Resume BUKU COMMUNITY DEVELOPMENT KARYA JIM IFE DAN FRANK TESORIERO Krisis Lingkungan Hidup Pada sub bab ini dijelaskan mengenai men genai krisis-krisis lingkungan hidup yang terjadi mencakup polusi udara, laut, sungai, dan tanah, kandungan racun dalam rantai makanan, pen urunan sumber daya alam bumi, penipisan lapisan ozon, pemanasan global, kepunahan jenis-jenis flora dan fauna, hilangnya wilayah-wilayah alam liar, erosi lapisan atas tanah, desertifikasi, deforestasi, limbah nuklir dan krisis populasi. Jadi, yang dib ahas adalah berbagai krisis yang terjadi pada lingkungan hidup. Tanggapan lingkungan dan tanggapan green Tanggapan lingkungan hidup terhadap masalah-masalah ekologis memiliki dua ciri penting. Pertama, mereka berupaya memecahkan masalah-masalah spesifik dengan solusi-solusi yang diskrit. Jadi, masalah pemanasan global diatasi dengan mengurangi gas rumah kaca, masalah berkurangnya sumber daya dengan teknologi alternatif, masalah polusi dengan teknologi anti polusi, masalah populasi dengan program keluarga berencana, masalah hilangnya alam liar dengan menciptakan kawasan lindung, masalah kepunahan jenis dengan program jenis langka dan seterusnya. Kedua, mencari solusi-solusi dalam orde sosial, ekonomi, dan politik yang ada saat ini. Sebaliknya, tanggapan green terhadap masalah-masalah lingkungan hidup memakai pendekatan yang lebih mendasar atau radikal. Pendekatan tersebut melihat masalah-masalah lingkungan hidup sebagai sekadar gejala-gejala dari masalah mendasar yang lebih penting. Itu adalah konsekuensi dari suatu orde sosial, ekonomi, dan politik yang secara mencolok tidak berkelanjutan, dan karena itu adalah orde sosial, ekonomi, dan politik inilah yang harus diubah. Jadi, inti dari tanggapan lingkungan dan tanggapan greenadalah menanggapi krisis lingkungan hidup. TEMA-TEMA DALAM ANALISIS GREEN Eko-Sosialisme Krisis ekologis pada hakikatnya adalah suatu konsekuensi dari kapitalisme. Pertumbuhan dan industrialisasi yang telah mengiringi perkembangan kapitalisme dilihat sebagai telah mengakibatkan limbah, konsumsi-berlebihan dan polusi, bersama dengan kurangnya tanggung jawab untuk menjaga kesehatan bumi ini. Ideology kapitalisme telah menekankan individualisme dan hubungan yang eksploratif dengan lahan dan sumber daya alam. Hanya dengan eliminasi hak milik dan kepemilikan kapitalis dari alat-alat produksi, nilai-nilai sosial dan kolektif dalam suatu masyarakat dapat terwujud kembali. Contoh : dengan adanya industri furniture yang sangat maju mendorong individu untuk mengekplorasi sumber daya lama yaitu menebang pohon secara besar-besaran. Eko-Anarkhisme Krisis ekologis adalah akibat dari struktur-struktur dominasi yang dicontohkan oleh pemerintah, bisnis, militer dan bentuk-bentuk lain dari regulasi. Struktur-struktur ini ini menyangkal kebebasan manusia dan potensi menikmati alam, membatasi interkasi dan potensi yang dimiliki manusia. Teori ini menginginkan sebuah masyarakat yang control dari pusatnya minimal, yang keputusankeputusannya diambil oleh individu atau kelompok yang kecil atau lokal. Mereka lebih
menyukai bentuk organisasi yang mengedepankan prinsip ekologis. Contoh : adanya peraturan dari pemerintah untuk membatasi penebangan pohon namun jstru banyak yang melanggarnya dengan mengeksploitasi tanpa diketahui oleh pemerintah. Eko-Feminisme Perubahan yang tertanam dalam gerakan feminis, yang menantang struktur-struktur patriarkhal, struktur itu di buka, dibongkar dan diganti. Teori ini menginginkan kesetaraan atau anggapan sama pentingnya antara perempuan dan laki-laki. Sehingga menimbulkan pertanyaan bagaimana perubahan itu dapat berjalan tanpa penindasan terhadap perempuan. Sebaga i hasilnya terdapat beberapa unsur dari analisis feminis yang dimasukkan dalam literature green. Contoh : dalam menjadi seorang pemimpin perempuan masih dianggap kurang pantas. Memang ada tapi tidak banyak. Eko-Luddisme Perubahan teknologi yang tidak dikendalikan secara benar akan tidak membawa manfaat bagi kehidupan manusia, hanya akan membawa masalah yang lebih banyak dari pada masalah yang dapat diatasi oleh teknologi. Pada masa sekarang ini perkembangan teknologi tak selalu memberikan manfaat (suatu hal yang positif) bagi kehidupa n umat manusia. Menurut penulis penulis green perspektif ini adalah penyebab utama dari masalah krisis lingkungan. Masyarakat lebih mementingkan mengembangkan teknologi yang mempunyai akibat-akibat tidak jelas, tidak dimengerti, tidak berlanjut dan penuh dengan ketidakpastian. Contoh : meledaknya pembangkit listrik tenaga nuklir yang terjadi di Negara jepang. Ledakan tersebut menimbulkan efek ketidakmanfaatan teknologi bagi k ehidupan manusia justru malah sebaliknya menimbulkan bencana bagi manusia