Pengertian Radioimmunoassay
Radioimmunoassay Radioimmunoassay merupakan metode laboratorium (in vitro method) untuk mengukur dengan relative tepat jumlah zat yang ada pada tubuh pasien [1] dengan isotop radioaktif yang bercampur dengan antibody yang disisipkan ke dalam sampel. Radioimmunoassay merupakan revolusi dalam pemeriksaan medis. Pada tahun 2009, teknik ini masih revolusioner karena merupakan blueprint untuk untuk pengembangan pengembangan metode lebih l anjut dalam teknik laboratorium di bidang medis. Dasar-dasar Dasar-dasar teknik radioimmunoassay radioimmunoassay (RIA) atau prinsip competitive-binding radioassay competitive-binding radioassay ini ini pertama kali dikembangkan dikembangkan pada tahun t ahun 1950-an oleh Solomon Berson dan Rosalyn Yallow[1,2] untuk memeriksa memeriksa volume darah, metabolism iodine, menentukan menentukan kadar hormone insulin i nsulin dalam plasma darah. Dengan menggunakan prinsip ini ti ter atau kadar berbagai hormon, antigen, antibodi, enzim dan obat dalam darah dapat diukur dengan ketepatan dan ketelitian yang sangat tinggi. Karena limit deteksi yang sangat baik ini maka RIA digunakan sebagai peralatan laboratorium standar. RIA memanfaatkan memanfaatkan radioaktivitas dari i sotop radioaktif yang diinjeksikan ke dalam sampel. Cacahan radiasi dideteksi menggunakan menggunakan pencacah seperti detector Geiger-Muller, scintillator, dan sebagainya. Pemanfaatan Radioaktivitas
Teknik RIA adalah suatu teknik t eknik penentuan zat-zat yang berada dalam tubuh berdasarkan berdasarkan reaksi imunologi yang [3] menggunakan menggunakan tracer radioaktif . Tracer radioaktif adalah isotop radioaktif yang akan meluruh pada melalui proses radioaktivitas. Radioaktivitas adalah proses peluruhan isotop tidak stabil (radioaktif) menjadi isotop yang lebih stabil dengan memancarkan energy melalui materi berupa partikel-partikel (alpha atau beta) ataupun gelombang elektromagnetik (sinar gamma) [4]. Intensitas dari sumber radioaktif dinyatakan oleh transformasi inti rata-rata per satuan waktu. Satuan radioaktivitas dinyatakan dengan Curie (Ci). Curie (Ci). 1 Ci awalnya didefinisikan sebagai radiasi radiasi yang 226 dipancarkan oleh 1 gram Ra, tetapi definisi ini diubah sebagai kemurnian kemurnian dari peningkatan nuklida. Nilai absolute dari 1 Ci sama dengan 3,7×1010 disintegrasi/sekon. Satuan lain dari radioaktivitas adalah Becquer adalah Becquerel el (Bq), 1 Bq sama [5,6] dengan 1 disintegrasi/sekon disintegrasi/sekon . RIA memiliki 2 keampuhan metode[3] antara lain adalah: Pertama, pengukuran radioaktivitas memberikan kepekaan dan ketelitian yang tinggi serta tidak terpengaruh oleh factor-faktor lain yang terdapat dalam system. system. Kedua, reaksi immunologi berlangsung secara spesifik karena antigen hanya dapat bereaksi dengan antibody yang sesuai dengannya sehingga zat lain atau antigen lain yang t idak sesuai karakteristiknya karakteristiknya tidak dapat ikut campur dalam reaksi. Prinsip Kerja
Prinsip radioimmunoassay radioimmunoassay dapat diringkas sebagai persaingan reaksi dalam campuran yang terdiri dari antigen/hormon berlabel radioaktif, antibodi dan antigen/hormon yang tidak berlabel radioisotop. Antigen radioaktif dicampur dengan sejumlah antibodi. Antigen dan antibodi berikatan satu sama lain menjadi satu zat. Kemudian ditambahkan ditambahkan zat yang tidak diketahui jenisnya yang mengandung sedikit antigen. Zat baru ini merupakan zat yang diuji[1,9]. Secara sederhana digambarkan digambarkan dengan asumsi bahwa antibodi yang dimaksud berkonsentrasi sangat tinggi untuk dikombinasikan dengan antigen atau antigen yang berlabel dalam molekul antibodi. Pada saat ikatan kadar protein dan steroid radioaktif konstan, penghambatan ikatan hormon radioaktif dengan ikatan protein merupakan merupakan fungsi dari jumlah hormon nonradioaktif nonradioaktif yang yang berada pada pada sampel. sampel. Secara ringkas, skema proses pengujian zat dengan teknik radioimmunoassay diperlihatkan pada gambar di bawah ini.
