SEJARAH DAN PRAKTIK ASURANSI ISLAM DI BERBAGAI NEGARA
MAKALAH DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS AKHIR MATA KULIAH MANAJEMEN ASURANSI ISLAM
Oleh : LYDIA PRADIKA WATI
041411431073
SAMIARI AMBARWATI
041411431090
DHEVY ULINUHA SHOLICHA
041411431000
ARINDA DEWI NUR AINI
041411431088
Program Studi Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga Surabaya 2017
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Asuransi telah berada selama berabad-abad. Beberapa sejarawan melacak asal asuransi yaitu ketika pemerintah Romawi diminta oleh perlengkapan militer untuk menerima resiko yang timbul dari serangan musuh, badai, dan bencana alam lainnya untuk persediaan yang dilakukan pada kapal mereka. Dengan kata lain, ada kebutuhan untuk manusia yaitu mempersiapkan kerugian. Dan asuransi modern dapat ditelusuri awal tahun 1600-an, ketika pedagang Inggris dan pemilik kapal mulai memenuhi kedai kopi dekat Lombard Street di London. Kedai kopi ini disebut Llyod, di sana mereka membuat kesepakatan untk berbagi bersama pada keuntungan dan kerugian laut pelayaran. Dalam sudut pandang orang muslim, umat Islam harus melakukan apa yang Islam telah meminta dan menghindari apa yang dilarang Islam. Dalam kehidupan sehari-hari, muslim harus berurusan dengan bisnis sesuai dengan Syariah. Begitupun dengan asuransi, muslim harus bergabung dan mengasuransikan diri dengan cara Islam. Seiring berkembangnya waktu, para pemerhati ekonomi islam akhirnya sampai kepada sebuah konsep yang dapat di sepakati bersama serta menjadi acuan dunia. Konsep tersebut populer dengan nama asuransi mutual, kerjasama (ta’awuni), atau at takmin ta’awuni, atau
yang sekurang lebih di kenal dengan asuransi syariah (takaful). Konsep ini merupakan rekomendasi fatwa Muktamar Ekonomi Islam yang bersidang pertama kali tahun 1976 M di Makkah. Pesertanya hampir 200 ulama. Kemudian di kuatkan lagi pada Majma’ al-fiqh al-islami al ‘alami (kesatuan ulama fiqh dunia) yang bersidang pada 28 Desember 1985 di Jeddah, yang juga mengharamkan asuransi jenis perniagaan. Majma’
fiqh secara ijma’ mengharuskan asuransi jenis ini sebagai alternatif asuransi islam menggantikan jenis asuransi konvensional. Bisnis takaful telah membuktikan kemampuan bertahan hidup dalam periode dua decade. Perusahaan takaful pertama didirikan pada 1979 yaitu Islamic Takaful of Sudan. Malaysia memulai bisnis takaful pada 1984. Sistem ini mengalami momentum di Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah lain. Perusahaan takaful tersebut tumbuh dengan tingkat
pertumbuhan 10-20%, dibandingkan pertumbuhan rata-rata global industri asuransi yang hanya 5% per tahun. Sebagian besar perusahaan Takaful berada di Timur Tengah, dan beberapa di negara non-Islami. 1.2.Rumusan Masalah 1. Bagaimana sejarah dan praktik Asuransi islam di Benua Asia (Indonesia dan Malaysia)? 2. Bagaimana sejarah dan praktik Asuransi islam di Benua Eropa (Turki)? 3. Bagaimana sejarah dan praktik Asuransi islam di Timur tengah (Iran)? 4. Bagaimana sejarah dan praktik Asuransi islam di Benua Amerika? 1.3. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui sejarah dan praktik asuransi islam di Benua Asia (Indonesia dan Malaysia) 2. Untuk mengetahui sejarah dan praktik Asuransi islam di Benua Eropa (Turki) 3. Untuk mengetahui sejarah dan praktik Asuransi islam di Timur tengah (Iran) 4. Untuk mengetahui sejarah dan praktik Asuransi islam di Benua Amerika.
BAB II PEMBAHASAN
2.1.
Sejarah Asuransi Syariah di Dunia.
Sejarah terbentuknya asuransi syariah di dunia dimulai pada tahun 1979 ketika sebuah perusahaan asuransi jiwa di Sudan, yaitu Sudanese Islamic Insurance pertama kali memperkenalkan asuransi syariah. Kemudian pada tahun yang sama sebuah perusahaan asuransi jiwa di Uni Emirat Arab juga memperkenalkan asuransi syariah di wilayah Arab. Setelah itu pada tahun 1981 sebuah perusahaan asuransi jiwa di negara Swiss, bernama Dar Al-Maal Al-Islami memperkenalkan asuransi syariah di kota Jenewa, Swiss. Diiringi oleh
penerbitan asruansi syariah kedua di Eropa yang diperkenalkan oleh Islamic Takafol Company (ITC) di Luksemburg pada tahun 1983. Bersamaan dengan itu, sebuah perusahaan
asuransi syariah bernama Islamic takafol dan Re-Rakafol Company juga mendirikan di Kepulauan Bahamas pada tahun 1983. Demikian juga halnya dengan Bahrain, sebuah perusahaan asuransi jiwa bebasis syariah, yaitu Syarikat Al-Takafol Al-Islamiah Bahrain didirikan tahun 1983. Terdapat lebih dari 60 perusahaan yang menawarkan jasa Takaful (including windows5%) di 24 negara di seluruh dunia. Negara-negara tersebut adalah Bahrain, Bangladesh, Brunei, Mesir, Ghana, Indonesia Iran, Yordania, Kuwait, Luksemberg, Malaysia, Pakistan, Qatar, Arab Saudi, Senegal, Singapura, Sri Lanka, Sudan, Trinidad & Tobago, Tunisia, Turki, Uni Emirat Arab, dan Yaman. Produk takaful tersedia untuk memenuhi kebutuhan semua sektor perekonomian, baik pada tingkatan individu maupun tingkatan korporat, untuk memenuhi kebutuhan finansial jangka pendek dan jangka panjang dari beragam kelompok masyarakat. Bisnis Re-takaful (Reasuransi Islami) juga dikembangkan di Malaysia, Bahrain, Arab Saudi dan UEA. 2.2.