itu sendiri. Anti-Pertumbuhan Pertumbuhan diberbagai aspek maupun bidang kehidupan manusia sangat diinginkan. Baik dalam bidang ekonomi, populasi, daerah urban, organisasi dan sebagainya. Pertumbuhan yang telah melebihi kapasitas bumi untuk mengatasinya merupak an suatu krisis lingkungan hidup. Suatu alternatif yang berbasis prinsip-prinsip kelanjutan akan secara efektif membatasi pertumbuhan dan menjamin bahwa sumber daya yang digunakan dapat diperbarui sehingga lingkungan hidup dibatasi untuk dieksploitasi secara besar-besaran. Contoh : pertumbuhan manusia di Indonesia terbilang cepat sehingga menimbulkan kepadatan penduduk sehingga mendorong adanya transmigrasi. Tranmigrasi tersebut berisi pemeberian lahan kepada masyarakat yang dikirim ke Kalimantan. Kemudian lahan yang dulunya berupa hutan lalu dibakar untuk di Tanami pohon palawija, sayur-sayuran, kelapa sawit dan sebagainya. Ekonomi Alternatif Perspektif ini timbul karena adanya suatu masalah yaitu sistem ekonomi yang telah dikembangkan dalam kapitalisme adalah industri sehingga mendorong konsumsi-berlebih, limbah, pertumbuhan dan menimbulkan masalah lingkungan hidup. Oleh karena itu paham ini berupaya mendorong mengembangkan suatu sistem ekonomi baru, yang dilandasi oleh prinsip prinsip ekologis. Ekonomi konvensional diperlukan untuk menginkorporasikan pertimbangan para environmentalis akan tetapi ekonomi konvensional memperlakukan faktor-faktor lingkungan sebagai masalah eksternal sehingga tidak memasukkannya kedalam kalkulasi industri mereka. Mereka cenderung mengabaikan biaya-biaya sosial dan lingkungan dalam kalkulasi ekonominya sehingga biaya-biaya tersebut sering ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah. Dengan demikian ekonomi konvensional dapat menentang anggapan perspektif ekologis yang sudah terbukti pada dirinya. Contoh : industri minyak bumi PT LAPINDO di Indonesia tidak memperhitungkan konsekuensi
jika menambang minyak tidak berhasil maka akan keluar lumpur. Sehingga menimbulkan masalah lingkungan dan masyarakat terkena dampaknya. Semua masalah seolah-olah ditanggung masyarakat dan pemerintah tanpa ada kejelasan ganti rugi oleh pihat terkait. Kerja, Waktu Senggang dan Etika Kerja Pemahaman atas tenaga kerja dan waktu senggang, peran pekerjaan, pembagian tenaga kerja dan pasar tenaga kerja merupakan bagian dari permasalahan yang telah mengakibatkan krisis ekologis. Dunia kerja dan lapangan kerja mengalami perubahan besar dan akan terus berubah. Pengangguran merupakan salah satu masalah sosial utama dalam masyarakat modern sehingga ilmu ekonomi konvensional tidak dapat secara efektif mengatasi pertumbuhan ekonomi yang secara ekologis tidak berkelanjutan. Oleh karena i tu, perlunya alternatif yang mendasar yaitu reformulasi radikal dari kerja dan waktu senggang sehingga perbedaan antara kerja dan waktu senggang dapat berkurang dalam masyarakat. Penggunaan pasar tenaga kerja konvensional tidak dapat untuk memecahkan masalah ekologis jangka panjang hanya berguna untuk jangka pendek saja. Semua itu akan mengalami transformasi yang nyata. Contoh : masyarakat di daerah pedesaan yang tidak memiliki pekerjaan menyebabkan kerusakan lingkungan yaitu menebang kayu untuk di jual kubikan. Pembangunan Global Masalah lingkungan timbul akibat adanya dominasi dari dunia minoritas yang mempromosikan pengembangan ekonomi melalui pengembangan industri, alih fungsi lahan dan eksploitasi sumber daya alam. Pembangunan yang dilaksanakan dirasa kurang tepat guna bagi masyarakat karena tidak memperhatikan kelestarian lingkungan secara global. Akibatnya dunia mayoritas ikut merasakan efek dari dunia minoritas yaitu kerusakan lingkungan hidup. Perbedaan yang besar antara dunia minoritas (negara yang sudah berkembang) dan dunia mayoritas (negara yang kurang berkembang) menimbulkan ketidakcukupan orde kapitalis untuk membawa kesetaraan pada tingkat global. Perubahan pada keberlanjutan ekologis di dunia mayoritas membutuhkan perubahan mendasar di dunia minoritas. Contoh : perkembangan industry yang pesat di negara maju seperti jepang yang tidak memperhatikan aspek lingkungan menimbulkan efek bagi masyarakat global yaitu dengan terjadinya global warming. Eko-Filosofi Menggunakan pandangan antroposentris. Pandangan ini berisi manusia dapat dan harus mendominasi dan menempatkan kepentingan lain di bawah kepentingan manusia. Sehingga tindakan manusia dievaluasi berdasarkan dampaknya terhadap manusia saja bukan terhadap lingkungan atau dunia ini secara keseluruhan. Dengan pandangan yang seperti itu terlihat jelas bahwa penghancuran terhadap lingkungan sangat jelas. Perlu mengembangkan suatu kerangka filosofi alternatif sebagai suatu justifikasi untuk bertindak. Contoh : reklamasi