REFERAT ILMU PENYAKIT BEDAH UROSEPSIS
Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya SMF Ilmu Bedah di RSD dr. Soebandi Jember
Oleh Citra Putri Anandira NIM 132011101046
Pembimbing dr. Ogi Bahaurini, Sp.U
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER 2017
DAFTAR ISI DAFTAR ISI
……………………………………………………………….……… 2
DAFTAR GAMBAR
……………………………………………………………… .
3
BAB 1. PENDAHULUAN …………………………….…………………………… 4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DEFINISI
………………………………………………………………… 5
2.2 ETIOLOGI …………………………………………………………….… 6
2. 3 PATOFISIOLOGI 2.4 FAKTOR
……………………………………………………… 7
RESIKO ……………………………………………………… 8
2.5 GEJALA KLINIS
……………………………………………………….. 8
2. 6 DIAGNOSIS ………………………………………………………….…. 9 …..……………………………………………...
10
…………………………………………………………… ..….
16
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….
17
2. 7 TERAPI UROSEPSIS BAB 3. PENUTUP
2
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Faktor resiko urosepsis …………………………………………………8 Gambar 2.2 Algoritma tatalaksana urosepsis ……………………………………… .11 Gambar 2.3 Pemilihan antibiotik pada bakteri yang spesifik …………………….....12 Gambar 2.4 Pemilihan antibiotik sesuai dengan jenis b akteri……………………… .13 Gambar 2. 5 Algoritma tatalaksana urosepsis menurut Guidelines on Urogical Infections……………………………………………………………… 14
3
BAB 1. PENDAHULUAN
Urosepsis merupakan salah satu kegawatdaruratan dibidang urologi dengan angka mortalitas yang cukup tinggi. Urosepsis pada dewasa meliputi 25% dari seluruh kasus sepsis, dengan kasus terbanyak berasal dari komplikasi infeksi traktus urinarius[1]. Sebesar 10-30% kasus sepsis dan sepsis berat berasal dari infeksi traktus urinarius[1]. Pada kasus global, angka mortalitas akibat sepsis mencapai 5.4 juta jiwa dengan prevalensi 9% pada sepsis berat dan 31% pada syok sepsis[2]. Urosepsis didefinisikan sebagai sepsis akibat infeksi dari traktus urogenital, dan merupakan respon sistemik dari suatu infeksi[3]. Penyebab tersering dari urosepsis adalah penyakit obstruksi pada traktus urinarus, seperti batu ureter, anomali traktus urinarius, stenosis atau tumor. Urosepsis juga dapat terjadi setelah dilakukan intervensi pada traktus urogenital seperti ensdoskopi, operasi intrarenal, dan biopsi prostat[4]. Sedangkan bakteri patogen penyebab urosepsis adalah bakteri gram negatif, yaitu E. coli (52%), Proteus spp, Enterobacter spp, Klebsiella spp, P. aeruginosa dan bakteri gram positif yaitu grup Enterococcus (5-6%)[2]. Infeksi traktus urogenital dengan komplikasi merupakan prekursor tersering dari urosepsis. Pasien dengan abnormalitas fungsi dan anatomi dari traktus urinarius dan pasien dengan komorbiditas (diabetes melitus yang tidak terkontrol atau penyakit yang memerlukan terapi imunosupresan) merupakan predisposisi tersering dari terjadinya sepsis[5]. Pasien dengan urosepsis harus didiagnosis pada fase awal, terlebih pada kasus infeksi traktus urogenital dengan komplikasi. Respon inflamasi sistemik atau dikenal sebagai systemic inflammatory response syndrome (SIRS) harus dikenali sedini mungkin. Prinsip awal dari penanganan urosepsis meliputi deteksi sedini mungkin dari terjadinya infeksi, pemberian antibiotik, menghilangkan sumber infeksi agar tidak terjadi sepsis yang lebih lanjut, yang harus dilakukan dalam waktu kurang dari satu jam[1].