Sejarah dan Praktik Asuransi Syariah Benua Asia
2.2.1. Malaysia Asuransi syariah pertama kali diperkenalkan oleh Malaysia pada tahun 1985 melalui sebuah perusahaan asuransi jiwa bernama takaful Malaysia. Perkembangan industri takaful di Malaysia pada awal 1980-an terinspirasi oleh kebutuhan muslim di Malaysia
untuk alternatif syariah dengan asuransi konvensional karena beberapa larangan dalam islam mengenai asuransi konvensional. Komite Nasional Malaysia mengeluarkan fatwa bahwa asuransi konvensional adalah haram karena adanya unsur gharar (ketidakpastian), riba (bunga), dan maisir(judi). Pada tahun 1982 pemerintah mendirikan tuga s khusus untuk mempelajari kelayakan mendirikan perusahaan asuransi syariah. Dalam lebih dari 20 tahun indutri takaful di Malaysia telah mengalami pertumbuhan pesat dan transformasi. Keberhasilan industri takaful di Malaysia dapat dicapai dengan dukungan dari pemerintah Malaysia dengan menerbitkan pedoman untuk operator takaful internasional pada akhir tahun 2006. Perkembangan industri takaful di Malaysia dapat dilihat dari beberapa tahapan. Pada awal 1980an, yang merupakan kelahiran perusahaan takaful di Malaysia difokuskan pada pembentukan infrastruktur dasar untuk industri. Dan di awal 1990an muncul beberapa perusahaan tafakul di Malaysia yang dapat di tandai sebagai pengenalan kompetisi dan kerjasama antara operator takaful lainnya. Selanjutnya, pada awal tahun 2000 dimulai dengan pengenalan master plan sektor keuangan (FSMP) pada tahun 2001 yang digunakan untuk meningkatkan kepasitas operator tafakul dan memperkuat keranga hukum syariah. Malaysia telah berada di garis depan pembangunan takaful dengan Bank Negara yang memimpin dengan pengenalan peraturan takaful terpisah yang memungkinkan bisnis takaful berkembang di Malaysia. Di ASEAN, Syarikat Takaful Malaysia Berhad yang berdiri tanggal 29 November 1984 merupakan pelopor asuransi Islam sekaligus merupakan asuransi dengan prinsip-prinsip Islam terbesar di ASEAN saat ini. Malaysia merupakan negara pertama yang mempraktekkan asuransi berdasarkan prinsip syariah, yang selanjutnya menjadi inspirasi berdirinya asuransi Islam di Brunei, Singapura, dan Indonesia. 2.2.2. Indonesia Di Indonesia, perusahaan asuransi yang mempelopori bisnis asuransi syariah adalah PT Asuransi Takaful Keluarga (Asuransi jiwa) dan Asuransi Takaful Umum yang didirikan pada tahun 1993. Kebangkitan sektor keuangan syariah yang kedua setelah perbankan, dialami oleh asuransi. Itu terjadi pada tahun 1994, ketika untuk pertama kalinya didirikan perusahaan asuransi berlandaskan syariah di Indonesia yaitu PT Syarikat Takaful Indonesia (STI) dengan modal dasar Rp 25 miliar dan modal disetor Rp 9 miliar. PT STI
sendiri memiliki dua anak perusahaan, yaitu PT Asuransi Takaful Keluarga (ATK) dan PT Asuransi Takaful Umum (ATU). Pada tiga tahun pertama beroperasi, yaitu 1994, 1995 dan 1996, PT ATK mengalami kerugian kumulatif sebesar Rp 1,383 miliar. Namun mulai tahun 1997, PT ATK mulai berhasil membukukan laba yaitu sebesar Rp 135 juta. Laba itu terus tumbuh pada tahun 1998 menjadi Rp 312 juta, namun menurun kembali pada 1999 menjadi Rp 221 juta. Kondisi ini sebetulnya relatif baik, mengingat pada tahun-tahun itu ekonomi Indonesia tengah dilanda krisis. Dibandingkan di sejumlah negara bahkan negara yang mayoritas penduduknya adalah nonmuslim- keberadaan asuransi Takaful di Indonesia terbilang terlambat. Di Luxemburg, Geneva dan Bahamas misalnya, asuransi Takaful sudah ada sejak tahun 1983. Sementara di negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim, keberadaannya sudah jauh lebih lama seperti di Sudan (1979), Saudi Arabia (1979), Bahrain (1983), Malaysia (1984) dan Brunei Darussalam (1992). Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan asuransi di Indonesia sudah berjalan dengan sangat pesat dan bahkan sudah memasyarakat di Indonesia. Diperkirakan juga banyak umat Islam terlibat di dalamnya. Di kalangan umat Islam, ada anggapan bahwa asuransi non syariah yang banyak berkembang tidak Islami. Orang yang melakukan asuransi sama halnya dengan orang yang mengingkari rahmat Allah. Oleh karena itu, permasalahan tersebut perlu juga ditinjau dari sudut pandang agama Islam. Allahlah yang menentukan segala-galanya dan memberikan rezeki kepada makhlukNya, sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi
melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (Q.S Hud : 6). “ …dan siapa (pula) yang memberikan rezekinya kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain)? … ” (Q.S. An - Naml : 64). “Dan kami telah menjadikan untukmu di
bumi keperluan-keperluan hidup, dan (kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya”(Q.S. Al-Hijr : 20). Dari ketiga ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah sebenarnya telah menyiapkan segala-galanya untuk keperluan semua makhluk-Nya, termasuk manusia sebagai khalifah di muka bumi. Allah telah menyiapkan bahan mentah, bukan bahan matang. Manusia masih perlu mengolahnya, mencarinya dan mengikhtiarkiannya. Melibatkan diri ke dalam asuransi, adalah merupakan salah satu ikhtiar untuk menghadapi masa depan dan masa tua. Namun