pantai utara Jakarta yang hanya mementingkan kepentingan segelintir orang. Tidak memikirkan dampak terhadap lingkungan yaitu bisa menyebabkan banjir di daerah Jakarta. Pemikiran Paradigma Baru Dalam konteks ini, paradigma berarti pandangan-dunia yang ada di dalamnya teori, praktik, pengetahuan, ilmu pengetahuan, tindakan dan seterusnya yang dikonseptualisasikan. Banyak dari masalah yang sekarang dihadapi dunia dapat dimengerti sebagai akibat dari ketidakcukupan dari paradigma itu sendiri. Paradigma atau pandangan-dunia ini, sudah tidak diragukan lagi manfaatnya bagi manusia, sekarang telah mencapai suatu titik dimana paradigma tersebut semakin kehilangan fungsinya dan kita tidak akan mampu memecahkan masalah yang menekan
hari ini kecuali kita mengembangkan sebuah alternatif. Paradigma dominan ini menekankan rasionalitas objektif dan ilmiah, dan menilai rendah pengalaman subjektif, intuisi dan bentuk lain dari pengetahuan. Contoh : banyaknya industri elektronik mendorong bagaimana tindakan industry tersebut untuk mengontrol limbah elektronik yang dihasilkan oleh konsumen agar tidak menimbulkan masalah lingkungan. SUATU PERSPEKTIF EKOLOGIS Perspektif ekologis ini digunakan sebagai tema pe mersatu empat prinsip ekologi yaitu holisme, keberlanjutan, keanekaragaman, dan keseimbangan. Holisme memiliki konsekuensi filosofi ekosentris menghormati kehidupan dan alam. Menolak solusi linier perubahan organik. Keberlanjutan memiliki konsekuensi keonservasi mengurangi konsumsi, ekonomi tanpa pertumbuhan, membatasi perkembangan teknologi, antikapitalis. Keanekaragaman menghargai perbedaan, tidak ada jawaban tunggal, desentralisasi, komunikasi jejaring dan lateral, teknologi tingkat rendah. Keseimbangan antara global/lokal/Yin/Yang/Gender hak/tanggung jawab/perdamaian dan koperasi. Inti dari pembahasan ini adalah dalam pengembangan masyarakat harus menghormati kehidupan alam sekitarnya. Holisme Prinsip holisme mensyaratkan bahwa setiap kejadian atau fenomen a harus dilihat sebagai bagian dari suatu keseluruhan, dan bahwa hal itu hanya dapat dimengerti secara benar dengan mengacu kepada setiap sebagian lain dari sistem yang lebih besar. Holisme atau perubahan jika di inginkan untuk berhasil, harus bergerak maju secara berhati-hati dalam langkah-langkah kecil tetapi pada medan yang lebar. Perspektif holistis juga mensyaratkan dibuatnya kaitan-kaitan yang terpadu antara fenomena-fenomena yang memiliki cirri-ciri yang telah dianggap berbeda, seperti pengetahuan dan aksi, teori dan praktik serta fakta dan nilai. Contoh : masalah reklamasi pantai utara Jakarta tidak dikaji dari keseluruhan aspek hanya dikaji dari segi manfaatnya bagi manusia saja. Tidak dikaji dari seluruh aspek baik itu manfaat atau akibat. Keberlanjuatan Prinsip keberlanjutan berbeda berarti bahwa sistem-sistem harus mampu dipertahankan d alam jangka panjang, bahwa sumber daya seharusnya digunakan han ya yang dapat diperbarui saja dan yang sumber daya yang tidak berkelanjutan atau tidak dapat diperbarui agar diminumkan penggunaanya. Prinsip ini menekankan bahwa setiap aspek dalam kehidupan harus memilliki prinsip keberlanjutan atau continuiti. Contoh : masyarakat Indonesia beralih dari kompor minyak tanah menjadi kompor yang menggunakan gas. Keanekaragaman Prinsip keanekaragaman adalah satu lagi aspek mendasar dari perspektif ekologis. Di alam, beraneka ragam organisme dan sistem berkembang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pada keadaan-keadaan tertentu. Melalui keanekaragaman sistem alam alam mampu berkembang, beradaptasi dan tumbuh. Dengan keanekaragaman, suatu gangguan yang terjadi pada sebuah sistem atau organisme tidak mesti membawa kehancuran pada keseluruhannya. Contoh : masyarakat di daerah karangkembang tidak terus menanami sawah dengan padi tetapi berganti dengan tanaman lain agar unsure yang ada dalam tanah tidak rusak. Keseimbangan
Keseimbangan (equilibrium) menekankan pentingnya hubungan antara sistem-sistem dan kebutuhan menjaga suatu keseimbangan di antara sistem-sistem tersebut. Hal ini terjadi melalui keseimbangan yang dinamis, di mana perubahan-perubahan secara alamiah dipantau dan alterasialterasi dibuat dan keseimbangan terpelihara. Oleh karena itu salah satu masalah yang dialami saat ini adalah keadaan di mana keseimbangan tidak terpelihara. Contoh : dalam hal gender yang dominasi dan eksploitasi perempuan oleh laki-laki telah mengakibatkan ketidakseimbangan, penindasan dan penyangkalan nilai perempuan beserta kesadaran mereka. http://megadisaster.blogs.uny.ac.id/2017/03/22/resume-buku-community-development-karya jim-ife-dan-frank-tesoriero/
