BAB 1 PENDAHULUAN
Iridosiklitis atau uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian depan badan siliar (pars plikata), kadang-kadang menyertai peradangan bagian belakang bola mata, kornea, dan sklera. Berdasarkan reaksi radang , uveitis anterior dibedakan atas 2 tipe yaitu tipe granulomatosa dan tipe non granulomatosa. 1 Penyebab uveitis anterior dapat bersifat endogen maupun eksogen. Teori patologisnya beragam, meliputi proses imunologik, komponen genetik, penyakit infeksi mikroba, reaksi kompleks imun, reaksi toksik disebabkan oleh tumbuhan dan obat-obatan, dan infeksi fokal, selama dekade terakhir ini ditemukan penyebab baru uveitis anterior dan akibat tindakan pembedahan dalam bola mata. Lebih dari 75% uveitis uveiti s endogen tidak diketahui penyebabnya, namun 37% kasus di antaranya ternyata merupakan reaksi imunologik yang berkaitan dengan penyakit sistemik. Penyakit sistemik yang berhubungan dengan uveitis anterior meliputi: spondilitis ankilosa, sindromaReiter, artritis psoriatika,penyakit Crohn, kolitis ulserativa, dan penyakit Whipple.2 Uveitis anterior merupakan salah satu radang di dalam bola mata yang paling sering dijumpai, dengan insidensi pertahun bervariasiantara 8,212 setiap 100.000 penduduk. Dari survei di rumah sakit di Ghana tahun 1990 uveitis merupakan penyebab kebutaan dua mata urutan ketiga setelah katarak dan glaukoma. Kebutaan dari uveitis anterior disebabkan oleh penyulit-penyulit yang ditimbulkan ditimbulkan akibat kronisitas dan rekurensi perjalanan penyakit. Gejala-gejala uveitis anterior meliputi: mata merah, fotofobia, lakrimasi, rasa sakit, dan penglihatan kabur. Mata yang terkena biasanya satu pihak, disertai disert ai dengan adanya adan ya flare flare dan dan sel di dalam bilik mata depan; jarang dijumpai adanya hipopion. Variasi gejala sering dijumpai, hal ini berhubungan dengan faktor penyebab. Uveitis anterior yang disebabkan oleh reaksi anafilaksis terhadap protein lensa akan didominir oleh adanya sel-sel besar di bilik mata depan; sedang jika disebabkan oleh sindroma Reiter justru didominir oleh eksudat fibrin dan sel-sel kecil atau lazim disebut radang non granulomatosa. 1 Dalam menentukan penyebab uveitis anterior, sering dijumpai banyak kendala di Indonesia. Pemeriksaan cairan hasil parasentesis dari bilik mata depan merupakan pemeriksaan yang lazim dikerjakan untuk menegakkan diagnosis, namun hal tersebut masih sulit diterima para pasien mengingat risiko tindakan juga tidak ringan. Di samping itu, beberapa teknik pemeriksaan laboratorium l aboratorium terutama te rutama yang menyangkut pemeriksaan imunologik masih relatif mahal. Manajemen uveitis anterior adalah bertujuan untuk mencegah kerusakan stuktur dan fungsi mata seperti sinekia anterior, sinekia posterior, kerusakan pembuluh darah iris, katarak, glaukoma, parut kornea, dan kekeruhan badan kaca.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi
2
Uvea terdiri dari iris, korpus siliare dan khoroid. Bagian ini adalah lapisan vaskular tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sklera. Bagian ini ikut memasukkan darah ke retina. Uvea dibagi menjadi 2 bagian yaitu uvea anterior yang terdiri dari iris dan badan siliar dan uvea posterior yaitu koroid. 1.1. Iris Iris adalah perpanjangan korpus siliare ke anterior. Iris berupa suatu permukaan pipih dengan apertura bulat yang terletak di tengah pupil. Iris terletak bersambungan dengan permukaan anterior lensa, yang memisahkan kamera anterior dari kamera posterior, yang masing-masing berisi aqueus humor. Di dalam stroma iris terdapat sfingter dan otot-otot dilator. Kedua lapisan berpigmen pekat pada permukaan posterior iris merupakan perluasan neuroretina dan lapisan epitel pigmen retina ke arah anterior. Pasok darah ke iris adalah dari sirkulus major iris. Kapiler-kapiler iris mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang sehingga normalnya tidak membocorkan fluoresein yang disuntikkan secara intravena. Persarafan iris adalah melalui serat-serat di dalam nervus siliares.
Gambar 1.1 Anatomi Mata
Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata. Ukuran pupil pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi akibat aktivitas parasimpatis yang dihantarkan melalui nervus kranialis III dan dilatasi yang ditimbulkan oleh aktivitas simpatik.
Gambar 2. Vaskularisasi Iris 1.2 Korpus Siliaris Korpus siliaris yang secara kasar berbentuk segitiga pada potongan melintang, membentang ke depan dari ujung anterior khoroid ke pangkal iris (sekitar 6 mm). Korpus siliaris terdiri dari suatu zona anterior yang berombakombak,pars plikata dan zona posterior yang datar, pars plana. Prosesus siliaris berasal dari pars plikata. Prosesus siliaris ini terutama terbentuk dari kapiler-kapiler dan vena yang bermuara ke vena-vena vortex. Kapiler-kapilernya besar dan berlobang-lobang sehingga membocorkan floresein yang disuntikkan secara intravena. Ada 2 lapisan epitel siliaris, satu lapisan tanpa pigmen di sebelah dalam, yang merupakan perluasan neuroretina ke anterior, dan lapisan berpigmen di sebelah luar, yang merupakan perluasan dari lapisan epitel pigmen retina. Prosesus siliaris dan epitel siliaris pembungkusnya berfungsi sebagai pembentuk aqueus humor.
Gambar 3. Gambaran histologi uvea 1.3 Khoroid Khoroid adalah segmen posterior uvea, di antara retina dan sklera. Khoroid tersusun dari tiga lapisan pembuluh darah khoroid; besar, sedang dan kecil. Semakin dalam pembuluh terletak di dalam khoroid, semakin lebar lumennya. Bagian dalam pembuluh darah khoroid dikenal sebagai khoriokapilaris. Darah dari pembuluh darah khoroid dialirkan melalui empat vena vortex, satu di masing-masing kuadran posterior. Khoroid di sebelah dalam dibatasi oleh membran Bruch dan di sebelah luar oleh sklera. Ruang suprakoroid terletak di antara khoroid dan sklera. Khoroid melekat
erat ke posterior ke tepi-tepi nervus optikus. Ke anterior, khoroid bersambung dengan korpus siliare. Agregat pembuluh darah khoroid memperdarahi bagian luar retina yang mendasarinya. 2. Definisi
Uveitis anterior adalah inflamasi di iris dan badan siliar. Inflamasi di iris saja disebut iritis sedangkan bila inflamasi meliputi iris dan badan siliar maka disebut iridosiklitis. 3 Menurut American Optometric Association (AOA), uveitis anterior atau iridosiklitis adalah suatu proses inflamasi intraokular dari bagian uvea anterior hingga pertengahan vitreus. Penyakit ini dihubungkan dengan trauma bola mata, dan juga karena berbagai penyakit sistemik seperti juvenile rheumatoid, artritis, ankylosing spondilitis, Sindrom Reiter, sarcoidosis, herpes zoster, dan sifilis. 4 3. Epidemiologi
Di Indonesia belum ada data yang akurat mengenai jumlah kasus uveitis . Di Amerika Serikat ditemukan angka kejadian uveitis anterior adalah 8-12 orang dari 100.000 penduduk per tahun. Insidensinya meningkat pada usia 20-50 tahun dan paling banyak pada usia sekitar 30-an. Menurun AOA, berdasarkan etiologinya ada beberapa faktor resiko yang menyertai kejadian uveitis anterior antara lain, penderita toxoplasmosis dan yang berhubungan dengan hewan perantara toxoplasma. Beberapa penyakit menular seksual juga meningkatkan angka kejadian uveitis anterior seperti sifilis, HIV, dan sindroma Reiter. 5 4. Klasifikasi 6
Berdasarkan spesifitas penyebabnya uveitis anterior dapat dibagi atas uveitis infeksius, uveitis non infeksius, dan uveitis tanpa penyebab yang jelas. Uveitis infeksius dapat disebabkan oleh bakteri, jamur, dan virus. Uveitis non infeksius dapat disebabkan oleh agen non spesifik (endotoksin dan mediator peradangan lainnya), agen spesifik pada mata (oftalia simpatika, uveitis imbas lensa), dan penyakit sistemik seperti Behcet, sarkoidosis, sindroma Reiter, dll. Berdasarkan asal nya uveitis anterior dibedakan menjadi, uveitis eksogen dan uveitis endogen. Uveitis eksogen pada umumnya dikarenakan oleh trauma, operasi intra okuler, ataupun iatrogenik. Sedangkan uveitis endogen dapat disebabkan oleh fokal infeksi di organ lain maupun reaksi autoimun. Secara klinis (menurut cara timbul dan lama perjalanan penyakitnya) uveitis anterior dibedakan menjadi uveitis anterior akut dan uveitis anterior kronis. Uveitis anterior akut biasanya timbulnya mendadak dan perjalanan penyakitnya kurang dari 5 minggu. Sedangkan yang kronik mulainya berangsur-angsur, dan perjalanan penyakitnya dapat berbulan-bulan maupun tahunan. Klasifikasi uveitis anterior berdasarkan patologi anatominya terdiri dari tipe granulomatosa dan non granulomatosa. Tipe granulomatosa infiltratnya terdiri dari sel
epiteloid dan makrofag. Sedangkan tipe non granulomatosa infiltratnya terdiri dari sel plasma dan limfosit. 5. Etiologi 7
Penyebab terjadinya uveitis anterior dibagi menjadi beberapa golongan antara lain: autoimun, infeksi, keganasan, dan lain-lain. Penyebab autoimun terdiri dari: artritis Rhematoid juvenile, spondilitis ankilosa, sindrom Reiter, kolitis ulseratif, uveitis terinduksi-lensa, sarkoidosis, penyakit crohn, psoriasis. Penyebab infeksi terdiri dari: sipilis, tuberkulosis, lepra, herpes zooster, hepes simpleks, onkoserkiasis, adenovirus. Untuk penyebab keganasan terdiri dari: sindrom masquerada, retinoblastoma, leukemia, limfoma, melanoma maligna. Sedangkan yang lainnya berasal dari: iridopati, uveitis traumatika, ablatio retina, gout, dan krisis glaukomatosiklitik. Selain itu etiologi dari uveitis anterior digolongkan menurut agen penyebab infeksi, seperti dalam tabel berikut:
6. Patofisiologi 6,7
Peradangan trakturs uvealis banyak penyebabnya dan dapat mengenai satu atau ketiga bagian secara bersamaan. Bentuk uveitis paling sering terjadi adalah uveitis anterior akut (iritis), umumnya unilateral dan ditandai dengan riwayat sakit, fotofobia dan penglihatan kabur, mata merah, pupil kecil serta ireguler. Penyakit peradangan traktus uvealis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada orang dewasa dan usia pertengahan. Pada kebanyakan kasus penyebabnya tidak diketahui.
Berdasarkan patologi dapat dibedakan dua jenis besar uveitis; yang non granulomatosa (lebih umum) dan granulomatosa. Uveitis non-granulomatosa terutama timbul di bagian anterior traktus ini, yaitu iris dan korpus siliaris. Terdapat reaksi radang, dengan terlihatnya infiltrate sel-sel limfosit dan sel plasma dengan jumlah cukup banyak dan sedikit mononuclear. Pada kasus berat dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion di kamera okuli anterior. Badan siliar berfungsi sebagai pembentuk cairan bilik mata (humous aqueus) yang member makanan kepada lensa dan kornea. Dengan adanya peradangan di iris dan badan siliar, maka timbullah hiperemis yang aktif, pembuluh darah melebar, pembentukan cairan bertambah, sehingga dapat menyebabkan glaucoma sekunder. Selain oleh cairan bilik mata, dinding pembuluh darah dapat juga dilalui oleh sel darah putih, sel darah merah dan eksudat yang akan mengakibatkan tekanan osmose cairan bilik mata bertambah dan dapat mengakibatkan glaucoma. Cairan dengan lainlainnya ini, dari bilik mata belakang melalui celah antara lensa iris dan pupil ke kamera okuli anterior. Di kamera okuli anterior, oleh karena iris banyak mengandung pembuluh darah, maka suhunya meningkat dan berat jenis cairan berkurang sehingga cairan akan bergerak ke atas. Di daerah kornea karena tidak mengandung pembuluh darah, suhu menurun dan berat jenis cairan bertambah, sehingga cairan disini akan bergerak ke bawah. Sambil turun sel-sel radang dan fibrin dapat melekat pada endotel kornea, membentuk keratik presipitat yang dari depan tampak sebagai segitiga dengan endapan yang makin ke bawah semakin besar. Di sudut kamera okuli anterior cairan melalui trabekula masuk ke dalam kanalis schlemn untuk menuju ke pembuluh darah episklera. Bila keluar masuknya cairan ini masih seimbang maka tekanan bola mata akan berada pada batas normal 15-20 mmHg. Sel radang dan fibrin dapat pula menyumbat sudut kamera okuli anterior, sehingga alirannya terhambat dan terjadilah glaucoma sekunder. Glaucoma juga bisa terjadi akibat trabekula yang meradang atau sakit. Elemen darah dapat bertumpuk di kamera okuli anterior dan timbullah hifema (bila banyak mengandung sel darah merah) dan hipopion (yang terkumpul banyak mengandung sel darah putih). Elemen-elemen radang yang mengandung fibrin yang menempel pada pupil dapat juga mengalami organisasi, sehingga melekatkan ujung iris pada lensa. Perlengketan ini disebut sinekia posterior. Bila seluruh iris menempel pada lensa disebut seklusio pupil sehingga cairan yang dari kamera okuli posterior
tidak dapat melalui pupil untuk masuk ke kamera okuli anterior, iris terdorong ke depan, disebut iris bombe dan menyebabkan sudut kamera okuli anterior menyempit, dan timbullah glaucoma sekunder. Perlengketan-perlengketan iris pada lensa menyebabkan bentuk pupil tidak teratur. Pupil dapat pula diisi oleh sel-sel radang yang menyebabkan organisasi jaringan dan terjadi oklusi pupil. Peradangan badan siliar juga dapat menyebabkan kekeruhan pada badan kaca, yang tampak seperti kekeruhan karena debu. Dengan adanya peradangan ini maka metabolism pada lensa terganggu dan dapat mengakibatkan katarak. Pada kasus yang sudah lanjut, kekeruhan badan kaca pun dapat mengakibatkan organisasi jaringan yang tampak sebagai membrane yang terdiri dari jaringan ikat dengan neurovaskuler dari retina yang disebut renitis proloferans. Pada kasus yang lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan ablasio retina.
7. Tanda dan gejala
8
Gejala akut dari uveitis anterior adalah mata merah, fotofobia, nyeri, penurunan tajam penglihatan dan hiperlakrimasi. Sedangkan pada keadaan kronis gejala uveitis anterior yang ditemukan dapat minimal sekali, meskipun proses radang yang hebat sedang terjadi. 7.1 Uveitis Anterior Jenis Non-Granulomatosa Pada bentuk non-granulomatosa, onsetnya khas akut, dengan rasa sakit, injeksi, fotofobia dan penglihatan kabur. Terdapat kemerahan sirkumkorneal atau injeksi siliar yang disebabkan oleh dilatasi pembuluh-pembuluh darah limbus. Deposit putih halus (keratic presipitate/ KP) pada permukaan posterior kornea dapat dilihat dengan slitlamp atau dengan kaca pembesar. KP adalah deposit seluler pada endotel kornea. Karakteristik dan distribusi KP dapat memberikan petunjuk bagi jenis uveitis. KP umumnya terbentuk di daerah pertengahan dan inferior dari kornea. Terdapat 4 jenis KP yang diketahui, yaitu small KP, medium KP, large KP dan fresh KP. Small KP merupakan tanda khas pada herpes zoster dan Fuch’s uveitis syndrome. Medium KP terlihat pada kebanyakan jenis uveitis anterior akut maupun kronis. Large KP biasanya
jenis mutton
fat biasanya
erdapat
pada
uveitis
anterior
tipe
granulomatosa. Fresh KP atau KP baru terlihat berwarna putih dan melingkar. Seiring bertambahnya waktu,akan berubah menjadi lebih pucat dan berpigmen. Pupil mengecil dan mungkin terdapat kumpulan fibrin dengan sel di kamera anterior. Jika terdapat sinekia posterior, bentuk pupil menjadi tidak teratur.
7.2 Uveitis Anterior Jenis Granulomatosa Pada bentuk granulomatosa, biasanya onsetnya tidak terlihat. Penglihatan berangsur kabur dan mata tersebut memerah secara difus di daerah sirkumkornea. Sakitnya minimal dan fotofobianya tidak seberat bentuk non-granulomatosa. Pupil sering mengecil dan tidak teratur karena terbentuknya sinekia posterior. KP mutton fat besar besar dapat terlihat dengan slit-lamp di permukaan posterior kornea. Tampak kemerahan, flare dan sel-sel putih di tepian pupil (nodul Koeppe). Nodul-nodul ini sepadan dengan KP mutton fat . Nodul serupa di seluruh stroma iris disebut nodul Busacca.
8. Penegakan Diagnosis 6,7,8
Diagnosis uveitis anterior dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan oftalmologi dan pemeriksaan penunjang lainnya. 8.1 Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan menanyakan riwayat kesehatan pasien, misalnya pernah menderita iritis atau penyakit mata lainnya, kemudian riwayat penyakit sistemik yang mungkin pernah diderita oleh pasien. Keluhan yang dirasakan pasien biasanya antara lain: a. Nyeri dangkal (dull pain), yang muncul dan sering menjadi lebih terasa ketika mata disentuh pada kelopak mata. Nyeri tersebut dapat beralih ke daerah pelipis atau daerah periorbital. Nyeri tersebut sering timbul dan menghilang segera setelah muncul. b. Fotofobia atau fotosensitif terhadap cahaya, terutama cahaya matahari yang dapat menambah rasa tidak nyaman pasien c. Kemerahan tanpa sekret mukopurulen d. Pandangan kabur (blurring) e. Umumnya unilateral
8.2 Pemeriksaan Oftalmologi
a. Visus : visus biasanya normal atau dapat sedikit menurun b. Tekanan intraokular (TIO) pada mata yang meradang lebih rendah daripada mata yang sehat. Hal ini secara sekunder disebabkan oleh penurunan produksi cairan
akuos akibat radang pada korpus siliaris. Akan tetapi TIO juga dapat meningkat akibat perubahan aliran keluar (outflow)cairan akuos. c. Konjungtiva : terlihat injeksi silier/ perilimbal atau dapat pula (pada kasus yang jarang) injeksi pada seluruh konjungtiva d. Kornea : KP (+), udema stroma kornea
Gambar 5. Keratik precipitat e. Camera Oculi Anterior (COA) : sel-sel flare dan/atau hipopion. Ditemukannya sel-sel pada cairan akuos merupakan tanda dari proses inflamasi yang aktif. Jumlah sel yang ditemukan pada pemeriksaan slitlamp dapat digunakan untuk grading. Grade 0 sampai +4 ditentukan dari: i.
0 : tidak ditemukan sel
ii.
+1 : 5-10 sel
iii.
+2 : 11-20 sel
iv.
+3 : 21-50 sel
v.
+4 : > 50 sel Aqueous flare adalah akibat dari keluarnya protein dari pembuluh darah
iris yang mengalami peradangan. Adanya flaretanpa ditemukannya sel-sel bukan indikasi bagi pengobatan. Melalui hasil pemeriksaan slit-lamp yang sama dengan pemeriksaan sel, flare juga diklasifikasikan sebagai berikut: i. ii.
0 : tidak ditemukan flare +1 : terlihat hanya dengan pemeriksaan yang teliti
iii.
+2 : moderat, iris terlihat bersih
iv.
+3 : iris dan lensa terlihat keruh
v.
+4 : terbentuk fibrin pada cairan akuos
Hipopion ditemukan sebagian besar mungkin sehubungan dengan penyakit terkait HLA-B27, penyakit Behcet atau penyakit infeksi terkait iritis . f. Iris : dapat ditemukan sinekia posterior g. Lensa dan korpus vitreus anterior : dapat ditemukan lentikular presipitat pada kapsul lensa anterior. Katarak subkapsuler posterior dapat ditemukan bila pasien mengalami iritis berulang.
8.3 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium mendalam umumnya tidak diperlukan untuk uveitis anterior, apalagi bila jenisnya non-granulomatosa atau menunjukkan respon terhadap pengobatan non spesifik. Akan tetapi pada keadaan dimana uveitis anterior tetap tidak responsif terhadap pengobatan maka diperlukan usaha untuk menemukan diagnosis etiologiknya. Pada pria muda dengan iridosiklitis akut rekurens, foto rontgen sakroiliaka diperlukan untuk mengeksklusi kemungkinan adanya spondilitis ankilosa. Pada kelompok usia yang lebih muda, artritis reumatoid juvenil harus selalu dipertimbangkan khususnya pada kasuskasus iridosiklitis kronis. Pemeriksaan darah untuk antinuclear antibody dan rheumatoid factor serta foto rontgen lutut sebaiknya dilakukan. Perujukan ke ahli penyakit anak dianjurkan pada keadaan ini. Iridosiklitis dengan KP mutton fat memberikan kemungkinan sarkoidosis. Foto rontgen toraks sebaiknya dilakukan dan pemeriksaan terhadap enzim lisozim serum serta serum angiotensineconverting enzyme sangat membantu. Pemeriksaan terhadap HLA-B27 tidak bermanfaat untuk penatalaksanaan pasien dengan uveitis anterior, akan tetapi kemungkinan dapat memberikan perkiraan akan suseptibilitas untuk rekurens. Sebagai contoh, HLA-B27 ditemukan pada sebagian besar kasus iridosiklitis yang terkait dengan spondilitis ankilosa. Tes kulit terhadap tuberkulosis dan histoplasmosis dapat berguna, demikian pula antibodi terhadap toksoplasmosis. Berdasarkan tes-tes tersebut dan gambaran kliniknya, seringkali dapat ditegakkan diagnosis etiologiknya. Dalam usaha penegakan diagnosis etiologis dari uveitis diperlukan bantuan atau konsultasi dengan bagian lain seperti ahli radiologi dalam pemeriksaan foto rontgen, ahli penyakit anak atau penyakit dalam pada kasus atritis reumatoid, ahli penyakit THT pada ksus uveitis akibat infeksi sinus paranasal, ahli penyakit gigi dan mulut pada kasus uveitis dengan fokus infeksi di rongga mulut, dan lain-lain.
9. Diagnosis Banding 9
Berikut adalah beberapa diagnosis banding dari uveitis anterior: a. Konjungtivitis. Pada konjungtivitis penglihatan tidak kabur, respon pupil normal, ada kotoran mata dan umumnya tidak ada rasa sakit, fotofobia atau injeksi siliaris. b. Keratitis atau keratokonjungtivitis. Pada keratitis atau keratokonjungtivitis, penglihatan dapat kabur dan ada rasa sakit dan fotofobia. Beberapa penyebab keratitis seperti herpes simpleks dan herpes zoster dapat menyertai uveitis anterior sebenarnya. c. Glaukoma akut. Pada glaukoma akut pupil melebar, tidak ditemukan sinekia posterior dan korneanya “beruap”.
10. Tatalaksana 7,8
Tujuan terapi uveitis anterior menurut AOA, antara lain: Mengembalikan tajam penglihatan, Mengurangi rasa nyeri di mata, Mengeliminasi peadangan atau penyebab pradangan, Mencegah terjadinya sinekia iris, Mengendalikan tekanan intraokular.
Sedangkan prinsip pengobatan uveitis antara lain: Menekan peradangan, Mengeliminir agen penyebab, Menghindari efek samping obat yang merugikan pada mata dan organ tubuh di luar mata.
10.1 Terapi Non Spesifik Tiga jenis obat yang digunakan sebagai terapi non spesifik pada uveitis yaitu midriatik-sikloplegik, kortikosteroid, dan imunosupresan.
Midriatik-sikloplegik Semua sikloplegik merupakan agen antagonis kolinergik yang bekerja dengan menghambat neurotransmiter pada reseptor sfingter iris dan korpus silier. Pada pengobatan uveitis anterior sikloplegik bekerja dengan 3 cara yaitu:
o o
o
Mengurangi nyeri karena imobilisasi iris Mencegah adesi iris ke kapsula lensa anterior (sinekia posterior), yang dapat meningkatkan tekanan intraokular dan menyebabkan glaukoma sekunder. Menyetabilkan blood-aqueous barrier dan mencegah terjadinya flare.
o o o o
Agen sikloplegik yang digunakan dalam terapi uveitis anterior menuruut AOA (2004) antara lain: Atropine 0,5%, 1%, 2% Homatropin 2%, 5% Scopolamine 0,25% Cyclopentolate 0,5%, 1%, 2%.
Kortikosteroid Kortikosteroid merupakan terapi non spesifik yang bermanfaat pada uveitis. Efek samping baik topikal maupun sistemik telah kita ketahui, akan tetapi tidak ada salahnya diingatkan kembali tentang cara kerja variasi efek anti inflamasi, efek samping dan potensi preparat steroid yang dipakai dalam pengobatan uveitis. Pengobatan peradangan intra okular dengan kortikosteroid dimulai pada tahun 50-an. Ada 2 cara pengobatan kortikosteroid pada uveitis: Lokal : Tetes mata, dan injeksi peri okular Sistemik o Lokal Pengobatan uveitis anterior dengan steroid dan midriatik sikloplegik lokal adalah paling logis dan efektif. Dosis maksimal dapat dicapai dengan efek samping yang minimal. Dan apabilaterjadi komplikasi, maka obat ini dapat segera distop. o
Tetes mata Efek terapeutik kortikosteroid topikal pada mata dipengaruhi oleh sifat kornea sebagai sawar terhadap penetrasi obat topikal ke dalam mata, sehingga daya tembus obat topikal akan tergantung pada: a. Konsentrasi dan frekuensi pemberian Makin tinggi konsentrasi obat dan makin sering frekuensi pemakaiannya, maka makin tinggi pula efek antiinflamasinya. b. Jenis kortikosteroid Peradangan pada kornea bagian dalam dan uveitis diberikan preparat dexametason, betametason dan prednisolon karena penetrasi intra okular baik, sedangkan preparat medryson, fluorometolon dan hidrokortison hanya dipakai pada peradangan pada palpebra, konjungtiva dan kornea superfisial. c. Jenis pelarut yang dipakai Kornea terdiri dari 3 lapisan yang berperan pada penetrasi obat topikal mata yaitu, epitel yang terdiri dari 5 lapis sel, stroma, endotel yang terdiri dari selapis sel. Lapisan epitel dan endotel lebih mudah ditembus oleh obat yang mudah larut dalam lemak sedangkan stroma akan lebih mudah ditembus oleh obat yang larut dalam air. Maka secara ideal obat dengan daya tembus kornea yang baik harus dapat larut dalam lemak maupun air (biphasic). Obat-obat kortikosteroid topikal dalam larutan alkohol dan asetat bersifat biphasic.
d. Bentuk larutan Kortikosteroid tetes mata dapat berbentuk solutio dan suspensi. Keuntungan bentuk suspensi adalah penetrasi intra okular lebih baik daripada bentuk solutio karena bersifat biphasic, tapi kerugiannya bentuk suspensi ini memerlukan pengocokan terlebih dahulu sebelum dipakai. Pemakaian steroid tetes mata akan mengakibatkan komplikasiseperti: Glaukoma, katarak, penebalan kornea, aktivasi infeksi, midriasis pupil, pseudoptosis dan lainlain.
Injeksi peri-okular
Dapat diberikan dalam bentuk long acting berupa Depo maupun bentuk short acting berupa solutio. Keuntungan injeksi peri-okular adalah dicapainya efek anti peradangan secara maksimal di mata dengan efek samping sistemik yang minimal. Indikasi injeksi peri-okular adalah : 1. Apabila pasien tidak responsif terhadap pengobatan tetes mata, maka injeksi peri-okular dapat dianjurkan. 2. Uveitis unilateral. 3. Pre operasi pada pasien yang akan dilakukan operasi mata. 4. Anak-anak. 5. Komplikasi edema sistoid makula pada pars planitis. Penyuntikan steroid peri-okular merupakan kontra indikasi pada uveitis infeksi (toxoplasmosis) dan skleritis. Lokasi injeksi peri-okular : a) Sub-konjungtiva dan sub-tenon anterior Pemakaian sub-konjungtiva/sub-tenon steroid repository (triamcinolone acetonide 40 mg, atau. methyl prednisolone acetate 20 mg) efektif pada peradangan kronis segmen anterior bola mata. Keuntungan injeksi sub-konjungtiva dan sub-tenon adalah dapat mencapai dosis efektif dalam 1 kali pemberian pada jaringan intraokular selama 2 – 4 minggu sehingga tidak membutuhkan pemberian obat yang berkali-kali seperti pemberian topikal tetes mata. Untuk kasus uveitis anterior berat dapat dipakai dexametason 2 – 4 mg. b) Injeksi sub-tenon posterior dan retro-bulbar Cara ini dipergunakan pada peradangan segmen posterior (sklera, koroid, retina dan saraf optik). Komplikasi injeksi peri-okular : 1) Perforasi bola mata. 2) Injeksi yang berulang menyebabkan proptosis, fibrosis otot ektra okular dan katarak sub-kapsular posterior.
3) Glaukoma yang persisten terhadap pengobatan, terutama dalam bentuk Depo di mana dibutuhkan tindakan bedah untuk mengangkat steroid tersebut dari bola mata. 4) Atrofi lemak sub-dermal pada teknik injeksi via palpebra. Sistemik Pengobatan kortikosteroid bertujuan mengurangi cacat akibat peradangan dan perpanjangan periode remisi. Banyak dipakai preparat prednison dengan dosis awal antara 1 – 2 mg/kg BB/hari, yang selanjutnya diturunkan perlahan selang sehari (alternating single dose). Dosis prednison diturunkan sebesar 20% dosis awal selama 2 minggu pengobatan, sedangkan preparat prednison dan dexametaxon dosis diturunkan tiap 1 mg dari dosis awal selama 2 minggu. Pada uveitis kronis dan anak-anak bisa terjadi komplikasi serius seperti supresi kelenjar adrenal dan gangguan pertumbuhan badan, maka diberikan dengan cara alternating single dose.
Indikasi kortikosteroid sistemik : 1. Uveitis posterior 2. Uveitis bilateral 3. Edema makula 4. Uveitis anterior kronik (JRA, Reiter) 5. Kelainan sistemik yang memerlukan terapi steroid sis temik Pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama akan terjadi efek samping yang tidak diingini seperti Sindrom Cushing, hipertensi, Diabetes mellitus, osteoporosis, tukak lambung, infeksi, hambatan pertumbuhan anak, hirsutisme, dan lain-lain.
Imunosupresan Sitostatika
Pengobatan sitostatika digunakan pada uveitis kronis yang refrakter terhadap steroid. Di RSCM telah dipakai preparat klorambusil 0,1 – 0,2 mg/kg BB/hari, dosis klorambusil ini dipertahankan selama 2 – 3 bulan lalu diturunkan sampai 5 – 8 mg selama 3 bulan dan dosis maintenance kurang dari 5 mg/hari, sampai 6 – 12 bulan. Selain itu juga dipakai preparat Kolkhisindosis 0,5 mg – 1 mg/peroral/2 kali/hari. Dosis letak adalah 7 mg/hari. Selama terapi sitostatika kita hams bekerja sama dengan Internist atau Hematologist. Sebagai patokan kita hams mengontrol darah tepi, yaitu lekosit harus lebih dari 3000/mm3 dan trombosit lebih dari 100.000/mm3 selama dalam pengobatan. Preparat sitostatika ini menekan respons imun lebih spesifik dibandingkan kortikosteroid, tetapi pengobatan sitostatika ini mempunyai risiko terjadinya diskrasia darah, alopesia, gangguan gastrointestinal, sistitis hemoragik, azoospermia, infeksi oportunistik, keganasan dan kerusakan kromosom.
Indikasi sitostatika: 1. Pengobatan steroid inefektif atau intolerable 2. Penyakit Behcet 3. Oftalmia simpatika 4. Uveitis pada JRA (Juvenile rheumatoid arthritis) Kontra indikasi sitostatika : 1. Uveitis dengan etiologi infeksi 2. Bila tidak ada : – Internist/hematologist – Fasilitas monitoring sumsum tulang – Fasilitas penanganan efek samping akut Siklosporin A Siklosporin A (CsA) adalah salah satu obat imunosupresan yang relatif baik yang tidak menimbulkan efek samping terlalu berat dan bekerja lebih selektif terhadap sel limfosit T tanpa menekan seluruh imunitas tubuh; pada pemakaian kortikosteroid dan sitostatik akan terjadi penekanan dari sebagian besar sistem imunitas, seperti menghambat fungsi sel makrofag, sel monosit dan sel neutrofil. Selain itu CsA tidak menyebabkan depresi sumsum tulang dan tidak mengakibatkan efek mutagenik seperti obat sitostatika.
Mekanisme kerja siklosporin A dalam respons imun adalah spesifik dengan: Menekan secara langsung sel T helper subsets dan menekan secara umum produksi limfokin-limfokin (IL-2, interferon, MAF, MIF). Secara umum CsA tidal( menghambat fungsi sel B. Produksi sel B sitotoksik dihambat oleh CsA dengan blocking sintensis IL-2. Secara tidak langsung mengganggu aktivitas sel NK (natural killer cell) dengan menekan produksi interferon, di mana interferon dalam mempercepat proses pematangan dan sitolitik sel NK. Populasi makrofag dan monosit tidak dipengaruhi oleh CsA sehingga tidak mempengaruhi efek fagositosis, processing antigen dan elaborasi IL-1.
10.2 Terapi Spesifik 10.2.1 Toxoplasmosis Pengobatan anti toxoplasma yang paling ideal adalah terapi kombinasi. Sulfadiazin atau trisulfa : Dosis 4 kali 0.5 – 1 gr/hari selama 3 – 6 minggu.
Pirimetamin : Dosis awal 75 – 100 mg pada hari pertama, selanjutnya 2 kali 25 mg/hari selama 3 – 6 minggu.
Trimethoprim-sulfamethoxazol (Bactrim®) : Dosis 2 kali 2 tablet Bactrim® selama 4 – 6 minggu. Preparat sulfa mencegah konversi asam paraaminobenzoat menjadi asam folaL Preparat pirimetamin bekerja menghambat terbentuknya tetrahidrofolat. Asam folat dibutuhkan oleh organisme toxoplasma untuk metabolisme karbon. Pada pemakaian pirimetamin dapat terjadi depresi sumsum tulang, maka kontrol darah tepi tiap minggu, apabila trombosit diindikasi penghentian terapi. Untuk mencegah depresi sumsum tulang diberikan preparat tablet asam folinat 5 mg tiap 2 hari. Klindamisin : Sebagai pengganti pirimetamin, yang bekerja sinergik dengan preparat sulfa. Secara invivo pada experimen obat ini dapat menghancurkan kista toxoplasma pada jaringan retina. Dosis: 3 kali 150 – 300 mg/hari/oral. Pemberian sub-konjungtiva klindamisin 50 mg dilaporkan memberi hasil baik. Spiramisin : Diberikan pada wanita hamil dan anak-anak karena efek samping yang minimal. Obat ini kurang efektif dalam mencegah rekurensi.
10.2.2 Infeksi virus Herpes simplex : Pada keratouveitis Herpes simplex diberikan topikal antivirus seperti asiklovir dan sikloplegik. Apabila epitel kornea intact/sembuh maka dapat diberikan topikal steroid bersama antivirus. Diberikan juga asiklovir 5 kali 200 mg/hari selama 2 – 3 minggu yang kemudian diturunkan 2 atau 3 tablet/hari. Pada kasus retinitis Herpes simplex dan ARN (Acute retinal necrosis) diberikan asiklovir intravena dengan dosis awal 5 mg/kgBB/kali yang dapat diberikan 3 kali per hari.
Herpes zoster : Diberikan asiklovir 5 kali 400 mg pada keadaan akut selama 10 – 14 hari. Kortikosteroid sistemik diberikan pada orang tua untuk mencegah terjadi post herpetic neuralgia. Pada uveitis anterior diberikan steroid dan sikloplegik topikal.
. 11. Komplikasi
Berikut ini adalah beberapa komplikasi dari uveitis anterior: • Sinekia anterior perifer. Uveitis anterior dapat menimbulkan sinekia anterior perifer yang menghalangi humor akuos keluar di sudut iridokornea (sudut kamera anterior) sehingga dapat menimbulkan glaukoma • Sinekia posterior dapat menimbulkan glaukoma dengan berkumpulnya akuos
humor di belakang iris, sehingga menonjolkan iris ke depan • Gangguan metabolisme lensa dapat menimbulkan katarak • Edema kistoid makular dan degenerasi makula dapat timbul pada uveitis anterior yang berkepanjangan
BAB 3 KESIMPULAN
1. Uveitis anterior atau iridosiklitis merupakan peradangan iris dan bagian depan korpus siliare (pars plikata), kadang-kadang menyertai peradangan bagian belakang bola mata, kornea dan sklera. 2. Berdasarkan spesifitas penyebabnya uveitis anterior dapat dibagi atas uveitis infeksius, uveitis non infeksius, dan uveitis tanpa penyebab yang jelas. 3. Berdasarkan asal nya uveitis anterior dibedakan menjadi, uveitis eksogen dan uveitis endogen. 4. Secara klinis (menurut cara timbul dan lama perjalanan penyakitnya) uveitis anterior dibedakan menjadi uveitis anterior akut dan uveitis anterior kronis. 5. Klasifikasi uveitis anterior berdasarkan patologi anatominya terdiri dari tipe granulomatosa dan non granulomatosa. 6. Penyebab terjadinya uveitis anterior dibagi menjadi beberapa golongan antara lain: autoimun, infeksi, keganasan, dan lain-lain. 7. Terjadinya uveitis anterior juga berhubungan dengan beberapa penyakit sistemik, antara lain: Spondyloarthritides, Crohn's disease, Sarcoidosis, Behcet's disease Hypersensitivity reactions, Tubulointerstitial nephritis ,Juvenile rheumatoid arthritis, Kawasaki disease, multiple sclerosis, and relapsing polychondritis, Multiple sclerosis,Relapsing polychondritis, Sjögren's syndrome, Systemic lupus erythematosus, Systemic vasculitis, Granulomatous angiitis of the central nervous, Vogt-Koyanagi-Harada syndrome, AIDS, Blau syndrome. 8. Gejala-gejala uveitis anterior meliputi: mata merah, fotofobia, lakrimasi, rasa sakit, clan penglihatan kabur. Mata yang terkena biasanya satu pihak, disertai dengan adanya flare dan sel di dalam bilik mata depan; jarang dijumpai adanya hipopion. Variasi gejala sering dijumpai, hal ini berhubungan dengan faktor penyebab. 9. Diagnosis banding uvetis anterior antara lain: konjungtivitis, keratitis atau keratokunjungtivitis, glaukoma akut. 10. Tujuan terapi uveitis anterior antara lain: mengembalikan tajam penglihatan, mengurangi rasa nyeri di mata, mengeliminasi peadangan atau penyebab pradangan, mencegah terjadinya sinekia iris,m engendalikan tekanan intraokular. 11. Prinsip pengobatan uveitis antara lain: menekan peradangan, mengeliminir agen penyebab, menghindari efek samping obat yang merugikan pada mata dan organ tubuh di luar mata. 12. Terapi uveitis anterior terdiri dari terapi non spesifik dan terapi spesifik. Terapi non spesifik menggunakan obat-obat midriatik-sikloplegik, kortikosteroid dan imunosupresan. Sedangkan terapi spesifik didasarkan pada penyebabnya. 13. Ada empat komplikasi utama uveitis anterior antara lain: katarak, glaukoma, band keratopathy, dan cystoid macular edema.
DAFTAR PUSTAKA
1. Moorthy RS. 2008-2009 Basic and Clinical Science Course Section 9: Intraocular Inflamation and uveitis. American Academy of ophthalmology. 2007. 2. Vaughan DG. Anatomi & Embriologi Mata: Oftalmologi Umum (General Opthalmology). Edisi 14. Widya Medica. Jakarta. 3. Ilyas S. 2007. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal. 172-4 4. American Optomtric Association. Care of the Patient with Anterior Uveitis. 2015. Available in https://www.aoa.org/documents/optometrists/QRG-7.pdf 5. American Optomtric Association. Care of the Patient with Anterior Uveitis. 2018. Available in https://www.aoa.org/patients-and-public/eye-and-vision-problems/glossary-of-eye-andvision-conditions/anterior-uveitis 6.
N
Monalisa
Muchatuta.
Iritis
and
Uveitis.
Medscape.
2017.
Available
in
https://emedicine.medscape.com/article/798323overview?pa=LkzjC0V75AFkR7E6zjv911gJcyu8AWEq2djmgWXWt5Km5rJB5xIH2qqX3e nj5ZSPUiX%2F4TX5fxl15LBvgo%2FVr7Owhd8Mdk7tVO%2FdkscsGC4%3D#a7 7. Agrawal Rupesh, Murthy, Sangwan. Current Approach in Diagnosis and Management of Anterior
Uveitis.
Indian
J
Ophthalmol.
2010.58(1):
P.
11-9.
Available
in
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2841369/ 8. Hartan J, Opitz D. Diagnosis and treatment of anterior uveitis: Optometric Management. 2016; vol.8;p.23-5. available in https://www.dovepress.com/diagnosis-and-treatment-of-anterioruveitis-optometric-management-peer-reviewed-fulltext-article-OPTO 9. Ilyas S. Uveitis Anterior. Dalam: Ilmu Penyakit Mata. Edisi kedua. Jakarta: FKUI, 2002. H.180-181.