karena masalah asuransi ini tidak dijelaskan tegas dalam nash, maka masalahnya dipandang sebagai masalah ijtihad, yaitu masalah yang mungkin masih diperdebatkan dan tentunya perbedaan pendapat sukar dihindari. Ada beberapa pandangan atau pendapat mengenai asuransi ditinjau dari fiqh Islam. Yang paling mengemuka perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu: 1. Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya (termasuk asuransi jiwa). Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah Al-Qalqii (Mufti Yordania), Yusuf Qadhawi dan Muhammad Bakhil Al-Muth’I (Mutfti Mesir). Alasan-alasan yang mereka kemukakan adalah: a. Asuransi sama dengan judi. b. Asuransi mengandung unsur-unsur tidak pasti. c. Asuransi mengandung unsur riba/renten. d. Asuransi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya akan hilang premi yang sudah dibayar atau dikurangi. e. Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba. f. Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai. g. Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah. 2. Asuransi non syariah diperbolehkan Pendapat kedua ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syari’ah Universitas Syria), Muhammad Yusuf Musa
(Guru Besar Hukum Islam pada Universitas Cairo Mesir), dan Abd. Rakhman Isa (pemegang Kitab Al-Muamallha A-Hadistah Wa Ahkamuha). Mereka beralasan: a. Tidak ada nash (Al-Quran dan Sunnah) yang melarang adanya asuransi. b. Ada kesepakatan dan kerelaan dari kedua belah pihak c. Saling menguntungkan kedua belah pihak d. Asuransi dapat menaggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan e. Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil)
f. Asuransi termasuk koper asi (Syirkah Ta’awuniyah) g. Asuransi dianalogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun seperti Taspen 3. Asuransi yang bersifat sosial diperbolehkan dan yang bersifat komersial diharamkan Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah (Guru Besar Hukum Islam pada Universitas Kairo). Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama pula halnya dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh). Alasan golongan yang mengatakan asuransi syuhbat adalah karena tidak ada dalil yang tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu. Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa masalah asuransi yang berkembang dalam masyarakat ada saat ini, masih ada yang mempertanyakan dan mengundang keragu-raguan, sehingga sukar untuk menentukan, yang mana yang paling dekat kepada ketentuan hukum yang benar. Sekiranya ada jalan lain yang dapat ditempuh, tentu jalan itulah yang pantas dilalui. Jalan alternatif baru yang ditawarkan, adalah asuransi menurut ketentuan agama Islam atau yang dikenal dengan asuransi syariah. Dalam keadaan begini, sebaiknya berpegang kepada sabda Nabi Muhammad SAW: “Tinggalkan hal -hal
yang meragukan kamu (berpeganglah) kepada hal-hal yang tidak meragukan kamu.” Sebagian para ahli syariah menyamakan sistem asuransi syariah dengan sistem makalahnya mendefinisikan takaful dengan at taknim, at taawun atau at takaful (asuransi bersifat tolong menolong), yang dikelola oleh suatu badan, dan terjadilah kesepakatan dari anggota untuk bersama-sama memikul suatu kerugian atau penderitaan yang mungkin terjadi pada anggotanya. Untuk kepentingan itu masing-masing aggota membayar iuran berkala (premi). Dana yang terkumpul akan terus dikembangkan, sehingga hasilnya dapat dipergunakan untuk kepentingan di atas, bukan untuk kepentingan badan pengelola (asuransi syariah). Dengan demikian badan tersebut tidak dengan sengaja mengeruk pkm keuntungan untuk dirinya sendiri. Di sini sifat yang paling menonjol adalah tolong-menolong seperti yang diajarkan Islam. Asuransi syariah di Indonesia pada umumnya dipandang masih bersifat non syariah yang bertentangan dengan ajaran Islam. Hal tersebut menimbulkan masalah mengenai halal dan haramnya asuransi tersebut dari sudut pandang hukum Islam. Kelemahan-kelemahan asuransi syariah saat ini tampak dari: 1. Akad Mengandung Gharar (Ketidakjelasan) Akad asuransi syariah masih ada yang mengandung hal-hal yang kurang pasti atau gharar. Maksudnya masing-masing pihak penanggung dan tertanggung tidak mengetahui secara pasti jumlah yang ia berikan dan jumlah yang dia ambil, pada waktu melangsungkan akad. Walaupun saat ini beberapa perusahaan asuransi syariah mampu
mengetahui dengan pasti seberapa besar akan menerima uang (premi) dari nasabahnya yang akan disetorkan ke rekening dana seluruh peserta (tabarru), namun nasabah atau pihak perusahaan asuransi syariah masih belum bisa mengetahui atau menentukan dengan pasti berapa klaim yang akan diterima nasabah. Kalaupun ada, semuanya masih berupa perkiraan atau asumsi. Padahal seharusnya akad ini merupakan akad yang jelas, berapa yang harus dibayar dan apa yang akan didapat. Dan akad yang bersifat gharar ini hukumnya diharamkan di dalam syariah Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW berikut ini: “dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW melarang jual beli
dengan cara melempar batu dan jual beli dengan cara gharar.” (H.R Muslim). 2.