Telah banyak pemanfaatan teknologi nuklir di bidang kedokteran, salah satudiantaranya adalah Radioimmunoassay (RIA) , yang merupakan aplikasi teknologi nukliryang dapat di gunakan untuk mengukur konsentrasi antigen. Prinsip utama dari teknik RIAadalah dengan memanfaatkan interaksi antara antigen dan antibody. RIA adalah suatu cara pengukuran yang bersifat indirect, hormon (antigen) yang dilabel r adio isotop digunakanuntuk mendeteksi dan mengukur hormon dalam sampel, pada umumnya radio isotop yangdigunakan dalam teknik RIA adalah Iodium125. Antigen yang ditempeli dengan Iodium-125 akan menjadi perunut 125I-Antigen. Kemudian kadar dari antigen tersebut diukurdalam plasma darah.Teknologi nuklir sekarang ini semakin berkembang seiring dengan meningkatnya pemanfaatan teknologi nuklir dalam berbagai bidang. Hal ini juga didukung dengansemakin berkembangnya teknologi. Pemanfaatan teknik nuklir terutama adalah yang bertujuan untuk kedamaian dan kesejahteraan telah banyak digunakan dan diaplikasikan.Salah satu contohnya adalah pemanfaatan teknik nuklir dalam bidang kedokteran.Salah satu cabang ilmu kedokteran yang memanfaatkan teknologi nuklir adalahkedokteran nuklir. Kedokteran nuklir menggunakan sumber radiasi terbuka(“unsealed ”) dari disintegrasi inti radionuklida buatan (radiofarmaka) untuk tujuan diagnostik dan terapidengan berdasarkan pada perubahan fisiologi, anatomi, biokimia, metabolisme danmolekuler dari suatu organ atau sistem dalam tubuh. Dalam kedokteran nuklir, radioisotopdapat dimasukkan ke dalam tubuh pasien (in-vivo) maupun hanya direaksikan saja dengan bahan biologis antara lain darah, cairan lambung, urin, dan sebagainya yang diambil daritubuh pasien (invitro). Radioimmunoassay (RIA) merupakan salah satu teknik analisis dalam studi in-vitro.Teknik ini sangat peka serta spesifik dan biasanya digunakan untuk mengetahui kandunganzat biologik tertentu dalam tubuh yang jumlahnya sangat kecil, misalnya hormon insulinatau tiroksin, enzim, dan juga penanda tumor (CA 15-3, CA-125, PSA dan lain-lain).Prinsip pemeriksaan RIA adalah kompetisi antara antigen (bahan biologi yang diperiksa)dengan antigen radioaktif dalam memperebutkan antibodi yang jumlahnya sangat terbatas.Pemeriksaan dengan teknik radioimmunoassay (RIA) dilakukan dengan bantuandetektor sinar gamma yang disusun dengan suatu sistem instrumentasi. Detektor yang digunakan dapat berupa detektor Geiger-Muller (GM), sintilasi maupun detektorsemikonduktor dimana penggunaannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Dalam pemilihan detektor hal penting yang perlu diperhatikan dalam pencacahan untuk analisisradioimmunoassay (RIA) ini adalah parameter efisiensi.Sampai saat ini alat pencacah radioimmunoassay (RIA) yang ada menggunakansistem manual, artinya penempatan sampel dilakukan dengan manual satu persatukemudian dilakukan pencacahan serta tidak ada fasilitas memori sebagai penyimpan datadan ada yang menggunakan sistem otomatisasi yang pada dasarnya bersifat fleksibel, portable dan programmable.
Metode pada Radioimmunoassay (RIA)
Kedokteran nuklir adalah salah satu ilmu kedokteran yang memanfaatkan materialradioaktif untuk keperluan diagnosis, terapi serta penelitian. Secara lengkap definisiKedokteran Nuklir menurut WHO adalah ilmu kedokteran yang dalam kegiatannya menggunakan sumber radiasi terbuka (“unsealed ”) baik untuk tujuan diagnosis, maupun untuk pengobatan penyakit (terapi), atau dalam penelitian kedokteran.Kedokteran Nuklir mencakup pemasukan radioisotop ke dalam tubuh pasien (studi in-vivo) dan dapat pula dengan mereaksikannya dengan bahan biologis seperti darah,cairan lambung, urine, dan sebagainya, yang berasal dari tubuh pasien, yang lebih dikenalsebagai studi in-vitro (dalam tabung percobaan).Teknik radioimmunoassay (RIA) adalah termasuk studi in-vitro, pertama kaliditemukan pada tahun 1960 oleh Solomon Berson dan Rosalyn Yalow. Teknik inidigunakan untuk mengetahui kandungan zat biologik tertentu dalam tubuh yang jumlahnyasangat kecil, misalnya hormon insulin, tiroksin, enzim dan lain-lain. Prinsip pemeriksaanRIA adalah kompetisi antara antigen (bahan biologi yang diperiksa) dengan antigenradioaktif dalam memperebutkan antibodi yang jumlahnya sangat terbatas.Dasar kerja dari RIA adalah untuk mengetahui perbandingan konsentrasi antibodiyang terdapat pada bagian dalam tabung dan antigen yang terdapat dalam sampel denganmenggunakan radioaktif. Analisis RIA sederhana yaitu dengan mencampur isotop denganantibodi kemudian disisipkan pada sampel darah pasien Substansi radioaktif dalam darah akan menggantikan posisi radioaktif pada antibodiyang mengakibatkan timbulnya radiasi. Radiasi yang dipancarkan kemudian diukur untukmenentukan berapa banyak subtansi yang terkandung pada darah. Cacahan radiasidideteksi menggunakan pencacah seperti detektor Geiger-Muller (GM), sintilator, dansebagainya. Terdapat dua metode dalam analisis menggunakan radioimmunoassay (RIA)diantaranya : a.Prinsip Non-Kompetitif Prinsip non kompetitif yang paling sering digunakan adalah sandwich, yang mana prinsip dasarnya adalah reaksi suatu antibodi dalam konsentrasi yang terbatas dengan berbagai konsentrasi antigen. b.Prinsip Kompetitif Sejumlah tertentu antibodi dimobilisasi (ditempelkan) pada suatu fase padat misalkandinding tabung plastik. Sampel pasien yang mungkin mengandung biomolekul,misalkan patogen ditambahkan bersama sejumlah tertentu biomolekul bertandaradioaktif yang akan berinteraksi dengan antibodi yang timbul. Assay kompetitifantibodi berlabel enzim (EAB). Antigen (L) terikat pada fasa padat dan antigen daricontoh berkompetisi untuk mendapatkan tempat pada molekul antibodi berlabel enzim yang terbatas. Assay ‘sandwich’ dimana suatu antigen multivalen (L) pertama-tama diikatkan pada suatu antibodi poliklonal (AB-1) yang dimobilisasi
