TUGAS REFERAT UNDESENSUS TESTIS
Oleh: Anshoril Arifin H1A009025
Pembimbing: Dr. Akhada Maulana, SpU
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN/SMF BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM /RSUP NTB 2014
PENDAHULUAN
Undesensus testis (UDT) atau kriptokismus merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada bayi laki-laki. Sepertiga kasus bersifat bilateral, dan dua pertiganya bersifat unilateral. Insidensinya terkait dengan umur kehamilan dan maturitas bayi. Angka kejadian kriptokismus pada bayi prematur kurang lebih 30%, mengingat tahap akhir dari penurunan testis mencapai skrotum yaitu pada minggu 25-35 masa kehamilan. Angka kejadian ini lebih tinggi dibandingkan dengan bayi cukup bulan yang angka kejadiannya berkisar 3-9%. Dengan bertambahnya usia, testis akan mengalami desensus secara spontan, sehingga semakin bertambah usia, insidensi kejadian untuk kriptokismus semakin berkurang. Pada usia 1 tahun, angka kejadian kriptokismus sekitar 1-2%. UDT dapat kembali turun spontan ke testis sekitar 70-77% pada usia 3 bulan. Setelah usia 1 tahun testis yang letaknya abnormal jarang mengalami desensus testis secara spontan.1,2,3,4 Diduga ada beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan testis ke dalam skrotum antara lain 1) adanya tarikan dari gubernaculum testis dan refleks kremaster, 2) perbedaan pertumbuhan gubernaculum dan pertumbuhan badan, 3) dorongan dari tekanan intraabdominal, 4) factor hormonal. Oleh karena sesuatu hal proses desensus testis tidak berjalan dengan baik sehingga testis tidak berada dalam kantong skrotum (maldensensus). Dalam hal ini mungkin testis tidak mampu mencapai skrotum tetapi masih berada dalam jalur yang normal, keadaan ini disebut kriptokismus, atau pada testis yang keluar jalur normal yang disebut sebagai ektopik. Testis yang belum turun ke kantung skrotum dan masih berada dijalurnya mungkin terletak di kanalis inguinalis atau di rongga abdomen, yaitu terletak diantara fossa renalis dan annulus inguinalis internus. Testis ektopik mungkin berada diperineal, di luar kanalis inguinalis yaitu diantara aponeurosis oblikuseksternus dan jaringan subkutan, suprapubik, atau di regio femoral.3,4 Posisi testis memiliki keterlibatan yang signifikan pada kelanjutan hidup penderita. Kelainan ini dapat mengakibatkan penurunan tingkat kesuburan dan meningkatkan resiko timbulnya tumor testis pada usia dewasa muda. Oleh karena itu, Esensi terapi rasional yang dianut hingga saat ini adalah memperkecil terjadinya risiko komplikasi dengan melakukan reposisi testis kedalam skrotum baik dengan menggunakan terapi hormonal ataupun dengan cara pembedahan (orchiopexy).2,3
Definisi
Undescended testis (UDT) atau biasa disebut kriptorkismus adalah suatu keadaan dimana setelah usia 1 tahun, satu atau kedua testis tidak berada di dalam kantung skrotum, tetapi masih berada di salah satu tempat sepanjang jalur desensus normal. 1,3 Kriptorkismus berasal dari kata cryptos (Yunani) yang berarti tersembunyi dan orchis yang dalam bahasa latin disebut testis. Testis yang berlokasi di luar jalur desensus yang normal disebut sebagai testis ektopik, sedangkan testis yang terletak tidak di dalam skrotum tetapi dapat didorong masuk ke dalam skrotum dan menaik lagi bila dilepaskan dinamakan pseudokriptorkismus atau testis retraktil. Testis yang berada dalam skrotum setidaknya satu kali setelah lahir, namun kemudian berubah posisi disebut sebagai Ascent Testis atau Acquired UDT. 3,5,6
Istilah Undensensus Testis Berdasarkan Pemeriksaan Fisik
Undensensus testis
Kriptokismus
Ektopik
Testis Inguinal Gliding Testis
Testis Refraktil
Definisi
Testis terletak intra-abdominal atau dalam kanalis inguinalis. Ini terletak pada jalur penurunan yang normal dan menunjukkan penyisipan normal gubernaculum. Dari Yunani kuno "kryptos" (tersembunyi) dan "orchis" (testis). Testis tidak teraba dan terletak intra-abdominal (retentio testis abdominalis) atau tidak hadir (anorchia). Testis terletak di bawah kulit suprafascia, perineal, pada paha atau batang penis. testis menunjukkan penyisipan abnormal gubernaculum. Testis teraba di pangkal paha (retentio testis inguinalis) Testis terletak di pintu masuk skrotum atau di atas skrotum. Ini dapat ditarik ke dalam skrotum, tapi langsung meluncur kembali ke posisi awal Testis dapat dengan mudah ditekan ke dalam skrotum, itu ditarik pada induksi refleks cremasteric namun kembali secara spontan.