Akad Penundukan Kelemahan kedua dari asuransi syariah saat ini adalah masih terdapat akad idz’an.
Maksudnya adalah akad yang merupakan penundukan pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Pihak yang kuat lebih dominan terletak pada pihak perusahaan karena dial ah yang menentukan syarat-syarat yang tidak dimiliki tertanggung. Syarat-syarat yang di buat oleh pihak perusahaan asuransi syariah telah dibakukan pada akadnya atau perjanjiannya. Perjanjian yang telah dibakukan tersebut menimbulkan posisi perusahaan asuransi syariah menjadi lebih kuat dibandingkan dengan nasabah atau pesertanya. Hal tersebut menyebabkan pertentangan dengan prinsip keadilan yang sesuai dengan syariat Islam. 3. Mengandung Unsur Pemerasan Penerapan asuransi syariah pada prakteknya masih seringkali terjadi unsur pemerasan. Ketika nasabah atau para pemegang polis tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, seringkali uang premi yang sudah dibayar jadi hangus atau hilang dan pihak asuransi juga tidak memberikan surat pemberitahuan mengenai hal tersebut. Seharusnya premi yang sudah diberikan oleh peserta dikembalikan sesuai dengan kesepakatan bagi hasil pada awal perjanjian[4]. Selain itu para pihak harus saling bertanggung jawab, yang berarti peserta asuransi takaful memiliki rasa tanggung jawab bersama untuk membantu dan menolong peserta lain yang mengalami musibah atau kerugian dengan niat ikhlas, karena memikul tanggung jawab dengan niat ikhlas adalah ibadah. 4.
Mengandung Unsur ‘Penipuan’
Dalam klausul perjanjian yang dibuat oleh pihak asuransi syariah biasanya masih ada yang kurang ditonjolkan saat penawaran. Demikian juga dengan resikoresiko buru k yang akan terjadi, dan umumnya disembunyikan oleh pihak asuransi syariah. Terdapat beberapa peserta yang kemudian jera berurusan dengan perusahaan asuransi syariah yang
cenderung tidak pernah mau berkompromi (hanya manis ketika menawarkan di awal). Seharusnya peserta dan pihak asuransi syariah saling melindungi penderitaan satu sama lain, yang berarti bahwa peserta asuransi syariah atau takaful akan berperan sebagai pelindung bagi peserta lain yang mengalami gangguan keselamatan berupa musibah yang dideritanyaSebagaimana firman Allah dalam QS. Quraisy ayat 4 yang artinya: “(Allah)
yang telah menyediakan makanan untuk menghilangkan bahaya kelaparan dan menyelamatkan/mengamankan mereka dari mara bahaya ketakutan.” Di antara sabda Rasulullah yang mengandung maksud perlunya saling melindungi adalah: “Tidaklah sah
iman seseorang itu kalau ia tidur nyenyak dengan perut kenyang sedangkan jirannya menatap kelaparan.” (HR. al-Bazar) Dengan begitu maka asuransi takaful merealisir perintah Allah SWT dalam AlQur’an dan Rasulullah SAW dalam al-Sunnah tentang
kewajiban saling melindungi di antara sesama warga masyarakat. 5.
