20 oktober 2016 Florianus situ
Sleep paralysis terjadi ketika seseorang berada pada tidur paling dalam saat seluruh otot relaksasi. Akan tetapi, perubahan tahapan tidur secara
mendadak akibat
tidurmenyebabkan
seseorang
gangguan tersadar. tersadar.
siklus The
American Sleep Disorder Association (1990) mendefinisikan bahwa sleep paralysis adalah ketidakmampuan tubuh mengendalikan otot volunteer selama sleep onset ( gypnagogic gypnagogic ) atau selama terbangun di antara waktu malam danpagi danpagi (hypnopompic).
The Nightmare , karya Henry Fuseli (1781) adalah salah satu penggambaran klasik yang berkaitan dengan kepercayaan kelumpuhan tidur akibat "ditindih" setan.
Sleep paralysis didukung dengan halusinasi, perasaan tercekik, dan sulit menggerakkan lidah. Dalam keadaan ini, seseorang dapat membuka mata, menggerakan bola mata, dan melihat sekeliling. Keadaan sleep paralysis dapat terjadi selama beberapa menit sampai dua puluh menit (Gillian, 2008). Penelitian yang dilakukan di Universitas Canada menyebutkan bahwa sebanyak 30% responden pernah mengalami setidaknya satu kali kejadian sleep paralysis. Tiga perempat responden mengalami setidaknya satu kali halusinasi dan 10% nya mengatakan mengalami lebih dari dua kali halusinasi (Cheyne, et al., 1999). Hasil ini didukung pula oleh penelitian yang dilakukan di berbagai belahan dunia. Sebanyak 25-40% responden mengalami sleep paralysis disertai halusinasi (Fukuda, Miyasitha, Inugami, & Ishihara, 1987; Spanos, McNulty, DuBreul, Pires, & Bugess, 1995). Data lain yang menyebutkan bahwa sleep paralysis menyebabkan fungsi tubuh menjadi lumpuh sejenak. Hal ini terkait dengan periode waktu tidur REM atau permulaan REM dimana saat bangun tidur kegiatan kita direkam oleh electroencephalogram (Takeuchi et al, 2001). Sleep paralysis merupakan perasaan sadar namun tidak dapat bergerak. Ini terjadi ketika seseorang melewati tahap REM dan secara tiba-tiba masuk ke tahap NREM 1. Sleep paralysis bersifat sementara, biasanya terjadi satu hingga beberapa menit (Ohaeri et al, 2004, dalam Culebras,
Pizza, & Provini, 2011). Sleep paralysis akan menghilang secara spontan atau dengan stimulus eksternal. Biasanya dengan sentuhan atau dibangunkan oleh orang lain.
Cheyne (2002) menyebutkan bahwa terdapat dua sistem otak yang berkontribusi dalam terjadinya sleep paralysis. Sistem otak yang paling mempengaruhi adalah struktur innerbrain/bagian dalam otak yang mengatur ancaman dan tanggapan terhadap bahaya hal ini dapat memicu seseorang dapat melihat sosok yang mengintai dalam kegelapan di dekatnya. Area-area saraf lainnya yang berkontribusi terhadap penggambaran mimpi REM, tergambar pada pengetahuan pribadi dan budaya seseorang terhadap kehadiran sosok jahat yang muncul. Misalnya kepercayaan salah satu budaya di Indonesia yang menyebut sleep paralysis sebagai “ketiban sosok gaib”. Selain itu, budaya lain menyebutkan bahwa sleep paralysis diakibatkan oleh kurangnya kegiatan spiritual sebelum tidur seperti lupa berdoa dan shalat (Cheyne, 2002). Sistem otak yang kedua, meliputi bagian sensorik dan motorik dari lapisan luar otak, yang membedakan tubuh seseorang dengan orang lain serta makhluk lainnya. Ketika aktivitas REM memicu sistem ini, seseorang akan mengalami sensasi mengambang, terbang, jatuh, dan jenis-jenis gerakan lainnya.