Epidemiologi
Sampai dengan sepertiga dari anak laki-laki prematur mengalami maldensensus testis, sementara sekitar 2% sampai 5% dari anak laki-laki cukup bulan memiliki minimal satu testis tidak turun. Sekresi testosteron endogen postnatal jangka pendek mengurangi insiden ini untuk 1% sampai 2% setelah tiga bulan. Sebuah strategi Watchfull waiting tidak dibutuhkan setelah enam bulan sesuai dengan literatur, karena dalam kasus ini penurunan spontan sangat jaramg terjadi.6 Proses fisiologis penurunan testis hampir tidak dijelaskan. Demikian pula, penyebab pasti dari maldescent tidak diketahui. Bayi dengan berat lahir di bawah 2,5 kg dan kelahiran prematur merupakan faktor risiko untuk maldensensus testis. Insufisiensi plasenta yang mengurangi sekresi human chorionic gonadotropin (hCG) tampaknya memainkan peran yang sama penting sebagai penurunan tingkat estrogen maternal.6 Bayi dengan berat lahir < 900 gram seluruhnya mengalami UDT, sedangkan dengan berat lahir < 1800 gram sekitar 68,5 % UDT. Dengan bertambahnya umur menjadi 1 tahun, insidennya menurun menjadi 0,8 %, angka ini hampir sama dengan populasi dewasa. 2,3
Embriologi dan Proses Penurunan Testis
Pada minggu ke enam umur kehamilan primordial germ cells mengalami migrasi dari yolk sac ke genital ridge. Dengan adanya gen SRY (sex deter mining region Y), maka akan berkembang menjadi testis pada minggu ke-7. Testis yang berisi prekursor sel-sel Sertoli besar (yang kelak menjadi tubulus seminiferous dan sel-sel Leydig kecil) dengan stimulasi FSH yang dihasilkan pituitary mulai aktif berfungsi sejak minggu ke-8 kehamilan dengan mengeluarkan MIF (Müllerian Inhibiting Factor), yang menyebabkan involusi ipsilateral dari duktus mullerian. MIF juga meningkatkan reseptor androgen pada membran sel Leydig. Pada minggu ke-10 dan 11 kehamilan, akibat stimulasi chorionic gonadotropin yang dihasilkan plasenta dan LH dari pituitary sel-sel Leydig akan mensekresi testosteron yang sangat esensial bagi diferensiasi duktus Wolfian menjadi epididimis, vas deferens, dan vesika seminalis. 2,3 Penurunan testis dimulai pada sekitar minggu ke-10. Walaupun mekanismenya belum diketahui secara pasti, namun para ahli sepakat bahwa terdapat beberapa faktor yang berperan penting, yakni: faktor endokrin, mekanik (anatomik), dan neural. Terjadi dalam 2 fase yang dimulai sekitar minggu ke-10 kehamilan segera setelah terjadi diferensiasi seksual. Fase transabdominal dan fase inguinoscrotal. Keduanya terjadi dibawah kontrol hormonal yang berbeda.2,3 Fase transabdominal terjadi antara minggu ke-10 dan 15 kehamilan, dimana testis mengalami penurunan dari urogenital ridge ke regio inguinal. Hal initerjadi karena adanya regresi ligamentum suspensorium cranialis dibawah pengaruh androgen (testosteron), disertai pemendekan gubernaculums (ligament yang melekatkan bagian inferior testis ke segmen bawah skrotum) di bawah pengaruh MIF. Dengan perkembangan yang cepat dari region abdomino pelvic maka testis akan terbawa turun ke daerah inguinal anterior. Pada bulan ke-3 kehamilan terbentuk processus vaginalis yang secara bertahap berkembang ke arah skrotum. Selanjutnya fase ini akan menjadi tidak aktif sampai bulan ke-7 kehamilan. 2,3 Fase inguinoscrotal terjadi mulai bulan ke-7 atau minggu ke-28 sampai dengan minggu ke-35 kehamilan. Testis mengalami penurunan dari region inguinal ke dalam skrotum dibawah pengaruh hormon androgen. Mekanismenya belum diketahui secara pasti, namun diduga melalui mediasi pengeluaran calcitonin generelated peptide (CGRP). Androgen akan merangsang nervus