Gagasan utama buku ini adalah mengenai pendekatan pembangunan berbasis masyarakat yang berlandaskan pada perspektif ekologis dan hak asasi manusia (HAM), sebagai alternatif jalan keluar dari krisis ekologis dan keadilan sosial/HAM yang terjadi di semua belahan dunia. Kebutuhan akan altenatif tersebut dinilai justru semakin terasa signifikansinya di era globalisasi ini. Dalam membangun argumentasinya, buku ini berangkat dari kritik terhadap dua isu di tataran makro, yaitu: krisis negara kesejahteraan, dan pendekatan pembangunan yang menimbulkan kerusakan ekologis dan melanggar HAM. Namun, --menurut amatan saya-- kedua penulis juga sekaligus mengkritisi dua isu penting lainnya, yaitu di tataran meso adanya ‘kesalahan’ dalam memaknai dan melakukan upaya community development atau pengembangan masyarakat (baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta/perusahaan, NGO, maupun oleh masyarakat sendiri), serta di tataran mikro yaitu kelemahan terkait dengan values, orientasi, dan kompetensi/keterampilan pada diri pekerja masyarakat yang terlibat dalam upaya tersebut. Buku ini secara komprehensif dan ‘provokatif’ mengajak untuk melakukan pemaknaan ulang atas gagasan pengembangan masyarakat, sebagai jalan ‘mendekonstruksi’ dan membumikan gagasan tersebut, untuk memberdayakan masyarakat (dan manusia) pada akhirnya. Krisis Negara Kesejahteraan dan Krisis Ekologis
Ife dan Tesoriero tampaknya bersepakat dengan sejumlah penulis lain yang menilai bahwa krisis sumberdaya/fiskal di negara kesejahteraan ala Barat telah menimbulkan perlambatan ekonomi yang makin membebani pemerintah di negara-negara tersebut. Akibatnya, terjadi pengurangan jenis, jumlah dan mutu layanan publik. Atas dasar itu negara kesejahteraan dianggap sudah tidak sanggup lagi memenuhi janji mereka akan kesejahteraan rakyatnya (Hal. 5-6). Dalam bahasa yang lebih lugas, tesis negara kesejahteraan dapat dikatakan telah gagal karena asumsiasumsinya tidak mendukung pada prospek keberlanjutan gagasan itu sendiri (Hal. 20). Selain itu, negara kesejahteraan juga dinilai telah memberi dampak negatif bagi masyarakat, diantaranya adalah memandulkan modal sosial yang ada di masyarakat, dan menumbuhkan ‘ketergantungan pada orang asing’ , karena hampir semua kebutuhan masyarakat diurus oleh negara melalui beragam tenaga professional sebagai perpanjangan tangan Negara (Hal. 35-40). Mengutip Dobson (1995), pendekatan berbasis masyarakat kepada layanan-layanan kemanusiaan adalah konsisten dengan gagasan dari suatu sistem ‘negara pasca-kesejahteraan’ (Hal. 26). Setelah institusi keluarga, institusi agama, pasar dan negara dianggap kurang berhasil memenuhi layanan
masyarakat, Ife dan Tesoriero menganggap sekaranglah giliran ‘komunitas’ memikul tanggung jawab utama untuk menyampaikan provisi layanan dalam bidang seperti kesehatan, pendidikan, perumahan dan kesejahteraan” (Hal. 25-26). Selanjutnya, Ife dan Tesoriero mengikuti kelompok pemikiran the Green dalam melihat masalahmasalah lingkungan hidup. Berbeda dengan kalangan pecinta lingkungan hidup tradisonal yang mengedepankan pendekatan konservatif yang lebih konvensional, Green menggunakan pendekatan yang mendasar dan radikal, yaitu perspektif ekologis, yang melihat masalah lingkungan hanyalah merupakan gejala dari masalah mendasar yang lebih penting, yaitu sebagai konsekuensi dari suatu orde sosial, ekonomi dan politik yang secara mencolok tidak berkelanjutan, dan karenanya orde tersebut harus diubah (Hal. 55-56). Pandangan Green ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran kaum eko-sosialisme, eko-anarkhisme, eko-feminisme, ekoluddisme, anti pertumbuhan, ekonomi Green, kerja dan pasar tenaga kerja, pembangunan global, eko-filosofi, dan pemikiran paradigma baru (Hal. 56-86). Dari pengaruh lingkaran pemikiran tersebut, saya melihat kecenderungan Green untuk menggunakan paradigma konflik dalam menganalisis masalah sosial yang ada, juga dari banyak rujukannya yang menggunakan argumentasi dari penulis teori sosial kritikal, seperti Paulo Freire dan Ivan Illich, serta para pemikir dari tradisi Marxis lainnya. Gagasan inti dari perspektif ekologis tadi tergambar dari empat prinsip ekologis yang mereka tawarkan, yaitu: (a) Holisme, yang memaknai bahwa setiap kejadian atau fenomena harus dilihat sebagai bagian dari keseluruhan, dimana ada interdependensi, integrasi dan sintesis. Sehingga, harus dibuat kaitan yang terpadu antara pengetahuan dan aksi, teori dan praktek, serta fakta dan nilai. Prinsip ini melahirkan filosofi ekosentris yang menghormati kehidupan alam, menolak solusi linier, dan menginginkan perubahan organik (Hal. 91-92); (b) Keberlanjutan, berarti sistem-sistem dan sumber daya harus mampu dipertahankan dan dimanfaatkan dalam jangka panjang, yang diwujudkan pada orientasi konservasi, mengurangi konsumsi, mengembangkan ekonomi