Sleep paralisis, banyak terjadi pada seseorang yang memiliki tekanan atau yang mengalami stres. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kejadian sleep paralysis banyak terjadi pada seseorang yang mengalami gangguan mental. Simard dan Nielson (2005) mengatakan bahwa kejadian sleep paralysis dan kecemasan adalah gejala dari trauma yang pernah dialami pada masa lalu. Hal ini didukung oleh jurnal yang ditulis oleh Murphy (2006), jurnal tersebut menyebutkan bahwa seorang anak yang pernah mengalami tindak kekerasan cenderung pernah mengalami sleep paralysis. Gangguan tidur ini terjadi pada masa remaja pertengahan, yaitu sekitar umur 14-17 tahun. Pada dewasa, persentase kejadian pada laki-laki dan wanita seimbang. Sleep paralysis biasanya terjadi satu atau dua kali saat tidur. Peristiwa ini dapat terjadi saat terjatuh dari tidur atau saat bangun tidur. Hampir bisa dipastikan sleep paralysis terjadi bila individu tidur dalam posisi supine (Cheyne, 2002). Sleep paralysis yang terjadi saat awal tidur disebut sleep paralysis hypnagogic atau predormital.
Sleep paralysis yang terjadi saat seseorang bangun dari tidurnya disebut sleep paralysis hypnopompic atau postdormital (Sharpless & Barber, 2011). Pada jenis ini, tubuh akan perlahanlahan menjadi rileks. Biasanya seseorang akan kurang sadar, sehingga tidak dapat merespon terhadap perubahan. Akan tetapi, apabila orang tersebut menjadi sadar misal saat terjatuh, maka orang itu tidak akan mampu untuk bergerak atau berbicara. Pada jenis hypnopompic, tubuh seseorang akan mengalami beberapa tahap tidur antara REM (Rapid Eye Movement) dan NREM (non-rapid eye movement). Satu siklus tidur REM and NREM terjadi selama 90 menit. Tidur NREM terjadi lebih dulu dan menghabiskan hingga 75% dari keseluruhan waktu tidur. Selama tidur NREM, tubuh akan rileks dan menjadi pulih dengan sendirinya. Pada akhir dari tidur tahap NREM, akan terjadi pergantian yaitu menjadi tidur tahap REM. Pada tahap REM mata akan bergerak secara cepat. Pada tahap ini seseorang mengalami mimpi. Inilah yang terkadang menjadi halusinasi munculnya sosok lain. Tetapi, sebagian dari tubuh akan sangat rileks. Otot-otot akan berhenti bekerja/turned off selama tidur tahap REM. Jika orang tersebut menjadi sadar sebelum siklus tidur REM selesai, orang tersebut akan mendapati dirinya yang tidak mampu bergerak dan berbicara (Anonim, 2011). Menurut Culebras (2011), Sleep paralysis dapat terjadi dikaitkan dengan beberapa hal, seperti: 1. Kurang tidur misalnya pada status siswa/mahasiswa yang belajar hingga larut malam. Jadwal tidur yang berubah-ubah, misal jet-lag. 2. Kondisi mental, seperti stres, dan seseorang yang mengalami schizophrenia dengan gangguan berat pada sleep nocturnal . 3. Sleeping on the back , Tidur dengan posisi terlentang dapat menyebabkan tingginya angka kejadian sleep paralysis. Beberapa jurnal menyebutkan bahwa posisi tidur menjadi salah satu alasan sleep paralysis terjadi. 4. Masalah tidur lainnya, Kejadian tidur seperti narkolepsi dan kram pada kaki di malam hari dapat mengganggu tidur tahap REM dan berkontribusi terhadap timbulnya sleep paralysisPenggunaan beberapa obat, Obat-obatan yang menyebabkan sleep paralysis adalah obat-obatan yang dapat mengganggu pola tidur seseorang seperti diuretic. 5. Penyalahgunaan zat kimia, Seseorang yang minum alkohol dapat mudah terserang sleep paralysis (Culebras, 2011)