4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Urosepsis adalah sepsis yang disebabkan oleh infe ksi yang berasal dari saluran urogenitalia[3]. Sebanyak 25% dari keseluruhan kasus sepsis adalah sepsis pada traktus urogenitalia[1]. Infeksi traktus urinarius dapat bermanifestasi dari bakteriuria dengan gejala klinis yang terbatas, mulai dari sepsis sampai sepsis berat, tergantung potensi infeksi tersebut (lokal atau terbatas). Sepsis di diagnosis saat terdapat bukti klinis seperti infeksi yang diikuti dengan tanda inflamasi sistemik (demam atau hipotermia, takikardi, takpinea, leukositosis atau leukopenia). Sepsis berat didefinisikan sebagai adanya tanda dari disfungsi organ, dan syok sepsis didefinisikan sebagai hipotensi persisten dengan anoksia jaringan[2]. Menurut The Third International Consensus Definitions for Sepsis and Septic Shock (Sepsis-3), definisi sepsis terbaru adalah disfungsi organ yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh disregulasi respon tubuh terhadap infeksi disfungsi organ, sepsis ini dapat diidentifikasi dengan kriteria skor total qSOFA yaitu peningkatan respiratory rate, penurunan kesadaran, dan pengukuran tekanan darah sistolik. Sedangkan pasien dengan syok sepsis adalah pasien dengan abnormalitas sirkulasi dan hemodinamik yang tidak stabil, yang dapat meningkatkan angka kematian[6]. Pasien dengan urosepsis harus didiagnosis pada fase aw al, terutama pada pasien dengan kasus infeksi traktus urogenitalia dengan komplikasi. Hal ini disebabkan karena bakteri lebih mudah masuk kedalam peredaran darah terutama jika pasien mengalami penurunan sistem kekebalan tubuh, diantaranya adalah pasien: diabetes melitus, usia tua, pasien yang menderita penyakit keganasan, dan pasien yang menderita gangguan imunitas tubuh yang lain. Bakteri yang telah beredar di dalam darah mengeluarkan endotoksin yang dapat memacu terjadinya rangkaian kaskade
5
sepsis. Keadaan ini menimbulkan sindroma respon inflamasi sistemik atau systemic inflammation response syndrome[5]. 2.2 Etiologi
Kuman penyebab tersering dari urosepsis adalah bakteri gram negatif yang komensal di saluran cerna, yaitu kurang lebih 30-80%. E. coli adalah kuman yang paling sering menyebabkan sepsis (52%) kemudian disusul Klebsiella, Enterobacter , Serratia, dan Pseudomonas spp., Proteus, Citrobacter , dan bakteri lain lebih jarang menyebabkan sepsis. Kuman yang paling virulen adalah Pseudomonas serta Klebsiella, dan dalam hal ini Pseudomonas sering kali menunjukkan resistensi terhadap antibiotika[2]. Urosepsis timbul karena adanya obstruksi saluran kemih sehingga kemampu an urin untuk mengeliminasi kuman dari saluran kemih menjadi terganggu. Keadaan ini menyebabkan kuman dengan mudah berkembang biak di dalam saluran kemih, menembus mukosa saluran kemih, dan masuk ke dalam sirkulasi darah, sehingga menyebabkan bakteremia. Kelainan di bidang urologi yang sering menimbulkan urosepsis adalah batu saluran kemih, hiperplasia prostat benigna, dan keganasan saluran kemih yang menyebabkan timbulnya hidronefrosis dan bahkan pionefrosis[5]. Uropati obstruktif menjadi salah satu penyebab dari urosepsis tersering dengan persentase 78%. Pada studi yang melibatkan 205 kasus dari urosepsis, 43% disebabkan oleh urolitiasis, 25% disebabkan oleh adenoma prostat, 18% disebabkan oleh kanker urogenital, dan 14% disebabkan oleh penyakit urogenital lainnya[2]. Pada kasus di Rumah Sakit, penyebab tersering dari urosepsis adalah manipulasi dari penggunaan kateter yang berlebihan, dan penggunaan kateter da lam jangka panjang, pada intervensi endourologi, seperti prosedur operasi menggunakan endoskopi pada TUR-P, TUR-B, ureteroskopi, percutaneous nephrolitotomy[3].
