Refleksi Kasus
Ketuban Pecah Dini Pada Kehamilan Preterm
Ika Putri Yuliani H1A 011 034
PEMBIMBING : dr. Ario Danianto, Sp.OG
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN/SMF KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM/RSUP PROVINSI NTB 2017
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat, rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini. Laporan kasus yang berjudul “G1P0A0H0 34-45 minggu T/H/IU letak sungsang dengan Ketuban Pecah Dini + Oligohidramnion + HBsAg Positif” ini disusun dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis: 1. dr. Edi Prasetyo Wibowo, Sp.OG, selaku Kepala Bagian/ SMF Kebidanan dan Kandungan RSUP NTB. 2. dr. H. Doddy Ario Kumboyo, Sp.OG(K),selaku supervisor 3. dr. A. Rusdhy H. Hamid, Sp.OG (K), selaku supervisor 4. dr. Gede Made Punarbawa, Sp.OG (K), selaku supervisor 5. dr. I Made Widyalaksana Mahayasa, Sp.OG (K), selaku supervisor. 6. dr. I Made Putra Juliawan, Sp.OG, selaku supervisor 7. dr. Ario Danianto, Sp.OG, selaku pembimbing refleksi kasus ini. 8. dr. Windiana Rambu, Sp.OG, selaku supervisor 9. dr. Ratih Barirah, Sp.OG, selaku supervisor 10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan khususnya kepada penulis dan kepada pembaca dalam menjalankan praktik sehari-hari. Terima kasih. Mataram, Mei 2017
Penulis
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
1
Daftar Isi
2
BAB I PENDAHULUAN
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
4
2.1 Anatomi dan Fisiologi Alat Reproduksi_____________ Reproduksi_____________
4
2.2 Ketuban Pecah Dini
6
______
2.3 Oligohidramnion___
11
2.4 Persalinan Preterm__
14
2.5. Infeksi Virus Hepatitis B pada Ibu Hamil___________
21
BAB III LAPORAN KASUS
24
BAB IV PEMBAHASAN DAN REFLEKSI KASUS______
37
BAB V KESIMPULAN
40
DAFTAR PUSTAKA
41
LAMPIRAN___________________________________________
43
3
BAB I PENDAHULUAN
Perkembangan
plasenta
penting
untuk
kelangsungan
hidup
janin
karena
kepentingannya dalam transportasi ibu-janin. Struktur plasenta sedemikian rupa sehingga walaupun terbentuk gradien difusi yang optimal, darah ibu dan janin tidak pernah benar benar tercampur. Plasenta dan korion (membran luar) berasal dari lapisan trofoblas sel blastokista. Jaringan ekstraembrionik lain berkembang dari massa sel dalam. Jaringan ini mencakup amnion (membran dalam), yolk sac, sac, alantois (struktur yang umumnya merupakan sisa pada manusia) dan mesoderm ekstraembrionik. 1,2 Selaput ketuban yang membatasi rongga amnion terdiri atas amnion dan korion yang sangat erat ikatannya. Lapisan ini terdiri atas beberapa sel seperti sel epitel, sel mesenkim dan sel trofoblas yang terikat erat dalam matriks kolagen. Selaput ketuban berfungsi menghasilkan ketuban dan melindungi janin terhadap infeksi. Dalam keadaan normal, selaput ketuban pecah dalam proses persalinan. Ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan. Bila ketuban pecah dini terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu disebut ketuban pecah dini pada kehamilan prematur. Dalam keadaaan normal, 810% perempuan hamil aterm akan mengalami ketuban pecah dini. 3 Diketahui prevalensi dari KPD preterm di dunia adalah 3 - 4,5 % kehamilan dan merupakan penyumbang 6 - 40 % persalinan preterm atau prematuritas 4. Prematuritas yang diawali oleh KPD preterm menyebabkan 5-60 % sepsis neonatorum, 12-15% gangguan pernafasan dan 3-22% kematian neonatal serta 10,5 % kematian perinatal.4,5 Kejadian amnionitis
dilaporkan
15 – 23% 23%
pada
penderita
hamil
dengan
ketuban pecah dini. 6 Berikut ini disajikan suatu kasus seorang wanita, yang selanjutnya ditatalaksana sesuai prosedur tetap di RSUP NTB. Selanjutnya akan dibahas apakah diagnosis, tindakan, dan penatalaksanaannya sudah tepat dan sesuai dengan literatur yang ada.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Anatomi dan Fisiologi Alat Reproduksi
Anatomi alat reproduksi
Secara umum, anatomi alat reproduksi wanita terbagi menjadi dua, yakni organ genitalia eksterna dan organ genitalia interna. Organ genitalia eksterna terdiri dari vulva, mons veneris (mons pubis), labia mayora, labia minora, klitoris, vestibulum, bulbus vestibuli, introitus vagina dan perineum. Organ genitalia interna terdiri atas vagina, uterus, tuba falloppii dan ovarium. 7
Gambar 2.1. Organ Genitalia Eksterna8 Perineum terletak antara vulva dan anus, panjangnya rata-rata 4 cm. Jaringan yang mendukung perineum terutama ialah diafragma pelvis dan diafragma urogenitalis. Diafragma pelvis terdiri atas otot levator ani dan otot koksigis posterior serta fasia yang menutupi kedua otot ini. Diafragma urogenitalis terletak eksternal dari diafragma pelvis, yaitu di daerah segitiga antara tuber isiadika dan simfisis pubis. Diafragma urogenitalis meliputi muskulus transversus perinei profunda, otot konstriktor uretra dan fasia internal maupun eksternal yang menutupinya. Perineum mendapat pasokan darah terutama dari arteria pudenda interna dan cabang-cabangnya. Oleh sebab itu, dalam menjahit robekan perineum dapat dilakukan anestesi blok pudendus. Otot levator ani kiri dan kanan bertemu di tengah-tengah di antara anus dan vagina yang diperkuat oleh tendon sentral perineum. Di tempat ini bertemu otot-otot bulbokavernosus, muskulus transversus perinei superfisialis dan sfingter ani eksternal. Struktur ini membentuk perineal body yang memberikan dukungan bagi perineum. Dalam persalinan sering mengalami laserasi, kecuali dilakukan episiotomi yang adekuat.7
5
Fisiologi
Setelah mengalami fertilisasi, zigot akan masuk ke stadium pre-embrionik. Stadium pre-embrionik terjadi pada 2 minggu awal perkembangan dan penting untuk menopang kehidupan embrio. 1 Secara umum, dibagi menjadi 3 tahapan, yakni cleavage atau tahapan pembelahan sel, implantasi dan plasentasi.1,6 Pada perkembangan awal terjadi pembelahan sel dari satu menjadi dua, empat dan seterusnya, hingga dalam 72 jam akan terbentuk 16 sel atau lebih yang disebut morula. Morula ini selanjutnya membentuk rongga dan berubah menjadi bentuk blastokista, sel gepeng yang melapisi rongga disebut trofoblas dan sel di dalam rongga disebut embrioblas.1Trofoblas selanjutnya mengalami implantasi pada dinding uterus dan berlanjut pada fase plasentasi dan embriogenesis.1,9 Plasentasi adalah proses pembentukan struktur dan jenis plasenta, prosesnya berlangsung sampai 12-18 minggu setelah fertilisasi. Pada 2 minggu pertama, terjadi proses invasif oleh trofoblas, terbentuk sinus intertrofoblastik yang berisi darah maternal dari pembuluh darah yang dihancurkan. Selanjutnya akan timbul ruangan interviler yang menyebabkan vili korialis seolah terapung di antara ruangan tersebut sampai terbentuk plasenta.9 Selaput amnion merupakan jaringan avaskular yang lentur tetapi kuat. Bagian dalam selaput yang berhubungan dengan cairan merupakan jaringan sel kuboid yang asalnya ektoderm. Jaringan ini berhubungan dengan lapisan interstisial mengandung kolagen I, III dan IV. Sel mesenkim berfungsi menghasilkan kolagen sehingga selaput menjadi lentur dan kuat serta menghasilkan sitokin yang bermanfaat untuk melawan bakteri. Di samping itu, selaput amnion menghasilkan zat vasoaktif: endotelin, sehingga berfungsi mengatur peredarah darah dan tonus pembuluh lokal. 9
Gambar 2.2. Formasi Amnion, Lapisan Germinal dan Yolk Sac8 Masalah pada klinik ialah pecahnya ketuban berkaitan dengan kekuatan selaput. Pada perokok dan infeksi terjadi pelemahan pada ketahanan selaput sehingga pecah. Sejak awal kehamilan cairan amnion telah dibentuk. Cairan amnion merupakan pelindung dan bantalan
6
untuk proteksi sekaligus menunjang pertumbuhan dan merupakan hasil difusi dari ibunya. Cairan amnion mengandung banyak sel janin (lanugo, verniks kaseosa). Fungsi cairan amnion yang juga penting ialah menghambat bakteri karena mengandung zat seperti fosfat dan seng.9 Volume cairan amnion pada kehamilan aterm rata-rata ialah 800 ml, cairan amnion mempunyai pH 7,2 dan massa jenis 1,008. Setelah 20 minggu, produksi cairan berasal dari urin janin. Sebelumnya cairan amnion juga banyak berasal dari rembesan kulit, selaput amnion dan plasenta. Janin juga meminum cairan amnion (diperkirakan 500 ml/hari). Selain itu, cairan ada yang masuk ke paru sehingga penting untuk perkembangannya. Cairan amnion yang terlalu banyak disebut polihidramnion (> 2 liter) yang mungkin berkaitan dengan diabetes atau trisomi 18. Sebaliknya, cairan yang kurang disebut oligohidramnion yang berkaitan dengan kelainan ginjal janin, trisomi 21 atau 13, atau hipoksia janin. Oligohidramnion dapat dicurigai bila terdapat kantong amnion kurang dari 2 x 2 cm atau indeks cairan pada 4 kuadran kurang dari 5 cm. Setelah 38 minggu volume akan berkurang, tetapi pada postterm oligohidramnion merupakan penanda serius apalagi bila bercampur mekonium.9
2.2 Ketuban Pecah Dini
Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya selaput ketuban secara spontan pada saat belum inpartu atau selaput ketuban pecah 1 jam kemudian tidak diikuti tanda-tanda awal persalinan (tanpa melihat umur kehamilan). Bila ketuban pecah dini terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu disebut ketuban pecah dini pada kehamilan prematur. 3 Ketuban pecah dini prematur terjadi pada 1% kehamilan. Pecahnya selaput ketuban berkaitan dengan perubahan proses biokimia yang terjadi dalam kolagen matriks ekstra selular amnion, korion dan apoptosis membran janin. Membran janin dan desidua bereaksi terhadap stimuli seperti infeksi dan peregangan selaput ketuban dengan memproduksi mediator seperti prostaglandin, sitokinin dan protein hormon yang merangsang aktivitas “matrix degrading enzym”.3