Sleep paralysis terjadi saat tahap tidur REM. Hal ini menyebabkan seseorang memiliki kesadaran penuh namun tidak dapat bergerak. Sleep paralysis dapat berlangsung beberapa detik sampai menit. Pada saat tahap REM, otak mengirimkan sinyal-sinyal untuk menghambat kontraksi otot. Fungsi dari sinyal ini adalah untuk mencegah seseorang dari bergerak seperti apa yang dilihat dalam mimpi. Pada saat masuk kedalam tidur tahap REM, seseorang mengalami kelumpuhan alamiah yang disebut sebagai flaksid noresripokal. Flaksid nonresiprokal terjadi karena terdapat hambatan pada postsynaptic dari neuron penggerak. Peneliti tidak menemukan referensi yang menjelaskan mengenai proses inhibisi motorik. Namun, peneliti mendapatkan referensi bahwa pada tahap REM, tubuh memproduksi neurotransmiter dan hormon. Setiap tahap tidur meresepons tubuh untuk melakukan keseimbangan. Salah satunya dengan memproduksi hormon yaitu hormon melatonin. Tingkat sekresi melatonin oleh kelenjar pineal mencapai titik terendah selama tahap REM. Neurotransmiter dan hormon melantonin akan mengaktifkan atau menghambat aktivitas second messengger, mengaktifkan atau menghambat third messangger, dan seterusnya sampai messangger selanjutnya. Hal ini dapat menghambat transmisi synaptic dan menyebabkan hiperpolarisasi dari motorneurons. Seseorang dapat mengalami sleep paralysis saat ia akan tersadar langsung atau terbangun pada tahap REM. Sleep paralysis juga dapat menyebabkan seseorang mengalami halusinasi auditori atau visual. Pada saat terjadi sleep paralysis, orang tersebut seperti melihat atau mendengar sosok yang menakutkan. Kegelisahan merupakan peristiwa neurokognitif yang terkait erat dengan psikologis dan proses fisik. Kecemasan atau kepanikan yang ekstrim dapat menyebabkan pelepasan beberapa molekul sinyal yang berbeda yang memicu segala macam kejadian fisik. Seseorang mengalami sleep paralysis merasa takut atau panik ekstrim, dan karena itu, otak menghasilkan dan melepaskan rangsangan visual atau auditori internal sehingga menghasilkan halusinasi. Halusinasi selama sleep paralysis diakibatkan karena sistem saraf dan endokrin terus melepaskan inhibitor saraf yang menopang kelumpuhan (flaksid nonresiprokal). Sistem ini terus melepaskan aktivator saraf yang merangsang seseorang untuk bermimpi. Saat sleep paralysis terjadi, seseorang akan terbangun secara tiba-tiba biasanya disertai dengan perasaan tertekan pada area dada.
American Sleep Association (ASA) pada tahun 2005 mengembangkan teori mengenai jenis-jenis sleep paralysis. Dalam mengembangkan teori ini, peneliti menggunakan Waterloo
Unusual Sensory Experiences Survey. ASA (2007) mengklasifikasikan sleep paralisis menjadi tiga, yaitu: 1. Intruder Jenis intruder biasanya diikuti dengan perasaan takut dan cemas, adanya kehadiran roh halus, halusinasi auditori dan halusinasi visual. Menurut Cheyne et al. (1999), intruder dimulai dengan aktifasi amygdalar. Para peneliti tersebut berargumen bahwa halusinasi terjadi di tahap REM. 2. Incubus Jenis ini biasanya disertai dengan keadaan sesak napas, perasaan ditekan di dada, dan rasa nyeri fisik. 3. Unusual Bodily Experiences Jenis ini terjadi saat seseorang mengalami perasaan arwah tertarik keluar dari tubuh.
