak untuk memenuhi permintaan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya, yang dipinjam dari Wajib Pajak;
meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan
menuangkan hasil pertemuan dalam berita acara pertemuan dengan Wajib Pajak;
menyampaikan SPHP kepada Wajib Pajak;
menerima SPHP;
memberikan hak untuk hadir kepada Wajib Pajak dalam rangka Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan pada waktu yang telah ditentukan;
menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan pada waktu yang telah ditentukan;
mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan, dalam hal masih terdapat hasil Pemeriksaan yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan; dan
menyampaikan Kuesioner Pemeriksaan kepada Wajib Pajak;
memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh Pemeriksa Pajak melalui pengisian Kuesioner Pemeriksaan.
melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan menyampaikan saran secara tertulis;
mengembalikan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak;
merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak atas segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan.
KEWENANGAN PEMERIKSA
KEWAJIBAN WAJIB PAJAK
melihat dan/atau meminjam buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;
memberikan kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;
memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
memberikan kesempatan untuk memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak serta meminjamkannya kepada Pemeriksa Pajak;
meminta kepada Wajib Pajak untuk memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, antara lain berupa:
1. menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak apabila dalam mengakses data yang dikelola secara elektronik memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus;
2. memberikan bantuan kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka barang bergerak dan/atau tidak bergerak; dan/atau
3. menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan di tempat Wajib Pajak;
memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, yang dapat berupa:
1. menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak apabila dalam mengakses data yang dikelola secara elektronik memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus;
2. memberikan bantuan kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka barang bergerak dan/atau tidak bergerak; dan/atau
3. menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan di tempat Wajib Pajak;
melakukan Penyegelan tempat atau ruang tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak;
meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak;
memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan
meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui kepala unit pelaksana Pemeriksaan.
menyampaikan tanggapan secara tertulis atas SPHP;
3.5 Jangka Waktu Pemeriksaan
Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013 jangka waktu pemeriksaan lapangan ditambah 2 bulan dengan membagi jangka waktu pengujian dan jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 82/PMK.03/2011 dikatakan bahwa setelah 8 bulan pemeriksaan belum selesai, maka dalam jangka waktu 7 hari harus diterbitkan SPHP. Padahal setelah SPHP masih ada waktu 1 bulan lagi. Artinya, total jangka waktu pemeriksaan bukan 8 bulan tetapi 9 bulan. Pasal 5A ayat (4) mengatur bahwa SPHP harus diselesaikan dan disampaikan terlebih dahulu dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak berakhirnya perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Kantor atau perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Lapangan. Pasal 23 ayat (11) mengatur bahwa SPHP sampai LHP harus diselesaikan paling lama 1 (satu bulan). Dengan demikian, total jangka waktu pemeriksaan lapangan menjadi 4 bulan + 4 bulan perpanjangan + 7 hari + 1 bulan pembahasan, total 9 bulan lebih. Sedangkan di Pasal 5 mengatur bahwa jangka waktu pemeriksa paling lama 8 bulan.
Karena itu, koreksi di Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013 jangka waktu pemeriksaan dibagi dua, yaitu jangka waktu pengujian dan jangka waktu pembahasan. Rumusannya menjadi lebih mudah, yaitu dalam hal 8 jangka waktu pengujian telah selesai maka harus terbit SPHP. Dengan dipecahnya menjadi dua jangka waktu, maka jangka waktu pengujian menjadi konsisten. Pasal 19 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 mengatur bahwa SPHP harus disampaikan kepada Wajib Pajak apabila:
a. pemeriksaan kantor --- akhir bulan ke 4 atau ke 6 jika ada perpanjangan
b. pemeriksaan lapangan --- akhir bulan ke 6 atau 8 jika ada perpanjangan
Jangka waktu itu adalah jangka waktu maksimal atau selama-lamanya. Jadi boleh kurang dari itu. Begitu juga dengan jangka waktu pembahasan. Tidak harus 2 bulan tetapi boleh juga hanya sehari.
Tetapi jangka waktu perpanjangan diatas ada pengecualian. Untuk Wajib Pajak berikut total jangka waktu pengujian dapat 24 bulan ditambah jangka waktu pembahasan sehingga total jangka waktu pemeriksaan menjadi 26 bulan, yaitu berlaku untuk pemeriksaan atas:
Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi.
Wajib Pajak dalam satu grup.
Wajib Pajak yang terindikasi melakukan transaksi transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan.
