PERDARAHAN UTERUS ABNORMAL I.
PENDAHULUAN Perdarahan uterus abnormal merupakan suatu masalah kesehatan yang sering dijumpai, dimana penanganan dan penatalaksanaanya bisa sangat rumit. Secara umum, penyebab perdarahan uterus abnormal adalah kelainan organik (tumor, infeksi), sistemik (seperti kelainan faktor pembekuan), dan fungsi alat reproduksi 1. Gangguan perdarahan uterus abnormal merupakan suatu penyakit, dimana salah satunya adalah Abnormal Uterine Bleeding. Abnormal uterine bleeding merupakan suatu perdarahan dari uterus yang tidak ada hubungannya dengan sebab organik, dimana terjadi perdarahan abnormal di dalam atau diluar siklus haid oleh karena gangguan mekanisme kerja poros hipotalamushipofisis-ovarium-endometrium1 Perdarahan Uterus Abnormal (PUA) menjadi perhatian klinisi karena dampak yang ditimbulkannya jika tidak ditangani dengan tepat. Angka kejadian PUA diprediksi terjadi pada 20% wanita. khususnya pada pasca menopause PUA merupakan 15% 20% dari seluruh kasus ginekologi, serta 25% indikasi operasi ginekologi. Beberapa penelitian mendapatkan hanya 10 20% dari keseluruhan kasus PUA tersebut yang menderita kanker. PUA dapat terjadi pada semua usia dan sebagian besar kasus yang dirujuk ke bagian Ginekologi adalah dengan diagnosis klinis (sebenarnya gejala klinis) metrorhagia (37,1%) dan menorhagia (33,7%).2 Perdarahan uterus abnormal termasuk didalamnya adalah perdarahan menstruasi abnormal, dan perdarahan akibat penyebab lain seperti kehamilan, penyakit sistemik, atau kanker. Diagnosis dan manajemen dari perdarahan uterus abnormal saat ini menjadi sesuatu yang sulit dalam bidang ginekologi. Pasien mungkin tidak bisa melokalisir sumber perdarahan berasal dari vagina, uretra, atau rektum. Pada wanita menyusui, komplikasi kehamilan harus selalu dipikirkan, dan perlu diingat adanya dua keadaan sangat mungkin terjadi secara bersamaan (misal mioma uteri dan kanker leher rahim).2
Pendarahan uterus abnormal dapat ditangani dengan tepat, bila diketahui etiologi/penyebab pasti yang dapat berupa kelainan organik dan perdarahan uterus disfungsional. Kelainan organik yang paling sering adalah mioma uterus terutama mioma submukosum, endometriosis, polip, kanker endometrium, hiperplasia endometrium dan adneksitis.2,3
II.
ANATOMI UTERUS Uterus pada seorang dewasa berbentuk seperti buah advokat atau buah pear yang sedikit gepeng. Ukuran panjang uterus adalah 7-7,5 cm, lebar di temmpat yang paling lebar 5,25 cm dan tebal 2,5 cm. Uterus terdiri atas korpus uteri (2/3 bagian atas) dan serviks uteri (1/3 bagian bawah).4 Di dalam korpus uteri terdapat rongga (kavum uteri) yang membuka ke luar melalui saluran (kanalis servikalis) yang terletak di serviks. Bagian bawah serviks yang terletak di vagina dinamakan porsio uteri (pars vaginalis servisis uteri) sedangkan yang berada di atas vagina disebut pars supravaginalis servisis uteri. Antara korpus dan serviks masih ada bagian yang disebut isthmus uteri.4 Bagian atas uterus disebut fundus uteri, di situ tuba Fallopii kanan dan kiri masuk ke uterus. Dinding uterus terdiri terutama atas miometrium, yang merupakan otot polos berlapis tiga; yang sebelah luar longitudinal, yang sebelah dalam sirkuler, yang antara kedua lapisan ini beranyaman. Miometrium dalam keseluruhannya dapat berkontraksi dan berrelaksasi.4 Kavum uteri dilapisi oleh selaput lendir yang kaya dengan kelenjar, disebut endometrium. Endometrium terdiri atas epitel kubik, kelenjarkelenjar, dan stroma dengan banyak pembuluh-pembuluh darah yang berlekuk-lekuk. Di korpus uteri endometrium licin, akan tetapi di serviks berkelok-kelok; kelenjar-kelenjar itu bermuara di kanalis servikalis (arbor vitae). Pertumbuhan dan fungsi endometrium dipengaruhi sekali oleh hormon steroid ovarium.4 Uterus pada wanita dewasa umumnya terletak di sumbu tulang panggul dalam anteversiofleksio (serviks ke depan atas) dan membentuk sudut dengan vagina, sedang korpus uteri berarah ke depan dan
membentuk sudut 120º-130º dengan serviks uteri. Di Indonesia uterus sering ditemukan dalam retrofleksio (korpus uteri berarah ke belakang) yang pada umumnya tidak memerlukan pengobatan.4 Perbandingan antara panjang korpus uteri dan serviks berbeda-beda dalam pertumbuhan. Pada bayi perbandingan itu adalah 1:2, sedangkan pada wanita dewasa 2:1.4 Di luar, uterus dilapisi oleh serosa (peritoneum viserale). Jadi, dari luar ke dalam ditemukan pada dinding korpus uteri serosa atau perimetrium, miometrium, dan endometrium. Uterus mendapat darah dari arteria uterina, ranting dari arteria iliaka interna, dan dari arteria ovarika.4 Gambar 1: Anatomi Reproduktif Wanita
Gambar 2: AnatomiReproduktif Wanita III.