genitofemoral untuk mengeluarkan CGRP yang menyebabkan kontraksi ritmis dari gubernaculum. Faktor mekanik yang turut berperan pada fase ini adalah tekanan abdominal yang meningkat yang menyebabkan keluarnya testis dari cavum abdomen, di samping itu tekanan abdomen akan menyebabkan terbentuknya ujung dari processus vaginalis melalui canalis inguinalis menuju skrotum. Proses penurunan testis ini masih bisa berlangsung sampai bayi usia 9-12 bulan.2,3
Etiologi
Maldensensus testis dapat terjadi karena adanya kelainan pada 1) gubernaculum testis 2) kelainan intrinsic testis, atau 3) defisiensi hormone gonadotropin yang memacu proses densensus testis.4 Desensus testis dirangsang dan dicetuskan oleh hormone gonadotropin dari ibu sewaktu bulan terakhir kehamilan. Kriptokismus harus dibedakan dengan ektopik testis. Pada ektopik testis tidak disebabkan oleh gangguan hormonal, melainkan oleh insersi abnormal gubernaculum testis. Retensi testis yang berbentuk kriptokismus sejati lebih sering mengalami degenerasi kegananasan dan gangguan spermatogenesis.7 Perimbangan dan faal hormonal pada kriptokismus atau testis ektopik tidak terganggu. Perkembangan pubertas dan kelamin tidak tertinggal dan tidak menunjukkan kelainan.
Spermatogenesis hanya dipengaruhi oleh suhu dingin di dalam skrotum. Pada testis yang tidak terletak di skrotum, perkembangan tubulus seminiferus tertinggal. 7 Patofisiolgi dan Patogenesis
Suhu di dalam rongga abdomen kurang lebih 10C lebih tinggi daripada suhu di dalam skrotum, sehingga testis abdominal selalu mendapatkan suhu yang lebih tinggi daripada testis normal, hal ini mengakibatkan kerusakan sel-sel germinal testis.4 Pada usia 2 tahun, sebanyak 1/5 bagian dari sel-sel germinal testis telah mengalami kerusakan, sedangkan pada usia 3 tahun hanya 1/3 sel-sel germinal yang masih normal. Kerusakan ini makin lama makin progresif dan akhirnya testis menjadi mengecil. Karena sel-sel Leydig sebagai penghasil hormone androgen tidak ikut rusak, maka potensi seksual tidak mengalami gangguan. Akibat lain yang ditimbulkan dari letak testis yang tidak berada diskrotum adalah mudah terpluntir (torsio), mudah terkena trauma, dan lebih mudah mengalami degenerasi maligna.4 Diagnosis
Pasien biasanya dbawa berobat ke dokter karena orang tuanya tidak menjumpai testis di kantong skrotum, sedangkan pasien dewasa mengeluh karena infertilitas yaitu belum mempunyai anak setelah kawin beberapa tahun. Kadang-kadang merasa ada benjolan di perut bagian bawah yang disebabkan testis maldensensus mengalami trauma, mengalami torsio atau berubah menjadi tumor testis.4 Inspeksi pada region skrotum terlihat hypoplasia kulit skrotum karena tidak pernah ditempati oleh testis. Saat pemeriksaan fisik kondisi pasien harus dalam keadaan relaksasi dan posisi sepertifrog-leg atau crosslegged. Pada pasien yang terlalu gemuk, dapat dilakukan dalam posisi sitting cross-legged atau baseball catcher’s. Pemeriksaan testis pada bayi dan anak-anak membutuhkan pengalaman dan harus selalu dilakukan menggunakan teknik dua tangan. Palpasi harus dilakukan dalam keadaan bebas cemas dan lingkungan yang hangat, karena dingin atau kecemasan dapat menyebabkan refleks cremasteric untuk menarik kembali testis. Satu tangan menyapu dari spina iliaka superior sepanjang kanalis inguinalis menuju os pubis, sedangkan sisi lain mencoba untuk meraba testis. Dengan maneuver ini, sering juga memungkinkan untuk