tanpa pertumbuhan, membatasi perkembangan teknologi, dan anti kapitalisme (Hal. 9395); (c) Keanekaragaman, yang dengannya berbagai sistem alam diyakini mampu berkembang, beradaptasi dan tumbuh. Konsekuensinya adalah pentingnya penghargaan atas perbedaan, tidak ada jawaban tunggal untuk semua masalah, desentralisasi, komunikasi jejaring dan lateral, dan teknologi tingkat rendah (Hal. 95-98); dan (d) Kesimbangan, yang menekankan pentingnya hubungan antara sistem-sistem dan kebutuhan untuk menjaga suatu keseimbangan diantara sistem tersebut, yaitu keterhubungan dan perpaduan global-lokal, hak-tanggungjawab, gender, perdamaian dan kooperasi (Hal. 98-100). Dari keempat prinsip tersebut, saya cenderung melihat Green menggunakan paradigma strukturalis fungsional dalam menganalisis masalah ‘internal’ ekologis sebagai sebuah sistem. Namun tampak jelas mereka berupaya keras membedakannya dengan apa yang diusung oleh teori-teori modernisasi (yang juga lahir dari paradigma strukturalis fungsional), yang meyakini adanya perubahan linier, top-down dan seragam serta berambisi mengejar pertumbuhan ekonomi (yang dalam perspektif Green telah dianggap gagal karena tidak berkelanjutan). Turunan dari prinsip-prinsip di atas adalah bahwa pembangunan harus merupakan perubahan dari bawah (bottom-up), yang didasarkan pada pemanfaatan potensi dan sumberdaya lokal, menghargai keanekaragaman lokal-lokal tersebut, dan memberi peluang tiap-tiap lokal untuk tumbuh sesuai kebutuhannya (Hal. 282). Dalam hal ini, model pengembangan masyarakat menjadi solusi
alternatif yang sangat logis dan ‘nyambung ’ dengan perspektif ekologis tadi. Meskipun demikian, hal tersebut masih dipandang belum cukup, karena perspektif ekologis dipandang tidak cukup mampu memberi perhatian dan mengatasi masalah yang terkait dengan pemenuhan keadilan dan hak-hak dasar manusia (Hal. 100-101). Saling melengkapi dengan perspektif ekologis tadi adalah perspektif keadilan sosial dan HAM. Berkaitan dengan isu HAM, pengembangan masyarakat lebih condong pada kombinasi antara perspektif struktural dan post-struktural, dibandingkan pada perspektif individual maupun reformis kelembagaan (Hal. 114-115). Karenanya, ketidakadilan dilihat lebih sebagai akibat dari adanya struktur yang merugikan/opresi terhadap kelas, ras, gender, distribusi pendapatan, kekuasaan, dsb., dibandingkan karena kesalahan individu atau ketidakberfungsian lembaga. Ketidakadilan juga dilihat sebagai akibat dari modernitas, dominasi dan kekerasan melalui bahasa, wacana, pengetahuan, dsb. Upaya mewujudkan keadilan --sebagai lawan dari ketidakdilan tadi--, akan berkaitan erat dengan hak-hak, yang dalam hal ini HAM merupakan hak yang dianggap paling dasar dan bersifat universal (Hal. 116, 118, dan 121). Ife dan Tesoriero berpandangan bahwa HAM merupakan komponen vital dalam pengembangan masyarakat, dimana proses pengembangan masyarakat tersebut seharusnya juga berarti penegasan HAM, memungkinkan orang mewujudkan dan melaksanakan HAM mereka, dan terlindung dari pelanggaran HAM (Hal. 122). Mewujudkan HAM sebagai kerangka bagi pengembangan masyarakat berarti mengupayakan terbangunnya suatu kebudayaan HAM yang kuat, yang sangat mungkin membutuhkan upaya dan waktu yang tidak sedikit (Hal. 125-126). Dalam hal ini, gagasan pemberdayaan (empowerment ) merupakan gagasan sentral dalam strategi keadilan sosial dan HAM. Ife dan Tesoriero memaknai pemberdayaan sebagai upaya meningkatkan keberdayaan dari mereka yang dirugikan (the disadvantaged ) akibat kelas, gender dan ras/etnisitas, maupun kelompok dirugikan lainnya seperti perempuan, masyarakat adat/pribumi, kelompok etnis minoritas, kaum miskin, dll. Model Pengembangan Masyarakat yang Berperspektif Ekologis, Keadilan Sosial dan HAM
Pengembangan masyarakat bukanlah gagasan baru. Dalam hal ini, Ife dan Tesoriero -menggunakan kerangka analisis di atas-- menilai upaya pengembangan masyarakat yang selama ini banyak dilakukan oleh berbagai kalangan telah gagal dan justru menyebabkan berkembangnya sikap pesimis dan skeptis terhadap kelayakan gagasan tersebut. Sebabnya jelas, yaitu karena menempatkan pengembangan masyarakat dalam skema proyek dan mengandalkan tenaga professional eksternal yang tidak sejalan dengan semangat dasar dari pengembangan masyarakat itu sendiri. Dalam buku ini, dengan lugas Ife dan Tesoriero mengkritik keras model pengembangan masyarakat berformat program/proyek tersebut: “Terdapat banyak proyek atau lembaga konsultansi yang berjalan hanya untuk beberapa bulan, biasanya dengan seorang pekerja eksternal, dan hal tersebut secara naïf diharapkan untuk membuat sebuah perbedaan besar pada kehidupan suatu masyarakat. Proyek-proyek seperti ini seringkali sia-sia dan tidak berhasil, dan menyebabkan laporan-laporannya tidak berguna dan berbagai struktur masyarakat yang gagal. Akibatnya, proyek-proyek ini memberikan reputasi buruk pada pengembangan masyarakat” . (Ife dan Tesoriero, 2008:671)