6
2.3 Patofisiologi
Angka kejadian dan tingkat keparahan dari sepsis bergantung pada patogenitas dari bakteri dan respon imun dari pasien. Saat infeksi terjadi, bakteri atau komponen dari dinding sel bakteri bertindak sebagai pathogen-associated molecular patterns (PAMP) yang terikat pada pattern-recognition receptors (PRR) pada permukaan makrofag, neutrofil, dan endotel atau urotelial. Selanjutnya, terjadi pelepasan mediator kimiawi seperti kemokin, prostaglandin, tromboksam dan leukotrien, sehingga terjadi lah ‘badai’ inflamasi[1]. Di dalam peredaran darah, bakteri gram negatif menghasilkan endotoksin, yaitu komponen lipopolisakarida (LPS) yang terdapat pada lapisan sebelah luar bakteri. LPS ini terdiri dari atas komponen Lipid A yang menyebabkan: 1. Aktivasi sel-sel makrofag atau monosit sehingga menghasilkan beberapa sitokin, antara lain: tumor necrosis factor alpha (TNF-alpha) dan interleukin 1 (IL-1). Sitokin inilah yang akan memacu reaksi berantai yang akhirnya dapat menimbulkan sepsis dan jika tidak segera dikendalikan akan menjurus pada sepsis berat, syok sepsis dan akhirnya menimbulkan disfungsi multiorgan atau multi-organs dysfunction syndrome (MODS) [5]. 2. Rangsangan terhadap sistem komplemen C3a dan C5a menyebabkan terjadinya agregasi trombosit dan produksi radikal bebas, serta mengaktifkan faktor koagulasi[5]. 3. Perubahan dalam metabolisme karbohidrat, lemak, protein, dan oksigen. Karena terdapatnya resistensi sel terhadap insulin maka glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam jaringan sehingga untuk memenuhi kebutuhan sel akan glukosa, terjadi proses glukoneogenesis yang bahann ya berasal dari asam lemak dan asam amino yang dihasilkan dari katabolisme lemak berupa lipolisis dan katabolisme protein[5].
7
2. 4 Faktor Resiko
Pasien dengan faktor resiko tinggi terhadap urosepsis : usia tua, perempuan, pasien dengan imunosupresan (pada transplantasi organ), atau penggunaan steroid dan kemoterapi jangka panjang, pasien dengan AIDS, gagal ginjal kronis, dan pasien yang dioperasi dengan durasi yang sangat panjang[5]. Kasus tersering yang dapat ditemukan pada urosepsis adalah obstruksi pada traktus urogenitalia dan abnormalitas fungsi pada traktus urogenital (Gambar 1). Pada obstruksi, terjadi stasis aliran urin sehingga mudah terjadi infeksi baik lokal maupun setempat.
Gambar 2.1 Faktor resiko urosepsis [4]
2.5 Gejala Klinis
Gejala klinis yang disampaikan pasien urosepsis tergantung pada kelainan organ urogenitalia yang menjadi sumber infeksi dan sampai seberapa jauh proses sepsis telah berlangsung. Gambaran klinis yang didapatkan antara lain demam, menggigil, hipotensi, takikardi, dan takipneu yang sebelumnya didahului oleh gejala kelainan pada saluran kemih antara lain: sistitis akut, pielonefritis akut, epididimitis, prostatitis akut, nyeri pinggang, keluhan miksi, pasca kateterisasi uretra, atau pasca pembedahan pada saluran kemih[5].