mendorong testis menuju skrotum, menyebabkan testis menjadi berada pada annulus inguinalis eksternus. Ketika testis berhasil dikeluarkan ke arah kompartemen skrotum di bagian atas, namun kembali spontan masuk ke kanalis inguinalis ini disebut gliding testis. 3,4,6 Sebagai teknik pencitraan, sonografi dengan highresolution transduser (>7,5 MHz) memberikan tingkat klasifikasi yang benar (akurasi) 84% untuk testis non-palpable (dengan sensitivitas 76% dan spesifisitas 100%). Identifikasi awal dari testis inguinal memungkinkan penilaian dalam hal ukuran dan struktur parenkim. Dalam pencarian untuk intraabdominal testis, MRI dapat diharapkan untuk memberikan hasil (akurasi) 85% dengan sensitivitas 86% dan spesifisitas 79%. Metode sekarang yang disukai untuk lokalisasi testis non-teraba adalah laparoskopi. Pemeriksaan flebografi selektif juga dapat dilakukan untuk mencari keberadaan pleksus pampiniformis. Jika tidak ditemukan pleksus ini, maka kemungkinan testis memang tidak pernah ada.4,6 Pada umumnya pmeriksaan laboratorium diagnostik tidak menjadi kebutuhan. Untuk bayi laki-laki yang lahir dengan testis bilateral tidak teraba, Kariotype wanita dengan sindrom androgenital harus disingkirkan. Pemeriksaan endokrinologis anak dapat dialukan dengan deteksi testosterone dengan melakukan uji stimulasi konvensional dengan pemberian hormone hCG. Hal ini dapat dilakukan sebelum melakukan pembedahan eksplorasi.4,6
Diagnosis Banding
Diagnosis banding meliputi testis letak ektopik dan seringkali dijumpai testis yang biasanya berada di kantung skrotum tiba-tiba berada di daerah inguinal dan pada keadaan lain kembali ke tempat semula. Keadaan ini terjadi karena reflek otot kremaster yang terlalu kuat akibat cuaca dingin, atau setelah melakukan aktifitas fisik. Hal ini disebut sebagai testis retraktil atau kriptorkismus fisiologis dan kelainan ini tidak perlu diobati. Selain itu UDT perlu dibedakan dengan anorkismus, yaitu testis memang tidak ada. Hal ini bias terjadi secara congenital memang tidak terbentuk testis, atau testis yang mengalami atrofi akibat torsio in utero atau torsio pada saat neonatus.4 Penatalaksanaan
Pengobatan kriptorkismus adalah hormonal, bedah, atau kombinasi keduanya. Keberhasilan pengobatan tergantung pada posisi testis pada diagnosis. Itu penggunaan human chorionic gonadotropin (hCG) merangsang sel-sel Leydig testis untuk memproduksi testosteron. Gonadotropin releasing hormone (GnRH) merangsang pituitary untuk mensekresi hormon luteinizing (LH) yang pada gilirannya merangsang sel-sel Leydig testis untuk memproduksi testosteron dan dengan demikian memulai turunnya.4 Orkidopeksi adalah operasi standar untuk undensensus testis. Ini terutama harus dilakukan untuk testis ektopi, hernia inguinal simultan, setelah sebelumnya operasi inguinal, untuk kambuh, pada bayi yang lebih tua, atau setelah terapi hormon tidak berhasil. Untuk testis non-palpable, operasi terbuka / laparoskopi secara bersamaan diagnostik dan terapeutik.4 Temuan baru menunjukkan bahwa lebih baik untuk menunggu spontan turunnya testis selama 6 bulan setelah kelahiran. Bila tidak juga mengalami penurunan, terapi hormon dilakukan terutama dengan maksud untuk memberikan kesuburan. Pengobatan berupa tindakan operasi harus dilakukan saat anak berusia satu tahun. Karena sekitar 24% anak laki-laki yang mendapat terapi hormone akan mengalami ascending testis. Jika kriptokismus ditemukan saat anak berusia lebih dari satu tahun, tindakan bedah adalah pendekatan yang utama. Dengan asumsi bahwa jika dibiarkan testis tidak dapat turun sendiri setelah usia 1 tahun, sedangkan setelah usia 2 tahun terjadi kerusakan testis yang cukup bermakna, maka saat yang tepat untuk melakukan terapi adalah pada usia 1 tahun.3,4,6