Diluar kekurangan yang dimiliki oleh teknik RIA, teknik ini banyak dimanfaatkan pada bidang medis untuk keperluan diagnosis, terapi pengobatan maupun penelitian. Untukkeperluan diagnosis, teknik RIA diantaranya digunakan untuk pendeteksian kandunganobat-obatan terlarang (Narkotika) pada darah, selain itu teknik RIA juga digunakan untuk pemeriksaan kandungan virus dalam darah pada kantung donor darah. Karena tingkatsensitivitas yang tinggi, teknik Radioimmunoassay juga digunakan untuk pendeteksian dinidari gejala kangker, diantaranya kanker tiroid. Selain itu teknik Radioimmunoassay jugadigunakan dalam penelitian neurotransmitters, yaitu zat yang terdapat pada otak manusia. Komponen pengukuran radiasi RadioimmunoassayA. Detektor
Detektor terdiri dari suatu medium yang menyerap energi radiasi dan mengubahnyakedalam bentuk sinyal. Jenis detektor yang umum digunakan dalam teknik R IA inidiantaranya adalah detektor Geiger Muller (GM) dan detektor sintilasi.Berikut ini adalah blok diagram Pencacah RIA : a.Detektor SintilasiSintilasi pada dasarnya adalah suatu proses interaksi radiasi dengan bahan sintilatorsehingga terjadi suatu keadaan eksitasi dari elektron orbital ke suatu tingkat energiyang lebih tinggi beberapa saat dan kembali ke keadaan awal dengan memancarkan cahaya. Detektor sintilasi pada umumnya terdiri dari bahan sintilator yang dapatmemancarkan cahaya apabila terkena radiasi dan photomultiplier tube (PMT) yangdigunakan untuk mengubah percikan cahaya menjadi arus listrik. b.Detektor Geiger Muller (GM)Detektor Geiger Muller atau yang biasa disebut GM merupakan salah satu jenisdetektor isian gas. Detektor ini berupa tabung dengan dinding dan poros yang terbuatdari logam dan diisi dengan gasi isian, misalkan argon atau butan. Detektor GeigerMuller memperlihatkan pulsa yang cukup tinggi sehingga tidak memerlukan penguatan (amplifikasi) untuk radiasi baik dengan energi rendah maupun tinggi.Kekurangan detektor ini adalah tidak mampu untuk membedakan energi radiasi yangmasuk ke dalam detektor. B. Catu Daya Tegangan Tinggi (HV)
Penggunaan catu daya tegangan tinggi pada sistem pencacah gamma sangatmenentukan kualitas pulsa yang dihasilkan oleh detektor. Catu daya tegangan tinggimemiliki keluaran yang dapat diatur hingga 1000 Volt DC. Sumber tegangan yangdigunakan dalam sistem ini ada dua macam yaitu tegangan tinggi untuk detektor dantegangan rendah untuk rangkaian elektroniknya. C.Penguat Awal ( Pre-Amplifier )
Penguat awal digunakan untuk melakukan pembentukan pulsa pendahuluan,mencocokan impedansi keluaran detektor dengna kabel signal masuk ke penguat. D.Penguat Linier (Amplifier )
Untuk memperkuat pulsa sampai dengan amplitudo yang dapat dianalisis dengan alat penganalisa tinggi pulsa. Kemampuan suatu penguat untuk memperkuat pulsa disebutdengan gain. E.Penganalisa Saluran Tunggal ( Pulse Height Analyzer )
Penganalisa saluran tunggal mempunyai saluran pencacahan yang dibatasi olehsuatu ambang ( treshold ) dan celah yang lebarnya dapat diatur, yang biasa disebut jendela(window). Hanya pulsa-pulsa yang mempunyai tinggi amplitudo lebih besar dari padaharga ambang dan lebih kecil dari batas atas jendela yang dapat diteruskan menuju alatcacah. F. Pencacah (Counter )
Perkembangan RIA dalam Kedokteran Nuklir
Pada dasarnya perangkat RIA ini digunakan terutama pada laboratorium kedokterannuklir yang aplikasi nya sebagai pencacah dengan sumber gamma yang berenergi rendahdan aktivitas rendah.Adapun beberapa tipe perangkat RIA yang sudah ada : 1.Perangkat RIA dengan media sampel manual tanpa PCTipe perangkat RIA ini ada yang menggunakan banyak detektor, seperti multi well gamma counters dan multi detectors gamma counters. Alat RIA tipe inimembutuhkan banyak detektor. Sistem pencacahannya manual dan operator harus berada ditempat sampai mendapatkan hasil pencacahan. Secara elektronik perangkattersebut masih banyak menggunakan rangkaian analog. Akusisi datanya tanpa PC,hanya menggunakan keypad dan printer. 2.Perangkat RIA media sampel manual dengan PC Perangkat RIA tipe seperti ini adalah gamma ganagement system,yaitu perangkatRIA media sampel manual multi detektor. Detektor yang digunakan jumlahnya bervariasi dari 6 sampai 10 detektor. Sistem akusisi datanya sudah memakaikomputer, dengan sistem interfacenya menggunakan parallel port. Radioimmunoassay (RIA) merupakan metode laboratorium (in vitro method) untukmengukur dengan relatif tepat jumlah zat yang ada pada tubuh pasien dengan isotopradioaktif yang bercampur dengan antibodi yang disisipkan ke dalam sampel.Radioimmunoassay merupakan revolusi dalam pemeriksaan medis. Pada tahun 2009,teknik ini masih revolusioner karena merupakan blueprint untuk pengembangan metodelebih lanjut dalam teknik laboratorium di bidang medis. Dasar-dasar teknikradioimmunoassay (RIA) atau prinsip competitivebinding radioassay ini pertama kalidikembangkan pada tahun 1960-an oleh Solomon Berson dan Rosalyn Yallow untukmemeriksa volume darah, metabolism iodine, menentukan kadar hormone insulin dalam plasma darah. Dengan menggunakan prinsip ini titer atau kadar berbagai hormon, antigen,antibodi, enzim dan obat dalam darah dapat diukur dengan ketepatan dan ketelitian yangsangat tinggi. Karena limit deteksi yang sangat baik ini maka RIA digunakan sebagai peralatan laboratorium standar. RIA memanfaatkan radioaktivitas dari isotop radioaktifyang diinjeksikan ke dalam sampel. Cacahan radiasi dideteksi menggunakan pencacahseperti detector Geiger-Muller, scintillator, dan sebagainya. 1.7. Prinsip Kerja