Diinvestasikan pada Lembaga Ribawi Perusahaan asuransi syariah masih menginvestasikan dana peserta kepada pihak lain atau lembaga yang menjalankan usaha dan bisnis dengan praktik ribawi, dimana lembaga tersebut menggunakan sistem bunga dalam pendapatannya. Bunga inilah yang nantinya akan diperoleh oleh pihak perusahaan asuransi dan sebagiannya menjadi uang yang akan diterima atau dibayarkan kepada peserta asuransi bila ada yang melakukan klaim kepada mereka. Ketika perusahaan asuransi syariah membenamkan investasinya pada perusahaan dengan cara bunga atau riba maka hal tersebut menjadikan sebuah titik haram. Berarti ketika seorang muslim ikut asuransi syariah tersebut maka pada hakikatnya orang tersebut sedang melakukan transaksi pembungaan uang alias riba yang mutlak haramnya. Dan dalam hal penerapan asuransi syariah di indonesia masih bersifat batil atau masih menerapkan sistem penawaran non syariah dalam hal sistem bagi hasilnya (nisbah). Dimana =perusahaan asuransi syariah menerapkan sistem tawar menawar dalam menentukan prosentase yang notabene tawar menawar tersebut masih termasuk kedalam unsur jual beli. Sebagai contoh dalam perjanjian asuransi mudharobah, pengelolaan dana premi takaful keluarga dalam unsur tabungan dengan salah satu perusahaan asuransi syariah di kota malang. Kelompok kami mencoba untuk mencari informasi dengan berpura-pura membuka dana asuransi disalah satu perusahaan asuransi dikota malang. Pihak perusahaan asuransi syariah tersebut menawarkan pada kami sistem pembagian nisbah sebesar 50 % untuk nasabah dan 50% untuk perusahaan asuransi tersebut. Kemudian ketika kami tidak setuju, mereka menawarkan untuk 60% untuk kita dan 40% untuk mereka (perusahaan asuransi) tersebut. Sedangkan didalam
buku “Aspek -aspek hukum perasuransian syariah di Indonesia” karya Gemala Dewi,
S.H.,LL.M. cetakan prenada media grup edisi revisi cetakan ketiga menjelaskan bahwa, seharusnya pembagian nisbah tersebut 70% dan 30%, hal ini dikarenakan pihak asuransi hanya mengolah dana dari nasabah untuk di investasikan. Dalam buku ini dijelaskan pula bahwa pembagian 70% dan 30% tersebut untuk nasabah sebesar 70% dan 30% untuk biaya operasional perusahaan asuransi tersebut. 2.2.
Sejarah dan Praktik asuransi syariah di Benua Eropa
2.2.1. Turki Salah satu negara yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam adalah Negara Turki, dikutip dari wikipedia.org bahwa 99,8% penduduk Turki adalah Muslim. Dengan muslim yang banyak, seharusnya sistem keuangan Islam di Turki sudah maju pesat. institusi keuangan Islam pertama di Turki yang disetujui oleh dewan menteri diklasifikasikan sebagai “Private Finance Institutions” pada akhir tahun 1980an yang beroprasi dengan sistem Bagi Hasil. Menurut ketentuan Bank Sentral Turki, bank syariah diatur dalam satu yurisdiksi khusus. Penelitian yang dilakukan oleh Lale Sagbansua dan Kursat Yalciner dalam International Journal of Academic Research in Business and Social Scienceyang terbit Januari 2016, mereka melakukan analisis SWOT untuk keuangan Islam di Turki. Salah satu kekuatan keuangan Islam di Turki adalah tingginya permintaan atas produk-produk keuangan Islam mengingat banyaknya penduduk muslim yang sadar akan hukum syariah, selain itu, pemerintah Turki juga sangat mendukung atas sistem keuangan Islam. Kelemahan keuangan Islam di Turki salah satunya adalah pangsa pasar perbankan syariah hanya 5% saat ini, selain itu, regulasi untuk keuangan Islam di Turki masih belum memuaskan. Sedangkan opportunitiesatau kesempatan untuk perkembangan keuangan Islam di Turki tidak lain adalah potensi yang tinggi atas kesadaran masyarakat di publik tentang sistem keuangan Islam, adapun ancaman untuk sistem keuangan Islam di Turki salah satunya adalah banyaknya masalah dari penerapan sistem perbankan syariah dikarenakan regulasi yang belum memuaskan menjadikan tidak ada standar atas pelaksanaan sistem keuangan syariah. Sejalan dengan berkembangnya Lembaga Keuangan Syariah baik sektor perbankan ataupun yang lainnya, diperlukan Dewan Pengawas Syariah (DPS) untuk mengawasi jalannya operasional Lembaga Keuangan Syariah (LKS) sehari-hari agar selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah. Transaksi-tansaksi yang dilakukan di lembaga
keuangan syariah berbeda halnya dengan transaksi-transaksi di bank konvensional. Garis panduan yang di anut LKS adalah yang disusun dan ditentukan oleh Dewan Syariah Nasional (DNS) yang bentuk output-nya berupa fatwa. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Lale Sagbansua dan Kursat Yalciner mengenai DPS di Perbankan Syariah di Turki, bahwa DPS di Perbankan Syariah di Turki tidak cukup berpengaruh terdahap pengembangan produk dan pengambilan keputusan(Sagbansua & Yalciner, 2016). Selain itu, DPS di Perbankan Syariah di Turki memiliki kekurangan informasi mengenai peran dan posisinya dalam institusi perusahaan. Begitupula dengan laporan DPS yang tidak di publis sehingga sistem perbankan syariah mengenai “sharia compliance” tidak cukup transparan. Padahal, Tugas Dewan Pengawas Syariah harus
membuat pernyataan secara berkala (biasanya tiap tahun) bahwa bank yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah. Pernyataan ini dimuat dalam laporan tahunan (Annual report) bank bersangkutan. Selain itu, tugas DPS adalah meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari bank yang diawasinya. Dengan demikian, Dewan Pengawas Syariah bertindak sebagai penyaring pertama sebelum suatu produk diteliti kembali dan difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional. Jika dibandingkan dengan fungsi umum DPS di Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia khususnya di Sektor Perbankan, DPS di Indonesia sudah lebih baik dibanding Negara Turki. DPS mengawasi operasional secara Independen yang ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN). Fungsi dan kedudukannya di Perushaan juga jelas. Contohnya Bank Syariah Mandiri, Dewan Pengawas Syariah sebagai pihak yang Independen yang kedudukannya sejajar dengan President Director dan Badan Komisioner. Begitupula dengan tugas dan tangungjawab DPS di perusahaan, sudah sesuai dengan peraturan yang ada seperti memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan bank sesuai dengan prinsip Syariah, mengawasi proses pengembangan produk baru bank, menilai dan memastikan pemenuhan prinsip syariah. Asuransi syariah mulai berkembang di Turki seiring dengan rencana bertambahnya bank syariah di negara itu.Perusahaan asuransi di Turki terbilang mengalami kesulitan memasarkan produknya terbukti dengan penetrasinya yang baru sekitar 1,4 persen. Begitu pula yang dialami asuransi syariah. Hanya ada dua perusahaan asuransi syariah di Turki, yaitu Neova Sigorta dan Asya Emeklilik yang pangsa pasarnya 0,5 persen dari total aset industri asuransi, atau sekitar 10,9 miliar pada 2013.