Hasil penelitian yang dilakukan di Universitas Ottawa Canada oleh Spanos (1995) menyatakan bahwa dari 1798 siswa (wanita 976 dan jumlah pria 822) 21% diantaranya dilaporkan pernah mengalami sleep paralysis. Penelitian ini menemukan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian sleep paralysis. Spanos (1995) menyebutkan bahwa, 98,4% responden mengalami sleep paralysis karena pernah mengalami setidaknya satu kali physiological symptom (halusinasi). Sebanyak 33% dari sampel dilaporkan setidaknya pernah mengalami satu kali kejadian sleep paralysis, 46% mengalami lima kali kejadian. Dari hasil penelitian dilaporkan rentang usia responden yang mengalami kejadian sleep paralysis yaitu dari usia 3-36 tahun. Penelitian episode sleep parayisis di Universitas Ottawa Canada menyebutkan sebanyak 62% (n=239) mengalami sleep paralysis sebelum mereka tertidur, 36% (n=138) mengalami Sleep paralysis saat terbangun dari tidur, dan sebanyak 2,6% gagal menjawab pertanyaan tersebut. Sleep paralysis dilaporkan terjadi selama 10-70 detik dengan durasi median tiga menit. Sebanyak 70% responden mengatakan mereka tidur dengan posisi supine. Penelitian ini menyebutkan bahwa perasaan takut dan cemas (66,7%) dan perasaan kehadiran makhluk halus yang tidak terlihat (63%) merupakan pengalaman yang dialami saat terjadi sleep paralysis. Pada penelitian yang telah dilakukan di beberapa jurnal ditemukan bahwa faktor stress merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kejadian sleep paralysis. Berbagai stresor (baik internal maupun eksternal) yang dihadapi oleh mahasiswa dapat memicu timbulnya stres. Kejadian sleep paralysis terjadi pada orang-orang yang mengalami kelelahan, beban pikiran, dan
bekerja yang berlebihan (Bell et al., 1984; Ness, 1978; Ohaeri et al., 1989). Dalam penelitian yang dilakukan Bell et al, mahasiswa kulit hitam dilaporkan lebih banyak mengalami sleep paralysis dibandingkan dengan mahasiswa berkulit putih. Dari hasil penelitian yang dilakukan, kulit hitam lebih banyak mendapatkan tekanan karena tingkat stres mahasiswa kulit hitam lebih tinggi dari kulit putih (Bell et al., 1984; Ness, 1978; Ohaeri et al., 1989).
Saat kelumpuhan tidur terjadi, seseorang sering mengalami halusinasi, seperti melihat sosok atau bayangan hitam di sekitar tempat tidur. Oleh sebab itu, fenomena ini sering dikaitkan dengan hal-hal mistis.
Di Finlandia dan Swedia, kelumpuhan tidur diyakini disebabkan oleh mare, makhluk supernatural yang berkaitan dengan incubi dan succubi. Menurut kepercayaan setempat, mare adalah seorang wanita yang dikutuk dan tubuhnya dibawa secara misterius saat ia tidur dan tanpa ia sadari. Ia kemudian mengunjungi penduduk desa dan menduduki tulang iga mereka saat mereka tertidur, yang menyebabkan mereka mengalami mimpi buruk.
Dalam
cerita
rakyat Newfoundland, South
Carolina dan Georgia, digambarkan
bahwa kelumpuhan tidur disebabkan oleh makhluk jahat hag, yang meninggalkan tubuh fisiknya pada malam hari, dan duduk di dada korbannya. Korban biasanya bangun dengan perasaan teror, sulit bernapas karena dadanya ditindih oleh hag.
Di Fiji, fenomena ini disebut dengan kana tevoro , "dimakan" oleh setan. Setan ini dipercaya sebagai kerabat seseorang yang baru meninggal dunia dan datang kembali untuk menyelesaikan beberapa urusannya yang belum selesai.
Di Turki, kelumpuhan tidur disebut dengan karabasan , versi lain dari cerita mengenai kunjungan setan saat tidur.
Di Thailand, diyakini bahwa kelumpuhan tidur disebabkan oleh hantu dari cerita rakyat Thailand yang dikenal dengan nama Phi Am (bahasa Thai: ผอ ).
Di Indonesia dan Malaysia,
kelumpuhan
tidur
dikenal
dengan kena
tindih atau ketindihan (setan).
Di budaya Meksiko, disebut se me subio el muerto dan dipercaya sebagai kejadian adanya arwah orang meninggal yang menempel pada seseorang.
Di budaya Jepang, disebut kanashibari, yang secara literatur diartikan mengikat sehingga diartikan seseorang diikat oleh makhluk halus.
Larasaty, R. (2012), Hubungan tingkat stress dengan kejadian sleep paralysis pada mahasiswa FIK Angkatan 2008, Fakultas Kepeerawatan Universitas Indonesia, www.lib.ui.ac.id, diunduh pada tanggal 20 oktober 2016.
Kelumpuhan tidur, https://id.wikipedia.org, diunduh pada tanggal 20 oktober 2016