SUMMARY “STRATEGI DAN MODEL PERENCANAAN POPULIS DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH” Strategi populis dalam pengembangan wilayah merupakan strategi yang berbasis pedesaan. Strategi ini muncul sebagai respon atas kegagalan strategi pertumbuhan yang berbasis kepada industrialisasi. Strategi pusat pertumbuhan tersebut yang pada awalnya banyak mendapat respon positif dan banyak digunakan sebagai strategi pengembangan wilayah, ternyata cukup banyak menghasilkan dampak negatif. Strategi populis muncul di awal tahun 1970an dan dilatarbelakangi oleh beberapa pertimbangan para ahli dan terjadinya fenomena sosial politik pada tahun tersebut pasca kolonialisme di tahun 1950an dan 1960an. Selama periode ortodoksi pertumbuhan di mana strategi pusat pertumbuhan diterima secara luas oleh para ahli pembangunan, terdapat beberapa pendapat bahwa penting bagi seorang perencana untuk mengalokasikan sumber daya untuk pertanian. Pemberian prioritas kepada pembangunan pedesaan dikarenakan perencanaan pembangunan tidak semata-mata mengenai peningkatan laju pertumbuhan nasional dan melahirkan perubahan struktural dalam perekonomian. Strategi pembangunan juga diperlukan untuk memperhitungkan kemiskinan dan lapangan pekerjaan. Strategi pusat pertumbuhan yang berbasis industrialisasi memang mampu menciptakan pertumbuhan, namun di sisi lain tidak membawa perubahan positif bagi sektor pertanian di pedesaan, muncul ketidakseimbangan antara wilayah pusat dengan wilayah pinggirannya. Wilayah pedesaan jadi mengalami kemunduran, karena dalam strategi pusat pertumbuhan kota mendominasi wilayah belakangnya berkaitan dengan konsentrasi modal yang besar untuk proses produksinya sehingga wilayah pedesaan mengalami kebocoran sumberdaya. Pada akhirnya, terbentuklah strategi dan model perencanaan populis dalam pengembangan wilayah yang diprakarsai oleh Friedmann dan Douglass pada tahun 1978. Strategi ini memiliki prinsip melakukan pengembangan wilayah dengan menempatkan pedesaan sebagai fondasi strategi dan motor penggerak pengembangan, sehingga sektor utama yang dikembangkan yaitu pertanian dan aktivitas-aktivitas pendukungnya. Dalam prosesnya, melibatkan masyarakat dan juga berfungsi untuk menghilangkan bias terhadap kota-kota besar, industri skala besar dan bentuk-bentuk organisasi terpusat. Dalam pengembangan wilayah berbasis pertanian ini, terdapat dasar yang dijadikan acuan dalam implementasi strategi. Integrasi teritorial merupakan dasar implementasi strategi tersebut. Sebuah wilayah terdiri dari wilayah perkotaan dan wilayah pedesaan, sehingga diperlukan integrasi dan pertimbangan keduanya sebagai komponen yang harus saling melengkapi. Peningkatan komponen ruang dan lokasional merupakan mekanisme dari integrasi territorial ini. Keterhubungan antar
ruang, keterhubungan antar wilayah menjadi pertimbangan utama dalam mengembangkan wilayah di mana harus memperhatikan lokasi, potensi, dan perkembangan sektor ekonomi di wilayah sekitarnya. Dalam integrasi teritorial, perencanaan pengembangan wilayah sebagai pemercepat penyebaran pengembangan dari pusat pertumbuhan ke wilayah-wilayah di sekitarnya maupun wilayah di belakangnya. (Mier dan Bingham, 1993, dalam Setyono, 2007). Dalam model integrasi territorial ini, terdapat tiga hal yang perlu dilakukan dalam perencanaan pengembangan wilayah, antara lain: memperbaiki interaksi antara pusat pertumbuhan dengan wilayah belakangnya; membangun sistem pusat pertumbuhan yang dapat menarik investasi dan memproduksi komoditi ekspor; dan mengembangakan proses desentralisasi yang baru dan diarahkan ke wilayah tertinggal yang kurang berkembang. Peran masyarakat