Prinsip kerja radioimmunoassay dapat diringkas sebagai persaingan reaksi dalamcampuran yang terdiri dari antigen/hormon berlabel radioaktif, antibodi danantigen/hormon yang tidak berlabel radioisotop. Antigen radioaktif dicampur dengansejumlah antibodi. Antigen dan antibodi berikatan satu sama lain menjadi satu zat.Kemudian ditambahkan zat yang tidak diketahui jenisnya yang mengandung sedikitantigen. Zat baru ini merupakan zat yang diuji. Secara sederhana digambarkan denganasumsi bahwa antibodi yang dimaksud berkonsentrasi sangat tinggi untuk dikombinasikandengan antigen atau antigen yang berlabel dalam molekul antibodi. Pada saat ikatan kadar protein dan steroid radioaktif konstan, penghambatan ikatan hormon radioaktif denganikatan protein merupakan fungsi dari jumlah hormon nonradioaktif yang berada padasampel. Pemanfaatan Radioaktivitas
Teknik RIA adalah suatu teknik penentuan zat-zat yang berada dalam tubuh berdasarkan reaksi imunologi yang menggunakan tracer radioaktif. Tracer radioaktif adalah isotop radioaktif yang akan meluruh pada melalui proses radioaktivitas.Radioaktivitas adalah proses peluruhan isotop tidak stabil (radioaktif) menjadi isotop yanglebih stabil dengan memancarkan energy melalui materi berupa partikel-partikel (alphaatau beta) ataupun gelombang elektromagnetik (sinar gamma). Intensitas dari sumberradioaktif dinyatakan oleh transformasi inti rata-rata per satuan waktu. Satuanradioaktivitas dinyatakan dengan Curie
(Ci). 1 Ci awalnya didefinisikan sebagai radiasiyang dipancarkan oleh 1 gram 226 Ra, tetapi definisi ini diubah sebagai kemurnian dari peningkatan nuklida. Nilai absolute dari 1 Ci sama dengan 3,7×10 10 disintegrasi/sekon.Satuan lain dari radioaktivitas adalah Becquerel (Bq), 1 Bq sama dengan 1disintegrasi/sekon Flowsitometri merupakan suatu metode yang di aplikasikan untuk mampu menganalisa berbagai komponen seluler (asam nukleat, lemak, protein dll),organel (lisosom, mitokondria dll), bahkan fungsi ( viabilitas, aktivitas enzimatis dll).Salah satu manfaat dari flowsitometri adalah analisa siklus sel. Analisa siklus sel dengan flowsitometri merupakan hal yang menarik untuk dikaji baik pada penelitian dasar maupun pada ranah biomedik. Penerapan analisis siklus sel pada berbagai bidang memiliki poteni yang besar untuk terus dikembangkan. Pada bidang farmakologi, flowsitometri menyediakan kesempatan untuk menyelidiki efek terapi obat secara in vitro seperti efikasi dari faktor-faktor anti tumor untuk mengembangkan terapi baru. Pada onkologi, jumlah DNA sel dan distribusinya pada berbagai fase dalam siklus sel dapat dianalisa untuk mendeteksi sel yang patologisuntuk menentukan prognosis maupun untuk monitoring terapi. Analisa siklus sel dengan flowsitometri juga tidak terbatas digunakan pada model eksperimen selain hewan dan famili tumbuhan tingkat tinggi saja, namun juga dapat digunakan untuk meningkatkan pengetahuan pada model eksperimen seperti bakteri, jamur, ataupun alga uniseluler. Untuk aplikasi analisa siklus sel dengan flowsitometri lainnya akan dijelaskan pada pembahasan di bawah ini: A.
Farmakologi dan toksikologi
Analisa monoparametrik atau multiparametrik dari siklus sel termasuk studi kinetika dapat digunakan untuk mengevaluasi efek obat in vitro. Metode ini juga dapat digunakan untuk mengetahui sitotoksisitas, fase aksi sepesifik, pengaruh pada metaolisme sel atau posisi pada siklus dimana sel tersebut terbunuh oleh karena suatu obat. Oleh karena manfaat tersebut, metode ini dapat mengkarakterisasi sifat obat dan memberikan prediksi efek obat in vivo dan mengevaluai sensitivitas atau resisitensi untuk dapat menentukan langkah selanjutnya termasuk penggantian terapi. B.
Patologi tumoral
1.
Diagnosis berdasarkan konten DNA
Berbagai tumor baik ganas maupun lesi prekanker memiliki asosiasi dengan abnormalitas pada jumlah DNA yang didapat dari aberasi kromosomal. Sehingga, dibutuhkan informasi yang dapat didapat dari flowsitometri sehingga nantinya diperoleh informasi berupa indeks DNA. Indeks DNA merupakan rasio antara konten relatif DNA pada sel tumor pada fase G1 dengan sel diploid normal.Ketika sel memiliki abnormalitas konten DNA, indeks DNA akan berbeda dari satu (1) dan disebut populasi aneuploid. Indeks DNA yang dihitung dengan flowsitometri memiliki korelasi yang baik dengan jumlah kromosom terutama pada leukimia dan tumor padat.Populasi aneuploidi merupakan indikator yang baik untuk mengetahui adanya tumor ganas. Akan tetapi. Konten DNA memiliki keterbatasan sebagai metode diagnostik karena resolusi analisis kadangkala tidak cukup untuk menunjukkan populasi yang berbeda sedikit dengan sel diploid seperti pada beberapa jenis leukimia.