Mengkaitkan antara berbagai perspektif tadi dengan komunitas, Ife dan Tesoriero menyatakan bahwa perspektif keadilan sosial dan HAM sesungguhnya menyediakan suatu visi dari apa yang secara sosial diinginkan yaitu sebuah masyarakat yang didasarkan atas definisi dan penjaminan hak-hak, kesetaraan, pemberdayaan, yang mengalahkan opresi struktural dan keadaan yang merugikan, kebebasan menentukan kebutuhan dan terpenuhinya kebutuhan tersebut, dan seterusnya (Hal. 190). Sementara, perspektif ekologis meyediakan visi dari apa yang layak, dan menguraikan jenis masyarakat yang dapat hidup dalam jangka panjang, yaitu masyarakat yang didasarkan atas prinsip-prinsip holism, keberlanjutan, keanekaragaman dan keseimbangan (Hal. 190). Konsekuensi alamiah dari premis-premis kedua perspektif tadi adalah menempatkan komunitas sebagai basis pengembangan masyarakat (Hal. 190). Jenis komunitas yang dipandang lebih cocok untuk pendekatan pengembangan masyarakat adalah komunitas geografis (Hal. 196). Penilaian tersebut berdasarkan ciri-ciri komunitas yang diajukan Ife dan Tesoriero, yaitu: (a) Komunitas melibatkan interaksi pada skala yang mudah dikendalikan individu-individu; (b) Didalamnya ada sebentuk rasa ‘memiliki’, diterima dan dihargai yang membentuk rasa identitas pada seseorang; (c) Ada tuntutan kewajiban dan kontribusi pada anggotanya; (d) Sebagai Gemeinschaft , interaksi tidak bersifat kontraktual dan dapat saling berkontribusi bagi kepentingan bersama; (e) Memungkinkan pemberian nilai, produksi dan ekspresi dari suatu kebudayaan lokal berbasis masyarakat yang mendorong adanya keanekaragaman dan partisipasi yang lebih luas (Hal. 191-194). Berangkat dari analisis maupun prinsip-prinsip yang telah diuraikan di atas, Ife dan Tesoriero mendefinisikan pengembangan masyarakat sebagai proses pembentukan, atau pembentukan kembali, struktur-struktur masyarakat manusia yang memungkinkan berbagai cara baru dalam mengaitkan dan mengorganisasi kehidupan sosial serta pemenuhan kebutuhan manusia (Hal. 3). Pengembangan masyarakat harus bersifat holistik --tidak hanya berdimensi tunggal, seperti hanya menekankan dimensi ekonomi yang terbukti gagal--, dimana terdapat 6 dimensi paling penting yang harus dilaksanakan secara seimbang, yaitu: dimensi pengembangan sosial, ekonomi, politik, budaya, lingkungan, personal/spiritual (Hal. 410-482). Selain itu, penekanan pengembangan masyarakat diarahkan lebih pada proses dan bukan hasil. Pendekatan ini memerlukan reorientasi khususnya bagi pekerja masyarakat yang umumnya terbiasa mengukurnya dari hasil (Hal. 335). Pengembangan masyarakat adalah perjalanan discovery (penjelajahan), dimana ketika terjadi atau menemui hal-hal yang tidak diharapkan, maka itu adalah peluang baru untuk belajar dan berkembang (Hal. 336). Seorang pekerja masyarakat yang sejak awal sudah mematok hasil yang jelas dari upayanya itu justru merupakan pekerja yang tidak memberdayakan masyarakat (disempowering community) karena justru akan menjauhkan masyarakat dari kontrol atas proses dan penentuan arah pengembangannya (Hal. 337). Dalam hal ini, sarana dan tujuan pengembangan masyarakat dipandang sebagai bukan sebagai dua hal yang terpisah. Sekedar mencapai tujuan pelestarian ekologis, keadilan sosial dan HAM tidak berarti apapun, dan hanya akan berarti jika proses itu sendiri mencerminkan prinsip prinsip dasar pengembangan masyarakat (Hal. 341). Ifo dan Tesoriero juga menegaskan, bahwa proses pengembangan masyarakat tidak dapat dipaksakan dari luar, sebagaimana yang umum terjadi selama ini. Keterlibatan masyarakat hanya
dapat dicapai dari partisipasi penuh mereka. Proses pengembangan masyarakat harus menjadi proses masyarakat yang dimiliki, dikuasai, dan dilangsungkan oleh masyarakat sendiri (Hal. 342). Mengutip Putnam (1993), bahwa semua pengembangan masyarakat seharusnya bertujuan membangun masyarakat, yang didalamnya melibatkan pengembangan modal sosial, memperkuat interaksi sosial dalam masyarakat, menyatukan mereka, dan membantu mereka untuk saling berkomunikasi dengan cara yang dapat mengarah pada dialog yang sejati, pem ahaman dan aksi sosial (Hal. 363). Sehingga, dalam kegiatan penelitian di masyarakat misalnya, model penelitian yang cocok dengan prinsip dan praktik pengembangan masyarakat adalah participatory action research (PAR), karena dianggap dapat menggabungkan penelitian tindakan dan kolaborasi (Hal. 607). Terkait dengan tujuan pengembangan masyarakat tadi, partisipasi dipandang sebagai unsur sentral dan vital dalam pengembangan