sangat diperlukan untuk diberdayakan, karena merupakan prasyarat dalam kapasitas peningkatan produktivitas dan efisiensi ekonomi. Pembangunan yang dilakukan nantinya disesuaikan dengan karakteristik dan potensi masing-masing wilayah. Strategi pendekatan pengembangan wilayah yang berbasis pedesaan ini memiliki beberapa model implementasinya, di mana pedesaan sebagai fungsi dominannya dan kebutuhan masyarakat sebagi komponen utamanya. Model pengembangan wilayah dengan strategi populis dibagi menjadi tiga strategi, yaitu pembatasan ruang selektif, pengembangan pedesaan terpadu, dan pengembangan agropolitan. Pertama, strategi pembatasan ruang selektif (selective spatial closure) adalah merupakan upaya strategi pengembangan wilayah yang mengatasi permasalahan kebocoran sumberdaya wilayah pedesaan. Melalui strategi ini, kebocoran sumberdaya yang menyebabkan tidak berkembangnya wilayah pedesaan dapat dikendalikan. Strategi pembatasan ruang selektif didasari oleh 5 konsep menurut Stohr (1981), yaitu: 1. Merintangi perpindahan ke luar potensi sumber daya wilayah. 2. Kewenangan pengambilan keputusan dipertahankan di tingkat lokal. 3. Menutup hubungan dengan wilayah lain yang berpotensi mengeksploitasi potensi lokal. 4. Pemenuhan kebutuhan dasar secara mandiri. 5. Meningkatkan mobilisasi dan integrasi sumber daya untuk kepentingan pembangunan lokal. Selain itu, terdapat beberapa kebijakan pembangunan dalam strategi ini (Setyono,2007), antara lain dengan melakukan pengembangan teknologi yang tepat guna, meningkatkan akses pembangunan secara merata dengan peningkatan infrastruktur dan fasilitas-fasilitas, memprioritaskan kebutuhan dasar dan pelayanan dasar, pemberdayaan komunitas lokal dan penguatan struktur pemerintah lokal, penerimaan bantuan dari wilayah lain dengan tetap memberikan batas agar tidak terjadi ketergantungan, dan kebijakan kesamarataan menjadi kunci keberhasilan.
Jadi, strategi ini dapat dikatakan memberikan prioritas kepada integrasi territorial dan bisa memunculkan trickledown effect. Kedua, strategi pengembangan pedesaan terpadu dan terintegrasi. Strategi ini merupakan salah satu cara untuk percepatan pengembangan pedesaan (accelerated rural development). Model pengembangan wilayah ini menurut Friedmann (1981) dilatarbelakangi karena terdapat beberapa kondisi yang tidak mendukung kemajuan pedesaan secara merata dan menyeluruh, sehingga tercipta kesenjangan antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Beberapa konsep yang dapat diterapkan untuk percepatan pengembangan pedesaan, yaitu: 1. Pembangunan yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan dasar penduduk. 2. Pembangunan yang dilakukan dapat menyesuaikan dengan kondisi fisik lingkungan. 3. Pembangunan dapat memberikan manfaat-manfaat kepada masyarakat secara luas. Agar tercapainya konsep tersebut, menurut Setyono (2007) ada beberapa mekanisme kebijakan pembangunan yang dapat dilakukan, antara lain mendorong pelaksanaan proyek yang berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, melakukan diversifikasi pertanian untuk perluasan lapangan pekerjaan yang produktif, menciptakan usaha-usaha yang mandiri dalam mengelola sumber daya pedesaan melalui akumulasi kekuatan sosial yang ada, meningkatkan kualitas lingkungan, mengembangkan hubungan yang saling menguntungkan antara desa-kota dan menerapkan sistem desentralisasi dalam pembangunan wilayah pedesaan. Ketiga, model terakhir yang dapat dikembangkan dan saat ini sudah banyak digunakan di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia, yaitu pengembangan agropolitan. Pengembangan agropolitan dilakukan untuk menumbuhkembangkan pertumbuhan ekonomi berbasis pertanian, sehingga dapat meminimalisir kesenjangan desa-kota. Model strategi ini membangun pusat pelayanan bagi pengembangan pertanian dan wilayah pedesaan dapat mengembangkan wilayahnya sesuai dengan karakteristik sosial ekonomi penduduknya. Model pengembangan agropolitan tersebut pada dasarnya merupakan pembangunan berkelanjutan yang diberikan fasilitas infrastruktur setara perkotaan sehingga dapat melayani dan memacu perkembangan wilayah pedesaan. Beberapa fungsi kegiatan ekonomi dan pelayanan perkotaan yang melekat pada kawasan perkotaan diterapkan dan dikembangkang di kawasan pedesaan untuk pengembangan kegiatan pertaniannya. Untuk mencapai itu kemudian dibentuklah distrik-distrik agropolitan yang memiliki hirarki keruangan (terintegrasi satu sama lain) dan didalamnya meliputi fasilitas sosial, infrastruktur, perbaikan pertanian dan industri
ringan padat karya. Pembentukan distrik agropolitan yang nantinya menjadi pusat pelayanan perkotaan bagi pengembangan pertanian merupakan strategi pengembangan dari aspek keruangan. Aspek sektoral dalam pengembangan agropolitan yakni dengan menyeimbangkan dan melakukan sinkronisasi aktivitas pertanian dan non pertanian serta memperluas jaringan interaksi sosial masyarakat di pedesaan. Strategi pengembangan agropolitan memiliki dua versi, yang pertama versi asli yakni strategi ini secara spesifik didesain untuk wilayah yang memililki tingkat urbanisasi yang rendah, pola tinggi dan rendah kepadatan penduduk, pola permukiman dari kluster desa-kota, dan kondisi kemiskinan yang ekstrim, sehingga dikatakan secara khusus cocok di terapkan di Asia. Versi kedua yakni menurut Friedmann dan Weaver (1979), strategi ini cocok untuk Asia dan bagian Afrika. Strategi ini berubah dari korelasi spasial percepatan pengembangan pedesaan menjadi strategi kebutusan dasar dalam pengembangan wilayah. Kemungkinan aplikasi strategi dan model perencanaan populis di Indonesia. Model pengembangan yang telah banyak dikembangkan di Indonesia yaitu pengembangan agropolitan. Pengembangan kawasan agropolitan telah tercantum dalam undang-undang tentang penataan ruang. Direktorat Penataan Ruang dan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah telah menggunakan konsep pengembangan angropolitan untuk melakukan pengembangan wilayah.. Menurut Djakapermana (2003), konsep agropolitan yang dikembangkan adalah pembentukan sistem fungsional desa-desa dengan hirarki keruangan desa yaitu dengan adanya pusat agropolitan dan desa-desa di sekitarnya. Kawasan pertanian tumbuh dan berkembang karena adanya sistem agribisnis di pusat agropolitan yang kemudian diharapkan dapat melayani dan mendorong kegiatan pembangunan pertanian di wilayah sekitarnya. Jadi, pengembangan kawasan pedesaan diintegrasikan dengan konsep penataan ruang secara keseluruhan. Beberapa contoh wilayah di Indonesia yang dikembangkan dengan konsep pengembangan agropolitan antara lain, kawasan agropolitan Pacet, Cianjur; kawasan agropolitan di Gorontalo dengan spesialisasi jagung; kawasan agropolitan di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta dan Kabupaten Bangli, Bali dengan basis perkebunan; dan sebagainya. Sumber referensi: ---. Neo-populist Regional Development Strategies, http://kulon.undip.ac.id/mod/resource/view.php?id=2443, diakses 12 Mei 2013 Djakapermana, RD. 2003. Pengembangan Kawasan Agropolitan Dalam Rangka Pengembangan Wilayah Berbasis RTRWN. Jakarta.http://penataanruang.pu.go.id/taru/Makalah/Pengembangan %20Agropolitan%20Berbasis%20RTRWN.doc, diakses 20 Mei 2012
Setyono, Jawoto Sih. 2007. Pengantar Perencanaan Wilayah dan Kota. Semarang: Universitas Diponegoro