2.
Nilai diagnostik berdasarkan aktivitas proliferasi
Repartisi sel pada berbagai fase siklus sel merupakan informasi yang penting olehkarena beberapa tumor memiliki karakter khas berupa proliferasi seluler yang tak terkontrol. Jumlah sel pada fase S, secara langsung yang memiliki hubungan erat dengan proliferasi merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Akan tetapi, walaupun pada beberapa jenis tumor berkorelasi dengan tingginya angka proliferasi seperti pada acute myeloblastic leukemias dan limfoma, juga terdapat sel yang sangat rendah tingkat proliferasinya sepertiacute lymphoblastic leukemias dantumor padat terutama tumor diploid. Oleh karena itu, proliferasi seluler memiliki keterbatasan sebagai alat diagnostik. Hal ini dapat disebabkan oleh karena perbedaan presentasi sel pada fase S (S%) tergantung pada besarnya tumor atau lokasi pengambilan. 3.
Nilai prognosis dari analisa siklus sel
Manfaat lain dari flowsitometri pada analisis siklus sel adalah sebagai parameter prognosituk pada reversi secara patologi. Pada beberapa kasus, tumor diploid memberikan hasil prognosis yang lebih baik daripada tumor aneuploidi yang berkorelasi pada nilai indeks DNA. Ketika tumor merupakan tumor aneuploidi, remisi komplit membutuhkan waktu yang lebih lama pada beberapa limfoma dan angka rekurensi sangat tinggi seperti pada tumor kandung kemih. Pada kasus leukimia atau mieloma, aneuploidi merupakan salah satu parameter prognosis yang buruk. Angka keselamatan pasien akan lebih baik jika S% rendah. Parameter S% ini memiliki nilai prognosis pada tumor payudara namun kurang diteliti tidak seperti pada indeks DNA. Pada kasus limfoma, grading secara umum berkorelasi denagan proliferasinya, ketika ditemukan low grade dengan S% yang tinggi, limfoma tersebut kemungkinan akan bertransformasi menjadi bentuk high grade. 4.
Monitoring obat pada proses terapi
Flowsitometri juga dapat digunakan sebagai alat monitoring terapi dengan menganalisa pada populasi tumor. Metode ini dapat digunakan untuk mengevaluasi efek radioterapi atau kemoterapi Analisa dapat mendeteksi resistensi terhadap regimen terapi yang nantinya dapat menentukan keputusan berikutnya. Pada kasus leukimia dan limfoma, flowsitometri dapat menentukan efisiensi terapi. Metode ini juga dapat digunakan untuk mendeteksi sel tumor yang tersisa yang dapat menyebabkan relaps. Konten DNA dapat dianalisa secara bersamaan dengan indikator tumor untuk mendeteksi adanya modifikasi dari ekspresi yang mungkin menandai adanya transisi dari tingkatan keganasan tumor maupun respon terhadap terapi. C.
Aplikasi lainnya
Secara aplikasi selain pada terapi kanker dan farmakologi, masih banyak manfaat dari analisa siklus sel dengan flowsitometri. Analisis siklus sel secara luas terbukti mampu mengambil peran luas pada peningkatan pengetahuan dalam berbagai bidang ilmu seperti pada studi sperma dan sel testikular, atau pada interaksi antara virus dan sel. Analisa ini juga terbukti pada beberapa tipe sel lain diluar sel yang lazim dianalisa seperti pada bakteri, jamur, fitoplankton ataupun alga. Pada studi sel testikular, analisa ini mampu membantu membedakan antara sel haploid, diploid, dan tetraploid berdasarkan jumlah DNAnya. Selain itu, hasil yang lebih akurat mampu didapatkan berkat adanya analisa bivariat pada DNA dan RNA setelah pemberian pewarnaan dengan acridine orange atau setelah inkorporasi dengan BrdUrd. Analisa DNA juga ditujukan untuk mengetahui alterasi sel atau modifikasi pada berbagai subpopulasi setelah terpapar oleh zat kimia tertentu atau terpapar oleh radiasi ionik. Selain itu, terdapat kemungkinan dalam menentukan kualitas dari cairan semen atau untuk membedakan antara sel normal dengan sel tumor testis berdasarkan kondensasi kromatin seluler setelah in situ denaturasi DNA dan pewarnaan dengan acridine orange. Pada taraf interaksi virus dengan sel, beberapa studi yang fokus pada Simian virus 40 (SV40) mendapatkan bahwa sel yang terinfeksi terinduksi untuk melakukan sintesis DNA yang berkorelasi dengan peningkatan konten DNA. Analisa multiparametrik pada konten DNA dan antigen T darusel yang terinfeksi SV40 juga telah dilakukan untuk membedakan gen yang diregulasi oleh siklus sel atau yang meregulasi siklus sel. Selain manfaat yang dapat diamati pada hewan atau pada tumbuhan tingkat ti nggi, analisa siklus sel telah terealisasikan untuk diaplikasikan pada bakteri, terutama untuk proses studi efek obat. Analisa ini juga dapat digunakan untuk studi proses evolusi pada populasi jamur, efek stress lingkungan pada spesies fitoplankton ataupun proliferasi dari Euglena gracilis akibat pengaruh vitamin B12. Flow Cytometry 1.