8
Pada pasien dengan tanda-tanda sepsis yang berasal dari traktus urogenitalia, umumnya didahului oleh rasa nyeri dan kaku pada sudut costovertebra (regio flank ), adanya nyeri saat miksi, dan bisa sampai menyebabkan retensi urin, nyeri pada prostat atau pada skrotum[1].Sepsis yang telah lanjut memberikan gejala atau tanda-tanda berupa gangguan beberapa fungsi organ tubuh, antara lain gangguan pada fungsi kardiovaskuler, ginjal, pencernaan, pernafasan, dan susunan saraf pusat[5]. Pada evaluasi urosepsis, kriteria sepsis harus sudah terpenuhi sebelumnya (dan terdapat gejala dan tanda yang menunjukkan ke arah infeksi, seperti nyeri regio flank dan kaku, disuri/polakisuria, retensi urin, dan nyeri pada skrotum atau prostat. Pada laki-laki, pemeriksaan fisik harus meliputi pemeriksaan colok dubur (prostat yang membesar, nyeri, dan hangat menandakan prostatitis, massa yang fluktuatif menandakan adanya abses pada prostat) dan palpasi pada testis (teraba keras, hangat, dan bengkak menandakan epididimitis). Pemasangan kateter dalam waktu lama juga dapat menandakan terjadinya sebuah infeksi[8].
2.6 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis suatu urosepsis harus dibuktikan bahwa bakteri yang beredar di dalam darah (kultur darah) sama dengan bakteri yang ada di dalam saluran kemih (kultur urine). Di samping itu dilakukan pemeriksaan untuk mencari sumber infeksi, dan akibat dari kelainan yang ditimbulkan pada berbagai organ. Segera dilakukan pemeriksaan yang meliputi laboratorium, pencitraan dan pemeriksaan penunjang yang lain seperti pada pemeriksaan ISK dengan komplikasi[8]. Kriteria terbaru dalam penentuan sepsis dari seorang pasien dinilai dari kriteria skor qSOFA (quick SOFA) yaitu respiratory rate lebih dari 22x per menit, adanya penurunan kesadaran (atau dengan skorGlasgow comma scale <13), dan tekanan darah sistolik kurang dari 100mmHg. Jika memenuhi lebih dari dua poin kriteria, ditambah dengan adanya bukti infeksi traktus urinarius, maka pasien dapat dicurigai adanya urosepsis[6].
9
2.7 Terapi Urosepsis
Terapi awal yang harus diberikan kepada pasien dengan urosepsis harus memperhatikan primary survey terlebih dahulu (airway, breathing, circulation) untuk mencegah komplikasi lebih lanjut dan mencapai tujuan awal dari terapi sepsis. Pada awal penatalaksanaan bisa diberikan oksigen masker dan mengecek saturasi oksigen dengan menggunakan pulse oximetry, lalu dipasang kateter intravena dengan jarum ukuran besar disertai dengan resusitasi cairan menggunakan kristaloid, pemberikan kateter urin ditujukan untuk memonitor pengeluaran urin pada pasien[3]. Penanganan urosepsis harus dilakukan secara komprehensif dan ditunjukkan terhadap (1) penanganan infeksi yang meliputi eradikasi kuman penyebab infeksi serta menghilangkan sumber infeksi, (2) akibat lanjut dari infeksi, yaitu SIRS, syok sepsis, atau disfungsi multiorgan, dan toksin atau mediator yang dikeluarkan oleh bakteri [5]. Sebelum pemberian antibiotika, terlebih dahulu diambil contoh urine dan contoh darah untuk pemeriksaan kultur guna mengetahui jenis kuman penyebab urosepsis, hal ini bermanfaat jika pemberian antibiotika secara empirik tidak berhasil. Secara empirik diberikan antibiotika yang sensitif terhadap bakteri gram negatif, yaitu golongan aminoglikosida (gentamisin, tobramisin atau amikasin), golongan ampisillin (yang dikombinasi dengan asam klavulanat atau sulbaktam), cephalosporin generasi