Terapi Hormonal
Dua tujuan terapi hormonal adalah 1) menginduksi turunnya testis dan 2) menstimulasi pematangan sel germinal dan proliferasi untuk meningkatkan kesuburan. Tingkat keberhasilan hormone hCG dibeberapa literatur bervariasi antara 22% - 99% pada studi control, ddengan sebagian besar studi mencapai keberhasilan 20% atau kurang pada studi dengan retraktil testis dieksklusi karena tidak menerima pengobatan. Perbedaan ini terletak pada jumlah dosis, interval pemberian dosis, dan usia anak yang diobati yang berbeda.6 Efek samping dari terapi hCG mungkin termasuk pembesaran penis (3%), pertumbuhan rambut kelamin, pembesaran testis, dan perilaku agresif anak selama perawatan (1%). 6 Tingkat keberhasilan GnRH Terapi juga sangat bervariasi dalam studi terkontrol (0% sampai 78%). Dalam meta - analisis dari 33 studi acak di 3282 anak laki-laki dengan 4524 testis tidak turun, tingkat keberhasilan adalah 19% dengan hCG, 21% dengan GnRH , dan 4% dengan placebo.6 Terapi hormon GnRH pascaoperasi dengan dosis rendah analog muncul untuk memberikan manfaat bagi kesuburan kemudian. Literatur saat ini tidak membenarkan rutin penggunaan terapi hormon pasca operasi. pendekatan ini harus individual dan didiskusikan dengan orang tua.6
Terapi Pembedahan
Apabila hormonal telah gagal, terapi standar pembedahan untuk kasus UDT adalah orchiopexy. Keputusan untuk melakukan orchiopexy harus mempertimbangkan berbagai faktor, antara lain teknis, risiko anastesi, psikologisanak, dan risiko bila operasi tersebut ditunda. Tujuan operasi pada kriptorkismus adalah: (1) mempertahankan fertilitas, (2) mencegah timbulnya degenerasi maligna, (3) mencegah kemungkinan terjadinya torsio testis, (4) melakukan koreksi hernia, dan (5) secara psikologis mencegah terjadinya rasa rendah diri karena tidak mempunyai testis. Operasi yang dikerjakan adalah orkidopeksi yaitu meletakkan testis ke dalam skrotum dengan melakukan fiksasi pada kantung sub dartos.4 Prinsip dasar orchiopexy adalah :2,3 1. Mobilisasi yang cukup dari testis dan pembuluh darah 2. Ligasi kantong hernia 3. Fiksasi yang kuat testis pada skrotum Testis sebaiknya direlokasi pada subkutan atau subdartos pouch skrotum.2,3
Tindakan operasi sebaiknya dilakukan sebelum pasien usia 2 tahun, bahkan beberapa penelitian menyarankan pada usia 6 – 12 bulan. Penelitian melaporkan spermatogonia akan menurun setelah usia 2 tahun.2,3 Indikasi absolut dilakukan operasi pembedahan primer adalah2,3 1. kegagalan terapi hormonal 2. testis ektopik 3. terdapat kelainan lain seperti hernia dengan atau tanpa prosesus vaginalis yang terbuka
Komplikasi Orchidopexy Beberapa komplikasi yang dapat timbul akibat tindakan pembedahan Orchiopexy antara lain: 1. Posisi testis yang tidak baik karena diseksi retroperitoneal yang tidak komplit (10% kasus)
2. Atrofi testis karena devaskularisasi saat membuka funikulus (5%kasus) 3. Trauma pada vas deferens ( 1±2% kasus) Komplikasi UDT
2,3,6
