REFRESHING PERDARAHAN PADA KEHAMILAN
Disusun oleh : Umi Dyah Retnasih 2013730115/ 29.08 1175 2013
Pembimbing : dr. H. Sukardi, Sp.OG
KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRI DAN GINEKOLOGI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIANJUR PROGRAM STUDI KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA 2017
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr Wb. Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan refreshing ini. Penulisan dan pembuatan refreshing yang berjudul “Perdarahan pada Kehamilan” ini merupakan bagian dari tugas pendidikan Kepaniteraan Klinik pada Bagian Obstetri dan Ginekologi di RSUD Sayang Cianjur. Saya ingin mengucapkan terimakasih kepada dr. H. Sukardi, Sp.OG selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dan nasehat sehingga penulisan Refreshing ini dapat terselesaikan dengan baik. Saya juga ingin menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan referat ini. Saya menyadari bahwa refreshing ini memiliki banyak kekurangan, untuk itu saya mengaharapkan kritik dan saran agar dapat lebih baik lagi dalam penulisan refreshing selanjutnya. Semoga refreshing ini dapat bermanfaat bagi kita semua sebagai tambahan informasi mengenai perdarahan yang masih menjadi salah satu masalah kesehatan di bidang obstetri dan ginekologi. Wassalamualaikum Wr Wb.
Cianjur, Oktober 2017
Penulis
BAB I PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Penyebab utama kematian maternal adalah disebabkan oleh 3 hal, yaitu pendarahan dalam kehamilan, pre-eklamspsia atau eklampsia, dan infeksi. Pendarahan selama kehamilan dapat dianggap sebagai keadaan akut yang dapat membahayakan ibu dan anak, dan sampai dapat
menimbulkan
kematian.
Sebanyak
20%
wanita
hamil
pendarahan pada awal kehamilan dan sebagian mengalami abortus.
pernah
mengalami
1
Abortus merupakan berakhirnya kehamilan sebelum anak dapat hidup di dunia luar tanpa mempersoalkan penyebabnya. Anak baru hidup di dunia luar kalau beratnya telah mencapai lebih dari 500 gram atau umur kehamilan lebih dari 20 minggu. Abotus dibagi kedalam abortus spontan, yaitu abortus yang terjadi dengan sendirinya, kurang lebih 20% dari semua abortus, sedangkan abortus buatan (provocatus), yaitu abortus yang terjadi disengaja, 1,2
digugurkan, dan 80% dari semua abortus adalah abortus provocatus.
Sebagian besar studi mengatakan kasus abortus spontan antara 15-20 % dari semua kehamilan. Jika dikaji lebih jauh kejadian abortus sebenarnya bisa mendekati 50%. Kejadian abortus habitualis sekitar 3-5%. Data dari beberapa studi menunjukkan bahwa setelah satu kali abortus spontan, pasangan punya risiko 15 % untuk mengalami keguguran lagi, sedangkan bila pernah 2 kali, risikonya meningkat 25 %. Beberapa studi meramalkan bahwa risiko abortus setelah 3 kali abortus berurutan adalah sekita 30-45 %.
1,2
Kejadian abortus di Indonesia setiap tahun terjadi 2 juta kasus. Ini artinya terdapat 43 kasus abortus per 100 kelahiran hidup. Menurut sensus penduduk tahun 2000, terdapat 53.783.717 perempuan usia 15 – 49 tahun, dan dari jumlah tersebut terdapat 23 kasus abortus 1 per 100 kelahiran hidup. Penyebab abortus sendiri multifaktorial dan masih diperdebatkan, umumnya terdapat lebih dari satu penyebab. Penyebabnya seperti Faktor genetik, kelainan kongenital uterus, autoimun, infeksi, defek luteal.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Perdarahan pada hamil muda 2.1.1 Abortus II.1.
Definisi
Abortus adalah kehamilan yang berhenti prosesnya pada umur kehamilan di bawah 20 minggu, atau berat fetus yang lahir 500 gram atau kurang. Sedangkan Llewollyn & Jones (2002) mendefenisikan abortus adalah keluarnya janin sebelum mencapai viabilitas, dimana masa gestasi belum mencapai 22 minggu dan beratnya 3
kurang dari 500 gram. WHO merekomendasikan viabilitas apabila masa gestasi telah mencapai 22 minggu atau lebih dan berat janin 500 gram atau lebih. II.2.
Klasifikasi
Klasifikasi menurut terjadinya abortus adalah sebagai berikut : 1.
1
1,2
Abortus spontan adalah keluarnya hasil konsepsi tanpa intervensi medis
maupun mekanis. 2.
Abortus buatan, Abortus provocatus(disengaja, digugurkan), yaitu:
a. Abortus buatan menurut kaidah ilmu ( Abortus provocatus artificialis atau abortus therapeuticus). Indikasi abortus untuk kepentingan ibu, misalnya : penyakit jantung, hipertensi esential, dan karsinoma serviks. Keputusan ini ditentukan oleh tim ahli yang terdiri dari dokter ahli kebidanan, penyakit dalam dan psikiatri, atau psikolog. b. Abortus buatan kriminal ( Abortus provocatus criminalis) adalah pengguguran kehamilan tanpa alasan medis yang sah atau oleh orang yang tidak berwenang dan dilarang oleh hukum. Klasifikasi Menurut gambaran klinis abortus dapat dibedakan kepada: 1. Abortus imminens yaitu abortus tingkat permulaan (threatened abortion) dimana terjadi perdarahan pervaginam, Abortus iminens didiagnosa bila seseorang wanita hamil kurang daripada 20 minggu mengeluarkan darah sedikit pada vagina. Perdarahan dapat berlanjut beberapa hari atau dapat berulang, dapat pula disertai sedikit nyeri perut bawah atau nyeri punggung
bawah seperti saat menstruasi. ostium uteri masih tertutup dan hasil konsepsi 5
masih baik dalam kandungan.
Gambar 1. Abortus Imminen
2.
Abortus insipiens
(inevitable abortion)
yaitu
abortus
yang
sedang
mengancam dimana serviks telah mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi hasil konsepsi masih dalam kavum uteri. Abortus insipiens didiagnosis apabila pada wanita hamil ditemukan perdarahan banyak, kadangkadang keluar gumpalan darah yang disertai nyeri karena kontraksi rahim kuat dan ditemukan adanya dilatasi serviks sehingga jari pemeriksa dapat masuk dan ketuban dapat teraba. Kadang-kadang perdarahan dapat menyebabkan kematian bagi ibu dan jaringan yang tertinggal dapat menyebabkan infeksi sehingga evakuasi harus segera dilakukan. Janin biasanya sudah mati dan mempertahankan kehamilan pada keadaan ini merupakan kontraindikasi.
5
Gambar 2. Abortus Insipien 3. Abortus inkomplit (incomplete abortion) yaitu jika hanya sebagian hasil konsepsi yang dikeluarkan, yang tertinggal adalah desidua atau plasenta. Perdarahan biasanya terus berlangsung, banyak, dan membahayakan ibu.
Sering serviks tetap terbuka karena masih ada benda di dalam rahim yang dianggap sebagai benda asing (corpus alienum). Oleh karena itu, uterus akan berusaha mengeluarkannya dengan mengadakan kontraksi sehingga ibu merasakan nyeri, namun tidak sehebat pada abortus insipiens.
5
Gambar 3. Abortus Inkomplit 4. Abortus komplit (complete abortion) artinya seluruh hasil konsepsi telah keluar (desidua atau fetus), sehingga rongga rahim kosong. Perdarahan segera berkurang setelah isi rahim dikeluarkan dan selambat-lambatnya dalam 10 hari perdarahan berhenti sama sekali karena dalam masa ini luka rahim telah sembuh dan epitelisasi telah selesai. Serviks juga dengan segera menutup kembali. Kalau 10 hari setelah abortus masih ada perdarahan juga, abortus inkompletus atau endometritis pasca abortus harus dipikirkan
Gambar 4. Abortus Komplit
5
5.Missed abortion adalah abortus dimana fetus atau embrio telah meninggal dalam kandungan sebelum kehamilan 20 minggu, akan tetapi hasil konsepsi seluruhnya masih tertahan dalam kandungan selama 6 minggu atau lebih.
5
Gambar 5. Missed Abortion 6.Abortus habitualis (recurrent abortion) adalah keadaan terjadinya abortus tiga kali berturut-turut atau lebih. Etiologi abortus ini adalah kelainan dari ovum atau spermatozoa, dimana sekiranya terjadi pembuahan, hasilnya adalah patologis. Selain itu, disfungsi tiroid, kesalahan korpus luteum dan kesalahan plasenta yaitu tidak sanggupnya plasenta menghasilkan progesterone sesudah korpus luteum atrofis juga merupakan etiologi dari abortus habitualis.
5
7. Abortus infeksius (infectious abortion) adalah abortus yang disertai infeksi genital.
5
8. Abortus septik (septic abortion) adalah abortus yang disertai infeksi berat dengan penyebaran kuman ataupun toksinnya kedalam peredaran darah atau peritonium.
II.3.
5
1,2,3,4
Etiologi
Abortus yang terjadi pada minggu-minggu pertama kehamilan umumnya disebabkan oleh faktor ovofetal, pada minggu-minggu berikutnya (11 – 12minggu), abortus yang terjadi disebabkan oleh faktor maternal. a. Faktor ovofetal :
Pemeriksaan USG janin dan histopatologis selanjutnya menunjukkan bahwa pada 70% kasus, ovum yang telah dibuahi gagal untuk berkembang atau terjadi malformasi pada tubuh janin. Pada 40% kasus, diketahui bahwa latar belakang kejadian abortus adalah kelainan chromosomal. Pada 20% kasus, terbukti adanya
kegagalan trofoblast untuk melakukan implantasi dengan adekuat. b. Faktor maternal : Sebanyak 2% peristiwa abortus disebabkan oleh adanya penyakit sistemik maternal (systemic lupus erythematosis) dan infeksi sistemik maternal tertentu lainnya. 8% peristiwa abortus berkaitan dengan abnormalitas uterus ( kelainan uterus
kongenital, mioma uteri submukosa, inkompetensia servik ). Terdapat dugaan bahwa masalah psikologis memiliki peranan pula dengan kejadian abortus meskipun sulit untuk dibuktikan atau dilakukan penilaian lanjutan. Penyebab abortus dapat dibagi menjadi 3 faktor yaitu: 1. Faktor janin Faktor janin penyebab keguguran adalah kelainan genetik, dan ini terjadi pada 50%60% kasus keguguran. 2. Faktor ibu: a. Kelainan endokrin (hormonal) misalnya kekurangan tiroid, kencing manis. b.Faktor kekebalan (imunologi), misalnya pada penyakit lupus, Anti phospholipid syndrome. c. Infeksi, diduga akibat beberapa virus seperti cacar air, campak jerman, toksoplasma , herpes, klamidia. d.Kelemahan otot leher rahim e. Kelainan bentuk rahim. 3. Faktor Ayah: kelainan kromosom dan infeksi sperma diduga dapat menyebabkan abortus. Selain 3 faktor di atas, faktor penyebab lain dari kehamilan abortus adalah: 1.
Faktor genetik
Sekitar 5 % abortus terjadi karena faktor genetik. Paling sering ditemukannya kromosom trisomi dengan trisomi 16. Penyebab yang paling sering menimbulkan abortus
spontan adalah abnormalitas kromosom pada janin. Lebih dari 60% abortus spontan yang terjadi pada trimester pertama menunjukkan beberapa tipe abnormalitas genetik. Abnormalitas genetik yang paling sering terjadi adalah aneuploidi (abnormalitas komposisi kromosom) contohnya trisomi autosom yang menyebabkan lebih dari 50% abortus spontan. Poliploidi menyebabkan sekitar 22% dari abortus spontan yang terjadi akibat kelainan kromosom. Sekitar 3-5% pasangan yang memiliki riwayat abortus spontan yang berulang salah satu dari pasangan tersebut membawa sifat kromosom yang abnormal. Identifikasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan kariotipe dimana bahan pemeriksaan diambil dari darah tepi pasangan tersebut. Tetapi tentunya pemeriksaan ini belum berkembang di Indonesiadan biayanya cukup tinggi. 2.
Faktor anatomi
Faktor anatomi kogenital dan didapat pernah dilaporkan timbul pada 10-15 % wanita dengan abortus spontan yang rekuren. 1) Lesi anatomi kogenital yaitu kelainan duktus Mullerian (uterus bersepta). Duktus mullerian biasanya ditemukan pada keguguran trimester kedua. 2) Kelainan kogenital arteri uterina yang membahayakan aliran darah endometrium. 3) Kelainan yang didapat misalnya adhesi intrauterin (synechia), leimioma, dan endometriosis. Abnormalitas anatomi maternal yang dihubungkan dengan kejadian abortus spontan yang berulang termasuk inkompetensi serviks, kongenital dan defek uterus yang didapatkan (acquired). Malformasi kongenital termasuk fusi duktus Mulleri yang inkomplit yang dapat menyebabkan uterus unikornus, bikornus atau uterus ganda. Defek pada uterus yang acquired yang sering dihubungkan dengan kejadian abortus spontan berulang termasuk perlengketan uterus atau sinekia dan leiomioma. Adanya kelainan anatomis ini dapat diketahui dari pemeriksaan ultrasonografi (USG), histerosalfingografi (HSG), histeroskopi dan laparoskopi (prosedur diagnostik). Pemeriksaan yang dapat dianjurkan kepada pasien ini adalah pemeriksaan USG dan HSG. Dari pemeriksaan USG sekaligus juga dapat mengetahui adanya suatu mioma terutama jenis submukosa. Mioma submukosa merupakan salah satu faktor mekanik yang dapat mengganggu implantasi hasil konsepsi. Jika terbukti adanya mioma pada pasien ini maka perlu dieksplorasi lebih jauh mengenai keluhan dan harus dipastikan apakah mioma ini berhubungan langsung
dengan adanya ROB pada pasien ini. Hal ini penting karena mioma yang mengganggu mutlak dilakukan operasi. 3.
Faktor endokrin:
a. Faktor endokrin berpotensial menyebabkan aborsi pada sekitar 10-20 % kasus. b. Insufisiensi fase luteal ( fungsi corpus luteum yang abnormal dengan tidak cukupnya produksi progesteron). c. Hipotiroidisme, hipoprolaktinemia, diabetes dan sindrom polikistik ovarium merupakan faktor kontribusi pada keguguran. Kenaikan insiden abortus bisa disebabkan oleh hipertiroidismus, diabetes melitus dan defisisensi progesteron. Hipotiroidismus tampaknya tidak berkaitan dengan kenaikan insiden abortus (Sutherland dkk, 1981). Pengendalian glukosa yang tidak adekuat dapat menaikkan insiden abortus (Sutherland dan Pritchard, 1986). Defisiensi progesteron karena kurangnya sekresi hormon tersebut darikorpus luteum atau plasenta, mempunyai kaitan
dengan
kenaikan
insiden
abortus.
Karena
progesteron
berfungsi
mempertahankan desidua, defisiensi hormone tersebut secara teoritis akan mengganggu nutrisi pada hasil konsepsi dan dengan demikian turut berperan dalam peristiwa kematiannya. 4.
Faktor infeksi
Infeksi termasuk infeksi yang diakibatkan oleh TORC (Toksoplasma, Rubella,Cytomegalovirus) dan malaria. Infeksi intrauterin sering dihubungkan dengan abortus spontan berulang. Organisme-organisme yang sering diduga sebagai penyebab antara lain Chlamydia, Ureaplasma, Mycoplasma, Cytomegalovirus, Listeria monocytogenes dan Toxoplasma gondii. Infeksi aktif yang menyebabkan abortus spontan berulang masih belum dapat dibuktikan. Namun untuk lebih memastikan penyebab, dapat dilakukan pemeriksaan kultur yang bahannya diambil dari cairan pada servikal dan endometrial. 5.
Faktor imunologi
Terdapat
antibodikardiolipid
yang
mengakibatkan
pembekuan
darah
dibelakang ari-ari sehingga mengakibatkan kematian janin karena kurangnya aliran darah dari ari-ari tersebut. Faktor imunologis yang telah terbukti signifikan dapat menyebabkan abortus spontan yang berulang antara lain: antibodi antinuklear,
antikoagulan lupus dan antibodi cardiolipin. Adanya penanda ini meskipun gejala klinis
tidak
tampak
dapat
menyebabkan
abortus
spontan
yang
berulang.
Inkompatibilitas golongan darah A, B, O, dengan reaksi antigen antibodi dapat menyebabkan
abortus
berulang,
karena
pelepasan
histamin
mengakibatkan
vasodilatasi dan peningkatan fragilitas kapiler. 6.
Penyakit-penyakit kronis yang melemahkan
Pada awal kehamilan, penyakit-penyakit kronis yang melemahkan keadaan ibu, misalnya penyakit tuberkulosis atau karsinomatosis jarang menyebabkan abortus; sebaliknya pasien penyakit tersebut sering meninggal dunia tanpa melahirkan. Adanya penyakit kronis (diabetes melitus, hipertensi kronis, penyakit liver/ ginjal kronis) dapat diketahui lebih mendalam melalui anamnesa yang baik. Penting juga diketahui bagaimana perjalanan penyakitnya jika memang pernah menderita infeksi berat, seperti apakah telah diterapi dengan tepat dan adekuat. Untuk eksplorasi kausa, dapat dikerjakan beberapa pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan gula darah, tes fungsi hati dan tes fungsi ginjal untuk menilai apakah ada gangguan fungsi hepar dan ginjal atau diabetes melitus yang kemudian dapat menimbulkan gangguan pada kehamilan seperti persalinan prematur. 7.
Faktor Nutrisi
Malnutrisi umum yang sangat berat memiliki kemungkinan paling besar menjadi predisposisi abortus. Meskipun demikian, belum ditemukan bukti yang menyatakan bahwa defisisensi salah satu/ semua nutrien dalam makanan merupakan suatu penyebab abortus yang penting.
8.
Obat-obat rekreasional dan toksin lingkungan. Peranan penggunaan obat-obatan rekreasional tertentu yang dianggap
teratogenik harus dicari dari anamnesa seperti tembakau dan alkohol, yang berperan karena jika ada mungkin hal ini merupakan salah satu yang berperan. 9.
Faktor psikologis.
Dibuktikan bahwa ada hubungan antara abortus yang berulang dengan keadaan mental akan tetapi belum dapat dijelaskan sebabnya. Yang peka terhadap terjadinya abortus ialah wanita yang belum matang secara emosional dan sangat
penting dalam menyelamatkan kehamilan. Usaha-usaha dokter untuk mendapat kepercayaan pasien, dan menerangkan segala sesuatu kepadanya, sangat membantu. Pada penderita ini, penyebab yang menetap pada terjadinya abortus spontan yang berulang masih belum dapat dipastikan. Akan lebih baik bagi penderita untuk melakukan pemeriksaan lengkap dalam usaha mencari kelainan yang mungkin menyebabkan abortus yang berulang tersebut, sebelum penderita hamil guna mempersiapkan kehamilan yang berikutnya. 10.
Faktor trauma
Trauma abdominal yang berat dapat menyebabkan terjadinya abortus yang yang diakibatkan karena adanya perdarahan, gangguan sirkulasi maternoplasental, dan infeksi. Namun secara statistik, hanya sedikit insiden abortus yang disebabkan karena trauma . II.4
1
1
Patofisiologi
Mekanisme awal terjadinya abortus adalah lepasnya sebagian atauseluruh bagian embrio akibat adanya perdarahan minimal pada desidua. Kegagalan fungsi plasenta yang terjadi akibat perdarahan subdesidua tersebut menyebabkan terjadinya kontraksi uterus dan mengawali adanya 7,8
prosesabortus.
Pada kehamilan kurang dari 8 minggu : Embrio rusak atau cacat yang masih terbungkus dengan sebagian desidua dan villi chorialis cenderung dikeluarkan secara in toto, meskipun sebagian dari hasil konsepsi masih tertahan dalam cavum uteri atau di canalis servikalis. Perdarahan 6,7,8
pervaginam terjadi saat proses pengeluaran hasil konsepsi.
Pada kehamilan 8-14 minggu : Mekanisme di atas juga terjadi dan diawali dengan pecahnya selaput ketubantelebih dahulu dan diikuti dengan pengeluaran janin yang cacat namunplasenta masih 8
tertinggal dalam cavum uteri. Jenis ini sering menimbulkanperdarahan pervaginam banyak. Pada kehmilan minggu ke 14-22 :Janin biasanya sudah dikeluarkan dan diikuti dengan keluarnya plasentabeberapa saat kemudian. Kadang-kadang plasenta masih tertinggal dalamuterus sehingga menimbulkan gangguan kontraksi uterus dan terjadihan perdara pervaginam banyak. 7,8
Perdarahan pervaginam umumnya lebih sedikit namun rasa sakit lebih menonjol.
II.5
Gambaran Klinis
1. Amenore 2. Perdarahan pervaginam 3. Rasa mulas atau kram perut di daerah simfisis, sering disertai nyeri pinggang akibat kontraksi uterus 4. Pemeriksaan ginekologi a. Inspeksi vulva: perdarahan pervaginam ada atau tidak ada jaringan konsepsi, tercium atau tidak bau busuk dari vulva b. Inspekulo: perdarahan dari kavum uteri, ostium uteri terbuka atau sudah tertutup, ada atau tidak jaringan keluar dari ostium, ada atau tidak cairan atau jaringan berbau busuk dari ostium c. Vagina toucher (VT): portio masih terbuka atau sudah tertutup, teraba atau tidak jaringan dalam kavum uteri, besar uterus sesuai atau lebih kecil dari usia kehamilan, tidak nyeri saat porsio digoyang, tidak nyeri pada perabaan adneksa, 5-6
kavum douglas, tidak menonjol dan tidak nyeri Tabel 2.1 Manifestasi Klinis Abortus Spontan Jenis
Demam
Abortus
Nyeri/kr
Perdarah
Jaringan Jaringan
Ostium
Besar
am
an
ekspulsi
uteri
uterus
abdomen Imminen Tidak s
Sedang
pada vagina
Sedikit
ada
Tidak
Tidak
Tertutu
Sesuai
ada
ada
p
usia
ekspulsi
kehamilan
jaringan konsepsi Insipien
Tidak ada
Sedanghebat
Sedangbanyak
Tidak ada
Tidak ada
Terbuk a,
Sesuai usia
ekspulsi
ketuban
kehamilan
jaringan
menonj
konsepsi
ol
Inkompl
Tidak
Sedang-
Sedang-
Ekspulsi
Mung
Terbuk
Sesuai
it
ada
hebat
banyak
sebagian
kin
a
usia
jaringan
masih
Komplit
Tidak
Tanpa/se
ada
dikit
Sedikit
konsepsi
ada
Ekspulsi
Mung
Terbuk
Lebih
seluruh
kin
a/
kecil dari
jaringan
ada
Tertutu
usia
p
kehamilan
konsepsi Missed
Tidak
Tidak
ada
ada
Tidak ada
kehamilan
Jaringan
Tidak
Tertutu
Lebih
telah
ada
p
kecil dari
mati tapi
usia
tidak ada
kehamilan
ekspulsi jaringan konsepsi Sepsis
Ada
Ada
Ringan-
Masih
Jaring
Tertutu
Kecil
an
p,
dibanding
lekore
Terbuk
usia
a bau
a bau
kehamilan
Tidak
Tidak
Tidak
-
ada
ada
DIC
Habitual
Tidak
Tidak
is
ada
ada
II.6
Tidak ada
Diagnosis
a. Anamnesis Tiga gejala utama (postabortion triad) pada abortus adalah nyeri di perut bagian bawah terutamanya di bagian suprapubik yang bisa menjalar ke punggung,bokong dan perineum, perdarahan pervaginam dan demam yang tidak tinggi.