Epidemiologi dan etiologi
Ketuban pecah dini merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang paling sering dijumpai. Insiden ketuban pecah ini dilaporkan bervariasi dari 6% hingga 10%, dimana sekitar 20% kasus terjadi sebelum memasuki masa gestasi 37 minggu. Sekitar 8 hingga 10% pasien ketuban pecah dini memiliki risiko tinggi infeksi intrauterine akibat interval antara 7
ketuban pecah dan persalinan yang memanjang. Ketuban pecah dini berhubungan dengan 30 hingga 40% persalinan preterm dimana sekitar 75% pasien akan mengalami persalinan satu minggu lebih dini dari jadwal. 10 Penyebab KPD masih belum diketahui dan tidak dapat ditentukan secara pasti. Beberapa laporan menyebutkan faktor-faktor yang berhubungan erat dengan KPD, namun faktor-faktor mana yang lebih berperan sulit diketahui. Kemungkinan yang menjadi faktor predesposisi adalah:11 1. Infeksi. Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun asenden dari vagina yang menyebabkan infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya KPD. 2. Serviks yang inkompetensia, kanalis sevikalis yang selalu terbuka oleh karena kelainan pada serviks uteri. 3. Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus) misalnya trauma, hidramnion, gemeli. Trauma oleh beberapa ahli disepakati sebagai faktor predisisi atau penyebab terjadinya KPD. Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual, pemeriksaan dalam, maupun amnosintesis menyebabkan terjadinya KPD karena biasanya disertai infeksi. 4. Kelainan letak misalnya sungsang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah. 5. Faktor lain - Faktor golongan darah. Akibat golongan darah ibu dan anak yang tidak sesuai dapat menimbulkan kelemahan bawaan termasuk kelemahan jarinngan kulit ketuban. - Faktor disproporsi antar kepala janin dan panggul ibu. - Faktor multi graviditas, merokok dan perdarahan antepartum. - Defisiensi gizi dari tembaga atau asam askorbat (Vitamin C). Beberapa etiologi dari ketuban pecah dini antara lain: 11 - Kehamilan multipel: kembar dua (50%), kembar tiga (90%) - Riwayat persalinan preterm sebelumnya: risiko 2 – 4 kali - Tindakan senggama: tidak berpengaruh kepada risiko, kecuali jika higiene buruk, predisposisi terhadap infeksi - Perdarahan pervaginam: trimester pertama (risiko 2 kali), trimester kedua/ketiga (20 kali) 8
- Bakteriuria: risiko 2 kali (prevalensi 7%) - pH vagina di atas 4.5: risiko 32% (prevalensi 16%) - Serviks tipis / kurang dari 39 mm: risiko 25% (prevalensi 7%) - Flora vagina abnormal: risiko 2-3x - Kadar CRH (corticotropin releasing hormone) maternal tinggi misalnya pada stress psikologis, dsb, dapat menjadi stimulasi persalinan preterm)
Mekanisme ketuban pecah dini
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh, bukan karena seluruh selaput ketuban rapuh. Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degradasi ekstraselular matriks. Perubahan struktur, jumlah sel dan katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen berubah dan menyebabkan selaput ketuban pecah.3 Faktor resiko untuk terjadinya ketuban pecah dini adalah: (1) berkurangnya asam askorbik sebagai komponen kolagen; (2) kekurangan tembaga dan asam askorbik yang berakibat pertumbuhan struktur abnormal karena antara lain merokok. Degradasi kolagen dimediasi oleh matriks metaloproteinase (MMP) yang dihambat oleh inhibitor jaringan spesifik dan inhibitor protease. Mendekati waktu persalinan, keseimbangan antara MMP dan TIMP-1 mengarah pada degradasi proteolitik dari matriks ekstraselular dan membran janin. Aktivitas degradasi proteolitik ini meningkat menjelang persalinan. Pada penyakit periodontitis di mana terdapat peningkatan MMP, cenderung terjadi ketuban pecah dini.3 Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada trimester ketiga selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan selaput ketuban ada hubungannya dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim dan gerakan janin. Pada trimester akhir terjadi perubahan biokimia pada selaput ketuban. Pecahnya ketuban pada kehamilan aterm merupakan hal fisiologis. Ketuban pecah dini pada kehamilan prematur disebabkan oleh a danya faktor-faktor eksternal, misalnya infeksi yang menjalar dari vagina. Ketuban pecah dini prematur sering terjadi pada polihidramnion, inkompeten serviks dan solusio plasenta. 3
Komplikasi
Komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini bergantung pada usia kehamilan. Dapat terjadi infeksi maternal ataupun neonatal, persalinan prematur, hipoksia karena
9
kompresi tali pusat, deformitas janin, meningkatnya insiden seksio sesaria atau gagalnya persalinan normal.3 Persalinan prematur. Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan.
Periode laten tergantung umum kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28-34 minggu 50% persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26 minggu persalinan terjadi dalam 1 minggu. 3 Infeksi. Resiko infeksi ibu dan anak meningkat pada ketuban pecah dini. Pada ibu
terjadi korioamnionitis. Pada bayi dapat terjadi septikemia, pneumonia, omfalitis. Umumnya terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi. Pada ketuban pecah dini prematur, infeksi lebih sering daripada aterm. Secara umum insiden infeksi sekunder pada ketuban pecah dini meningkat sebanding dengan lamanya periode laten. 3 Hipoksia dan asfiksia . Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang
menekan tali pusat sehingga terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya gawat janin dan derajat oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban, janin semakin gawat.3 Sindrom deformitas janin . Ketuban pecah dini yang terjadi terlalu dini
menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota badan janin, serta hipoplasi pulmonar. 3
Penatalaksanaan ketuban pecah dini
Sebelum menentukan tatalaksana yang dilakukan, terlebih dahulu harus dipastikan mengenai hal-hal yang terkait dengan kehamilan pasien. Hal utama yang perlu diketahui antara lain pastikan diagnosa, tentukan umur kehamilan, evaluasi ada tidaknya infeksi maternal ataupun infeksi janin dan apakah dalam keadaan inpartu terdapat kegawatan janin. Riwayat keluarnya air ketuban berupa cairan jernih keluar dari vagina yang kadang-kadang disertai tanda-tanda lain dari persalinan.3 Diagnosis ketuban pecah dini prematur dengan inspekulo dilihat adanya cairan ketuban keluar dari kavum uteri. Pemeriksaan pH vagina perempuan hamil sekitar 4,5; bila ada cairan ketuban pHnya sekitar 7,1-8,1. Antiseptik yang alkalin akan menaikkan pH vagina. Dengan pemeriksaan ultrasound adanya ketuban pecah dini dapat dikonfirmasikan dengan adanya oligohidramnion. Bila air ketuban normal agaknya ketuban pecah dapat diragukan.3 Penderita dengan kemungkinan ketuban pecah dini harus masuk rumah sakit untuk diperiksa lebih lanjut. Jika pada perawatan air ketuban berhenti keluar, pasien dapat pulang 10
untuk rawat jalan. Bila terdapat persalinan dalam kala aktif, korioamnionitis, gawat janin, persalinan diterminasi. Bila ketuban pecah dini pada kehamilan prematur, diperlukan penatalaksanaan yang komprehensif.3
Diagnosis
Tentukan pecahnya selaput ketuban, dengan adanya cairan ketuban di vagina. Jika tidak ada dapat dicoba dengan menggerakkan sedikit bagian terbawah janin atau meminta pasien batuk atau mengedan. Penentuan cairan ketuban dapat dilakukan dengan tes lakmus merah menjadi biru. Tentukan usia kehamilan, bila perlu dengan pemeriksaan USG. Tentukan ada tidaknya infeksi. Tanda-tanda infeksi adalah bila suhu ibu lebih dari 38 oC serta air ketuban keruh dan berbau. Leukosit darah > 15.000/mm 3. Janin yang mengalami takikardia, mungkin mengalami infeksi intrauterin. Tentukan tanda-tanda persalinan dengan skoring pelvik. Tentukan adanya kontraksi yang teratur. Periksa dalam dilakukan bila akan dilakukan penanganan aktif (terminasi kehamilan).3
Penanganan Konservatif . Rawat di rumah sakit, berikan antibiotik (ampisilin 4 x 500 mg atau
eritromisin bila tidak tahan ampisilin dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari). Jika umur kehamilan < 32-34 minggu, dirawat selama air ketuban masih keluar, atau sampai air ketuban tidak lagi keluar. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, tes busa negatif beri deksametason, observasi tanda-tanda infeksi dan kesejahteraan janin. Terminasi pada kehamilan 37 minggu. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi, berikan tokolitik (salbutamol), deksametason dan induksi sesudah 24 jam. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan lakukan induksi, nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intrauterin). Pada usia kehamilan 3237 minggu berikan steroid untuk memacu pematangan paru janin dan bila memungkinkan periksa kadar lesitin dan spingomielin tiap minggu. Dosis betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari, deksametason IM 5 mg setiap 6 j am sebanyak 4 kali. 3,12 Aktif . Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin. Bila gagal, seksio sesaria.