masyarakat yang ‘bottom up’. Partisipasi memungkinkan individu-individu memainkan peran kewarganegaraan dan bagi mereka terlibat secara kolektif dalam proses-proses kewarganegaraan sosial (Hal. 123, 139). Partisipasi terkait dengan HAM, karena mengaktifkan ide HAM, hak berpartisipasi dalam demokrasi dan memperkuat demokrasi deliberatif. Seperti halnya pengembangan masyarakat, demokrasi deliberatif menghargai kepakaran masyarakat, dan berupaya mencari peran bagi masyarakat dalam mendefinisikan parameter-parameter permasalahan, dan tidak menempatkan pemerintah sebagai pakar yang memiliki pengetahuan dan kebijakan yang superior (Hal. 294-295). Pada akhirnya, menurut kedua penulis, sukses tidaknya upaya pengembangan masyarakat sampai tingkat tertentu sangat dipengaruhi oleh peran dan kemampuan aktor penggerak yaitu pekerja masyarakat yang terlibat aktif bersama masyarakat dalam upaya tersebut. Keduanya berpandangan bahwa model profesionalisme pada pekerja masyarakat tidak cocok dengan aktivitas kerja masyarakat. Bahkan, pendekatan profesionalisme bertentangan dengan pengembangan masyarakat (Hal. 656, 658). Mengutip Ivan Illich, profesi-profesi cenderung untuk memistifikasi, mengasingkan dan tidak memberdayakan para pengguna layanan (Hal. 657). Sederhananya, profesionalisme dapat menjebak pekerja masyarakat memainkan peran ‘dokter dan pasien’ ketika berhubungan dengan masyarakat. Konsekuensi logis dari penolakan terhadap model professional spesifik bagi praktek kerja masyarakat adalah bahwa ide dari kualifikasi pendidikan khusus kerja masyarakat juga harus ditolak (Hal. 660). Menurut Ife dan Tesoriero, sesungguhnya ada banyak pengalaman pendidikan yang berbeda yang dapat membantu untuk mempersiapkan seorang pekerja masyarakat untuk praktik (Hal. 660). Mengikuti pemikiran Freire, proses belajar terbesar sesungguhnya justru melalui pertukaran pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan bersama masyarakat. Ife dan Tesoriero mengungkap paradox yang fundamental pada diri pekerja masyarakat, yaitu “semakin lebih terampil, berpengalaman dan efektif seorang pekerja masyarakat, maka semakin masyarakat tidak d iberdayakan dalam proses pemberdayaan tersebut”. Hal ini terkait dengan dilema mengenai bagaimana berperan serta dalam sebuah proses pengembangan dan peningkatan kesadaran tanpa memaksakan nilai seseorang pada suatu masyarakat (Hal. 663-664). Kekuasaan ( power ) dan dominasi menjadi isu dalam hal ini. Pengembangan masyarakat bukanlah sesuatu yang bisa dicapai dengan cepat. Mustahil melaksanakan kerja masyarakat dalam waktu singkat. Setidakya ada dua isu disini, yaitu lamanya waktu komitmen dari pekerja masyarakat (khususnya
pekerja masyarakat eksternal), dan terbatasnya orang atau organisasi yang mau membiayai atau mengelola berbagai program pengembangan masyarakat dalam jangka panjang (Hal. 669-671) Setelah menganalisis sejumlah kelemahan atau keterbatasan yang ada pada pekerja masyarakat, Ife dan Tesoriero juga mengajukan karakteristik yang ‘harus’ ada pada pekerja masyarakat. Menurut mereka, para pekerja masyarakat dituntut untuk memiliki kompetensi praxis pengembangan masyarakat, yang dimaknai sebagai adanya kesatuan antara proses refleksi kritis, analisis dan tindakan yang dilakukan secara bersamaan (Hal. 554). Keterampilan yang penting ‘dimiliki’ pekerja masyarakat, yaitu: analisis, kesadaran, pengalaman, belajar dari orang lain, dan intuisi (Hal. 618-626). Selain itu, peran dan keterampilan memfasilitasi, mendidik, representasi, dan keterampilan teknis lain juga sangat diperlukan. Termasuk kemampuan mengatasi dilema moral dan mengembangkan jaringan pendukung dari berbagai pihak (Hal. 558-614, 673-674). Penutup
Buku ini secara komprehensif telah menguraikan landasan pemikiran mengenai urgensi dari pengembangan masyarakat ditengah krisis global saat ini. Gagasan alternatif yang ditawarkan buku ini tidak hanya radikal dalam hal bagaimana model perubahan sosial dan pembangunan dijalankan, tapi juga bagaimana model pengembangan masyarakat yang selama ini dikembangkan harus dirombak total mulai dari prinsip, pendekatan, model sampai dengan sikap dan keterampilan macam apa yang dibutuhkan untuk melaksanakan itu semua. Menurut saya, jika harus diberi label baru --untuk membedakan dengan pendekatan lama--, pendekatan dalam buku ini mungkin dapat disebut sebagai perspektif ‘baru’ pengembangan masyarakat atau ‘neocommunity development’ . Gagasan kedua penulis mungkin juga dapat dikaitkan dengan semangat perlawanan terhadap budaya dominan (counterculture) dan pembongkaran atas narasinarasi besar yang diusung oleh modernisme ( postmodernism) yang muncul dan berkembang di masyarakat Barat dalam beberapa dekade terakhir. Gagasan buku ini