ketiga, atau golongan fluoroquinolon[5]. Pada pemberian aminoglikosida harus diperhatikan keadaan faal ginjal, karena golongan obat ini bersifat nefrotoksik. Selain itu pada urosepsis tidak jarang menimbulkan penyulit gagal ginjal, sehingga pemberian aminoglikosida perlu dilakukan penyesuaian dosis. Penyesuaian dosis dapat dilakukan dengan cara menurunkan dosis atau memperpanjang interval pemberian obat[5]. Pada awal penangangan satu jam pertama, terapi suportif dengan stabilisasi tekanan darah dan mempertahankan perfusi organ ke jaringan sangat dibutuhkan. Penanganan awal untuk kebutuhan cairan dan keseimbangan elektrolit merupakan aspek yang penting pada pasien dengan sepsis, terlebih jika pasien sudah mencapai
10
tahap syok sepsis[7] . Menurut algoritma tatalaksana dari Surviving Sepsis Campaign Guideline (Gambar 2.2), hasil yang harus dicapai dalam 6 jam pertama penanganan awal dari sepsis adalah[6]: a. Tekanan vena central 8-12mmHg b. Tekanan arteri rerata/mean arterial pressure >65mmHg c. Produksi urin > 0,5ml/kgBB per jam d. Saturasi oksigen vena kava superior >70% / saturasi oksigen vena campuran >65%
Gambar 2.2 Algoritma tatalaksana urosepsis [7]
11
Terapi antibiotik merupakan bagian terpenting dalam penanganan sepsis (Gambar 2.3). Pemberian antibiotik yang adekuat dan sedini mungkin. Pemberian ini harus diberikan setelah pengambilan spesimen urin, darah, dan sumber infeksi lainnya yang memungkinkan[8]. Bagaimanapun, pengambilan spesimen untuk kultur tidak boleh menunda waktu pemberian antibiotik (tidak boleh lebih dari 45 menit).
Gambar 2.3 Pemilihan antibiotik pada bakteri yang spesifik [2]
12
Pemberian antibiotik pada urosepsis secara empiris harus sesuai dengan bakteri patogen yang mungkin menjadi sumber infeksi dan diberikan tanpa menunda waktu (Gambar 2.3). Pemilihan antibiotik yang tidak tepat akan membuat terapi menjadi gagal dan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Sebagai tambahan, resistensi yang terjadi kepada pasien harus diperhatikan[7]. Sumber-sumber infeksi secepatnya dihilangkan, misalnya: pemakaian kateter uretra harus diganti dengan yang baru atau dilakukan drainase suprapubik, abses-abses pada ginjal, perirenal, pararenal, dan abses prostat dilakukan drainase, dan pionefrosis/hidronefrosis yang terinfeksi dilakukan diversi urin atau drainase nanah dengan nefrostomi[4].
Gambar 2.4 Pemilihan antibiotik sesuai dengan jenis bakteri [7]
Menurut Guidelines on Urogical Infection (Gambar 2.5) , kunci rekomendasi tatalaksana pada orang dewasa dengan sepsis berat dan syok sepsis adalah resusitasi dalam 6 jam pertama pada pasien sepsis yang adekuat, pemberian terapi antibiotik setelah melakukan kultur darah, melakukan pemeriksaan pencitraan untuk menemukan sumber infeksi yang potensial, pemberian antibiotik spektrum luas dalam satu jam pertama setelah terdiagnosis sepsis berat dan syok sepsis, kontrol dari sumber infeksi dengan melihat resiko yang akan ditimbulkan pada 12 jam setelah terdiagnosis, pemberian resusitasi cairan awal dengan kristaloid dan mempertimbangkan untuk
13
pemberian albumin untuk menjaga tekanan arterial rerata yang adekuat (pemberian terapi cairan pada pasien dengan sepsis akibat hipoperfusi jaringan dan hypovolemia adalah dengan menggunakan cairan kristaloid 30ml/kgBB). Pemberian vasopresor diberikan untuk menjaga tekanan arterial rerata diatas 65mmHg, dengan pilihan utama yang diberikan adalah norepinerfrin[9].