UDT meningkatkan risiko infertilitas dan berhubungan dengan risiko tumor sel germinal yang meningkat 3-10 kali. Atrofi testis terjadi pada usia 5-7 tahun, akan tetapi perubahan morfologi dimulai pada usia 1-2 tahun. Risiko kerusakan histologi testis juga berhubungan dengan letak abnormal testis. Pada awal pubertas, lebih dari 90% testis kehilangan sel germinalnya pada kasus intraabdomen, sedangkan pada kasus testis inguinal dan preskrotal, penurunan sel geminal mencapai 41% dan 20%.3 Telah lama diketahui bahwa komplikasi utama yang dapat terjadi pada UDT adalah keganasan testis dan infertilitas akibat degenerasi testis. Di samping itu disebut juga terjadinya torsi testis, dan hernia inguinalis. Risiko Keganasan
Terdapat hubungan yang erat antara UDT dan keganasan testis. Insiden keganasan testis sebesar 1-6 pada setiap 500 laki-laki UDT di Amerika. Risiko terjadinya keganasan testis yang tidak turun pada anak dengan UDT dilaporkan berkisar 10-20 kali dibandingkan pada anak dengan testis normal. Makin tinggi lokasi UDT makin tinggi risiko keganasannya, testis abdominal mempunyai risikomenjadi ganas 4x lebih besar dibanding testis inguinal. Orchiopexi sendiri tidak akan mengurangi risiko terjadinya keganasan,tetapi akan lebih mudah melakukan deteksi dini keganasan pada penderita yang telah dilakukan orchiopexy . Infertilitas
Penderita UDT bilateral mengalami penurunan fertilitas yang lebih berat dibandingkan penderita UDT unilateral, dan apalagi dibandingkan dengan populasi normal. Penderita UDT bilateral mempunyai risiko infertilitas 6x lebih besar dibandingkan populasi normal (38% infertile pada UDT bilateral dibandingkan 6% infertil pada populasi normal), sedangkan pada UDT unilateral berisiko hanya 2x lebih besar.
Komplikasi infertilitas ini berkaitan dengan terjadinya degenerasi pada UDT. Biopsi pada anak-anak dan binatang coba UDT menunjukkan adanya penurunan volume testis, jumlah germ cells dan spermatogonia dibandingkandengan testis yang normal. Biopsi testis pada anak dengan UDT unilateral yang dilakukan sebelum umur 1 tahun menunjukkan gambaran yang tidak berbeda bermakna dengan testis yang normal. Perubahan gambaran histologis yang bermakna mulai tampak setelahumur 1 tahun, semakin memburuk dengan bertambahnya umur. Tidak seperti risiko keganasan, penurunan testis lebih dini akan mencegah proses degenerasi lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cristophe G, Peter F, Francois, et al. Management of Chriptorchidism in children: Guidelines. Swiss Medical Weekly. 492-498. 2008. Available from: http://www.swisspu.ch/pdfempfehlungen/7.pdf 2. Winarta L. Diagnosis dan Tatalaksana Undescended Testis. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 2008. Available from: http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/viewFile/5636/4280 3. No Name. Undesensus Testis. 2005. Available from: http://www.scribd.com/document_downloads/direct/169306871?extension=pdf&ft=1399 087644<=1399091254&user_id=4085364&uahk=m7HbKx2g1xiWlMr0trc8DrCx7v8 4. Basuki P. Dasar-Dasar Urologi. 2011. Sagung Seto: Jakarta 5. Julia S. The Epidemiology of Congenital Chriptorchidism, Testicular Ascent, dan Orchiopexy. American Urology Association. Journal of Urology. Vol. 170. 2396-2401. 2003. Available from: http://www.pedclerk.sites.uchicago.edu/sites/pedclerk.uchicago.edu/files/uploads/1-s2.0S0022534705628704-main.pdf 6. Michael J. et al. Review Article: The Undescended Testis: Diagnosis, Treatment and Long-Term Consequences. Deutsches Ärzteblatt International. 106(33): 527 – 3. 2009. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2737432/pdf/Dtsch_Arztebl_Int-1060527.pdf 7. Sjamjuhidayat & Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC