SINDROM OBSTRUKSI PASCA TUBERKULOSIS ( SOPT) A. Definisi Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT) adalah obstruksi jalan nafas yang muncul setelah tuberkulosis (TB) akibat mekanisme imunologi selama proses TB (Verma, et al., 2009). Pada sebagian penderita TB, secara klinik timbul gejala sesak terutama pada aktivitas, gambaran radiologi menunjukkan gambaran bekas TB (fibrotik, kalsifikasi) yang minimal, dan uji faal paru menunjukkan gambaran obstruksi jalan napas yang tidak reversibel. Kelompok penderita tersebut dimasukkan dalam kategori penyakit Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT) (PDPI, 2011). B. Patogenesis Patogenesis timbulnya SOPT sangat kompleks, dinyatakan pada penelitian terdahulu bahwa kemungkinan penyebabnya adalah akibat infeksi TB yang dipengaruhi oleh reaksi imun seseorang yang menurun sehingga terjadi mekanisme makrofag aktif yang menimbulkan peradangan nonspesifik yang luas. Peradangan yang berlangsung lama ini menyebabkan gangguan faal paru berupa adanya sputum, terjadinya perubahan pola pernapasan, relaksasi menurun, perubahan postur tubuh, berat badan menurun, dan gerak lapang paru menjadi tidak maksimal (Irawati, 2013). Apabila tubuh terinfeksi M. tuberculosis maka sistem imun host akan bekerja melawan infeksi tersebut. Akibatnya M. tuberculosis akan melepasan komponen toksik ke dalam jaringan yang akan menginduksi hipersensitivitas seluler sehingga akan meningkatkan respons terhadap antigen bakteri yang menimbulkan kerusakan jaringan, nekrosis, dan penyebaran bakteri lebih lanjut (Menezes, 2007). Perjalanan dan interaksi imunologi dimulai ketika makrofag bertemu dengan M. tuberculosis. Dalam keadaan normal, infeksi TB merangsang limfosit T untuk mengaktifkan makrofag sehingga dapat lebih efektif membunuh bakteri. Makrofag aktif
melepaskan IL-1 yang merangsang limfosit T. Limfosit T melepaskan IL-2
yang selanjutnya merangsang limfosit T lain untuk bereplikasi, matang, dan memberi respons lebih baik terhadap antigen. Limfosit T supresi (TS) mengatur keseimbangan imunitas melalui peranan yang kompleks dan sirkuit imunologik. Bila TS berlebihan seperti pada TB progresif, maka keseimbangan imunitas terganggu sehingga timbul anergi dan prognosis jelek. Pada makrofag aktif, metabolisme oksidatif meningkat
dan melepaskan zat bakterisidal seperti anion superoksida, hidrogen peroksida, dan radikal hidroksil yang menimbulkan kerusakan pada membran sel dan dinding sel M. tuberculosis. Beberapa
hasil infeksi M. tuberculosis dapat bertahan dan tetap
mengaktifkan makrofag sehingga tetap terjadi proses infeksi yang dapat mendestruksi matriks alveoli. Diduga proses proteolisis dan oksidasi sebagai penyebab destruksi matriks di mana proteolisis mendestruksi protein yang membentuk matriks dinding alveoli oleh protease, sedangkan oksidasi berarti pelepasan elektron dari suatu molekul.Kehilangan elektron pada suatu struktur mengakibatkan fungsi molekul akan berubah (Aida, 2006; Inam, 2010). Sasaran oksidasi adalah protein jaringan ikat, sel epitel, sel endotel, dan anti protease. Sel neutrofil melepas beberapa protease, yaitu:1) Elastase, yang paling kuat memecah elastin dan protein jaringan ikat lain sehingga sanggup menghancurkan dinding alveoli; 2) Catepsin G, menyerupai elastase, tetapi potensinya lebih rendah dan dilepas bersama elastase; 3) Kolagenase, cukup kuat tetapi hanya bisa memecah kolagen tipe I, bila sendiri tidak dapat menimbulkan emfisema; 4) Plasminogen aktivator, urokinase dan tissue plasmin activator
yang merubah plasminogen
menjadi plasmin. Plasmin selain merusak fibrin juga mengaktifkan proenzim elastase dan bekerja sama dengan elastase (Aida, 2006). Oksidan merusak alveoli melalui beberapa cara langsung, seperti peningkatan beban oksidan ekstraseluler yang tinggi dengan merusak sel terutama pneumosit I, modifikasi jaringan ikat sehingga lebih peka terhadap proteolisis, berinteraksi dengan 1-antitripsin sehingga daya antiproteasenya menurun (Aida, 2006). Tuberkulosis paru merupakan infeksi menahun sehingga sistem imun diaktifkan untuk jangka lama, akibatnya beban proteolisis dan beban oksidasi sangat meningkat untuk waktu lama sehingga destruksi matriks alveoli cukup luas menuju kerusakan paru menahun (kronik) dan gangguan faal paru yang akhirnya dapat dideteksi dengan spirometri (Inam, 2010).
C. Terapi Pada sebagian bekas penderita TB, masih mengeluhkan batuk bahkan timbul sesak bertahun-tahun kemudian (SOPT). Gejala ini terjadi karena adanya kerusakan paru yang permanen, gangguan menetep restriktif dan sebagian obstruktif pada spirometri. Biasanya penderita SOPT ini ireversibel pada pemberian obat bronkodilator dan
bahkan dengan kortikosteroid (Mangunegoro, 2003). Namun, SOPT termasuk dalam penyakit obstruksi paru yang gejalanya mirip dengan PPOK, maka pemberian terapi mirip dengan PPOK. Terapi SOPT diberikan sesuai kausa. Pilihan terapi untuk SOPT, adalah: 1. Bronkodilator: a. golongan antikolinergik : ipratropium bromida (0,5mg) b. golongan agonis β-2 : salbutamol (2,5mg) c. kombinasi : ipratropium bromida (0,5mg) dengan salbutamol (2,5mg) nebulasi d. golongan xantin : aminofilin (200mg) (Kemenkes RI, 2013) 2. Antiinflamasi : prednison atau metilprednisolon 3. Anti-oksidan : N-acetyl cystein 4. Antibiotika (hanya diberikan jika terdapat infeksi) : golongan β-lactam dan makrolid 5. Terapi oksigen 6. Rehabilitasi medik (PDPI, 2011)
Daftar Pustaka Aida N (2006). Patogenesis Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis. Jakarta: Bagian Pulmonogi FKUI. Inam, Muhammad B, Waseem, Saced, Kanwal, Fatima K (2010). Post Tuberculous Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Journal of the College of Physicians and Surgeons Pakistan., Vol 20(8): 542. Irawati A (2013). Naskah Publikasi Kejadian Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis di RSU Dr. Soedarso Pontianak. (Thesis). Pontianak: Fakultas kedokteran Universitas Tanjung Pura. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2013). Keputusan Menteri Kesehatan RI No.328/Menkes/SK/VIII/2013 tentang Formularium Nasional. Indonesia: Kemenkes RI. Mangunegoro H (2003). Tata Laksana TB Paru. Jakarta: Bagian Pulmonologi FKUI.
Mezesnes AMB, et al (2007). Tuberculosis and Airflow Obstruction: Evidence From the PLATINO Study in Latin America. European Respiratory Journal., Vol 30(6): 1180. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2011). PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik): Pedoman Praktis Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia. Jakarta: PDPI. Verma SK, Kumar S, Kiran VN, R. Sodhi (2009). Post Tubercular Obstructive Airway Impairment. Indian J Allergy Asthma Immunol., Vol. 23(2) : 95-99.