Dapat pula diberikan misoprostol 25 µg – 50 µg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali. Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotik dosis tinggi dan persalinan diakhiri. Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan serviks, kemudian induksi. Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesaria. Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan.3,12
11
2.3. Oligohidramnion Batasan
Definisi oligohidramnion yang digunakan beragam oleh karena tidak ada titik potong yang ideal sewaktu dilakukan pengukuran. Oligohidramnion mempunyai karakteristik seperti di bawah ini:
Berkurangnya volume cairan amnion
Volume cairan amnion < 500 mL pada usia kehamilan 32-36 minggu
Single deepest pocket (SDP) < 2 cm
Amniotic fluid index (AFI) < 5 cm atau < 5 percentile dari umur kehamilan Tidak ditemukan kantong yang bebas dari tali pusat pada pengukuran minimal 1 cm pada pengukuran SDP
Volume cairan amnion bergantung pada usia kehamilan, karena itu , definisi yang paling baik adalah Amniotic fluid index (AFI) < 5 cm atau < 5 percentile.13-16
Gambar 2.2. Hubungan antara ICA dengan usia kehamilan Insiden
Insiden sekitar 3,9 % dari seluruh kehamilan, namun estimasi sekitar 12 % dari kehamilan usia 40 minggu atau lebih. Beberapa kondisi telah dikaitkan dengan berkurangnya cairan amnion. Tabel 2.1 Kondisi yang dikaitkan dengan oligohidramnion Fetus
Kelainan kromosom Kelainan congenital Hambatan pertumbuhan Ruptur membrane (KPD) Kehamilan postterm
12
Maternal
Insufisiensi uteroplasenta Hipertensi Preeclampsia diabetes
Plasenta
Abruptio Twin to twin transfusion
Obat-obatan
Prostaglandin synthase inhibitor Angiotensin converting enzim inhibitor
Idiopatik
Penanganan oligohidramnion
Oligohidramnion pada kehamilan aterm mungkin dilakukan penanganan aktif dengan cara induksi persalinan atau penanganan ekspektatif dengan cara hidrasi dan pemantauan janin, dan atau USG reguler untuk menilai volume cairan amnion. Ketika kedua pilihan tersedia, penanganan aktif adalah pendekatan yang umum dilakukan pada wanita hamil aterm dengan atau tanpa faktor resiko pada ibu atau fetus. Induksi persalinan pada wanita resiko rendah dengan oligohidramnion paling umum dilakukan, meskipun tidak ditemukan perbaikan pada keluaran neonatal. Pada sebuah penelitian prospektif (N=54), Ek dkk, menemukan bahwa penanganan aktif dibandingkan dengan ekspektatif pada wanita dengan oligohidramnion tanpa penyulit lain tidak ditemukan perbedaan pada keluaran maternal dan neonatal. Karena jumlah sampel yang kecil pada penelitian ini, maka penelitian ini tidak punya kekuatan untuk menentukan hubungan yang bermakna antara oligohidramnion dan keluaran neonatal. Sebaliknya, penelitian prospektif oleh Alchabi dkk, membagi 180 wanita kehamilan antara 37 dan 42 minggu yang dimasukkan untuk induksi persalinan kedalam 2 grup: satu grup dengan ICA ≤ 5 cm, dan grup yang lain dengan ICA > 5 cm. Meskipun kedua grup dapat dibandingkan demografi dan karakteristik obstetrik sebelum induksi, wanita dengan ICA yang rendah, angka SC meningkat sekunder akibat fetal distress. Conway dkk mengacak 61 wanita dengan oligohidramnion hamil aterm diinduksi atau ekspektatif menemukan tidak adaperbedaan pada keluaran maternal dan neonatal. Mereka menyimpulkan bahwa penanganan ekspektatif dengan pemantauan fetus 2 kali seminggu adalah alternatif yang sensibel terhadap induksi persalianan, dan kebanyakan (67%) wanita akan masuk persalinan spontan dalam 3 hari
13
sesudah diagnosis. Meskipun kekuatannya kecil dan insufisien, penelitian ini menyarankan bahwa oligohidramnion tidak memperlihatkan hubungan dengan keluran tambahan, tapi menyebabkan intoleransi persalinan pada fetal, yang menghasilkan angka SC yang lebih tinggi. Penanganan ekspektatif mempunyai keluaran neonatal yang sama baik, pendekatan itu belum digunakan secara luas.16 Amnioinfusion merupakan suatu prosedur melakukan infus larutan NaCl fisiologis atau ringer laktat ke dalam kavum uteri untuk menambah volume cairan amnion. Tindakan ini dilakukan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat berkurangnya volume cairan amnion, seperti deselerasi variabel berat dan sindroma aspirasi mekonium dalam persalinan. Tindakan amnioinfusion cukup efektif, aman, mudah dikerjakan, dan biayanya murah. Pada tahun 1976, Gabbe dkk pertama kali melaporkan tindakan amnio infusion pada kera rhesus yang hamil. Dalam percobaannya, janin kera memperlihatkan gambaran deselerasi variabel menyusul pengeluaran cairan amnion dari kavum uteri; dan gambaran deselerasi variabel menghilang setelah kavum uteri diisi kembali dengan cairan. Penelitian pada manusia baru dilaporkan pada tahun 1983 oleh Miyazaki dan Taylor, yang menyatakan bahwa tindakan amnioinfusion dapat menghilangkan gambaran deselerasi variabel yang timbul akibat oligohidramnion.17 Amnioinfusion dapat dilakukan dengan cara transabdominal atau transservikal (transvaginal). Pada cara transabdominal, amnioinfusion dilakukan dengan bimbingan ultrasonografi (USG). Cairan NaCl fisiologis atau ringer laktat dimasukkan melalui jarum spinal yang ditusukkan ke dalam kantung amnion dengan tuntunan ultrasonografi. Pada cara transservikal, cairan dimasukkan melalui kateter yang dipasang ke dalam kavum uteri melalui serviks uteri. Selama tindakan amnioinfusion, denyut jantung janin dimonitor terus dengan alat kardiotokografi (KTG) untuk melihat perubahan pada denyut jantung janin. Mula-mula dimasukkan 250 ml bolus cairan NaCI atau ringer laktat selama 20-30 menit. Kemudian dilanjutkan dengan infus 10-20 ml/jam sebanyak 600 ml. Jumlah tetesan infus disesuaikan dengan perubahan pada gambaran KTG. Apabila deselerasi variabel menghilang, infus dilanjutkan sampai 250 ml, kemudian tindakan dihentikan, kecuali bila deselerasi variabel timbul kembali. Jumlah maksimal cairan yang dimasukkan adalah 800-1000 ml. Apabila setelah 800- 1000 ml cairan yang dimasukkan tidak menghilangkan deselerasi variabel, maka tindakan dianggap gagal. 18 Terdapat beberapa kontraindikasi untuk tindakan amnioinfusion, antara lain: amnionitis, hidramnion, uterus hipertonik, kehamilan kembar, kelainan kongenital janin,
14
kelainan uterus, gawat janin yang berat, malpresentasi janin, pH darah janin 7, 20, plasenta previa atau solusio plasenta.18 Meskipun amnioinfusion cukup mudah dan aman dilakukan, beberapa komplikasi mungkin terjadi selama tindakan, antara lain: prolapsus tali pusat, ruptura pada jaringan parut bekas seksio sesarea, hidramnion iatrogenik, emboli cairan amnion, febris intrapartum.18
2.4. Persalinan Preterm Definisi
Persalinan preterm adalah persalinan yang berlangsung pada umur kehamilan 20 – 37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir. Badan Kesehatan Dunia (WHO) men yatakan bahwa bayi prematur adalah bayi yang lahir pada usia kehamilan 37 minggu atau kurang. Perhimpunan Kedokteran Fetomaternal POGI di Semarang tahun 2OO5 menetapkan bahwa persalinan prererm adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 22- 37 minggu.19