SIKLUS MENSTRUASI Menstruasi
adalah siklus perdarahan
uterin yang dialami pada
kebanyakan wanita diusia reproduksi. Menarche terjadi rata-rata pada usia 12 tahun (batas normal 8-16 tahun).5 Panjang siklus haid ialah jarak antara tanggal mulainya haid yang lalu dan mulainya haid berikutnya. Hari mulainya perdarahan dinamakan hari pertama siklus. Panjang siklus haid yang normal atau dianggap sebagai siklus haid klasik ialah 28 hari. Panjang siklus yang biasa pada manusia ialah 25-32 hari, dan kira-kira 97% wanita yang berovulasi siklus haidnya berkisar 18-42 hari. Lama haid biasanya antara 3-5 hari. 4 Jumlah darah yang keluar ratarata adalah 80 ml.3 Siklus menstruasi tergantung oleh siklus produksi estrogen dan progesteron yang menunjukkan kejadian reguler ovulasi
pada kehidupan
reproduksi wanita. Perkembangan prediksi, siklus reguler, dan siklus ovulasi menstruasi spontan diatur oleh interaksi kompleks dari sumbu hipothalamuspituitari, ovarium, dan traktus genital. Siklus menstruasi dibagi dalam dua fase, yaitu fase folikuler (proliferatif) dan fase luteal (sekresi). 5
Fase menstruasi
merupakan masa pelulruhan dinding endometrium. Fase folikuler terjadi dari hari pertama mens sampai ovulasi, selama waktu folikel dalam ovarium tumbuh sebagai respon dari hormon stimulasi folikel (FSH), dan dalam uterus kelenjar endometrium berproliferasi dibawah pengaruh estrogen, utamanya estradiol dipengaruhi oleh folikel. Fase folikel ditandai dengan variabel panjang, walaupun rata-rata 14 hari, perkembangan folikel ovarium sebagai respon dari FSH, sekresi estrogen dari ovarium, proliferasi endometrium sebagai respon dari estrogen, dan penurunan suhu basal tubuh.5 Ovulasi terjadi sebagai respon peningkatan hormon luteinizing (LH). Fase ini ditandai dengan pelepasan oosit dari folikel sebagai respon pada induksi kolagenase FSH, secara enzimatis memecah dinding folikel, dimulainya kembali meiosis, oosit maju dari profase I sampai metafasi II, pembentukan folikel dalam korpus luteum.6 Fase luteal atau sekresi merupakan bagian kedua dari perpanjangan bagian ovulasi sampai timbulnya menstruasi. Korpus
luteum dirangsang oleh LH,
menghasilkan progesteron yang mengakibatkan perubahan sekresi pada endometrium yang diperlukan untuk mempersiapkan endometrium intuk implantasi embrio. Fase luteal ditandai dengan durasi yang cukup konstan 12 sampai 16 hari, berbeda dengan fase folikuler, peningkatan suhu basal tubuh dalam menanggapi produksi progesteron, mempertahankan korpus luteum dalam ovarium, dengan sekresi progesteron dan estrogen, perubahan sekresi pada endometrium termasuk kelenjar tortuositi dan sekresi, edema stroma, dan reaksi desidual.5Pembuluh darah menjadi lebih terlilit. Akumulasi
glikogen dalam
endometrium mencapai puncak dibahan pengeruh estrogen dan progesteron. Proses ini menyiapkan endometrium melekatkan embrio. Jika tidak terjadi fertilisasi maka kadar progesteron dan esterogen menurun sehingga terjadi menstruasi.5
Gambar 3 :Siklus Menstruasi : Perubahan hormon, histology ovarium dan endometrium yang terjadi selama proses menstruasi.
IV.
ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI Perdarahan uterus abnormal
termasuk
didalamnya
adalah
perdarahan menstruasi abnormal, dan perdarahan akibat penyebab lain seperti kehamilan, penyakit sistemik, atau kanker. Diagnosis dan manajemen dari perdarahan uterus abnormal saat ini menjadi sesuatu yang sulit dalam bidang ginekologi. Pasien mungkin tidak bisa melokalisir sumber perdarahan berasal dari vagina, uretra, atau rektum.1 Dibagi sebagai dua, yaitu organik dan fungsional. Antara sebabsebab organik adalah, perdarahan dari uterus, tuba, dan ovarium yang disebabkan oleh kelainan pada 7: Serviks uteri, seperti polipus servisis uteri, erosio porsionis uteri, ulkus pada porsiouteri, karsinoma servisis uteri Korpus uteri, seperti polip endometrium, abortus iminens, abortus insipiens,
abortus inkomplit, mola hidatidosa, koriokarsinoma,
subinvolusiouteri, karsinoma korporis uteri, sarkoma uteri, mioma uteri Tuba Falopi, seperti kehamilan ektoplik terganggu, radang tuba, tumor tuba Ovarium, seperti radang ovarium, tumor ovarium
Manakala, bila perdarahan dari uterus yang tidak ada hubungannya dengan
penyebab
organik,
dikatogarikan
sebagai
perdarahan
disfungsional. Perdarahan disfungsional dapat terjadi pada setiap umur antara menarche dan menopause.7 Kelainan ini lebih sering dijumpai pada masa permulaan dan masa akhir fungsi ovarium. Dua pertiga dari wanitawanita yang dirawat di rumah sakit untuk perdarahan disfungsional berumur diatas 40 tahun, dan 3% dibawah 20 tahun. Sebetulnya dalam praktek banyak dijumpai pula perdarahan disfungsional dalam masa pubertas, akan tetapi karena keadaan ini biasanya dapat sembuh sendiri, maka jarang diperlukan perawatan di rumah sakit.8 Perdarahan uterus abnormal yang terjadi tanpa kelainan pada saluran reproduksi, penyakit medis tertentu atau kehamilan. Diagnosis perdarahan
uterus
disfungsional
(PUD)
ditegakkan
berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang. Hal yang penting dan pertama dilakukan adalah menyingkirkan adanya kelainan-kelainan organik, sistemik, imunologik, keganasan dan kehamilan. Manifestasi klinis dapat berupa perdarahan akut dan banyak, perdarahan ireguler, menoragia dan perdarahan akibat penggunaan kontrasepsi.8 Perdarahan uterus disfungsional dapat terjadi pada siklus berovulasi maupun pada siklus tidak berovulasi. Pada siklus berovulasi, perdarahan teratur dan banyak terutama pada tiga hari pertama siklus haid. Penyebab perdarahan adalah terganggunya mekanisme hemostasis lokal di endometrium.8 Namun, pada siklus tidak berovulasi, perdarahan tidak teratur dan siklus
haid
memanjang
disebabkan
hypothalamus-hipofisis-ovarium.
oleh
Adanya
gangguan
siklus
tidak
pada
poros
berovulasi
menyebabkan efek estrogen tidak terlawan (unopposed estrogen ) terhadap endometrium.8 V.
KLASIFIKASI International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) tahun 2012
terdapat sembilan kategori utama yang disusun sesuai dengan akronim “PALM-
COEIN”:
polip,
koagulopati,
adenomiosis,
Gangguan
leiomyoma,
ovulasi,
Keganasan
endometrium,
dan
iatrogenik,
hiperplasia, dan
tidak
diklasifikasikan (not yet Classified). 7 Secara umum, komponen dari kelompok PALM merupaka kelainan struktural yang terukur secara visual, dengan menggunakan teknik-teknik pencitraan, dan atau dengan menggunakan histopatologi sementara Sedangkan kelompok “COEIN” merupakan kelainan non struktur yang tidak dapat dinilai dengan teknik pencitraan atau histopatologi).7
Gambar 4: Klasifikasi PALM-COEIN Polip (PUA-P) Polip didiagnosis dengan oleh satu atau kombinasi dari USG (termasuk sonografi infus salin) dan pencitraan histeroskopi dengan atau tanpa histopatologi. Meskipun tidak ada perbedaan saat ini mengenai ukuran atau jumlah polip, namun penting untuk mengecualikan polypoid-yang muncul dari endometrium, yang mungkin menjadi varian dari normal.7 Kategori P memungkinkan untuk pengembangan lebih jauh subklasifikasi untuk penggunaan klinis atau investigasi yang mencakup kombinasi variabel termasuk dimensi polip, lokasi, jumlah, morfologi, dan histologi. 7 Adenomiosis (PUA-A)
Hubungan adenomiosis dengan terjadinya PUA masih belum jelas. Sedangkan kriteria untuk mendiagnosis adenomiosis secara tradisional didasarkan pada evaluasi histopatologi kedalaman endometrium dalam jaringan di bawah endometrium-miometrium dari spesimen histerektomi, kriteria histopatologi bervariasi secara substansial dan persyaratan untuk mendiagnosa adenomiosis memiliki nilai terbatas dalam sistem klasifikasi klinis. 7 Akibatnya terdapat kriteria diagnostik didasarkan pada sonografi dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dalam sistem diagnosis adenomiosis. Menyadari keterbatasan akses perempuan untuk MRI di masyarakat dunia, diusulkan bahwa kriteria sonografi untuk adenomiosis menjadi persyaratan minimum untuk menetapkan diagnosis. 7 Leiomyomas (PUA-L) Leiomyomas (fibroid) sebagian besar tidak bergejala, dan sering bukanlah penyebab keluhan PUA. Sehingga perlu diciptakan sistem klasifikasi primer, sekunder, dan tersier untuk klasifikasi L dari PUA ini . Sistem klasifikasi primer hanya mencerminkan ada atau tidak adanya satu atau lebih leiomyomas, sebagaimana ditentukan dengan pemeriksaan sonografi, terlepas dari jumlah, lokasi, dan ukuran. Dalam sistem klasifikasi sekunder, dokter diwajibkan untuk membedakan mioma yang melibatkan rongga endometrium (submukosa atau SM) dan yang lain (O), karena lesi SM yang kemungkinan besar berkontribusi terhadap asal-usul PUA. 7 Pengembangan
sistem
klasifikasi
tersier
adalah
untuk
leiomioma
subendometrial atau submukosa yang awalnya diajukan oleh Wamsteker yang kemudian diadopsi di Eropa. Sistem PALM-COEIN menambahkan kategorisasi mioma intramural dan subserosal serta kategori yang mencakup lesi (parasitik) yang tampaknya terlepas dari rahim. Ketika myoma berbatasan atau mendistorsi baik endometrium dan serosa, hal ini dikategorikan pertama oleh klasifikasi submukosa dan subserosal, dengan keduanya yang dipisahkan oleh tanda hubung. Telah dipertimbangkan tetapi belum resmi ditetapkan untuk mengklasifikasikan dalam ukuran, jumlah, dan lokasi dari tumor longitudinal dalam rahim (misalnya, fundus, segmen bawah rahim, atau leher rahim). 7
Keganasan dan premaligna Kondisi (PUA-M) Walaupun relatif jarang terjadi pada wanita usia reproduksi, hiperplasia atipikal dan keganasan adalah penyebab potensial yang penting terkait dengan PUA. Diagnosa ini harus dipertimbangkan dalam setiap wanita di usia reproduksi dan terutama di mana mungkin ada faktor-faktor predisposisi seperti obesitas atau riwayat anovulasi kronis. Akibatnya, ketika investigasi terhadap perempuan pada usia reproduksinya dengan PUA perlu diedentifikasi proses hiperplastik atau ganas premaligna, akan diklasifikasikan sebagai PUA-M dan kemudian subklasifikasikan berdasarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) atau sistem FIGO. 7 Koagulopati (Gangguan sistemik dari Hemostasis) (PUA-C) Istilah koagulopati digunakan untuk mencakup spektrum gangguan hemostasis sistemik yang dapat menyebabkan PUA. Bukti menunjukkan bahwa sekitar 13% dari wanita dengan perdarahan menstruasi berat memiliki gangguan sistemik biokimia terdeteksi hemostasis, paling sering penyakit von Willebrand dimana sekitar 90% dari pasien dengan kelainan ini dapat diidentifikasi dengan riwayat penyakit yang jelas (Tabel 1). Namun, tidak jelas seberapa sering kelainan ini menyebabkan atau memberikan kontribusi terhadap asal-usul PUA, dan seberapa sering penyakit ini menimbulkan kelainan biokimia tanpa gejala atau dengan gejala minimal. 7
Tabel 1 Gangguan ovulasi (PUA-O). Disfungsi ovulasi dapat berkontribusi sebagai penyebab PUA, umumnya gangguan ovulasi berupa kombinasi dari waktu haid yang tak terduga, variasi jumlah dan lama perdarahan, yang dalam beberapa
kasus menimbulkan
perdarahan haid yang berat. Beberapa manifestasi berhubungan dengan tidak adanya produksi siklik dan teratur dari progesteron, dan kemudian pada usia reproduksi yang lanjut mungkin timbul akibat terjadinya keadaan ''luteal out-offase'' (LOOP). 7 Meskipun gangguan ovulasi paling sulit diketahui etiologinya secara pasti, namun banyak kasus setelah diselusuri merupakan akibat endocrinopathies (misalnya, sindroma ovarium polikistik, hipotiroidisme, hiperprolaktinemia, stres mental, obesitas, anoreksia, penurunan berat badan, atau olahraga ekstrim seperti yang terkait dengan pelatihan atletik). Dalam beberapa kasus, gangguan mungkin iatrogenik, disebabkan oleh steroid gonad atau obat yang mempengaruhi metabolisme dopamin seperti fenotiazin dan antidepresan trisiklik. 7 Endometrial (PUA-E).
Bila PUA terjadi dalam konteks siklus haid yang teratur, maka dapat diperkirakan jika terjadi ovulasi normal, dan tidak ditemukan penyebab lain yang jelas, mekanisme ini kemungkinan disebabkan gangguan primer di endometrium. Jika gejalanya berupa perdarahan haid yang berat, ada mungkin terjadi gangguan utama yang mengatur mekanisme hemostasis ''lokal' endometrium itu sendiri, penurunan produksi vasokonstriktor seperti endotelin-1 dan prostaglandin F2a, dan atau lisis bekuan endometrium dipercepat karena produksi berlebihan dari aktivator plasminogen dan meningkatnya produksi lokal yang mempengaruhi vasodilatasi seperti prostaglandin E2 dan prostasiklin (I2). 7 Mungkin ada kelainan endometrium primer yang tidak menimbulkan haid yang banyak, tetapi mungkin, misalnya, menyebabkan perdarahan haid yang tidak teratur, seperti peradangan endometrium atau infeksi, kelainan pada respon inflamasi lokal, atau penyimpangan dalam vasculogenesis endometrium. Pada saat ini, tidak ada tes khusus yang tersedia untuk gangguan ini, sehingga diagnosis PUA-E harus ditentukan setelah kelainan lain pada wanita usia reproduksi dapat disingkirkan dan memiliki fungsi ovulasi normal. 7 Iatrogenik (PUA-I). Ada beberapa mekanisme dimana intervensi medis atau alat mungkin menyebabkan atau memberikan kontribusi untuk PUA iatrogenik (PUA-I). perdarahan endometrium diluar jadwal yang terjadi selama penggunaan terapi steroid eksogen gonad disebut perdarahan ''terobosan'' (breakthrough bleeding /BTB), yang merupakan komponen utama dari klasifikasi PUA-I. Termasuk dalam kategori ini adalah wanita yang menggunakan alat kontrasepsi dalam rahim yang mengandung levonorgestrel, yang sering mengalami BTB dalam 6 bulan pertama penggunaan. 7 Ketika PUA dianggap sekunder akibat antikoagulan seperti warfarin atau heparin, atau agen sistemik yang berkontribusi terhadap gangguan ovulasi seperti yang mengganggu metabolisme dopamin, ini dikategorikan sebagai PUA-C atau PUA-O. 7 Not yet classifield (PUA-N)
Terdapat sejumlah entitas yang dapat atau tidak mungkin menyebabkan PUA pada wanita yang diidentifikasi kurang baik baik karena tidak cukup diuji, dan/atau pada keadaan yang sangat jarang terjadi. Contoh dalam kategori ini mungkin termasuk malformasi arteriovenosa dan hipertrofi miometrium. Selain itu, ada mungkin ada gangguan lainnya, yang belum teridentifikasi, yang hanya akan diketahui dengan pemeriksaan biokimia atau pengujian biologi molekular. 7 Secara kolektif, keadaan-keadaan diatas telah ditempatkan dalam kategori disebut N untuk tidak diklasifikasikan. Bila bukti lebih lanjut tersedia, mereka mungkin dimasukan dalam kategori terpisah, atau dapat ditempatkan ke dalam satu atau kategori yang ada dalam sistem. 7
VI.
GAMBARAN KLINIS Terdapat beberapa pola dari perdarahan uterus abnormal. Penggolongan standar dari perdarahan abnormal dibedakan menjadi 7 pola2 1. Menoragia (hipermenorea) adalah perdarahan menstruasi yang banyak dan memanjang. Adanya bekuan-bekuan darah tidak selalu abnormal, tetapi dapat menandakan adanya perdarahan yang banyak. Perdarahan yang ‘gushing’ dan ‘open-faucet’ selalu menandakan sesuatu yang tidak lazim. Mioma submukosa,
komplikasi
kehamilan,
adenomiosis,
IUD,
hiperplasia
endometrium, tumor ganas, dan perdarahan disfungsional adalah penyebab tersering dari menoragia. 2. Hipomenorea (kriptomenorea) adalah perdarahan menstruasi yang sedikit, dan terkadang hanya berupa bercak darah. Obstruksi seperti pada stenosis himen atau serviks mungkin sebagai penyebab. Sinekia uterus (Asherman’s Syndrome) dapat menjadi penyebab dan diagnosis ditegakkan dengan histerogram dan histeroskopi. Pasien yang menjalani kontrasepsi oral terkadang mengeluh seperti ini, dan dapat dipastikan ini tidak apa-apa. 3. Metroragia (perdarahan intermenstrual) adalah perdarahan yang terjadi pada waktu-waktu diantara periode menstruasi. Perdarahan ovulatoar terjadi di tengah-tengah siklus ditandai dengan bercak darah, dan dapat dilacak dengan memantau suhu tubuh basal. Polip endometrium, karsinoma endometrium, dan
karsinoma serviks adalah penyebab yang patologis. Pada beberapa tahun administrasi estrogen eksogen menjadi penyebab umum pada perdarahan tipe ini. 4. Polimenorea berarti periode menstruasi yang terjadi terlalu sering. Hal ini biasanya berhubungan dengan anovulasi dan pemendekan fase luteal pada siklus menstruasi. 5. Menometroragia adalah perdarahan yang terjadi pada interval yang iregular. Jumlah dan durasi perdarahan juga bervariasi. Kondisi apapun yang menyebabkan perdarahan intermenstrual dapat menyebabkan menometroragia. Onset yang tiba-tiba dari episode perdarahan dapat mengindikasikan adanya keganasan atau komplikasi dari kehamilan. 6. Oligomenorea adalah periode menstruasi yang terjadi lebih dari 35 hari. Amenorea didiagnosis bila tidak ada menstruasi selama lebih dari 6 bulan. Volume perdarahan biasanya berkurang
dan biasanya berhubungan dengan
anovulasi, baik itu dari faktor endokrin (kehamilan, pituitari-hipotalamus) ataupun faktor sistemik (penurunan berat badan yang terlalu banyak). Tumor yang mengekskresikan estrogen menyebabkan oligomenorea terlebih dahulu, sebelum menjadi pola yang lain. 7. Perdarahan kontak (perdarahan post-koitus) harus dianggap sebagai tanda dari kanker leher rahim sebelum dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Penyebab lain dari perdarahan kontak yang lebih sering yaitu servikal eversi, polip serviks, infeksi serviks atau vagina (Tichomonas) atau atropik vaginitis. Hapusan sitologi negatif
tidak menyingkirkan diagnosis
kanker serviks
invasif, kolposkopi dan biopsi sangat dianjurkan untuk dilakukan2,.8 Perdarahan Ovulatoar: Perdarahan ini merupakan kurang lebih 10% dari perdarahan disfungsional dengan siklus pendek (polimenorea) atau panjang (oligomenorea). Untuk menegakkan diagnosis perdarahan ovulatoar, perlu dilakukan kerokan pada masa mendekati haid. Jika karena perdarahan yang lama dan tidak teratur siklus haid tidak dikenali lagi,maka kadang-kadang bentuk kurve suhu badan basal dapat menolong. Jika sudah dipastikan bahwa perdarahan berasal dari endometrium tipe sekresi tanpa adanya sebab organik, maka harus dipikirkan etiologinya sebagai8:
Korpus luteum persistens; dalam hal ini dijumpai perdarahan kadangkadang bersamaan dengan ovarium membesar. Sindrom ini harus dibedakan dari kehamilan ektopik karena riwayat penyakit dan hasil pemeriksaan panggul sering menunjukkan banyak persamaan. Korpus luteum persistens dapat pula menyebabkan pelepasan endometrium tidak teratur (irregular shedding). Diagnosis irregular shedding dibuat dengan kerokan yang tepat pada waktunya, yakni menurut Mc Lennon pada hari ke-4
mulainya perdarahan. Pada waktu ini dijumpai endometrium
dalam tipe sekresi disamping tipe nonsekresi. Insufisiensi korpus luteum dapat menyebabkan premenstrual spotting, menoragia, atau polimenore. Dasarnya adalah kurangnya produksi progesteron disebabkan oleh gangguan LH releasing factor. Diagnosis dibuat, apabila hasil biopsi endometrial dalam fase luteal tidak cocok dengan gambaran endometrium yang seharusnya didapat pada hari siklus yang bersangkutan. Apopleksia uteri: pada wanita dengan hipertensi dapat terjadi pecahnya pembuluh darah dalam uterus. Kelainan darah, seperti anemia, purpura trombositopenik, dan gangguan dalam mekanisme pembekuan darah. Perdarahan Anovulatoar: Stimulasi dengan estrogen menyebabkan tumbuhnya endometrium. Dengan menurunnya kadar estrogen
dibawah tingkat tertentu, timbul
perdarahan yang kadang-kadang bersifat siklis, kadang-kadang tidak teratur sama sekali. Fluktuasi kadar estrogen ada sangkut-pautnya dengan jumlah folikel yang pada suatu waktu fungsional aktif.1,3,8 Folikel-folikel ini mengeluarkan estrogen sebelum mengalami atresia, dan kemudian diganti oleh folikel-folikel baru. Endometrium dibawah pengaruh estrogen tumbuh terus, dan dari endometrium yang mula-mula proliferatif dapat terjadi endometrium bersifat hiperplasia kistik. Jika gambaran ini dijumpai pada sediaan yang diperoleh dengan kerokan, dapat diambil kesimpulan bahwa perdarahan bersifat anovulatoar.8 Walaupun perdarahan disfungsional dapat terjadi pada setiap waktu dalam kehidupan menstrual seorang wanita, namun hal ini paling sering
terdapat pada masa pubertas dan pada masa pramenopause. Pada masa pubertas sesudah menarche, perdarahan tidak normal disebabkan oleh gangguan atau terlambatnya proses maturasi pada hipotalamus, dengan akibat bahwa pembuatan Releasing Factor dan hormon gonadotropin tidak sempurna. Pada wanita dalam masa pramenopause proses terhentinya fungsi ovarium tidak selalu berjalan lancar. Bila pada masa pubertas kemungkinan keganasan kecil sekali dan ada harapan bahwa lambat laun keadaan menjadi normal dan siklus haid menjadi ovulatoar, pada seorang wanita dewasa dan terutama dalam masa pramenopause dengan perdarahan tidak teratur mutlak diperlukan kerokan untuk menentukan ada tidaknya tumor ganas.8 Perdarahan disfungsional dapat dijumpai pada penderita-penderita dengan penyakit metabolik, penyakit endokrin, penyakit darah, penyakit umum yang menahun, tumor-tumor ovarium, dan sebagainya. v Akan tetapi, terdapat banyak wanita dengan perdarahan disfungsional tanpa adanya penyakit-penyakit tersebut. Dalam hal ini stress yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, baik didalam maupun di luar pekerjaan, kejadiankejadian yang mengganggu keseimbangan emosional seperti kecelakaan, kematian dalam keluarga, pemberian obat penenang terlalu lama, dan lainlain, dapat menyebabkan perdarahan anovulatoar. Biasanya kelinan dalam perdarahan ini hanya untuk sementara waktu8
Algoritme PUD perimenarche10
VII.
DIAGNOSIS
Anamnesis
yang
cermat
merupakan
hal
yang
mendiagnosis. Perlu ditanyakan bagaimana mulainya
penting
perdarahan,
dalam apakah
didahului siklus yang pendek atau oleh oligomenorea/amenorea, sifat perdarahan (banyak atau sedikit-sedikit, sakit atau tidak), lama perdarahan, dan sebagainya. Pada pemeriksaan umum perlu diperhatikan tanda-tanda yang menunjuk ke arah kemungkinan penyakit metabolik, penyakit endokrin, penyakit menahun, dan lainlain. Kecurigaan terhadap salah satu penyakit tersebut hendaknya menjadi dorongan untuk melakukan pemeriksaan dengan teliti ke arah penyakit yang bersangkutan2,.7,8, Pada pemeriksaan ginekologik perlu dilihat apakah tidak ada kelainankelainan organik, yang menyebabkan perdarahan abnormal (polip, ulkus, tumor, kehamilan terganggu).Dalam hubungan dengan pemeriksaan ini, perlu diketahui bahwa di negera kita keluarga sangat keberatan dilakukan pemeriksaan dalam pada wanita yang belum kawin, meskipun kadang-kadang hal itu tidak dapat dihindarkan. Dalam hal ini dapat dipertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan dengan menggunakan anestesia umum.8 Pada wanita yang dalam masa pubertas umumnya tidak perlu dilakukan kerokan dalam mendiagnosis. Pada wanita berumur antara 20 dan 40 tahun kemungkinan besar ialah kehamilan terganggu, polip, mioma submukosum, dan sebagainya. Kerokan dilakukan setelah dapat diketahui benar bahwa tindakan tersebut tidak mengganggu kehamilan yang memberi harapan untuk diselamatkan. Pada wanita dalam pramenopause dorongan untuk melakukan kerokan ialah untuk memastikan ada tidaknya tumor ganas8
1. Anamnesis Anamnesis dilakukan untuk menilai kemungkinan adanya kelainan uterus, faktor risiko kelainan tiroid, penambahan dan penurunan BB yang drastis, serta riwayatkelainan hemostasis pada pasien dan keluarganya. Perluditanyakan siklus haid sebelumnya serta waktu mulai terjadi nya perdarahanuterus abnormal. Prevalensi penyakit von Willebrand pada perempuan perdarahan haid rata-rata meningkat 10% dibandingkan populasi
normal.
Karena itu
perlu dilakukan
pertanyaan
untuk
mengidentifikasi penyakit von willebrand. Pada perempuan pengguna pil kontrasepsi perlu ditanyakan tingkat kepatuhan dan obat-obat lain yang diperkirakan menggangu koagulasi. Penilaian jumlah darah haid dapat dinilai menggunakan piktograf atau “skor perdarahan”. Data ini juga dapat digunakan untuk diagnosis dan menilai kemajuan pengobatan PUA Anamnesis terstruktur dapat digunakan sebagai penapis gangguan hemostasis dengan sensitifitas 90%. Perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut pada perempuan dengan hasil penapisan positif Perdarahan uterus abnormal yang terjadi karena pemakaian antikoagulan dimasukkan ke dalam klasifikasi PUA-C1. Pertanyaan Untuk Menapis Kelainan Hemostatis Pada Pasien Dengan Perdarahan Haid Banyak 1. Perdarahan haid banyak sejak menars 2. Terdapat minimal 1 (satu) keadaan dibawah ini - Perdarahan pasca persalinan - Perdarahan yang berhubungan dengan operasi - Perdarahan yang berhubungan dengan perawatan gigi 3. Terdapat minimal 2 (dua) keadaan dibawah ini : - Memar 1-2x/bulan - Epistaksis 1-2x/bulan - Perdarahan gusi yang sering - Riwayat keluarga dengan keluhan perdarahan Penapisan klinis pasien dengan perdarahan haid banyak karena kelianan hemostasis Diagnosis banding PUA Keluhan dan Gejala Nyeri pelvic Mual, peningkatan frekuensi berkemih Peningkatan berat badan, fatigue, gangguan
Masalah Abortus, kehamilan ektopik Hamil Hipotiroid
toleransi terhadap dingin Penurunan berat badan, banyak keringat,
Hipertiroid
palpitasi Riwayat konsumsi obat antikoagulan dan
Koagulopati
gangguan pembekuan darah Riwayat hepatitis, ikterik Hirsutisme,akne,akantosis nigricans, obesits Perdarahan pasca koitus
Penyakit hati Sindrom ovarium polikistik Displasia serviks, polip endoserviks
Galaktorea, sakit kepala, gangguan lapang
Tumor hipofisis
pandang 2. Pemeriksaan umum Pemeriksaan fisik pertama kali dilakukan untuk menilai stabilitas keadaan hemodinamik. Pastikan bahwa perdarahan berasala dari kanalis servikalis dan tidak berhubungan dengan kehamilan. Pemeriksaan IMT, tanda-tanda hiperandrogen,
pembesaran
kelenjar
tiroid
atau
manifestsi
hipotiroid/hipertiroid, galaktorea, gangguan lapang pandang (adenoma hipofisis), purpuran dan ekimosis wajib diperiksa. 3. Pemeriksaan ginekologi Pemeriksaan ginekologi yang teliti perlu dilakukan termasuk pemeriksaan pap smear. Harus disingkirkan pula kemungkinan adanya mioma uteri, polip, hiperplasia endometrium atau keganasan. 4. Penilaian ovulasi Siklus haid yang berovulasi sekitar 22-35 hari. Jenis perdarahan PUA-O bersifat ireguler dan sering diselingi amenorea. Konfirmasi ovulasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan progesteron serum fase lutela mayda atau USG transvaginal bila diperlukan. 5. Penilaian endometrium Pengam bilan sampel endometrium tidak harus dilakukan pada semua pasien PUA Pengambilan sample endometrium hanya dilakukan pada : Perempuan umur > 45 tahun Terdapat faktor risiko genetik USG transvaginal menggambarkan penebalan endometrium kompleks yang merupakan faktor risiko hiperplasia atipik
atau kanker endometrium Terdapat faktor risiko diabetes melitus, hipertensi, obesitas,
nulipara Perempuan
dengan
riwayat
keluarga
nonpolyposis
colorectar cancer memiliki risiko kanker endometrium sebesar 60% dengan rerata umur saat diagnosis antara 4850 tahun. Pengambilan sampel endometrium perlu dilakukan pada perdarahna uterus abnormal yang menetap (tidak respon terhadap pengobatan)
Beberapa teknik pengambilan sample endometrium seperti D & K dan biopsi endometrium dapat dilakukan. 6. Penilaian kavum uteri Bertujuan untuk menilai kemungkinan adanya polip endometrium atau mioma uteri submukosum. USG transvaginal merupakan alat penapis yang tepat dan harus dilakukan pada pemeriksaan awal PUA. Bila dicurigai terdapat polip endometrium atau mioma uteri submukosum disarankan untuk melakukan SIS atau histeroskopi. Keuntungan dalam penggunaan histeroskopi adalah diagnosis dan terapi dapat dilakukan bersamaan 7. Penilaian miometrium Bertujuan untuk menilai kemungkinan adanya mioma uteri atau adenomiosis. Miometrium dinilai menggunakan USG (transvagina, transrektal dan abdominal), SIS, histeroskopi atau MRI. Pemeriksaan adenomiosis
menggunakan
MRI
lebih
unggukdibandingkan
USG
transvaginal.3 VIII.
PENANGANAN Penanganan pada pendarahan uterus abnormal adalah berbeda dan berdasarkan faktor penyebabnya.1,7,8,9,10 Perdarahan uterus abnormal akut : a. Jika perdarahan aktif dan banyak disertai dengan gangguan hemodinamik dan atau Hb < 10 g/dl perlu dilakukan rawat inap b. Jika hemodinamik stabil, cukup rawat jalan (kemudian ke langkah D) c. Pasien rawat inap, berikan infus cairan kristaloid, oksigen 2 liter/menit dan transfusi darah jika Hb < 7 g/dl, untuk perbaikan hemodinamik d. Stop perdarahan dengan estrogen ekuin kjonyugasi (EEK) 2-5 mg (rek b) per oral setiap 4-6 jam, ditambah prometasin 25 mg per oral atau injeksi IM setiap 4-6 jam (untuk mengatasi mual). Asam traneksamat 3x1 gr (rek A) atau anti inflamasi non steroid 3x500 mg diberikan bersama dengan EEK. Untuk pasien dirawat, dapat dipasang balon kateter foley no 10 ke dalam uterus dan diisi cairan kurang lebih 15 ml, dipertahankan 12-24 jam. e. Jika perdarahan tidak berhenti dalam 12-24 jam alkukan dilatasi dan kuretase.
f. Jika perdarahan berhenti dalam 24 jam, lanjutkan dengan kontrasepsi oral kombinasi (KOK) 4x1 tablet perhari (4 hari), 3x1 tablet perhari (3 hari), 2x1 tablet perhari (2 hari) dan 1x 1 tablet (3 minggu) kemudian stop 1 minggu, dilanjutkan KOK siklik 3 minggu dengan jeda 1 minggi selama 3 siklus atau LNG-IUS. g. Jika terdapat kontraindikasi KOK, berikan medroksi progesteron asetat (MPA) 10 mg perhari (7 hari) siklik selama 3 bulan h. Untuk riwayat perdarahan berulang sebelumnya injeksi gonadotropin releasing hormone (GnRH) agonis dapat diberikan bersamaan dengan pemberian KOK untuk stop perdarahan (langkah D). GnRH diberikan 2-3 siklus dengan interval 4 minggu. i. Ketika hemodinamik pasien stabil, perlu upaya diagnostik untuk mencari penyebab perdarahan. Lakukan pemeriksaan USG transvaginal/ transrektal , periksa darah perifer lengkap (DPL) , hitung trombosit , prothrombin time (PT) , activated partial thromboplastin time (aPTT) dan thyroid stimulating hormone (TSH). Saline Infused Sonohysterogram (SIS) dapat dilakukan jika endometrium yang terlihat tebal, untuk melihat adanya polip endometrium atau mioma submukosim. j. Jika terapi medika mentosa tidak berhasil atau ada kelainan organik, maka dapat dilakukan terapi pembedahan seperti ablasi endometrium , miomektomi, polipektomi, histerektomi. 3
PanduanInvestigasiPerdarahanUterusAbnormalAkutdan Banyak3 Perdarahan uterus abnormal kronik a. Jika dari anamnesa yang terstruktur ditemukan bahwa pasien mengalami satu atau lebih kondisi perdarahan yang lama dan tidak dapat diramalkan dalam 3 bulan terakhir.
b. Pemeriksaan fisik berikut dengan evaluasi rahim, pemeriksaan dfarah perifer lengkap wajib dilakukan. c. Pastikan fungsi ovulasi dari pasien tersebut\ d. Tanyakan pada pasien adakah penggunaan obat tertentu yang dapat memicu PUA dan lakukan juga pemeriksaan koagulopati bawaan jika terdapat indikasi e. Pastikan apakah pasien masih ingin menginginkan keturunan f. Anamnesis dilakukan untuk menilai ovulasi, kelainan sistemik, dan penggunaan yang mempengaruhi kejadian PUA. Keinginan pasien untuk memiliki keturunan dapat menetuka penanganan selanjutnya. Pemeriksaan tambahan meliputi pemeriksaan darah perifer lengkap, pemeriksaan untuk menilai gangguan ovulasi (fungsi tiroid, prolaktin, dan androgen serum) serta pemeriksaan hemostasis.3
PanduanInvestigasiPerdarahanUterusAbnormal Kronik5
PanduanInvestigasiEvaluasi Uterus5
A. Polip (PUA-P) :
Penanganan polip endometrium dapat dilakukan dengan 1. Reseksi secara histerektomi 2. Dilatasi dan kuretase 3. Kuret hisap 4. Hasilnya dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi. B. Adenomiosis (PUA-A): 1. Diagnosis adenomiosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan USG atau MRI. 2. Tanyakan pada pasien apakah menginginkan kehamilan. 3. Bila pasien menginginkan kehamilan dapat diberikan analog GnRH + add-back therapy atau LNG IUS selama 6 bulan. 4. Adenomiomektomi dengan teknik Osada merupakan alternative pada pasien yang ingin hamil (terutama pada adenomiosis > 6cm) 5. Bila pasien tidak ingin hamil, reseksi atau ablasi endometrium dapat dilakukan. Histerektomi dilakukan pada kasus gagal pengobatan.
Penanganan adenomiosis5 C. Leiomioma uteri (PUA-L) : 1. Diagnosis miomi uteri ditegakkan berdasarkan pemeriksaan USG.
2. Tanyakan pada pasien apakah menginginkan kehamilan. 3. Histerektomi reseksi miomi uteri submukosum dilakukan terutama bila pasien menginginkan kehamilan a. Pilihan pertama untuk mioma uteri submukosum berukuran < 4cm, b. Pilihan kedua untuk mioma uteri submukosum derajat 0 atau 1 c. Pilihan ketiga untuk mioma uteri submukosum derajat 2. 4. Bila terdapat mioma uteri intramural atau subserosum dapat dilakukan sesuai PUA-E. Pembedahan dilakukan bila respons pengobatan tidak cocok.
Penanaganan leiomioma uteri5
D. Malignancy and hyperplasia (PUA-M): 1. Diagnosis hyperplasia endometrium atipik ditegakkan berdasarkan penilaian histopatologi. 2. Tanyakan apakah pasien menginginkan kehamilan. 3. Jika pasien menginginkan kehamilan dapat dilakukan D & K dilanjutkan pemberian progestrin, analog GnRH atau LNG-IUS selama 6 bulan. 4. Bila pasien tidak menginginkan kehamilan tindakan pilihan histerektomi. 5. Biopsi endometrium diperlukan untuk pemeriksaan histology pada akhir bulan ke 6 pengobatan. 6. Jika keadaan hyperplasia atipik menetap, lakukan histerektomi.
Penanganan malignancy dan hyperplasia5
E. Coagulopathy (PUA-C):
1. Terminologi koagulopati digunakan
untuk kelainan
hemostasis
sistemik yang terkait dengan PUA. 2. Penanganan multidisiplin diperlukan pada kasus ini. 3. Pengobatan dengan asam traneksamat, progestin, kombinasi pil estrogen progestin dan LNG-IUS pada kasus ini memberikan hasil yang sama bila dibandingkan dengan kelompok tanpa kelainan koagulasi. 4. Jika terdapat kontraindikasi terhadap asam traneksamat atau PPK dapat diberikan LNG-IUS atau dilakukan pembedahan bergantung pada umur pasien. 5. Terapi spesifik seperti desmopressin dapat digunakan pada penyakit von Willebrand
Penanganan coagulopathy 5
F. Ovulatory dysfunction(PUA-O): 1. Gangguan ovulasi merupakan salah satu penyebab PUA dengan manifestasi
perdarahan yang sulit diramalkan dan jumlah darah
yang bervariasi.
2. Pemeriksaan hormone tiroid dan prolaktin perlu dilakukan terutama pada keadaan oligomenorea. Bila dijumpai hiperprolaktinemia yang disebabkan oleh hipotiroid maka kondisi ini harus diterapi. 3. Pada perempuan umur > 45 tahun atau dengan risiko tinggi keganasan endometrium perlu dilakukan pemeriksaan USG transvaginal dan pengambilan sampel endometrium. 4. Bila tidak dijumpai faktor risiko untuk keganasan, lakukan penilaian apakah pasien menginginkan kehamilan atau tidak. 5. Bila menginginkan kehamilan, dapat langsung mengikuti prosedur tatalaksana infertilitas 6. Bila pasien tidak menginginkan kehamilan, dapat diberikan terapi hormonal dengan menilai ada atau tidaknya kontra indikasi terhadap PKK. 7. Bila dijumpai kontraindikasi pemberian PKK dapat diberikan preparat progestin selama 14 hari, kemudian stop 14 hari. Hal ini diulang sampai 3 bulan siklus. 8. Bila keluhan berkurang, pengobatan hormonal dapat dilanjutkan atau di stop sesuai keinginan pasien. 9. Bila keluhan tidak berkurang, pertimbangkan tindakan kuretase untuk menyingkirkan keganasan endometrium. Bila pengobatan medikamentosa gagal, dapat dilakukan ablasi endometrium, reseksi mioma dengan histeroskopi atau histerektomi. Tindakan ablasi endometrium pada pendarahan uterus yang banyak dapat ditawarkan setelah memberikan informed consent yang jelas pada pasien. Pada uterus dengan ukuran < 10 minggu.
Penanganan ovulatory dysfunction 5
G. Endometrial (PUA-E): 1. Perdarahan uterus abnormal yang terjadi pada perempuan dengan si klus haid
teratur.
2. Pemeriksaan fungsi tiroid dilakukan bila terdapat gejala dan tanda hipotiroid atau hipertiroid pada anamnesis dan pemeriksaan fisik.
3. Bila pasien memerlukan kontrasepsi lanjutkan ke G, jika tidak lanjutkan ke 4. 4. Asam traneksamat 3 x 1 g dan asam mefenamat 3 x 500 mg merupakan pilihan lini pertama dalam tatalaksana menoragia. 5. Lakukan observasi selama 3 siklus menstruasi. 6. Jika response tidak adekuat nilai apakah terdapat kontraindikasi pemberian PKK. 7. PKK mampu mengurangi jumlah pendarahan dengan menekan pertumbuhan endometrium. Dapat dimulai pada hari apa saja, selanjutnya pada hari pertama siklus menstruasi. 8. Jika pasien memiliki kontraindikasi terhadap PKK maka dapat diberikan preparat progestin siklik selama 14 hari diikuti dengan 14 hari tanpa obat. Kemudian diulang selama 3 siklus. Dapat ditawarkan penggunaan LNG-IUS. 9. Jika setelah 3 bulan, response pengobatan tidak adekuat, dapat dilakukan penilaian dengan USG transvaginal atau SIS untuk menilai kavum uteri. 10. Jika
didapatkan
polip
atau
mioma
submukosum,
segera
pertimbangkan untuk melakukan reseksi dengan histeroskopi. 11. Jika hasil USG TV atau SIS didapatkan ketebalan endometrium > 10 mm, lakukan pengambilan sampel endometrium untuk menyingkirkan hyperplasia. 12. Jika terdapat adenomiosis dapat dilakukan pemeriksaan MRI, terapi dengan progestin, LNG IUS, GnRH atau histerektomi. 13. Jika hasil normal atau terdapat kelainan tetapi tidak dapat dilakukan terapi konservatif maka dilakukan evaluasi terhadap fungsi reproduksinya. 14. Jika pasien sudah tidak menginginkan fungsi reproduksinya dapat dilakukan ablasi endometrium atau histerektomi. Jika pasien masih ingin mempertahankan fungsi reproduksinya, anjurkan pasien untuk mencatat siklus haidnya dengan baik dan memautau kadar Hb.