11
Gejala ini terutamanya khas pada
abortus dengan hasil konsepsi yang masih tertingal di dalam rahim. Selain itu, ditanyakan adanya amenore pada masa reproduksi kurang 20 minggu dari HPHT.
10
Perdarahan
pervaginam dapat tanpa atau disertai jaringan hasil konsepsi. Bentuk jaringan yang keluar juga ditanya apakah berupa jaringan yang lengkap seperti janin atau tidak atau seperti anggur. Rasa sakit atau keram bawah perut biasanya di daerah atas simpisis.
10
Riwayat penyakit sekarang seperti IDDM yang tidak terkontrol, tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol, trauma, merokok, mengambil alkohol dan riwayat infeksi traktus genitalis harus diperhatikan.
10
Riwayat kepergian ke tempat endemik malaria dan pengambilan
narkoba malalui jarum suntik dan seks bebas dapat menambah curiga abortus akibat infeksi.
11
b. Pemeriksaan Fisik 4
Bercak darah diperhatikan banyak, sedang atau sedikit. Palpasi abdomen dapat memberikan idea keberadaan hasil konsepsi dalam abdomen dengan pemeriksaan bimanual.
Yang dinilai
adalah
uterus membesar
sesuai
usia
gestasi,
dan
4
konsistensinya. Pada pemeriksaan pelvis, dengan menggunakan spekulum keadaan serviks dapat dinilai samaada terbuka atau tertutup , ditemukan atau tidak sisa hasil konsepsi di dalam uterus yang dapat menonjol keluar, atau didapatkan di liang 4
vagina.
Pemeriksaan fisik pada kehamilan muda dapat dilihat dari table di bawah ini: Perdarahan
Bercak
Serviks
sedikit Tertutup
Uterus
Sesuai
Gejala tanda dengan Kram
usia gestasi
hingga sedang
bawah,
4
dan Diagnosis
perut Abortus uterus immines
lunak Tertutup/terbuka
Lebih kecil dari Sedikit/tanpa usia gestasi
nyeri bawah, ekspulsi
Abortus komplit
perut riwayat hasil
konsepsi Sedang hingga Terbuka
Sesuai
dengan Kram atau nyeri Abortus
masif
usia kehamilan
perut belum ekspulsi
bawah, insipien terjadi hasil
konsepsi Kram atau nyeri Abortus perut
bawah, incomplit
ekspulsi sebahagian hasil
konsepsi Terbuka
Lunak dan lebih Mual/muntah, besar dari usia kram gestasi
Abortus mola
perut
bawah, sindroma mirip PEB, tidak ada janin,
keluar
jaringan seperti anggur
C. Pemeriksaan penunjang ini diperlukan dalam keadaan abortus imminens, abortus 5-6
habitualis dan missed abortion:
1. Tes kehamilan : positif jika janin masih hidup, bahkan 2-3 minggu setelah abortus 2.Pemeriksaan doppler atau USG untuk menentukan apakah janin masih hidup 3. Pemeriksaan kadar fibrinogen darah pada missed abortion 4. Pemeriksaan lain sesuai dengan keadaan dan diagnosis pasien. II.7
Diagnosis Banding
1. Kehamilan Ektopik Terganggu : nyeri lebih hebat dibandingkan abortus. 2. Mola Hidatidosa : uterus biasanya lebih besar daripada lamanya anmenore dan muntah lebih sering. 3. Kehamilan dengan kelainan serviks seperti karsinoma servisi uteri, polipus uteri, dan sebagainya. Tabel 2.2. Diagnosis Banding Abortus Diagnosis
Gejala
Pemeriksaan fisik
Banding Abortus iminens
Pemeriksaan penunjang
- perdarahan uterus
dari pada
kehamilan sebelum 20 minggu berupa flek-flek
- TFU
sesuai
dengan
umur
kehamilan - Dilatasi (-)
serviks
- tes
kehamilan
urin
masih
positif - USG gestasional
: sac
- nyeri perut ringan
(+), fetal plate
- keluar jaringan (-)
(+),
fetal
movement fetal
(+), heart
movement (+)
Abortus insipien
- perdarahan banyak dari
uterus
pada
kehamilan sebelum 20 minggu
- TFU
sesuai
dengan
umur
kehamilan - Dilatasi
- nyeri perut berat
- tes
kehamilan
urin
masih
positif
serviks
(+)
- USG
:
gestasional
- keluar jaringan (-)
sac
(+), fetal plate (+),
fetal
movement (+/-), fetal
heart
movement (+/-)
Abortus inkomplit
- perdarahan banyak / sedang dari uterus pada
kehamilan
sebelum 20 minggu - nyeri perut ringan - keluar
jaringan
sebagian (+)
- TFU kurang dari umur kehamilan - Dilatasi
serviks
(+) - teraba
- tes
kehamilan
urin
masih
positif - USG : terdapat
jaringan
dari cavum uteri atau
sisa
hasil
konsepsi (+)
masih
menonjol
pada
osteum
uteri
eksternum Abortus
- perdarahan (-)
komplit
- nyeri perut (-) - keluar jaringan (+)
- TFU kurang dari umur kehamilan - Dilatasi (-)
serviks
- tes
kehamilan
urin
masih
positif bila terjadi 7-10 hari abortus.
setelah
USG : sisa hasil konsepsi (-)
Mi ssed
- perdarahan (-)
abortion
- nyeri perut (-) - biasanya
- TFU kurang dari umur kehamilan tidak
merasakan keluhan apapun
- Dilatasi
serviks
(-)
- tes
kehamilan
urin
negatif
setelah 1 minggu dari terhentinya
kecuali
pertumbuhan
merasakan
kehamilan.
pertumbuhan
- USG
:
kehamilannya tidak
gestasional
seperti
(+), fetal plate
yang
diharapkan.
(+),
sac
fetal
movement
(-),
DJJ (-) Diagnosis
Gejala
Pemeriksaan fisik
Banding
Mi ssed abortion
Pemeriksaan penunjang
- Bila kehamilannya > 14 minggu - 20 minggu
penderita
merasakan rahimnya
semakin
mengecil
dengan
tanda-tanda kehamilan sekunder pada
payudara
mulai menghilang. Mola hidatidosa
- Tanda
kehamilan
(+) - Terdapat atau
- TFU lebih dari umur kehamilan
banyak sedikit
gelembung mola - Perdarahan banyak
- Terdapat banyak atau
sedikit
gelembung mola - DJJ (-)
- tes
kehamilan
urin
masih
positif (Kadar lebih 100,000
HCG dari
/ sedikit - Nyeri
mIU/mL) perut
(+)
- USG : adanya
ringan
pola badai salju
- Mual dan muntah
(Snowstorm).
(+)
Blighted ovum
- Perdarahan berupa flek-flek
usia kehamilan
- Nyeri perut ringan - Tanda
- TFU kurang dari
- tes
kehamilan
urin positif
- OUE menutup
- USG
kehamilan
:
gestasional
(+)
(+),
sac
namun
kosong
(tidak
terisi janin).
Kehamilan
- Nyeri abdomen (+)
Ektopik
- Tanda
Terganggu
kehamilan
(+) - Perdarahan pervaginam (+/-)
- Nyeri
abdomen
(+)
rendah, eritrosit
- Tanda-tanda syok
(+/-)
dapat meningkat, :
hipotensi, pucat, ekstremitas
leukosit
akut
abdomen :
- USG
diluar
tegang
bagian
uteri.
bawah,
nyeri
tekan dan nyeri dinding
abdomen. - Rasa nyeri pada pergerakan servik. dapat
:
gestasional
perut
- Uterus
kehamilan
positif
- Tanda-tanda
lepas
dapat
meningkat. - Tes
dingin.
(+)
- Lab darah : HB
sac
cavum
teraba
agak
membesar teraba
dan
benjolan
disamping uterus yang
batasnya
sukar ditentukan. - Cavum
douglas
menonjol
berisi
darah dan nyeri bila diraba
II.8
Penatalaksanaan
1. Tatalaksana Umum -
Lakukan penilaian secara cepat mengenai keadaan umum ibu termasuk tandatanda vital (nadi, tekanan darah, pernapasan, suhu).
-
Periksa tanda-tanda syok (akral dingin, pucat, takikardi, tekanan darah sistolik <90 mmHg). Jika terdapat syok, lakukan tatalaksana awal syok. Jika tidak terlihat tanda-tanda syok, tetap pikirkan kemungkinan tersebut saat penolong melakukan evaluasi mengenai kondisi ibu karena kondisinya dapat memburuk dengan cepat.
-
Bila terdapat tanda-tanda sepsis atau dugaan abortus dengan komplikasi,berikan kombinasi antibiotika sampai ibu bebas demam untuk 48 jam:
Ampicillin 2 g IV/IM kemudian 1 g diberikan setiap 6 jam
Gentamicin 5 mg/kgBB IV setiap 24 jam
Metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam
-
Segera rujuk ibu ke rumah sakit.
-
Semua ibu yang mengalami abortus perlu mendapat dukungan emosional dan konseling kontrasepsi pasca keguguran.
-
Lakukan tatalaksana selanjutnya sesuai jenis abortus.
6,7,9,10
2. Metode Bedah dan medis Terdapat berbagai metode bedah dan medis untuk mengobati abortus spontan serta terminasi yang dilakukan pada keadaan lain, dan hal ini diringkas sebagai 2,6,7,9,10
berikut:
-
Dilatasi serviks diikuti oleh evakuasi uterus
Kuretase
Aspirasi vakum (kuretase isap)
Dilatasi dan evakuasi (D&E)
Dilatasi dan Curretase (D&C)
-
Aspirasi haid
-
Laparatomi
Histerotomi
Histerektomi
Teknik Medis -
Oksitosin intravena
-
Cairan hiperosmotik intraamnion
-
Salin 20%
Urea 30%
Prostaglandin E2, F2α, dan analognya
Injeksi intraamnion
Injeksi ekstraovular
Insersi vagina
Injeksi parenteral
Ingesti oral
-
Antiprogesteron─RU 486 (mifepriston) dan epostan
-
Berbagai kombinasi dari di atas.
3. Tatalaksana sesuai jenis abortus a. Abortus imminens
-
Pertahankan kehamilan
-
Tidak perlu pengobatan khusus
-
Jangan melakukan aktivitas fisik berlebihan atau berhubungan seksual
-
Jika perdarahan berhenti, pantau kondisi ibu selanjutnya pada pemeriksaan antenatal termasuk pemantauan kadar Hb dan USG panggul serial setiap 4 minggu. Lakukan penilaian ulang bila perdarahan terjadi lagi.
-
Jika perdarahan tidak berhenti, nilai kondisi janin dengan USG. Nilai kemungkinan adanya penyebab lain.
-
Tidak perlu terapi hormonal (estrogen atau progestin) atau tokolitik (salbutamol atau indometasin) karena obat ini tidak dapat mencegah abortus.
-
Bila reaksi kehamilan 2 kali berturut-turut negatif, maka sebaiknya uterus dikosongkan (kuret)
6,7,9,10
b. Abortus Insipiens
-
Lakukan konseling untuk menjelaskan kemungkinan risiko dan rasa tidak nyaman selama tindakan evakuasi, serta memberikan informasi mengenai kontrasepsi pascakeguguran.
-
Jika usia kehamilan < 16 minggu: lakukan evaluasi isi uterus. Jika evakuasi Lakukan konseling untuk menjelaskan kemungkinan risiko dan rasa tidak nyaman selama tindakan evakuasi, serta memberikan informasi mengenai kontrasepsi pascakeguguran.
-
Jika usia kehamilan < 16 minggu: lakukan evakuasi isi uterus dengan aspirasi vakum manual (AVM). Jika evakuasi tidak dapat dilakukan segera:
Berikan Ergometrin 0,2 mg IM (dapat diulang 15 menit kemudian bila perlu) atau Misoprostol 400 mg per oral dan bila masih diperlukan dapat diulang setelah 4 jam jika perlu.
-
Segera lakukan persiapan untuk pengeluaran hasil konsepsi dari uterus.
Jika usia kehamilan > 16 minggu:
Tunggu pengeluaran hasil konsepsi secara spontan dan spontan kemudian dilakukan evakuasi uterus dengan AVM.
Bila perlu, berikan Induksi oksitosin 20 unit dalam 500 ml NS atau RL mulai 8 tetes sampai 40 tetes/ menit, sesuai kondisi kontraksi uterus sampai terjadi pengeluaran hasil konsepsi.
Segera lakukan persiapan untuk pengeluaran hasil konsepsi dari uterus.
-
Lakukan pemantauan pasca tindakan setiap 30 menit selama 2 jam. Bila kondisi ibu baik, pindahkan ibu ke ruang rawat.
-
Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk pemeriksaan patologi ke laboratorium.
-
Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan produksi urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar hemoglobin setelah 24 jam. Bila hasil pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan pulang.
-
6,7,9,10
c. Abortus inkomplit
-
Lakukan konseling.
-
Jika perdarahan ringan atau sedang dan kehamilan usia kehamilan kurang dari 16 minggu, gunakan jari atau forsep cincin untuk mengeluarkan hasil konsepsi yang mencuat dari serviks.
-
Jika perdarahan berat dan usia kehamilan kurang dari 16 minggu, lakukan evakuasi isi uterus. Aspirasi vakum manual (AVM) adalah metode yang dianjurkan. Kuret tajam sebaiknya hanya dilakukan bila AVM tidak tersedi. Jika evakuasi tidak dapat segera dilakukan, berikan ergometrin 0,2 mg IM (dapat diulang 15 menit kemudian bila perlu).
-
Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu, berikan infus 40 IU oksitosin dalam 1 liter NaCl 0,9% atau Ringer Laktat dengan kecepatan 40 tetes per menit untuk membantu pengeluaran hasil konsepsi.
-
Lakukan evaluasi tanda vital pascatindakan setiap 30 menit selama 2 jam. Bila kondisi ibu baik, pindahkan ibu ke ruang rawat.
-
Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk pemeriksaan patologi ke laboratorium.
-
Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan produksi urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar hemoglobin setelah 24 jam. Bila hasil pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan pulang.
6,7,9,10
d. Abortus komplit
-
Tidak diperlukan evakuasi lagi.
-
Lakukan konseling untuk memberikan dukungan emosional dan menawarkan kontrasepsi pasca keguguran.
-
Observasi keadaan ibu. Apabila terdapat anemia sedang, berikan tablet sulfas ferosus 600 mg/ hari selama 2 minggu, jika anemia berat berikan transfusi darah.
-
6,7,9,10
Evaluasi keadaan ibu setelah 2 minggu.
e. Abortus Habitualis
-
Pada serviks inkompeten terapinya operatif Shirodkar atau Mc Donald (cervical cerclage).
-
Pengobatan pada kelainan endometrium pada abortus habitualis lebih besar hasilnya jika dilakukan sebelum ada konsepsi daripada sesudahnya.
6,7,9,10
f.
Abortus Infeksious
-
Bila perdarahan banyak, berikan transfusi darah dan cairan yang cukup
-
Berikan antibiotika yang cukup dan tepat (buat pemeriksaan pembiakan da uji kepekaan obat)
-
Berikan suntikan penisilin 1.000.000 satuan tiap 6 jam
Berikan suntikan streptomisin 500mg setiap 12 jam
Atau antibiotika spektrum luas lainnya.
Bila tetap terjadi perdarahan banyak setelah 1-2 hari lakukan dilatasi dan kuretase untuk mengeluarkan hasil konsepsi
6,7,9,10
g. Abortus Septik
-
Penatalaksanaan sama dengan abortus infeksious, hanya dosis dan jenis antibiotika ditinggikan dan dipilih jenis yang tepat sesuai dengan hasil pembiakan dan uji kepekaan kuman. Perlu di observasi apakah ada tanda 6,7,9,10
perforasi atau akut abdomen.
Gambar 2.2 Algoritme Penatalaksanaan Abortus Abortus:
-
Abortus Imminens
-
Amenorea Rasa nyeri Perdarahan Tanpa dilatasi
Definisi Pembagian menurut: Penyebab Gambaran klinis
Abortus Insipien
-
-
Amenorea Rasa nyeri Perdarahan banyak/meng gumpal Terdapat dilatasi
Abortus Inkompletus
-
Amenorea Perdarahan Sisa jaringan Terdapat dilatasi
Tatalaksana:
Tatalaksana Definitif:
-
-
-
-
Konservatif Tirah baring Obat penenang Terapi hormonal: Derivat progesteron Dupaston Gestanon Pemeriksaan laboratorium: Penunjang diagnostik
-
Abortus Khusus
Persiapan dilatasi kuretase Pasang infus jika transfusi darah Dilatasi dan kuretase
Komplikasi tindakan:
-
Perdarahan Infeksi
-
Trauma tindakan Kemungkinan degenerasi koriokarsinoma
dan perlu
-
Infeksiosus Miised abortion Habitualis
II.9
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul dari abortus adalah:
11
a. Perdarahan akibat luka pada jalan lahir, atonia uteri, sisa jaringan tertinggal,
diatesa hemoragik dan lain-lain. Perdarahan dapat timbul segera pasca tindakan, dapat pula timbul lama setelah tindakan. b. Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam posisi
hiperretrofleksi. Terjadi robekan pada rahim, misalnya abortus provokatus kriminalis. Dengan adanya dugaan atau kepastian terjadinya perforasi, laparatomi harus segera dilakukan untuk menentukan luasnya perlukaan pada uterus dan apakah ada perlukan alat-alat lain. Pasien biasanya datang dengan syok hemoragik. c. Syok
akibat
refleks
vasovagal
atau
nerogenik.
Komplikasi
ini
dapat
mengakibatkan kematian yang mendadak. Diagnosis ini ditegakkan bila setelah seluruh pemeriksaan dilakukan tanpa membawa hasil. Harus diingat kemungkinan adanya emboli cairan amnion, sehingga pemeriksaan histologik harus dilakukan dengan teliti. d. Emboli udara dapat terjadi pada teknik penyemprotan cairan ke dalam uterus.
Hal ini terjadi karena pada waktu penyemprotan, selain cairan juga gelembung udara masuk ke dalam uterus, sedangkan pada saat yang sama sistem vena di endometrium dalam keadaan terbuka. Udara dalam jumlah kecil biasanya tidak menyebabkan kematian, sedangkan dalam jumlah 70-100 ml dilaporkan sudah dapat memastikan dengan segera. e. Inhibisi vagus, hampir selalu terjadi pada tindakan abortus yang dilakukan tanpa
anestesi pada ibu dalam keadaan stress, gelisah, dan panik. Hal ini dapat terjadi akibat alat yang digunakan atau suntikan secara mendadak dengan cairan yang terlalu panas atau terlalu dingin. f.
Keracunan obat/ zat abortivum, termasuk karena anestesia. Antiseptik lokal
seperti KmnO4 pekat, AgNO3, K-Klorat, Jodium dan Sublimat dapat mengakibatkan cedera yang hebat atau kematian. Demikian pula obat-obatan seperti kina atau logam berat. Pemeriksaan adanya Met-Hb, pemeriksaan histologik dan toksikolgik sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis. g. Infeksi dan sepsis. Komplikasi ini tidak segera timbul pasca tindakan tetapi
memerlukan waktu. Khususnya pada genitalia eksterna yaitu staphylococci,
streptococci, Gram negatif enteric bacilli, Mycoplasma, Treponema (selain T. paliidum), Leptospira, jamur, Trichomonas vaginalis, sedangkan pada vagina ada lactobacili,streptococci, staphylococci, Gram negatif enteric bacilli, Clostridium sp., Bacteroides sp, Listeria dan jamur. Umumnya pada abortus infeksiosa, infeksi terbatas padsa desidua. Pada abortus septik virulensi bakteri tinggi dan infeksi menyebar ke perimetrium, tuba, parametrium, dan peritonium. Organisme-organisme yang paling sering bertanggung jawab terhadap infeksi paska abortus adalah E.coli, Streptococcus non hemolitikus, Streptococci anaerob, Staphylococcus aureus, Streptococcus hemolitikus, dan Clostridium perfringens. Bakteri lain yang kadang dijumpai adalah Neisseria gonorrhoeae, Pneumococcus dan Clostridium tetani. Streptococcus pyogenes potensial berbahaya oleh karena dapat membentuk gas. II.10
Prognosis
Prognosis
keberhasilan
kehamilan
tergantung
dari
etiologi
aborsi
spontan
6
sebelumnya:
1. Perbaikan endokrin yang abnormal pada wanita dengan abotus yang rekuren mempunyai prognosis yang baik sekitar >90 %. 2. Pada wanita keguguran dengan etiologi yang tidak diketahui, kemungkinan keberhasilan kehamilan sekitar 40-80 %. 3. Sekitar 77 % angka kelahiran hidup setelah pemeriksaan aktivitas jantung janin pada kehamilan 5 sampai 6 minggu pada wanita dengan 2 atau lebih aborsi spontan yang tidak jelas.
2.1.Perdarahan pada hamil muda 2.1.2 Molahidatidosa Definisi
Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili korialis mengalami perubahan berupa degenerasi hidropik. Secara makroskopik, mola hidatidosa mudah dikenal yaitu berupa gelembung-gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih, dengan ukuran bervariasi dari beberapa milimeter sampai 1. atau 2 cm. Gambaran histopatologik yang khas dari mola hidatidosa adalah edema stroma vili, tidak ada pembuluh darah pada vili atau mengalami degenerasi hidrofik dan proliferasi sel-sel trofoblas. Mola hidatidosa adalah kegagalan kehamilan normal yang disertai dengan proliferasi sel trofoblas yang berlebihan dan degenerasi hidrofik, yang secara klinis tampak sebagai gelembung-gelembung. Mola hidatidosa atau hamil anggur adalah kehamilan abnormal yang memiliki karakter seperti buah anggur serta uterus yang mengalami distensi dan biasanya tidak ada janin yang terbentuk.
Gambar 1. Mola Hidatidosa
A. Epidemiologi
Angka kejadian mola hidatidosa banyak ditemukan di wilayah Asia, Afrika dan Amerika dibandingkan dengan wilayah Eropa. Insiden terjadinya mola hidatidosa di wilayah Amerika Serikat dan Eropa dilaporkan 1 – 2 kehamilan per 1000 kelahiran. Terdapat laporan yang mengatakan bahwa ditemukan 1 kejadian mola hidatidosa dari 600 kasus abortus medisinalis. Insidensi mola hidatidosa di wilayah Asia dilaporkan 15 kali lebih tinggi dibandingkan wilayah Amerika Serikat, dengan Jepang yang melaporkan terjadi 2 kejadian mola dari 1000 kehamilan, Korea Selatan yang melaporkan terjadi 40 kejadian mola dari 1000 kehamilan. Secara etnis dilaporkan bahwa kejadian mola hidatidosa meningkat pada wanita Filipina, Asia Tenggara dan Meksiko dibandingkan dengan wanita kulit putih Amerika. Di Indonesia dilaporkan terjadi 1 kejadian mola hidatidosa dari 100 kehamilan.
B. Etiologi
Etiologi penyakit trofoblast sampai saat ini belum juga diketahui dengan pasti, namun ada beberapa teori yang mencoba menerangkan terjadinya penyakit trofoblast yaitu : a. Teori Desidua
Teori ini menyatakan bahwa terjadinya mola hidatidosa adalah akibat dari kelainan pada pembuluh darah yang mengakibatkan gangguan sirkulasi pada desidua sehingga terjadi perubahan-perubahan degeneratif pada sel-sel trofoblas dan stroma vili korialis. b. Teori Sel Telur
Menurut teori ini mola hidatidosa dapat terjadi bila terdapat kelainan pada sel telur (ovum), baik sebelum diovulasikan maupun setelah mengalami pembuahan (fertilisasi). c. Teori Infeksi
Teori
ini
berdasarkan
pada
sebuah
penelitian
yang
mencoba
mentransplantasikan sebuah virus pada selaput korioalantoin mudigah ayam yang kemudian mengalami perubahan-perubahan khas menyerupai molahidatidosa, baik secara makroskopik maupun mikroskopik. Selain itu molahidatidosa juga diduga
disebabkan oleh parasit toksoplasma yang didasarkan pada penemuan Toksoplasma
gondii dalam jumlah besar pada darah penderita molahidatidosa. d. Teori Hipofungsi Ovarium dan Defisiensi Estrogen
Terdapat penelitian yang melaporkan bahwa 60% penderita molahidatidosa yang berumur 18 – 21 tahun disertai oleh hipofungsi ovarium. Selain itu terdapat juga penelitian yang menemukan angka kejadian molahidatidosa yang tinggi pada perempuan muda yang fungsi seksualnya masih imatur. Teori ini juga dapat diperkuaat dengan angka insidensi molahidatidosa yang tinggi pada wanita muda yang fungsi ovariumnya masih imatur dan pada wanita tua yang fungsi ovariumnya telah menurun.
C. Faktor Risiko
Faktor risiko kejadian mola hidatidosa adalah wanita dengan usia < 20 tahun dan > 40 tahun, nulipara, status ekonomi rendah, diet rendah protein, kadar asam folat rendah dan kadar karoten dalam darah rendah. Mola hidatidosa biasanya menyerang wanita pada awal masa remaja atau pada usia perimenopause. Wanita yang berusia lebih dari 35 tahun memiliki risiko 2 kali lebih besar untuk mengalami mola sedangkan wanita yang berusia lebih dari 40 tahun memiliki risiko 5 – 10 kali untuk mengalami mola dibandingkan dengan wanita yang lebih muda. Risiko lainnya adalah riwayat keguguran 2 kali atau lebih, riwayat kehamilan mola sebelumnya, serta defisiensi vitamin A dan karoten dalam tubuh. Tipe mola hidatidosa parsialis dilaporkan lebih sering tejadi pada wanita dengan tingkat pendidikan tinggi, wanita dengan menstruasi yang tidak teratur dan wanita yang merokok.
D. Klasifikasi Mola hidatidosa terbagi menjadi dua jenis yaitu : 1. Mola Hidatidosa Komplit (MHK)
Vili korionik (chorionic villi) berubah menjadi suatu massa vesikel-vesikel jernih dengan ukuran vesikel bervariasi dari yang sulit dilihat sampai yang dapat dilihat dengan diameter beberapa sentimeter dan sering berkelompok-kelompok menggantung pada tangkai kecil. Secara makroskopis, MHK mempunyai gambaran yang khas yaitu berbentuk kista atau gelembung-gelembung dengan ukuran antara beberapa mm sampai 2 atau 3
cm, berdinding tipis, kenyal,
berwarna putih jernih, berisi cairan seperti cairan asites atau edema. Jika ukurannya kecil akan tampak seperti kumpulan telur katak dan jika besar tampak seperti serangkaian buah anggur yang bertangkai (sehingga MHK sering disebut juga sebagai kehamilan anggur). Tangkai tersebut umunya menempel di seluruh endometrium dan jika terputus akan terjadi perdarahan. Temuan histologi ditandai oleh: a. Degenerasi hidrofik dan pembengkakan stroma vilus b. Tidak adanya pembuluh darah di vilus yang membengkak c. Proliferasi sel epitel trofoblast dengan derajat bervariasi d. Tidak adanya janin dan amnion 2. Mola Hidatidosa Parsial (MHP)
Apabila perubahan mola hidatidosa bersifat fokal dan kurang berkembang serta mungkin tampak sebagai jaringan janin. Terjadi perkembangan mola yang berlangsung lambat pada sebagian vili yang biasanya avaskular sementara vili–vili lainnya dengan vaskularisasi dan sirkulasi janin plasenta yang masih berfungsi tidak terkena. Perkembangan janin akan tergantung pada luasnya plasenta yang mengalami degenerasi, tetapi janin biasanya tidak dapat bertahan lama dan akan mati dalam rahim, walaupun dalam kepustakaan ada yang melaporkan tentang kasus MHP dengan janin yang bertahan hidup sampai aterm.
Tabel 1. Perbedaan MHK dan MHP Gambaran
MHK
Kariotipe
46XX atau 46XY
MHP
Umumnya 69XXX atau 69XXY (triploid)
Patologi
Edema villus Proliferasi trofoblastik Janin Amnion, sel darah merah janin Gambaran Klinis
Difus Bervariasi, ringan – berat
Bervariasi, fokal Bervariasi, fokal, ringan – sedang
Tidak ada
Sering dijumpai
Tidak ada
Sering dijumpai
Gestasi mola
Missed abortion
50% besar untuk masa
Kecil
kehamilan
kehamilan
Kista teka-lutein
25 – 30%
Jarang
Penyulit medis
Sering
Jarang
Penyakit pasca mola
20%
< 5 – 10%
Tinggi
Rendah – tinggi
Diagnosis Ukuran uterus
Kadar hCG
untuk
masa
E. Patologi Anatomi
Secara mikroskopik pada MHK dapat terlihat trias yaitu : 1. Proliferasi dari trofoblast bersifat difus. 2. Degenerasi hidrofik dari stroma vili bersifat difus. 3. Hilangnya pembuluh darah dari stroma bersifat difus. Pada MHP struktur histologisnya bersifat : 1. Campuran dari sel vili besar dan kecil dengan jumlahnya yang tidak menentu, meningkatnya inklusi pseudovili, kemudian akan terlihat pembuluh darah angioma melingkari vili avaskular, stroma vili mempunyai struktur retikular, dan beberapa villi bersifat fibrotik. 2. Proliferasi trofoblastik lebih sedikit bila dibandingkan dengan mola hidatidosa komplit, biasanya fokal dan kadang-kadang tidak ada. 3. Perubahan hidropik bersifat fokal, membesar pada trimester kedua. Pada trimester pertama biasanya kecil, ireguler dan mempunyai villi fibrotik. Pada mola yang telah lama terbentuk terdapat sisterna yang besar, jarang terlihat pada aborsi hidrofik. 4. Adanya fetus atau bagian janin yang nekrotik, sel darah merah bernukleus dan juga amnion. F. Patofisiologi
Banyak teori yang telah disebutkan tentang patogenesis MHK antara lain teori
Hertig dan teori Park. Hertig et al menganggap bahwa Mola hidatidosa terjadi akibat insufisiensi peredaran darah karena matinya embrio pada minggu ke 3 – 5 (missed abortion) sehinggga terjadi penimbunan cairan dalam jaringan mesenkim vili dan terbentulah kista-kista yang semakin lama semakin membesar sampai akhirnya terbentuk gelembung mola, sedangkan proliferasi trofoblast merupakan akibat dari
tekanan vili yang edema. Sedangkan Park mengatakan bahwa perkembangan mola terjadi karena adanya jaringan trofoblast yang abnormal, baik berupa hiperplasia, displasia, atau neoplasia. Bentuk yang abnormal ini disertai pula dengan fungsi yang abnormal. Keadaan ini menekan pembuluh darah yang akhirnya menyebabkan kematian embrio. Teori yang sekarang dianut adalah teori sitogenetik. Secara sitogenetik umumnya kehamilan MHK terjadi karena sebuah ovum yang tidak berinti (kosong) atau yang intinya tidak berfungsi dibuahi oleh sperma yang mengandung kromosom
haploid 23X sehingga menghasilkan konsepsi dengan
kromosom 23X yang
kemudian mengadakan duplikasi menjadi 46XX. Jadi umumnya MHK bersifat homozigot dengan jenis kelamin wanita dan berasal dari bapak ( androgenetik) sehingga tidak ada unsur ibu yang disebut Diploid Androgenetik. Seperti diketahui, kehamilan yang sempurna harus terdiri dari unsur ibu yang akan membentuk bagian embrional (anak) dan unsur ayah yang diperlukan untuk membentuk bagian ekstraembrional (plasenta, air ketuban, dll) secara seimbang. Karena tidak ada unsur ibu, pada MHK tidak ada bagian embrional (janin). Yang ada hanya bagian ekstraembrional yang paologis berupa vili korialis yang mengalami degenerasi hidropik seperti anggur. Ovum kosong ini bisa terjadi karena gangguan pada proses meiosis (meiosis normal seharusnya diploid 46XX dipecah menjadi 2 haploid 23X) yang disebut
nondysjunction yaitu hasil pemecahannya tidak menjadi 2 haploid 23X tetapi menjadi 0 dan 46XX. Pada MHK ovum yang tidak berinti (0) inilah yang dibuahi. Gangguan proses meosis ini dapat terjadi pada kelainan struktural kromosom yaitu balance
translocation. MHK dapat pula terjadi akibat pembuahan ovum kosong oleh 2 sperma sekaligus (dispermia). Bisa oleh dua haploid 23X atau satu haploid 23X dan satu haploid 23Y. Akibatnya bisa terjadi 46XX atau 46XY karena pada pembuahan dengan dispermia tidak terjadi endoreduplikasi. Kromosom 46XX hasil reduplikasi dan 46XX hasil pembuahan dispermia walaupun tampak sama namun sesungguhnya berbeda karena yang pertama berasal dari satu sperma (homozigot) sedangkan yang kedua berasal dari dua sperma (heterozigot). Ada yang menganggap bahwa 46XX heterozigot mempunyai potensi keganasan lebih besar. Pembuahan dispermia dengan dua haploid 23Y (46YY) dianggap tidak pernah bisa terjadi (nonviable).
Secara sitogenetik MHP terjadi karena ovum normal dari ibu (23X) dibuahi secara dispermia. Bisa oleh dua haploid 23X; satu haploid 23X dan satu haploid 23Y; atau dua haploid 23Y. Hasil konsepsi bisa berupa 69XXX, 69XXY, 69XYY. Kromosom 69YYY tidak pernah ditemukan. Jadi MHP mempunyai satu haploid ibu dan dua haploid ayah sehingga disebut Diandro Triploid. Karena disini ada unsur ibu sehingga dapat ditemukan janin. Tetapi karena komposisi unsur ibu dan unsur ayah tidak seimbang (satu berbanding dua) sehingga unsur ayah yang tidak normal itu menyebabkan pembentukan plasenta yang tidak wajar, yang merupakan gabungan dari vili korialis yang normal dan yang mengalami degenerasi hidrofobik. Oleh karena itu fungsinya tidak bisa sepenuhnya normal sehingga janin tidak bisa bertahan sampai besar. Biasanya kematian janin terjadi sangat dini.
Gambar 2. Patogenesis Mola Hidatidosa
G. Gejala Klinis
Gejala yang timbul pada kehamilan mola adalah sebagai berikut.
2
1. Pertumbuhan uterus abnormal dengan ukuran uterus dapat lebih besar ataupun lebih kecil daripada usia kehamilannya. 2. Mual dan muntah yang cukup berat sehingga memerlukan perawatan di Rumah Sakit. 3. Perdarahan pervaginam pada 3 bulan pertama kehamilan. 4. Gejalan hipertiroidisme seperti intoleransi panas, BAB cair, takikardia, gugup berlebihan, kulit yang hangat dan lembab, tremor pada tangan, ata upun penurunan berat badan yang sulit dijelaskan. 5. Gejala yang mirip dengan preeklampsia yang terjadi pada trimester pertama atau permulaan trimester kedua seperti terkanan darah tinggi, pembengkakan pada kaki,
pergelangan kaki dan tungkai bawah (yang hampir selalu menjadi tanda mola hidatidosa karena pada preeklampsia sangat jarang terjadi pada awal kehamilan).
H. Diagnosis 1. Anamnesis
a. Terdapat tanda-tanda kehamilan b. Terdapat perdarahan yang sedikit atau banyak dan tidak teratur c. Pembesaran rahim yang tidak sesuai dengan usia kehamilan d. Keluar jaringan mola seperti buah anggur atau mata ikan (tidak selalu ada) 2. Gejala Klinis
a. Perdarahan Perdarahan uterus merupakan gejala mola hidatidosa yang paling umum ditemui. Mulai dari sekedar spotting hingga perdarahan masif. Gejala perdarahan dapat dimulai pada bulan pertama kehamilan dan rata-rata biasanya terjadi pada minggu ke 12 – 14. Dapat dimulai sesaat sebelum pengeluaran konsepsi atau lebih sering dapat muncul secara intermiten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak hingga menyebabkan syok atau kematian. Sebagai akibat dari perdarahan tersebut gejala anemia sering dijumpai terutama pada wanita malnutrisi. Efek dilusi dari hipervolemia terjadi pada wanita dengan mola yang lebih besar. Anemia defisiensi Fe sering ditemukan, demikian pula halnya dengan kelainan eritropoiesis megaloblastik yang diduga akibat asupan yang tidak mencukupi karena adanya mual dan muntah disertai peningkatan kebutuhan asam folat karena cepatnya proliferasi trofoblas. Perdarahan juga sering disertai pengeluaran jaringan mola. Darah yang keluar berwarna kecoklatan. b. Ukuran uterus dapat lebih besar atau lebih kecil (tidak sesuai usia kehamilan) Pertumbuhan ukuran uterus sering lebih besar dan lebih cepat daripada kehamilan normal. Hal ini ditemukan pada setengah dari semua pasien mola. Ada pula kasus-kasus yang uterusnya lebih kecil atau sama besarnya dengan kehamilan normal, walaupun jaringannya belum dikeluarkan. Dalam hal ini perkembangan trofoblast
tidak
terlalu
aktif
sehingga perlu
dipikirkan
kemungkinan adanya dying mole. Uterus mungkin sulit untuk diidentifikasikan secara pasti dengan palpasi, terutama pada wanita nulipara. Hal ini disebabkan karena konsistensinya yang lembut di bawah dinding perut yang kaku.
Pembesaran uterus karena kista teka-lutein multiple akan membuat kesulitan dalam membedakan dengan pembesaran uterus biasa. c. Tidak adanya aktifitas janin Walaupun pembesaran uterus mencapai bagian atas simfisis, tidak ditemukan adanya denyut jantung janin. d. Eklampsia dan preeklampsia Preeklampsia pada kehamilan mola timbul pada trisemester ke 2. Eklamsia atau preeklamsia pada kehamilan normal jarang terlihat sebelum usia kehamilan 24 minggu. Oleh karena itu, preeklamsia yang terjadi sebelum waktunya harus dicurigai sebagai mola hidatidosa. e. Hiperemesis Mual dan muntah yang signifikan dapat timbul sebagai salah satu gejala mola hidatidosa. f. Tirotoksikosis Kadar tiroksin plasma pada wanita dengan kehamilan mola sering meningkat, namun gejala hipertiroid jarang muncul. Terjadinya tirotoksikosis pada mola hidatidosa berhubungan erat dengan besarnya uterus. Makin besar uterus makin besar kemungkinan terjadinya tirotoksikosis. Mola yang disertai tirotoksikosis mempunyai prognosis yang lebih buruk, baik dari segi kematian maupun kemungkinan terjadinya keganasan. Biasanya penderita meninggal karena krisis tiroid. Peningkatan tiroksin plasma mungkin karena efek dari estrogen seperti yang dijumpai pada kehamilan normal. Serum bebas tiroksin yang
meningkat
sebagai
akibat
thyrotropin-like
effect dari Chorionic
Gonadotropin hormone. Terdapat korelasi antara kadar hCG dengan fungsi endogen tiroid tetapi hanya kadar hCG yang melebihi 100.000 IU/L yang bersifat tirotoksis. Mola hidatidosa komplit : a. Perdarahan pervaginam : gejala umum dari mola komplit. Jaringan mola terpisah dari desidua dan menyebabkan perdarahan. Uterus mungkin membesar karena sejumlah besar darah dan cairan gelap masuk ke dalam vagina. Gejala ini muncul pada 97% kasus. b. Hiperemesis : karena peningkatan secara ekstrim kadar hCG
c. Hipertiroidisme : kira-kira 7% pasien mengalami takikardi, tremor dan kulit yang hangat.
Mola hidatidosa parsial a. Pasien dengan mola hidatidosa parsial tidak memiliki gejala yang sama dengan mola komplit. Pasien ini biasanya mempunyai gejala dan tanda seperti abortus inkomplet atau missed abortion. b. Perdarahan pervaginam c. Adanya denyut jantung janin 3. Pemeriksaan Fisi k
a. Inspeksi - Muka dan kadang-kadang badan kelihatan pucat kekuning-kuningan yang disebut muka mola ( mola face). - Kalau gelembung mola keluar dapat terlihat jelas. b. Palpasi - Uterus membesar tidak sesuai dengan usianya dan teraba lunak. - Tidak teraba bagian-bagian janin, balotemen dan juga gerak janin. - Adanya fenomena harmonika yaitu darah dan gelembung mola keluar, fundus uteri turun kemudian naik lagi karena terakumulasinya darah kembali. c. Auskultasi - Tidak terdengar bunyi denyut jantung janin d. Pemeriksaan dalam - Pastikan besarnya rahim - Rahim terasa lunak - Tidak ada bagian-bagian janin - Terdapat perdarahan serta jaringan mola dalam kanalis servikalis dan vagina - Evaluasi keadaan serviks. 4. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan sonde Jika sonde masuk ke dalam kavum uteri tanpa tahanan dan dapat diputar o
o
360 dengan deviasi sonde kurang dari 10 dapat merupakan tanda kehamilan mola. b. Pemeriksaan laboratorium
Pengukuran kadar β-hCG tidak lagi digunakan untuk menegakkan diagnosis mola karena sudah digantikan oleh USG. Pemeriksaan serial diperlukan untuk mendeteksi Penyakit Trofoblast Ganas (PTG) yang persisten setelah pengeluaran mola. Harus diperhatikan kadar hormon
-hCG karena
karakteristik yang terpenting dari penyakit ini adalah kemampuannya dalam memproduksi hormon -hCG sehingga jumlah hormon ini akan meningkat bila dibandingkan dengan jumlah normal β-hCG pada usia kehamilan tersebut. Hormon ini dapat dideteksi pada urin maupun dalam serum penderita, namun pemeriksaan yang dilakukan pada serum terpengaruh oleh lebih sedikit variabel dibandingkan pemeriksaan yang dilakukan pada urin. Terdapat tiga jenis pemeriksaan β-hCG, yaitu: - β-hCG kualitatif serum, yang dapat mendeteksi kadar hCG 5 – 10 mIU/ml. - β-hCG kualitatif urin, yang dapat mendeteksi kadar hCG 25-50 mIU/ml. - β-hCG kuantitatif urin, yang dapat mendeteksi kadar hCG 5-2 juta mIU/ml. Hasilnya harus dibandingkan dengan kadar
-hCG serum kehamilan
normal pada usia k ehamilan yang sama. Bila kadar -hCG kuantitatif > 100.000 mIU/L mengindikasikan pertumbuhan ukuran yang berlebihan dari trofoblastik dan meningkatkan kecurigaan adanya kehamilan mola namun kadang-kadang kehamilan mola dapat memiliki nilai hCG normal. Bias anya tes -hCG normal setelah 8 minggu post evakuasi mola. Bila kadar β-hCG jauh lebih tinggi dari rentangan kadar normal pada tingkat usia kehamilan tertentu, suatu persangkaan diagnosa mola hidatidosa dapat dibuat. Kadar hormon -hCG dapat sangat tinggi dalam serum pada 100 hari atau lebih setelah menstruasi terakhir. Pemantauan secara hati-hati dari kadar -hCG penting untuk diagnosis, penatalaksanaan dan tindak lanjut pada semua kasus penyakit trofoblastik. Jumlah hormon β-hCG yang ditemukan pada serum atau urin berhubungan dengan jumlah sel-sel tumor yang ada. c. Ultrasonografi Pada kehamilan mola, bentuk karakteristik yang ada berupa gambaran seperti “badai salju” tanpa disertai kantong gestasi atau janin. Pemeriksaan USG sebaiknya dilakukan pada setiap pasien yang pernah mengalami perdarahan pada trisemester awal kehamilan dan memiliki ukuran uterus yang lebih besar daripada usia kehamilannya. USG dapat menjadi pemeriksaan yang spesifik untuk membedakan antara kehamilan normal dengan mola hidatidosa. Namun
harus diingat bahwa beberapa struktur lainnya dapat memperlihatkan gambaran yang serupa dengan mola hidatidosa termasuk mioma uteri dalam kehamilan atau kehamilan dengan janin > 1. Pada kehamilan trimester I, gambaran mola hidatidosa tidak spesifik sehingga seringkali sulit dibedakan dari kehamilan anembrionik, missed abortion, abortus inkomplit atau mioma uteri. Pada kehamilan trimester II gambaran mola hidatidosa umumnya lebih spesifik, kavum uteri berisi massa ekogenik bercampur bagian-bagian anekoik vesikuler berdiameter antara 5 – 10 mm. Gambaran tersebut dapat dibayangkan seperti gambaran sarang tawon (honey comb) atau badai salju ( snow storm).
Gambar 3. Hasil USG dengan Gambaran Mola Hidatidosa Komplit
Gambar 4. Hasil USG dengan Gambaran Mola Hidatidosa Parsial d. Amniografi Dengan menggunakan bahan radioopaque yang dimasukan ke dalam uterus secara transabdominal, akan memberikan gambaran radiografik yang
khas
untuk
mola
hidatidosa.
Kavum
uterus
ditembus
dengan
jarum
amniosintesis kemudian disuntikan 20 ml hypague segera, setelah itu dibuat foto anteroposterior 5 – 10 menit kemudian. Pola sinar X yang terjadi seperti sarang tawon yang ditimbulkan oleh bahan kontras yang mengelilingi gelombanggelombang korion. Amniografi ini sekarang sudah jarang digunakan lagi semenjak adanya USG yang lebih mudah. e. Pemeriksaan Histopatologi Sampel diambil dari jaringan gelembung mola yang keluar. Hasil pemeriksaan
histopatologi dapat
memperkuat
diagnosis penyakit
hidatidosa
Gambar 5. Hasil Pemeriksaan Histopatologi MHK
Gambar 6. Hasil Pemeriksaan Histopatologi MHP
I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan mola hidatidosa terdiri dari 4 tahap yaitu : 1. Perbaikan Keadaan Umum
Termasuk usaha ini adalah :
mola
- Transfusi darah pada anemia berat dan syok hipovolemik karena perdarahan - Menghilangkan penyulit seperti preeklamsia dan tirotoksikosis : preeklamsia diobati seperti pada kehamilan biasa sedangkan untuk tirotoksikosis diobati sesuai protokol penyakit dalam antara lain dengan inderal. 2. Pengeluaran Jaringan Mola
Terdapat dua cara evakuasi jaringan mola yaitu : a. Kuretase Kuret hisap merupakan tindakan pilihan untuk mengevakuasi jaringan mola, dan sementara proses evakuasi berlangsung berikan infus 10 IU oksitosin dalam 500 ml NaCl atau RL dengan kecepatan 40 – 60 tetes/menit. Oksitosin diberikan untuk menimbulkan kontraksi uterus karena tindakan ini dapat mengurangi perdarahan dari tempat implantasi. Dengan terjadinya retraksi miometrium, dinding uterus akan menebal dan dengan demikian resiko perforasi dapat dikurangi. Bila sudah terjadi abortus maka kanalis servikalis sudah terbuka. Bila belum terjadi abortus, kanalis servikalis belum terbuka sehingga perlu dipasang laminaria atau servikalis dilator (setelah 10 jam baru terbuka 2 – 5 cm). Setelah jaringan mola dikeluarkan secara aspirasi dan miometrium memperlihatkan kontraksi dan retraksi, biasanya dilakukan kuretase yang teliti dan hati-hati dengan menggunakan alat kuret yang tajam dan besar. Jaringan yang diperoleh diberi label dan dikirim untuk pemeriksaan histopatologi. Kuretase kedua dilakukan apabila kehamilan berusia lebih dari 20 minggu atau tidak diyakini bersih. Kuret ke 2 dilakukan kira-kira 10 – 14 hari setelah kuret pertama. Pada waktu uterus sudah mengecil sehingga lebih besar kemungkinan bahwa tindakan kuretase telah menghasilkan uterus yang bersih. Jika terdapat mola hidatidosa yang besar (ukuran uterus > 12 minggu) dan dievakuasi dengan kuret hisap, laparatomi harus dipersiapkan untuk dilakukan ligasi arteri hipogastrika bilateral bila terjadi perdarahan atau perforasi. Sebelum tindakan kuretase dilakukan sebaiknya disediakan persediaan darah untuk menjaga kemungkinan terjadi perdarahan masif selama kuretase berlangsung. b. Histerektomi Sebelum kuret hisap (kuretasi suction) digunakan, histerektomi sering dipakai untuk pasien dengan ukuran uterus diluar 12 – 14 minggu, namun histerektomi tetap merupakan pilihan pada wanita yang telah cukup umur dan anak. Alasan untuk melakukan histerektomi adalah umur tua dan paritas tinggi
yang merupakan predisposisi timbulnya keganasan. Batasan yang dipakai adalah umur 35 tahun dengan anak hidup tiga. Sering ditemukan pada sediaan histerektomi yang bila dilakukan pemeriksaan histopatologi akan tampak adanya tanda-tanda mola invasif. Ada beberapa ahli yang menganjurkan agar pengeluaran jaringan dilakukan melalui histerektomi, tetapi cara ini tidak begitu populer dan sudah ditinggalkan. Walau histerektomi tidak dapat mengeliminasi sel-sel tumor trofoblastik, namun mampu untuk mengurangi kekambuhan penyakit ini. 3. Terapi Profilaksis dengan Sitostatika
Diberikan pada kasus mola dengan risiko tinggi akan terjadinya keganasan di bawah pengawasan dokter misalnya umur tua dan paritas tinggi yang menolak untuk dilakukan histerektomi atau kasus dengan hasil histopatologi yang mencurigakan. Biasanya diberikan Methotrexate atau Actinomycin D . Tidak semua ahli setuju dengan cara ini dengan alasan jumlah kasus mola yang menjadi ganas tidak banyak dan sitostatika merupakan obat yang berbahaya. Goldstein berpendapat bahwa pemberian sitostatika profilaksis dapat menghindarkan keganasan metastasis serta mengurangi terjadinya koriokarsinoma. Kadar β-hCG > 100.000 IU/L praevakuasi dianggap sebagai resiko tinggi untuk perubahan ke arah keganasan. Pertimbangan untuk memberikan Methotrexate (MTX) 3 – 5 mg/kgBB atau 25 mg IM dosis tunggal. Metastasis yang hanya ke paru-paru dapat diobati dengan agen kemoterapi tunggal sedangkan metastasis lainnya memerlukan 3 agen kemoterapi. 4. Pemeriksaan Tindak Lanjut (F ollow Up)
Tujuan utama follow up untuk mendeteksi adanya perubahan yang mengarah keganasan. Metode umum follow up adalah sebagai berikut : - Mencegah kehamilan selama periode follow up, minimal dilakukan selama 1 tahun, mematuhi jadwal kontrol selama 2 – 3 tahun (1 kali pada triwulan pertama, setiap 2 minggu pada triwulan kedua, setiap bulan pada 6 bulan berikutnya, setiap 2 bulan pada tahun berikutnya, dan selanjutnya setiap 3 bulan). - Pengukuran kadar serum B-hCG setiap 2 minggu. - Mempertahankan terapi selama kadar serum menurun. Peningkatan atau pendataran kadar membutuhkan evaluasi dan terapi lanjut.
- Jika kadar normal (mencapai batas rendah dari pengukuran, dilakukan pengukuran setiap bulan sekali selama 6 bulan dan setiap 2 bulan selama 1 tahun) - Follow up dapat dihentikan dan kehamilan diijinkan 1 tahun kemudian. Setiap periksa ulang penting diperhatikan : - Gejala klinik seperti keadaan umum, perdarahan - Lakukan pemeriksaan dalam dan pemeriksaan inspekulo untuk melihat keadaan serviks, uterus cepat bertambah kecil atau tidak - Reaksi biologis atau imunologis air seni (1 kali seminggu sampai hasil negatif, 1 kali dalam 2 minggu selama triwulan selanjutnya, 1 kali sebulan dalam 6 bulan selanjutnya, 1 kali dalam 3 bulan selama tahun berikutnya). Jika reaksi titer tetap (+) maka harus dicurigai adanya keganasan. Keganasan masih dapat timbul setelah 3 tahun pasca terkenan mola hidatidosa. Keganasan dapat timbul 34,5% dalam 6 minggu, 62,1% dalam 12 minggu, 79,4% dalam 24 minggu dan 97,2% dalam 1 tahun setelah mola dievakuasi. Lama pengawasan berkisar antara satu atau dua tahun mengingat kemungkinan terjadi keganasan setelah mola hidatidosa (20%). Gejala-gejala
choriocarsinoma yang harus diwaspadai setelah dilakukan kuretase mola adalah perdarahan yang terus menerus, involusi rahim tidak terjadi, dapat terlihat metastasis ke vagina berupa tumor-tumor yang berwarna biru keunguan, rapuh dan mudah berdarah. Selama pengawasan, secara berkala dilakukan pemeriksaan ginekologis, kadar -hCG dan ultrasonografi. Cara yang paling peka saat ini adalah dengan pemeriksaan -hCG yang menetap untuk beberapa lama. Jika masih tinggi, hal ini menunjukan masih ada sel-sel trofoblas yang aktif. Cara yang umum dipakai sekarang ini adalah dengan
radioimmunoassay terhadap sub-unit -hCG. Pemeriksaan kadar -hCG dilakukan setiap minggu sampai kadar menjadi negatif selama 3 minggu dan selanjutnya setiap bulan selama 6 bulan. Dapat juga terjadi metastasis ke paru-paru yang menimbulkan batuk dan haemoptisis, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut seperti rontgen paru.
Gambar 7. Skema Tatalaksana Mola Hidatidosa
J. Diagnosis Banding
a. Kehamilan normal b. Kehamilan dengan mioma uteri c. Abortus d. Kehamilan ektopik terganggu
K. Komplikasi
- Perforasi uterus selama tindakan kuretase terutama kuret hisap sering muncul karena uterus yang membesar. Jika hal ini terjadi prosedur penanganannya harus dengan laparaskopi. - Perdarahan sering pada evakuasi mola, oleh karena itu oksitosin IV harus diberikan sebelum prosedur dimulai. Methergin atau Hemabase dapat juga diberikan. - Penyakit trofoblastik ganas terjadi pada 20 % kehamilan mola, karenanya pemeriksaan kuantitatif hCG serial dilakukan selama 1 tahun post evakuasi sampai hasilnya negatif. - Disseminated Intravaskular Coagulation (DIC) dapat terjadi karena jaringan mola melepaskan faktor yang bersifat fibrinolitik. Semua pasien harus diperiksa kemungkinan adanya koagulopati. - Emboli trofoblastik dapat menyebabkan insufisiensi pernafasan akut. Faktor risiko terbesar adalah ukuran uterus yang lebih besar dari yang diharapkan pada usia kehamilan 16 minggu. Kondisi ini dapat berakhir fatal. - Kista teka lutein baik unilateral maupun bilateral. Kista lutein dapat menyebabkan pembesaran pada satu atau kedua ovarium dengan ukuran yang beragam, dari diameter mikroskopik sampai ukuran 10 cm atau lebih. Hal ini terjadi pada 25 – 60% penderita mola. Kista teka lutein multiple pada 15 – 30% penderita mola menyebabkan pembesaran satu atau kedua ovarium dan menjadi sumber rasa nyeri. Ruptur, perdarahan atau infeksi mudah terjadi. - Kista lutein ini diperkirakan terjadi akibat rangsangan elemen lutein yang berlebihan oleh hormon β-hCG dalam jumlah besar yang disekresi oleh trofoblast yang berproliferasi. Kasus mola dengan kista lutein mempunyai risiko empat kali lebih besar untuk berkembang menjadi degenerasi keganasan dibandingkan dengan kasus-kasus tanpa kista. Involusi dari kista terjadi setelah beberapa minggu seiring dengan penurunan kadar -hCG. Tindakan bedah hanya dilakukan apabila terdapat ruptur dan perdarahan atau ovarium yang membesar mengalami infeksi. Umumnya ovarium akan kembali pada ukuran normal dalam 12 minggu. - Anemia yang terjadi karena perdarahan berulang - Perdarahan dan syok, perdarahan disebabkan oleh pelepasan jaringan mola dari lapisan desidua, perforasi uterus karena keganasan, atonia uteri atau perlukaan pada uterus karena evakuasi jaringan mola.
- Infeksi sekunder
L. Prognosis
Kematian pada mola hidatidosa disebabkan oleh perdarahan, infeksi, gangguan jantung atau tirotoksikosis. Setelah dilakukan evakuasi jaringan mola secara lengkap, sebagian besar penderita mola hidatidosa komplit akan sehat kembali, kecuali 15 – 20% yang mungkin akan mengalami keganasan. Umumnya yang menjadi ganas adalah mereka yang termasuk golongan resiko tinggi, seperti : 1. Umur diatas 35 tahun 2. Besar uterus di atas 20 minggu 5
3. Kadar beta-hCG diatas 10 mIU/L 4. Gambaran PA yang mencurigakan Dibandingkan dengan MHK, prognosis MHP jauh lebih baik. Hal itu disebabkan tidak adanya penyulit dan derajat keganasannya rendah (4%). Walupun demikian, dalam kepustakaan ditemukan laporan tentang kasus MHP yang disertai metastase ke tempat lain. Penderita pasca MHP harus di follow up sama ketatnya seperti MHK.
2.1.Perdarahan pada hamil muda 2.1.3 Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan yang pertumbuhan sel telur yang telah dibuahi tidak menempel pada dinding endometrium kavum uteri. Lebih dart 95 % kehamilan ektopik berada di saluran telur (tuba Fallopii). Kejadian kehamilan ektopik tidak sama di antara senter pelayanan kesehatan. Hal ini bergantung pada kejadian salpingitis seseorang. Di Indonesia kejadian sekitar 5 – 5 per seribu kehamilan. Parofisiologi terjadinya kehamilan ektopik tersering karena sel telur yang sudah dibuahi dalam perjalanannya menuju endometrium tersendat sehingga embrio sudah berkembang sebelum mencapai kawm uteri dan akibatnya akan tumbuh di luar rongga rahim. Bila kemudian tempat nidasi tersebur tidak dapat menyesuaikan diri dengan besarnya buah kehamilan, akan terjadi ruptura dan menjadi kehamilan ektopik yang terganggu. (lihat Gambar 37-4). Berdasarkan lokasi terjadinya, kehamilan ektopik dapat dibagi menjadi 5 berikut ini.
Kehamilan tuba, meliputi > 95 % yang terdiri atas: Pars ampularis (55 %), pars ismika (25%),pars fimbriae (17 %), dan pars interstisialis (2 %).
Kehamilan ektopik lain (< 5 %) antara lain terjadi di serviks, kornu uterus, ovarium, atau abdominal. Untuk kehamilan abdominal lebih sering merupakan kehamilan abdominal sekunder di mana semula merupakan kehamilan tuba yang kemudian abortus dan meluncur ke abdomen dari ostium tuba pars abdominalis (abortus tubaria) yang kemudian embrio/buah kehamilannya mengalami reimplantasi di kavum abdomen, misalnya di mesenterium/mesovarium atau di omentum.
Kehamilan intraligamenter, jumlahnya sangat sedikit.
Kehamilan heterotopik, merupakan kehamilan ganda di mana satu janin berada di kavum uteri sedangkan yang lain merupakan kehamilan ektopik. Kejadian sekitar satu per 15.000 - 40.000 kehamilan.
Kehamilan ektopik bilateral. Kehamilan ini pernah dilaporkan walaupun sangat jarang terjadi.
Etiologi
Etiologi kehamilan ektopik sudah banyak disebutkan karena secara patofisiologi mudah dimengerti sesuai dengan proses awal kehamilan sejak pembuahan sampai nidasi" Bila nidasi terjadi di luar karum uteri atau di luar endometrium, maka terjadiiah kehamilan ektopik. Dengan demikian, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya hambatan dalam nidasi embrio ke endometrium menjadi penyebab kehamilan ektopik ini. Faktor-faktor yang disebutkan adalah sebagai berikut. Faktor tuba
Adanya peradangan atau infeksi pada tuba menyebabkan lumen tuba menyempit atau buntu. Keadaan uterus yang mengalami hipoplasia dan saluran tuba yang berkelok-kelok panjang dapat menyebabkan fungsi silia tuba tidak berfungsi dengan baik. Juga pada keadaan pascaoperasi rekanalisasi tuba dapat merupakan predisposisi terjadinya kehamilan ektopik. Faktor tuba yang lain ialah adanya kelainan endometriosis tuba atau divertikel sa Iuran tuba yang bersifat kongenital. Adanya tumor di sekitar saluran tuba, misalnya mioma uteri atau tumor ovarium yang menyebabkan perubahan bentuk dan patensi tuba, juga dapar menjadi etiologi kehamilan ektopik.
Faktor abnormalitas dari zigot
Apabila tumbuh terlalu cepat atau tumbuh dengan ukuran besar, maka zigot akan tersendat dalam perjalanan pada saat melalui tuba, kemudian terhenti dan tumbuh di saluran tuba. Faktor ovarium
Bila ovarium memproduksi orum dan ditangkap oleh tuba yang kontralateral, dapat membutuhkan proses khusus atau waktu yang lebih panjang sehingga kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik lebih besar. Faktor hormonal
Pada akseptor, pil KB yang hanya mengandung progesreron dapat mengakibatkan gerakan tuba melambat. Apabila terjadi pembuahan dapat menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik. Faktor lain
Termasuk di sini antara lain adalah pemakai IUD di mana proses peradangan yang dapat timbul pada endometrium dan endosalping dapat menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik. Faktor umur penderir*yang sudah menua dan faktor perokok juga sering dihubungkan dengan terjadinya kehamilan ektopik.
Patologi
Pada proses awal kehamilan apabila embrio tidak bisa mencapai endometrium untuk proses nidasi, maka embrio dapat tumbuh di saluran tuba dan kemudian akan mengalami beberapa proses seperti pada kehamilan pada umumnya. Karena tuba bukan merupakan suatu media yang baik untuk pertumbuhan embrio atau mudigah, maka pertumbuhan dapat mengalami beberapa perubahan dalam bentuk berikut ini.
Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi. Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena vaskularisasi kurang dan dengan mudah terjadi resorbsi total. Dalam keadaan ini penderita tidak mengeluh apa-apa, hanya haidnya terlambat untuk beberapa hari.
Abortus ke dalam lumen tuba. (Abortus tubaria) Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah oleh vili korialis pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan mudigah dari dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya pseudokapsularis. Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya, bergantung pada derajat perdarahan yang timbul. Bila pelepasan menyeluruh,
mudigah dengan selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah ke arah ostium tuba pars abdominalis. Frekuensi abortus dalam tuba bergantung pada implantasi telur yang dibuahi. Abortus ke lumen tuba lebih sering terjadi pada kehamilan pars ampularis, sedangkan penembusan dinding tuba oleh vili korialis ke arah peritoneum biasanya terjadi pada kehamilan pars ismika. Perbedaan ini disebabkan oleh lumen pars ampularis yang lebih luas sehingga dapat mengikuti lebih mudah pertumbuhan hasil konsepsi jika dibandingkan dengan bagian ismus dengan lumen sempit. Pada pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna pada abortus, perdarahan akan terus berlangsung, dari sedikit-sedikit oleh darah, sehingga berubah menjadi mola kruenta. Perdarahan yang berlangsung tems menyebabkan tuba membesar dan kebirubiruan (hematosalping), dan selanjutnya darah mengalir ke rongga perut melalui ostium tuba. Darah ini akan berkumpul di kawm Douglasi dan akan rnembentuk hematokel retrouterina.
Ruptur dinding tuba
Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan biasanya pada kehamilan muda. Sebaliknya, ruptur pada pars interstisialis terjadi pada kehamilan yang lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan ruptur ialah penembusan vili korialis ke dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum. Ruptur dapat terjadi secara spontan atau karena trauma ringan seperti koitus dan pemeriksaan vaginal. Dalam hal ini akan terjadi perdarahan dalam rongga perut, kadang-kadang sedikit, kadang-kadang banyak, sampai menimbulkan syok dan kematian. Bila pseudokapsularis ikut pecah, maka terjadi pula perdarahan dalam lumen tuba. Darah dapat mengalir ke dalam rongga perut melalui ostium tuba abdominal. Bila pada abortus dalam tuba ostium tuba tersumbat, ruptur sekunder dapat terjadi. Dalam hal ini dinding tuba, yang telah menipis oleh invasi trofoblas, pecah karena tekanan darah dalam tuba. Kadang-kadang ruptur terjadi di arah iigamentum itu. Jika janin hidup terus, terdapat kehamilan intraligamenter. Pada ruptur ke rongga perut seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi bila robekan tuba kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeiuarkan dari tuba. Perdarahan dapat berlangsung terus sehingga penderita akan cepat jatuh dalam keadaan anemia atau syok oleh karena hemoragia. Darah tertampung pada rongga perut akan mengalir ke kavum Douglasi yang makin lama makin banyak dan akhirnya dapat memenuhi rongga abdomen. Bila penderita tidak dioperasi dan tidak meninggal karena perdarahan, nasib janin bergantung
pada kerusakan yang diderita dan tuanya kehamilan. Bila janin mati dan masih kecil, dapat diresorbsi seluruhnya; bila besar, kelak dapat diubah menjadi litopedion. Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih diselubungi oleh kantong amnion dan dengan plasenta masih utuh, kemungkinan tumbuh terus dalam rongga perut, sehingga akan terjadi kehamilan abdominal sekunder. Untuk mencukupi kebutuhan makanan bagi janin, plasenta dari tuba akan meluaskan impiantasinya ke jaringan sekitarnya, misalnya ke sebagian utems, ligamentum latum, dasar panggui, dan usus.
Gambaran Klinik
Gambaran klinik kehamilan tuba yang belum terganggu tidak khas, dan penderita maupun dokternya biasanya tidak mengetahui adanya kelainan dalam kehamilan, sampai terjadinya abortus tuba atau ruprur tuba. Pada umumnya penderita menunjukkan gejala-gejala kehamilan muda, dan mungkin merasa nyeri sedikit di perut bagian bawah yang tidak seberapa dihiraukan. Pada pemeriksaan vaginal uterus membesar dan lembek walaupun mungkin tidak sebesar pada kehamilan. Tuba yang mengandung hasil konsepsi karena lembeknya sukar diraba pada pemeriksaan bimanual. Pada pemeriksaan USG sangat membantu menegakkan diagnosis kehamilan ini apakah intrauterine atau kehamilan ektopik. Untuk itu setiap ibu yang memeriksakan kehamilan mudanya sebaiknya dilakukan pemeriksaan USG. Apabila kehamilan ektopik mengalami penyulit atau terjadi ruptur pada tuba tempat lokasi nidasi kehamilan ini akan memberikan gejala dan tanda yang khas yaitu timbulnya sakit perut mendadak yang kemudian disusul dengan syok atau pingsan. Ini adalah pertanda khas teriadinya kehamilan ektopik yang terganggu. Walau demikian, gejala dan tanda kehamilan tuba terganggu sangat berbeda-beda; dari perdarahan yang tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya gejala yang tidak jelas, sehingga sukar dibuat diagnosisnya. Gejala dan tanda bergantung pada lamanya kehamilan ektopik terganggu, abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan, derajat perdarahan yang terjadi, dan keadaan umum penderita sebelum hamil. Nyeri merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik terganggu. Pada ruptur tuba nyeri perut bagian bawah terjadi secara tiba-tiba dan intensitasnya disertai dengan perdarahan yang menyebabkan penderita pingsan dan masuk ke dalam syok. Biasanya pada abortus tuba nyeri tidak seberapa hebat dan tidak terus-menerus. Rasa nyeri mula-mula terdapat pada satu sisi; tetapi, setelah darah masuk ke dalam rongga perut, rasa nyeri menjalar ke bagian tengah atau ke seluruh perut bawah. Darah dalam rongga perut dapat merangsang diafragma,
sehingga
menyebabkan
nyeri
bahu
dan
bila
membentuk
hematokel
retrouterina,
menyebabkan defekasi nyeri. Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada kehamilan ektopik yang terganggu. Hal ini menunjukkan kematian janin, dan berasal dari kavum uteri karena pelepasan desidua. Perdarahan yang berasal dari uterus biasanya tidak banyak dan berwarna cokelat tua. Frekuensi perdarahan dikemukakan dari 51 hingga 93 %. Perdarahan berarti gangguan pembentukan human cborionic gonadotropin Jika plasenta mati, desidua dapat dikeluarkan seluruhnya. Amenorea merupakan juga tanda yang penting pada kehamilan ektopik walaupun penderita sering menyebutkan tidak jelasnya ada amenorea, karena gejala dan tanda kehamilan ektopik terganggu bisa langsung terjadi beberapa saat setelah terjadinya nidasi pada saluran tuba yang kemudian disusul dengan ruptur tuba karena tidak bias menampung pertumbuhan mudigah selanjutnya. Lamanya amenorea bergantung pada kehidupan janin, sehingga dapat bervariasi. Sebagian penderita tidak mengalami amenorea karena kematian janin terjadi sebelum haid berikutnya. Hal ini menyebabkan frekuensi amenorea yang dikemukakan berbagai penulis berkisar dari 23 hingga 97 jam. Pada kehamilan ektopik terganggu ditemukan pada pemeriksaan vaginal – bahwa usaha menggerakkan serviks uteri menimbulkan rasa nyeri, yang disebut dengan nyeri goyang (+) atau slinger pijn (bahasa Belanda). Demikian pula kavum Douglasi menonjol dan nyeri pada perabaan oleh karena terisi oleh darah. Pada abortus tuba biasanya teraba dengan jelas suatu tumor di samping uterus dalam berbagai ukuran dengan konsistensi agak lunak. Hematokel retrouterina dapat diraba sebagai tumor di kavum Douglasi. Pada ruptur tuba dengan perdarahan banyak tekanan darah dapat menurun dan nadi meningkat; perdarahan lebih banyak lagi menimbulkan syok. Kehamilan ektopik terganggu sangat bervariasi, dari yang klasik dengan gejala perdarahan mendadak dalam rongga perut dan ditandai oleh abdomen akut sampai gejalagejala yang samar-samar, sehingga sukar membuat diagnosis. Pemeriksaan USG dapat dilakukan secara perabdominal atau pervaginam. lJmumnya kita akan mendapatkan gambaran uterus yang tidak ada kantong gestasinya dan mendapatkan gambaran kantong gestasi yang berisi mudigah di iuar uterus. Apabila sudah terganggu (ruptur) maka bangunan kantong gestasi sudah tidak jelas, tetapi akan mendapatkan bangunan massa hiperekoik yang tidak beraturan, tidak berbatas tegas, dan di sekitarnya didapati cairan bebas (gambaran darah intraabdominal). Gambar USG kehamilan ektopik sangat bevariasi bergantung pada usia kehamilan, ada tidaknya gangguan kehamilan (ruptur, abortus) serta banyak dan lamanya
perdarahan intraabdomen. Diagnosis pasti kehamilan ektopik secara USG hanya bisa diregakkan bila terlihat kantong gestasi berisi mudigah/janin hidup yang letaknya di luar kawm uteri. Narmun, gambaran ini hanya dijumpai pada 5 - 10 % kasus. Sebagian besar kehamilan ektopik tidak memberikan gambaran yang spesifik. IJterus mungkin besarnya normal atau mengalami sedikit pembesaran yang tidak sesuai dengan usia kehamilan. Endometrium menebai ekogenik sebagai akibat reaksi desidua. Kavum uteri sering berisi cairan eksudat yang diproduksi oleh sel-sel desidua, yang pada pemeriksaan terlihat
sebagai
stmktur
cincin
anekoik
yang
disebut
kantong
gestasi
palsu
(ltsewdogestational sac). Berbeda dengan kantong gestasi yang sebenarnya, kantong gestasi palsu letaknya simetris di karum uteri dan tidak menunjukkan struktur cincin ganda. Seringkali dijumpai massa tumor di daerah adneksa, yang gambarannya sangar bervariasi. Mungkin terlihat kantong gestasi yang masih utuh dan berisi mudigah, mungkin hanya berupa massa ekogenik dengan batas ireguler, araupun massa kompieks yang terdiri atas sebagian ekogenik dan anekoik. Gambaran massa yang tidak spesifik ini mungkin sulit dibedakan dari gambaran yang disebabkan oleh peradangan adneksa, tumor ovarium, ataupun massa endometrioma. Pada 15 - 20 % kasus kehamilan ektopik tidak dijumpai adanya massa di adneksa. Perdarahan intraabdomen yang terjadi akibat kehamilan ektopik terganggu juga tidak memberikan gambaran spesifik, bergantung pada banyak dan lamanya proses perdarahan. Gambarannya dapat berupa massa anekoik di kavum Douglasi yang mungkin meluas sampai ke bagian aras rongga abdomen. Bila sudah terjadi bekuan darah, gambaran berupa massa ekogenik yang tidak homogen. Gambaran perdarahan akibat kehamilan ektopik sulit dibedakan dari perdarahan atau cairan bebas yang terladi oleh sebab lain, sepeni endometriosis pelvik, peradangan pelvik, asites, pus, kista pecah, dan perdarahan ovulasi. Bila kita tidak mempunyai fasilitas USG diagnosis dapat dibantu ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan pungsi karum Douglasi (kuldosentesis) di mana jendalan darah yang melayang-layang di kavum Douglasi terisap saat dilakukan pungsi.
Diagnosis
Kesukaran membuar diagnosis yang pasti pada kehamilan ektopik belum terganggu demikian besarnya, sehingga sebagian besar penderita mengalami abortus tuba atau ruptur tuba sebelum keadaan menjadi jelas. Bila diduga ada kehamilan ektopik yang belum terganggu, penderita segera dirawat di rumah sakit. Alat bantu diagnostik yang dapat digunakan ialah ultrasonografi, laparoskopi, atau kuldoskopi.
Diagnosis kehamilan ektopik terganggu pada jenis mendadak tidak banyak mengalami kesukaran, tetapi pada jenis menahun atau aripik bisa sulit sekaii. Untuk mempertajam diagnosis, maka pada tiap perempuan dalam masa reproduksi dengan keluhan nyeri perut bagian bawah atau keiainan haid, kemungkinan kehamilan ektopik harus dipikirkan. Pada umumnya dengan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan yang cermar diagnosis dapat ditegakkan, walaupun biasanya alat bantu diagnostik sepeni kuldosentesis, ultrasonografi, dan laparoskopi masih diperlukan Anamnesei. Haid biasanya terlambat untuk beberapa waktu dan kadang-kadang terdapat gejala subjektif kehamilan muda. Nyeri perut bagian bawah, nyeri bahu, tenesmus, dapar dinyatakan. Perdarahan pervaginam terjadi setelah nyeri perur bagian bawah. Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan pemeriksaan hemoglobin dan jumlah sel darah merah berguna dalam menegakkan diagnosis kehamilan ektopik terganggu, terutama bila ada tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut. Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit dapat dilakukan secara serial dengan jarak satu jam selama 3 kali berturut-turut. Bila ada penurunan hemoglobin dan hematokrit dapat mendukung diagnosis kehamilan ektopik terganggu. Pada kasus jenis tidak mendadak biasanya ditemukan anemia; tetapi, harus diingat bahwa penurunan hemoglobin baru terlihat setelah 24 jam.
Penghitungan leukosit secara berturut menunjukkan adanya perdarahan bila leukositosis meningkat. Untuk membedakan kehamilan ektopik dari infeksi pelvik, dapat diperhatikan jumlah leukosit. Jumlah leukosit yang melebihi 20.000 biasanya menunjuk pada keadaan yang terakhir. Tes kehamilan berguna apabila positif. Akan tetapi, tes negatif tidak menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik terganggu karena kematian hasil konsepsi dan degenerasi trofoblas menyebabkan produksi hwman chorionic gonadotropin menumn dan menyebabkan tes negatif. Diagnosis kehamilan ektopik terganggu sering keliru dengan abortus insipiens atau abortus inkompletus yang kemudian dilakukan kuretase. Bila hasil kuretase meragukan jumlah sisa hasil konsepsinya, maka kita perlu curiga terjadinya kehamilan ektopik terganggu yang gejala dan tandanya tidak khas. Pada umumnya dilatasi dan kerokan untuk menunjang diagnosis kehamilan ektopik tidak dianjurkan. Berbagai alasan dapat dikemukakan:
Kemungkinan adanya kehamilan dalam uterus bersama kehamilan ektopik;
Hanya 12 sampai 19 % kerokan pada kehamilan ektopik menunjukkan reaksi desidua;
Perubahan endometrium yang berupa reaksi Arias-Stella tidak khas untuk kehamilan ektopik. Namun, jika jaringan yang dikeluarkan bersama dengan perdarahan terdiri atas desidua tanpa vili korialis, hal itu dapat memperkuat diagnosis kehamilan ektopik terganggu. Kuldosentesis adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam kavum Douglasi ada darah. Cara ini sangat berguna dalam membantu membuat diagnosis kehamilan ektopik terganggu. Teknik kuldosentesis dapat dilaksanakan dengan urutan berikut. . Penderita dibaringkan dalam posisi litotomi.
Vulva dan vagina dibersihkan dengan antiseptik.. Spekulum dipasang dan bibir belakang porsio dijepit dengan cunam serviks; dengan traksi ke depan sehingga forniks posterior tampak.
Jarum spinal no. 18 ditusukkan ke dalam karum Douglasi dan dengan semprit 10 ml dilakukan pengisapan.
Bila pada pengisapan ditemukan darah, maka isinya disemprotkan pada kain kasa dan diperhatikan apakah darah yang dikeluarkan merupakan:
- darah segar berwarna merah yang dalam beberapa menit akan membeku; darah ini
berasal dari arteri atau vena yang tertusuk; - darah tua berwarna cokelat sampai hitam yang tidak membeku, atau yang berupa bekuan kecil-kecil; darah ini menunjukkan adanya hematokel retrouterina. Laparoskopi hanya digunakan sebagai alat bantu diagnostik terakhir untuk kehamilan ektopik apabila hasil penilaian prosedur diagnostik yang lain meragukan. Melalui prosedur laparoskopik, alat kandungan bagian dalam dapat dinilai. Secara sistematis dinilai keadaan uterus, ovarium, tuba, kavum Douglasi, dan ligamentum latum. Adanya darah dalam rongga pelvis mungkin mempersulit visualisasi alat kandungan, tetapi hal ini menjadi indikasi untuk dilakukan laparotomi.
Pengelolaan Kehamilan Ektopik
Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi. Dalam tindakan demikian, beberapa hal harus diperhatikan dan dipertimbangkan yaitu; kondisi penderita saat itu, keinginan penderita akan fungsi reproduksinya, Iokasi kehamiian ektopik, kondisi anatomik organ pelvis, kemampuan teknik bedah mikro dokter operator, dan kemampuan teknologi fertilisasi invitro setempat. Hasil pertimbangan ini menentukan apakah perlu dilakukan salpingektomi pada kehamilan tuba, arau dapat dilakukan pembedahan konservatif dalam arti hanya dilakukan salpingostomi atau reanasromosis tuba. Apabila kondisi penderita buruk, misalnya dalam keadaan syok, lebih baik dilakukan salpingektomi. Pada kasus kehamilan ektopik di pars ampularis tuba yang belum pecah pemah dicoba ditangani dengan menggunakan kemoterapi untuk menghindari tindakan pembedahan. Kriteria kasus yang diobati dengan cara ini ialah: (1) kehamilan di pars ampularis tuba belum pecah; (2) diameter kantong gestasi < 4 cm; (3) perdarahan dalam rongga perut < 100 ml; (4) tanda vital baik dan stabil. Obat yang digunakan ialah metotreksat 1 mg/kg I.V. dan faktor sitrovorum 0,1 g/kg I.M. berselang-seling setiap hari selama 8 hari. Dari seluruh 6 kasus yang diobati, satu kasus dilakukan salpingektomi pada hari ke-12 karena gejala abdomen akut, sedangkan 5 kasus berhasil diobati dengan baik.
Prognosis
Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun dengan diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup. Hellman dan kawan-kawan (1,971,) melaporkan 1 kematian di antara 826 kasus, dan Wilson dan kawan-kawan (1,971) 1. anrara 591. Akan tetapi, bila pertolongan terlambat, angka kematian dapat tinggi. Sjahid dan Martohoesodo (1970) mendapatkan angka kematian 2 dari 120 kasus, sedangkan Tarjiman dan kawan kawan (1973) 4 dari 138 kehamilan ektopik. Pada umumnya kelainan yang menyebabkan kehamilan ektopik bersifat bilateral. Sebagian perempuan menjadi steril setelah mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba yang lain. Angka kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan antara 0 7o sampai 14,6 "h. Untuk perempuan dengan anak sudah cukup, sebaiknya pada operasi dilakukan salpingektomi bilateralis. Dengan sendirinya hal ini perlu disetujui oleh suami-isteri sebelumnya.
Kehamilan Pars Interstisialis Tuba
Kehamilan ektopik ini terjadi bila or,,um bernidasi pada para interstisialis tuba. Keadaan ini jarang terjadi dan hanya 1 'h dari semua kehamilan tuba. Ruptur pada keadaan ini terjadi pada kehamilan lebih tua, dapat mencapai akhir bulan keempat. Perdarahan yang terjadi sangat banyak dan bila tidak segera dioperasi, akan menyebabkan kematian. Tindakan operasi yang dilakukan adalah laparotomi untuk membersihkan isi kavum abdomen dari darah dan sisa jaringan konsepsi serta menutup sumber perdarahan dengan melakukan irisan baji (wedge resection) pada kornu uteri di mana tuba pars interstisialis berada. Perlu diperhatikan pascatindakan ini untuk kehamilan berikutnya.
Kehamilan Ektopik Ganda
Sangat jarang kehamiian ektopik berlangsung bersamaan dengan kehamilan intrauterin. Keadaan ini disebut kehamilan ektopik ganda (combined ectopic pregnanqt). Frekuensinya berkisar 1 di antara 15.000 - 40.000 persalinan. Di Indonesia dilaporkan sudah ada beberapa kasus. Pada umumnya diagnosis kehamilan dibuat pada waktu operasi kehamilan ektopik yang terganggu. Pada laparotomi ditemukan - selain kehamilan ektopik - utems yang membesar sesuai dengan tuanya kehamilan, dan 2 kolpora lutea. Pengamatan lebih lanjut adanya kehamilan intrauterin menjadi lebih jelas. Setelah laparotomi untuk mengelola kehamilan ektopiknya kehamilan intrauterin dapat berlanjut seperti kehamilan lainnya.
Kehamilan Ovarial
Kehamilan ovarial primer sangat jarang terjadi. Diagnosis kehamilan tersebut ditegakkan atas dasar 4 kriterium dari Spiegelberg, yakni (1) tuba pada sisi kehamilan harus normal; (2) kantong janin harus berlokasi pada ovarium; (3) kantong janin dihubungkan dengan uterus oleh ligamentum ovari proprium; (4) jaringan ovarium yang nyata harus ditemukan dalam dinding kantong janin. Kriteria tersebut sebenarnya sukar dipenuhi karena kerusakan jaringan ovarium, pertumbuhan trofoblas yang luas, dan perdarahan menyebabkan topografi kabur, sehingga pengenalan implantasi permukaan ovum sukar ditentukan dengan pasti. Diagnosis yang pasti diperoleh bila kantong janin kecil, dikelilingi oleh jaringan ovarium dengan trofoblas memasuki alat tersebut. Pada kehamilan ovarial biasanya terjadi ruptur pada kehamilan muda dengan akibat perdarahan dalam perut. Hasil konsepsi dapat pula mengalami kematian sebelumnya,
sehingga tidak terjadi ruptur; ditemukan benjolan dengan berbagai ukuran, yang terdiri atas jaringan ovarium yang mengandung darah, vili korialis, dan mungkin juga selaput mudigah.
Kehamilan Servikal
Kehamilan servikal pun sangat jarang terjadi. Bila orum berimplantasi daiam kanalis servikalis, maka akan terjadi perdarahan tanpa nyeri pada kehamilan muda. Jika kehamilan berlangsung terus, serviks membesar dengan ostium uteri eksternum terbuka sebagian. Kehamilan servikal jarang melampaui 1,2 minggu dan biasanya diakhiri secara operatif oleh karena perdarahan. Pengeluaran hasil konsepsi pervaginam dapat menyebabkan banyak perdarahan, sehingga untuk menghentikan perdarahan diperlukan histerektomia totalis. Rubin (1911) mengajukan kriteria kehamilan servikal sebagai berikut.
Kelenjar serviks harus ditemukan di seberang tempat implantasi plasenta;
Tempat implantasi plasenta harus di bawah arteria uterina atau di bawah peritoneum viserale uterus;
Janin/mudigah tidak boleh terdapat di daerah korpus uterus; Implantasi plasenta di serviks harus kuat.
Kesulitan dalam penilaian kriteria Rubin ialah bahwa harus dilakukan histerektomi atau biopsi jaringan yang adekuat. Oleh sebab iru, Paalman dan McElin (1959) membuat kriteria klinik sebagai berikut. ostium uteri inrernum tertutup; ostium uteri eksternum terbuka sebagian; seluruh hasil konsepsi terletak dalam endoserviks; perdarahan uterus setelah fase amenorea ranpa disertai rasa nyeri; serviks lunak, membesar, dapat lebih besar dari fundus uteri, sehingga terbentuk bowr-ghss uterus.
Kehamilan Ektopik Kronik (Hematokel)
Istilah kehamilan ektopik kronik di sini dipakai karena pada keadaan ini anatomi sudah kabur, sehingga biasanya tidak dapat ditentukan apakah kehamilan ini kehamilan abdominal, kehamilan tubo-ovarial, atau kehamilan intraligamenter yang ianinnya telah mati disertai adanya gumpalan darah yang semula berasal dari perdarahan ruptur kantong gestasi yang kemudian perdarahan tersebut berhenti dan menggumpal dalam bentuk kantong jendalan darah. Penderita tidak merasakan sakit lagi, tetapi pada pemeriksaan fisik dan USG didapatkan massa yang berisi jendalan-jendalan darah seperti tersebut di atas. Kehamilan ektopik kronik pada umumnya terjadi setelah ruptur tuba atau abortus tuba dan selanjutnya janin dapat tumbuh terus karena mendapat atkup zat-zat makanan dan
oksigen dari plasenta yang dapat meluaskan insersinya pada jaringan sekitarnya, seperti tuba, uterus, dan dinding panggul, usus. Bila janin tetap tumbuh membesar dapat benahan hidup sebagai kehamilan abdominal. Pada ibu yang mendambakan punya anak melalui kehamilan ini pada umumnya akan meminta pada dokter untuk tetap mempertahankan kelangsungan kehidupan kehamilannya walaupun kadang-kadang merasa sakit. Dengan pengobatan simptomatis keluhan sakit ini akan berkurang dan pertumbuhan janin dapat berlangsung terus. Kehamilan ini merupakan komplikasi obstetric yang mempunyai morbiditas dan mortalitas janin yang tinggi dan sangat membahayakan ibu sehingga tidak bijaksana bila kita menemukan kehamilan abdominal masih berupaya untuk mempertahankan sampai genap bulan. Dianjurkan bila diagnosis kehamilan abdominal sudah tegak harus dilakukan laparotomi untuk pengambilan/penghentian kehamilan tersebut. Frekuensi kehamilan abdominal lanjut sangat jarang. Diiaporkan bahwa di rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo dari tahun 1967 hingga tahun 1972, ditemukan 1 kasus kehamilan ektopik lanjut di antara 1.055 persalinan. Berbagai penulis mengemukakan angkaangka untuk kehamilan abdominal sebagai berikut. Cross dan kawan-kawan (1951) 1 di antara 2.207 persalinan, King (1,954) 1 di antara 5.000 persalinan, dan Crowford dan Ward (1957) I di antara 3.161 persalinan. Gambaran klinik pada kehamilan ektopik lanjut bergantung pada keadaan janin yang biasanya terietak dalam kantong janin, umumnya tidak baik dan sebagian besar meninggal. Selain itu, sering ditemukan kelainan kongenital karena sempitnya mangan untuk tumbuh. Bila janin meninggai setelah mencapai umur tertentu, sukar untuk diresorbsi, sehingga akan mengalami supurasi, mumifikasi, kalsifikasi, ata:u adipocere. Pada supurasi bila kantong janin pecah infeksi bisa menyebar; jika penderita tidak meninggal, maka ada kemungkinan bahwa bagian-bagian janin dikeluarkan melewati rektum, kandung kencing, atau dinding perut, bergantung pada lokus minoris resistensi yang terbentuk. Pada keadaan lain janin menjadi mummi atau litopedion, dan tinggal bertahun-tahun di perut. Karena tipisnya kantong janin, penderita merasa gerakan janinnya lebih jelas daripada kehamilan dalam uterus. Jika janin hidup terus, maka setiap waktu kantong janin dapat sobek dengan kemungkinan timbulnya perdarahan yang banyak dalam perut. Kehamilan mungkin pula berlangsung sampai cukup-bulan. Jika saat ini tercapai, penderita merasa mules seperti akan bersalin (spwriows kbowr), dan janin tidak lama kemudian meninggal. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan anamnesis yang tidak jarang memberi petunjuk adanya kehamilan muda yang disertai dengan perdarahan dan nyeri perut bagian
bawah. Penderita merasakan bahwa kehamilan ini tidak berjalan seperti biasa, gejala gastrointestinal nyata, dan gerakan anak dirasakan lebih nyeri. Pada kehamilan lebih lanjut pada pemeriksaan abdomen sering ditemukan kelainan letak janin. Bagian-bagian janin teraba lebih jelas di bawah kulit, walaupun pada multipara dan perempuan dengan dinding perut yang tipis kesan tersebut kadang-kadang juga diperoleh. Kontraksi Braxton-Hicks pada tumor berisi janin tidak dapat ditimbulkan seperti pada kehamilan dalam uterus. Pada pemeriksaan vaginal seringkali didapatkan serviks terletak tinggi di vagina dan biasanya tidak seberapa besar dan lembek seperti pada kehamilan intrauterin. Benda sebesar tinju kecil berhubungan dengan serviks tidak jarang ditemukan di samping atau di depan tumor berisi janin, Benda itu ialah uterus. Bahwa tumor itu benar uterus, dapat dibuktikan dengan timbulnya kontraksi bila penderita diberi suntikan 1 satuan oksitosin intramuskulus. Pemeriksaan dengan foto rontgen sering menunjukkan janin dalam letak melintang, miring, atau dalam sikap dan lokasi yang abnormal. Pada pemeriksaan ulangan lokasi janin tetap sama. Pada saat ini pemeriksaan dengan ultrasonografi sangat membantu dalam diagnostic kehamilan ektopik lanjut. Pengelolaan pada kehamilan ektopik lanjut dengan janin hidup, dengan pecahnya kantong janin selalu ada bahaya perdarahan dalam rongga perut. Hal ini dapat timbul setiap waktu. Maka dari itu, setelah diagnosis dibuat, perlu segera dilakukan operasi tanpa memandang tuanya kehamilan. Persediaan darah paling sedikit 1 liter karena perdarahan yang sangat banyak dapat terjadi bila plasenta tanpa disengaja untuk sebagian dilepas. Hemostatis tempat implantasi plasenta pada kehamiian ektopik lanjut tidak ada karena alavalat sekitar uterus tidak mengandung otot yang dapat menutup pembuluh darah pada bekas implantasi plasenta, seperti pada kehamilan intrauterin. Jika janin sudah meninggal, operasi perlu juga dilakukan, akan tetapi keadaannya tidak begitu mendesak. Setelah dinding perut dibuka, selaput janin dipotong pada daerah yang mengandung sedikit pembuluh darah, janin dikeluarkan hati-hati, dan dihindarkan tarikan yang berlebihan pada tali pusat. Tali pusat dipotong dekat pada plasenta dan plasenta pada umumnya ditinggalkan. Plasenta di sini - tidak seperti pada kehamilan intrauterin - berimplantasi pada dasar yang setelah plasenta diangkat, tidak berkontraksi dan menutup pembuluh-pembuluh darah yang terbuka. Maka, jika plasenta diangkat, timbul perdarahan terus-menerus. Oleh sebab itu, umumnya plasenta ditinggalkan. Plasenta hanya dikeluarkan bila berimplantasi pada alat yang bersama-sama dapat dikeluarkan dengan pengikatan pembuluh-pembuluh darah. Dengan meninggalkan plasenta
dalam rongga perut ada kemungkinan terjadi infeksi, supurasi, perlekatan, luka perut terbuka, atau kadang-kadang ileus. Walaupun demikian, sikap meninggalkan plasenta masih dapat dipenanggungjawabkan karena pengeluaran plasenta menimbulkan perdarahan demikian banyaknya, sehingga penderita dapat meninggal pada waktu operasi. Luka dinding perut ditutup tanpa meningga\kan d.rain, kecuali bila ada supurasi atau perdarahan yang tidak banyak tetapi difus. Plasenta yang ditinggalkan dalam rongga perut lambat-laun mengecil karena resorbsi, tetapi hal ini memerlukan waktu beberapa tahun. Pemeriksaan USG pada Kehamilan Ektopik
Pada kehamilan normal struktur kantong gestasi intrauterin dapat dideteksi mulai kehamilan 5 minggu, di mana diameternya sudah mencapai 5 - 1O mm. Bila dihubungkan dengan kadar Human Chorionic Gonadotropin (hCG), pada saat itu kadarnya sudah mencapai 6.000 - 6.500 mlU/ml. Dari kenyataan ini bisa juga diartikan bahwa bila pada kadar hCG yang lebih dari 6500 mlU/ml tidak dijumpai adanya kantong gestasi intrauterin, maka kemungkinan kehamilan ektopik harus dipikirkan. Gambar USG kehamilan ektopik sangat bervariasi bergantung pada usia kehamilan, ada tidaknya gangguan kehamilan (ruptur, abortus), serta banyak dan lamanya perdarahan intraabdomen. Diagnosis pasti kehamilan ektopik secara USG hanya bisa ditegakkan bila terlihat kantong gestasi berisi mudigah/janin hidup yang letaknya di Iuar kalrrm uteri. Namun, gambaran ini hanya dijumpai pada 5 - 10 7o kasus. Sebagian besar kehamilan ektopik tidak memberikan gambaranyang spesifik. Ikterus mungkin besarnya normal, atau mengalami sedikit pembesaran yang tidak sesuai dengan usia kehamilan. Endometrium menebal ekogenik sebagai akibat reaksi desidua. Kavum uteri sering berisi cairan eksudat yang diproduksi oleh sel-sel desidua,yang pada pemeriksaan terlihat sebagai struktur cincin anekoik yang disebut kantong gestasi palsu (pseudogestational sac). Berbeda dengan kantong gestasi yang sebenarnya, kantong gestasi palsu letaknya simetris di karum uteri dan tidak menunjukkan struktur cincin ganda. Seringkali dijumpai massa tumor di daerah adneksa, yang gambarannya sangat bervariasi. Mungkin terlihat kantong gestasi yang masih utuh dan berisi mudigah, mungkin hanya berupa massa ekogenik dengan batas ireguler, ataupun massa kompleks yang terdiri atas sebagian ekogenik dan anekoik. Gambaran massa yang tidak spesifik ini mungkin sulit dibedakan dari gambaran yang disebabkan oleh peradangan adneksa, tumor ovarium, ataupun massa endometrioma. Pada 15 - 20 % kasus kehamilan ektopik tidak dijumpai adanya massa di adneksa. Perdarahan intraabdomen yang terjadi akibat kehamilan ektopik terganggu juga
tidak memberikan gambaran spesifik, bergantung pada banyak dan lamanya proses perdarahan. Gambarannya dapat berupa massa anekoik di kavum Douglasi yang mungkin meluas sampai ke bagian atas rongga abdomen. Bila sudah terjadi bekuan darah, gambaran berupa massa ekogenik yang tidak homogen. Gambaran perdarahan akibat kehamilan ektopik sulit dibedakan dari perdarahan atau cairan bebas yangterjadi oleh sebab lain, seperti endometriosis pelvik, peradangan pelvik, asites, pus, kista pecah, dan perdarahan ovulasi.
2.2.Perdarahan pada hamil lanjut 2.2.1 solusio plasenta
Solusio Plasenta adalah terlepasnya plasenta sebagian atau seluruhnya, pada plasenta yang implementasinya normal sebelum janin lahir
Epidemiologi
Insidensi solusio plasenta sudah semakin menurun
bersamaan dengan
semakin baiknya perawatan antenatal dan semakin menurunnya jumlah ibu yang hamil diparitas tinggi. Transportasi yang baik lebih memberi peluang pasien cepat sampai ke tujuan sehingga keterlambatan dapat dihindari dan solusio plasenta tidak sampai menjadi berat dan mematikan bagi janin. Di negara maju, tercatat isidensi solusio plasenta 1 kasus dalam 500 persalinan atau sekitar 0,2 % kasus yang tercatat. Di Indonesia, isidensi solutio plasenta menurut data yang diperoleh dari rumahsakit Umum Nasional CiptoMagunkusumo (RSUPNCM) didapat angka 2% atau 1 dalam 50 kasus persalinan yang diantaranya 14% merupakan solusio ringan dan 86% merupakan solusio berat. Solusio ringan jarang terdiagnosis akibat prnderita terlambat ke rumah sakit atau tanda gejala yang terlalu ringan sehingga tidak menarik perhatian dokter.
Etiologi
Penyebab primer solusio plasenta belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa faktor yang menjadi predisposisi : 1. Faktor kardio-reno-vaskuler Glomerulonefritis kronik, hipertensi essensial, sindroma preeklamsia dan eklamsia . Pada penelitian di Parkland, ditemukan bahwa terdapat hipertensi pada separuh kasus solusio plasenta berat, dan separuh dari wanita yang hipertensi tersebut mempunyai penyakit hipertensi kronik, sisanya hipertensi yang disebabkan oleh kehamilan. Dapat terlihat solusio plasenta cenderung berhubungan dengan adanya hipertensi pada ibu (2,3)
.
2. Faktor trauma
Trauma yang dapat terjadi antara lain : - Dekompresi uterus pada hidroamnion dan gemeli. - Tarikan pada tali pusat yang pendek akibat pergerakan janin yang banyak/bebas, versi luar atau tindakan pertolongan persalinan. - Trauma langsung, seperti jatuh, kena tendang, dan lain-lain. 3. Faktor paritas ibu Lebih banyak dijumpai pada multipara dari pada primipara. Holmer mencatat bahwa dari 83 kasus solusio plasenta yang diteliti dijumpai 45 kasus terjadi pada wanita multipara dan 18 pada primipara. Pengalaman di RSUPNCM menunjukkan peningkatan kejadian solusio plasenta pada ibu-ibu dengan paritas tinggi. Hal ini dapat diterangkan karena makin tinggi paritas ibu makin kurang baik keadaan endometrium (2,3,5)
.
4. Faktor usia ibu Dalam penelitian Prawirohardjo di RSUPNCM dilaporkan bahwa terjadinya peningkatan kejadian solusio plasenta sejalan dengan meningkatnya umur ibu. Hal ini dapat diterangkan karena makin tua umur ibu, makin tinggi frekuensi hipertensi menahun
(1,2,3,5)
.
5. Leiomioma uteri ( uterine leiomyoma) yang hamil menyebabkan solusio plasenta apabila plasenta berimplantasi di atas bagian yang mengandung leiomioma
(3)
.
6. Faktor pengunaan kokain Penggunaan kokain mengakibatkan peninggian tekanan darah dan peningkatan pelepasan katekolamin, yang mana bertanggung jawab atas terjadinya vasospasme pembuluh darah uterus dan dapat berakibat terlepasnya plasenta. Namun, hipotesis ini belum terbukti secara definitif. Angka kejadian solusio plasenta pada ibu-ibu penggunan kokain dilaporkan berkisar antara 13-35% . 7. Faktor kebiasaan merokok Ibu yang perokok juga merupakan penyebab peningkatan kasus solusio plasenta sampai dengan 25% pada ibu yang merokok ≤ 1 (satu) bungkus per hari. Ini dapat
diterangkan pada ibu yang perokok plasenta menjadi tipis, diameter lebih luas dan beberapa abnormalitas pada mikrosirkulasinya . Deering dalam penelitiannya melaporkan bahwa resiko terjadinya solusio plasenta meningkat 40% untuk setiap tahun ibu merokok sampai terjadinya kehamilan (12) 8. Riwayat solusio plasenta sebelumnya Hal yang sangat penting dan menentukan prognosis ibu dengan riwayat solusio plasenta adalah bahwa resiko berulangnya kejadian ini pada kehamilan berikutnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ibu hamil lainnya yang tidak memiliki riwayat solusio plasenta sebelumnya
(3)
.
9. Pengaruh lain, seperti anemia, malnutrisi/defisiensi gizi, tekanan uterus pada vena cava inferior dikarenakan pembesaran ukuran uterus oleh adanya kehamilan, dan lainlain.
Patofisiologi
Solusio plasenta dimulai dengan terjadinya perdarahan ke dalam desidua basalis dan terbentuknya hematom subkhorionik yang dapat berasal dari pembuluh darah miometrium atau plasenta, dengan berkembangnya hematom subkhorionik terjadi penekanan dan perluasan pelepasan plasenta dari dinding uterus
Gambar 1 Plasenta normal dan solusio plasenta
dengan hematom subkhorionik.
(2,3)
.
Apabila perdarahan sedikit, hematom yang kecil hanya akan sedikit mendesak jaringan plasenta dan peredaran darah utero-plasenter belum terganggu, serta gejala dan tandanya pun belum jelas. Kejadian baru diketahui setelah plasenta lahir, yang pada pemeriksaan plasenta didapatkan cekungan pada permukaan maternalnya dengan bekuan darah lama yang berwarna kehitaman. Biasanya perdarahan akan berlangsung terus-menerus/tidak terkontrol karena otot uterus yang meregang oleh kehamilan tidak mampu berkontraksi untuk membantu dalam menghentikan perdarahan yang terjadi. Akibatnya hematom subkhorionik akan menjadi bertambah besar, kemudian akan medesak plasenta sehingga sebagian dan akhirnya seluruh plasenta akan terlepas dari implantasinya di dinding uterus. Sebagian darah akan masuk ke bawah selaput ketuban, dapat juga keluar melalui vagina, darah juga dapat menembus masuk ke dalam kantong amnion, atau mengadakan ekstravasasi di antara otot-otot miometrium. Apabila ekstravasasinya berlangsung hebat akan terjadi suatu kondisi uterus yang biasanya disebut dengan istilah Uterus Couvelaire, dimana pada kondisi ini dapat dilihat secara makroskopis seluruh permukaan uterus terdapat bercak-bercak berwarna biru atau ungu. Uterus pada kondisi seperti ini ( Uterus
Couvelaire ) akan terasa sangat tegang, nyeri dan juga akan mengganggu kontraktilitas (kemampuan berkontraksi) uterus yang sangat diperlukan pada saat setelah bayi dilahirkan sebagai akibatnya akan terjadi perdarahan post partum yang hebat
(3,5)
Akibat
.
kerusakan
miometrium
dan
bekuan
retroplasenter
adalah
pelepasan
tromboplastin yang banyak ke dalam peredaran darah ibu, sehingga berakibat pembekuan intravaskuler dimana-mana yang akan menghabiskan sebagian besar persediaan fibrinogen. Akibatnya ibu jatuh pada keadaan hipofibrinogenemia. Pada keadaan hipofibrinogenemia ini terjadi gangguan pembekuan darah yang tidak hanya di uterus, tetapi juga pada alat-alat tubuh lainnya
(5)
.
Gejala dan Tanda
Gambaran klinis dari kasus-kasus solusio plasenta diterangkan atas pe ngelo mp ok an nya me nuru t geja la klin is 1. Solusio plasenta ringan
(2,5)
:
Solusio plasenta ringan ini disebut juga ruptura sinus marginalis, dimana terdapat pelepasan sebagian kecil plasenta yang tidak berdarah banyak. Apabila terjadi perdarahan pervaginam, warnanya akan kehitam-hitaman dan sedikit sakit. Perut terasa agak sakit, atau terasa agak tegang yang sifatnya terus menerus. Walaupun demikian, bagian-bagian janin masih mudah diraba. Uterus yang agak tegang ini harus selalu diawasi, karena dapat saja menjadi semakin tegang karena perdarahan yang berlangsung. Salah satu tanda yang menimbulkan kecurigaan adanya solusio plasenta ringan ini adalah perdarahan pervaginam yang berwarna kehitam -hitaman (2,5)
.
2. Solusio plasenta sedang Dalam hal ini plasenta telah terlepas lebih dari satu per empat bagian, tetapi belum dua per tiga luas permukaan. Tanda dan gejala dapat timbul perlahan-lahan seperti solusio plasenta ringan, tetapi dapat juga secara mendadak dengan gejala sakit perut terus menerus, yang tidak lama kemudian disusul dengan perdarahan pervaginam. Walaupun perdarahan pervaginam dapat sedikit, tetapi perdarahan sebenarnya mungkin telah mencapai 1000 ml. Ibu mungkin telah jatuh ke dalam syok, demikian pula janinnya yang jika masih hidup mungkin telah berada dalam keadaan gawat. Dinding uterus teraba tegang terus-menerus dan nyeri tekan sehingga bagian-bagian janin sukar untuk diraba. Apabila janin masih hidup, bunyi jantung sukar didengar. Kelainan pembekuan darah dan kelainan ginjal mungkin telah terjadi, walaupun hal tersebut lebih sering terjadi pada solusio plasenta berat
(2,5)
.
3. Solusio plasenta berat Plasenta telah terlepas lebih dari dua per tiga permukaannnya. Terjadi sangat tiba-tiba. Biasanya ibu telah jatuh dalam keadaan syok dan janinnya telah meninggal. Uterusnya sangat tegang seperti papan dan sangat nyeri. Perdarahan pervaginam tampak tidak sesuai dengan keadaan syok ibu, terkadang perdarahan pervaginam mungkin saja belum sempat terjadi. Pada keadaan-keadaan di atas besar kemungkinan telah terjadi kelainan pada pembekuan darah dan kelainan/gangguan fungsi ginjal (2,5,7)
.
Diagnosis
Keluhan dan gejala pada solusio plasenta dapat bervariasi cukup luas. Sebagai contoh, perdarahan eksternal dapat banyak sekali meskipun pelepasan plasenta belum
begitu luas sehingga menimbulkan efek langsung pada janin, atau dapat juga terjadi perdarahan eksternal tidak ada, tetapi plasenta sudah terlepas seluruhnya dan jani n meninggal sebagai akibat langsung dari keadaan ini. Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi mengandung ancaman bahaya yang jauh lebih besar bagi ibu, hal ini bukan saja terjadi akibat kemungkinan koagulopati yang lebih tinggi, namun juga akibat intensitas perdarahan yang tidak diketahui sehingga pemberian transfusi sering tidak memadai atau terlambat
(2,3).
No. Tanda atau Gejala
Frekuensi (%)
1.
Perdarahan pervaginam
78
2.
Nyeri tekan uterus atau nyeri pinggang
66
3.
Gawat janin
60
4.
Persalinan prematur idiopatik
22
5.
Kontraksi berfrekuensi tinggi
17
6.
Uterus hipertonik
17
7.
Kematian janin
15
Tabel 2 . 2 Tanda dan Gejala Pada Solusio Plasenta
. Berdasarkan kepada gejala dan tanda yang terdapat pada solusio plasenta klasik umumnya tidak sulit menegakkan diagnosis, tapi tidak demikian halnya pada bentuk solusio plasenta sedang dan ringan. Solusio plasenta klasik mempunyai ciri-ciri nyeri yang hebat pada perut yang datangnya cepat disertai uterus yang tegang terus menerus seperti papan, penderita menjadi anemia dan syok, denyut jantung janin tidak terdengar dan pada pemeriksaan palpasi perut ditemui kesulitan dalam meraba bagianbagian janin. Prosedur pemeriksaan untuk dapat menegakkan diagnosis solusio plasenta antara lain : 1. Anamnesis
(5)
- Perasaan sakit yang tiba-tiba di perut, kadang-kadang pasien dapat menunjukkan tempat yang dirasa paling sakit. - Perdarahan pervaginam yang sifatnya dapat hebat dan sekonyong-konyong (non-
recurrent) terdiri dari darah segar dan bekuan-bekuan darah yang berwarna kehitaman. - Pergerakan anak mulai hebat kemudian terasa pelan dan akhirnya berhenti (anak tidak bergerak lagi). - Kepala terasa pusing, lemas, muntah, pucat, mata berkunang-kunang. Ibu terlihat anemis yang tidak sesuai dengan jumlah darah yang keluar pervaginam. - Kadang ibu dapat menceritakan trauma dan faktor kausal yang lain.
2. Inspeksi
(5)
- Pasien gelisah, sering mengerang karena kesakitan. - Pucat, sianosis dan berkeringat dingin. - Terlihat darah keluar pervaginam (tidak selalu).
3. Palpasi
(5)
- Tinggi fundus uteri (TFU) tidak sesuai dengan tuanya kehamilan. - Uterus tegang dan keras seperti papan yang disebut uterus in bois (wooden uterus) baik waktu his maupun di luar his. - Nyeri tekan di tempat plasenta terlepas. - Bagian-bagian janin sulit dikenali, karena perut (uterus) tegang.
4. Auskultasi
(5)
Sulit dilakukan karena uterus tegang, bila denyut jantung terdengar biasanya di atas 140, kemudian turun di bawah 100 dan akhirnya hilang bila plasenta yang terlepas lebih dari satu per tiga bagian. 5. Pemeriksaan dalam - Serviks dapat telah terbuka atau masih tertutup. - Kalau sudah terbuka maka plasenta dapat teraba menonjol dan tegang, baik sewaktu his maupun di luar his. - Apabila plasenta sudah pecah dan sudah terlepas seluruhnya, plasenta ini akan turun ke bawah dan teraba pada pemeriksaan, disebut prolapsus placenta, ini sering meragukan dengan plasenta previa.
6. Pemeriksaan umum
(5)
- Tekanan darah semula mungkin tinggi karena pasien sebelumnya menderita penyakit vaskuler, tetapi lambat laun turun dan pasien jatuh dalam keadaan syok. Nadi cepat, kecil dan filiformis.
7. Pemeriksaan laboratorium - Urin : Albumin (+), pada pemeriksaan sedimen dapat ditemukan silinder dan leukosit. - Darah : Hb menurun, periksa golongan darah, lakukan
cross-match test . Karena
pada solusio plasenta sering terjadi kelainan pembekuan darah hipofibrinogenemia, maka diperiksakan pula COT (Clot Observation test)
tiap l jam, tes kualitatif
fibrinogen (fiberindex), dan tes kuantitatif fibrinogen (kadar normalnya 15O mg%).
8. Pemeriksaan plasenta . Plasenta dapat diperiksa setelah dilahirkan. Biasanya tampak tipis dan cekung di bagian plasenta yang terlepas (kreater) dan terdapat koagulum atau darah beku yang biasanya menempel di belakang plasenta, yang disebut hematoma retroplacenter.
9. Pemeriksaaan Ultrasonografi (USG) Pada pemeriksaan USG yang dapat ditemukan antara lain : - Terlihat daerah terlepasnya plasenta - Janin dan kandung kemih ibu - Darah - Tepian plasenta
Gambar 2 Ultrasonografi kasus solusio plasenta.
Terapi
Penanganan kasus-kasus solusio plasenta didasarkan kepada berat atau ringannya gejala klinis, yaitu: a. Solusio plasenta ringan Ekspektatif, bila usia kehamilan kurang dari 36 minggu dan bila ada perbaikan (perdarahan berhenti, perut tidak sakit, uterus tidak tegang, janin hidup) dengan tirah baring dan observasi ketat, kemudian tunggu persalinan spontan
(2)
.
Bila ada perburukan (perdarahan berlangsung terus, gejala solusio plasenta makin jelas, pada pemantauan dengan USG daerah solusio plasenta bertambah luas), maka kehamilan harus segera diakhiri. Bila janin hidup, lakukan seksio sesaria, bila janin mati lakukan amniotomi disusul infus oksitosin untuk mempercepat persalinan
(4)
.
b. Solusio plasenta sedang dan berat Apabila tanda dan gejala klinis solusio plasenta jelas ditemukan, penanganan di rumah sakit meliputi transfusi darah, amniotomi, infus oksitosin dan jika perlu seksio sesaria (5)
.
Apabila diagnosis solusio plasenta dapat ditegakkan berarti perdarahan telah terjadi (5)
sekurang-kurangnya 1000 ml. Maka transfusi darah harus segera diberikan . Amniotomi akan merangsang persalinan dan mengurangi tekanan intrauterin. Keluarnya cairan amnion juga dapat mengurangi perdarahan dari tempat implantasi dan mengurangi masuknya tromboplastin ke dalam sirkulasi ibu yang mungkin akan mengaktifkan faktor-faktor pembekuan dari hematom subkhorionik dan terjadinya pembekuan intravaskuler dimana-mana. Persalinan juga dapat dipercepat dengan memberikan infus oksitosin yang bertujuan untuk memperbaiki kontraksi uterus yang (3,4)
mungkin saja telah mengalami gangguan
.
Gagal ginjal sering merupakan komplikasi solusio plasenta. Biasanya yang terjadi adalah nekrosis tubuli ginjal mendadak yang umumnya masih dapat tertolong dengan penanganan yang baik. Tetapi bila telah terjadi nekrosis korteks ginjal, prognosisnya buruk sekali. Pada tahap oliguria, keadaan umum penderita umumnya masih baik. Oleh karena itu oliguria hanya dapat diketahui dengan pengukuran pengeluaran urin yang teliti yang harus secara rutin dilakukan pada penderita solusio plasenta sedang dan
berat, apalagi yang disertai hipertensi menahun dan preeklamsia. Pencegahan gagal ginjal meliputi penggantian darah yang hilang, pemberantasan infeksi yang mungkin terjadi, mengatasi hipovolemia, menyelesaikan persalinan secepat mungkin dan mengatasi kelainan pembekuan darah. Kemungkinan kelainan pembekuan darah harus selalu diawasi dengan pengamatan pembekuan darah. Pengobatan dengan fibrinogen tidak bebas dari bahaya hepatitis, oleh karena itu pengobatan dengan fibrinogen hanya pada penderita yang sangat memerlukan, dan bukan pengobatan rutin. Dengan melakukan persalinan secepatnya (19)
dan transfusi darah dapat mencegah kelainan pembekuan darah . Persalinan diharapkan terjadi dalam 6 jam sejak berlangsungnya solusio plasenta. Tetapi jika itu tidak memungkinkan, walaupun sudah dilakukan amniotomi dan infus (5,17)
oksitosin, maka satu-satunya cara melakukan persalinan adalah seksio sesaria
.
Apoplexi uteroplacenta (uterus couvelaire) tidak merupakan indikasi histerektomi. Akan tetapi, jika perdarahan tidak dapat dikendalikan setelah dilakukan seksio sesaria (5)
maka tindakan histerektomi perlu dilakukan Komplikasi
Komplikasi solusio plasenta pada ibu dan janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas, usia kehamilan dan lamanya solusio plasenta berlangsung. Komplikasi yang dapat terjadi pada Ibu: 1. Syok perdarahan Pendarahan antepartum dan intrapartum pada solusio plasenta hampir tidak dapat dicegah, kecuali dengan menyelesaikan persalinan segera. Bila persalinan telah diselesaikan, penderita belum bebas dari perdarahan postpartum karena kontraksi uterus yang tidak kuat untuk menghentikan perdarahan pada kala III persalinan dan adanya kelainan pada pembekuan darah. Pada solusio plasenta berat keadaan syok sering tidak sesuai dengan jumlah perdarahan yang terlihat
(2,3,12)
.
Titik akhir dari hipotensi yang persisten adalah asfiksia, karena itu pengobatan segera ialah pemulihan defisit volume intravaskuler secepat mungkin. Angka kesakitan dan kematian ibu tertinggi terjadi pada solusio plasenta berat. Meskipun kematian dapat terjadi akibat nekrosis hipofifis dan gagal ginjal, tapi mayoritas kematian disebabkan syok perdarahan dan penimbunan cairan yang berlebihan. Tekanan darah tidak merupakan petunjuk banyaknya perdarahan, karena vasospasme
akibat perdarahan akan meninggikan tekanan darah. Pemberian terapi cairan bertujuan mengembalikan stabilitas hemodinamik dan mengkoreksi keadaan koagulopathi. Untuk tujuan ini pemberian darah segar adalah pilihan yang ideal, karena pemberian darah segar selain dapat memberikan sel darah merah juga dilengkapi oleh platelet dan faktor pembekuan .
2. Gagal ginjal Gagal ginjal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penderita solusio plasenta, pada dasarnya disebabkan oleh keadaan hipovolemia karena perdarahan yang terjadi. Biasanya terjadi nekrosis tubuli ginjal yang mendadak, yang umumnya masih dapat ditolong dengan penanganan yang baik. Perfusi ginjal akan terganggu karena syok dan pembekuan intravaskuler. Oliguri dan proteinuri akan terjadi akibat nekrosis tubuli atau nekrosis korteks ginjal mendadak
(2,5)
. Oleh karena itu oliguria
hanya dapat diketahui dengan pengukuran pengeluaran urin yang harus secara rutin dilakukan pada solusio plasenta berat. Pencegahan gagal ginjal meliputi pe ng gant ia n da ra h ya ng hi la ng se cu ku pn ya , pe mb era nt asa n infeks i, atasi hipovolemia, secepat mungkin menyelesaikan persalinan dan mengatasi kelainan pembekuan darah
(2)
.
3. Apoplexi uteroplacenta ( Uterus couvelaire ) Pada solusio plasenta yang berat terjadi perdarahan dalam otot-otot rahim dan di bawah perimetrium kadang-kadang juga dalam ligamentum latum. Perdarahan ini menyebabkan gangguan kontraktilitas uterus dan warna uterus berubah menjadi biru atau ungu yang biasa disebut Uterus couvelaire . Tapi apakah uterus ini harus diangkat atau tidak, tergantung pada kesanggupannya dalam membantu menghentikan perdarahan . Komplikasi yang dapat terjadi pada janin : 1. Fetal distress
2. Gangguan pertumbuhan/perkembangan
3. Hipoksia dan anemia 4. Kematian
Prognosis
Prognosis ibu tergantung luasnya plasenta yang terlepas dari dinding uterus, banyaknya perdarahan, ada atau tidak hipertensi menahun atau preeklamsia, tersembunyi tidaknya perdarahan, dan selisih waktu terjadinya solusio plasenta sampai selesainya persalinan. Angka kematian ibu pada kasus solusio plasenta berat berkisar antara 0,5-5%. Sebagian besar kematian tersebut disebabkan oleh perdarahan, gagal jantung dan gagal ginjal
(5)
.
Hampir 100% janin pada kasus solusio plasenta berat mengalami kematian. Tetapi ada literatur yang menyebutkan angka kematian pada kasus berat berkisar antara 50-80%. Pada kasus solusio plasenta ringan sampai sedang, keadaan janin tergantung pada luasnya plasenta yang lepas dari dinding uterus, lamanya solusio plasenta berlangsung dan usia kehamilan. Perdarahan lebih dari 2000 ml biasanya menyebabkan kematian janin. Pada kasus-kasus tertentu tindakan seksio sesaria dapat mengurangi angka (5)
kematian janin .
2.2.Perdarahan pada hamil lanjut 2.2.2 Plasenta previa
Definisi
Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim sedemikian rupa sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari ostium uteri internum. Plasenta yang berimplantasi di bawah rahim tersebut, seiring dengan berjalannya waktu akan berpindah mengikuti perluasan segmen bawah rahim seolah plasenta tersebut bermigrasi. Oleh karena itu pemeriksaan USG berulang perlu dilakukan secara berkala dalam asuhan intranatal atau antenatal.
Epidemiologi
Keadaan ini lebih banyak terjadi pada kehamilan paritas tinggi dan ibu dengan usia di atas 30 tahun. Keadaan ini juga lebih sering terjadi pada kehamilan kembar. Di RS pemerintah di Indonesia, angka insidensi plasenta previa tercatat sebanyak 1,7 % hingga 2,9 % dari semua ibu hamil. Di negara maju anngkanya ditemukan lebih rendah.Secara harfiah plasenta previa berarti plasenta yang terletak di depan jalan lahir (prae = di depan, vias = jalan). Plasenta previa terjadi pada 0,3 – 0,5 % kehamilan di negara maju.
KLASIFIKASI
Plasenta previa totalis pada pembukaan 4 cm mungkin akan berubah menjadi plasenta previa marginalis pada pembukaan 8 cm. Oleh karena itu sebaiknya klasifikasi dari plasenta previa adalah berdasarkan fisiologik, bukan anatomik. Klasifikasi plasenta previa menurut de snoo: 1. Plasenta previa sentralis Bila pada pembukaan 4 – 5 cm dilakukan periksa dalam dan didapati plasenta menutupi seluruh ostium. 2. Plasenta previa lateralis Bila pada pembukaan 4 – 5 cm dilakukan periksa dalam dan didapati sebagian plasenta menutupi ostium. Berdasarkan letak ostium yang tertutupi, dibagi lagi menjadi: a. Plasenta previa lateralis posterior
b. Plasenta previa lateralis anterior c. Plasenta previa lateralis marginalis
Klasifikasi yang paling umum dari plasenta previa adalah: 1. Plasenta Previa Totalis Plasenta menutupi seluruh ostium uteri internum. 2. Plasenta Previa Parsial Plasenta menutupi sebagian ostium uteri internum. 3. Plasenta Previa Marginalis Plasenta yang tepinya berada pada pinggir ostium uteri internum. 4. Plasenta letak rendah Plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim sedemikian rupa sehingga tepi bawahnya pada jarak 2 cm dari ostium uteri internum.
ETIOLOGI
Penyebab mengapa blastokista berimplantasi pada segmen bawah rahim masih belum diketahui sampai sekarang. Ada yang menganggap implantasi tersebut pada lokasi itu hanyalah sebuah kebetulan saja. Teori lain menyebutkan bahwa keadaan ini adalah efek dari vaskularisasi desidua yang tidak memadai akibat radang atau atrofi. Faktor risiko terjadinya plasenta previa antara lain paritas tinggi, usia lanjut, cacat rahim dan bekas bedah sesar. Faktor predisposisi dari plasenta previa antara lain: 1. Multiparitas dan usia lanjut (35 tahun) 2. Defek vaskularisasi desidua 3. Cacat atau jaringan parut pada uterus
4. Chorion Leave Persisten 5.
Korpus luteum yang bereaksi lambat dimana endometrium belum siap menerima hasil konsepsi
6. Konsepsi dan nidasi terlambat 7. Plasenta besar seperti pada hamil kembar atau hidrops fetalis
PATOFISIOLOGI
Pada usia kehamilan yang lanjut tapak plasenta akan mengalami pelepasan akibat terbentuknya segmen bawah rahim. Tapak plasenta terbentuk dari jaringan maternal. Dengan melebarnya isthmus uteri menjadi segmen bawah rahim maka plasenta yang berimplantasi pada lokasi tersebut akan mengalami laserasi akibat pelepasan desidua dari tapak plasenta. Hal yang sama terjadi ketika serviks mendatar dan membuka, akan banyak bagian desidua yang mengalami laserasi. Pada lokasi laserasi tersebut akan terjadi perdarahan yang berasal dari sirkulasi maternal yaitu dari ruangan intervillus plasenta. Perdarahan pada plasenta previa berasal dari Ibu sehingga keadaan janin tidak membahayakan. Pada plasenta previa, perdarahan pasti akan terjadi oleh karena mekanisme pelepasan plasenta yang pasti terjadi. Pembentukan segmen bawah rahim berlangsung secara progresif dan bertahap sehingga menyebabkan laserasi baru yang akan mengulang perdarahan. Darah yang keluar dari vagina berwarna merah segar tanpa disertai nyeri. Perdarahan pertama sudah dapat terjadi pada usia kehamilan kurang dari 30 minggu dan akan terus berulang. Berhubung letak perdarahan dekat dengan ostium uteri internum, perdarahan lebih mudah mengalir ke luar rahim dan tidak akan terbentuk hematoma retroplasenta yang mampu merusak jaringan lebih luas. Dengan demikian, sangat jarang ditemui gangguan koagulopati pada plasenta previa. Dinding segmen bawah rahim yang tipis mengakibatkan bagian ini sangat mudah diinvasi oleh pertumbuhan vili dari trofoblas sehingga plasenta akan melekat lebih kuat. Tidak jarang ditemukan plasenta akreta dan plasenta inkreta. Di sisi lain, segmen bawah rahim merupakan lokasi yang mudah cedera oleh karena kurangnya elemen otot yang terdapat di sana.
MANIFESTASI KLINIS
Ciri khas plasenta previa adalah perdarahan uterus melalui vagina yang tidak disertai rasa nyeri. Perdarahan ini terjadi pada akhir trimester kedua hingga menjelang persalinan. Perdarahan pertama tidak banyak dan akan berhenti sendiri. Perdarahan muncul berulang tanpa sebab yang jelas. Berhubung plasenta terletak pada bagian bawah, maka pada palpasi abdomen sering ditemui bagian terbawah janin masih tinggi di atas simfisis. Palpasi abdomen tidak membuat nyeri dan perut tegang.
DIAGNOSIS
Gambaran klinik yang khas sangat berperan dalam membedakan plasenta previa dan solusio plasenta. Pemeriksaan in spekulo dilakukan untuk mengetahui apakah perdarahan berasal dari ostium uteri eksternum atau dari kelainan serviks lainnya.
Dahulu, untuk kepentingan diagnosis, pasien dipersiapkan dalam ruang bedah dengan staf lengkap untuk persiapan bedah sesar. Pada keadaan demikian dilakukan VT untuk meraba forniks posterior. Akan teridentifikasi adanya bantalan antara jari dengan bagian terbawah janin. Kemudian jari dimasukkan ke dalam ostium untuk mengidentifikasi klasifikasi plasenta previa. Jika ditemukan plasenta previa marginalis, maka dilakukan persalinan per vaginam dengan induksi. Jika sewaktu-waktu didapati perdarahan banyak dan plasenta previa totalis, maka bedah sesar yang dipersiapkan langsung dilakukan. Keadaan persiapan ini disebut double set-up
examination . Periksa dalam (VT) merupakan kontraindikasi diluar keadaan di atas. Pemeriksaan ini tidak lagi dilakukan karena metode yang lebih canggih telah tersedia.
Transabdominal USG pada keadaan kandung kemih kosong akan memberikan kepastian diagnosis plasenta previa dengan ketepatan hingga 96 – 98 %. Transvaginal USG jarang dibutuhkan karena di tangan yang tidak ahli akan menimbulkan lebih banyak perdarahan. MRI juga dapat dipakai sebagai modalitas untuk diagnosis plasenta previa, hanya saja kalah praktis jika dibandingkan dengan USG. Walaupun demikian, MRI tetap memiliki keunggulan karena dapat mengidentifikasi adanya kelainan plasenta seperti plasenta perkreta, akreta ataupun inkreta.
TATA LAKSANA
Semua Ibu hamil yang mengalami perdarahan pada trimester kedua dan ketiga harus dirawat inap di RS. Pemeriksaan harus dilakukan lengkap untuk menyingkirkan kemungkinan lain dari perdarahan vagina. Pada kehamilan 24 – 34 minggu ibu hamil diberikan steroid untuk pematangan paru janin. Jika ada gejala hipovolemi seperti hipotensi dan takikardi, maka perdarahan yang terjadi sudah berlangsung lama sehingga mungkin resusitasi cairan atau bahkan transfusi darah diperlukan. Kesehatan janin dan kesehatan maternal harus selalu dipantau. Dalam keadaan janin masih prematur dipertimbangkan untuk diberikan tokolitik (sulfas magnesikus)
untuk menekan his untuk sementara waktu demi pematangan paru. Terminasi persalinan dilakukan dengan seksio cesarea.
Penanganan aktif dari plasenta previa dilakukan saat umur kehamilan lebih dari 37 minggu, berat badan janin minimal 2500 gram, perdarahan lebih dari 500 cc, ada tanda-tanda kehamilan, dan Hb ibu yang lebih rendah dari 8 gr%. Namun kriteria ini tidak bisa diterapkan sepenuhnya karena terminasi persalinan sangat bergantung dari banyaknya perdarahan dan keadaan umum ibu. Untuk menentukan apakah Ibu memerlukan terminasi kehamilan per abdominam atau per vaginam memerlukan pemeriksaan di dalam kamar operasi. Indikasi operasi sesarea pada plasenta previa: 1. Plasenta previa totalis 2. Plasenta previa pada primigravida 3. Plasenta previa dengan malpresentasi 4. Gawat janin dan fetal distress 5. Pembukaan masih kecil dan perdarahan masih banyak 6. Plasenta previa lateralis posterior
PROGNOSIS
Seiring berkembangnya ilmu kedokteran, prognosis ibu hamil dengan plasenta previa semakin bagus. Hal ini berkat diagnosis yang lebih dini dan penanganan yang lebih baik. Janin masih berisiko untuk kelahiran prematur.
KOMPLIKASI
1. Anemia 2. Perdarahan 3. Infeksi 4. Syok hipovolemik 5. Plasenta inkreta / akreta / perkreta 6. Ruptur serviks atau segmen bawah rahim 7. Malpresentasi dan malposisi 8. Kelahiran prematur
9. Gawat janin 10. Prolaps plasenta 11. Prolaps tali pusar
2.3. Perdarahan pasca persalinan 2.3.1 Atonia uteri
merupakan salah satu penyebab terjadinya kematian ibu setelah proses persalinan bayi dan 1
plasenta, dimana atonia uteri terjadi pada sekitar 80-90% kasus perdarahan postpartum dan 2
terjadi pada sekitar 2-5% persalinan pervaginam . Hal tersebut menyebabkan atonia uteri 3
menjadi indikasi utama dilakukannya histerektomi atau transfusi darah postpartum . A. DEFINISI
Atonia uteri didefinisikan sebagai kegagalan uterus untuk berkontraksi secara maksimal 2
setelah kelahiran bayi dan plasenta yang menyebabkan perdarahan uterin berat . Selain itu atonia uteri didefinisikan pula sebagai kegagalan uterus untuk berkontraksi dalam 15 detik setelah 4
dilakukan rangsangan taktil fundus uteri . Perangsangan taktil fundus uteri dilakukan dengan cara menggerakkan tangan memutar pada fundus uteri sehingga diharapkan uterus berkontraksi dan terjadi kompresi pada pembuluh darah di tempat bekas perlekatan plasenta (yang sebelumnya menyuplai darah ke dalam plasenta) sehingga perdarahan berhenti. Selain itu, kontraksi uterus tersebut dapat merangsang pengeluaran sisa plasenta secara alami 5.ETIOLOGI Kegagalan uterus untuk berkontraksi dan mengkompresi pembuluh darah pada tempat perlekatan plasenta menyebabkan perdarahan terus berlanjut. Faktor-faktor yang berperan menyebabkan kegagalan tersebut adalah : 1. adanya overdistensi uterus (janin besar, gemelli, polihidramnion) yang menyebabkan uterus cenderung menjadi lebih hipotoni setelah melahirkan 2. kehamilan multipara 3. myoma uteri 4. trauma uterus akibat persalinan (manipulasi internal version dan ekstraksi forceps atau vakum pada persalinan) 5. infeksi (chorioamnionitis) 6. anestesi umum 7. persalinan lama 8. partus lewat bulan 9. adanya riwayat perdarahan postpartum sebelumnya 10. induksi oxytocin yang berkepanjangan
11. bekas seksio sesarea 12. penanganan persalinan kala III yang salah. Selain itu keadaan umum ibu yang buruk, misalnya : anemia, hipertensi, dan diabetes mellitus pun cenderung mempengaruhi terjadinya atonia uteri. 6
D. DIAGNOSA
Diagnosa atonia uteri dapat ditegakkan apabila pada pemeriksaan fisik setelah kelahiran placenta ditemukan uterus yang besar atau lunak, tanpa adanya kontraksi uterus, dan disertai perdarahan eksesif pervaginam segera setelah melahirkan. Namun perlu diperhatikan bahwa kemungkinan adanya sisa plasenta yang tertinggal atau laserasi pada serviks dan vagina harus telah disingkirkan. 3,4,7
E. PENATALAKSANAAN
Tindakan antisipasi terjadinya atonia uteri pada penderita yang beresiko tinggi sebaiknya telah dipersiapkan sebelum proses persalinan terjadi. Secara umum, keseimbangan hemodinamik harus diperhatikan dengan melakukan pemasangan infus menggunakan larutan Ringer Laktat atau NaCl 0,9%. Lakukan pemeriksaan darah cross match dan persiapkan cadangan darah untuk transfusi. Lakukan penanganan aktif kala tiga dengan baik, terutama melakukan masase uteri setelah kelahiran plasenta untuk merangsang kontraksi uterus dan mengkompresi pembuluh darah pada uterus sehingga perdarahan berhenti. Jika perdarahan mencapai 400cc atau setelah 30 menit placenta belum lepas juga, lakukan tindakan manual placenta yang kemudian diikuti masase uterus. Apabila perdarahan tetap terjadi dalam 15 detik setelah dilakukan rangsangan taktil fundus uteri atau masase uterus, maka segera lakukan kompresi bimanual interna (kompresi bimanual Hamilton). Pasang sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau steril, dengan lembut masukkan tangan (dengan menyatukan kelima ujung jari) ke introitus dan ke dalam vagina ibu. Periksa vagina dan serviks (jika ada selaput ketuban atau bekuan darah pada uteri). Letakkan kepalan tangan pada forniks anterior, lalu tekan dinding anterior uterus. Sedangkan telapak tangan lain menekan kuat dinding belakang uterus kearah kepalan tangan dalam. Jika uterus berkontraksi dan perdarahan berkurang, terus lakukan kompresi bimanual interna selama 2 menit, lalu perlahan-lahan keluarkan tangan dari dalam vagina dan pantau ketat kondisi ibu
dalam kala empat. Jika uterus berkontraksi namun perdarahan terus berlangsung, periksa apakah terdapat laserasi pada perineum, vagina, atau serviks, kemudian segera jahit apabila ditemukan laserasi. Namun jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu 5 menit, ajarkan keluarga untuk melakukan kompresi bimanual eksterna, yaitu dengan cara meletakkan satu tangan pada abdomen di depan uterus (tepat di atas symphisis pubis) dan letakkan tangan lain pada dinding abdomen (di belakang korpus uteri). Lakukan kompresi dengan menekan uterus diantara kedua tangan tersebut. Lalu pantau ketat keadaan vital ibu.
Gb 1. Kompresi bimanual interna Gb 2. Kompresi bimanual eksterna
Kemudian pasang infus oxytocin drip 20 UI dalam 500 ml larutan Ringer Laktat dengan menggunakan jarum berdiameter besar (ukuran 16 atau 18). Jarum dengan berdiameter besar memungkinkan pemberian cairan dengan cepat dan dapat langsung digunakan apabila diperlukan transfusi darah. Oksitosin merupakan uterotonika untuk merangsang kontraksi uterus. Selanjutnya
berikan
0,2mg
ergometrin
secara
intramuskular.
merangsang kontraksi otot polos uterus melalui stimulasi reseptor
Ergometrin
akan
-adrenergik myometrium.
Namun jangan berikan ergometrin pada pasien dengan hipertensi karena ergometrin akan meningkatkan tekanan darah menjadi lebih tinggi dari normal. Selain itu pemberian ergometrin perlu diawasi pada pasien penyakit jantung koroner. Jika perdarahan belum berhenti, dapat diberikan lagi suntikan metil ergonovin intravaskular.
Selain pemberian derivat ergot, beberapa literatur menyarankan pemberian prostaglandin (carboprost tromethamine) dengan dosis awal 250 g intramuskuler dan diulang 15-90 menit sampai mencapai dosis maksimal 8 dosis. Namun carboprost memberikan efe samping seperti diare, hipertensi, muntah, demam, flushing, dan takikardi. Hipertensi pada beberapa wanita diketahui penyebabnya adalah retriksi jalan udara pulmonal dan vaskular. Adapun pemberian analog prostaglandin E1 sintetik suppositoria, yaitu misoprostol (Cytotec) 1000 g yang memberikan respon cepat sekitar 1,4 menit. Tetapi usaha pencegahan perdarahan postpartum dengan pemberian oksitosin dan derivat ergot pada kala 3 lebih efektif dibandingkan misoprostol5. Bila perdarahan terus berlangsung tanpa memberikan respon terhadap masase uterus dan agen oksitosin, berikan transfusi darah dengan darah segar. Upayakan hemoglobin pasien mencapai minimal 8 gr/dL. Apabila perdarahan tetap berlangsung walaupun telah ditempuh berbagai upaya konservatif, maka histerektomi merupakan tindakan operatif yang dapat dipilih untuk menyelamatkan hidup ibu. Selain itu terdapat pula tindakan operatif alternatif, yaitu : 1. Ligasi arteri iliaca interna. Teknik ini dapat menurunkan sekitar 85% tekanan darah arteri yang berada di bagian distal dari ligasi, namun teknik operasinya sulit dilakukan dan memberikan hasil memuaskan hanya pada sekitar 50%. Teknik operasi dilakukan dengan cara membuka peritoneum yang menutupi arteri iliaka komunis dan mengiris kea rah bifurkasi arteri iliaka eksterna dan interna. Pulsasi aretri iliaka eksterna harus tetap ada setelah dilakukan ligasi. Jika tidak, pulsasi harus dapat terdeteksi apabila hipotensi telah 5
berhasil diatasi .
Gb 3. Ligasi arteri iliaka interna
2. Ligasi arteri uterine
3. Uterine Compression Sutures. Teknik ini dilakukan dengan pengikatan sekeliling uterus dengan tujuan mengkompresi dinding uterus anterior dan posterior.