dapat dianggap sebagai hipotesis ‘baru’ yang mungkin saja punya peluang untuk dapat diwujudkan menjadi kenyataan, dalam arti gagasan mereka dapat menginspirasi dan diadopsi oleh banyak komunitas dan/atau lembaga kemasyarakatan tertentu untuk melakukan pengembangan masyarakat sesuai atau setidaknya mendekati apa yang dicita-citakan kedua penulis tersebut. Namun ada sejumlah isu yang dalam pandangan saya menjadi titik kritis yang perlu dicermati. Salah satunya, kedua penulis kurang membahas dan tidak menyatakan dengan tegas tentang apa dan bagaimana peran negara (pemerintah) dalam pendekatan ‘neo-community development’ ini. Pengembangan masyarakat dapat menjadi alternatif solusi atas masalahmasalah sosial yang ada di masyarakat, seperti masalah kemiskinan, pengangguran, penanganan masalah narkoba, dll. Namun kemampuan komunitas untuk menangani masalah sosial, ekonomi dan politik yang lebih besar harus juga dipertanyakan. Padahal, dalam beberapa hal, pendekatan top-down yang hanya dapat dilakukan oleh institusi setingkat negara mungkin juga masih diperlukan. Kurangnya penjelasan dalam buku ini mungkin sepintas membuat gagasan kedua penulis tersebut menjadi mirip dengan gagasan komunalisme yang menganggap masyarakat terdiri dari bagian-bagian kecil, dimana negara hanyalah sekedar kumpulan dari komunalkomunal tersebut, atau anarkhisme yang memandang negara sebagai institusi yang tidak diinginkan, tidak diperlukan dan merusak.
Selain itu, gagasan Ife dan Tesoriero mungkin justru sulit diterima secara massif di negaranegara berkembang. Kedua penulis hidup di negara ‘Barat’ (mereka berasal dari Australia), yang sangat mungkin telah mengalami dan menyaksikan sendiri bagaimana gagasan negara kesejahteraan itu muncul, tumbuh dan belakangan ini mulai tampak meredup. Sehingga ketika konsep tersebut mulai berkurang daya tariknya, gagasan-gagasan alternatif menjadi logis untuk dimunculkan. Namun, bagaimana dengan negara-negara yang bukan ‘penganut’ negara kesejahteraan? Dalam konteks negara yang ‘sedang berkembang’ macam Indonesia, dimana masalah-masalah sosial seperti tingginya kemiskinan, pengangguran, eksklusi sosial dan rendahnya akses dan kualitas pemenuhan kebutuhan dasar masih dialami oleh sejumlah besar warga negara, gagasan negara kesejahteraan cenderung masih dianggap sebagai ‘model ideal’ sebuah negara yang peduli dan aktif melayani kebutuhan warga negaranya. Indikasinya, sejauh yang saya ketahui, dapat dijumpai di banyak analisis dan pendapat para ahli di berbagai media ilmiah maupun populer, atau bahkan di ruang-ruang kuliah ketika para dosen dengan bersemangat membandingkan antara pelayanan sosial yang ada Indonesia dengan negara yang menjalankan model negara kesejahteraan. Artinya, dalam kondisi demikian sangat mungkin kalangan intelektual akademis di Indonesia tidak akan menyambut gagasan Ife dan Tesoriero dengan antusiasme yang memadai. Hal lain yang juga mungkin akan menyulitkan gagasan ini dapat dilaksanakan secara penuh adalah tingginya standar kompetensi yang diharapkan ada pada diri pekerja masyarakat. Tidaklah mudah untuk menjadi atau dapat menemukan orang-orang semacam ‘nabi komunitas’ yang memiliki kemauan, kekuatan moral, kepribadian, pemahaman ilmu-ilmu sosial, kepemimpinan, kemampuan manajerial, keterampilan dan dukungan sumber daya seperti yang diharapkan oleh buku tersebut. Sementara peran pekerja masyarakat (baik yang muncul dari dalam maupun dari luar komunitas) tampaknya memegang peran strategis, maka keterbatasan jumlah dan sebaran pekerja masyarakat tentunya akan mengurangi peluang keberhasilan upaya pengembangan masyarakat tadi secara luas, mengingat proses pengembangan masyarakat membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Meskipun demikian, menurut saya, buku ini memberikan kontribusi yang sangat penting dalam membangun visi tentang bagaimana masyarakat mampu memberdayakan dirinya sendiri tanpa tergantung pada bantuan dari aktor eksternal. Gagasan dalam buku ini juga dapat menjadi bahan refleksi seluruh pihak tentang bagaimana struktur, proses dan kultur masyarakat yang berkelanjutan dan berkeadilan sosial. Gagasan mengenai pengembangan masyarakat dan pekerja masyarakat yang ‘ideal’ tidak harus dipandang sebagai sesuatu yang utopis semata. Jika model ‘ideal’ tadi dapat dijadikan sebagai indikator -indikator dalam mengukur ‘keberhasilan’ (dalam arti proses dan capaian) dari upaya pengembangan masyarakat dan kompetensi serta kinerja para pekerja masyarakat, maka tiap-tiap komunitas dan pekerja masyarakat dapat mengukur sendiri berada di level manakah mereka ada saat ini, dan hal-hal apa saja yang masih perlu diperbaiki lagi.
http://haicandra.blogspot.co.id/2014/03/comdev-mimpi-yang-belum-mati.html