Penanganan endometrial 5
H. Iatrogenik (PUA-I) H.1 Pendarahan karena efek samping PKK 1. Pendarahan sela (breakthrough bleeding) dapat terjadi dalam 3 bulan pertama atau setelah 3 bulan prnggunaan PKK. 2. Jika pendarahan sela terjadi dalam 3 bulan pertama maka penggunaan PKK dilanjutkan dengan mencatat siklus haid, 3. Lakukan pemeriksaan Chlamydia dan Neisseria (endometritis), bila positif berikan doksisiklin 2 x 100 mg selama 10 hari. Yakinkan pasien minum PKK secara teratur. Pertimbangkan untuk menaikkan dosis estrogen. Jika usia pasien > 35 tahun, dilakukan biopsy endometrium. 4. Jika pendarahan masih menetap, lakukan TVS, SIS atau histeroskopi. 5. Jika pendarahan sela terjadi setelah 3 bulan pertama penggunaan PKK, lanjutkan ke 5. 6. Jika efek samping berupa amenorea lanjutkan ke 9. 7. Singkirkan kehamilan. 8. Jika tidak hamil, naikkan dosis estrogen atau lanjutkan pil yang sama.
Penanganan iatrogenic (perdarahan karena efek samping PKK)5
H.2 Pendarahan karena efek samping kontrasepsi progestin
1. Jika terdapat amenorea atau pendarahan bercak, lanjut ke 2 2. Konseling bahwa kelainan ini merupakan hal biasa. 3. Jika efek samping berupa PUA-O, lanjutkan ke 4 4. Jiak usia pasien > 35 tahun dan memiliki risiko tinggi keganasan endometrium, lanjutkan ke 5, jika tidak lanjutkan ke 6. 5. Biopsi endometrium. 6. Berikan 3 alternatif sebagai berikut : a. Lanjutkan kontrasepsi progestin dengan dosis yang sama b. Ganti kontrasepsi dengan PKK (jika tidak ada kontraindikasi) c. Suntik DMPA setiap 2 bulan. 7. Bila pendarahan tetap berlangsung setalah 6 bulan, lanjutkan ke 9. 8. Berikan estrogen jangka pendek (EEK 4 x 1.25 mg/hari selama 7 hari) yang dapat diulang jika pendarahan abnormal terjadi kembali. Pertimbangkan pemilihan metode kontrasepsi lain.
Penanganan iatrogenic (perdarahan karena efek samping kontrasepsi progestin)5
H.3 Pendarahan karena efek samping penggunaan AKDR 1. Jika pada pemeriksaan pelvic dijumpai rasa nyeri, lanjutkan ke 2 2. Berikan doksisiklin 2 x 100 mg/hari selama 10 hari karena pendarahan pada pengguna AKDR dapat disebabkan oleh endometritis. Jika tidak ada perbaikan, pertimbangkan untuk mengangkat AKDR.
3. Jika tidak dijumpai rasa nyeri dan AKDR digunakan dalam 4-6 bulan pertama, lanjutkan ke 4. Jika tidak, lanjutkan ke 5. 4. Lanjutkan penggunaan AKDR, jika perlu dapat ditambahkan AINS. Jika setelah 6 bulan pendarahan tetap terjadi dan pasien ingin diobati, lanjutkan ke 5. 5. Berikan PKK untuk 1 siklus. 6. Jika
pendarahan
abnormal
tetap
menetap,
lakukan
pengangkatan AKDR. Bial usia pasien > 35 tahun, lakukan biopsi endometrium.
I. Not yet classified (PUA-N) 1. Kategori not yet classified dibuat untuk penyebab lain yang jarang atau sulit dimasukkan dalam klasifikasi. IX.
KOMPLIKASI Komplikasi yang bisa terjadi adalah infertilitas akibat tidak adanya ovulasi. Anemia berat akibat perdarahan yang berlebihan dan lama. Pertumbuhan endometrium yang berlebihan akibat ketidakseimbangan hormonal merupakan faktor penyebab kanker endometrium.9
X.
PROGNOSIS Respon terhadap terapi sangat individual dan tidak mudah diprediksi. Keberhasilan dari terapi tergantung pada kondisi fisik pasien dan usia Beberapa wanita, khususnya usia remaja biasanya angka keberhasilan penanganan dengan hormone cukup besar (terutama dengan oral kontrasepsi). Tindakan terakhir melalui histerektomi, meskipun dapat mengatasi PUA namun mempunyai resiko dan komplikasi yang lebih besar.9
Daftar pustaka
1. Chou Betty, Vlahos Nikos, Abnormal Uterine Bleeding , dalam : The John Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics, 4th Edition , 2002 : p.170 2. . Silberstein Taaly, Complications of Menstruation; Abnormal Uterine Bleeding. Dalam : DeCherney Alan H; Nathan Lauren, Current Obstetric & Gynecologic Diagnosis and Treatment, 9th Edition, Los Angeles:Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2003 : pp 623-630 3. G.S. Ronald, Danforth’s Obstetrics and Gynecology, 10th Edition, Lippincott Wiliams & Wilkins, Colorado, 2008, chapter 37. 4. Dr.med Ali Baziad, SpOG-KFER Menopause, And ropause dan Terapi Sulih Hormon dalam Menopause dan Andropause EdisiKedua 2003 , Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta Hal 1-44 5. Norwitz ER, Schorge JO. Obstetric and Gynecology at a Glance. Blackwell Science; 2001. P 10,38 6. Pfeifer SM. NMS Obstetrics and Gynecology. 6 th edition.Lippincott Williams & Wilkins; 2008. Chapter 19, 20 7. Malcolm G M et all ; 2011 ; The FIGO classification of causes of abnormal uterine bleeding in the reproducyive years ; American Society for Reproductive Medicine, Elsevier 8. Simanjuntak Pandapotan. Gangguan Haid dan Siklusnya. Dalam : Wiknjosastro GH, Saifuddin AB, Rachimhadhi T, editor. Ilmu Kandungan. Edisi 5. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo ; 2005 : pp. 223-228 9. Prof. Dr. med. Ali Baziad, SpOG(K) dr. Andon Hestiantoro, SpOG(K) dr. Budi Wiweko, SpOG(K) dr. Kanadi Sumapradja, SpOG, MSc, Panduan Tata Laksana Perdarahan Uterus Abnormal, Himpunan Endokrinologi Reproduksi
Dan
Fertilitas
Indonesia
Perkumpulan
Obstetri
Dan
Ginekologi Indonesia 10. Karkata Kornia Made, et al, Perdarahan Uterus Disfungsional, dalam : Pedoman Diagnosis-Terapi dan Bagan Alir Pelayanan Pasien, 2003 : pp 68 – 71 11. Speroff L, Fritz, Marc A, 2005, Dysfunctional Uterine Bleeding dalam:
Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility, sixth
edition, Lippincott Williams and Wilkins, hal: 201-46.