4. Uterine packing. Teknik ini dilakukan dengan memasukkan ujung Foley kateter no 24F dengan balon 30mL ke dalam kavum uteri dan diisi 60 sampai 80mL larutan salin. Jika perdarahan mereda, kateter dikeluarkan setelah 12 sampai 24 jam. Teknik ini dilakukan pada pasien perdarahan postpartum refrakter yang mempertahankan fertilitas. Tindakan alternative lainnya dalah dengan menggunakan gauze atau umbrella pack yang dimasukkan secara intraabdominal. Apabila perdarahan akibat atonia uteri dan laserasi vagina tidak memberikan respon terhadap obat-obat uterotonika, penjahitan, ligasi arteri iliaka interna, histerektomi subtotal,
packing pelvic, dan transfusi darah, maka perlu dipikirkan adanya suatu koagulopati. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian faktor pembekuan VII rekombinan atau vitamin K-dependent
protein, namun perlu diperhatikan adanya komplikasi trombosis 5. 5
F. KOMPLIKASI
Perdarahan yang berlangsung terus menerus pada atonia uteri dapat menimbulkan beberapa penyulit, diantaranya :
Syok hipovolemik
Kelainan koagulopati
Gangguan faal ginjal
Kematian Jadi dapat disimpulkan bahwa sekitar 80-90% perdarahan postpartum terjadi akibat adanya atonia uteri. Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan antisipasi sebelum proses persalinan terjadi dan penanganan kemungkinan terjadinya atonia uteri yang tepat pada penderita yang beresiko tinggi.
2.3.Perdarahan pasca persalinan 2.3.2 Ruptur perineum
A. Ruptur Perineum
Ruptur Perineum adalah robekan yang terjadi pada saat bayi lahir baik secara spontan maupun dengan menggunakan alat atau tindakan. Robekan perineum umumnya terjadi pada garis tengah dan bisa meluas apabila janin lahir terlalu cepat. Robekan perineum terjadi pada hampir semua primipara. Ruptur perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa sehingga kepala janin terpaksa lahir lebih ke belakang dari pada biasa, kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipitobregmatika, atau anak dilahirkan dengan pembedahan vaginal. B. Klasifikasi
1
Ruptur Perineum Spontan Yaitu luka pada perineum yang terjadi karena sebab-sebab tertentu tanpa dilakukan tindakan perobekan atau disengaja. Luka ini terjadi pada saat persalinan dan biasanya tidak teratur.
2
Ruptur perineum yang disengaja (Episiotomi) Yaitu luka perineum yang terjadi karena dilakukan pengguntingan atau perobekan pada perineum: Episiotomi adalah torehan yang dibuat pada perineum untuk memperbesar saluran keluar vagina. a. Ruptur Perineum Spontan Luka pada perineum yang terjadi karena sebab-sebab tertentu tanpa dilakukan tindakan perobekan atau disengaja. Luka ini terjadi pada saat persalinan dan biasanya tidak teratur. Derajat robekan perineum dapat dibagi atas 4 tingkatan (Cunningham, 2014).; 1) Derajat I
Robekan hanya terjadi pada bagian superfisial yang melibatkan mukosa vagina dengan atau tanpa mengenai kulit perineum sedikit.
Gambar 3. Rupture perineum derajat I
2) Derajat II Robekan yang terjadi lebih dalam yaitu selama mengenai mukosa vagina juga mengenai otot yang melingkari vagina, tapi tidak mengenai sfingter ani.
Gambar 4. Rupture perineum derajat II
3) Derajat III Robekan yang terjadi mengenai seluruh perineum sampai mengenai otot-otot sfingter ani eksternus
Gambar 5. Rupture perineum derajat III
4) Derajat IV Robekan meluas ke arah lumen anorektal dan dengan demikian meliputi kerusakan sfingter ani eksternus dan internus
Gambar 6. Rupture perineum derajat IV
Menurut sultan yang diadobsi oleh Royal College Obstetrians and Gynecologists (RCOG) dan the international consultation on incontinence, klasifikasi ruptur perineum dibagi bedasarkan derajat rupturnya;
b. Ruptur Perineum yang Disengaja (Episiotomi) Episiotomi adalah suatu tindakan insisi pada perineum yang menyebabkan terpotongnya selaput lendir vagina, cincin selaput dara, jaringan pada septum rektovaginal, otot-otot dan fasia perineum dan kulit sebelah depan perineum. Di masa lalu, dianjurkan untuk melakukan episiotomi secara rutin yang tujuannya adalah untuk mencegah robekan berlebihan pada perineum, membuat tepi luka rata sehingga mudah dilakukan penjahitan (reparasi), mencegah penyulit atau tahanan pada kepala dan infeksi tetapi hal tersebut ternyata tidak didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang cukup (Enkin et al, 2000; Wooley, 1995). Tetapi sebaliknya, hal ini tidak boleh diartikan bahwa episiotomi tidak boleh dilakukan karena ada indikasi tertentu untuk melakukan episiotomi (misalnya, persalinan dengan ekstraksi cunam, distosia bahu, rigiditas perineum, dsb). Para penolong persalinan harus cermat membaca kata rutin pada episiotomi karena hal itulah yang tidak dianjurkan, bukan episiotominya. Episiotomi rutin tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan : a) Meningkatnya jumlah darah yang hilang dan berisiko hematoma b) Kejadian laserasi derajat tiga atau empat lebih banyak pada episiotomi rutin dibandingkan dengan tanpa episiotomi. c) Meningkatnya nyeri pascapersalinan di daerah perineum d) Meningkatnya resiko infeksi.
1. INDIKASI Indikasi untuk melakukan episiotomi dapat timbul dari pihak ibu maupun pihak janin. 1) Indikasi janin. a) Sewaktu melahirkan janin premature. Tujuannya untuk mencegah terjadinya trauma yang berlebihan pada kepala janin. b) Sewaktu melahirkan janin letak sungsang, melahirkan janin dengan cunam, ekstraksi vakum, dan janin besar.
2) Indikasi ibu Apabila terjadi peregangan perineum yang berlebihan sehingga ditakuti akan terjadi robekan perineum, umpama pada primipara, persalinan sungsang, persalinan dengan cunam, ekstraksi vakum, dan anak besar. Namun indikasi sekarang yang digunakan untuk melakukan episiotomi telah banyak berubah. Indikasi untuk melakukan episiotomi untuk mempercepat kelahiran bayi bila didapatkan : 1) Gawat janin dan bayi akan segera dilahirkan dengan tindakan. 2) Penyulit kelahiran pervaginam ( sungsang, distosia bahu, ekstraksi cunam (forcep) atau ekstraksi vakum ) 3) Jaringan parut pada perineum atau vagina yang memperlambat kemajuan persalinan
2. TEKNIK 1) Episiotomi medialis a) Pada teknik ini insisi dimulai dari ujung terbawah introitus vagina sampai batas atas otot-otot sfingter ani. Cara anestesi yang dipakai adalah cara anestesi infiltrasi antara lain dengan larutan procaine 1%-2%; atau larutan lidonest 1%-2%; atau larutan xylocaine 1%-2%. Setelah pemberian anestesi dilakukan insisi dengan mempergunakan gunting yang tajam dimulai dari bagian terbawah introitus vagina menuju anus, tetapi sampai tidak memotong pinggir atas sfingter ani, hingga kepala dapat dilahirkan. Bila kurang lebar disambung ke lateral (episiotomi mediolateralis).
Gambar 7 Epistotomi Medialis
b) Untuk menjahit luka episiotomi medialis mula-mula otot perineum kiri dan kanan dirapatkan dengan beberapa jahitan. Kemudian fasia dijahit dengan beberapa jahitan. Lalu selaput lendir vagina dijahit dengan empat atau lima jahitan. Jahitan dapat dilakukan secara terputius-putus (interupted suture) atau secara jelujur (continuous suture). Benang yang dipakai untuk menjahit otot, fasia dan selaput lendir adalah catgut chromic, sedang untuk kulit perineum dipakai benang sutera.
Gambar 8. Hecting Epistotomi Medialis
2) Episiotomi mediolateralis a) Pada teknik ini insisi dimulai dari bagian belakang introitus vagina menuju kearah belakang dan samping. Arah insisi ini dapat dilakukan kearah kanan atau pun kiri, tergantung pada kebiasaan orang yang melakukannya. Panjang insisi kira-kira 4 cm. b) Tekhnik menjahit luka pada episiotomi mediolateralis hampir sama dengan tekhnik menjahit episiotomi medialis. Penjahitan dilakukan sedemikian rupa sehingga setelah penjahitan luka selesai hasilnya harus simetris
Gambar 9. Episitotomi Mediolateralis
3) Episiotomi lateralis a) Pada teknik ini insisi dilakukan kearah lateral mulai dari kira-kira pada jam 3 atau 9 menurut arah jarum jam. b) Teknik ini sekarang tidak dilakukan lagi oleh karena banyak menimbulkan komplikasi. Luka insisi ini dapat melebar kearah dimana terdapat pembuluh darah pudendal interna, sehingga dapat menimbulkan perdarahan yang banyak. Selain itu parut yang terjadi dapat menimbulkan rasa nyeri yang mengganggu penderita. C. Hecting Hecting/ jahitan merupakan proses yang digunakan untuk hemostasis atau untuk menghubungkan struktur anatomi yang terpotong. (sabiston) 1
Teknik penjahitan Teknik penjahitan robekan perineum disesuaikan dengan derajat laserasinya. Prinsip penjahitan luka perineum dilakukan setelah memeriksan keadaan robekan secara keseluruhan. Jika robekan terjadi pada derajat III dan IV, segera siapkan tindakan rujukan, sebelumnya dilakukan tindakan penghentian perdarahan pada
robekan tingkat jika terjadi. Untuk mendiagnosa berapa derajat robekan dan melakukan penjahitan memerlukan pencahayaan yang cukup. Penggunaan benang jika dibandingkan antara catgut atau chromic, menggunakan benang polyglactil (vicryl) akan lebih mudah menyerap dan mengurangi nyeri perineum setelah penjahitan. a. Perbaikan robekan perineum derajat I dan II Robekan derajat pertama biasanya tidak memerlukan jahitan, tetapi harus dilihat juga apakah meluas dan terus berdarah. Penggunaan anestesi diperlukan agar dapat mengurangi nyeri agar ibu bisa tenang sehingga operator dapat memperbaiki kerusakan secara maksimal. Berikut ini adalah tahapan penjahitan robekan perineum derajat I dan II: 1) Ibu ditempatkan dalam posisi litotomi, area bedah dibersihkan. 2) Jahitan pertama ditempatkan pada daerah atas apex luka, dan kemudian jahit menggunakan benang vicryl 2-0 atau 3-0.
Jahitan dilakukan sepanjang vagina
secara jelujur, sampai ke cincin hymen, dan berakhir pada mukosa vagina dan fascia rektovaginal, dapat dilihat gambar berikut.
Gambar 10. Penjahitan laserasi perineum
3) Otot pada badan perineum diidentifikasi, dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 11. Penjahitan laserasi perineum
4) Otot perineum transversal disambung dengan jahitan terputus menggunakan benang
vicryl 3-0 sebanyak 2 kali, demikian juga dengan otot bulbokavernosus dijahit dengan cara yang sama. Gunakan jarum yang besar untuk mendapatkan hasil jahitan yan baik. Ujung otot bulbokavernosus ditarik kearah posterior kemudian kearah superior, dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 12. penjahitan otot bulbokavernosus dengan cara terputus
5) Jika robekan memisahkan fascia retrovaginal dari badan perineum, sambungkan fascia dengan dua jahitan vertikal secara terputus dengan benang vicryl, dapat dilihat pada gambar berkut ini.
Gambar 13. Penjahitan septum rektovaginal pada badan perineum
6) Daerah subkutan dijahit dengan kedalaman 1 cm dengan jarak antara 1 cm untuk menutupi luka kutaneus. Jahitan kulit yang rapih ditentukan oleh aposisi subkutis yang ditempatkan dengan baik. 7) Gunakan benang vicryl 4-0 untuk menjahit kulit. Mulailah penjahitan pada bagian posterior dari apex kulit dengan jarak 3 mm dari tepi kulit.
Gambar 15. 5 langkah penjahitan laserasi perineum derajat II
b. Perbaikan robekan perineum derajat III dan IV 1) Apex dari mukosa rectum dan sfingter anus diidentifikasi, kemudian dijahit dengan menggunakan benang vicryl 4-0 secara terputus, hati-hati agar jahitannya tidak terlalu dalam sehingga tidak menembus saluran anal untuk mencegah fistula. Anus bagian internal berwarna putih yang mengkilap, dengan struktur fibrosa antara mukosa rektal dan sfingter anus eksternal, dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 16. Mukosa rektal dan spincter anus eksternal.
2) Sfingter ditarik secara lateral, tempatkan allys klem pada ujung otot agar mudah diperbaiki. 3) Sfingter anus diakhiri dengan jahitan kontinyu dengan menggunakan benang vicryl 2-0. 4) Sfingter ani eksternal terlihat seperti berkas otot skeletal dengan kapsul fibrous. Allis klem ditempatkan pada setiap ujung spincter anus, kemudian jahitan dilakukan pada pukul 12,3,6 dan 9 dengan menggunakan benang polydiaxanone 2-0 (absorbi yang agak lambat) untuk memungkinkan kedua ujung sfingter membentuk scar secara bersamaan.
Bukti penelitian menunjukan bahwa sambungan dari ujung ke ujung pada sfingter tidak memberikan sambungan anatomis yang baik, dan buruknya fungsi sfingter dikemudian hari jika ujungnya beretraksi. Teknik jahitan ujung ke ujung dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 17. Sambungan spincter anus dari ujung ke ujung .
Teknik lain adalah sambungan secara tumpang tindih pada sfingter anal eksternal. Teknik ini menjadikan lebih banyak lipatan pada perineal dan fungsi spincter yang lebih baik. Para ahli lebih banyak yang memilih teknik ini, dapat dilihat pada gambar berikut. a) Anus harus dapat dimasuki satu jari setelah otot-otot sfingter dipertemukan kembali b) Instroitus vagina juga harus dapat dimasuki dua jari pada akhir perbaikan c) Kulit disatukan dengan jahitan subkutan seperti pada perbaikan derajat satu dan dua.
Gambar 18. Sambungan spincter anus secaraoverlapping .
2. Perawatan luka perineum
Meskipun belum banyak referensi yang memberikan informasi tentang perawatan perineum setelah perbaikan robekan karena persalinan, dibawah ini adalah perawatan perineum yang dapat dilakuan ibu antara lain: a) Sitz bathat seperti ibuprofen dengan resep dokter b) Jika ibu akan merasa nyeri yang berlebihan, sebaiknya diperiksa secepatnya karena nyeri adalah gejala yang umum dari infeksi c) Diet rendah serat d) Terapi laxansia diperlukan terutama bagi robekan derajat III dan IV e) Antibiotik diperlukan untuk mengurangi infeksi luka jahitan, gunakan metronidazole dan antibotik dengan spectrum yang luasAnjurkan tindakan SC untuk persalinan selanjutnya, jika persalinan pervaginam dapat menyebabkan inkontinensia anal
2.3 Perdarahan pascalahir 2.3.3 Retensio plaasenta
•
Retensio plasenta adalah Plasenta yang belum lahir lebih dari setengah jam setelah janin lahir
Predisposisi Retensio Plasenta
1. Gandemultipara 2. Kehamilan ganda, sehingga memerlukan implantasi plasenta yang agak luas 3. Kasus infertilitas, karena lapisan endometriumnya tipis 4. Plasenta previa, karena di bagian isthmus uterus, pembuluh darah sedikit, sehingga perlu masuk jauh ke dalam Keterangan
Plasenta adhesiva
Tipis sampai hilangnya jaringan ikat Nitabush, sebagian atau seluruhnya sehingga menyulitkan lepasnya plasenta saat terjadi kontraksi dan retraksi otot uterus
Plasenta inkreta
Implantasi jonjot plasenta sampai mencapai otot uterus shg tidak mungkin lepas sendiri. Perlu dilakukan manual plasenta, tetapi tidak akan lengkap dan harus ikuti: a. Kuretase b. histerektomi
Plasenta akreta
Hilangnya lapisan jaringan ikat longgar sehingga plasenta sebagian atau seluruhnya mencapai lapisan desidua basalis Sulit dilepaskan saat kontraksi atau retraksi
otot uterus Plasenta manual sering tidak lengkap, sehingga perlu diikuti dengan kuretase
Plasenta perkreta
Jonjot plasenta menembus lapisan otot dan sampai lapisan peritoneum kavum abdominalis. Tindakan definitif: hanya histerektomi
Plasenta inkerserata
Tertahannya plasenta di dalam kavum uteri, disebabkan oleh konstriksi ostium uteri
INDIKASI PLASENTA MANUAL
Perdarahan mendadak sekitar 400-500 cc
Riwayat HPP habitualis
TEKNIK PLASENTA MANUAL
Tahan fundus uteri dgn tangan kiri
Tangan kanan menelusuri tali pusat utk memudahkan mencapai tepi plasenta
Setelah mencapai tepi plasenta, dilakukan pelepasan plasenta dari tempat plasentanya dgn sisi ulnar tangan
Setelah seluruhnya lepas, keluarkan plasenta dengan tangan kanan Diberikan utero tonika bolus IV-IM, sehingga kontraksi otot uterus dapat segera menutup pembuluh darah
Perhatikan kesulitan melepaskan plasenta, untuk dapat membedakan plasenta akreta, inkreta atau perkreta
Retensio plasenta
Sebab:
Definisi: belum lahir >30 menit
Plasenta
adhesiva Persiapan umum plasenta
Plasenta akreta
Plasenta inkreta
Plasenta perkreta
Plasenta
manual: Pasang infus & transfusi Pertimbangan untuk rujuk
inkarserata
Berhasil baik:
Terdapat sisa plasenta
Plasenta melekat erat:
Uterotonika IV-IM
Adhesiva
Pemijatan uterus utk
Akreta
mempercepat
Tindakannya:
kontraksinya
Inkreta
Kuretase tumpul Perhatikan apakah plasentanya yg sudah keluar lengkap
Pemijatan Uterotonika dgn bolus IV-IM KP tamponade
Perawatan post partum
a.hiposgratika interna Perawatan operasi yang baik
normal: Berikan obat-obatan:
Perdarahan berlangsung:
Antibiotika
Atonia uteri
Vit/FE
Tampon basah
Uterotonika
Histerektomi atau ligasi
DAFTAR PUSTAKA 1. Cunningham FG. Leveno KJ, et al, editors. Williams Obstetrics. 24th ed. New York: McGraw-Hill Education; 2014 2. Pranata S, Sadewo FS. Kejadian Keguguran, Kehamilan Tidak Direncanakan dan Pengguguran Di Indonesia [Artikel Serial Online]. Surabaya: Pusat Humaniora, Kebijakan
Kesehatan
dan
Pemberdayaan
Masyarakat,
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Date Review: February 11, 2012 [cited
May
30,
2015].
Available
from:
http://bpk.litbang.depkes.go.id/index.php/hsr/article/view/2992/2225. 3. Azhari. Seminar: Kelahiran tidak diinginkan (aborsi) dalam kesehatan reproduksi remaja. Palembang: Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UNSRI/ RSMH. June, 25 2002 [cited May
30,
2015].
Available
from:
http://digilib.unsri.ac.id/download/MASALAH%20ABORTUS%20DAN%20KESEHAT AN.pdf
4. Mochtar R. Sinopsis Obstetri Jilid 2. Jakarta: EGC; 2010. 5. Manuaba IBG, Chandranita IA, Fajar IBG. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC; 2007. 6. Manuaba IBG. Penuntun Kepanitraan Klinik Obstetri dan Ginekologi Edisi 2. Jakarta: EGC; 2004. 7. Achadiat CM. Prosedur Tetap Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: EGC; 2004. 8. Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, Wirakusumah FF, editor. Ilmu Kesehatan Reproduksi: Obstetri Patologi. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2004. 9. Kepmenkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta: Kepmenkes RI; 2013. 10. Abortus Incomplete. Available at http://www.jevuska.com/2007/04/11/abortus-inkomplit
11. Gaufberg
F,
Abortion
Treatened,
Available
at
http://emedicine.medscape.com/article/795359-overview 12. Hadijanto B. Perdarahan Pada Kehamilan Muda. In: Saifuddin AB, Rachimhadhi T, th
Wiknjosastro GH, editors. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. 4 ed . Jakarta: Bina Pustaka; 2010. 13. Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUP Hasan Sadikin. Panduan Praktik Klinis
Obstetri dan Ginekologi . Bandung: Departemen OBGIN FK Unpad RSUP Hasan Sadikin; 2015. 14. Chris T., Frans L, et al , editors. Kapita Selekta Kedokteran Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 4th ed. Jakarta: Media Aesculapius; 2014. 15. Program Pendidikan Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi. Mola Hidatidosa. Maret 2013. Tersedia di : http://sia.obgin-ugm.com/?page=artikel&id=6 [diakses pada 9 Juli 2017].. 16. Igwegbe AO, Eleje GU. Hydatidiform mole: A Review of Management Outcomes in a
Tertiary Hospital in South-East Nigeria. Ann Med Health Sci Res. 2013; 3(2). 17. Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.
Obstetri Patologi. Bandung: Elstar Offset; 1981. 18. Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH, editors. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. 3th ed. Jakarta: Bina Pustaka; 1999. 19. Lurain JR. Gestational Trophoblastic Disesase I: Epidemiology, Pathology, Clinical
Presentation, and Diagnosis of Gestational Trophoblastic Disease, and Management of Hydatidiform Mole. American Journal of Obstetrics & Gynecology. 2010; 203(6). 20. Mochtar R, Sofian A, editors. Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi dan Obstetri Patologi
Jilid I. 3th ed. Jakarta: EGC; 2012. 21. Moore
LE,
Hernandez
E.
Hydatidiform
Mole.
2014.
Tersedia
di
:
http://
emedicine.medscape.com/article/254657-overview#showall [diakses pada 9 Juli 2017].. 22. WHO. Managing Complications in Pregnancy and Childbirth. Geneva: WHO, 2003. 51820. 23. Rachimhadhi T. Perdarahan Antepartum. Dalam: Ilmu Kebidanan, edisi III. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, 2002; 362-85.
24. Gasong MS, Hartono E, Moerniaeni N. Penatalaksanaan Perdarahan Antepartum. Bagian Obstetri danGinekologi FK UNHAS; 1997. 3-8. 25. De Cheney, Alan et al. Current Obstetrics & Gynecologic Diagnosis & Treatment 9th edition. 2003 McGraw-Hill. 26. Asuhan Persalinan Normal. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 27. Pedoman Diagnosis dan Therapi Obstetri- Ginekologi RS. Hasan Sadikin, Bagian Obstetri dan Ginekologi RS. Hasan Sadikin Bandung 2005. 28. Obstetri Patologi. 2003. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 29. James, D.K. et al. High Risk Pregnancy Management Options. 2nd edition. 2001. United Kingdom: WB Saunders th
30. Kamus kedokteran Dorlan ed 28 . Jakarta . EGC. 2011 31. Leeman L, Fontaine P, King V, Klein MC, Ratcliffe S. Nature and management of labor pain: part I. Nonpharmacologic pain relief. Am Fam Physician . 2003 th
32. Townsend, CM et all. Sabiston Textbook of Surgery. 20 . Philadelphia. Elsevier. 2012 33. Snell, Richard S. Anatomi klinis bedasarkan sistem. Edisi 6. Jakarta. EGC. 2000