Sejarah perkembangan flow cytometry
Pada 1934, Moldavan pertama kali memperkenalkan alat hitung sel darah otomatik dengan metode flow through. Kemudian, pada 1950 dikomersialkan alat dengan metode impedansi, tetapi masih menggunakan pengenceran bahan di luar alat. Sepuluh tahun kemudian, pengenceran tidak dilakukan di luar alat, tapi secara otomatis. Pada 1953, Crossland and Taylor memperkenalkan teknik penghitungan sel darah, di mana sel dialirkan dalam saluran tunggal, menggunakan bahan cair sebagai laminar sheat flow, dan sel diperiksa dengan metode pendar cahaya.
Pada 1965, diperkenalkan pengukuran sel dengan pendar cahaya yang ditangkap oleh detektor di lebih dari satu sudut dan menggunakan sinar dengan intensitas kuat, yaitu sinar laser. Sinar ini oleh sel itu dapat dipantulkan, dibias, bahkan tembus ke dalam sel, sehingga dapat mendeteksi intrasel. Metode flow cytometry terus berkembang dengan perkembangan elektrik komputer dan reagen, termasuk digunakannya monoklonal antibodi. Sampai saat ini, pengukuran dengan metode flow cytometrymenggunakan label fluoresensi, selain mengukur jumlah, ukuran sel, juga dapat mendeteksi petanda dinding sel, granula intraselular, struktur intra sitoplasmik, dan inti sel.
2.
Definisi dan prinsip kerja flow cytometry
Flow cytometry adalah metode pengukuran (metri) jumlah dan sifat-sifat sel (cyto) yang dibungkus oleh aliran cairan ( flow) melalui celah sempit yang ditembus oleh seberkas sinar laser. Setiap sel yang melewati berkas sinar laser menimbulkan sinyal elektronik yang dicatat oleh instrumen sebagai karakteristik sel bersangkutan. Setiap karakteristik molekul pada permukaan sel maupun yang terdapat di dalam sel dapat diidentifikasi dengan menggunakan satu atau lebih probe. Oleh karena itu, instrumen dapat mengidentifikasi setiap jenis aktivitas sel dan menghitung jumlah masih-masing dalam suatu populasi campuran. Setiap sel yang melewati berkas sinar laser akan menyebabkan sinar laser terpencar ( scattered ) ke dua arah, yaitu forward scatter (FSC) yang pararel dengan arah sinar dan side scatter (SSC) yang arahnya tegak lurus pada arah sinar laser. Besarnya FSC berbanding lurus dengan atau menggambarkan volume atau ukuran sel. Sel yang mati (walaupun penampakan mikroskopis sebaliknya), terlihat lebih kecil dibanding sel hidup. Sel darah merah juga berbeda dengan sebenarnya, umumnya lebih kecil dari semua sel darah. Adapun SSC ditentukan oleh morfologi dan emisi sinar fluoresen yang dipancarkan oleh f luorokrom yang digunakan untuk mewarnai sel. Sinyal-sinyal itu dikonversikan menjadi angka digital dan diperlihatkan pada suatu histogram yang dapat dianalisis untuk memperoleh informasi tentang karakteristik sel bersangkutan. Untuk identifikasi antigen, dapat digunakan berbagai zat pewarna fluorokrom. Fluorokrom merupakan suatu senyawa fluoresein yang dapat berpendar saat mengalami eksitasi oleh sinar dengan panjang gelombang tertentu. Berikut beberapa fluorokrom yang sering digunakan dalam flow cytometry, yaitu fluorescein isothyocyanate (FITC) yang memancarkan sinar hijau-kuning dengan emisi 519 nm, 4,6-Diamidino 2-Phenylinidole (DAPI) dengan emisi 455 nm, propidium iodide (PI) dengan emisi 617 nm dan phycoeritrin (PE) yang memancarkan sinar merah-orange dengan emisi 578 nm. 3.
Kegunaan flow cytometry
Flow cytometry merupakan sebuah metode yang secara luas digunakan untuk meneliti ekspresi permukaan sel dan molekul sellular, menggolongkan dan mendeskripsikan tipe sel yang berbeda dalam populasi sel yang heterogen, menaksirkan kemurnian subpopulasi yang terisolasi, dan menganalisis ukuran dan jumlah sel. Flow cytometry dengan cell sorting ( fluorescence activated cell sorter , FACS) memiliki aplikasi dalam sejumlah bidang, termasuk biologi molekuler, patologi, imunologi, biologi tanaman, dan biologi kelautan. Beberapa di antaranya, meliputi: a. Analisis dan pemisahan subpopulasi limfosit dengan menggunakan antibodi monoklonal terhadap antigen permukaan yang diberi label dengan zat warna fluorokrom. b. Pemisahan limfosit yang memproduksi berbagai kelas imunoglobulin dengan menggunakan antibodimonoklonal terhadap kelas dan subkelas Ig spesifik dan tipe L-chain. c.
Memisahkan sel hidup dari sel mati.
d.
Analisis kinetik atau siklus sel dan kandungan DNA atau RNA.
B.
Flow Cytometer
Flow cytometer merupakan salah satu instrumen yang menggunakan metode flow cytometry. Alat tersebut memiliki kemudahan serta keunggulan dibanding dengan cara konvensional. Selain dapat mengukur berbagai macam karakteristik sel dalam waktu yang cepat secara simultan, teknologi ini juga memiliki ketepatan dan ketelitian yang tinggi. Flow cytometer pada dasarnya adalah mikroskop yang dilengkapi dengan komponen yang berfungsi untuk melalukan individu sel secara sekuensial melalui berkas cahaya (laser) yang akan di analisis. Komponen penyusunnya terdiri atas tiga sistem, yaitu fluida, optik, dan elektronik. Sistem fluida mengarahkan sel melalui cahaya (laser) untuk dianalisis, terdiri dari sheath fluid dan central channel . Tenaga hidrodinamik mengakibatkan sel satu per satu melewati central channel . Fluida merupakan bagian yang paling sensitif pada flow cytometer. Jika terjadi kesalahan, semuanya akan salah dan fatal. Masalahnya sebagai berikut: a.