Namun, pertumbuhan industri perbankan syariah yang semakin pesat akhir-akhir ini disinyalir akan turut mendorong pasar asuransi syariah. Aset empat bank syariah eksisting yaitu Asya Bank, Turkiye Finans, Albaraka Turk dan Kuveyt Turk, tumbuh pesat sejak 2005. Pangsa pasarnya kini mencapai lima persen dari total aset 811 miliar dolar milik bank konvensional. Baca: Industri Bank Syariah Mengalami Booming di Turki. Dalam Global Takaful Insight 2014 yang dirilis oleh Ernst & Young menyebutkan Turki sebagai pasar baru bagi industri asuransi syariah. Rencana pemerintah Turki yang akan mendirikan bank syariah BUMN sebagai anak usaha dari tiga bank BUMN, yaitu Ziraat Bank, Halkbank, dan Vakifbank pada akhir 2015 akan membawa sektor keuangan syariah semakin mendalam. Langkah tersebut pun dinilai akan memperluas basis produk keuangan syariah, termasuk diantaranya produk asuransi syariah.Sebagaimana dilansir dari oxford business, Selasa (23/12), pemerintah Turki berniat meningkatkan pangsa pasar perbankan syariah tiga kali lipat pada 2023. Dengan rencana pemerintah mendirikan bank BUMN syariah serta kemungkinan hadirnya pelaku bank syariah baru di sana, maka dinilai akan mendukung pula pertumbuhan industri asuransi syariah secara bertahap. Kendati Turki punya potensi pasar asuransi syariah yang besar, Ernst & Young menyarankan agar sejumlah kendala diatasi terlebih dulu seperti terbatasnya infrastruktur legal bagi keuangan syariah. Tantangan lainnya bagi pasar asuransi syariah Turki adalah pasarnya yang masih terfragmentasi karena kurangnya daya beli, serta persaingan ketat antara perusahaan asuransi bagi kelas menengah bawah. Baca Juga: Asuransi Syariah Global Tumbuh 14 PersenDalam survei yang dilakukan oleh General Council for Islamic Banks and Financial Institutions dan Thomson Reuters sekitar 38 persen responden di Turki menyatakan tertarik menggunakan jasa bank syariah., sedangkan sekitar 10 persen menyatakan akan tertarik. Walau angkanya masih kecil, hal itu tetap mengindikasikan potensi pasar potensial bagi perusahaan asuransi syariah. 2.2.2. Inggris Sementara di Eropa, negara Inggris merupakan pelopor pengembangan asuransi syariah. Melalui HSBS’s Amanah, Inggris bercita -cita menjadi leading sector bagi pengembangan
asuransi syariah di Eropa dan negara lainnya. Di negara ini dirikan pula International Cooperative and Mutual Insurance Federation (ICMIF) yang menghimpun 150 orang dari 82 anggota organisasi dari 52 negara di dunia. Lembaga ini bertujuan untuk memajukan dan memperkenalkan sistem asuransi syariah ke berbagai negara.
2.3.
Sejarah dan praktik Asuransi Islam di Timur Tengah
2.3.1. Iran Republik Islam Iran hanya mengenal satu sistem asuransi, asuransi Islam Iran. Iran memutuskan untuk mengganti sistem asuransi konvensional setelah dunia Islam menemukan sistem asuransi baru yang sesuai syariah. Setelah revolusi Islam Iran pada 1979, pemimpin spiritual Iran, Imam Khomeini menegaskan bahwa asuransi konvensional tidak sesuai syariah. Kemudian Iran mengenalkan tiga model asuransi. 1. Asuransi Sosial (al-ta’min al -ijtima’i). Asuransi ini dikelola oleh negara guna menanggung risiko para pegawai, pekerja dan warga negaranya. Asuransi ini sepenuhnya untuk perlindungan bukan bisnis. 2. Asuransi Arisan (al-ta’min al -tabaduli). Asuransi ini berjalan berdasarkan kesepakatan masyarakat yang berkelompok. Kemudian menyetorkan sejumlah dana untuk membantu para anggota yang terkena musibah. Asuransi arisan ini untuk menanggung bersama risiko yang menimpa anggota dan hanya untuk kepentingan perlindungan. 3. Asuransi bisnis (al-ta’min al -tijari). Asuransi ini dikelola oleh perusahaan secara profesional yang diikuti oleh masyarakat. Tujuan asuransi ini untuk memberi rasa aman dan mengambil alih risiko yang akan menimpa kepada anggotanya. Dua model asuransi pertama dan kedua tersebut hanya menggunakan akad tabarru’ , sedangkan model ketiga, asuransi bisnis menggunakan salah satu dari akad shulh, dhaman, ijarah atau Hibah. Akad Shulh (perdamaian) menurut mereka tidak harus diawali dengan
permusuhan, tetapi beberapa pihak yang melakukan akad bersepakat (berdamai) untuk menanggung risiko dan membayar sejumlah dana. Akad dhaman , khususnya dhaman al-a’yan al -kharijiyah adalah menanggung risiko dari kerusakan barang orang lain karena ada janji dari perusahaan asuransi untuk menanggungnya. Sedangkan akad ijarah dalam konteks asuransi adalah jasa sewa rasa aman dari pihak penanggung (perusahaan asuransi) kepada tertanggung (nasabah), baik risiko ini
benar-benar terjadi sehingga perusahaan menanggungnya atau hanya sekadar memberi rasa tenang kepada nasabah selama dalam proses asuransi. Letak perbedaan yang mencolok asuransi syariah di Indonesia dengan asuransi syariah di Iran ialah pada penyetoran premi. Asuransi syariah membagi setoran premi kepada dua bagian, yaitu untuk dana tabarru’ (menanggung risiko bersama/dana kebajikan) dan dana investasi. Sehingga jika terjadi klaim dari nasabah akan dibayarkan dari dana tabarru’ , jika tidak ada klaim maka dana tabarru’ menjadi amal baik nasabah. Adapun dana investasi akan dikelola oleh perusahaan yang hasilnya akan dibagi kepada peserta dengan persentas e sesuai dengan kesepakatan. Kapanpun nasabah berhenti ikut asuransi maka ia berhak untuk mengambil kembali dana investasi yang telah disetorkan. Pada produk asuransi di Iran, setoran preminya hanya satu jalur, baik menggunak an akad shulh, dhaman atau ijarah. Premi yang dibayarkan dapat dianalogikan kita membayar jasa
keamanan kepada satpam. Baik ada gangguan keamanan atau tidak, satpam bekerja mengamankan kita karena ia dibayar. Benefit untuk kita adalah rasa aman. Demikian halnya dengan asuransi, premi yang dibayarkan adalah untuk memberi rasa aman kepada nasabah bahwa risikonya akan ada yang menanggung, baik risiko itu terjadi maupun tidak sampai batas waktu yang ditentukan. Penilaian sebuah asuransi patuh kepada syariah terletak pada penempatan investasi di bisnis yang sesuai syariah. Pada akhirnya, asuransi syariah di Indonesia dan asuransi di Republik Iran memiliki kesamaan dalam filosofi dan dasar pijakannya. Tetapi pada praktik dan akad yang digunakan terdapat perbedaan yang mencolok. Perbedaan ini mempunyai tujuan yang sama, menyejahterakan umat manusia. 2.4.
Sejarah dan Praktik Asuransi Syariah di Benua Amerika
2.4.1. Asuransi Syariah di Trinidad & Tobago Asuransi syariah pertama di negara Trinidad dan Tobago adalah Takaful T&T Friendly Society (TTTFS). Takaful T&T Friendly Society (TTTFS) adalah koperasi serba usaha yang
berdiri pada tahun 1999 di bawah peraturan Friendly Societies’ Act (18 of 1950) of Trinidad and Tobago for the Muslims of the country . Dari sekian alternatif yang tersedia,
opsi friendly society dipilih karena hal tersebut tidak membatasi alternatif kepatuhan syariah (Shariah compliant) . Lebih lanjut, tidak ada ketentuan modal disetor dalam jumlah besar dan pilihan diperbolehkan untuk semua bisnis atau usaha kecil yang baru dengan
potensi pertumbuhan secara terus menerus. Salah satu kelemahan bentuk usaha ini adalah tidak semua jenis produk asuransi dapat ditawarkan. TTTFS memiliki beberapa jenis dana investasi yang mana termasuk Modal Ventura, Dana Haji, dan Dana Wakaf dibandingkan menawarkan skema asuransi mikru dibawah skema keuntungan kematian ( Funeral Benefit Scheme/FBS). Melalui pembayaran biaya keanggotaan sebesar 20 dollar Trinidad dan
Tobago secara tahunan, peserta dapat menikmati berbagai layanan yang ditawarkan. Karena hal tersebut, secara keseluruhan terdapat 474 anggota dalam skema FBS, dimana 411 anggota aktif di 2012. Selama periode ini, 24 peserta meninggal dan 39 orang keluar dari skema ini. Struktur FBS berdasarkan akad wakalah: Anggota membayar kontribusi sebesar TT$120 per tahun untuk mengcover tiga anggota keluarga dan membayar tambahan TT$30 untuk setiap anggota tambahan dalam satu rumah tangga (diluar tiga anggota keluarga di awal). Sebagai representative (wakil ), TTTFS menarik fee sebesar 15% dari kontribusi untuk mengelola dana dan membayar klaim.; fee tersebut bermuara ke General Fund . Dana Takaful kemudian diinvestasikan dengan dana investasi lain pada Society pada
skema mudharabah dengan rasio bagi hasil 70:30. Dana kematian sebesar TT$2500 dibayar oleh TTTFS saat kematian anggota atau tertanggung. Bagian dana surplus yang dibagi setelah pembayaran klaim karena kematian diletakkan sebagai cadangan dan sisanya didistribusikan pada setiap anggota. Untuk melengkapi operasional Takaful, tambahan TT$2000 ditambahkan atas pembayaran untuk penuntut klam dari keluarga yang berduka pada tahun 2008. Jumlah tambahan uang ini dibayarkan sebagai hibah sebesar TT$1000 dari surplus dana wakaf dan TT$1000 lainnya dari General Fund. Skema FBS berkembang dari tahun ke tahun dan menciptakan surplus yang mana mengarah pada
distribusi raba setiap tahun dan akumulasi cadangan sebesar TT$16,523 di akhir tahun 2014
BAB III PENUTUP 3.1.
Kesimpulan
Perkenalan sistem takaful adalah sebagai alternatif untuk asuransi konvensional. Karena asuransi konvensional bertentangan dengan syariah, karena terdapat unsur gharar (ketidak pastian yang berlebihan), riba (bunga), dan maysir (perjudian). Sistem takaful telah menghindari unsur-unsur tersebut dan memberikan transparasi serta kontrak yang adil. Asuransi syariah di dunia pertama kali dimulai pada tahun 1979 oleh perusahaan asuransi jiwa di Sudan, yaitu Sudanese Islamic Insurance. Sementara di Asia, asuransi syariah pertama kali diperkenalkan oleh Malaysia pada tahun 1985 melalui perusahaan asuransi jiwa bernama tafakul Malaysia.Melihat dari sejarah yang ada, Indonesia sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim telah tertinggal jauh dibandingkan negara tetangga Malaysia ataupun negara-negara non muslim di Eropa dalam hal pengembangan asuransi syariah. Salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya edukasi kepada masyarakat khususnya muslim tentang pentingnya asuransi untuk memperkecil dampak risiko di masa yang akan datang. 3.2.
Saran dan Rekomendasi
Pada tingkatan global, sistem takaful belum mengalami tingkatan keberhasilan yang demikian tinggi seperti halnya perbankan islami. Hal ini disebabkan oleh investa si besar yang dibutuhkan untuk bersaing dengan industri konvensional. Selain itu, perusahaan yang dibutuhkan dalam klaim pengaturan untuk memperbolehkan Takaful berkompetisi secara seimbang dengan industri konvensional. Di negara Islam, tingkat densitas asuransi (premi per kapita) dan penetrasi asuransi (premi sebagai persentase dari PDB) masih rendah, hal ini utamanya disebabkan oleh keyakinan mayoritas umat Muslim bahwa asuransi tidaklah islami, dan tidak ada alternatif yang tersedia untuk menggantikan system tersebut. Potensi takaful hanya dapat diwujudkan jika masyarakat memperoleh pendidikan dan kesadaran mengenai karakteristik system Takaful, khususnya tentang takaful jiwa. Perusahaan lain biasanya hanya menjalankan kegiatan gabungan penyelenggara takaful perlu mendekati banyak individu dan kelompok yang belum mengambil perlindungan asuransi di masa lampau karena alasan agama. Bank syariah dapat mewujudkan potensi ini kemudian melengkapi siklus keuangan islam dengan lebih cepat. Di pasar atau negara dimana tidak tersedia fasilitas Takaful secara memadai, mereka dapat secara bersama-sama membentuk perusahaan Takaful dengan modal
yang cukup kuat selama tidak terdapat batasan legal. Sasaran utama perusahaan tersebut dapat berupa penyediaan jasa Takaful kepada bank syariah dengan tetap menaati prinsip syariah. Hal ini akan menimbulkan banyak perusahaan Takaful umum yang akan memasuki pasar dengan harga kompetitif
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Salim Milhim, al-Ta’mîn al-Islâmy, (Oman: Dâr al-A’lâm, 2002), cet. ke -1 Al Baraka Insurance.2016. www.albaraka-ins.com diakses pada 8 Januari 2017 Ayub, Muhammad.2007. Understanding Islamic Finance: A-Z Keuangan Syariah. Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama Dawood Y.Taylor, Prospects for Evolution of Takaful in the 21st Century”, Omar Fisher and,
Harvard University, USA, April 2000. Dr.Nejatallah Siddiqi “Evolution of Islamic Banking and Insuranc e as Systems Rooted in Ethics”, , New York College of Insurance, April 2000
DSN-MUI dan Bank Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, Edisi Revisi 2006 (Jakarta: DSN-MUI, 2006). History, Progress and Future Challenge of Islamic Insurance (Takaful) In Malaysia, from Jacky Lim, M. Fahmi Idris, Yura Carissa. Mirakhor, Zamir Iqbal Abbas.2013. Economic Development and Islamic Finance. Washington DC: The World Bank Salahuddin Ahmed, Islamic Banking, Finance, and Insurance; a Global Overview, (Kuala Lumpur; A.S. Noordeen, 2006). Syakir Sula, Asuransi Syariah, Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta, Gema Insani, 2004), cet. ke-1. Widia, Eka. 2013. Sejarah Asuransi Syariah [Artikel] pada http://sebishariainsurance.blogspot.co.id/ diakses tanggal 8 Januari 2017