Epidemiologi
Angka kejadian persalinan preterm pada umumnya adalah sekitar 6 – 10%. Kesulitan utama dalam persalinan preterm ialah perawatan bayi preterm, yang semakin muda usia kehamilannya semakin besar morbiditas dan mortalitas. Penelitian iain menunjukkan bahwa umur kehamilan dan berat bayi lahir saling berkaitan dengan risiko kematian perinatal. Pada kehamilan umur 32 minggu, dengan berat bayi > 1.500 gram keberhasilan hidup sekitar 85%, sedang pada umur kehamiian sama dengan berat janin < 1.500 gram angka keberhasilan sebesar 80 %.19 Pada umur kehamilan < 32 minggu dengan berat lahir < 1.500 gram angka keberhasilan hanya sekitar 59 %. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan persaiinan prererm tidak hanya tergantung umur kehamilan, tetapi juga berat bayi lahir. Permasalahan yangteriadi pada persalinan preterm bukan saja pada kematian perinatal, melainkan bayi prematur ini sering pula disertai dengan kelainan, baik kelainan jangka pendek maupun jangka panjang. Kelainan jangka pendek yang sering terjadi adalah: RDS (Respiratory Distress Syndrome), perdarahan intraperiventrikular, NEC (Necrotizing Entero Colitis), displasi bronkopulmonar, sepsis, dan paten duktus arteriosus. Adapun kelainan jangka panjang sering berupa kelainan neurologik seperti serebral palsi, retinopati, retardasi mental, juga dapat terjadi disfungsi neurobehavioral dan prestasi sekolah yang kurang baik. Dengan
15
melihat permasalahan yang dapat terjadi pada bayi preterm, maka menunda persalinan preterm, bila mungkin, masih tetap memberi suatu keuntungan.19
Etiologi dan Faktor Predisposisi
Persalinan prematur merupakan kelainan proses yang multifaktorial. Kombinaii keadaan obstetrik, sosiodemografi, dan faktor medik mempunyai pengaruh terhadap terjadinya persalinan prematur. Kadang hanya risiko tunggal dijumpai seperti distensi berlebih uterus, ketuban pecah dini, atau trauma. Banyak kasus persalinan prematur sebagai akibat proses patogenik yang merupakan mediator biokimia yang mempunyai dampak terjadinya kontraksi rahim dan perubahan serviks, yaitu: 19 1. Aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-adrenal baik pada ibu maupun janin, akibat stres pada ibu atau janin 2. Inflamasi desidua-korioamnion atau sistemik akibat infeksi asenden dari traktus genitourinaria atau infeksi sistemik 3. Perdarahan desidua 4. Peregangan uterus patologik 5. Kelainan pada uterus atau serviks Dengan demikian, untuk memprediksi kemungkinan terjadinya persalinan prematur harus dicermati beberapa kondisi yang dapat menimbulkan kontraksi, menyebabkan persalinan prematur atau seorang dokter rerpaksa mengakhiri kehamilan pada saat kehamilan belum genap bulan. Kondisi selama kehamilan yang berisiko terjadinya persalinan preterm adalah:19
Janin dan plasenta
- Perdarahan trimester awal - Perdarahan antepartum (plasenta previa, solusio plasenta, vasa previa) - Ketuban pecah dini (KPD) - Pertumbuhan janin terhambat - Cacat bawaan janin - Kehamilan gandalgemeli - Polihidramnion
Ibu
- Penyakit berat pada ibu - Diabetes mellitus
16
- Preeklampsia/hipenensi - Infeksi saluran kemih/genital/intrauterin - Penyakit infeksi dengan demam - Stres psikologik - Kelainan bentuk uterus/serviks - Riwayat persalinan preterm/abortus berulang - Inkompetensi serviks (panjang serviks kurang dari 1 cm) - Pemakaian obat narkotik - Trauma - Perokok berat - Kelainan imunologi/kelainan resus Drife dan Magowan menyatakan bahwa 35 %
persalinan preterm terjadi tanpa
diketahui penyebab yang jelas, 30 % akibat persalinan elektif, l0% pada kehamilan ganda, dan sebagian lain sebagai akibat kondisi ibu atau janin. Infeksi korioamnion diyakini merupakan salah satu sebab terjadinya ketuban pecah dini dan persalinan preterm. Patogenesis infeksi ini yang menyebabkan persalinan belum jelas benar. Kemungkinan diawali dengan aktivasi fosfolipase A2 yang melepaskan bahan asam arakidonat dari selaput amnion janin, sehingga asam arakidonat bebas meningkat untuk sintesis prostaglandin. Endotoksin dalam air ketuban akan merangsang sel desidua untuk menghasilkan sitokin dan prostaglandin yang dapat menginisiasi proses persalinan. Proses persalinan preterm yang dikaitkan dengan infeksi diperkirakan diawali dengan pengeluaran produk sebagai hasil dari aktivasi monosit. Berbagai sitokin, termasuk interleukin-l, tumor nekrosing faktor (TNF), dan interleukin-5 adalah produk sekretorik yang dikaitkan dengan persalinan preterm. Sementara itu, Platelet Activating Factor (PAF) yang ditemukan dalam air ketuban teriibat secara sinergik pada aktivasi jalinan sitokin tadi. PAF diduga dihasilkan dari paru dan ginjal janin. Dengan demikian, janin memainkan peran yang sinergik dalam mengawali proses persalinan preterm yang disebabkan oleh infeksi. Bakteri sendiri mungkin menyebabkan kerusakan membran lewat pengaruh langsung dari protease. 19
Diagnosis
Sering terjadi kesulitan dalam menentukan diagnosis ancaman persalinan preterm. Tidak jarang kontraksi yang timbul pada kehamilan tidak benar-benar merupakan ancaman proses persalinan. Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman persalinan preterm, yaitu:19 17
Kontraksi yang berulang sedikitnya setiap 7 - 8 menit sekali, atav 2 - 3 kali dalam
waktu 10 menit
Adanya nyeri pada punggung bawah (low back pain)
Perdarahan bercak
Perasaan menekan daerah serviks
Pemeriksaan serviks menunjukkan telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm, dan penipisan 50 - 80%
Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika
Selaput ketuban pecah dapat merupakan tanda awal terjadinya persalinan preterm
Terjadi pada usia kehamilian 22 - 37 minggu
Cara utama untuk mengurangi risiko persalinan preterm dapat dilakukan sejak awal, sebelum tanda-tanda persalinan muncul. Dimulai dengan pengenalan pasien yang berisiko, untuk diberi penjelasan dan dilakukan penilaian klinik terhadap persalinan preterm serta pengenalan kontraksi sedini mungkin, sehingga tindakan pencegahan dapat segera dilakukan. Pemeriksaan serviks tidak lazim dilakukan pada kunjungan antenatal, sebenarnya pemeriksaan tersebut mempunyai manfaat cukup besar dalam meramalkan terjadinya persalinan preterm. Bila dijumpai serviks pendek (< 1 cm) disertai dengan pembukaan yang merupakan tanda serviks matang/inkompetensi serviks, mempunyai risiko terjadinya persalinan preterm 3 - 4 kali. Beberapa indikator dapat dipakai untuk meramalkan terjadinya persalinan preterm, sebagai berikut.19
Indikator klinik
Indikator klinik yang dapat dijumpai sepeni timbulnya kontraksi dan pemendekan serviks (secara manual maupun ultrasonografi). Terjadinya ketuban pecah dini juga meramalkan akan terjadinya persalinan preterm.
Indikator laboratorik
Beberapa indikator laboratorik yang bermakna antara lain adalah: jumlah leukosit dalam air ketuban (20/ml atau lebih), pemeriksaan CRP (> 0,7 mg/ml), dan pemeriksaan leukosit dalam serum ibu (> 13.000/m1).