3.6 Pinjaman Dokumen dan Penyelesaian dalam Pemeriksaan Pajak
Dalam hal Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilaksanakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, maka buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain yang diperlukan dan diperoleh/ditemukan pada saat pelaksanaan Pemeriksaan di tempat Wajib Pajak, dipinjam pada saat itu juga dan Pemeriksa Pajak membuat bukti peminjaman dan pengembalian buku, catatan, dan dokumen.
Pada saat datang ke tempat Wajib Pajak, pemeriksa pajak tidak perlu membuat surat peminjaman dokumen. Kebiasaan sebagian pemeriksa, sebelum datang ke tempat Wajib Pajak, maka pemeriksa menyiapkan dulu surat peminjaman dokumen. Sebenarnya, surat permintaan peminjaman buku, catatan, dan dokumen itu dilakukan dalam hal:
buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain yang diperlukan belum ditemukan;
buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain yang diperlukan belum diberikan oleh Wajib Pajak pada saat pelaksanaan Pemeriksaan (dengan segala alasannya, misalnya gudang arsipnya di luar kota).
Pada kesempatan pertama datang ke Wajib Pajak, pemeriksa pajak berwenang memasuki semua ruangan dan tidak ada ruangan rahasia karena semua rahasia demi kepentingan Negara (pajak merepresentasikan negara) menjadi tidak ada. Semua harus terbuka bagi pemeriksa pajak. Pada saat menjalankan tugas sesuai SP2, pemeriksa pajak adalah perwakilan NKRI untuk tugas perpajakan. Untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik, pemeriksa pajak memiliki kewenangan meminta Wajib Pajak untuk menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak. Sebaliknya dari sisi Wajib Pajak, pada Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang KUP memerintahkan bahwa Wajib Pajak yang diperiksa wajib memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
Masalah dokumen adalah masalah penting. Pemeriksa Pajak tidak boleh melakukan koreksi berdasarkan analisis. Bukan berarti Pemeriksa Pajak tidak melakukan analisis tetapi analisis yang digunakan untuk mendeteksi ketidakpatuhan Wajib Pajak. Dasar koreksi tetap dokumen dan dasar hukum. Temuan hasil Pemeriksaan harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Pasal 4 PER-23/PJ/2013).
Bukti kompeten adalah bukti yang valid dan relevan dengan tetap mempertimbangkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atas transaksi Wajib Pajak yang memiliki hubungan istimewa. Valid berarti bukti dapat diandalkan untuk menyimpulkan suatu fakta. Relevan berarti bahwa bukti harus berkaitan dengan pos-pos yang akan diperiksa. Bukti yang cukup adalah bukti yang memadai untuk mendukung temuan hasil Pemeriksaan. Kecukupan terkait dengan pertimbangan profesional (professional judgement) Pemeriksa Pajak. Lebih lanjut, silakan cek Pasal 4 PER-23/PJ/2013.
Jika Wajib Pajak sebelum SPHP tidak pernah menyampaikan dokumen, tetapi setelah SPHP menyampaikan dokumen. Sebaiknya wajib pajak yang wasting time seperti ini adalah Pemeriksa Pajak mengambil langsung dokumen yang diperlukan ditempat usaha atau gudang Wajib Pajak dan/atau melakukan penyegelan. Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 benda yang disegel adalah buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik, dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak. Artinya semua benda yang menurut pemeriksa pajak akan memberikan petunjuk tentang kegiatan usaha Wajib Pajak.
Penyegelan dilakukan manakala:
[a.] Wajib Pajak tidak memberi kesempatan kepada Pemeriksa Pajak untuk memasuki tempat atau ruang serta memeriksa barang yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dan/atau dokumen, termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik;
[b.] Wajib Pajak menolak memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;
[c.] Wajib Pajak tidak berada di tempat
Pembukaan segel dilakukan apabila:
a. Wajib Pajak, wakil, kuasa, atau pihak yang dapat mewakili Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf b telah memberi izin kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka atau memasuki tempat atau ruangan, barang bergerak atau tidak bergerak yang disegel, dan/atau telah memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;
b. berdasarkan pertimbangan Pemeriksa Pajak, Penyegelan tidak diperlukan lagi; dan/atau
c. terdapat permintaan dari penyidik yang sedang melakukan penyidikan tindak pidana.
Penyelesaian setiap pemeriksaan diselesaikan, pemeriksa pajak harus membuat LPH. Ciri penyelesaian dengan membuat LHP adalah pemeriksa pajak menyampaikan SPHP. Tetapi jika pemeriksa pajak sampai dengan jangka waktu pemeriksaan habis tidak menyampaikan SPHP berarti penyelesaian pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir. Tidak ada ketentuan bahwa WP harus diberitahu jika penyelesaian pemeriksan dengan membuat LHP Sumir.
Penyelesaian Pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir dilakukan dalam hal:
[a.] Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang diperiksa:
tidak ditemukan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan diterbitkan; atau
tidak memenuhi panggilan Pemeriksaan dalam jangka waktu 4 (empat) bulan sejak tanggal Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor diterbitkan.
[b.] Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor yang ditangguhkan karena ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka tersebut:
tidak dilanjutkan dengan penyidikan karena Wajib Pajak mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang KUP;
tidak dilanjutkan dengan penyidikan tetapi diselesaikan dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A Undang-Undang KUP; atau
dilanjutkan dengan penyidikan tetapi penyidikannya dihentikan karena tidak dilakukan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B Undang-Undang KUP.
[c.] Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor yang ditangguhkan karena ditindaklanjuti dengan penyidikan sebagai tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup dan penyidikan tersebut dihentikan karena memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B Undang-Undang KUP.
[d.] Pemeriksaan Ulang tidak mengakibatkan adanya tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan dalam surat ketetapan pajak sebelumnya.
[e.] Terdapat keadaan tertentu berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak.
3.7 Pemeriksaan Ulang Pajak
Berikut kutipan Pasal 15: Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
Fungsi pemeriksaan ulang untuk melakukan koreksi atas surat ketetapan pajak lebih rendah dari yang seharusnya. Koreksi atas surat ketetapan pajak sebenarnya bisa lewat keberatan, atau pembetulan Pasal 16 UU KUP, atau pembatalan Pasal 36 UU KUP. Masing-masing memiliki "jalur" atau alasan. Misalnya, keberatan terkait dengan beda pendapat antara Wajib Pajak dengan fiskus, pembetulan karena ada salah tulis dan salah hitung, sedangkan pembatalan karena surat ketetapan tidak benar. Sedangkan pemeriksaan ulang disebabkan karena ditemukan data baru.
Data baru adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang yang oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan. Selain itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula belum terungkap, yaitu data yang :
a. Tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta lampirannya (termasuk laporan keuangan); dan/atau
b. Pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan data dan/atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam menghitung jumlah pajak yang terutang.
Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat Pemberitahuan atau mengungkapkannya pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak mungkin menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang secara benar sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, hal tersebut termasuk dalam pengertian data yang semula belum terungkap.
3.8 Pemeriksaan dengan Tujuan Lain.
Ada perbedaan mendasar antara pemeriksaan untuk menguji kepatuhan dengan pemeriksaan untuk tujuan lain, yaitu pemeriksaan untuk tujuan lain tidak menerbitkan surat ketetapan. Jika pemeriksa pemeriksaan untuk tujuan lain menemukan potensi pajak yang belum disetor pada saat pemeriksaan untuk tujuan lain maka pemeriksa pajak tersebut harus mengusulkan pemeriksaan khusus. Sesuai dengan Pasal 69 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 bahwa ruang lingkup Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat meliputi penentuan, pencocokan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan.
Contoh pemeriksaan untuk tujuan lain:
[a.] Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan selain yang dilakukan berdasarkan Verifikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara Verifikasi;
[b.] Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak selain yang dilakukan berdasarkan Verifikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara Verifikasi;
[c.] Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain yang dilakukan berdasarkan Verifikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara Verifikasi;
[d.] Wajib Pajak mengajukan keberatan;
[e.] Pengumpulan bahan guna penyusunan norma penghitungan penghasilan neto;
[f.] Pencocokan data dan/atau alat keterangan;
[g.] Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
[h.] Penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
[i.] Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
[j.] Penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi kerugian sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan; dan/atau
[k.] Memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.
Jangka waktu pemeriksaan untuk tujuan lain empat bulan jika jenis pemeriksaannya pemeriksaan lapangan. Tetapi jika pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dengan jenis pemeriksaan kantor maka jangka waktu pemeriksaan untuk tujuan lain hanya 14 hari saja. Di pemeriksaan untuk tujuan lain tidak ada jangka waktu pembahasan karena memang tidak ada yang dibahas. Juga tidak ada jangka waktu pengujian karena memang bukan menguji SPT. Intinya, pemeriksaan untuk tujuan lain bersifat pelayanan atau pendapat kedua ( second opinion).
3.9 Strategi Umum dalam Menghadapi Pemeriksaan Pajak
Pemeriksaan pajak dapat dilakukan dengan tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain, berdasarkan undang-undang perpajakan. Berikut ini beberapa tips menghadapi pemeriksaan pajak.
Bila terjadi kelebihan pajak, agar diajukan klaim atau restitusi pajak dan jangan merasa takut dengan pemeriksaan pajak.
Pemeriksaan pajak tidak hanya didasarkan pada SPT lebih bayar.
Lakukan pembukuan dengan baik, benar, dan jujur.
Membuat rekonsiliasi komersial fiskal sesuai aturan.
Gunakan konsultan pajak sebagai mitra diskusi seputar perpajakan dan pada saat diperiksa.
Menghindari penyelesaian di bawah tangan dengan aparat pemeriksa pajak.
Melakukan penelitian kembali atas pemenuhan kewajiban perpajakan yang selama ini telah dilaksanakan (tax review). Menyiapkan sikap mental dan berpikir positif, bahwa pemeriksa pajak bisa berbuat salah dalam mengerjkan tugasnya.
Selalu taat pajak dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakan, dengan cara menghindari penggelapan atau penghindaran pajak dengan cara ilegal.
Menyimpan semua dokumen perusahaan, minimal hingga masa kadaluarsa pajak.
Melakukan tax review untuk menguji apakah kita sudah memenuhi kewajiban perpajakan.
Menguasai peraturan pajak dengan baik dengan cara mengupdate aturan pajak dan aturan pemeriksaan pajak, terutama untuk digunakan dalam beragumentasi dan berkomunikasi dengan aparat pajak dalam rangka melaksanakan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (Closing Preference), untuk mempertahankan besarnya pajak yang sudah kita bayar, agar tidak harus membayar tambahan beban pajak lagi.
BAB IV
KESIMPULAN
Pemeriksaan merupakan serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya, untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain, dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. WP (badan) akan memperoleh kriteria patuh jika: (a) Tepat waktu dalam menyampaikan SPT Tahunan dalam dua tahun terakhir, (b) Dalam tahun terakhir penyampaian SPT Masa yang terlambat tidak lebih dari tiga masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut, (c) SPT Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud dalam huruf b telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian SPT Masa pajak berikutnya, (d) Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda. Tunggakan ini tidak termasuk tunggakan pajak sehubungan dengan SPT yang diterbitkan untuk dua masa pajak terakhir, (e) Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir, (f) Dalam hal laporan keuangan diaudit oleh akuntan publik atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), pendapat harus WTS atau wajar dengan pengecualian, sepanjang pengecualian tersebut tidak mempengaruhi laba rugi fiskal.
Jika pemeriksaan menghasilkan produk hukum yang merugikan WP, misalnya dikeluarkan SKP KB atau SKP KBT, maka sebaiknya fungsi pengelolaan pajak tetap dilaksanakan. Bisa jadi WP yang keliru menerapkan aturan. Jika hal ini terjadi, maka perlu ada upgrading pemahaman bagi officer yang menangani masalah pajak. Tetapi jika itu menyangkut perbedaan persepsi antara fiskus dan WP pajak dengan kecenderungan fiskus yang mengalami kekeliruan pemahaman aturan, maka itupun tetap harus dikelola dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Brotodihardjo, R. Santoso. _________.Pengantar Hukum Pajak. Bandung: Eresco.
Kurniawan, Anang Mury. 2012. Tax Treaty. Jakarta: Bee Media Indonesia.
Peraturan Pemerintah Keuangan Republik Indonesia Nomor 10/PMK.03/2013 tentang tata cara pengembalian pajak seharusnya tidak terutang.
Peraturan Pemerintah Keuangan Republik Indonesia Nomor 17/PMK.03/2013 tentang tata cara pemeriksaan.
Lumbantoruan , Sophar. 1993. Akuntansi Pajak. Grasindo: Jakarta.
Suandy, Early. 2011. Perencanaan Pajak. Jakarta: Salemba Empat.
Agus, Yoseph. 2006. Manajemen Pajak, Dari Awal sampai Akhir. Jurnal Informasi, Perpajakan, Akuntansi dan Keuangan. Vol 1(2): 91-102.
Direktorat Jenderal Pajak. Undang-Undang KUP dan Peraturan Pelaksanaannya. 2013. Jakarta.
http://pajaktaxes.blogspot.com/2013/02/tata-cara-pemeriksaan-pajak.html