Clogs, celah pada aliran larutan sangat kecil.
b.
Gelembung udara, akan mengganngu aliran dan yang akan diinterpretasikan sebagai sel.
c.
Leaks, kurangnya tekanan udara dalam sistem akan mengganggu aliran selular dan akan memengaruhi hasil.
d.
Errors, yang paling umum memengaruhi fluida adalah:
Clumps of cells. Hal ini akan “clog ” mesin dan berakibat kesulitan utama dan “headaches”. Kejadian ini dapat diatasi dengan pre-filtrasi populasi sel tidak lebih besar dari 50 um filter. Konsentrasi sel yang tidak sesuai. Semua larutan memiliki proporsi partikel debu yang rendah. Suatu flow rate yang lebih besar sekitar 4.000 sel/sekon meningkatkan resiko pada pengukuran multiple cell secara simultan. 2.
Sistem optik
Sistem optik terdiri atas laser sebagai sumber cahaya dan mengeksitasi (fluorokrom) sel dalam aliran sampel, serta filter optik untuk mengarahkan sinyal cahaya yang dihasilkan ke detektor yang sesuai. Alasan penggunaan laser, karena kemampuannya untuk difokuskan menjadi berkas cahaya elliptis. Ini terkait dengan komponen-komponen fluida terkait. Laser memancarkan cahaya koheren dan merupakan berkas sangat pararel. Hal ini memungkinkan dasar pengukuran yang berbasis pada gangguan berkas (beam disturbance) dapat dilakukan ( forward scatter, side scatter ). Penggunaan berkas terfokus yang elliptis dapat menghasilkan hanya cahaya fluoresensi dari single cell ( size dependent ) yang dapat diukur setiap saat. Pengukuran sel pada flow cytometer menggunakan prinsip pendar cahaya (light scattering ). Prinsip light scattering adalah metode di mana sel dalam suatu aliran melewati celah di mana berkas cahaya difokuskan ke sel ( sensing area). Apabila cahaya tersebut mengenai sel, akan dihamburkan, dipantulkan, atau dibiaskan ke semua arah. Beberapa detektor yang diletakkan pada sudut-sudut tertentu akan menangkap berkas-berkas sinar sesudah melewati sel. satu detektor diletakkan berhadapan dengan sumber sinar (FSC), beberapa diletakkan dengan membentuk sudut (SSC), dan detektor fluoresen. FSC berkorelasi dengan volume atau ukuran sel, sedangkan SSC berhubungan dengan kompleksitas bagian dalam partikel, seperti ukuran nukleus, tipe granula sitoplasma, dan kekasaran membran plasma. Deteksi sinyal dilaksanakan dengan menggunakan kombinasi photomultiplier (cathode-ray) dan rangkaian elektronika. Sinyal yang dibangkitkan oleh setiap sel pada dasarnya merupakan oscilloscope trace. Dengan melakukan integrasi sinyal ini, akan dihasilkan suatu nilai numerik bagi fluoresensi maupun nilai SSC. 3.
Sistem elektronik
Sistem elektronik berfungsi untuk mendeteksi cahaya dan mengubahnya ke bentuk sinyal digital. Data yang dihasilkan oleh flow cytometer dapat diplot dalam satu dimensi, untuk menghasilkan histogram atau dalam dua dimensi plot titik, atau bahkan dalam tiga dimensi. Plot sering dibuat pada skala logaritmik, karena emisi pewarna
fluoresen yang berbeda. Data akumulasi menggunakan flow cytometer dapat dianalisis menggunakan perangkat lunak komputer, seperti WinMDI Flowjo, FCS Ekspres, VenturiOne, CellQuest Pro, atau Cytospec. Aplikasi Flow Cytometry dengan Flow Cytometer FACS Calibur 1.
Analisis DNA (Pengukuran kinetik sel )
Pengukuran kinetik pertumbuhan sel diperlukan untuk menentukan prognosis kanker, mengetahui dinamika sel T pada infeksi HIV, dan sebagainya. Kinetik sel dapat dipelajari dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan mengukur indeks proliferasi. Pengukuran indeks proliferasi sel dapat dilakukan dengan menentukan proporsi atau fraksi sel dalam fase-S (yaitu: suatu fraksi dari populasi sel total dalam siklus sel) dan mengukur kandungan DNA. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah metode flow cytometry. Prinsip metode ini adalah mengukur emisi fluoresen fluorokrom yang terikat pada DNA dalam sel apabila sel itu dilewatkan berkas sinar dengan panjang gelombang yang sesuai (laser). Zat warna fluorokrom dapat mengikat DNA secara stokiometris. Pengikatan zat warna fluorokrom pada DNA dapat memberikan informasi tentang kandungan DNA total dan fraksi sel yang berada pada siklus sel secara cepat, akurat, dan praktis. Fluorokrom yang digunakan untuk kuantifikasi DNA adalah propidium iodide (PI) dan ethidium bromida. Interkalasi fluorokrom ini di antara pasangan basa dsDNA atau RNA menghasilkan suatu kompleks dengan fluoresensi efisien yang dapat di deteksi dengan sinar laser dengan kekuatan relatif rendah. Kandungan DNA relatif (status ploidi) dari satu populasi sel dinyatakan dengan indeks DNA dalam fraksi Go/G1 populasi sel bersangkutan dibandingkan terhadap populasi sel kontrol diploidi. Indeks DNA populasi sel normal ploidi adalah 1.0. Sel ganas, walaupun tidak selalu, biasanya menunjukkan kandungan DNA abnormal (aneuploidi) dan pada histogram, populasi abnormal akan menunjukkan puncak ekstra (hiperdiploidi). Fraksi sel yang berada pada fase Go/G1, S dan G2M dapat dihitung dari distribusi DNA. 2.
Analisis DNA (Analisa status ploidi tanaman)
Analisa ploidi tanaman dapat dilakukan dengan menggunakan flow cytometry. Sampel dapat berupa jaringan daun tanaman yang kemudian dilisiskan dalam larutan buffer pelisis dan DAPI (4’,6-diamidino-2-phenylindole). Selanjutnya larutan difiltrasi untuk memisahkan debris. Filtrat kemudian dideteksi kandungan DNA-nya dengan flow cytometry. Ploidi dari tanaman ditentukan dengan mengamati peak atau puncak yang ditunjukkan pada layar monitor. 3.
Uji fungsi neutrofil
Uji fungsi neutrofil merupakan parameter penting dalam menganalisis respon imun seluler nonspesifik. Pengujian ini dapat dilakukan dengan cara uji fagositosis partikel bakteri dan uji aktivitas phagocyte respiratory burst menggunakan metode flow cytometry. Prinsip uji fagositosis adalah menganalisis jumlah neutrofil yang mengandung bakteri berlabel yang dibubuhkan. Pengukuran fungsi fagositosis dan respiratory burst secara simultan dapat dilakukan menggunakan darah yang diinkubasi dengan kumanStafilococcus aureus atau E coli yang telah diberi label fluorescein FITC selama waktu tertentu (biasanya 60 menit) guna menganalisis proporsi sel yang berisi bakteri. Fungsi respiratory burst dievaluasi dengan mengukur banyaknya ethidium bromide (EB) berfluoresensi merah yang dihasilkan oleh oksidasi hidroethidin yang terjadi akibat dibentuknya produk oksidatif oleh PMN atas rangsangan bakteri yang difagositosis. Jadi, yang diukur oleh flow cytometer adalah proporsi sel yang berisi bakteri yang berfluoresensi hijau dan intensitas fluoresensi merah yang dihasilkan EB dalam sel PMN bersangkutan. Fluorokrom yang dapat digunakan, antara lain propidium iodide yang berfluoresensi merah untuk melabel Stafilococcus dan dihidrorhodamine 123 yang akan berubah menjadi rhodamine 123 yang berfluoresensi hijau setelah dioksidasi.
4.
Monitoring penderita terinfeksi virus HIV (Pengukuran limfosit T)
Monitoring status imunologi pada infeksi HIV bisa dilakukan dengan metode flow cytometry. Pemeriksaan menggunakan flow cytometer yang berbasis flow cytometry merupakan pemeriksaan yang paling baik untuk limfosit T helper/inducer (CD4+) atau limfosit T supressor/cytotoxic (CD8+).
Virus HIV menginfeksi limposit T helper atau melalui antigen CD4+. Limposit yang terinfeksi ini kemudian lisis ketika virion baru dilepaskan atau dipindahkan oleh sistem imun selular. Pada infeksi HIV yang progresif, jumlah CD4+ dan limposit T menurun. Jumlah absolut CD4+ merupakan pengukuran yang penting untuk memprediksi, menentukan derajat, dan monitoring progresivitas serta respons terhadap pengobatan pada infeksi HIV. Pemeriksaan jumlah virus melengkapi pemeriksaan laboratorium untuk monitoring penyakit. Besarnya berbanding terbalik dengan jumlah CD4+. Jadi, jumlah CD4+ dan jumlah virus secara langsung menunjukkan status imun penderita. Ini berguna untuk menentukan diagnosa, prognosa, dan manajemen pengobatan pada penderita yang terinfeksi HIV. Nilai normal limfosit T
Dewasa: -
Limfosit T CD4 absolut
:lebih besar dari 500/cmm3
-
Limfosit T CD4 %
:lebih besar dari 25%
Bayi ≥ 12 bulan: -
Limfosit T CD4 absolut
:lebih besar dari 1.500/cmm3
-
Limfosit T CD4 %
:lebih besar dari 25%
Anak-anak 1-5 tahun: -
Limfosit T CD4 absolut
:lebih besar dari 1.000/cmm3
-
Limfosit T CD4 %
:lebih besar dari 25%
Contoh pemeriksaan laboratorium
a. Persiapan sampel : 3 ml darah vena dimasukkan ke dalam tabung vakum K 3EDTA dan ditutup rapat (pada suhu kamar, sampel stabil <30 jam). Jika tidak langsung digunakan, dapat disimpan terlebih dahulu dalam styrofoam. Pada penyimpanan lebih dari 48 jam sampel darah dapat membeku (hemolisis). b. Memasukkan 20 µL reagen BD Trites CD3/CD4/CD45 dan 50 µL sampel darah ke dalam tabung BD Trucount. Tabung BD Trucount berisi lycophilized pellet yang akan melepaskan fluorescent beads yang diketahui jumlahnya apabila ke dalam tabung ditambahkan reagen monoklonal antibodi dan darah EDTA, gunanya adalah untuk menghitung jumlah absolut leukosit. Reagen BD Tritest CD3/CD4/CD45 terdiri dari CD4+ FITC/ CD8+ PE/ CD3+ per CP. Reagen tersebut merupakan reagen imunofluoresen tiga warna untuk identifikasi absolut limfosit T CD4, limfosit T CD3+CD4+, dan limfosit T CD3+ CD8+. c.
Campuran tersebut di-vortex dan diinkubasi selama 15 menit pada suhu kamar (di tempat gelap).
d. Menambahkan 450 µL lysing solution ke dalam campuran, kemudian di-vortex dan diinkubasi kembali selama 15 menit pada suhu kamar. e.
Dibaca dengan flow cytometer FACS Calibur.