Indikator biokimia
- Fibronektin janin: peningkatan kadar fibronektin janin pada vagina, serviks dan air ketuban memberikan indikasi adanya gangguan pada hubungan antara korion dan desidua. Pada kehamilan 24 minggu atau lebih, kadar fibronektin janin 50 nglml atau lebih mengindikasikan risiko persalinan preterm. 18
- Corticotropin releasingbormone (CRH): peningkatan CRH dini atau pada trimester 2 merupakan indikator kuat untuk terjadinya persalinan preterm. - Sitokin inflamasi: seperti IL-10, IL-6, IL-8, dan TNF-cl telah diteliti sebagai mediator yang mungkin belperan dalam sintesis prostaglandin. - Isoferitin plasenta pada keadaan normal (tidak hamil) kadar isoferitin sebesar 10 U/ml. Kadarnya meningkat secara bermakna selama kehamilan dan mencapai puncak pada trimester akhir yaitu 54,8 ± 53 U/ml. Penurunan kadar dalam serum akan berisiko terjadinya persalinan prererm. - Feritin: Rendahnya kadar feritin merupakan indikator yang sensitif untuk keadaan kurang zat besi. Peningkatan ekspresi feritin berkaitan dengan berbagai keadaan reaksi fase akut termasuk kondisi inflamasi. Beberapa peneliti menyatakan ada hubungan antara peningkatan kadar feritin dan kejadian penyulit kehamilan, termasuk persalinan preterm.
Pengelolaan
Manajemen persalinan preterm bergantung pada beberapa faktor: 19
Keadaan selaput ketuban. Pada umumnya persalinan tidak dihambat bilamana selaput
ketuban sudah pecah.
Pembukaan serviks. Persalinan akan sulit dicegah bila pembukaan mencapai 4 cm.
lJmur kehamilan. Makin muda usia kehamilan, upaya mencegah persalinan makin perlu dilakukan. Persalinan dapat dipertimbangkan berlangsung bila TBJ > 2.000 atau kehamilan > 34 minggu.
Penyebab/komplikasi persalinan preterm.
Kemampuan neonatal intensive care facilities.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada persalinan preterrn, terutama mencegah morbiditas dan mortalitas neonatus preterm adalah: 19
menghambat proses persalinan preterm dengan pemberian tokolisis, pematangan surfaktan paru janin dengan kortikosteroid, dan bila perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi.
Tokolisis
Meski beberapa macam obat telah dipakai untuk menghambat persalinan, tidak ada yang benar-benar efektif. Namun, pemberian tokolisis masih perlu dipertimbangkan bila
19
dijumpai kontraksi uterus yang regular dengan perubahan serviks. Alasan pemberian tokolisis pada persalinan preterm adalah:19
Mencegah mortalitas dan morbiditas pada bayi prematur
Memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulir surfaktan paru janin
Memberi kesempatan transfer intrauterin pada fasilitas yang lebih lengkap
Optimalisasi personel
Beberapa macam obat -yang dapat digunakan sebagai tokolisis adalah: 19
Kalsium antagonis: Nifedipin 10 mg/oral diulang 2 - 3 kali/jam, dilanjutkan tiap 8 jam sampai kontraksi hilang. Obat dapat diberikan lagi jika timbul kontraksi berulang.
Obat B-mimetik: seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan salbutamol, dapat digunakan,tetapi nifedipin mempunyai efek samping lebih kecil.
Sulfas magnesikus dan antiprostaglandin (indometasin): jarang dipakai karena efek samping pada ibu ataupun janin.
o
Untuk menghambat proses persalinan preterm selain tokolisis, perlu membamsi aktivitas atau tirah baring
Kortikosteroid
Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan surfaktan paru janin, menurunkan insidensi RDS, mencegah perdarahan intraventrikular, yang akhirnya menurunkan kematian neonatus. Kortikosteroid perlu diberikan bilamana usia kehamilan kurang dari 35 minggu. Obat yang diberikan adalah: deksametason atau betametason. Pemberian steroid ini tidak diulang karena risiko terjadinya pertumbuhan janin terhambat. Pemberian siklus tunggal kortikosteroid adalah: 19 o Betametason: 2 x 12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24 jam o Deksametason: 4 x 6 mg i.m. dengan jarak pemberian 72 jam
Antibiotika
Antibiotika hanya diberikan bilamana kehamilan mengandung risiko terjadinya infeksi seperti pada kasus KPD. Obat diberikan per oral, yang dianjurkan adalah: eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari. Obat pilihan lain adalah ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari,
20
atau dapat menggunakan antibiotika lain seperti klindamisin. Tidak dianjurkan pemberian ko-amoksiklaf karena risiko NEC.19 Beberapa hal yang harus diperhatikan pada pemeriksaan pasien dengan KPD/PPROM (Preterm Prematare rupture of the membrane) adalah:19 o
Semua alat yang digunakan untuk periksa vagina harus steril.
o
Periksa dalam vagina tidak dianjurkan, tetapi dilakukan dengan pemeriksaan spekulum.
o
Pada pemeriksaan USG jika didapat penumnan indeks cairan amnion (ICA) tanpa adanya kecurigaan kelainan ginjal dan tidak adanya IUGR mengarah pada kemungkinan KPD.
Penderita dengan KPD/PPROM dilakukan pengakhiran persalinan pada usia kehamilan 36 minggu. Untuk usia 32 - 35 minggu jika ada bukti hasil pemeriksaan maturitas paru, maka kemampuan rumah sakit (tenaga dan fasilitas perinatologi) sangat menentukan kapan sebaiknya kehamilan diakhiri. Akan tetapi, bila ditemukan adanya bukti infeksi (klinik ataupun laboratorik), maka pengakhiran persalinan dipercepat/induksi, tanpa melihat usia kehamilan. Persiapan persalinan preterm perlu penimbangan berdasar: 19 o Usia gestasi
- Usia gestasi 34 minggu atau lebih: dapat melahirkan di tingkat dasar/primer, mengingat prognosis relatif baik. - Usia gestasi kurang dari 34 minggu: harus dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas perawatan neonatus yang memadai. o Keadaan selaput ketuban
Bila didapat KPD/PPROM dengan usia kehamilan kurang dari 28 minggu, maka ibu dan keluarga dipersilakan untuk memilih cara pengelolaan setelah diberi konseling dengan baik.
Cara Persalinan
Masih sering muncul kontroversi dalam cara persalinan kurang bulan seperti: apakah sebaiknya persalinan berlangsung pervaginam atau seksio sesarea terutama pada berat janin yang sangat rendah dan preterm sungsang, pemakaian forseps untuk melindungi kepala janin, dan apakah ada manfaatnya dilakukan episiotomi profilaksis yang luas untuk mengurangi trauma kepala.19 Bila janin presentasi kepala, maka diperbolehkan partus pervaginam. Seksio sesarea
21
tidak memberi prognosis yang lebih baik bagi bayi, bahkan merugikan ibu. Prematuritas janganlah dipakai sebagai indikasi untuk melakukan seksio sesarea. OIeh karena itu, seksio sesarea hanya dilakukan atas indikasi obstetrik.19 Pada
kehamilan
letak
sungsang
30
-
34
minggu,
seksio
sesarea
dapar
dipertimbangkan. Setelah kehamlian lebih dari 34 minggu, persalinan dibiarkan terjadi karena morbiditas dianggap sama dengan kehamilan aterm. 19
2.5. Infeksi Virus Hepatitis B pada Ibu Hamil Epidemiologi
Prevalensi pengidap VHB pada ibu hamil di Indonesia berkisar antara 1 - 5 % di mana keadaan ini bergantung pada prevalensi VHB di populasi. Kehamilan sendiri tidak akan memperberat infeksi virus hepatitis, akan tetapi, jika terjadi infeksi akut pada kehamilan bisa mengakibatkan terjadinya hepatitis fulminan yang dapat menimbulkan mortalitas tinggi pada ibu dan bayi. Pada ibu dapat menimbulkan abortus dan terjadinya perdarahan pascapersalinan karena adanya gangguan pembekuan darah akibat gangguan fungsi hati. Pada bayi masalah yang serius umumnya tidak terjadi pada masa neonatus, tetapi pada masa dewasa. Jika terjadi penularan vertikal VHB, 60 - 90 % akan menjadi pengidap kronik VHB dan 30 % kemungkinan akan menderita kanker hati atau sirosis hati sekitar 40 tahun kemudian. Jika penularan VHB vertikal dapat dicegah, berarti mencegah terjadinya kanker hati secara primer dan dapat ikut meningkatkan kualitas sumber daya manusia akan datang. 20 Beberapa faktor predisposisi terjadinya penularan vertikal antara lain titer DNA-VHB tinggi pada ibu (makin tinggi titer makin ringgi kemungkinan bayi tertular), terjadinya infeksi akut pada kehamilan trimester ketiga, persalinan lama dan mutasi VHB. Kegagalan vaksinasi yang menyebabkan bayi tertular 1.0 - 20 % disebabkan oleh mutasi VHB. VHB mudah menimbulkan infeksi nosokomial pada tenaga medik dan paramedik melalui pertolongan persalinan atau operasi, karena tertusuk jarum suntik atau luka lecet, terutama pada pasien dengan HBsAg dan HBeAg positif. VHB lebih besar berpotensi untuk menimbulkan infeksi nosokomial di rumah sakit dibandingkan HIV. 20
Pencegahan 20
Kewaspadaan universal (universal precaution) Hindari hubungan seksual dan pemakaian alat atau bahan dari pengidap. Vaksinasi HB bagi seluruh tenaga kesehatan sangat penting, rerutama yang sering terpapar dengan darah. 22
Skrining HBsAg pada ibu hamil Skrining HBsAg pada ibu hamil, terutama pada daerah di mana terdapat prevalensi tinggi.
Imunisasi Penularan dari ibu ke bayi sebagian besar dapat dicegah dengan imunisasi. Pemerintah telah menaruh perhatian besar terhadap penularan vertikal VHB dengan membuat program pemberian vaksinasi HB bagi semua bayi yang lahir di fasilitas pemerintah dengan dosis 5 mikrogram pada hari ke 0, umur 1, dan 6 bulan, tanpa mengetahui bayi tersebut lahir dari ibu dengan HbsAg positif atau tidak. Di samping global imunisasi sepeni disampaikan sebelumnya, selektif imunisasi dilakukan pada bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif, yaitu dengan pemberian Hepatitis B ImmunoGlobulin (HBIG) + vaksin HB, vaksin mengandung pre S2 atau pemakaian vaksin dengan dosis dewasa pada hari ke 0, 1 bulan, dan 2 bulan.
Penanganan Kebamilan dan Persalinan pada lbu pengidap VHB20
Persalinan pengidap VHB tanpa infeksi akut tidak berbeda dengan penanganan persalinan umumnya.
Pada infeksi akut VHB dan adanya hepatitis fulminan persalinan pervaginam usahakan dengan trauma sekecil mungkin dan rawat bersama dengan spesialis Penyakit Dalam (spesialis Hepatologi). Gejala hepatitis fulminan antara lain sangat ikterik, nyeri perut kanan atas, kesadaran menurun dan hasil periksaan urin; warna seperti teh pekat, urobilin dan bilirubin positif, pada pemeriksaan darah selain urobilin dan bilirubin positif SGOT dan SGPT sangat tinggi biasanya di atas 1.000.
Pada ibu hamil dengan Viral Load tinggi dapat dipertimbangkan pemberian HBIG atau lamivudin pada 1 - 2 bulan sebelum persalinan. Mengenai hal ini masih ada beberapa pendapat yang menyatakan lamivudin tidak ada pengaruh pada bayi, tetapi ada yang masih mengkhawatirkan pengaruh teratogenik obat tersebut.
Persalinan sebaiknya jangan dibiarkan berlangsung lama, khususnya pada ibu dengan HBsAg positif. Wong menyatakan persalinan berlangsung lebih dari 9 jam, sedangkan Surya menyatakan persalinan berlangsung lebih dari 16 jam, sudah meningkatkan kemungkinan penularan VHB intrauterin. Persalinan pada ibu hamil dengan titer VHB tinggi (3,5 pg/ml) atau HBsAg positif, lebih baik seksio sesarea. Demikian juga jika persalinan yang lebih dari 16 jam pada pasien pengidap HbsAg Positif. Menyusui
23
bayi, tidak merupakan masalah. Pada penelitian telah dibuktikan bahwa penularan melalui saluran cerna membutuhkan titer virus yang jauh lebih tinggi daripada penularan parenteral.
BAB III LAPORAN KASUS
24
I. IDENTITAS
Nama
: Ny.E
Usia
: 30 tahun
Pekerjaan
: Guru
Agama
: Islam
Suku
: Sasak
Alamat
: Kediri, Lombok Barat
RM
: 585673
MRS
: 08-04-2017
II. ANAMNESIS Keluhan Utama : Keluar air dari jalan lahir Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke RSUP NTB pada tanggal 08 April 2017 pukul 21.30 WITA, dengan keluhan keluar air dari jalan lahir. Keluhan keluar air dari jalan lahir dirasakan sekitar dua jam SMRS (19.30 WITA). Keluhan tersebut tidak disertai dengan keluar lendir bercampur darah dan nyeri perut ingin melahirkan. Pergerakan janin masih dirasakan oleh pasien. Riwayat trauma sebelum timbul keluhan disangkal oleh pasien. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat penyakit jantung, ginjal, hipertensi, diabetes mellitus, ataupun asma disangkal. Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat keluarga memiliki riwayat hipertensi, diabetes mellitus, asma, maupun penyakit berat lainnya disangkal. Riwayat Alergi :
Alergi terhadap obat-obatan dan makanan disangkal. Riwayat Obstetri :
Pasien memiliki riwayat kehamilan sebagai berikut : 1. Ini
HPHT
: 10 Agustus 2016
Taksiran Persalinan
: 17 Mei 2017
Usia Kehamilan
: 34-35 minggu 25
: 3x di Posyandu
Riwayat ANC
ANC terakhir
: 03 Maret 2017
Hasil
: lemas, TD 110/80, BB 78 kg, uk 24 minggu TFU 2 jari di atas pusat, letak kepala, DJJ (+).
Riwayat USG
: Tidak pernah USG
Riwayat KB
: -
Rencana KB
: Injeksi 3 bulan
III. STATUS GENERALIS
Keadaan umum
: Baik
Kesadaran
: Compos Mentis
GCS
: E4V5M6
Tanda Vital - Tekanan darah
: 120/90 mmHg
- Frekuensi nadi
: 88 x/menit, reguler, kuat
- Frekuensi napas
: 20 x/menit
- Suhu
: 36,6oC
Pemeriksaan Fisik Umum - Mata
: anemis -/-, ikterus -/-
- Jantung
: S1S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
- Paru
: vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing (-)
- Abdomen
: luka operasi (-), striae gravidarum (+), linea nigra (+)
- Ekstremitas
: edema -
-
- -
akral teraba hangat
+
+
+ +
IV. STATUS OBSTETRI
L1 : Kepala L2 : Punggung kanan L3 : Bokong L4 : 4/5 TFU
: 26 cm
TBJ
: 2704 g
DJJ
: 12-12-12 (144x/menit) 26
HIS
:-
VT
:Ø 1 cm, eff. 10%, ketuban (-), teraba bokong, denominator tidak jelas ,↓ HI, tidak teraba bagian kecil janin atau tali pusat.
Pemeriksaan pelvis: promontorium tidak teraba, spina ischiadica tidak prominen, os coccygeus mobile, arcus pubis >90º Skor Zachtuchni-Andros (ZA score) indikator
0
1
2
Primi
Multi
0
1x
≥2x
>3650
3176-
<3176
o Paritas Riwayat sungsang Taksiran berat janin
3640 Station Usia kehamilan
<-3
-2
≥-1
>38 mgg
38
<38 mgg
2
3
>4
Bukaan
V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM (08 April 2017)
VI.
HB
: 12,2 g/dl
RBC
: 4,36 l0 6/ul
HCT
: 36,4 %
WBC
: 7,07 l0 3/ul
PLT
: 270 l0 3/ul
HbsAg
: (+)
GDS
: 82 g%
DIAGNOSIS
G1P0A0H0 34-35 minggu T/H/IU letak sungsang dengan Ketuban Pecah Dini <12 jam + Oligohidramnion + HBsAg Positif
VII. TINDAKAN
Planning Diagnostic -
Cardiotocography (CTG)
27
USG
Planning Terapi
-
IVFD RL 20 tpm
-
Injeksi Ampicillin IV 1gram tiap 6 jam
Planning Monitoring -
Observasi kesejahteraan ibu dan janin
Planning Edukasi -
KIE keluarga pasien mengenai hasil pemeriksaan, kondisi yang dialami pasien dan tindakan terapi yang akan dilakukan
-
Menjelaskan terapi yang akan diberikan dan komplikasi yang mungkin terjadi serta meminta persetujuan
-
Menganjurkan ibu untuk makan/minum serta miring kiri dan tidak mengedan dulu sebelum waktunya
-
KIE keluarga pasien mengenai rencana pemasangan kontrasepsi setelah melahirkan.
VIII. Bayi Lahir
Jenis persalinan
: SCTP
Lahir tanggal, jam
: 09/04/2017, pukul 19.35 WITA
Jenis kelamin
: Perempuan
APGAR Score
: 6-8
Lahir
: Hidup
Berat
: 2370 gram
Panjang badan
: 45 cm
Amnion
: minimal, keruh
Kelainan kongenital : (-) IX.
Plasenta
Lahir
: Manual
Lahir tanggal, jam
: 09/04/2017, pukul 19.38 WITA
Berat
: 500 gr
Ukuran
: 50 cm
Panjang tali pusat
: 50 cm
Lengkap
: Ya
Perdarahan
: +150 cc
28
X.