Gambar 2.5 Algoritma tatalaksana urosepsis menurut Guidelines on Urogical Infections [9]
Selanjutnya, identifikasi sumber infeksi harus dimulai pada jam pertama setelah pasien terdiagnosis urosepsis, sehingga dalam enam jam berikutnya, diharapkan sumber infeksi telah dapat dikontrol meskipun belum dapat dieradikasi sepenuhnya. Riwayat pasien dengan penyakit yang berhubungan dengan traktus urogenitalia juga harus ditanyakan seperti pasien yang dengan batu saluran kemih, atau pasien dengan
14
tindakan intervensi urologi sebelumnya. Selain itu, pada pasien dengan penggunaan kateter juga wajib dicurigai bahwa itu bisa menjadi salah satu tempat terjadinya infeksi[2]. Pada obstruksi di ginjal, dapat dihilangkan dengan cara nefrostomi atau pemasangan stent per ureteral, namun jika terdapat abses pada ginjal, pilihan nefrostomi dengan drainase abses lebih direkomendasikan[7]. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dreger dkk, intervensi dengan minimal invasif seperti pemasangan dj stent atau nefrostomi perkutan untuk menghilangkan faktor infeksi dapat menurunkan angka mortalitas dari urosepsis[2].
15
BAB 3. PENUTUP
Urosepsis adalah sepsis yang disebabkan oleh infeksi yang berasal dari saluran urogenitalia. Sebanyak 25% dari keseluruhan kasus sepsis adalah sepsis yang terjadi pada traktus urogenitalia. Definisi sepsis sendiri ialah disfungsi organ yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh disregulasi respon tubuh terhadap infeksi disfungsi organ, sepsis ini dapat diidentifikasi dengan kriteria qSOFA yaitu laju pernafasan diatas 22x/menit, penurunan kesadaran (GCS <13), dan pengukuran tekanan darah sistolik dibawah 100mmHg. Penyebab tersering dari urosepsis adalah bakteri gram negatif yang komensal di saluran cerna, yaitu kurang lebih 30-80%. E. coli adalah kuman yang paling sering menyebabkan sepsis (52%). Sindroma sepsis pada urologi (urosepsis) masih menjadi situasi yang berat dengan angka mortalitas yang cukup tinggi (30-40% pada kejadian sepsis berat). Dengan adanya surviving sepsis guidelines, angka kematian dapat diturunkan menjadi 25% dalam beberapa tahun kemudian. Diagnosis pada penyakit di bidang urologi seperti obstruksi saluran kemih atau adanya batu saluran kemih harus diketahui sejak awal untuk mencegah terjadinya urosepsis. Target awal pada jam pertama pada urosepsis meliputi terapi suportif dengan stabilisasi tekanan darah, mempertahankan perfusi organ ke jaringan, dan pemberian terapi yang adekuat dan pemberian antibiotik pada jam pertama tanpa menunggu hasil kultur harus terpenuhi. Pengendalian sumber infeksi untuk mencegah infeksi lebih lanjut seperti menghilangkan obstruksi pada traktus urogenitalia dan pelepasan kateter yang terpasang lama juga merupakan tatalaksana lebih lanjut dari urosepsis.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Wagenlehner, F., C. Lichtenstern., C. Rolfes. 2013. Diagnosis and Management for Urosepsis. Review article: The Japanese Urogical Association. 963-971. 2. Dreger, N., S. Degener., P. Ahamad., G. wobker. 2015. Urosepsis: Etiology, Diagnosis, and Treatment. Deutsches Arzteblatt International. 837-847. 3. Albala, D., A. F. Morey., L. G. Gomella., J. P. Stein. 2011. Oxford American Handbook of Urology. New York: Oxford University Press. 4. Kalra, O. P., A. Raizada. 2009. Approach to a Patient with Urosepsis. Journal of Global Infectious Diseases. 5. Purnomo, B. 2011. Dasar-dasar Urologi. Jakarta: Sagung Seto. 6. Mervyn, S., C. Deutschman., C. Seymour., M. Shankar., D. Annane., M. Bauer., R. Bellomo. 2016. The Third International Consensus Definitions for Sepsis and Septic Shock (Sepis-3). 810-810. 7. Tandogdu, Z., T. E. Bjerklund. 2016. Management of The Urologic Sepsis Syndrome. European Association of Urology. 8. National Institute for Health and Care Excellence. 2016. Sepsis: recognition, diagnosis and early management . 9. Grabe, M., R. Bartoletti., T. Johansen. 2015. Guidelines on Urogical Infections. European Association of Urology. 26-31.
17