Kondisi Ibu 2 Jam Post Operasi
Keadaan umum
: Baik
Kesadaran
: E4V5M6
Tekanan darah
: 110/70 mmHg
Frekuensi nadi
: 76 x/menit
Frekuensi napas
: 20x/menit
Suhu
: 36,8 ºC
Kontraksi uterus
: (+)baik
TFU
: 2 jari di bawah umbilikus
29
Waktu
Subjektif
08-04-
Keluhan Utama : keluar air dari
2017 21.30
Objektif
Asesmen
G1P0A0H0 34-35
•
Pemeriksaan CTG
minggu T/H/IU letak
•
Injeksi Ampicillin 1 gram tiap
Status Generalis
jalan lahir
Keadaan umum: Baik Kesadaran
Riwayat Penyakit Sekarang :
:
Compos sungsang
Pasien datang ke RSUP NTB Mentis
Planning
dengan
Ketuban Pecah Dini
pada tanggal 08 April 2017 pukul
GCS
: E4V5M6
21.30 WITA, dengan keluhan keluar
Tanda Vital
<12
jam
Oligohidramnion
air dari jalan lahir. Keluhan keluar air
-
Tekanan darah:120/90 mmHg
dari jalan lahir dirasakan sekitar dua
-
Frekuensi nadi:
88 x/menit,
HBsAg Positif
6 jam •
+
Observasi kesejahteraan ibu dan janin
+ •
Konsul ke Supervisor, advis: Observasi
jam SMRS (19.30 WITA). Keluhan
reguler, kuat
bersalin,
tersebut tidak disertai dengan keluar -
Frekuensi napas: 20 x/menit
pemberian
lendir bercampur darah dan nyeri perut ingin melahirkan. Pergerakan janin masih dirasakan oleh pasien.
o
Suhu: 36,6 C
di
setuju antibiotiK
ruang dengan injeksi
ampicillin, pro USG
Pemeriksaan Fisik Umum -
Mata: anemis -/-, ikterus -/-
-
Jantung:
S1S2 tunggal reguler,
murmur (-), gallop (-) -
Paru:
vesikuler +/+, ronki -/-,
wheezing (-) -
Abdomen: luka operasi (-), striae gravidarum (+), linea nigra (+)
-
Ekstremitas:
edema (-), akral
30
teraba hangat Status Obstetri:
L1 : kepala L2 : Punggung kanan L3 : bokong L4 : 4/5 TFU
: 26 cm
TBJ
: 2704 g
DJJ
:
12-12-12
(144x/menit) HIS
:-
VT
: Ø 1 cm, eff. 10%,
ketuban
(-),
teraba
bokong,
denominator tidak jelas ,↓ HI, tidak teraba bagian kecil janin atau tali pusat. Pemeriksaan pelvis: promontorium tidak teraba, spina ischiadica tidak prominen, os coccygeus mobile, arcus pubis >90º
31
Pemeriksaan Laboratorium
09-042017 11.50 WITA
Ibu mengatakan gerakan janin
HB
: 12,2 g/dl
RBC
: 4,36 l06/ul
HCT
: 36,4 %
WBC
: 7,07 l03/ul
PLT
: 270 l03/ul
GDS
: 82 g%
Keadaan umum: Baik
berkurang dari sebelumnya
Kesadaran
:
G1P0A0H0 34-35 Compos minggu T/H/IU letak
Mentis
Konsul ke supervisor: Pro SC
sungsang dengan
GCS
: E4V5M6
Tanda Vital
<12 jam +
-
Tekanan darah:120/80 mmHg
-
Frekuensi
nadi:
Ketuban Pecah Dini
84
Oligohidramnion +
x/menit, HBsAg Positif
reguler, kuat -
Frekuensi napas: 20 x/menit
-
Suhu: 36,6oC DJJ
:
12-13-13
(152x/menit) HIS
:-
32
Hasil USG Sungsang/T/DJJ (+) BPD 30/31 AC 32/33 FL 35/36 EFW 1900 gram AFI minimal 09-042017 19.00
Tidak ada keluhan
Keadaan umum: Baik
Gerakan janin masih dirasakan
Kesadaran
:
Mulai tindakan SC Compos
Mentis
19.35
GCS
: E4V5M6
Tanda Vital
Bayi lahir perempuan, AS 6-8, BBL 2370 gram, PBL 45
-
Tekanan darah:120/90 mmHg
cm,
-
Frekuensi nadi:
congenital
88 x/menit,
anus
(+), (-),
jumlah
reguler, kuat
ketuban
-
Frekuensi napas: 20 x/menit
Plasenta lahir lengkap.
-
Suhu: 36,6oC DJJ
:
anomaly
minimal,
keruh.
12-12-13
(148x/menit) HIS
air
:-
33
21.35
Nyeri luka bekas operasi
Keadaan umum: Baik Kesadaran
:
2 jam pasca SC Compos
Observasi tanda-tanda vital Ibu
Mentis GCS
: E4V5M6
Tanda Vital -
Tekanan darah:120/80 mmHg
-
Frekuensi nadi:
76 x/menit,
reguler, kuat -
Frekuensi napas: 20 x/menit
-
Suhu: 36,6oC Kontraksi uterus: baik TFU: 2 jari dibawah umbilikus
10/4/20 17 06.00
Nyeri luka bekas operasi (+) ASI
Keadaan umum: Baik
(-)
Kesadaran flatus (-)
:
P1A0H1 post SC Compos hari ke 1
-Observasi vital Ibu
Mentis GCS
tanda-tanda
-Asam mefenamat 3x500 : E4V5M6
Tanda Vital
mg -Amoxicillin 3x500 mg
-
Tekanan darah:120/80 mmHg
-
Frekuensi nadi:
80 x/menit,
reguler, kuat -
Frekuensi napas: 18 x/menit
34
-
Suhu: 36,5oC Kontraksi uterus: baik TFU: 2 jari dibawah umbilikus Lokia rubra (+)
11/4/20 17
Nyeri luka bekas operasi (+) ASI
Keadaan umum: Baik
(-)
Kesadaran flatus (-) BAK (+)
:
P1A0H1 post SC Compos hari ke 2
-Observasi vital Ibu
Mentis GCS
tanda-tanda
-Asam mefenamat 3x500 : E4V5M6
Tanda Vital
mg -Amoxicillin 3x500 mg
-
Tekanan darah:120/80 mmHg
-
Frekuensi nadi:
80 x/menit,
reguler, kuat -
Frekuensi napas: 18 x/menit
-
Suhu: 36,4oC Kontraksi uterus: baik TFU: 2 jari dibawah umbilikus Lokia rubra (+)
35
12/4/20 17
Nyeri luka bekas operasi (+) ASI
Keadaan umum: Baik
(+)
Kesadaran flatus (+) BAB (+) BAK (+)
:
P1A0H1 post SC
BPL
Compos hari ke 3
Mentis GCS
: E4V5M6
Tanda Vital -
Tekanan darah:120/80 mmHg
-
Frekuensi nadi:
84 x/menit,
reguler, kuat -
Frekuensi napas: 18 x/menit
-
Suhu: 36,6oC Kontraksi uterus: baik TFU: 2 jari dibawah umbilikus Lokia rubra (+)
36
BAB IV PEMBAHASAN
Pada laporan kasus berikut, diajukan suatu kasus seorang wanita G1P0A0H0 34-35 minggu T/H/IU letak sungsang dengan ketuban pecah dini dan oligohidramnion dan HbsAg positif, selanjutnya akan dibahas: Dari keluhan subjektif, pasien dengan usia kehamilan 34-35 minggu mengeluhkan keluar air dari jalan lahir. Keluhan tersebut tidak disertai dengan keluar lendir bercampur darah dan nyeri perut ingin melahirkan. Pergerakan janin masih dirasakan oleh pasien. Dari pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda inpartu seperti keluar darah bercampur lendir, his yang adekuat (minimal 2 kali dalam 10 menit dengan durasi 40 detik), dan adanya dilatasi serviks minimal 2 cm. Maka dari itu, pasien ini sudah tepat didiagnosis sebagai ketuban pecah dini
karena berdasarkan definisinya, ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya
selaput ketuban secara spontan pada saat belum inpartu atau selaput ketuban pecah 1 jam kemudian tidak diikuti tanda-tanda awal persalinan (tanpa melihat umur kehamilan) .3 Penyebab KPD masih belum diketahui dan tidak dapat ditentukan secara pasti. Beberapa laporan menyebutkan faktor-faktor yang berhubungan erat dengan KPD, namun faktor-faktor mana yang lebih berperan sulit diketahui. Kemungkinan yang menjadi faktor predesposisi pada pasien adalah adanya kelainan letak yaitu sungsang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah. Penatalaksanaan pada pasien ini telah dilakukan sesuai dengan Panduan Praktek di RSUP NTB2015-2017 sudah tepat, yaitu terapi konservatif dengan pemberian antibiotik dan observasi kesejahteraan ibu dan janin. Antibiotik yang diberikan adalah injeksi ampicillin 1 gram/6 jam, diberikan selama 24 jam (selama di RS). Ampicillin diberikan secara drip, dalam NaCl 100 cc. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan USG, dan didapatkan oligohidramnion. Oligohidramnion adalah suatu kondisi yang memiliki cairan ketuban terlalu sedikit dengan volume cairan kurang dari 500 ml pada usia kehamilan 32-36 minggu. Karena oligohidramnion, dipertimbangkan untuk terminasi kehamilan. Terminasi kehamilan dengan seksio sesarea dilakukan bila persyaratan induksi dengan oksitosin tidak terpenuhi atay bila induksi oksitosin gagal. Keberhasilan induksi persalinan tergantung pada jumlah paritas, skor bishop, dan respon terhadap obat yang digunakan. Beberapa penelitian menemukan bahwa induksi persalinan pada indeks cairan amnion kurang dari 5 akan meningkatkan angka seksio
37
sesaria karena intoleransi janin terhadap persalinan (fetal distress). Selain itu pada observasi pasien juga mengeluhkan gerakan janin yang dirasakan mulai berkurang sehingga dilakukan terminasi kehamilan dengan SCTP. Faktor lain yang juga mendukung dilakukannya terminasi kehamilan dengan SCTP adalah adanya HBsAg positif dimana persalinan sebaiknya tidak berlangsung lama dan direkomendasikan secara seksio sesarea.
Refleksi Kasus
Terdapat beberapa alasan penulis memilih topik ini sebagai topik dalam penugasan refleksi kasus, diantaranya sebagai berikut: -
Ketuban pecah dini merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang paling sering dijumpai. Dari seluruh kehamilan, 5 – 10% mengalami ketuban pecah dini.
-
Ketuban pecah dini pada kehamilan prematur terjadi pada 2% kehamilan namun berhubungan dengan 40% persalinan preterm dan dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas neonatal yang signifikan.
-
Ketuban pecah dini pada kehamilan prematur lebih sulit ditangani dibandingkan ketuban
pecah
dini
pada
kehamilan
cukup
bulan.
Beberapa
hal
harus
dipertimbangkan dalam penatalaksanaannya mengingat risiko pada bayi maupun ibu -
Pasien dengan HBsAg positif membutuhkan perhatian lebih pada saat penanganan persalinan, terutama tentang kewaspadaan universal dan pencegahan penularan dari ibu dengan HBsAg positif ke bayi baru lahir.
Adapun pembelajaran yang didapat dalam kasus ini:
Manajemen ketuban pecah dini pada kehamilan preterm adalah manajemen konservatif. Namun setelah dilakukan USG, didapatkan oligohidramnion pada pasien ini sehingga akan meningkatkan resiko terjadinya fetal distress, ditambah lagi dengan keluhan ibu tentang gerakan janin yang mulai berkurang. Pasien juga diketahui HBsAg positif sehingga tidak direkomendasikan untuk persalinan yang lama. Hal-hal tersebut mendukung dilakukannya terminasi persalinan dengan seksio sesarea. Penanganan persalinan pada pasien ini memerlukan kewaspadaan universal yang tinggi untuk mencegah penularan VHB terhadap penolong persalinan.
Pasien termasuk dalam kasus infertilitas primer dimana baru memiliki keturunan setelah kurang lebih 5 tahun menikah, meskipun tidak menggunakan alat kontrasepsi dan tetap bersenggama. Oleh karena itu, pasien tidak berencana menggunakan alat
38
kontrasepsi jangka panjang karena berencana akan segera menambah keturunan lagi. Menurut penelitian Dor et al, apabila umur istri akan dibandingkan dengan angka kehamilannya, akan terdapat penurunan yang tetap setelah umur 30 tahun, meskipun pada infertilitas sekunder tidak terjadi penurunan securam seperti pada infertilitas primer.
Penulis melakukan kunjungan lapangan pada tanggal 14/4/2107. Saat kunjungan, pasien dan bayinya telah diperbolehkan pulang 2 hari sebelumnya setelah masingmasing dirawat di bangsal Segara Anak dan NICU RSUP NTB. Saat kunjungan, bayi telah berusia 5 hari. Bayi tidak mendapatkan ASI eksklusif karena sempat dirawat di NICU dan ASI ibu sempat tidak mau keluar sehingga pemberian ASI tertunda. Saat dirawat di NICU, bayi sempat ikterik, namun saat kunjungan lapangan kondisi bayi cukup baik, tidak pucat, tidak ikterik, denyut jantung bayi 120 x/menit, respirasi 36 x/menit, suhu aksila 36,6oC. Pada saat di NICU bayi telah diimunisasi Hb. Kondisi ibu saat
kunjungan lapangan juga baik, dengan t ekanan darah 120/80 mmHg, nadi 88 x/menit, respirasi 18 x/menit, suhu aksila 36,8oC. Ibu masih mengeluh nyeri pada luka bekas operasi. Produksi ASI ibu diakui cukup.
Kepada pasien ini, penulis menyarankan untuk tetap kontrol luka pasca operasi, menjaga kebersihan luka dan memperhatikan adanya tanda-tanda infeksi pada luka pasca operasi. Ibu juga harus menjaga kebersihan, misalnya dengan mencuci tangan yang benar, serta memperhatikan tanda-tanda bahaya pada bayi baru lahir.
39
BAB V KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik dari laporan kasus adalah sebagai berikut: 1. Diagnosa awal pada pasien yaitu G1P0A0H0 34-35 minggu T/H/IU letak sungsang + KPD + oligohidramnion + HbsAg (+) sudah tepat sesuai dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan; 2. Penatalaksanaan yang diberikan sudah tepat yaitu penatalaksanaan konservatif yang diikuti dengan terminasi kehamilan SCTP setelah dilakukan observasi dan hasil pemeriksaan penunjang lanjutan yang mengindikasikan dilakukannya terminasi.
40
DAFTAR PUSTAKA
1. Saladin KS. Anatomy & physiology: the unity of form and function. 3rd ed. Philadelphia: The McGraw-Hill Companies; 2003. p. 1050, 1090. 2. Ester J, editor. Anatomi & fisiologi untuk bidan. Jakarta: EGC; 2002. p. 133. 3. Suwarto S. Ketuban pecah dini. Dalam: Saifuddin AB, editor. Ilmu kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2008. p. 677-81. 4. Furman B., Shoham-Vardi I, Bashiri A, et al. Clinical Significance and Outcome of Preterm
Prelabor
Rupture
of
Membranes:
Population-based
study.
Eur J Obstet and Gynecol , 2000: 192:209-216. 5. Mercer BM, Goldenberg RL, Meis PJ, et al. The Preterm Prediction Study: Prediction of Preterm Premature Rupture of Membrane through Clinical Findings and Ancillary Testing. Am J Obstet Gynecol , 2000 : 183:738-745. 6. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. Preterm Prelabour Rupture of Membranes. London, RCOG Green-Top Guideline; 2010. 7. Rachimhadhi T. Anatomi alat reproduksi. Dalam: Saifuddin AB, editor. Ilmu kebidanan Sarwono
Prawirohardjo.
Edisi
keempat.
Jakarta:
PT
Bina
Pustaka
Sarwono
Prawirohardjo; 2008. p. 115-28. 8. Seeley R, Stephens TD & Tate P. Anatomy and physiology. Sixth ed. United States: The McGraw-Hill Companies; 2004. p. 1038-9. 9. Wiknjosastro GH. Plasenta dan cairan amnion. Dalam: Saifuddin AB, editor. Ilmu kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2008. p. 148-56. 10. Prawirahardjo S. Pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka; 2007. 11. Hobel CJ. Obstetric complications: preterm labor, PROM, IUGR, postterm pregnancy, and IUFD. Dalam: Hacker, Moore& Gambone. Essentials of obstetrics and gynecology. Fourth edition. United States: Elsevier Saunders; 2007. 12. Kumboyo, DA. Standar pelayanan medik SMF Obstetri dan Ginekologi. Mataram:RSUP NTB; 2010. 41
13. Lanni M, Loveless E. Oligohydramnios at term: A case report: Management of oligohydramnios. Journal of Midwifery Women’s Health 2007; 52(1): 73 -6. 14. Hill Lyndon. Oligohydramnios: Sonographic assesment and clinical implications. Available at hhtp://www.patien.co.UK/doctor/oligohydramnios.html. 15. Baxter JA. Oligohydramnios. Available hhtp://emedicine.medscape.com/article. 16. Al-Salami KS, Sada KA. Maternal hydration for increasing amniotic fluid volume in oligohydramnion. Basrah Journal of Surgery 2007: 59-62. 17. Cunningham G, Gant NF, Leveno KJ. Gangguan selaput ketuban dan cairan amnion. Dalam Obstetri Williams, Edisi 21 ,Vol.2, EGC, alihbahasa : AndriHartono, JokoSuyono, Brahm U Pendit, 2006: 906-20. 18. Natalia C, Marta S, Amalia P et al. Amnioinfusion: To treat severe ologohydramnios in early premature of ruptured of membrane. Available at www.obgyn.net/educationaltutorialis/amnioinfusion. 19. Mochtar, AB. Sarwono
Persalinan preterm. Dalam: Saifuddin AB, editor. Ilmu kebidanan
Prawirohardjo.
Edisi
keempat.
Jakarta:
PT
Bina
Pustaka
Sarwono
Prawirohardjo; 2008. p. 667-76. 20. Surya, IGP. Penyakit infeksi. Dalam: Saifuddin AB, editor. Ilmu kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2008. p. 906-07.
42
LAMPIRAN Gambar 1. Buku ANC pasien
Gambar 2. Hasil CTG saat pasien datang (09-04-2017)
43
Gambar 3. Bayi saat baru lahir
Gambar 4. Ballard score
44
Gambar 5. Kurva lubchenco
45
Gambar 6. Dokumentasi home visit
46